• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

VALIDASI HOUSEHOLD DIETARY DIVERSITY SCORE

(HDDS) SEBAGAI METODE ALTERNATIF DALAM

MENGIDENTIFIKASI RUMAH TANGGA RAWAN PANGAN

DI WILAYAH AGROEKOLOGI PERTANIAN

VITRIA MELANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Validasi Household

Dietary Diversity Score (HDDS) Sebagai Metode Alternatif dalam Mengidentifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Vitria Melani

(4)
(5)

RINGKASAN

VITRIA MELANI. Validasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) Sebagai Metode Alternatif dalam Mengidentifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan YAYUK FARIDA BALIWATI.

Kerawanan pangan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh berbagai negara termasuk Indonesia. Proporsi penduduk Indonesia dengan asupan energi kurang dari 2000 kkal/hari sebesar 60.03% pada tahun 2011, bahkan 14% di antaranya masih kurang dari 1400 kkal/hari (rawan pangan). Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya rawan pangan adalah kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan terbatasnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh pangan sehingga meningkatkan risiko terjadinya rawan pangan. Beberapa indikator yang umum digunakan dalam mendeteksi kejadian rawan pangan adalah konsumsi pangan dan status gizi balita. Indikator konsumsi pangan yang digunakan untuk mendeteksi kejadian rawan pangan adalah tingkat kecukupan energi (<70%). Metode tersebut membutuhkan waktu dan proses yang lebih lama, sehingga dibutuhkan metode sederhana secara kualitatif yang dapat digunakan sebagai indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Salah satu metode kualitatif yang dikembangkan oleh Food and Agriculture

Organization (FAO) adalah Household Dietary Diversity Score (HDDS).

Instrumen ini belum dilakukan uji coba di Indonesia sebagai metode alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan.

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) menganalisis keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan HDDS; (2) menganalisis hubungan status gizi balita dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, dan skor HDDS rumah tangga; (3) melakukan validasi HDDS untuk identifikasi rumah tangga rawan pangan; dan (4) melakukan modifikasi HDDS sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukamaju, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Desain penelitian adalah

cross sectional study. Sebanyak 99 rumah tangga dianalisis pada penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan sebesar 72.7 persen rumah tangga contoh mengonsumsi lebih dari enam kelompok pangan. Sebanyak 85.9 persen rumah tangga contoh termasuk ke dalam kelompok defisit energi tingkat berat. Faktor yang memengaruhi keragaman konsumsi pangan hanyalah pekerjaan ibu (p<0.05). Keragaman konsumsi pangan lebih tinggi pada rumah tangga dengan ibu yang tidak bekerja. Analisis korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein terhadap skor HDDS (p<0.05).

Jika dilihat dari status gizi anak usia di bawah lima tahun (balita), sebagian besar balita memiliki status gizi baik (61.1%). Terdapat 113 balita dari 99 rumah tangga contoh yang dianalisis. Hasil analisis hubungan status gizi balita dengan skor HDDS, tingkat kecukupan energi dan protein menunjukkan skor HDDS dan tingkat kecukupan energi tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi balita (p>0.05). Namun, tingkat kecukupan protein secara signifikan berhubungan dengan status gizi balita (p<0.05; r=0.220). Hal ini menunjukkan bahwa semakin

(6)

tinggi tingkat kecukupan protein rumah tangga, maka status gizi balita juga semakin baik, meskipun korelasi keduanya lemah (r<0.5).

Validasi HDDS dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, metode HDDS relatif lebih mudah dan sederhana digunakan untuk pengambilan data konsumsi pangan rumah tangga. Validasi kuantitatif dilakukan terhadap dua

gold standard yaitu tingkat kecukupan energi dan kombinasi tingkat kecukupan

energi dengan status gizi balita. Dari 113 balita, hanya 53 balita yang memenuhi kriteria untuk dianalisis yaitu termasuk ke dalam rumah tangga rawan pangan dan status gizi kurang, serta rumah tangga tahan pangan dan status gizi baik. Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas dengan gold standard tingkat kecukupan energi (TKE) dan kombinasi TKE dengan status gizi balita keduanya menunjukkan nilai sensitivitas yang rendah (30.59% dan 42.50%) dan spesifisitas yang tinggi (keduanya 92.86%). Sehingga HDDS tidak mampu digunakan sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Pengembangan yang dilakukan adalah dengan modifikasi skor HDDS.

Modifikasi dilakukan dengan mengategorikan kelompok pangan berdasarkan fungsi gizi yang sama ke dalam satu kategori. Pemberian skor keragaman dilakukan dengan mengategorikan 16 kelompok pangan menjadi enam kategori pangan berdasarkan sumber zat gizi yaitu sumber karbohidrat, lemak, protein hewani, protein nabati, vitamin dan mineral, serta lain-lain. Kisaran skor HDDS modifikasi adalah 0–12. Keragaman konsumsi pangan berdasarkan skor HDDS modifikasi dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (skor ≤ 5), sedang (skor 6–8), dan tinggi (skor ≥ 9).

Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas HDDS modifikasi dengan gold

standard TKE menunjukkan peningkatan nilai sensitivitas HDDS menjadi

97.64% dan penurunan nilai spesifisitas menjadi 42.86%. Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas HDDS modifikasi dengan gold standard kombinasi TKE dengan status gizi balita menunjukkan peningkatan nilai sensitivitas HDDS menjadi 100% dan penurunan nilai spesifisitas menjadi 35.71%. Hasil ini menunjukkan bahwa HDDS modifikasi memiliki sensitivitas yang baik untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Nilai sensitivitas yang tinggi mengimplikasikan bahwa HDDS modifikasi mampu digunakan sebagai metode atau indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian.

(7)

SUMMARY

VITRIA MELANI. Validation Household Dietary Diversity Score (HDDS) as an Alternative Method to Identify Household Food Insecurity in Agricultural Area. Supervised by DODIK BRIAWAN and YAYUK FARIDA BALIWATI.

Food insecurity is a serious problem faced by many countries including Indonesia. The proportion of the Indonesian population with energy intake less than 2000 kcal/day by 60.03% in 2011, even 14% of which is still less than 1400 kcal/day (food insecurity). One of the factors that lead to food insecurity is poverty. Poverty cause limited ability of the public in obtaining food, then increasing the risk of food insecurity. Some indicators are commonly used to detect the incidence of food insecurity is the food consumption and nutritional status of children. Food consumption indicators are used to detect the incidence of food insecurity is energy adequacy level (<70%). The method and the process takes longer, so it takes a simple qualitative method that can be used as an alternative indicator to identify food insecure households. One of the qualitative method developed by Food and Agriculture Organization (FAO) is Household Dietary Diversity Score (HDDS). This instrument has not been tested in Indonesia as an alternative method to identify household food insecurity.

This study has five main objectives that include the following: (1) to analyze the household dietary diversity based on HDDS; (2) to analyze the relationship between nutritional status of children under five with energy adequacy level, protein adequacy level, HDDS score of household; (3) to validate HDDS for identification of food insecure households; and (4) to modified HDDS as an alternative method to identify food insecurity household in agriculture are. A cross sectional study was conducted at paddy field in Cigudeg, Bogor Regency. A total of 99 households were selected for the analysis.

The result showed that 72.7 percent of total household consumed more than six foods group. There were 85.9 percent household classified as severe level of energy deficit group (<70%). Factors that affect household dietary diversity was mother working status (p<0.05). Household dietary diversity was higher in households with mothers who did not work. Correlation analysis showed a significant correlation between the levels of energy and protein adequacy of the HDDS scores (p <0.05).

