• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proposal Thesis Khusni Syauqi 13702251034

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Proposal Thesis Khusni Syauqi 13702251034"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MANAJEMEN BENGKEL TERHADAP

KEBERHASILAN SISWA DALAM PRAKTIK, STUDI KASUS

PADA BENGKEL SMK PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK

PEMESINAN DI YOGYAKARTA

PROPOSAL TESIS

KHUSNI SYAUQI NIM 13702251034

Proposal Tesis ditulis untuk memenuhi sebagai persyaratan Untuk mendapatkan gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2014

PENGARUH MANAJEMEN BENGKEL TERHADAP

KEBERHASILAN SISWA DALAM PRAKTIK, STUDI KASUS

PADA BENGKEL SMK PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK

PEMESINAN DI YOGYAKARTA

PROPOSAL TESIS

KHUSNI SYAUQI NIM 13702251034

Proposal Tesis ditulis untuk memenuhi sebagai persyaratan Untuk mendapatkan gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2014

PENGARUH MANAJEMEN BENGKEL TERHADAP

KEBERHASILAN SISWA DALAM PRAKTIK, STUDI KASUS

PADA BENGKEL SMK PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK

PEMESINAN DI YOGYAKARTA

PROPOSAL TESIS

KHUSNI SYAUQI NIM 13702251034

Proposal Tesis ditulis untuk memenuhi sebagai persyaratan Untuk mendapatkan gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

PENGARUH MANAJEMEN BENGKEL TERHADAP KEBERHASILAN SISWA DALAM PRAKTIK, STUDI KASUS PADA BENGKEL SMK PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK PEMESINAN DI YOGYAKARTA

KHUSNI SYAUQI NIM 13702251034

Proposal Tesis ditulis untuk memenuhi sebagai persyaratan Untuk mendapatkan gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

Menyetujui untuk diajukan pada seminar proposl tesis Pembimbing,

Prof. Dr. Thomas Sukardi, M.Pd NIP 19531125 197803 1 002

Mengetahui Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Direktur,

Prof. Dr. Zuldan Kun Prasetyo, M.Ed. NIP 19550415 198502 1 001

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah ... 10

D. Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori ... 13

1. Pendidikan Kejuruan ... 13

2. Pembelajaran Praktik di SMK ... 15

3. Bengkel Praktik Program Keahlian Teknik Pemesinan ... 18

a. Definisi Bengkel ... 18

b. Persyaratan Pokok Bengkel Praktik ... 19

4. Manajemen Bengkel ... 23

5. Pengelolaan Fasilitas Bengkel ... 25

6. Pengelolaan Bahan dan Peralatan Praktik ... 28

7. Pengelolaan Perawatan dan Perbaikan Alat/Mesin ... 31

8. Pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ... 34

9. Keberhasilan Siswa dalam Praktik ... 41

a. Keberhasilan Siswa ... 41

b. Faktor yang dapat Mempengaruhi Keberhasilan Siswa dalam Praktik ... 43

c. Pembelajaran Praktik Program Keahlian Teknik Pemesinan .... 45

B. Penelitian yang Relevan ... 46

C. Kerangka Pikir ... 48

1. Pengaruh Pengelolaan Fasilitas Bengkel terhadap Keberhasilan Siswa dalam Praktik ... 48

2. Pengaruh Pengelolaan Bahan dan Peralatan Praktik terhadap Keberhasilan Siswa dalam Praktik ... 49

3. Pengaruh Pengelolaan Perawatan dan Perbaikan Alat/Mesin terhadap Keberhasilan Siswa dalam Praktik ... 50

4. Pengaruh Pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terhadap Keberhasilan Siswa dalam Praktik ... 51

(4)

5. Pengaruh Manajemen Bengkel ditinjau dari segi Pengelolaan Fasilitas Bengkel, Pengelolaan Bahan dan Peralatan Praktik, Pengelolaan Perawatan dan Perbaikan Alat/Mesin, Pengelolaan

K3 terhadap Keberhailan siswa dalam Praktik ... 51

D. Hipotesis Penelitian ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian ... 54

1. Jenis Penelitian ... 54

2. Desain Penelitian ... 55

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 56

1. Tempat Penelitian ... 56

2. Waktu Penelitian ... 56

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 57

1. Populasi Penelitian ... 57

2. Sampel Penelitian ... 58

D. Variabel Penelitian ... 59

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 61

1. Teknik Pengumpulan Data ... 61

2. Instrumen Pengumpulan Data ... 62

3. Uji Coba Instrumen ... 64

F. Validasi dan Reabilitas Instrumen ... 65

1. Validasi Instrumen ... 65

2. Reabilitas Instrumen ... 67

G. Teknik Analisis Data ... 68

1. Deskripsi Data ... 68

2. Pengujian Prasyarat Analisis ... 71

3. Pengujian Hipotesis ... 74

(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Paradigma penelitian ... 60

(6)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Tingkat pengangguran penduduk usia 15 tahun keatas

menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan

tahun 2012-2014 ... 2

Tabel 2. Effectiveness of safety and health program findings ... 40

Tabel 3. Data pokok SMK Program Keahlian Teknik Pemesinan ... 58

Tabel 4. Daftar sampel penelitian pada SMK setiap Kabupaten ... 59

Tabel 5. Daftar jumlah sampel penelitian setiap sekolah ... 59

Tabel 6. Kisi-kisi instrumen pengelolaan fasilitas bengkel ... 63

Tabel 7. Kisi-kisi instrumen pengelolaan bahan dan peralatan praktik 63 Tabel 8. Kisi-kisi instrumen pengelolaan perawatan dan perbaikan bengkel ... 64

Tabel 9. Kisi-kisi instrumen pengelolaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) ... 64 Tabel 10. PEdoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi 68

(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan ujung tombak dari majunya suatu Negara, dengan pendidikan maka sumber daya manusianya akan semakin berkembang. Negara yang ingin masyarakatnya berkembang harus mampu meningkatkan kualitas pendidikan di negaranya. Sedemikian pentingnya hingga pendidikan dijadikan acuan majunya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di suatu Negara. Salah satu faktor yang mendukung kemajuan suatu Negara untuk berkembang dan membangun masyarakatnya menjadi lebih baik tentu dengan pendidikan. Negara yang maju mempunyai pendidikan yang baik karena dapat mencetak generasi penerus dengan sumber daya manusia berkualitas.

Kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan, hal ini bisa terlihat dari permasalahan-permasalahan yang masih banyak ditemui di lapangan dengan berbagai variasi masalah. Gambaran permasalahan pendidikan yang semakin rumit ditambah lagi perhatian pemerintah masih terasa kurang maksimal. Padahal dalam Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapai tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Contoh permasalahan yang ada dalam pendidikan yaitu kualitas siswa yang masih rendah, pengajar kurang professional, biaya pendidikan yang

(8)

mahal, dan bahkan kurikulum yang masih jauh dari harapan. Jika kualitas pendidikan saja masih rendah bagaimana menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas.

Permasalahan yang dihadapi pendidikan nasional khususnya pendidikan kejuruan saat ini adalah banyaknya lulusan SMK yang mempunyai kompetensi dibawah standar yang dibutuhkan dalam dunia usaha maupun dunia industri. Pendidikan kejuruan mencetak lulusan dalam rangka penyiapan tenaga kerja yang terlatih dan siap kerja (ready for use). Murniati dan Nasir (2009: 2) mengemukakan dalam kenyataan empirik, sekolah kejuruan belum mampu melaksanakan program pendidikan yang dapat memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman kepada peserta didik sehingga mereka belum mampu dan terampil dalam melakukan pekerjaan tertentu. Selain itu, berdasarkan data dari badan pusat statistik tingkat pengangguran untuk penduduk usia 15 tahun ke atas dari tahun 2012-2014 sebagai berikut (www.bps.go.id):

Tabel 1. Tingkat pengangguran penduduk usia 15 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2012-2014 (persen)

Pendidikan tertinggi yang ditamatkan

2012 2013 2014

Februari Agustus Februari Agustus Februari SD ke bawah 3,59 3,55 3,51 3,44 3,69 SMP 7,76 7,75 8,17 7,59 7,44 SMA 10,41 9,63 9,39 9,72 9,10 SMK 9,50 9,92 7,67 11,21 7,21 Diploma I/II/III 7,45 6,19 5,67 5,95 5,87 Universitas 6,90 5,88 4,96 5,39 4,31 (Sumber: www.bps.go.id) Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa sampai bulan Februari tahun 2014 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menempati posisi tertinggi

(9)

ketiga dengan jumlah pengangguran 7,21 persen. Lulusan siswa SMK yang diharapkan seharusnya mampu mempunyai ketrampilan yang memadai sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan dunia industri. Karena pendidikan kejuruan itu berorientasi pada industri, sehingga sekolah kejuruan dan industri memberikan sistem ganda pada suatu pekerjaan, yaitu sebagai tempat belajar dan sekaligus sebagai tempat bekerja (Helmut N & Eberhard S, 1983: 110). Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan agar jumlah pengangguran semakin berkurang karena SMK di tunjuk untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan agar dapat terjun langsung ke dunia kerja.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) teknologi dan industri yang dirancang sebagai penyelenggara pendidikan, dapat diidentikkan sama dengan sebuah industri. Keduanya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat lepas, karena SMK menciptakan lulusan yang siap untuk berkerja di industri. Sebagaimana disebutkan dalam PP No. 29/1990 pasal 3 tentang pendidikan menengah menyebutkan bahwa pendidikan menengah kejuruan mengutamakan dan menyiapkan siswa yang akan memasuki dunia kerja dan menumbuhkan sikap profesional dan berkualitas.

