551
IRIGASI TETES DI DALAM BUDIDAYA TANAMAN HORTIKULTURA UNTUK MENGANTISIPASI MUSIM KEMARAU ATAU TAHUN EL NINO
DRIP IRRIGATION IN HORTICULTURE CROP FARMING TO ANTICIPATE EL NINO
Meinarti Norma Setiapermas
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa tengah
Bukit Tegalepek Sidomulyo, Ungaran Timur Kabupaten Semarang PO Box 101 Ungaran 50501, smeinartinorma@yahoo.com
ABSTRACT
In agricultural development, it is time to consider the policy makers in the development of customized commodities with the available natural resources. If there is anticipation that the climate anomaly is easy to be applied is the time adjustment and cropping patterns (including varieties) as well as technological innovation which is a simple applied at the farm level. Assessment method is to compare the results of the simulation program Crop Water Balance between the treatment of drip irrigation and without irrigation. One technology that is usually applied to anticipate climate change (dry year) in the field of horticulture is the efficiency of water use with drip irrigation. Assessment conducted in the District of Apex (2008, commodities melon), Magelang regency (2008, commodity red chili), and Semarang (2009, commodities melon). Assessment results, visible in the dry season when there is no watering, the percentage reached 100% yield loss (result 0) both the activities of red pepper and melon. With the drip irrigation (with simulation and yield), the percentage of good results in the loss of red pepper and melon approximately 35%. Introduction of drip irrigation has not been fully adopted by farmers but network components such as drip irrigation tank, PVC or tertiary slang can be applied at the farm level.
Keywords: Drip irrigation, horticulture, El Nino.
PENDAHULUAN
Perubahan iklim dapat terjadi apabila setelah suatu waktu tertentu cuaca yang ekstrim secara konsisten seringkali terjadi melebihi frekuensi normalnya. Sehingga dalam pembangunan pertanian, sudah saatnya penentu kebijakan mempertimbangkan pengembangan teknologi disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam yang tesedia. Bila terjadi perubahan iklim maka antispasi yang mudah untuk diterapkan adalah penyesuaian waktu tanam, pola tanam (termasuk varietas) serta teknologi yang mudah diterapkan.
Pada tahun El Nino (kering) ada beberapa kejadian dalam bidang pertanian yang menjadi pusat perhatian yaitu terjadinya cekaman kekeringan yang kuat pada tanaman padi. Sedangkan pada tanaman lain seperti palawija atau tanaman buah tahunan kemungkinan tidak mengalami masalah dalam produksi. Berbeda dengan El Nino,
La-552
Nina (tahun basah) menyebabkan meningkatnya curah hujan di Indonesia khususnya curah hujan musim kemarau. Pengaruhnya terhadap peningkatan curah hujan musim hujan tidak begitu jelas. Oleh karena itu laju penambahan luas banjir akibat terjadinya La-Nina tidak sebesar laju penambahan luas kekeringan akibat El-Nino. Uraian di atas menunjukkan bahwa bencana yang ditimbulkan kejadian El Nino lebih serius dibanding La Nina.
Di tingkat petani, teknologi adaptasi perubahan ikilm sangat mmungkinkan untuk cepat diadopsi. Teknologi adaptasi pada tahun kering (El Nino) atau juga dapat diterapkan pada musim kemarau di bidang hortikultura adalah teknologi efisiensi pemakaian air. Teknologi adaptasi ini di setiap agroekosistem berbeda. Di lahan sawah irigasi teknis, bila menghadapi tahun El Nino maka menerapkan pola tanam padi-hortikultura-hortikultura akan menutup keutungan akibat kegagaan panen bila penanaman di musim tanam II dan III ditanami padi. Sedangkan di lahan kering sentra hortikultura maka teknologi yang diterapkan adalah mengganti komoditas hortikultura yang memerlukan air lebih sedikit dibandingkan komoditas sebelumnya. Beberapa komoditas hortikultura yang dapat dijadikan pengungkit pendapatan petani lahan sawah dan lahan kering adalah komoditas melon dan cabai merah.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan pengkajian dilakukan pada tahun 2008 di dua kabupaten yaitu Desa Kaliori Kecamatan Meteseh Kabupaten Rembang (lahan sawah tadah hujan iklim kering) dan di Desa Pandean Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang (lahan kering beriklim basah). Sumber air pada musim kemarau di Kabupaten Rembang adalah sumur pantek sedangkan di Kabupaten Magelang dari sungai dan mata air Bukit Telomoyo. Komoditas yang dikaji di Kabupaten Rembang adalah melon sedangkan di Kabupaten Magelang adalah cabai merah keriting. Input produksi pada budidaya melon dan cabai merah keriting sesuai dengan kebiasaan petani maju di lokasi tersebut.