Based on nutritional status of under five children, most of them have a good nutritional status (61.1%). There were 113 under five children from 99 households were analyzed. Correlation analysis of under five children nutritional status to HDDS score, energy and protein adequacy levels showed that HDDS score and energy adequacy level was not significantly related to nutritional status of under five children (p> 0.05). However, protein adequacy level was significantly related to nutritional status of under five children (p <0.05; r=0.220). This suggests that the higher level of household protein adequacy, the nutritional status of under five children are also getting better, although both are weak correlations (r <0.5).

HDDS validation was applied in a qualitative and a quantitative analysis. HDDS method is relatively easy and simple in collecting data and in analysis. Quantitative validation applied in two gold standard namely energy adequacy level and combination of energy adequacy level with nutritional status of under

(8)

five children. There were 53 under five children from 113 that met the criteria for analysis, namely from food insecure household and malnutrition status, and from food secure household and good nutritional status. Sensitivity and specificity of the test with the gold standard of energy adequacy level and combination of energy adequacy level with nutritional status of under five children both showed a low sensitivity value (30.59% and 42.50%) and high specificity (both 92.86%). So HDDS were not able to be used as an alternative method to identify food insecure households.

HDDS modifications by categorize groups of food based on nutritional function, namely source of carbohydrates, fats, animal protein, vegetable protein, vitamins and minerals, as well as others. HDDS modifications score range is 0– 12. Dietary diversity score of HDDS modifications are grouped into three categories: low (score ≤ 5), moderate (score 6–8), and high (score ≥ 9).

Sensitivity and specificity of the test with the gold standard of energy adequacy level showed an increase in the sensitivity of HDDS (97.64%) and decreased the specificity (42.86%). Sensitivity and specificity of the test with the gold standard of combination of energy adequacy level with nutritional status of under five children showed an increase in the sensitivity of HDDS (100%) and decreased the specificity (35.71%). These results indicated that the modified HDDS were highly sensitive to identify food insecure households. High sensitivity value implies that the HDDS modification can be used as an alternative method or indicator to identify food insecure households in rural areas with agriculture characteristics.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

VALIDASI HOUSEHOLD DIETARY DIVERSITY SCORE

(HDDS) SEBAGAI METODE ALTERNATIF DALAM

MENGIDENTIFIKASI RUMAH TANGGA RAWAN PANGAN

DI WILAYAH AGROEKOLOGI PERTANIAN

VITRIA MELANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(12)
(13)

Judul : Validasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) Sebagai Metode Alternatif dalam Mengidentifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian

Nama : Vitria Melani

NIM : I151110141

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Ketua

Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Oktober 2013 ini adalah validasi metode, dengan judul Validasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) Sebagai Metode Alternatif dalam Mengidentifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN dan Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS selaku komisi pembimbing, dan Dr Ir Drajat Martianto, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan dana penelitian melalui program Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diwadahi oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB). Selain itu, terima kasih juga disampaikan kepada pihak yang telah memberikan izin pelaksanaan penelitian kepada penulis yaitu Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor, pihak Kecamatan Cigudeg, dan pihak Desa Sukamaju. Penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada teman-teman enumerator dan kader posyandu Desa Sukamaju yang telah membantu selama pengambilan data. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat di Pondok Putri Rahmah lantai 2 Mba Ino, Sarah Rohyana, Arini, Riviani, Ningrum, Fitria, Bellen, Ika, Ratna, Sarah Febriani, Dilla, Nur, Desi, Firina, Dewi, Atika, Okky, Laelati, Diska, Rafiqah, Yuni, dan Muthi atas kebersamaan, semangat, kasih sayang, dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Popon, Mba Nurul, Mba Anna Vipta, Mba Rian, Ghaida, Indah, Kemal, dr Naufal, serta rekan-rekan GMS angkatan 2010, 2011, 2012, dan 2013 atas bantuan dan semangatnya selama penulis melaksanakan penelitian dan menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. Ungkapan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada ayah, ibu, om Chan, Mafrikhul Muttaqin, serta seluruh keluarga atas doa, pengertian, kesabaran, dan kasih sayangnya kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Hipotesis Penelitian 4 Manfaat Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA 5

Ketahanan Pangan Rumah Tangga 5

Definisi dan Konsep Keragaman Konsumsi Pangan 6

Definisi dan Konsep HDDS 7

Penilaian Konsumsi Pangan Rumah Tangga 11

Status Gizi Balita 12

Konsep dan Jenis Validitas 13

KERANGKA PEMIKIRAN 14

METODE 16

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 16

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 16

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 17

Pengolahan dan Analisis Data 18

Definisi Operasional 23

HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 24

Karakteristik Rumah Tangga Contoh 24

Keragaman Konsumsi Pangan Rumah Tangga 27

Ketahanan Pangan Rumah Tangga 32

Status Gizi Balita 34

Validasi Metode HDDS 35

Modifikasi Metode HDDS 38

(16)

Simpulan 42

Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 48

(17)

DAFTAR TABEL

1 Kelompok pangan pada kuesioner HDDS 9

2 Kelompok pangan untuk menentukan skor HDDS 10

3 Jenis dan cara pengambilan data 17

4 Kelompok pangan untuk menentukan skor HDDS 19

5 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score 21

6 Sensitivitas dan Spesifisitas HDDS terhadap TKE 21

7 Sensitivitas dan Spesifisitas HDDS terhadap TKE dan Status Gizi Balita 22

8 Karakteristik rumah tangga contoh 25

9 Proporsi rumah tangga contoh menurut keragaman konsumsi pangan rumah

tangga berdasarkan skor HDDS 28

10 Faktor determinan keragaman konsumsi pangan rumah tangga 30

11 Rata-rata asupan, kecukupan, dan tingkat kecukupan energi dan protein

rumah tangga 32

12 Proporsi rumah tangga contoh menurut tingkat kecukupan energi dan

protein (TKE dan TKP) 33

13 Proporsi status gizi balita berdasarkan indikator berat badan menurut umur

(BB/U) 34

14 Sebaran status gizi balita menurut tingkat kecukupan energi rumah

tangga 35

15 Penilaian kualitatif terhadap metode HDDS dibandingkan dengan recall konvensional 1 x 24 jam berdasarkan pendapat responden

dan enumerator 36

16 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi

(TKE) 37

17 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi

(TKE) dan status gizi balita (SG) 37

18 Kategori kelompok pangan untuk modifikasi skor HDDS berdasarkan

sumber zat gizi 39

19 Sebaran rumah tangga contoh menurut keragaman konsumsi pangan

rumah tangga berdasarkan skor HDDS modifikasi 40

20 Rata-rata TKE dan TKP pada setiap kategori skor HDDS modifikasi 40 21 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi

(18)

(TKE) 41 22 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi

(TKE) dan status gizi balita (SG) 41

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran kualitas konsumsi pangan dan pengaruhnya

terhadap ketahanan pangan rumah tangga 15

2 Sebaran rumah tangga contoh berdasarkan kelompok pangan HDDS 29

3 Sebaran contoh berdasarkan cara memperoleh pangan 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis deskriptif karakteristik rumah tangga contoh 48

2 Hasil analisis keragaman konsumsi pangan menggunakan skor HDDS 50

3 Hubungan karakteristik rumah tangga dengan skor HDDS 50

4 Hasil analisis regresi logistik faktor determinan keragaman konsumsi

pangan 55

5 Hasil uji korelasi Pearson antara TKE dan TKP terhadap skor HDDS 55 6 Tabulasi silang skor HDDS dengan TKE dan skor HDDS modifikasi

dengan TKE 56

7 Tabulasi silang skor HDDS dengan TKE dan status gizi balita (sebelum

dan sesudah modifikasi) 57

8 Hasil uji korelasi Spearmann antara status gizi balita dengan skor

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai sebuah negara agraris yang kaya dengan sumberdaya alam masih mengalami berbagai masalah pangan terutama kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan, baik di tingkat wilayah, rumah tangga, maupun individu. Hal tersebut didukung dengan data dari BAPPENAS (2012) yang menyatakan bahwa proporsi penduduk Indonesia dengan asupan energi kurang dari 2000 kkal/hari sebesar 60.03% pada tahun 2011, bahkan sekitar 14% diantaranya masih kurang dari 1400 kkal/hari. Data ini menunjukkan kuantitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih rendah. Hal tersebut menjadi masalah serius bagi Indonesia karena sangat ironis dengan kekayaan alam yang dimilikinya.