Salah satu indikator mutu dari sebuah SMK juga ditentukan oleh kelengkapan dan kualitas laboratorium atau bengkel pendidikan yang disediakan oleh sekolah. Menurut teori Prosser, beberapa faktor pendidikan kejuruan akan menjadi efektif apabila alat, mesin, dan tugas pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan lulusan dimana dia akan bekerja. Suasana praktik yang sesuai dengan lingkungan kerja industri akan membuat siswa berfikir,

(10)

berperasaan dan berperilaku seperti di dunia industri. Namun pada kenyataannya pembelajaran pendidikan kejuruan belum disesuaikan dengan standar-standar yang ditetapkan dunia industri serta masih memiliki kendala teknis dalam penyediaan alat-alat praktik sebagai sarana penting dalam mengembangkan kemampuan peserta didik.

Laboratorium atau bengkel yang terdapat di SMK perlu dikelola dengan baik. Pengelolaannya meliputi bagaimana sistem penataan dan perawatannya (maintenance) sehingga bengkel dapat digunakan oleh siswa secara optimal untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Tujuan dari perawatan dan penataan bengkel tersebut adalah agar dapat digunakan dengan cepat, akurat, relevan, aman, dan nyaman, sehingga dapat mendukung produktivitas kerja praktik, dan pembudayaan kerja efektif, efisien dan produktif. Jika sistem perawatan dan penataan bengkel dilakukan dengan baik maka bengkel tersebut dapat berfungsi secara optimal.

Hasil penelitian Paryanto (2008) yang dilakukan di bengkel jurusan pendidikan Teknik Mesin UNY prodi D3 menunjukkan bahwa; 1) hambatan yang dialami selama praktik karena masalah ketersediaan bahan praktik dan rendahnya kinerja mesin yang ada; dan 2) kelengkapan sarana praktik yang ada dalam kategori cukup. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa masalah pengelolaan bahan praktik, kinerja mesin yang ada, serta fasilitas bengkel perlu adanya pengelolaan yang efektif dalam membentuk kompetensi siswa dalam kegiatan pembelajaran praktik di bengkel secara optimal. Pengelolaan tersebut dapat berupa pengaturan bahan dan peralatan praktik, pengelolaan

(11)

perbaikan dan perawatan mesin/alat, serta pengeolaan sarana guna menciptakan lingkungan bengkel yang aman, nyaman dan efektif.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di SMK Islam Yogyakarta dan SMK Negeri 2 Pengasih pada bulan Agustus 2014 diketahui mayoritas manajemen bengkel yang ada termasuk dalam kategori sederhana. Temuan dilapangan didapat bahwa manajemen bengkel yang ada belum sesuai dan alat/mesin banyak yang rusak dan tidak terawat namun tetap saja dipaksakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dalam praktik. Banyaknya peralatan yang hilang dan tak terawat karena penerapan pengelolaan administrasi yang kurang. Jumlah kebutuhan bahan praktik juga menjadi kendala ketika bahan yang digunakan tidak sesuai dengan jumlah pemakaian dan kurangnya bahan yang digunakan untuk memenuhi praktik yang ada, sehingga pihak sekolah harus mengeluarkan dana tambahan untuk memenuhi kebutuhan siswa dalam praktik.

Selain itu, banyak sekali permasalahan yang ditemukan di bengkel diantaranya dalam pemanfaatan sebuah bengkel khususnya bengkel SMK yaitu; 1) belum adanya tindakan pengelolaan dan perawatan secara baik; 2) desain bengkel yang kurang baik; 3) instalasi listrik belum memenuhi standar; lingkungan kerja yang bising; 4) jumlah peralatan terbatas; 5) kurangnya penerapan dan kesadaran baik itu siswa maupun guru tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam bengkel. Padahal hal-hal tersebut bertujuan untuk kenyamanan, keamanan, dan keterjagaan alat baik itu bagi siswa, guru maupun pengguna bengkel lainnya. Kondisi bengkel yang kurang nyaman dan

(12)

aman dapat menambah resiko terjadinya kecelakaan dan membahayakan bagi pengguna bengkel.

Fasilitas belajar yang telah memadai tidak akan berarti jika tidak ditunjang oleh faktor siswa itu sendiri yang menggunakan fasilitas bengkel tersebut. Dari beberapa faktor yang timbul dari diri siswa adalah pemahaman siswa tentang manajemen bengkel. Manajemen bengkel memegang peran penting dalam mengelola dan mengembangkan bengkel khususnya bengkel pemesinan. Hal ini disebabkan karena dengan pemahaman siswa yang baik terhadap manajemen bengkel akan memunculkan sikap yang baik dalam melakukan praktik sehingga akan diperoleh prestasi belajar dalam bidang praktik baik pula. Begitu juga sebaliknya pemahaman yang kurang atau hanya sebagian tentang manajemen bengkel, dapat mengakibatkan prestasi belajar menurun. Untuk itu diperlukan suatu studi mengenai manajemen bengkel, agar dapat dikembangkan ke arah yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kualitas manajemen bengkel.

SMK sebagai penylenggara pendidikan dan pelatihan (diklat) dengan berbagai program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja salah satunya program keahlian Teknik Pemesinan. Struktur kurikulum yang ada pada SMK untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan dikemas dalam berbagai mata diklat yang dikelompokkan dan diorganisasikan menjadi tiga program, yaitu; normatif, adaptif, dan produktif. Salah satu program tersebut yang diungulkan dalam SMK adalah program produktif. Program produktif merupakan kelompok mata diklat yang bertujuan

(13)

membekali siwa agar memiliki kompetensi kerja sesuai dengan standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Berdasarkan Permendiknas Nomor 28 Tahun 2009 bahwa SMK Bidang Keahlian Teknologi dan Rekayasa, Program Keahlian Teknik Pemesinan terdiri dari 24 mata pelajaran dengan dasar kompetensi kejuruan terdiri dari 5 kompetensi dasar dan kompetensi kejuruan terdiri dari 17 kompetensi dasar.

Kompetensi kejuruan yang harus ditempuh siswa kelas XI pada semester tiga dan empat terdiri dari 7 kompetensi kejuruan, yaitu; 1) membaca gambar teknik; 2) melakukan pekerjaan dengan mesin bubut; 3) melakukan pekerjaan dengan mesin frais; 4) menggerinda pahat dan alat potong; 5) mengeset mesin dan program mesin NC/CNC (dasar); 6) melakukan rutinitas pengelasan; dan 7) auto CAD. Berdasarkan kompetensi kejuruan kelas XI, proporsi pembelajaran praktik di bengkel lebih besar dari pada proporsi pembelajaran teori kejuruan. Prestasi belajar kompetensi kejuruan dapat dilihat dari nilai siswa yang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75.

Nilai KKM ini ditetapkan dari hasil Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Penetapan KKM ini berdasarkan kemampuan rata-rata siswa, identifikasi indikator dan kemampuan daya dukung yang ada. Kondisi ini dapat dicapai jika proses pembelajaran diselenggarakan dengan baik salah satunya dengan manajemen bengkel yang baik dalam hal ini adalah bengkel pemesinan sebagai penunjang kelancaran proses pembelajaran. Berdasarkan hasil temuan di SMK Islam Yogyakarta bahwa hasil nilai dari laporan praktik

(14)

kopetensi kejuruan masih terdapat siswa yang belum memiliki kompetensi yang memadai pada keahlian tersebut karena di dapat 60% peserta didik yang tidak mencapai KKM. Dengan artian bahwa kompetensi kejuruan untuk bidang pemesinan belum tercapai dengan baik.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada pada pembelajaran di SMK Negeri 2 Pengasih dan SMK Islam Yogyakarta di atas, seyogyanya SMK sebagai lembaga pendidikan kejuruan mampu memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai serta efektif bagi peserta didik. Murniati dan Nasir (2009: 18) mengemukakan diantaranya pendidikan kejuruan akan efektif bila; 1) lingkungan tempat kerja merupakan replika lingkungan dimana ia bekerja; 2) latihan yang diberikan sama dalam pengoperasian, alat, mesin serta pekerjaannya kelak; 3) memberikan kesempatan untuk mengasah potensi siswa.

Kesimpulan serta kajian dari uraian yang telah dijelaskan diatas bahwa khususnya pembelajaran praktik dengan tujuan yang hendak dicapai memerlukan dukungan dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut perlu dikaji lebih dalam sehubungan dengan pengaruh faktor-faktor penyebab yang timbul dalam bengkel sekolah SMK. Sehubungan dengan itulah perlu adanya penelitian tentang “Pengaruhmanajemen bengkel terhadap keberhasilan siswa dalam praktik, studi kasus pada bengkel SMK program keahlian teknik pemesinan di Yogyakarta”.