Metode pengkajian yang digunakan di dua kabupaten berbeda. Di Kabupaten Rembang perlakuan yang diterapkan adalah irigasi tetes dan irigasi penggenangan. Sedangkan perlakuan di Kabupaten Magelang adalah simulasi pengairan dengan menggunakan Crop Water Balance – Evapotranspiation.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa langkah antisipasi perubahan iklim menurut Fagi et al. (2002) adalah: 1) menyiapkan upaya dan pemanfaatan teknologi tepat guna, 2) mengupayakan penanggulangan dan penyelamatan tanaman dari kemungkinan deraan kekeringan atau banjir dan 3) mengurangi dampak El-Nino terhadap penurunan produksi tanaman. Di dalam sistem usaha tani tanaman hortikultura, pola tanam dengan memperhitungan kebutuhan air belum banyak dilakukan. Petani sering gagal panen akibat tidak memperkirakan apakah air pada saat pembungaan masih tersedia atau tidak. Langkah
553
operasional dalam mengantisipasi kekeringan menurut Fagi et al (2002) adalah: 1) Membuat rencana tanam dan pola tanam pada lokasi yang sering dilanda El-Nino, mengevaluasi karakteristik curah hujan serta pola ketersediaan air irigasi, 2) menyipakan benih varietas yang relatif toleran kekeringan berumur sangat genjah atau tanaman alternatif yang lebih toleran kering, 3) menyiapkan infrastruktur irigasi, 4) memanfaatkan sumber daya air alternatif dan menyusun serta menyiapkan program aksi pada musim hujan setelah kekeringan.
Salah satu antisipasi kekurangan air pada budidaya tanaman semusim adalah penerapan teknologi efisiensi pemakain air pada musim kemarau atau akhir musim penghujan. Modifikasi alat dan respon petani terhadap teknologi ini sangat diperlukan bagi pengembangan teknologi hemat air baik itu untuk lahan irigasi maupun lahan kering. Teknologi budidaya hortikultura prioritas dalam penanganan antisipasi perubahan iklim antara lain adalah teknologi adaptasi (introduksi tanaman toleran kekeringan atau toleran genangan, varietas berumur genjah, kalender tanam, teknologi panen air atau efisiensi pemakaian air) dan teknologi mitigasi (pemupukan berimbang, olah tanah tidak sempurna)
Di dalam pengkajian yang telah dilakukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, untuk antisipasi kekeringan di wilayah sentra produksi hortikultura adalah dengan membuat kolam penampungan di lahan petani dengan sumber air dari mata air pegunungan atau sumur bor. Salah satu contoh yang telah diterapkan adalah di Desa Pandean, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang untuk pertanaman sayuran dataran tinggi dan di Desa Meteseh, Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang untuk pertananaman melon dataran rendah lahan sawah, seperti tertera pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Bak penampung permanen ukuran 1m x 3 m x 1m untuk mengairi lahan pertanian sekitar 1000 m2 di Desa Pandean, Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang (introduksi BPTP Jateng 2006)
Gambar 2. Introduksi jaringan irigasi tetes pada pertanaman melon di Desa Meteseh, Kecamatan Ngablak Kabupaten Rembang (introduksi BPTP Jateng, 2008)
Introduksi pemanenan air dari sumber mata air maupun sumur bor telah diadopsi oleh petani terutama dimanfaatkan pada musim tanam ketiga. Hasil panen yang dicapai sama dengan teknologi petani dan tenaga penyiraman sedikit dibandingkan dengan
554
penyiraman sebelum adanya introduksi. Biaya yang dikeluarkan cukup banyak karena membutuhkan modal awal dalam pembuatan bak penampungan.