Upaya Indonesia dalam menanggulangi masalah tersebut ditunjukkan pada komitmennya dalam rangka mencapai Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. MDGs menjadi acuan penting pemerintah dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan. Salah satu target MDGs adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan (BAPPENAS 2010).

Kemiskinan menyebabkan terbatasnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh pangan sehingga meningkatkan risiko terjadinya rawan pangan. Suatu penelitian di Amerika pada tahun 2005 menunjukkan bahwa sebanyak 38.5% rumah tangga yang mengalami rawan pangan berada di bawah garis kemiskinan (Cook dan Frank 2008). Pada tahun 2009 jumlah tersebut meningkat menjadi 42.2% (Nord et al. 2009). Di Indonesia, rumah tangga miskin merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam deteksi dini kejadian rawan pangan melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (Ariani et al. 2006).

Kemiskinan juga erat hubungannya dengan kejadian gizi kurang. Salah satu kelompok yang rentan terhadap kejadian gizi kurang adalah anak usia di bawah lima tahun (balita), terutama yang berasal dari rumah tangga dengan status ekonomi rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 (Riskesdas 2010) yang menunjukkan bahwa prevalensi balita gizi kurang terlihat tinggi pada rumah tangga yang tinggal di perdesaan (14.8%), kepala keluarga yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (15.2%), dan tingkat pengeluaran rendah (kuintil 1) (15.6%) (Depkes 2011). Rumah tangga dengan status ekonomi rendah juga memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kejadian rawan pangan.

Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mendeteksi kejadian rawan pangan adalah konsumsi pangan dan status gizi balita. Kedua indikator tersebut termasuk ke dalam indikator outcome (Maxwell dan Frankenberger 1992).

Konsumsi pangan merupakan indikator outcome langsung. Konsumsi pangan yang baik ditunjukkan oleh kuantitas dan kualitas pangan yang baik. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui jika terdapat data mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Kuantitas konsumsi pangan digambarkan melalui tingkat kecukupan gizi, terutama energi dan protein. Tingkat kecukupan energi telah lama digunakan sebagai gold standard untuk mendeteksi kejadian

(20)

rawan pangan (Maxwell et al. 2013). Tingkat kecukupan energi yang kurang dari 70% mengimplikasikan terjadinya rawan pangan (Depkes 1996).

Kualitas konsumsi pangan digambarkan melalui keragaman jenis pangan yang dikonsumsi. Keragaman konsumsi pangan didefinisikan sebagai jumlah jenis pangan yang berbeda yang dikonsumsi pada jangka waktu tertentu (Ruel 2003). Penilaian kuantitas konsumsi pangan membutuhkan waktu dan proses yang lebih lama (Joseph dan Carriquiry 2010). Sehingga dibutuhkan metode sederhana secara kualitatif yang dapat digunakan sebagai indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan.

Beberapa metode yang digunakan dalam menilai kualitas konsumsi pangan adalah Individual Dietary Diversity Score (IDDS), Household Dietary Diversity

Score (HDDS), dan Food Consumption Score (FCS) (Swindale dan Bilinsky

2006; Wiesmann et al. 2009). HDDS merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Instrumen sederhana ini pertama kali diperkenalkan oleh United States Agency

International Development (USAID) melalui proyek Food and Nutrition Technical Assistance (FANTA) (Swindale dan Bilinsky 2005). Selanjutnya

HDDS dikembangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) (Kennedy

et al. 2011).

Pada dasarnya HDDS mencerminkan kemampuan ekonomi rumah tangga dalam memperoleh berbagai jenis bahan pangan (Kennedy et al. 2011). Hal serupa dikemukakan oleh Ruel (2003) dan Deitchler et al. (2011) bahwa pengukuran konsumsi pangan pada tingkat rumah tangga mencerminkan keterjangkauan rumah tangga terhadap berbagai jenis pangan (akses pangan) dan untuk mengetahui kecukupan gizi anggota rumah tangga. Penelitian uji coba HDDS telah dilakukan di beberapa negara di Afrika, salah satunya di Mozambik pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa HDDS mampu digunakan sebagai indikator akses pangan rumah tangga meskipun informasi mengenai pendapatan rumah tangga tidak diketahui (FAO 2008).

Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga memiliki potensi sebagai indikator dalam menggambarkan kejadian rawan pangan dan perlu dilakukan uji coba di berbagai kelompok sosioekonomi yang berbeda (Ruel 2002; Thorne-Lyman et al. 2010; Taruvinga et al. 2013; Vakili et al. 2013). Hal serupa didukung oleh Smith dan Subandoro (2007) yang menyatakan bahwa analisis ketahanan pangan pada subjek tertentu perlu didukung dengan indikator keragaman pangan yang dikonsumsi oleh subjek tersebut. Namun, hal berbeda dikemukakan oleh Maxwell et al. (2013) bahwa HDDS tidak dapat digunakan sebagai indikator ketahanan pangan rumah tangga karena HDDS cenderung menilai keragaman konsumsi pangan saja. Perbedaan tersebut menguatkan gagasan perlu dilakukan uji coba HDDS di Indonesia. Selain itu juga karena di Indonesia belum terdapat penelitian uji coba metode HDDS sebagai indikator rawan pangan. Sehingga perlu dilakukan penelitian uji coba metode HDDS sebagai salah satu indikator alternatif untuk mendeteksi kejadian rawan pangan, terutama pada rumah tangga dari kelompok sosioekonomi yang rendah.

Indikator outcome yang kedua untuk mendeteksi rawan pangan menurut Maxwell dan Frankenberger (1992) yaitu status gizi balita melalui pengukuran antropometri. Indikator status gizi balita termasuk ke dalam indikator tak

(21)

3

langsung. Indikator ini umum digunakan untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga karena lebih sederhana dan mudah dilakukan (cost effective). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian uji coba metode HDDS dengan gold standard kombinasi TKE dan status gizi balita.

Hasil penelitian Ariani dan Rachman (2003) menunjukkan bahwa ciri-ciri rumah tangga yang diduga mengalami rawan pangan adalah tinggal di wilayah perdesaan, tingkat pendidikan rendah, jumlah anggota rumah tangga yang banyak, dan bekerja di sektor pertanian. Hal serupa juga dikemukan oleh Hermawan (2013) bahwa kelompok masyarakat sosioekonomi rendah terbesar terdapat di daerah perdesaan dan pada masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Selain itu, Rachman dan Ariani (2008) juga mengatakan bahwa proporsi rumah tangga yang mengalami rawan pangan lebih tinggi di perdesaan berbanding perkotaan dengan selisih antara keduanya hingga 12% pada tahun 2006. Berdasarkan hal tersebut, uji coba dan validasi HDDS perlu dilakukan pada wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian.