(15)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, dapat di identifikasi sebagai berikut:

1. Belum sesuainya standar bengkel dengan standar bengkel yang ada di dunia industri.

2. Siswa belum memahami secara mendalam tentang manajemen bengkel 3. Keberhasilan siswa dalam praktik belum mendapatkan hasil yang

memuaskan dan masih dibawah KKM.

4. Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai yang menunjang kegiatan belajar siswa dalam praktik.

5. Rendahnya kesadaran guru dan siswa dalam mengelola bengkel.

6. Kurangnya pemeliharaan rutin, pemeriksaan/pengawasan secara berkala dan penanganan perbaikan mesin secara dini.

7. Kurangnya pemeliharaan dan pemeriksaaan fasilitas bengkel, serta banyaknya fasilitas yang rusak.

8. Kurangnya penerapan dan kesadaran baik itu siswa maupun guru tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam bengkel.

9. Belum adanya uraian tugas yang jelas dan pendelegasian tanggung jawab pemeliharaan sarana dan prasarana yang dimiliki setiap unit kerja.

10. Belum terciptanya sistem pengelolaan dokumentasi peralatan/sarana dan prasarana yang baik guna mendukung program pelaksanaan pada masing-masing unit kerja.

(16)

C. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu hanya pengaruh manajemen bengkel terhadap keberhasilan siswa dalam praktik ditinjau dari segi pengelolaan fasilitas bengkel, pengelolaan bahan dan peralatan praktik, perawatan dan perbaikan alat/mesin, dan pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada bengkel Pemesinan di SMK program keahlian Teknik Pemesinan yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

D. Rumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari pengelolaan fasilitas bengkel terhadap keberhasilan siswa dalam praktik?

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari pengelolaan bahan dan peralatan praktik terhadap keberhasilan siswa dalam praktik?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari perawatan dan perbaikan alat/mesin terhadap keberhasilan siswa dalam praktik?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terhadap keberhasilan siswa dalam praktik?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari manajemen bengkel ditinjau dari segi pengelolaan fasilitas bengkel, pengelolaan bahan dan peralatan praktik, pengelolaan perawatan dan perbaikan alat/mesin, dan pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara bersama-sama terhadap keberhasilan siswa dalam praktik?

(17)

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sangatlah penting dalam sebuah penelitian, dengan adanya tujuan penelitian maka akan diketahui secara umum maksud dan alur penelitian yang dibuat. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh manajemen bengkel terhadap keberhasilan siswa dalam praktik ditinjau dari segi pengelolaan fasilitas bengkel, pengelolaan bahan dan peralatan praktik, pengelolaan perawatan dan perbaikan alat/mesin, dan pengelolaan K3. Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara spesifik tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaruh pengelolaan fasilitas bengkel terhadap keberhasilan siswa dalam praktik.

2. Untuk mengetahui pengaruh pengelolaan bahan dan peralatan praktik terhadap keberhasilan siswa dalam praktik.

3. Untuk mengetahui pengaruh pengelolaan perawatan dan perbaikan alat/mesin terhadap keberhasilan siswa dalam praktik.

4. Untuk mengetahui pengaruh pengelolaan Keselamaan dan Kesehatan Kerja (K3) terhadap keberhasilan siswa dalam praktik.

5. Untuk mengetahui pengaruh manajemen bengkel ditinjau dari segi pengelolaan fasilitas bengkel, pengelolaan bahan dan peralatan praktik, pengelolaan perawatan dan perbaikan alat/mesin, dan pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara bersama-sama terhadap keberhasilan siswa dalam praktik.

(18)

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi yang dapat memberikan gambaran serta sebagai langkah awal dalam mengembangkan proses belajar-mengajar khususnya pada pembelajaran praktik dalam bengkel Pemesinan di SMK program keahlian Teknik Pemesinan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis;

a. Dengan adanya penelitian ini khususnya dalam pembelajaran praktik diharapkan menjadi dasar pengetahuan teoritis untuk mengembangkan penelitian-penelitian yang relevan pada masa yang akan datang.

b. Hasil penelitian ini juga dapat memperkaya pengetahuan penelitian dalam dunia pendidikan kejuruan khususnya dalam pengembangan pembelajaran praktik pada program keahlian teknik pemesinan di SMK. 2. Manfaat praktis;

a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dalam sistem manajemen bengkel dapat berkembang lebih pesat dan dapat menerapkan manajemen bengkel dengan baik di SMK mengingat pentingnya keberhasilan siswa dalam praktik.

b. Manajemen bengkel yang baik di bengkel SMK dapat menguntungkan baik pihak sekolah, guru, maupun siswa.

(19)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Kajian Teori

1. Pendidikan Kejuruan

Pendidikan merupakan proses dimana seseorang dapat mengembangkan sikap dan tingkah laku dengan tujuan agar dapat memperoleh dan mengalami perkembangan kemampuan baik itu sosial dan individu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah:

“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dalam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”

Pendidikan pada saat ini telah berkembang dengan berbagai macam sekolah yang ada baik itu formal maupun informal yang tidak lain bertujuan untuk mengembangkan potensi seseorang. Pengembangan potensi seseorang dapat dicapai salah satunya melalui pendidikan kejuruan yang dikenal dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pendidikan kejuruan merupakan salah satu bentuk sistem pendidikan yang ada di Indonesia yang bertujuan untuk menghasilkan manusia yang produktif, yakni manusia kerja, bukan manusia beban bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya (Soenaryo. dkk, 2002: 17).

(20)

Menurut PP 29 tahun 1990 pasal 1 ayat 3, pendidikan kejuruan adalah pendidikan pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Dalam Kurikulum 2004 dijelaskan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai salah satu institusi yang menyiapkan tenaga kerja dituntut mampu menghasilkan lulusan sebagaimana yang diharapkan oleh dunia kerja (2004: 15). Pernyataan tersebut senada dengan Clarke & Winch (2007: 9), yang mendefinisikan “Vocational education is confined to preparing young people and adults for working life, a process often regarded as of rather technical and practical nature”. Pernyataan lain tentang pendidikan kejuruan dikemukakan oleh Murniati dan Nasir (2009: 2) yaitu; pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang memberikan bekal dengan berbagai pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman kepada peserta didik sehingga mampu melakukan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan, baik bagi dirinya, bagi dunia kerja, maupun bagi pembangunan bangsanya.

Jadi berdasarkan pemaparan diatas, pendidikan kejuruan merupakan sekolah yang menyiapkan siswanya mengembangkan ketrampilan tertentu untuk terjun ke dunia industri sesuai dengan jenis pekerjaannya. Melalui pendidikan kejuruan diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang produktif dan membawa bangsa menjadi lebih berkembang baik itu di bidang industri maupun bidang ekonomi. Manusia yang produktif adalah yang memiliki ketrampilan kerja yang dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan

(21)

tuntutan ekonomi dan teknologi yang terus berkembang (Soenaryo. dkk, 2002: 18).

Selain itu, tujuan dari sekolah menengah kejuruan sebagaimana dijelaskan dalam Permen 22 Tahun 2006 yaitu:

“Pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta memiliki kemampuan mengembangkan diri.”

Pendidikan kejuruan merupakan upaya untuk mewujudkan peserta didik menjadi manusia yang produktif yang mampu mendongkrak perekonomian masyarakat. Pendidikan kejuruan tidak hanya membekali peserta didik dengan kemampuan untuk bekerja namun juga memberikan bekal hidup untuk masa depannya sebagai tenaga kerja. Sehingga pendidikan kejuruan sebagai penanggung jawab seyogyanya harus mampu menciptakan tenaga yang terampil dalam berbagai bidang.

2. Pembelajaran Praktik di SMK

Proses pembelajaran diadakan tentunya mempunyai suatu tujuan, yang secara umum yaitu agar kegiatan pembelajaran tidak melenceng dari kurikulum yang ada. Pembelajaran sendiri didefinisikan oleh Sugihartono, dkk. (2007: 81) yaitu; suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisasi dan

(22)

menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien dengan hasil optimal. Dengan adanya pembelajaran dapat membantu dan mempermudah proses kegiatan belajar siswa dalam menerima ilmu pengetahuan yang terencana dengan efektif dan efisien dengan harapan mendapatkan hasil yang optimal.

Berbagai macam pembelajaran yang berkembang dari tahun-ketahun berdampak pada banyaknya variasi pembelajaran yang ada di SMK salah satunya pembelajaran melalui praktik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1210) praktik adalah cara melaksanakan secara nyata apa yang tersebut dalam teori. Sedangkan menurut Helmut N & Eberhard S (1983: 119) menjelaskan bahwa praktikum adalah suatu kegiatan yang memberikan keanekaragaman peluang untuk melakukan penyelidikan dan percobaan ketrampilan. Pernyataan tersebut senada dengan Jeff E, at. al (1999: 67) yang mengemukakan “experimenting and practicing activities encourage participants to use new knowledge in a practical way”. Dengan pembelajaran praktik maka siswa akan mendapatkan pengalaman yang nyata sesuai dengan lingkungan kerja. Sehingga pembelajaran praktik merupakan pembelajaran yang memberikan kepada siswa pengalaman nyata dan ketrampilan secara sistematis dan terarah untuk dapat melakukan suatu ketrampilan sesuai dengan peralatan yang digunakan.

