• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPOSISI FUNGSI MADRASAH DI TENGAH SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REPOSISI FUNGSI MADRASAH DI TENGAH SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

REPOSISI FUNGSI MADRASAH

DI TENGAH SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Mujahidun

Mahasiswa Pascasarjana Program Doktoral Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang

Abstraksi

Madrasah, secara historis, dipahami sebuah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia. Namun dalam perjalanannya, keunggulan madrasah dapat dikatakan masih tertinggal dengan pendidikan lainnya yang tergolong muda. Diantara sebab tertinggalnya madrasah tersebut yakni secara struktural adanya pengawasan pendidikan dua atap, secara kultural respon masyarakat khususnya umat Islam terhadap madrasah masih rendah, dan secara manajerial pengelolaan madrasah masih tertinggal dengan sekolah umum lainnya baik dalam sistem pendidikan, penyediaan tenaga edukatif, maupun pemenuhan sarana dan prasarana pendidikannya. Tulisan ini hendak menggali problema-problema madrasah yang kemudian dijadikan dasar dan cara dalam mereposisi fungsi madrasah di tengah sistem pendidikan nasional sehingga madrasah bisa menjadi pendidikan alternatif dan sebagai pusat unggulan sebuah lembaga pendidikan yang bercirikan Islam.

Kata Kunci: Madrasah, Pendidikan Mutu, Sistem Pendidikan Nasional

LATAR BELAKANG

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. Lihat Fadjar, M.A.,

Madrasah dan Tantangan Modernitas.

(Bandung: Mizan, 1998) sejak dulu hingga kini, kehadirannya sangat diharapkan mampu melakukan perubahan dan pengembangan perilaku masyarakat.

Selaku lembaga pendidikan yang bercirikan khas Islam, madrasah seharusnya mampu memainkan peran strategis berkenaan dengan cita-cita

(2)

pendidikan nasional. Secara historis, awalnya madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada.

Pembaharuan yang dimaksud menurut Karl Steernbrink (1986: 117), meliputi tiga hal, yaitu usaha menyempumakan sistem pendidikan pesantren, penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat dan upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.

Fakta sejarah menunjukkan kemashuran madrasah telah terjadi pada akhir abad VIII khususnya pada masa kekhalifahan Harun Al Rasyid (789-809 M) karena memberikan kontribusi besar dalam melahirkan cendekiawan, negarawan dan administrator di bidang ilmu pengetahuan, seni dan pemikiran (filsafat).

Namun demikian, dinamika madrasah yang tumbuh dan berakar dari kultur masyarakat setempat tidak akan lepas dari perubahan dan peradaban masyarakat yang kian maju. Dinamika perubahan masyarakat yang sedemikian cepat itu ternyata tidak selalu diikuti oleh pengembangan

madrasah, akibatnya tidak salah kalau banyak yang mensiyalir bahwa madrasah secara historis masih eksis tetapi secara fungsi kehidupannya masih stagnasi.

Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi proses perkembangan madrasah kepada tiga fase;

Pertama, fase antara tahun 1945-1974.

Pada fase ini madrasah lebih terkonsentrasi kepada pendidikan ilmu-ilmu agama dan kalau ada pengajaran ilmu pengetahuan umum adalah sebagai pendamping dalam memperluas cakrawala berfikir para pelajar. Civil effect, lulusan madrasah terbatas kepada perguruan tinggi agama (semisal IAIN, dan PTAIS lainnya) dan jika untuk meneruskan ke UMPTN masih mengalami hambatan.

Kedua, fase tahun 1975-1989, yakni

fase diberlakukannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri. Melalui SKB ini, madrasah mulai diakui kesetaraan antara madrasah dengan sekolah pada masing-masing jenjang pendidikannya. Pada fase ini pula kurikulum pelajaran agama sekurang-kurang 30% dan sisanya adalah pelajaran umum.

(3)

Ketiga, fase tahun 1990-sekarang. Pada

fase ini, melalui UU nomor 2 tahun 1989, madrasah dipandang sebagai sekolah umum yang bercirikan khas agama.(Daulay, 2004: 47-48).