Perumusan Masalah

Beberapa indikator ketahanan pangan adalah konsumsi pangan (langsung) dan status gizi (tak langsung). Keduanya termasuk ke dalam indikator outcome. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah tidak menjamin konsumsi pangan yang cukup pula untuk rumah tangga atau masyarakat karena terdapat faktor lain yang memengaruhi seperti status ekonomi, besar keluarga, dan pengetahuan gizi. Konsumsi pangan yang rendah akan berdampak pada kejadian rawan pangan. Selama ini, konsumsi pangan yang digambarkan melalui tingkat kecukupan energi (TKE) digunakan sebagai indikator rawan pangan (Maxwell et

al. 2013). Suatu rumah tangga dikatakan rawan pangan jika tingkat kecukupan

energi kurang dari 70% AKG (Depkes 1996).

Penggunaan TKE sebagai gold standard dalam mengidentifikasi kejadian rawan pangan membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar, baik dari segi pengumpulan maupun pengolahan data. Hal ini dikarenakan perlunya data jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi, serta data berat dan tinggi badan anggota rumah tangga untuk mengetahui angka kecukupan energi (AKE) rumah tangga. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu metode kualitatif yang lebih sederhana yang mampu digunakan sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga yang berisiko mengalami kejadian rawan pangan.

Salah satu metode kualitatif yang dikembangkan oleh FAO untuk menilai kualitas konsumsi pangan rumah tangga adalah Household Dietary Diversity

Score (HDDS). Kualitas konsumsi pangan ditunjukkan melalui skor keragaman

konsumsi pangan. Data kualitas konsumsi pangan lebih mudah diperoleh berbanding data kuantitas konsumsi pangan (Ruel 2002; Wiesmann et al. 2009; Arimond et al. 2010). Penelitian yang dilakukan oleh International Food Policy

Research Institute (IFPRI) menunjukkan bahwa kualitas konsumsi pangan

merupakan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga (IFPRI 2008). Metode HDDS relatif lebih mudah dan sederhana untuk diterapkan karena hanya menggunakan data jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga selama 1 x 24 jam yang lalu. Sehingga, HDDS diduga mampu digunakan sebagai

(22)

instrumen sederhana untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian uji coba untuk membuktikan hal tersebut. Penelitian perlu dilakukan pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap kejadian rawan pangan. Menurut Rachman dan Ariani (2008) dan Hermawan (2013), kelompok yang rentan terhadap kejadian rawan pangan adalah kelompok yang bertempat tinggal di wilayah perdesaan dengan pekerjaan sebagai petani.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Apakah metode HDDS valid digunakan untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian

2. Apakah metode HDDS dapat menjadi indikator alternatif selain TKE dan status gizi balita untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian

3. Apakah perlu dilakukan modifikasi skor HDDS sehingga dapat digunakan sebagai indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah uji coba metode HDDS sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan HDDS di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian 2. Menganalisis hubungan status gizi balita dengan tingkat kecukupan energi,

tingkat kecukupan protein, dan skor HDDS rumah tangga di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian

3. Melakukan validasi HDDS untuk identifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian

4. Melakukan modifikasi HDDS sebagai metode alternatif untuk

mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian

Hipotesis Penelitian

H0 : Metode HDDS tidak valid dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan

pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian H1 : Metode HDDS valid dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di

(23)

5

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tentang validitas penggunaan HDDS sebagai instrumen sederhana untuk mengidentifikasi rumah tangga yang berisiko mengalami rawan pangan terutama di perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian. Dengan adanya metode sederhana dan murah diharapkan proses identifikasi rumah tangga rawan pangan dapat lebih akurat dalam waktu yang lebih singkat. Sehingga pemerintah dapat secara cepat dan tepat untuk menentukan rumah tangga yang menjadi sasaran program perbaikan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan agar tercapainya ketahanan pangan rumah tangga dan wilayah.

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia di dunia. Pangan digunakan manusia sebagai sumber energi dalam menjalankan berbagai aktivitas hidupnya. Penyelenggaraan urusan pangan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang dibangun berlandaskan kedaulatan dan kemandirian pangan. Hal ini menggambarkan bahwa apabila suatu negara tidak mandiri dalam pemenuhan pangan, maka kedaulatan negara bisa terancam. Undang-Undang Pangan ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat perorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara berkelanjutan.

Tercukupinya kebutuhan pangan masyarakat akan mendukung terciptanya ketahanan pangan. Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari (USAID 1992 dalam Oliyini 2014). Ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi, serta tercapainya konsumsi pangan yang beranekaragam yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya.

Ketidaktahanan pangan (rawan pangan) dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada pemikiran kuantitas dan kualitas, termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok (Khomsan 2002). Dua bentuk rawan pangan di tingkat rumah tangga yaitu rawan pangan kronis dan akut. Rawan pangan kronis berlangsung secara terus menerus yang biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli dan kualitas sumberdaya, dan sering terjadi di daerah terpencil. Rawan pangan akut terjadi secara mendadak, antara lain disebabkan oleh bencana alam, kegagalan produksi, dan kenaikan harga pangan (Setiawan dalam Baliwati et al. 2004).

Situasi rawan pangan rumah tangga dapat ditandai oleh perubahan-perubahan kehidupan sosial, seperti semakin banyak anggota masyarakat yang mengandalkan barang untuk dijual, bertambahnya anggota rumah tangga yang

(24)

pergi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan, dan lain-lain (Khomsan 2002). Rumah tangga dikategorikan rawan pangan jika tingkat kecukupan energi kurang dari 70% AKE (DKP 2009). Menurut Sumarwan dan Sukandar (1998) ketahanan pangan rumah tangga dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu rumah tangga tidak tahan pangan (TKE <75% AKE), cukup tahan pangan (TKE 75–100% AKE), dan sangat tahan pangan (TKE ≥100% AKE).

Ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh ketahanan pangan pada tingkat regional, nasional, maupun global. Tercapainya ketahanan pangan di tingkat nasional belum tentu menunjukkan tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (Saliem et al. 2006). Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Indikator akses pangan rumah tangga salah satunya dapat diukur menggunakan metode HDDS yang dikembangkan oleh FAO (Kennedy et al. 2011). Indikator dampak secara tidak langsung dapat dikur melalui status gizi (Baliwati et al. 2004).

Analisis ketahanan pangan pada subjek tertentu perlu didukung dengan indikator keragaman pangan yang dikonsumsi oleh subjek tersebut (Smith dan Subandoro 2007). Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga memiliki potensi sebagai indikator dalam menggambarkan kejadian rawan pangan dan perlu dilakukan uji coba di berbagai kelompok sosioekonomi yang berbeda (Ruel 2002; Thorne-Lyman et al. 2010; Taruvinga et al. 2013; Vakili et al. 2013).

Definisi dan Konsep Keragaman Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu pada suatu waktu (Baliwati dan Roosita 2004). Konsumsi pangan berpengaruh langsung terhadap status gizi seseorang. Konsumsi pangan dan gizi secara cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia karena tingkat kecukupan gizi sangat memengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani seseorang.