Pembelajaran praktik memberikan siswa kesempatan untuk dapat mengembangkan secara langsung ketrampilan yang telah dipelajarinya. Di

(23)

sisi lain pembelajaran praktik juga bertujuan untuk membuktikan pengetahuan teori yang didapat untuk dikembangkan melalui praktik. Seperti yang dikemukakan oleh Jeff E, at. al (1999: 67) yaitu “activities provide an opportunity for participants to practice and involve themselves in new behaviors, skills, and knowledge”. Yang artinya bahwa pembelajaran praktik memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih dan melibatkan diri untuk sesuatu yang baru dalam perilaku, ketrampilan, dan pengetahuannya. Pembelajaran praktik juga merupakan satu-satunya pembelajaran untuk membuktikan penguasaan pengetahuan dan ketrampilan siswa secara akurat dan kompeten dalam penyelesaikan suatu pekerjaan. Seperti yang dikemukakan Gerald B & Donal M (1966: 106) “the only way to become sure, accurate, and competent in the application of information to the solution of the working problems of an occupation is to practice the solution of real”.

Helmut N & Eberhard S (1983: 28) mengemukakan hal yang paling penting dalam pembelajaran praktik di bengkel atau dilaboratorium adalah penguasaan ketrampilan praktis, serta pengetahuan dan perilaku yang berkaitan dengan ketrampilan itu. Sehingga guru sebagai tenaga pengajar harus mampu mendorong dan memastikan siswanya dalam penguasaan ketrampilan, pengetahuan dan perilaku dalam pembelajaran praktik agar mendapatkan hasil optimal sesuai harapan. Dengan adanya pembelajaran praktik Helmut N & Eberhard S (1983: 119) mengemukakan bahwa; peserta didik memperoleh peluang untuk bekerja dengan perkakas dan

(24)

mesin-mesin, memperoleh pengalaman dengan bahan kerja serta membiasakan diri dengan perkembangan-perkembangan baru.

Berdasarkan pendapat tersebut, pembelajaran praktik akan membiasakan siswa dengan peralatan perkakas dan mesin-mesin yang ada dalam bengkel tempat siswa melakukan praktik. Sehingga siswa mendapatkan pengalaman yang nyata serta terbiasa menggunakan peralatan serta lingkungan yang ada di bengkel. Sebagai pendukung siswa dalam memperoleh pengalaman tersebut maka bengkel harus dilengkapi dengan peralatan-peralatan serta menciptakan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan teknologi di industri tempat siswa akan bekerja.

3. Bengkel Praktik Program Keahlian Teknik Pemesinan a. Definisi Bengkel

Bengkel atau laboratorium merupakan tempat yang menyediakan lingkungan untuk simulasi siswa dalam mengaplikasikan dalam bentuk praktik dari pengetahuan teori yang di dapat. Bengkel praktik juga dapat dikatakan tempat siswa mengembangkan ketrampilan praktik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 851) laboratorium/bengkel adalah ruangan yang dilengkapi dengan peralatan khusus untuk melakukan percobaan, penyelidikan dan sebagainya. Jeff E, at. al (1999: 3) mengemukakan “workshop is a place where work occurs, where tools are used to accomplish this work, where things may be repaired, and where the work may result in particular product or outcome”. Yang artinya bahwa

(25)

bengkel adalah tempat dimana terdapat suatu pekerjaan terjadi, adanya alat-alat yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan, hal-hal yang mungkin dapat diperbaiki, dan adanya pekerjaan yang dapat membuat atau menghasilkan produk tertentu.

Bengkel sebagai tempat mengembangkan ketrampilan siswa harus di dukung dengan kondisi bengkel sebaik mungkin. Jeff E, at. al (1999: 67) mengemukakan: “the workshop can provide a safe environment for participants to try out new things before applying them outside in the real word”. Yang artinya bengkel dapat menyediakan lingkungan yang aman bagi para siswa untuk mencoba hal-hal baru sebelum menerapkannya dalam dunia nyata yaitu dunia industri. Oleh karena itu, bengkel sekolah yang baik adalah bengkel yang mengadopsi dari industri. Dengan begitu maka bengkel akan menerapkan lingkungan, peralatan dan peraturan yang ada sama dengan industri. Dengan demikian siswa akan terbiasa dengan lingkungan industri, terbiasa dengan alat yang ada di industri, dan memahami peraturan-peraturan yang diterapkan di industri.

b. Persyaratan Pokok Bengkel Praktik

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai lembaga pendidikan diharuskan memiliki bengkel/laboratorium yang dilengkapi dengan fasilitas peralatan, mesin perkakas, sumber belajar dan bahan yang relevan dengan jenis pekerjaannya. Oleh karena itu, untuk pencapaian proses pembelajaran praktik perlu adanya fasilitas sebagai penunjang yang dibutuhkan selama praktik. Dalam Permendiknas No 40 tahun 2008 memuat standar minimal

(26)

untuk bengkel yang meliputi; 1) luas ruang bengkel pemesinan; 2) rombongan belajar; 3) daya tampung ruangan; 4) luas ruangan penyimpanan dan istruktur; 5) perabot ruang bengkel pemesinan; 6) media pembelajaran di ruangan bengkel; 7) perlengkapan ruang bengkel pemesinan.

Selain itu penentuan lokasi bengkel juga sangat menentukan kelangsungan hidup di masa yang akan datang. Pemilihan lokasi yang tepat berarti menghindari sebanyak mungkin seluruh aspek-aspek negatif dan mendapatkan lokasi dengan banyak aspek positif. Hery dan Fitri (2009: 135-136) menjelaskan pemilihan letak bengkel pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor; 1) lingkungan masyarkat; kedekatan dengan pasar; 3) tenaga kerja; 4) kedekatan dengan bahan dan penyuplai; 5) fasilitas dan biaya transportasi; 6) sumber daya alam; dan 7) tanah untuk perluasan.

Beberapa acuan berdasarkan Permendiknas Nomor 40 tahun 2008 disebutkan bahwa standar mengenai sarana dan prasarana adalah:

1) Lahan, meliputi;

a) Luas minimum dapat menampung 3 rombel; b) lahan terhindar dari potensi bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa; c) lahan terhindar dari gangguan-gangguan (pencemaran air, kebisingan, dan pencemaran udara).

2) Bangunan, meliputi;

a) Luas lantai bangunan dihitung berdasarkan jenis program keahlian dan besar rombel; b) bangunan memenuhi maksimum 30% luas

(27)

lahan selain lahan praktik; c) jarak bebas bangunan berdasarkan peraturan daerah; d) memiliki konstruksi yang stabil dan kukuh; e) dilengkapi dengan sistem protektif untuk mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan petir; f) mempunyai ventilasi udara dan pencahayaan yang sesuai; g) memiliki anitasi di dalam dan diluar bangunan; h) menggunakan bahan bangunan yang aman terhadap lingkungan; i) menyediakan fasilitas dan aksebilitas yang mudah, aman dan nyaman; j) bangunan mampu meredam getaran dan kebisingan; k) setiap ruangan memiliki pengaturan penghawaan yang baik; l) setiap ruangan memiliki jendela atau lampu penerangan; m) maksimum terdiri dari tiga lantai dengan dilengkapi tangga yang dapat menjamin keamanan dan kemudahan bagi pengguna; n) bangunan dilengkapi dengan sistem keamanan; o) dilengkapi instalasi listrik dengan daya minimum 2.200 watt; p) bangunan dapat bertahan minimum 20 tahun; q) bangunan harus dipelihara yang meliputi pemeliharaan ringan dan pemeliharaan berat; r) bangunan dilengkapi dengan izin mendirikan bangunan sesuai dengan undang-undang.

3) Kelengkapan sarana dan prasarana ruang praktik program keahlian teknik pemesinan, meliputi;

a) Ruang praktik Program Keahlian Teknik Pemesinan berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pembelajaran: pekerjaan logam dasar, pengukuran dan pengujian logam, membubut lurus,

(28)

bertingkat, tirus, ulir luar dan dalam, memfrais lurus, bertingkat, roda gigi, menggerinda-alat, dan pengepasan/pemasangan komponen; b) Luas minimum ruang praktik Program Keahlian Teknik Pemesinan adalah 288 m² untuk menampung 32 peserta didik yang meliputi: area kerja bangku 64 m², ruang pengukuran dan pengujian logam 24 m², area kerja mesin bubut 64 m², area kerja mesin frais 32 m², area kerja gerinda 32 m², ruang kerja pengepasan 24 m², ruang penyimpanan dan instruktur 48 m².