Irigasi Tetes di Lahan Sawah Tadah Hujan Kabupaten Rembang
Teknologi adaptasi perubahan iklim disesuaikan dengan keadaan sumberdaya alam dan pola tanam di wilayah tersebut. Namun ada pula petani yang bermodalkan nekat untuk mengadopsi suatu perubahan pola tanam. Daerah ini mempunyai curah hujan rata-rata 5 bulan basah (>100 mm), yaitu mulai Nopember sampai Februari. Dari kondisi iklim tersebut pada umumnya petani berusaha mengoptimalkan ketersediaan air permukaan dengan menggunakan irigasi sumur pantek untuk pertanaman padi pada musim tanam II. Pada waktu bera ada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman hortikultura seperti budidaya melon, cabai merah, bawang merah atau kacang panjang.
Budidaya melon di daerah Meteseh dilakukan pada bulan November sampai Januari (pada musim tanam I ) atau bulan Juni sampai September (musim tanam III). Pemilihan tanaman melon untuk dikembangkan di daerah Meteseh ini, karena daerah Meteseh secara agroekosistem cukup memenuhi syarat. Hasil pengamatan agronomi buah melon (keliling buah) adalah sebagai berikut (Tabel 1) :
Tabel 1. Rata-rata data agronomi buah melon (keliling buah) pertanaman 23 Juli sampai 18 September 2008 di Desa Meteseh, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang Petani Pemupukan Irigasi tetes Irigasi penggenangan Kel vertical (cm) Kel horizontal (cm)
Kel vertical (cm) Kel horizontal (cm) A EM 4 52 49.3 51.3 48.8 Orgadec 52.4 50.8 49.8 48.1 B EM 4 51.6 50 41.8 38.1 Orgadec 52.5 49.6 51.3 48.8 Rata-rata 52.1 49.9 48.6 45.9
Hasil Independent Samples T Test, keliling horizontal antara perlakuan EM-4 (49.7 cm) dan orgadec (50.2 cm) di dalam perlakuan irigasi tetes tidak berbeda nyata, keliling horizontal antara perlakuan EM4 (43.5 cm) dan orgadec (48.5 cm) di dalam perlakuan irigasi penggenangan sangat berbeda nyata, dan keliling horizontal antara perlakuan irigasi tetes (49.9 cm) dengan penggenangan (45.9) sangat berbeda nyata.
Hasil Independent Samples T Test keliling vertikal antara perlakuan EM-4 (51.8 cm) dan orgadec (52.5 cm) di dalam perlakuan irigasi tetes berbeda, keliling vertikal antara perlakuan EM4 (46.6 cm) dan orgadec (50.6 cm) di dalam perlakuan irigasi penggenangan berbeda nyata dan keliling vertikal antara perlakuan irigasi tetes (52.1
555
cm) dan penggenangan (48.6) tidak berbeda nyata. Dari hasil rata-rata Tabel 1, besarnya buah terlihat bahwa dengan menggunakan sistem irigasi tetes lebih besar dibandingkan dengan sistem irigasi penggenangan. Besarnya buah terlihat dengan menggunakan kompos OrgaDec ( keliling vertikal 51.5 cm dan horizontal 49.3 cm) lebih besar dibadingkan dengan menggunakan kompos EM4 (keliling vertikal 49.2 cm dan horizontal 46.6 cm). Hasil pengamatan berat buah adalah sebagai berikut (Tabel 2). Tabel 2. Data berat buah melon rata-rata (kg) pertanaman 23 Juli sampai 18 September
2008 di Desa Meteseh, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang.