Kondisi madrasah yang sedemikian itu menimbulkan dilematis dalam dunia pendidikan Islam khususnya di Indonesia. Betapa tidak, pada satu sisi madrasah yang dinilai sebagai lembaga yang mencetak generasi Muslim yang terbesar di Indonesia, pada sisi lain madrasah seakan-akan tersisih dari mainstream pendidikan nasional, sekalipun berkenaan dengan pendidikan anak bangsa dan sebagai pendatang baru dalam sistem pendidikan nasional relatif menghadapi berbagai kendala dalam hal mutu, manajemen, dan kurikulumnya.(Tilaar, 2000: 164-165).

Menyikapi kondisi yang demikian, perlunya kiranya dilakukan reposisi madrasah sebagai salah satu wadah pengembangan generasi muda dan karena karakteristiknya, madrasah sangat sesuai dengan cita-cita reformasi bangsa Indonesia. Selanjutnya, H.A.R. Tilaar menawarkan rumusan reposisi madrasah ke dalam kerangka konseptual reposisi dan reaktualisasi

madrasah yang meliputi mengapa diperlukan reposisi madrasah, bagaimana reaktualisasi madrasah dan bagaimana kerangka kurikulum memasuki abad millineum.

Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini hendak mengetahui problema apa saja yang terjadi pada madrasah, bagaimana reposisi fungsi madrasah dintinjau dari respon masyarakat terhadap madrasah, orientasi mutu madrasah dan eksistensi madrasah memasuki abad millineum. Melalui pengkajian tersebut, diharapkan mampu membawa membawa madrasah ke arah yang lebih maju dan bermutu.

MADRASAH

Istilah madrasah berasal dari aspek derivasi kata, madrasah merupakan ism makan dari fi’il darasa yang berarti belajar, jadi madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam).

Istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, masjid, surau dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah pemula.

(4)

Lihat Abd. Hamid Al Hasyimi dalam M. Habib Husnial Pardi (2008: 214).

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya.

PROBLEMA MADRASAH

Madrasah pada awal-awalnya, telah menghadirkan banyak perhatian dari berbagai kalangan. Hal itu disebabkan karena jumlah peserta didiknya yang signifikan akan tetapi juga karena karakteristiknya yang sesuai dengan perubahan dan perkembangan jaman. Hanya saja muncul keprihatinan kualitas lembaga pendidikan Islam termasuk madrasah yang dipicu dengan adanya

sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Bahkan Kolonial Belanda memposisikan istemewa sekolah-sekolah umum tersebut dan tidak memberi ruang yang proporsional bagi umat Islam untuk mengembangkan potensi sumber daya manusianya. Akibat dari perlakuan yang negatif dari pemerintah Kolonial Belanda, maka pendidikan Islam termasuk madrasah menghadapi kesulitan-kesulitan dan terisolasi dari arus modernisasi. Sebagai akibatnya dapat kita lihat;

pertama pendidikan Islam (khususnya

madrasah) termarginalisasi dari modernisasi; kedua, karena sikap yang sangat diskriminatif dari pemerintah kolonial Belanda, maka pendidikan Islam terdorong menjadi milik rakyat pinggiran/pedesaan; ketiga, isi pendidikan cenderung berorientasi pada praktik ritual keagamaan dan kurang memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi dan

keempat mengalami berbagai

kelemahan manajemen meskipun tidak seluruhnya merupakan hal-hal yang negatif. Manajemen yang sifatnya tertutup dan tidak berorientasi keluar

(5)

menyebabkan perkembangannya sangat lambat dan statis. (Tilaar, 2000:169-170). Dari waktu ke waktu, problema-problema tersebut nampaknya masih saja mengiringi madrasah selaku lembaga pendidikan Islam yang oleh Darmu'in (1998) disebabkan antara lain: pertama,

madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia, dan kedua, terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah. Akibat dari dualisme pemaknaan madrasah tersebut, maka madrasah (dalam konteks pendidikan nasional sebagai sub sistem pendidikan nasional) belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya.

Hal ini diperparah oleh adanya efek pensejajaran madrasah dengan

sekolah umum yang berakibat berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang melemahkan eksistensi pendidikan Islam.