Permendiknas No 40 tahun 2008 merupakan acuan untuk kriteria bengkel SMK. Namun pada fakta dilapangan masih banyak bengkel SMK yang mengabaikannya, banyak yang berpendapat bahwa bengkel yang penting bisa untuk melaksanakan praktik siswa tanpa memperhatikan aspek-aspek penting di dalamnya seperti lingkungan bengkel, peralatan, serta manajemen bengkel. Murniati dan Nasir (2009: 18) mengemukakan diantaranya bahwa prinsip pendidikan kejuruan akan efisien bila lingkungan tempat belajar merupakan replika lingkungan dimana ia bekerja serta latihan yang diberikan mempunyai kesamaan dalam pengoperasian, alat dan mesin dengan pekerjaannya kelak. Jika demikian bagaimana siswa akan melakukan praktik dengan nyaman, aman dan efisien serta memperoleh hasil yang optimal sesuai dengan harapan sedangkan fasilitas yang ada kurang mendukung.

(29)

4. Manajemen Bengkel

Dalam suatu bengkel sekolah diperlukan sebuah manajemen yang bertujuan agar aktifitas yang ada dalam sebuah bengkel dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien. Menurut Ricky (2004: 27) manajemen adalah serangkaian aktifitas yang diarahkan pada sumber-sumber daya organisasi dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Sedangkan A. K Datta (2006: 14) mengemukakan “management is a social skill and the responsibility for planning, guiding, and integrating all activities of an enterprise, it involves: (a) the installation and maintenance of proper systems and procedures for adherence to plans, and (b) the guidance, supervision and integration of people at work”. Bahwa manajemen merupakan ketrampilan sosial dan tanggung jawab untuk merencanakan, membimbing, dan menerapkan semua kegiatan yang ada di bengkel. Manajemen dalam suatu perusahaan meliputi; 1) instalasi dan pemeliharaan sistem yang tepat dan prosedur ketaatan terhadap rencana yang akan dilaksanakan, dan 2) bimbingan, supervisi dan integrasi bagi seluruh pengguna di tempat kerja.

Jika harapan dari sekolah maupun bengkel berkeinginan memajukan kualitas terpenuhi dengan baik maka perlu adanya peningkatan secara terus-menerus dan terstruktur di berbagai aspek. Aspek tersebut salah satunya dengan peningkatan kualitas manajemen bengkel. Aktivitas dasar dari proses manajemen menurut Ricky (2004: 27) adalah perencanaan dan pengambilan keputusan (menentukan arah tindakan), pengorganisasian

(30)

(mengkoordinasikan aktivitas dan sumber daya), kepemimpinan (memotivasi dan mengelola orang), dan pengendalian (memonitoring dan mengevaluasi aktivitas.

Menurut teori Terry manajemen terdiri atas tindakan-tindakan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling). Proses ini merupakan proses yang paling sederhana dari sebuah manajemen, dan pada umumnya unsur-unsur yang dikelola terdiri atas 6 M (Man, Money, Material, Method, Machine, dan Moment), dan ada pula yang menambahkan unsur Marketing sehingga menjadi 7 M. Lingkup manajemen bengkel sekolah diantaranya; 1) pengelolaan fasilitas bengkel; 2) pengelolaan bahan dan peralatan bengkel; 3) pengelolaan perawatan dan perbaikan alat/mesin; 4) keselamatan dan kesehatan kerja (K3); 5) organisasi dalam bengkel; 6) pengelolaan dana kebutuhan.

Manajemen bengkel merupakan suatu bentuk pengelolaan yang bertujuan untuk kelancaran di dalam pelayanan praktik. Sebuah bengkel perlu diurus dan diatur sedemikian rupa agar dapat menyelenggarakan pelajaran praktik yang memuaskan (efektif dan efisien) yang didalamnya termasuk; 1) Pengorganisasian kelas untuk memecahkan permasalahan ketertiban bengkel, kebersihan, dan pemeliharaan alat-alat pelajaran praktik; 2) Penyelenggaraan tata kerja ruang alat/perkakas dan ruang bahan serta pemeliharaan alat; dan 3) Pemeliharaan perlengkapan-perlengkapan

(31)

dalam urutan pemakaian dan permintaan persediaan untuk pembelajaran, termasuk persediaan dalam pembuatan anggaran belanja.

Penerapan manajemen yang baik harus di publikasikan kepada pengguna agar mereka mengetahui informasi dalam bengkel. Salah satu diterapkan menggunakan peraturan atau tata tertib baik tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan dalam penggunaan bengkel antara lain; 1) mentaati peraturan yang ada di bengkel; 2) mengisi formulir peminjaman alat dan penggunaan alat; 3) menggunakan alat keselamatan kerja, 4) memperhatikan keselamatan kerja; 5) mengembalikan alat pada tempatnya setelah pemakaian; 6) tidak merokok di dalam ruangan; 7) mematikan mesin dan lampu serta alat-alat lainnya setelah selesai menggunakan; 8) menjaga kebersihan bengkel; 9) menggunakan alat sesuai dengan fungsinya; 10) membersihkan dan merapikan alat/mesin setelah digunakan.

5. Pengelolaan Fasilitas Bengkel

Fasilitas pendidikan umumnya mencangkup semua peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan untuk menunjang proses pembelajaran dalam pendidikan. Secara umum fasilitas pendidikan dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu; tanah (site), bangunan (building), perlengkapan (equipment), perabotan sekolah (furniture). Menurut Rick B. et al (2003: 12) mendefinisikan;Facility management is therefore about empowering people through provision of infrastructure that adds value to the processes that they support. Yang artinya pengelolaan

(32)

fasilitas merupakan pemberdayaan masyarakat yaitu pengguna fasilitas bengkel melalui penyediaan infrastruktur yang memberikan nilai tambah terhadap proses yang digunakan.

Dengan adanya fasilitas maka dapat menunjang untuk mempermudah kegiatan pembelajaran yang diadakan di bengkel sekolah. Tujuan dari dari pengelolaan fasilitas seperti ang dijelaskan oleh Rick, B. et al (2003: 12) bahwa “Facility managers are charged with the responsibility of ensuring that the infrastructure is available, operational, strategically aligned, safe and sustainable. Facilities must encourage high productivity through a continual search for ways to improve quality, reduce cost and minimize risk.”. Yang artinya dengan adanya pengelolaan fasilitas yang memastikan infrastruktur selalu siap dan tersedia, siap digunakan, selaras, aman dan secara berkelanjutan. Sehingga dapat mendorong produktifitas yang tinggi dan melakukan evaluasi secara terus menerus untuk meningkatan kualitas, mengurangi biaya, dan meminimalisir resiko.

Fasilitas yang memadai dalam sebuah bengkel sekolah tentunya mempunyai persyaratan minimal yang harus terpenuhi. George S (1995: 25-26) menyebutkan lingkungan fisik dan peralatan yang dibutuhkan dalam melakukan praktik di bengkel adalah;

1) kesesuain dengan daerah, Negara bagian, dan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja; 2) ketentuan untuk pembuangan, ventilasi, suara dan pencahayaan; 3) pengaturan logis untuk instruksi dan manajemen bengkel; 4) fasilitas aksesibilitas bagi siswa cacat; 5) ruang penyimpanan untuk peralatan, bahan pembelajaran, dan persediaan; 6) pola arus lalu lintas yang aman; 7) kesamaan dengan bengkel sesuai dengan jenis pekerjaan; 8) peralatan dan perlengkapan yang memadai untuk tugas-tugas yang

(33)

dilaksanakan; 9) tidak membedakan jenis kelamin dan ras; 10) ketersediaan bahan ajar yang sesuai; 11) pengaturan suara dan cahaya untuk menggunakan multimedia; 12) ruang untuk pusat kerja instruktur; 13) ruang loker untuk semua siswa; 14) kegunaan sambungan yang memadai seperti gas, air, tenaga dll.

Menciptakan lingkungan fisik dengan memaksimalkan fasilitas bengkel yang ada di sekolah melalui pengaturan letak yang baik dan benar membutuhkan pengelolaan ruangan (space management). Pengelolaan ruangan mengatur arus lalu lintas dalam bengkel yang menghubungkan antara tempat atau ruang satu dengan yang lainnya yang setiap jarak harus dilengkapi dengan pencahayaan yang cukup, ventilasi, pendingin, distribusi energi, komunikasi antar ruang, serta layanan lainnya yang dibutuhkan. Tujuan dari pengaturan layout pada fasilitas yang ada sebagaimana dijelaskan oleh Hery dan Fitri (2009: 143) adalah; 1) memaksimalkan peralatan bengkel; dan 2) meminimalkan kebutuhan tenaga kerja. Selain itu juga untuk meminimalkan biaya pengangkutan, memudahkan pengawasan, mempercepat, mempermudah dan memperlanjar arus bahan, dapat melakukan pekerjaan secara efisien, serta penggunaan ruangan yang efisien.

Penataan ruangan yang baik dalam bengkel mempunyai beberapa persyaratan seperti yang disebutkan oleh George S (1995: 29) enam jenis yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruangan, yaitu; 1) ruang dasar/pokok, yang meliputi meja tulis, peralatan, meja kerja dengan pekerjaan yang memadai, serta ruang pelayanan; 2) ruang pendukung dan tambahan daerah, meliputi; ruang simulasi, lemari etalase untuk

(34)

menyimpan barang yang telah jadi, ruangan untuk medis/UKS, serta ruang tunggu; 3) garis lalu lintas untuk siswa, meliputi; bahan dan peralatan; 4) area penyimpanan, yaitu sepuluh sampai lima belas persen dari area instruksional; 5) ruang fabrikasi atau perakitan, untuk pengelasan dan pengerjaan logam, manufaktur; serta 6) laboratorium pusat sebagai sumber belajar.