Petani Kompos Irigasi Rata-rata
(kg) Tetes Penggenangan A EM4 2.15 1.90 2.03 OrgaDec 2.25 1.95 2.10 B EM4 2.14 1.00 1.57 OrgaDec 2.20 2.00 2.10 Rata-rata (kg) 2.19 1.71
Perlakuan irigasi tetes menyebabkan berat buah meningkat. Hal ini disebabkan karena air yang diberikan dengan jaringan irigasi tetes lebih banyak di dekat perakaran dibandingkan dengan pemberian air dengan penggenanagan. Sedangkan akar tanaman melon hanya mampu menjangkau kedalaman 15-20 cm dan menyebar dalam radius 30-40 cm. Jika lahan kering atau kedalaman air diatas 50 cm, maka lahan dapat diairi (Setiadi, 2002). Kecukupan air pada buah melon dengan pengairan sistem penggenangan tidak maksimal karena air yang diberikan terlalu jauh dari perakaran sekitar 25 cm. Selain kemudahan mengambil air, pengairan dengan system irigasi tetes, tanah di dekat perakaran tanaman selalu dalam keadaan lembab.
Di Meteseh, Kaliori, Rembang produktivitas melon cukup tingga yaitu sekitar 44 ton / ha bila diairi dengan sistem irigasi tetes. Bila diairi dengan sistem penggenangan berkisar 38 ton /ha. Sehingga bila memungkinkan adanya tenaga yang melalukan penyiraman dengan system irigasi tetes maka petani akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan system penyiraman penggenangan selain itu efisiensi air akan lebih baik. Karena tanaman melon membutuhkan air yang cukup banyak yang berasal dari irigasi (Anonim, 2009).
Irigasi Tetes di Lahan Kering Kabupaten Magelang
Daerah Ngablak berada di sebelah utara Gunung Merbabu dan sebelah selatan Bukit Telomoyo, pada ketinggian sekitar 1394 m dpl. Daerah ini merupakan daerah lahan kering tadah hujan beriklim basah. Introduksi jaringan irigasi tetes di daerah
556
Pandean, Ngablak dimaksudkan untuk memperkenalkan tekonologi efisiensi pemakaian air yang sebenarnya sudah dikenal oleh petani dan diterapkan pada musim kemarau. Petani melakukan pemanenan dan penyiraman air sebagai bentuk efisiensi pemakaian air untuk tanaman yang mempunyai nilai jual tinggi.
Antisipasi untuk memperkecil resiko kegagalan penanaman pada bulan Juli – Oktober petani melakukan dengan menerapkan sistem tumpangsisip serta penanaman musim kemarau yang dibantu dengan penyiraman. Kegiatan penyiraman menunjukkan bahwa usahatani yang dilakukan petani sangat intensif. Hal tersebut juga terlihat dari penggunaan varietas – varietas unggul yang dipilih selalu mengacu permintaan konsumen. Petani menaruh harapan besar pada penanaman di musim kemarau ini karena biasanya harga jual tinggi, namun akibat keterbatasan dalam hal penyiraman ini produktivitas tanaman pada musim kemarau yang dicapai belum optimal. Dengan pola ini tidak terdapat masa bero pada lahan usahatani dan tidak ada musim panen raya.
Bila dianalisis dengan input data cuaca, khususnya curah hujan dan evapotranspirasi, bahwa waktu tanam yang diperkirakan akan baik menghasilkan produksi sayuran adalah pada bulan Januari sampai bulan Maret dan dari bulan Oktober sampai Desember. Hal tersebut karena curah hujan di Ngablak Magelang tahun 2008 mengalami puncaknya pada bulan Januari sedangkan waktu curah hujan di bawah 100 mm adalah di bulan Mei sampai dengan bulan September
Gambar 3. Curah hujan tahun 2008 Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang Begitu pula dengan analisis simulasi menggunakan program Crop Water
Balance - Evapotranspiration (CWB-Eto) ternyata waktu tanam cabai merah yang
menghasilkan persentase kehilangan hasil di bawah 20 % adalah berkisar dari bulan Januari – April dan dari bulan Agustus sampai Desember. Sehingga pada waktu tanam bulan April sampai Agustus, persentase kehilangan hasil cabai merah lebih dari 20 %. Kehilangan hasil 20 % dari potensi hasil cabai merah dalam keadaan normal (berkisar dari 0.6 – 1.2 kg / tanaman), maka berdasarkan simulasi tanaman cabai merah yang ditanam pada bulan April sampai Agustus menghasilkan 0.24 kg sampai 0.48 tanpa pengairan yang baik atau 0.48 kg sampai 0.96 kg dengan pengairan yang sangat baik. Persentase kehilangan hasil cabai merah menurut simulasi adalah seperti tertera pada
557
Gambar 4. Hasil penelitian Allen et al. (1998) dan CIRAD dalam Estiningtyas (2002) menyatakan bahwa kehilangan hasil yang masih bisa diterima adalah 20 %.