Kualitas konsumsi pangan menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap keragaman konsumsi pangan (Azadbakht et al. 2006; Styen et al. 2006). Konsumsi pangan yang beragam diketahui sebagai elemen utama penentu kualitas diet (Ruel 2003). Konsumsi pangan yang tidak beragam diketahui sebagai salah satu penyebab terjadinya berbagai masalah pada populasi masyarakat miskin di berbagai negara berkembang. Hal tersebut karena pada umumnya masyarakat miskin hanya mengonsumsi pangan pokok seperti serealia dan umbi-umbian (Ruel 2003). Selain itu, pola konsumsi pangan rumah tangga tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.

Secara umum upaya penganekaragaman pangan sangat penting untuk dilaksanakan secara massal, mengingat tren permintaan terhadap beras kian meningkat seiring dengan derasnya pertumbuhan penduduk. Adanya efek pemberian beras bagi keluarga miskin (raskin) di Indonesia semakin mendorong

(25)

7

masyarakat yang sebelumnya mengonsumsi pangan pokok selain beras menjadi mengonsumsi beras (padi), serta belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber pangan pokok bagi masyarakat setempat.

Pemerintah mendukung konsumsi pangan yang beragam melalui program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut kini menjadi acuan untuk mendorong upaya penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat melalui basis kearifan lokal serta kerjasama terintegrasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Salah satu dasar hukum yang mendukung program P2KP adalah Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 Pasal 9 tentang Ketahanan Pangan yang menyatakan bahwa penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memerhatikan sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal. Salah satunya melalui tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.

Keragaman konsumsi pangan rumah tangga (household dietary diversity) merupakan jumlah pangan atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan yaitu dapat bertindak sebagai indikator alternatif dari keamanan makanan pada berbagai keadaan, termasuk negara dengan pendapatan sedang atau menengah, daerah perdesaan dan urban, serta untuk berbagai musim (FAO 2008). Menurut Swindale dan Bilinsky (2006) keragaman konsumsi pangan merupakan indikator yang baik karena konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan peningkatan hasil pada berat kelahiran, status antropometrik anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin. Konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani (protein kualitas tinggi), dan pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang sangat miskin, peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan dari penghasilan tambahan berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan.

Informasi mengenai keragaman konsumsi pangan individu atau rumah tangga terlihat sederhana namun efektif menjadi indikator berbagai parameter yang memengaruhi status gizi dalam komunitas tertentu. Penelitian Rathnayake et

al. (2012) membuktikan keragaman konsumsi pangan dapat digunakan sebagai

indikator yang mewakili kecukupan gizi lansia perdesaan di Sri Lanka. Keragaman konsumsi pangan berhubungan signifikan dengan tiga pilar ketahanan pangan yaitu ketersediaan, akses, dan pemanfaatan (Styen et al. 2006; Hillbruner dan Egan 2008).

Definisi dan Konsep HDDS

Keragaman konsumsi pangan merupakan pengukuran konsumsi pangan secara kualitatif yang menggambarkan akses rumah tangga terhadap berbagai jenis pangan dan menjadi salah satu indikator kualitas konsumsi pangan individu (Kennedy et al. 2011). Salah satu metode yang dikembangkan oleh Food and

Agriculture Organizations (FAO) untuk menilai kualitas konsumsi pangan di

(26)

(Swindale dan Bilinsky 2005). Metode ini menggambarkan kemampuan akses rumah tangga terhadap berbagai jenis pangan.

Berbagai penelitian menggunakan metode HDDS telah dilakukan, salah satunya di Mozambik pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa HDDS mampu digunakan sebagai indikator akses pangan rumah tangga meskipun informasi mengenai pendapatan rumah tangga tidak diketahui (FAO 2008). Studi yang dilakukan oleh Hoddinott dan Yohannes (2002) menunjukkan bahwa semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsi memiliki korelasi positif dengan status sosial ekonomi dan ketahanan pangan rumah tangga yang baik. Skor keragaman memiliki korelasi yang positif dengan kecukupan zat gizi mikro pada bayi dan anak-anak, bayi yang tidak mengonsumsi ASI (Ruel et al. 2003; Kennedy et al. 2007; Kennedy 2009), remaja (Mirmiran et al. 2004), dan dewasa (Arimond et al. 2010).

Pengumpulan data konsumsi pangan rumah tangga dengan metode HDDS dilakukan menggunakan kuesioner recall 1 x 24 jam. Menurut Savy et al. (2005),

recall 1 x 24 jam dapat digunakan pada penilaian kualitas konsumsi pangan di

tingkat populasi dan bermanfaat untuk memantau program atau target suatu intervensi. Pertimbangan FAO menggunakan recall 1 x 24 jam untuk menilai kualitas konsumsi pangan rumah tangga dengan metode HDDS adalah untuk mengurangi kesalahan dalam pengukuran, lebih praktis, dan penggunaan waktu 1 x 24 jam ini umum digunakan dalam penelitian kualitas konsumsi pangan seperti yang dilakukan oleh Kennedy et al. (2007); Steyn et al. (2006); Savy et al. (2005); dan Arimond et al. (2010). Berdasarkan pertimbangan tersebut, periode

recall 1 x 24 jam digunakan dalam penilaian kualitas konsumsi pangan rumah

tangga.

Berbeda dengan penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu, pangan yang dicatat pada tingkat rumah tangga adalah pangan yang dimasak dan dimakan di rumah, dibeli dan dimakan di rumah, serta dimasak di rumah dan dimakan di luar. Pencatatan pangan yang dibeli dan dimakan di luar rumah tidak dilakukan. Sehingga untuk mempermudah dalam melakukan penilaian kualitas konsumsi pangan rumah tangga perlu dipastikan bahwa anggota rumah tangga contoh memiliki kebiasaan makan di rumah. Seluruh jenis pangan yang dikonsumsi ditulis di kuesioner meskipun jumlahnya sangat sedikit karena skor HDDS dirancang untuk menggambarkan akses ekonomi rumah tangga terhadap pangan. Meskipun dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit, hal tersebut menggambarkan kemampuan rumah tangga untuk membeli pangan tersebut. Pangan yang hanya dikonsumsi oleh satu orang anggota rumah tangga juga dimasukkan ke dalam perhitungan skor keragaman.

Dalam melakukan penelitian penilaian kualitas konsumsi pangan rumah tangga dengan metode HDDS terdapat beberapa pilihan waktu pelaksanaan tergantung pada tujuan penelitian. Jika tujuan penelitian untuk mengetahui tipikal konsumsi pangan pada daerah perdesaan dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani sebaiknya penelitian dilakukan pada beberapa periode waktu yaitu pada saat asupan pangan di wilayah tersebut masih cukup misalnya satu sampai lima bulan setelah panen dan saat menunggu masa panen. Hal tersebut selain dapat mengetahui kebiasaan makan rumah tangga juga berguna untuk mengetahui ketahanan pangan rumah tangga petani pada musim yang berbeda. Jika tujuan

(27)

9

penelitian untuk mengetahui tipikal konsumsi pangan pada daerah non-pertanian, penelitian dapat dilakukan setiap saat. Jika penelitian hanya bertujuan menilai situasi ketahanan pangan rumah tangga pada daerah perdesaan dengan mayoritas penduduk sebagai petani, penelitian dilakukan pada masa pertengahan antar panen. Jika penelitian hanya bertujuan menilai situasi ketahanan pangan rumah tangga pada kelompok masyarakat non-pertanian, penelitian dapat dilakukan pada waktu tertentu yang diperkirakan akan terjadi masalah rawan pangan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian untuk penilaian kualitas konsumsi pangan rumah tangga sebaiknya dilakukan pada hari biasa, tidak pada hari perayaan khusus seperti puasa, lebaran, atau acara syukuran. Hal tersebut untuk menghindari kesalahan dalam penilaian kualitas konsumsi pangan karena pada perayaan khusus tersebut pada umumnya konsumsi pangan menjadi berbeda dari biasanya (Kennedy et al. 2011).