Lingkungan fisik yang ada dalam sebuah bengkel tidaklah lain untuk meningkatkan kualitas baik bagi siswa maupun guru. Dengan adanya lingkungan tersebut maka dapat menjadikan nilai tambah sebagai ketercapaiannya pembelajaran serta dapat menguntungkan bagi sekolah itu sendiri. Di sisi lain keuntungan dalam pengelolaan fasilitas bengkel adalah; 1) memperpanjang umur ekonomis barang; 2) agar proses berjalan efektif dan optimal; 3) kualitas barang terjaga; 4) meminimalisir kemungkinan kerusakan; 5) mengefektifkan aliran keluar masuk barang; serta 6) meminimalisir biaya pemeliharaan.

6. Pengelolaan Bahan dan Peralatan Praktik

Pengelolaan bahan dan peralatan praktik dalam sebuah bengkel merupakan hal yang penting, untuk itu perlu adanya pengelolaan. Pengelolaan bahan merupakan sistem pengelolaan bahan untuk menyediakan kebutuhan bahan siswa yang dibutuhkan dalam melaksanakan praktik. Jika terjadi kerusakan alat maupun kurangnya bahan dapat menghambat kontinuitas proses yang berjalan dan dapat mengakibatkan

(35)

kehilangan keuntungan peluang produksi. Pengelolaan pmeliharaan bahan dan peralatan yang dilakukan secara efektif akan membuat pekerjaan produksi menjadi efektif pula. Pengelolaan tersebut jika dilakukan secara teratur dan efektif akan menunjang dan menjamin kelancaran proses produksi dalam sebuah bengkel.

Bahan praktik (material) dalam sebuah bengkel membutuhkan pengelolaan yang praktis dan efisien. A. K Datta (2006: 9) mendefinisikan pengelolaan bahan (material menegement) yaitu “process of management which coordinates, supervises, and executes the tasks associated with the flow of material to, through, and out of an organization in an integrated fashion”. Yang artinya pengelolaan bahan merupakan bagian dari pengelolaan yang mengkoordinasikan, mengawasi, dan melaksanakan tugas-tugas yang terkait dengan bahan melalui organisasi yang terintegrasi.

Sedangkan peralatan praktik merupakan alat yang digunakan sebagai penunjang kegiatan siswa untuk membantu melakukan pekerjaan praktik. Kedua hal tersebut harus dikelola secara baik agar praktik berjalan dengan cepat dan efisien. Sistim yang ada di bengkel dalam pengelolaan bahan dan peralatan praktik harus dapat: 1) meminimalisir kehilangan alat dan bahan, 2) memberikan umur penggunaan alat, 3) mengajarkan siswa untuk bertanggung jawab, dan 4) menjadikan bengkel rapi dan teratur.

Bengkel yang baik dalam pengelolaan bahan dan peralatan dapat memberi keuntungan baik bagi sekolah, instruktur dan siswa. Untuk itu hal-hal yang mencangkup pengelolaan bahan dan peralatan praktik (George S,

(36)

1995: 61-68) adalah; 1) Penyimpanan dan pengontrolan bahan dan peralatan, 2) Penyediaan dan pengendalian bahan dan peralatan, 3) Persediaan bahan dan peralatan, dan 4) Pelayanan bahan untuk siswa. Pengelolaan bahan dan peralatan tersebut diatas tidaklah lain bertujuan untuk meminimalisir biaya, dan pengorganisasian bahan yang digunakan untuk praktik siswa.

Bahan dan peralatan perlu dikelola dengan baik, oleh karena itu perlu adanya metode penyimpanan serta peletakan yang baik demi kelancaran dan keterjagaan bahan dan peralatan dalam bengkel. George S (1995: 61-62) menjelaskan metode penyimpanan untuk bahan dan peralatan yaitu; 1) bahan dan peralatan yang sering digunakan harus diletakkan dekat dengan area kerja; 2) bahan dan peralatan yang sering digunakan harus diletakkan dan diatur untuk dapat diakses dengan visual dengan cepat dan untuk pemeriksaan; 3) bila memungkinkan, peralatan portable dan jarang digunakan harus dikeluarkan untuk siswa hanya pada awal periode lab.

Bahan dan peralatan perlu disimpan di tempat yang aman, yaitu tempat yang dibuat sedemikian rupa untuk peletakan bahan maupun alat. Bahan dan peralatan yang disimpan dengan baik akan membuat awet dan selalu terjaga dari kerusakan maupun kehilangan. George S (1995: 62) menyebutkan bahan dan peralatan harus disimpan pada tempat-tempat tertentu, yaitu; 1) papan terbuka atau yang dapat dikunci yang dapat dipasang di dinding; 2) ruang penyimpanan yang tersedia di bengkel; 3) ruang pusat pemasok yang mana melayani berbagai kegiatan di bengkel

(37)

kerja; 4) wadah alat/perlengkapan yang berisi satu set lengkap alat yang sering digunakan. Bahan dan peralatan ditempatkan dekat dengan area kerja bertujuan agar selalu siap digunakan. Selain itu pengelolaan bahan dan peralatan yang baik dan efisien dapat membuat siswa terhindar dari bahaya yang timbul dari bahan dan peralatan. Pengelolaan bahan dan peralatan praktik merupakan bagian dari manajemen bengkel. Bagaimana bahan dan peralatan dalam suatu bengkel dapat dikelola dengan baik dan efektif sangat ditentukan oleh beberapa faktor seperti pemaparan diatas yang saling berkaitan satu dengan lainnya.

7. Pengelolaan Perawatan dan Perbaikan Alat/Mesin

Pemanfaatan bengkel yang baik tentu membutuhkan adanya tindakan perawatan dan pengelolaan secara benar. Perawatan dan perbaikan alat/mesin merupakan tanggung jawab seluruh warga sekolah baik itu guru, instruktur, bahkan siswa itu sendiri. Perawatan/pemeliharaan menurut David E, et. al (1998: 1) di definisikan sebagai, “the process of maintaining or being maintained” yang artinya pemeliharaan atau dipelihara. Sehingga perawatan perupakan proses pemeliharaan atau dipelihara baik itu mesin maupun alat. Peralatan yang akan dioperasikan dalam praktik itu harus benar-benar dalam kondisi yang prima yaitu siap pakai, bersih beroperasi dengan baik, tidak rusak, serta dalam keadaan terkalibrasi.

Keterjagaan mesin dan peralatan selalu dalam kondisi aman dan siap pakai sangatlah penting. Kondisi mesin dan peralatan yang tidak

(38)

dikelola sebagai contoh banyak mesin yang rusak, peralatan banyak yang hilang serta mesin tidak lagi beroprasi secara akurat dan aman, hal ini akan menjadi permasalahan bagi para pengguna khususnya siswa. Oleh karena itu, David E, et. al (1998: 1) mengemukakan “maintenance can be defined as that which either retains mechanical plant and equipment in a safe operationally efficient condition or, where plant items have broken down, restores them to safe operational status”. Yang artinya pemeliharaan merupakan kegiatan yang mempertahankan peralatan mekanis (yaitu mesin dan peralatan) dan perlengkapan, atau memperbaiki yang rusak dalam kondisi operasional yang efisien, aman dan siap pakai.

Kenyamanan dan keamanan pengguna bengkel serta keterjagaan alat dapat mengurangi resiko terjadinya kecelakaan, memperpanjang usia pemakaian dan juga peralatan dalam kondisi selalu siap pakai. Perawatan dan perbaikan yang buruk dapat menjadikan resiko keamanan, kehilangan waktu, dan menurunnya kualitas pekerjaan yang diproduksi. Keith (2004: 6-7) menyebutkan tujuan dari pemeliharaan dan perawatan adalah; 1) mengoptimalkan ketersediaan mesin/alat; 2) mengoptimalkan kinerja mesin/alat; 3) memaksimalkan pemanfaatan dari sumber daya pemeliharaan; 4) mengoptimalkan umur peralatan; 5) meminimalisir persediaan suku cadang; 6) kemampuan untuk bereaksi dengan cepat.

Mesin/alat dan perlengkapan walapun masih dalam keadaan prima, namun tetap saja membutuhkan pemeliharaan agar kualitas mesin/alat tetap terjaga. Jenis pemeliharaan (maintenance) menurut Keith (2004: 8-10) ada

(39)

tiga jenis, yaitu; 1) peningkatan pemeliharaan (maintenance improvement); 2) pemeliharaan preventif (preventive maintenance); 3) pemeliharaan korektif (corrective maintenance). David E, et. al (1998: 29-30) mengemukakan lima unsur kunci pemeliharaan, yaitu:

a. Periodic servicing (servis berkala), meliputi; penggantian oli, pelumasan, pembersihan umum, pembersihan kontak elektrik, mengkalibrasi dan lain-lain.

b. Component replacement (penggantian komponen), meliputi; penggantian filter oli secara berkala jika efisiensi mekanis mesin harus dipertahankan. c. Minor repair (perbaikan kecil), meliputi; perbaikan yang membutuhkan

pengelasan seperti roda gigi.

d. Overhaul (perombakan mesin), meliputi; pergantian komponen utama atau komponen inti dalam mesin berdasarkan umur penggunaan mesin. e. Record keeping (pencacatan data), pencatatan pada poin-poin

sebelumnya yang penting untuk memastikan ketersediaan komponen dan kontrol keuangan dapat dipantau dan mesin dapat diperbaiki dengan tepat dan cepat.