Gambar 4. Persentase kehilangan hasil tanaman cabai merah berdasarkan simulasi CWB-ETO tahun 2008
Dalam kenyataannya di lapang serta hasil wawancara tentang pola tanam, dalam beberapa tahun terakhir ini petani memanfaatkan sumber air (mata air) yang ditampung dalam bak permanen ukuran 1 m x 3 m x 1 m (sekitar 3000 liter air) untuk menyirami lahan seluas 1000 m2. Air ini bersumber dari mata air Bukit Telomoyo yang disalurkan melalui pipa paralon swadaya dan bantuan pemerintah. Menurut Popi R et al. (2005) pendekatan teknis untuk mengurangi resiko kekurangan air dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan antara lain adalah menentukan saat tanam dan masa tanam yang tepat dengan memanfaatkan analisis neraca air wilayah dan analisis indeks kecukupan air, penyediaan sarana dan prasarana irigasi yang tepat dengan kondisi iklimnya, mengembangkan teknik panen hujan dan aliran permukaan melalui pengembangan dam parit untuk meningkatkan ketersedian air dan memperpanjang masa tanam, melakukan budidaya komoditas pangan berumur pendek dan toleran terhadap kekeringan yang mengkonsumsi air terbatas, memperbaiki saluran irigasi dan embung serta meningkatkan daya dukung DAS. Jaringan irigasi tetes yang diintroduksikan seperti tertera pada Gambar 5. Modofikasi slang hitam dan stick hitam dengan slang akuarium, t akuraium dan stick bambu dapat diterima petani. Air yang keluar dari slang hitam maupun slang akuarium sama.
Irigasi tetes dengan menggunakan slang permanen dan stick plastik merupakan teknologi yang baru dikerjakan oleh petani Ngablak. Irigasi mikro yang biasa mereka gunakan adalah pengairan manual sekitar 500 ml dengan menggunakan ciduk (alat siram untuk mandi) pada tanaman cabai merah dan kubis. Bila pengairan tidak berdasarkan blok, maka pengairan setiap slang hitam kecil berjumlah seperti pada tabel di bawah ini :
558
Tabel 3. Volume air yang menetes dari slang tersier setiap tanaman setiap menit Blok Jumlah air yang keluar dari slang tersier (ml) yang
langsung ke tanaman Rata-rata 1 2 3 4 I 20 25 20 15 20 II 20 20 20 20 20 III 30 25 30 25 28 IV 25 20 20 20 21 Rata-rata 22
Pertanaman cabai merah di lahan yang menggunakan stik hitam dari BPTP adalah 725 dengan 14 bedengan, sedangkan yang menggunakan slang aquarium jumlah tanaman 750 batang dengan 24 bedengan. Bila dilihat volume bak penampung adalah 3000 liter sedangkan jumlah tanaman adalah 1475 sehingga bila air dari bak penampung dihabiskan pengairan pada tanaman tanaman cabai merah sebanyak 2 liter sekali siram. Dari pengamatan setiap menit, volume yang keluar dari slang kecil rata-rata adalah 22 ml sehingga penyiraman dengan irigasi tetes membutuhkan waktu sekitar 90 menit atau 1.5 jam. Karena jumlah air yang keluar dari slang hitam dan slang akuarium sama, sehingga asumsi selama pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman cabai dari kedua macam slang sama.