Beberapa permasalahan yang muncul kemudian adalah berkurangnya muatan materi pendidikan agama dan tamatan madrasah serba tanggung, pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah. Madrasah yang lahir dari dan untuk masyarakat selalu mendapati keluhan tentang kualitas pendidikannya, bukan keluhan tentang pendidikan agamanya akan tetapi kurang pendidikan umum bila disejajarkan dengan sekolah umum lainnya sehingga kurang memberi efek sosial bagi masyarakat.

Hal ini juga dipertegas oleh pengamatan Steenbrink (1986: 232), bahwa madrasah tingkatanya berada di bawah sekolah umum, bahkan lulusan madrasah biasanya sulit memperoleh penghargaan yang sama dengan lulusan sekolah umum, meskipun banyak pengumuman yang menyatakan bahwa

(6)

madrasah sederajat dengan sekolah umum.

Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia dan telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Apakah madrasah itu berada pada satu atap atau satu sistem di bawah pengawasan departemen pendidikan nasional di dalam hal pembinaanya?

Kenyataan sekarang yang ada bahwa sekolah umum di bawah pengawasan Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementrian Pendidikan Nasional) dan madrasah di bawah Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama). Perbedaan ini tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan dalam hal sistem, manajerial dan kultural.

Dalam sistem pendidikan akan melahirkan dikotomi antara ilmu-ilmu Islam dengan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi perhatian dan garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya. Dalam hal manajerial, terdapat perbedaan

dalam hal anggaran pendidikan, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan juga dalam pemenuhan ketenagaan baik tenaga edukatif maupun non edukatif antara sekolah umum dengan madrasah. Apalagi diperparah dengan perbedaan antara madrasah swasta dan negeri.

Dalam hal kultural, akibat perbedaan yang dibesar-besarkan itu menyebabkan lembaga pendidikan sekolah yang bercirikan khas Islam belum dapat mengikat hati sebagian umat Islam, mungkin karena berbagai faktor, terutama bagi kalangan masyarakat Muslim elite (Daulay, 2004:49).

Praktik manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Akibatnya, apabila muncul kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior atau ada kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su'ul adab.

Hal ini pula yang dimungkinkan sebagai sebab-sebab kemunduran madrasah dan berkurangnya respon

(7)

masyarakat terhadap keberadaan madrasah.

Persoalan dikotomi dan dualisme pendidikan yang menimpa lembaga pendidikan Islam lebih diperparah lagi dengan persoalan biaya atau alokasi dana penyelenggaraaan pendidikan di madrasah. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum (di bawah Kemendiknas) dengan madrasah (di bawah Kemenag).

Hal ini juga masih dirasakan bahwa kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan, demikian ini karena SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari

departemen terkait (Malik Fadjar, 1998).

Beberapa problema yang muncul pada madrasah, sebagaimana diuraikan di atas, menuntut keseriusan bagi para penyelenggara madrasah untuk mengembangkan dan meningkatkan eksistensinya dan juga proses penyelenggaraannya, sehingga madrasah mampu berada sejajar dengan sekolah-sekolah umum lainnya.

REPOSISI FUNGSI MADRASAH Pertanyaan mengapa perlu reposisi madrasah, tidak sekadar muncul sebagai latah lazimnya orang menanyakan, namun dari segi perkembangan sosial historis telah menempatkan madrasah (sekolah umum yang bercirikan agama Islam) cenderung terisolasi dan kini terseret di dalam arus uniformitas, disamping terdapat kencenderungan madrasah dikhawatirkan akan tercabut dari akar budaya dan kebutuhan masyarakatnya. Abdurahman Shaleh dalam Nafis (2010: 8) tuntutan untuk melakukan perubahan tidak hanya datang dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi atau tuntutan pembangunan nasional, melainkan juga

(8)

tuntutan masyarakat, karena masyarakat tidak lagi puas dengan terpenuhinya keebutuhan yang bersifat intrinsic dari hasil pendidikan madrasah seperti ini seperti di masa lampau ketika madrasah hanya mengemban misi keagamaan saja. Akan tetapi, sekarang ini tuntutan terhadap kebutuhan yang sifatnya ekstrinsik pun menjadi dominan.