Dalam pelaksanaannya, recall dilakukan terhadap ibu yang merupakan individu yang bertanggung jawab dalam menyediakan makanan untuk seluruh anggota rumah tangga. Anggota rumah tangga yang dimaksud merupakan semua individu yang tinggal dan makan bersama dalam satu atap (Kennedy et al. 2011). Semua jenis pangan yang dikonsumsi oleh satu orang atau seluruh anggota rumah tangga, meskipun dalam jumlah yang sedikit dicatat dalam kuesioner.

Pada kuesioner HDDS, jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke dalam 16 kelompok pangan (Kennedy et al. 2011) seperti yang tercantum pada Tabel 1. Menurut Kennedy et al. (2011), sebelum dilakukan pengambilan data konsumsi pangan rumah tangga, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian jenis pangan pada kuesioner dengan pangan yang beredar di masyarakat setempat. Perlu diketahui pangan lokal yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelompok pangan.

Tabel 1 Kelompok pangan pada kuesioner HDDS

No Kelompok pangan

1 Serealia

2 Umbi-umbian

3 Sayuran sumber vitamin A

4 Sayuran berwarna hijau

5 Sayuran lainnya

6 Buah sumber vitamin A

7 Buah lainnya

8 Jeroan

9 Daging-dagingan

10 Telur

11 Ikan dan makanan laut lainnya

12 Polong-polongan dan kacang-kacangan

13 Susu dan olahannya

14 Minyak dan lemak

15 Gula dan pemanis

(28)

Pada perhitungan skor HDDS, jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke dalam 12 kelompok pangan, berbeda dengan penilaian pada individu hanya dikelompokkan ke dalam 9 kelompok pangan (Swindale dan Bilinsky 2005). Terdapat beberapa kelompok pangan yang dimasukkan ke dalam satu kelompok. Kelompok pangan nomor 3 (sayuran sumber vitamin A), 4 (sayuran berwarna hijau), dan 5 (sayuran lainnya) pada kuesioner selanjutnya dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu sayur-sayuran. Kelompok pangan nomor 6 (buah sumber vitamin A) dan 7 (buah lainnya) pada kuesioner dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu buah-buahan. Kelompok pangan nomor 8 (jeroan) dan 9 (daging-dagingan) pada kuesioner dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu daging dan olahannya. Tujuan pengelompokan tersebut untuk mempermudah dalam pemberian skor. Kelompok pangan tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kelompok pangan untuk menentukan skor HDDS

No Kelompok pangan

1 Serealia

2 Umbi-umbian

3 Sayur-sayuran

4 Buah-buahan

5 Daging dan olahannya

6 Telur

7 Ikan dan makanan laut lainnya

8 Polong-polongan dan kacang-kacangan

9 Susu dan olahannya

10 Minyak dan lemak

11 Gula dan pemanis

12 Bumbu, rempah, dan minuman

Dalam pengolahannya, kisaran skor HDDS adalah 0–12 karena kelompok pangan yang semula 16 kelompok sudah diagregasi menjadi 12 kelompok. Pemberian skor dilakukan dengan memberikan skor 1 jika rumah tangga mengonsumsi salah satu jenis pangan yang terdapat dalam kelompok pangan dan skor 0 jika tidak mengonsumsi salah satu jenis pangan yang terdapat dalam kelompok pangan yang sudah ditetapkan oleh FAO (Kennedy et al. 2011). Keragaman konsumsi pangan berdasarkan HDDS dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah jika konsumsi ≤ 3 jenis bahan pangan, sedang jika konsumsi 4–5 jenis bahan pangan, dan tinggi jika konsumsi ≥ 6 jenis bahan pangan (Kennedy et al. 2011).

Keragaman konsumsi pangan ini menggambarkan kualitas konsumsi pangan rumah tangga yang secara kuat berkorelasi dengan tingkat sosial ekonomi rumah tangga (USAID 1992). Hal tersebut juga menggambarkan kemampuan akses rumah tangga terhadap pangan yang dikonsumsi. Menurut Kennedy et al. (2011), perlu diketahui cara rumah tangga dalam memperoleh pangan terutama pada kelompok pangan tertentu seperti serealia, buah, dan sayuran. Dengan adanya data tersebut, akses pangan rumah tangga dapat diidentifikasi berdasarkan sumber

(29)

11

perolehan pangan. Sehingga, pada akhir pengisian kuesioner HDDS, ditambahkan pertanyaan mengenai cara rumah tangga memperoleh pangan yang dikonsumsi.

Skor HDDS selain berguna untuk mengetahui akses pangan rumah tangga, juga dapat digunakan sebagai indikator kecukupan zat gizi tertentu secara kualitatif (Kennedy et al. 2011). Berdasarkan 16 kelompok pangan pada kuesioner HDDS, terdapat beberapa kelompok pangan yang dapat dimasukkan ke dalam dua kelompok zat gizi yaitu kelompok pangan sumber vitamin A dan sumber zat besi (Fe). Kelompok pangan sumber vitamin A yaitu nomor 3 (sayuran sumber vitamin A), 4 (sayuran hijau), dan 6 (buah sumber vitamin A). Kelompok pangan sumber zat besi yaitu nomor 8 (jeroan), 9 (daging-dagingan), 10 (telur), dan 11 (ikan dan makanan laut lainnya). Melalui skor HDDS dapat diketahui persentase rumah tangga yang memperoleh intik vitamin A dan zat besi. Penilaian kualitatif ini dapat menggambarkan kecukupan intik vitamin A dan zat besi secara kasar. Hal tersebut dapat menjadi dasar penentuan kelompok masyarakat yang diduga mengalami defisiensi vitamin A dan zat besi (Kennedy et al. 2011). Sehingga dalam penilaian secara kuantitatif tidak membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar karena kelompok target sudah diidentifikasi melalui skor HDDS.

Perbedaan skor HDDS juga dapat memberikan informasi tentang kelompok pangan mana yang menjadi prioritas rumah tangga pada masing-masing tingkat skor HDDS. Analisis dilakukan dengan melihat kelompok pangan mana yang dikonsumsi oleh sekurang-kurangnya 50 persen rumah tangga pada masing-masing tingkat skor HDDS. Hasil analisis tersebut memperkuat skor HDDS yang diperoleh sebelumnya dan dapat diketahui kelompok pangan mana yang ketersediaannya perlu ditingkatkan agar tercapainya konsumsi pangan rumah tangga yang beragam dan berkualitas.

Metode HDDS memiliki beberapa keterbatasan yaitu hanya memotret konsumsi pangan rumah tangga di dalam rumah saja sehingga tidak sesuai digunakan untuk menilai keragaman konsumsi pangan rumah tangga yang memiliki kebiasaan makan di luar rumah seperti yang umum terjadi di perkotaan (Kennedy et al. 2010).

Penilaian Konsumsi Pangan Rumah Tangga

Konsumsi pangan merupakan jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial (Baliwati et al. 2004). Pengertian mengenai penilaian konsumsi pangan mencakup dua hal yaitu penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan dan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya.