Gambar 5. Pertanaman cabai merah dengan irigasi tetes.
Penyiraman pada tanaman cabai merah biasa dilakukan petani 3 (tiga) hari sekali. Pada introduksi irigasi tetes ini, awalnya juga dilakukan sama dengan petani, namun karena di Bulan Agustus dan bulan September ada hari-hari maka penyiraman dilakukan 3 hari setelah ada hujan. Penyiraman dilakukan pada tanggal 22 Agustus, 4, 7, 13, 15, 18, 20, 23, 26, dan 30 September. Bahkan pada bulan Oktober, November dan Desember tidak dilakukan penyiraman karena hujan terjadi setiap hari. Hasil panen dimulai akhir bulan November, dari penampakan visual tanaman, cabai merah yang dihasilkan menurut petani diperkirakan akan bagus, yaitu sekitar 0.75 kg setiap tanaman, namun hasil sampai akhir panen tidak mencapai nilai tersebut. Hasil maksimum tanaman cabai merah pada kondisi biasa adalah 10 sampai 20 ton/ha atau setara dengan 0.6 sampai dengan 1.2 kg /tanaman (FAO,1979). Pada tahun 2008 dengan
559
menggunakan jaringan irigasi tetes ada sedikit kenaikan dari 0.266 kg /tanaman menjadi 0.37 kg /tanaman. Sehingga bila dibandingkan dengan pendugaan FAO, kehilangan hasil cabai dengan irigasi tetes ini adalah masih 38 %. Jadi produksi masih rendah.
KESIMPULAN
1. Modifikasi iklim mikro menghadapi musim kemarau atau tahun El Nino (tahun kering) di setiap agroekosistem pada dasarnya sama tergantung kemampuan petani dan ketersediaan sumber daya alam spesifik lokasi.
2. Efisisnesi pemakaian air pada komoditas hortikultura pada musim kemarau tidak mengurangi produksi buah. Di Kabupaten Rembang, produksi melon dengan teknologi irigasi tetes 2.19 kg/tanaman dan produksi dengan irigasi penggenangan sekitar 1.71 kg/tanaman. Produksi cabai merah dengan irigasi tetes sekitar 0.4 kg/tanaman di Kabupaten Magelang.
DAFTAR PUSTAKA
Allen RG, Pereira LS, Raes D and Smith M. 1998. Crop evapotranspiration; Guidelines for computing crop water requirements. FAO ; Irrigation and drainage paper;56. Rome. 300p
Anonim. 2008. Kemarau Datang, Irigasi Mikro pada Lahan Kering Jadi Pilihan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.30 No 3 (Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian).
Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta. 482 hal.
Estiningtyas W dan Irianto G. 2002. Penggunaan indeks kecukupan air dan kehilangan hasil untuk penentuan saat tanam dan menekan resiko kekeringan tanaman tebu lahan kering; Antisipasi el-nino dan pendayagunaan sumberdaya iklim dan air untuk meningkatkan produksi dan rendemen tebu lahan kering. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatemen Pertanian. 48-57p
Fagi, AM., Las I., Pane H., Abdulrachman S., Widiarta IN., Baehaki dan Nugraha US., 2002. Anomali Iklim dan Produksi Padi; Srategi dan Antisipasi Penanggulangan. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sukamandi. 41p.
Gatot Irianto, Irsal Las dan Bruno Lidon. 1999. Aplikasi agrometeorologi di bidang pertanian. Puslittanak dan Agroklimat Bogor dan CIRAD.
Popi R., Yayan S., Nurwindah P. dan Sawiyo. 2005. Meningkatkan Kesiagaan Menghadapi Kekeringan Akibat Iklim Eksepsional dalam Buku Sistem
560
Informasi Sumberdaya Iklim dan Air. Editor Istiqlal A., Hidayat P. dan Effendy Pasandaran. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 81-100p. Purnomo S. 1993. Daya adaptasi semangka dan melon di dataran rendah Grati. Jurnal