Oleh karena itu reposisi madrasah diperlukan demi perkembangan identitas lembaga tersebut yang diharapkan akan melahirkan pribadi peserta didiknya sesuai dengan ciri khas madrasah (Tilaar, 2000: 172-173). Dikatakan pula oleh Abdurrahman Shaleh, bahwa sekarang ini tuntutan persamaan mutu

output madrasah dengan ouput sekolah

umum merupakan suatu konsekuensi logis, karena madrasah adalah sama 100% dengan sekolah umum.

Berdasarkan latar belakang dan problema yang muncul, maka ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian kaitannya dengan reposisi fungsi madrasah, yaitu respon terhadap madrasah, madrasah dan orientasi mutu, dan madrasah sebagai pusat keunggulan.

1. Respon Terhadap Madrasah Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang.

Hal ini disebabkan oleh madrasah memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya yakni mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi dewasa ini.

Namun anggapan terhadap madrasah yang tampaknya mempesona tersebut masih saja harus menjumpai kendala yang justru timbul dari umat Islam sendiri tentang penilaian madrasah. Umat Islam mading menganggap, bahwa pertama, materi pendidikan di madrasah dipandang belum membangun sikap kritis, masih

(9)

terbatas pada masalah keagamaan serta tidak memiliki kepedulian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, baik ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu pengetahuan alam. Pada masyarakat Indonesia modern, mata pelajaran praktis (ilmu-ilmu agama) tidak begitu dihargai, walaupun kebanyakan murid madrasah berasal dari pedesaan. Mata pelajaran umum (IPS dan IPA) yang dimasukkan ke madrasah, pada umumnya merupakan mata pelajaran yang mempersiapkan untuk jabatan (white collar job) (Steenbrink, 1986: 232) ; kedua, penyelenggaraan pendidikan di madrasah berlangsung dengan fasilitas sederhana, murah dan meriah dan sering kali atas dasar ikhlas beramal, dan ketiga, kegiatan belajar mengajar di madrasah berlangsung secara monolog dengan posisi guru yang dominan. Anggapan tidak menggembirakan ini tidak berarti bahwa madrasah yang ada sekarang ini semuanya tidak baik. Ada beberapa madrasah baik yang dikelola di dalam sebuah pesantren ataupun di luar pesantren menunjukkan reputasinya yang baik bahkan dapat dikatakan unggul dan melebihi sekolah umum.

Madrasah yang dikelola oleh pondok modern Gontor Ponorogo Jawa Timur misalnya, adalah bukti sebuah madrasah yang berhasil menghasilkan lulusan yang unggul. Sehingga eksistensi madrasah yang didukung oleh pondok tersebut semakin menunjukkan kualitasnya.

Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah biarpun beaya pondok itu mahal. Ma'had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (berdiri pada tahun 1994), juga telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.

Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Realitas menunjukkan bahwa praktik pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan disusun sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan

(10)

berkali-kali, tidak hanya gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah) yang menjadi anak emas pemerintah (di bawah naungan kemendiknas) telah gagal menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade.

Misi pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti luhur, masih tetap berada pada tataran ideal yang tertulis dalam susunan cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari sistem pendidikan nasional. Respon terhadap madrasah inilah masih harus menjangkau dari segi berbagai aspek dan dari berbagai elemen atau komponen dalam sebuah negara.

2. Madrasah dan Orientasi Mutu Diakui bahwa madrasah mempunyai nilai-nilai positif di

samping tentunya berbagai kelemahan yang ada harus dibenahi. Pendidikan madrasah tidak hanya terhenti pada anggapan untuk mempertahankan tradisi lama atau sekadar sebagai pelestarian “cagar budaya” dalam khazanah pendidikan Islam.

Namun kualitas (orientasi mutu) hendaknya menjadi titik perhatian bagi kalangan para intelektual muslim. Hal ini berarti pendidikan yang dilakukan di madrasah tidak hanya mementingkan kualitas lulusan dalam aspek kognitifnya tetapi juga afektif dan psikomotoriknya.

Anjuran teori taxonomi

Benjamin S. Bloom harus diganti dengan perpaduan antara kemampuan kognitif dengan kemampuan afektifnya. Dan nampaknya madrasah ingin tetap mempertahankannya. Karena itulah keberhasilan outcome seorang alumni madrasah harus bisa menggambarkan keseimbangan antara nilai raport atau hasil ujiannya dengan moral keagamaan yang melekat pada sikap dan perilakunya keseharian.