Penilaian konsumsi pangan menurut Supariasa et al. (2001) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode kuantitaif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizinya. Hal yang perlu diperhatikan adalah volume pangan yang dikonsumsi dan zat gizi yang dikandung bahan pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat sejauh mana konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat dan dikenal sebagai Angka Kecukupan

(30)

Gizi (AKG). Penilaian kuantitas konsumsi pangan masyarakat dilakukan dengan menggunakan parameter Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP).

Metode penilaian kualitatif lebih ditujukan pada keanekaragaman pangan. Semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk penilaian keanekaragaman pangan digunakan pendekatan skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada tingkat wilayah. Pada tingkat rumah tangga, keragaman konsumsi pangan dinilai berdasarkan skor keragaman (Kennedy et al. 2011).

Berdasarkan unit contoh penelitian, penilaian konsumsi pangan dapat dibedakan menjadi penilaian konsumsi pangan individu dan penilaian konsumsi pangan rumah tangga. Prinsip penilaian konsumsi zat gizi individu dan rumah tangga relatif sama. Konsumsi pangan rumah tangga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota rumah tangga. Apabila satuan atau unit pengumpulan data konsumsi pangan adalah kelompok orang seperti rumah tangga, maka jumlah konsumsi pangan rumah tangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota rumah tangga yang mengonsumsi pangan tersebut (Hardinsyah dan Briawan 1994).

Penilaian konsumsi pangan secara kuantitatif sulit dilakukan karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Sehingga dibutuhkan sesuah instrumen sederhana yang mampu mengukur konsumsi pangan secara kualitatif. Pengukuran ini diharapkan mampu menggambarkan tingkat konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang. Pada tingkat individu penilaian secara kualitatif mampu menggambarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro, dan pada tingkat rumah tangga menggambarkan akses rumah tangga terhadap pangan (Swindale dan Bilinsky 2005).

Status Gizi Balita

Balita merupakan salah satu kelompok umur yang rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Status gizi balita merupakan salah satu indikator ketahanan pangan yang termasuk ke dalam dimensi pemanfaatan pangan. Pemanfaatan pangan meliputi: a) pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga, dan b) kemampuan individu untuk menyerap zat gizi-pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh. Salah satu indikator dalam pemanfaatan pangan adalah berat badan balita di bawah standar (underweight) (DKP 2009).

Faktor-faktor yang memengaruhi status gizi balita adalah situasi ketahanan pangan rumah tangga, status gizi dan kesehatan ibu, pendidikan ibu, pola asuh anak, akses terhadap air bersih, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penilaian status gizi balita merujuk pada standar antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau disebut Standar WHO 2005. Klasifikasi status gizi balita berdasarkan tiga indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB).

Mengingat status gizi balita merupakan salah satu indikator untuk mendeteksi kejadian rawan pangan di tingkat rumah tangga, hal tersebut

(31)

13

menunjukkan status gizi balita juga berkorelasi dengan kualitas konsumsi pangan. Beberapa studi menunjukkan hubungan tersebut. Pada review yang dilakukan oleh Ruel (2003) menunjukkan asosiasi yang kuat secara statistik antara keragaman konsumsi pangan dengan status gizi balita pada penelitian di Ethiopia tahun 2002.

Konsep dan Jenis Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukuran dikatakan memiliki validitas yang tinggi jika instrumen tersebut mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya suatu pengukuran. Menurut Djaali dan Muljono (2008) konsep validitas dibedakan menjadi tiga yaitu validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct

validity), dan validitas empiris (empirical validity). Validitas isi mencerminkan

keseluruhan konten dari suatu instrumen yang diuji. Menurut Wiersman dan Jurs (1990) di dalam Djaali dan Muljono (2008), validitas isi mengarah pada analisis logika dan tidak membutuhkan koefisien validitas yang dihitung secara statistik.

Azwar (2006) membagi validitas menjadi beberapa jenis, yaitu, (1)

concurrent validity yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja,

(2) construct validity yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur oleh suatu pengukuran beserta evaluasinya, (3) face validity yang berhubungan dengan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur, (4) empirical validity yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria, (5) intrinsic

validity yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh

bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bahwa suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur, (6) predictive validity yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerja seseorang di masa mendatang, (7) content validity yang berkenaan dengan baik buruknya pengambilan contoh (sampling) dari suatu populasi, serta (8) curricular validity adalah yang ditentukan dari cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pungukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-aspek sesuai dengan tujuan.

Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga, yaitu, (1)

content validity di mana validitas yang diperhitungkan melalui pengujian terhadap

isi alat ukur dengan analisis rasional, (2) construct validity yang menunjukkan sejauh mana alat ukur mengungkap konstruk teoritis yang hendak diukurnya, dan (3) criterion-related validity (validitas berdasar kriteria) yang menghendaki tersedianya kriteria luar yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur.

Validasi suatu instrumen dapat dilakukan menggunakan validasi isi dan kriteria. Validasi isi mengarah pada kesesuain isi instrumen terhadap apa yang akan dikur. Menurut Wiersman dan Jurs (1990) di dalam Djaali dan Muljono (2008), validitas isi tidak membutuhkan koefisien validitas yang dihitung secara statistik. Validasi kriteria digunakan untuk menguji ketepatan instrumen untuk mengukur apa yang seharusnya terukur. Analisis validasi kriteria yang sering digunakan adalah analisis sensitivitas (Se) dan spesifisitas (Sp) (Abramson 1990). Salah satu penelitian yang menggunakan analisis Se dan Sp adalah Tanziha

(32)

(2005) yang melakukan validasi instrumen kelaparan kualitatif dengan menggunakan konsumsi pangan (kuantitatif) sebagai gold standard.

Dalam kaitannya dengan validasi metode HDDS sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan, gold standard yang digunakan adalah tingkat kecukupan energi (TKE) dan kombinasi antara TKE dengan status gizi balita (BB/U). Rumah tangga dikatakan rawan pangan jika TKE kurang dari 70% AKE. Nilai sensitivitas digunakan untuk menggambarkan akurasi instrumen HDDS dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan yang juga teridentifikasi rawan pangan berdasarkan gold standard. Nilai spesifisitas digunakan untuk menggambarkan akurasi instrumen HDDS dalam mengidentifikasi rumah tangga tahan pangan yang juga teridentifikasi tahan pangan berdasarkan gold standard.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kebijakan pemerintah dalam peningkatan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam kerangka pembangunan nasional memberikan implikasi bahwa ketahanan pangan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional tidak menjamin ketahanan pangan di tingkat wilayah, rumah tangga, maupun individu (Saliem et al. 2006). Pada tingkat rumah tangga, ketahanan pangan ditentukan oleh ketersediaan pangan yang dipengaruhi oleh daya beli, akses pangan, dan keragaman konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang beragam dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga yang beragam pula, meliputi usia, jenis kelamin, jumlah anggota, jenis pekerjaan, pengeluaran, dan tingkat pendidikan. Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap tingkat kecukupan energi yang akan menentukan status gizi seseorang. Penelitian oleh Hoddinot dan Yohannes (2002) menunjukkan peningkatan keragaman konsumsi pangan berhubungan dengan status ekonomi dan ketahanan pangan rumah tangga yang baik (kecukupan energi rumah tangga). Pada tingkat rumah tangga, status gizi balita dapat dijadikan sebagai indikator ketahanan pangan rumah tangga.