Pemeliharaan alat atau mesin yaitu menjaga peralatan yang tersedia dalam bengkel untuk mencegah kerusakan, bukan merawat atau memperbaiki mesin setelah terjadi kerusakan. Oleh karena itu, menurut George S (1955: 74) pemeliharaan yang harus ada dalam sebuah bengkel meliputi; 1) melakukan pemeriksaan peralatan secara berkala, 2)

(40)

melakukan pelayanan kebutuhan, 3) melakukan penggantian komponen dan peralatan secara berkala, dan 4) pembuatan laporan.

8. Pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang harus ada dalam sebuah bengkel sekolah. Kecelakaan dan penyakit kerja dalam bengkel tidak hanya merugikan untuk pengguna saja tetapi juga pihak sekolah baik secara langsung maupun tak langsung. Phil & Liz (2008: 8) mengemukakan “health and safety is about preventing people from being harmed at work, by taking the right precautions and by providing a satisfactory working environment”. Yang artinya K3 adalah tentang mencegah orang dari yang dirugikan di tempat kerja, dengan mengambil tindakan pencegahan yang tepat dan dengan menyediakan lingkungan kerja yang memuaskan

Tujuan dari K3 secara umum tidaklah lain untuk mencegah kecelakaan dan dapat merugikan baik bagi orang itu sendiri maupun pihak sekolah. Lebih lanjut Charles (2003: 33) mengemukakan tujuan dari K3 adalah: 1) untuk mengurangi kecelakaan, melalui upaya kerja sama, dengan menghilangkan sebanyak mungkin bahaya di tempat kerja; 2) untuk mengurangi jumlah kecelakaan dan keluhan kesehatan terkait banyaknya pekerja yang diajukan ke badan hukum tanpa melanggar hak federal dan negara buruh; 3) untuk meningkatkan partisipasi pekerja dalam semua program keselamatan dan kesehatan; 4) untuk mempromosikan pelatihan,

(41)

menghindari, dan pencegahan bahaya kerja; 5) untuk membangun jaringan komunikasi lain dimana pekerja dapat menyuarakan keprihatinan mereka mengenai potensial bahaya. Dengan menciptakan tempat dan dengan menyediakan tempat kerja yang nyaman akan membuat lingkungan menjadi aman dan terhindar dari resiko yang tidak diinginkan.

Keselamatan dalam bekerja tidak hanya menerapkan peraturan serta tata tertib yang telah dibuat, akan tetapi membutuhkan organisasi penanggung jawab sebagai pengelola dan memantau jalannya K3 dalam bengkel. Phil & Lis (2008 :46) mengemukakan penanggung jawab utama K3 yaitu; 1) mengelola pekerjaan sehingga aman; 2) untuk menunjuk seseorang untuk memberikan bantuan kesehatan dan keselamatan; 3) memberikan pengawasan yang memadai; 4) memberikan informasi, instruksi dan pelatihan; 5) memantau kinerja kesehatan dan keselamatan.

Bengkel atau tempat kerja harus dalam keadaan bersih, nyaman, dan aman. Phil & Lis (2008: 90-92) mengemukakan untuk menjadikan tempat kerja bersih aman dan nyaman mempunyai kriteria sebagai berikut:

a. Pemeliharaan (maintenance), tempat kerja dan peralatan harus terawat dan terjaga dengan baik agar dapat bekerja dengan efisien.

b. Ventilation, adanya ventilasi yang cukup untuk sirkulasi udara dalam bengkel.

c. Temperature control, jika ruangan yang digunakan untuk jangka waktu yang lama maka pengontrol suhu dibuat senyaman mungkin dengan mempertahankan suhu selama jam kerja (biasanya 160C/16.80F). Selain

(42)

itu adanya termometer suhu untuk mengukur suhu ketika jam kerja. Akses ke ruang istirahat harus disediakan ketika kondisi tidak nyaman terjadi dan tidak dapat dihindari.

d. Pencahayaan (lighting), dalam suatu tempat kerja sedapat mungkin harus ada pencahayaan alami yang baik. Pencahayaan darurat harus tersedia dimana terjadi suatu kegagalan pencahayaan normal yang dapat menyebabkan bahaya. Pencahayaan harus dapat mencukupi area bengkel sehingga orang dapat bergerak disekitar bengkel dengan aman. Pencahayaan yang dapat menyilaukan mata harus dihindari.

e. Kebersihan (cleanliness), tempat kerja seperti dinding, lantai serta perabotan lainnya harus dijaga agar tetap bersih.

f. Space, dalam sebuah bengkel harus terdapat ruang kosong dengan ketinggian diatas 3 meter atau lebih sehingga walaupun dalam ruangan terdapat mesin/alat namun masih tersisa untuk bergerak dengan mudah. g. Well designed workstations, area bengkel perlu di desain dengan baik

dan cocok untuk pekerja dan pekerjaan tertentu. Untuk itu perlu adanya penyediaan tempat duduk yang baik untuk setiap pekerjaan yang harus dilakukan dengan duduk dan harus ada ruang yang cukup disekitar area bengkel agar bekerja dengan aman.

h. Safe floors, lantai yang aman disesuaikan dengan lingkungan pekerjaan yang ada.

i. Danger of falling, untuk daerah-daerah yang rawan dan dapat menyebabkan kecelakaan kerja perlu adanya peringatan atau

(43)

rambu-rambu sebagai contoh lantai yang licin yang dapat menyebabkan terpeleset dan jatuh perlu adanya peringatan.

j. Suitable windows, menandai jendela dan pintu yang memakai kaca yang memungkinkan dilewati untuk berjalan.

k. Safe traffic routes, adanya rute yang aman dan pengaturan untuk pejalan kaki, mesin dan kendaraan di tempat kerja.

l. Safe escalator (and moving roadways), bengkel yang menyediakan eskalator maupun menyediakan jalan yang dapat bergerak harus berfungsi dengan aman. Perangkat keselamatan dan pengaturan pemberhentian darurat juga harus disediakan.

m. Good welfare facilities, adanya fasilitas penunjang lainnya yang dapat mendukung siswa dalam praktek seperti; toilet, tempat cuci tangan, kamar ganti, dan lain-lain.

Bengkel yang nyaman, aman, dan efektif sangatlah penting dilakukan khususnya untuk kepentingan bagi penggunanya, untuk itu perlu adanya pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja. Pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja yang dikemukakan oleh Jeremy S (2006: 27-29) terdiri dari;

a. Planning, meliputi; menerapkan pedekatan sistematis untuk metode penilaian resiko, pemilihan metode yang tepat tentang pengendalian resiko untuk meminimalisir resiko kecelakaan, dan menetapkan prioritas dan mengembangkan standar kinerja yang baik.

(44)

b. Organizing, meliputi; melibatkan seluruh pengguna bengkel dalam melaksanakan pengendalian resiko dan memutuskan tindakan pencegahan dan perlindungan serta menerapkan persyaratan di tempat kerja, membangun sarana yang efektif untuk berkomunikasi dan berkonsultasi pada tempat-tempat yang beresiko timbulnya kecelakaan kerja, pemberian informasi yang memadai, instruksi dan pelatihan serta evaluasi bagi penanggung jawab K3.

c. Control, meliputi; memperjelas tanggung jawab keselamatan dan kesehatan kerja dan memastikan bahwa kegiatan setiap orang terkoordinasi dengan baik, memastikan semua orang mengerti dengan tanggung jawab masing-masing dengan jelas apa yang harus mereka lakukan untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, pengaturan standar penilaian kinerja terkait dengan tanggung jawab masing-masing, memastikan adanya pengawasan yang memadai dan tepat, khususnya bagi mereka yang sedang belajar dan yang baru untuk bekerja.

d. Monitoring, meliputi; memiliki rencana dan membuat pemeriksaan rutin yang memadai dan memeriksa untuk memastikan bahwa langkah-langkah pencegahan dan perlindungan berada di tempat dan efektif, secara nyata menyelidiki langsung dan menyelidiki penyebab yang menyebabkan kecelakaan kerja.

e. Review, meliputi; menetapkan prioritas tindakan perbaikan yang diperlukan yang ditemukan sebagai hasil pemantauan untuk memastikan

(45)

pengambilan tindakan yang sesuai, meninjau secara berkala keseluruhan sistem pengelolaan kesehatan dan keselamatan kerja.

Pencegahan lebih baik dari pada mengobati, dalam sebuah bengkel jangan sampai terjadi kecelakaan yang dapat menciderai penggunanya. Secara umum penyebab kecelakaan di tempat kerja (Putut, 2005: 1) adalah; kelelahan (fatigue), kondisi tempat kerja (environmental aspects) dan pekerjaan yang tidak aman (unsafe working condition), serta kurangnya penguasaan pekerja terhadap pekerjaannya disebabkan kurangnya training, dan karakteristik pekerjaan itu sendiri. Oleh karena itu, erlu adanya penanganan melalui pencegahan terkait keselamatan kerja di dalam sebuah bengkel.