Informasi mengenai kualitas konsumsi pangan rumah tangga dan status gizi balita diduga mampu menjadi indikator ketahanan pangan rumah tangga. Untuk menguji hal tersebut, digunakan sebuah metode penilaian keragaman konsumsi pangan yang dikembangkan oleh FAO yaitu Household Dietary

Diversity Score (HDDS). Metode sederhana ini sudah banyak digunakan di

berbagai negara di Afrika. HDDS telah dikembangkan untuk melihat akses pangan rumah tangga karena penggunaannya sederhana dan cepat (Swindale dan Bilinsky 2006). Penelitian menggunakan HDDS di Mozambik menunjukkan metode HDDS sesuai digunakan untuk menilai perubahan perilaku konsumsi dan akses pangan (FAO 2008). Di Indonesia metode ini belum dikembangkan karena belum ada penelitian yang membuktikan validitas dari metode ini. Jika metode ini dapat digunakan di Indonesia, identifikasi rumah tangga rawan pangan akan menjadi lebih mudah dan cepat.

(33)

15

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti = Hubungan antar variabel yang diteliti = Hubungan antar variabel yang tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan kualitas konsumsi pangan dengan tingkat kecukupan energi dan protein

Ketersediaan pangan

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein

Status gizi balita Kejadian penyakit

Daya beli

Kualitas konsumsi pangan (HDDS) Karakteristik rumah tangga

- Usia

- Jenis kelamin - Jumlah anggota - Status dalam keluarga

- Jenis pekerjaan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga

- Tingkat pendidikan

- Pendapatan kepala rumah tangga - Kondisi fisiologis

Ketahanan pangan rumah tangga

Akses pangan Pengetahuan gizi

(34)

METODE

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukamaju, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Kacamatan Cigudeg mewakili wilayah agroekologi pertanian sawah dan merupakan salah satu sentra produksi padi di wilayah Bogor Barat berdasarkan informasi dari Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) Bogor Barat yang menaungi tiga kecamatan yaitu Cigudeg, Sukajaya, dan Jasinga. Selain itu, berdasarkan BPS (2012) Kecamatan Cigudeg memiliki jumlah rumah tangga pra sejahtera (Pra KS dan KS I) tertinggi kedua di Kabupaten Bogor, dan berdasarkan informasi dari kantor kecamatan, Desa Sukamaju merupakan desa dengan jumlah penerima dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) terbanyak di Kecamatan Cigudeg yaitu sebanyak 448 rumah tangga penerima. Desa Sukamaju termasuk ke dalam desa dengan karakteristik perdesaan. Sehingga, masyarakat Desa Sukamaju dapat dikatakan mewakili populasi masyarakat miskin yang tinggal di wilayah agroekologi pertanian. Penelitian dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Populasi contoh dari penelitian ini adalah rumah tangga miskin yang memiliki balita yang bertempat tinggal di Desa Sukamaju, Kecamatan Cigudeg. Kriteria inklusi contoh adalah (1) termasuk ke dalam kelompok rumah tangga miskin; (2) memiliki minimal satu anak usia di bawah lima tahun (balita), (3) mayoritas anggota rumah tangga selalu makan di rumah, dan (4) pekerjaan kepala rumah tangga sebagai petani atau buruh tani. Rumah tangga contoh ditentukan dengan perhitungan jumlah contoh minimal (Lemeshow et al. 1990) berdasarkan proporsi rumah tangga miskin sebesar 45.37% pada tahun 2012 (BPS 2012) dengan batas ketelitian 10%. Rumus yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut: keterangan: n = jumlah contoh Z2 (1-α/2) = Z score (1.96)

p = proporsi rumah tangga miskin (Pra KS dan KS I) ( 45.37%) (BPS 2012, diolah)

d = nilai kritis / batas ketelitian (10%)

Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus di atas, diperoleh jumlah rumah tangga contoh minimal sebesar 95 rumah tangga. Sebagai antisipasi adanya

Z2

(1-α/2) p(1-p)

d2

(35)

17

data yang tidak memenuhi kriteria, maka akan ditambah sebanyak 10% rumah tangga dari jumlah contoh minimal sehingga akan diambil sebanyak 105 rumah tangga contoh.

Penelitian diawali dengan uji coba kuesioner yang dilakukan di sekitar Kampus IPB Dramaga dengan memilih lima rumah tangga yang memenuhi kriteria inklusi contoh. Setelah dilakukan validasi kuesioner, selanjutnya akan dilakukan pengambilan contoh, yaitu pemilihan kecamatan, desa, dan rumah tangga. Berikut tahapan pemilihan kecamatan, desa, dan rumah tangga yang menjadi unit penelitian:

1. Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa kecamatan tersebut memiliki jumlah rumah tangga pra sejahtera (Pra KS dan KS I) tertinggi kedua di Kabupaten Bogor pada tahun 2011 (BPS 2012) dan termasuk daerah sentra pertanian padi di Kabupaten Bogor.

2. Desa Sukamaju dipilih sebagai desa penelitian berdasarkan rekomendasi dari kecamatan dengan pertimbangan desa tersebut memiliki jumlah penerima BLSM terbanyak di Kecamatan Cigudeg dan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani sawah.

3. Rumah tangga contoh ditentukan secara purposive berdasarkan data penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang diperoleh dari kantor desa.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan merupakan data primer yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan ibu rumah tangga menggunakan instrumen kuesioner. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik rumah tangga contoh, konsumsi pangan rumah tangga contoh di rumah selama 1x24 jam, dan status gizi balita melalui pengukuran antropometri (Tabel 3).

Tabel 3 Jenis dan cara pengambilan data

Aspek Variabel Cara pengumpulan

Karakteristik rumah tangga contoh

1. Ukuran rumah tangga 2. Jenis kelamin 3. Usia 4. Tingkat pendidikan 5. Pekerjaan 6. Pendapatan kepala rumah tangga Wawancara menggunakan kuesioner

HDDS Jenis pangan yang

dikonsumsi di dalam rumah

Recall konsumsi pangan

1x 24 jam Konsumsi pangan

rumah tangga

Jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi di dalam rumah

Recall konsumsi pangan

1x 24 jam Karakteristik balita Jenis kelamin, usia, berat

badan dan tinggi badan

Gambar

Tabel 1 Kelompok pangan pada kuesioner HDDS
Tabel 2 Kelompok pangan untuk menentukan skor HDDS
Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan kualitas konsumsi pangan dengan  tingkat kecukupan energi dan protein
Tabel 3  Jenis dan cara pengambilan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2) ini dicirikan oleh pola refleksi seismik onlap pada puncak sedimen Miosen Awal yang merupakan bidang

Sejenis akun Buku Besar diberi kode yang terdiri dari 4 angka dan arti letak angka dalam setiap kode adalah sebagai berikut :.. X X

Jika terjadi penjualan atau reklasifikasi atas investasi dimiliki hingga jatuh tempo dalam jumlah yang lebih dari jumlah yang tidak signifikan, maka sisa investasi dimiliki

Oleh karena itu, secara kimia air di Mata Air Sumber Asem dinyatakan aman dikonsumsi Sementara itu, pada pengukuran parameter biologi mendapatkan hasil MPN

alat kelamin betina pada burung Saat kawin, kloaka jantan dan betina saling mendekat sehingga ketika sperma keluar dari kloaka jantan akan langsung masuk ke kloaka betina sehingga

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik,

2) Jepang kalah dalam strategi dan taktik untuk menghadapi Amerika Serikat. Taktik serangan cepat yang dilakukan Jepang sulit berhasil. Meskipun pada awalnya

Sedangkan untuk variabel produk, harga, tempat, promosi dan kelengkapan sarana prasara adalah variabel yang tidak mempengaruhi tetap harus dikembangkan seiring