Tindakan pencegahan kecelakaan kerja sendiri menurut Charles (2003: 6) terdiri dari tiga “Es” meliputi; 1) Engineering (mesin), kesadaran akan keselamatan kerja saat merancang peralatan/mesin K3 yang dibutuhkan; 2) Education (pendidikan), pelatihan untuk pengguna bengkel dalam prosedur keselamatan kerja dan cara yang aman melakukan pekerjaan mereka; dan 3) Enforcement (penegakan), aturan dan kebijakan harus ketat jika ingin mencapai tempat kerja yang aman.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lincoln, Nebraska Safety Counsil 1981 (Charles, 2003: 36-37) yang dilakukan pada 143 perusahaan di setiap bangsa menemukan fakta sebagai berikut:

(46)

Table 2. Effectiveness of safety and health program findings

Fakta Pernyataan Temuan

1 Tidak mempunyai anggaran untuk K3 43% lebih kecelakaan 2 Tidak ada pelatihan untuk pekerja baru 52% lebih kecelakaan 3 Tidak adanya pelatihan K3 59% lebih kecelakaan 4 Tidak ada pelatihan khusus untuk

pengawas 62% lebih kecelakaan

5 Tidak melakukan pemeriksaan K3 40% lebih kecelakaan 6 Program K3 tidak tertulis dibandingkan

dengan perusahaan yang telah menerapkan program K3 tertulis

106% lebih kecelakaan 7 Yang menggunakan perekam, tidak

membuat K3 sendiri 43% lebih kecelakaan 8 Tidak ada program K3 tertulis 130% lebih kecelakaan 9 Tidak ada panitia K3 untuk karyawan 74% lebih kecelakaan 10 Tidak ada anggota organisasi K3 yang

professional 64% lebih kecelakaan

11 Tidak ditetapkan sistem untuk

menyadari K3 yang telah dilakukan 81% lebih kecelakaan 12 Tidak ada dokumentasi/pemeriksaan

laporan kecelakaan 122% lebih kecelakaan 13 Pengawas tidak bertanggung jawab

tentang K3 39% lebih kecelakaan

14 Top manajemen tidak mepromosikan

kesadaran K3 470% lebih kecelakaan (Sumber: Charles, 2003: 36-37) Oleh karena itu, berdasarkan tabel diatas perlu adanya perhatian tentang keselamatan dan kesehatan kerja khususnya dalam bengkel kerja. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan keselamatan kerja di bengkel kerja praktik yaitu: 1) kelengkapan peralatan keselamatan kerja; 2) adanya promosi keselamtan kerja bagi semua pengguna bengkel; terciptanya lingkungan kerja yang aman; 3) adanya pelatihan bagi siswa baru; 4) adanya pemeriksaan K3 secara rutin dan terstruktur; 5) adanya rambu-rambu K3 secara tertulis; 6) adanya dokumentasi dan laporan kecelakaan kerja; 7) adanya supervisor K3 yang dapat mempertanggung

(47)

jawabkan; 8) adanya pengelolaan manajemen yang ahli K3; 9) adanya aturan dan kebijakan yang ketat dalam K3.

9. Keberhasilan Siswa dalam Praktik a. Keberhasilan Siswa

Keberhasilan dalam pembelajaran merupakan harapan dan tujuan baik itu guru, sekolah, maupun orang tua. Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan terhadap kualitas hasil belajar. Untuk mengetahui keberhasilan kualitas hasil belajar siswa maka perlu adanya evaluasi, yang bertujuan untuk mengukur sejauh mana pemahaman siswa. Keberhasilan dalam pembeajaran mengandung makna ketuntasan dalam belajar dan ketuntasan dalam proses pembelajaran. Keberhasilan siswa belajar merupakan tercapainya kompetensi yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap, atau nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Diktendik, 2008: 4). Patokan dari keberhasilan siswa mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar serta indikator yang terdapat pada kurikulum.

Kriteria keberhasilan adalah patokan ukuran tingkat pencapaian prestasi belajar yang mengacu pada kompetensi dasar dan standar kompetensi yang ditetapkan yang mencirikan penguasaan konsep atau ketrampilan yang dapat diamati dan diukur (Ditendik, 2008: 4). Keberhasilan pembelajaran dapat diwujudkan dengan prestasi belajar yang di dapat selama proses pembelajaran. Prestasi belajar merupakan hal yang

(48)

tidak dapat dipisahkan dari aktifitas belajar, karena aktifitas belajar merupakan proses sedangkan prestasi merupakan hasil dari kegiatan belajar. Sebagaimana dijelaskan oleh Ditendik (2008: 4) menyebutkan bahwa secara umum kriteria keberhasilan pembelajaran adalah:

1) keberhasilan peserta didik menyelesaikan serangkaian tes, baik tes formatif, tes sumatif, maupun tes ketrampilan yang mencapai tingkat keberhasilan rata-rata 60%; 2) setiap keberhasilan tersebut dihubungkan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan oleh kurikulum, tingkat ketercapaian kompetensi ini ideal 75%; dan 3) ketercapaian keterampilan vokasional atau praktik bergantung pada tingkat resiko dan tingkat kesulitan. Ditetapkan idealnya sebesar 75 %.

Dari pendapat diatas, keberhasilan peserta didik dapat di ukur menggunakan serangkaian tes yang dihubungkan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Tes merupakan metode pengukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana pemahaman maupun penguasaan siswa terhadap materi yang telah diberikan. Hasil akhir dari tes dapat dikatakan sebagai prestasi belajar siswa. Sebagaiman dikatakan oleh Tohirin (2006: 151), yang mengemukakan bahwa pestasi belajar adalah apa yang telah dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar. Tingkat pemahaman dalam memperoleh informasi yang ditangkap siswa sebagai hasil akhir dapat di sebut prestasi belajar.

Selain itu Tohirin (2006: 151) mengemukakan pencapaian prestasi belajar atau hasil belajar siswa merujuk kepada aspek-aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (tingkah laku). Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan, karena merupakan satu kesatuan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar

(49)

merupakan hasil akhir dari aktifitas belajar siswa yang mencangkup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor setelah mengikuti proses belajar. Pengukuran dari keberhasilan siswa dalam praktik dapat diwujudkan dengan hasil prestasi siswa yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa.

Dalam penilaian ketrampilan Gerald B & Donal M (1966: 122-123), menyebutkan unsur-unsur yang digunakan untuk penilaian ketrampilan adalah; 1) kualitas hasil pekerjaan dalam menyelesaian tes (ukuran penilaian dilihat dari akurasi, penyelesaian, penampilan atau tidak adanya kesalahan yang terlihat dalam proses pengerjaan); 2) ketrampilan dalam menggunakan mesin dan peralatan; 3) kemampuan untuk menganalisis pekerjaan dan merencanakan tahap-tahap dari mulai mengerjakan sampai akhir; 4) kecepatan dalam mengerjakan; 5) kemampuan untuk membentuk pertimbangan kerja melalui penerapan informasi; 6) kemampuan untuk membaca diagram, gambar, symbol teknik, atau buku panduan.

b. Faktor yang dapat Mempengaruhi Keberhasilan Siswa dalam Praktik

Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam pembelajaran dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Slameto (2010: 71) mengemukakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran adalah:

1) Faktor intern, yang meliputi;

Gambar

Tabel  1.  Tingkat pengangguran  penduduk  usia  15  tahun  keatas  menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2012-2014 (persen) Pendidikan tertinggi
Table 2. Effectiveness of safety and health program findings
Tabel 3. Daftar data pokok SMK Program Keahlian Teknik Pemesinan
Tabel 4. Daftar sampel penelitian pada SMK setiap Kabupaten
+4

Referensi

Dokumen terkait

Masalah- masalah LIngkungan Tatap muka, diskusi dan penugasan 1,2 6,7 Memahami konsep dasar sumberdaya alam Memahami masalah- masalah yang terkait dengan sumberdaya alam

Peningkatan investasi yang diarahkan pada peningkatan usaha mikro dan kecil khususnya di sektor primer adalah dengan merestrukturisasi dan merevitalisasi pembiayaan. Dengan

bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a, dan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

PKPP diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan mempunyai kompetensi seperti yang ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku serta dapat dilaksanakan

Perilaku baik lain yang dapat dilakukan untuk membuat tempat tinggal menjadi sehat adalah menyapu halaman agar bebas dari sampah sehingga terhindar dari sumber penyakit,

The obtained results indicate that the teachers perceive and self-assess themselves relatively high on the scale of specific competences and skills required for

berdasarkan capaian nilai tersebut terlihat bahwa penguasaan materi belum tuntas, karena hanya 48 % yang nilainya di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Metode eksperimen

4.2 Produk Kecap Ikan dalam Perspektif Islam Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh konsentrasi sari buah nanas dan lama fermentasi kecap ikan lemuru Sardinella longiceps