Orientasi mutu madrasah tidak bisa ditawar-tawar karena mengingat kondisi obyektif madrasah masih perlu perhatian semua pihak, baik

(11)

pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat (Nafis, 2010: 33). Nafis menguraikan 10 (sepuluh) kondisi obyektif madrasah yang sedang dihadapi, yaitu:

a. Kualitas lulusan yang didasarkan Ujian Nasional (UN) belum sepenuhnya menggembirakan. b. Citra madrasah masih dianggap

sebagai lembaga pendidikan kelas dua dan tradisional.

c. Jumlah guru masih kurang dan sebagian besar guru tersebut masih

unqualified dan mismatch dan

kebanyakan belum PNS.

d. Gaji guru secara umum masih sangat kecil dan banyak di bawah UMR.

e. Sarana dan prasarana pembelajaran masih sangat terbatas.

f. Background peserta didik di madrasah umumnya dari keluarga yang kelas ekonominya menengah ke bawah.

g. Guru PAI belum sepenuhnya dapat mengaktualisasikan nilai-nilai agama kepada peserta didik. h. Dana pendidikan dari Pemerintah

dan Pemerintah Daerah masih sangat terbatas.

i. Tuntutan kompetensi dan kompetisi

j. Tuntan globalisasi. (Nafis, 2010: 35).

Meski kondisi obyektif madrasah terkesan kurang meng-gemberikan, namun madrasah juga bisa membawa pada kepopuleran madrasah tersebut jika madrasah mampu menjadi lembaga pendidikan yang alternatif. Menurut Malik Fajar pendidikan Islam dapat mejadi pendidikan alternatif apabila ia dapat memenuhi empat tuntutan yakni; a. kejelasan cita-cita dengan

langkah-langkah yang operasional di dalam usaha mewujudkan cita-cita pendidikan Islam

b. memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya c. meningkatkan dan memperbaiki

manajemen

d. peningkatan mutu sumber daya manusianya (Fajar, 1998: 150-151).

Konsep mutu yang

diperkenalkan Edward Deming dan Jerome S. Arcaro atau oleh para pakar manajemen mutu yang lainnya telah dicobakan di berbagai lembaga pendidikan umum dengan hasil yang beragam.

Tujuan utama dari

pemberlakuan mutu agar proses dan hasil dari sebuah pendidikan lebih terukur, dapat dipertanggungjawabkan

(12)

dan menghasilkan lulusan yang lebih berdayaguna dan siap pakai. Oleh karena itu madrasah sudah saatnya harus memperhatikan mutu di segala bidang agar nantinya madrasah seimbang dengan sekolah-sekolah umum lainnya, bahkan menjadi pilihan alternatif dan bisa menjadi pusat keunggulan dalam perpaduan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu pengetahuan umum.

3. Madrasah Pusat Keunggulan Fase perkembangan madrasah pasca kemerdekaan Republik Indonesia khususnya dengan lahirnya keputusan bersama 3 menteri (SKB 3 Menteri), sebenarnya dengan keputusan tersebut apalagi setelah pendidikan Islam memasuki era integrasi melalui UUSPN no 2 tahun 1989 yang kemudian sekarang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan Islam telah mendapat tempatnya dalam sistem Pendidikan Nasional.

Hanya saja keberadaan madrasah yang telah diakui itu tidak menjadikan madrasah kehilangan jati

dirinya. Apa yang dikhawatirkan kemudian yang menurut Fajar ketika format madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keislaman terus mengalami perubahan (Fajar; 1998: 23).

Penawaran Tilaar dengan upaya reposisi madrasah ke dalam kerangka konseptual reposisi dan reaktualisasi madrasah jangan sampai mengurangi kewibawaan dan ciri khas madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Oleh karena itu madrasah harus melakukan berbagai upaya dan terobosan agar eksistensi madrasah diiringi dengan semakin berfungsinya madrasah tersebut dalam kancah pendidikan nasional. Dalam hal ini, terobosan yang hendak dicapai adalah madrasah menjadi pusat unggulan dalam pendidikan Islam.

Agar madrasah menjadi pusat unggulan, perlu ditempuh dengan cara: a. Memposisikan fungsi madrasah

sebagai lembaga pendidikan Islam yang menghubungkan sistem lama dan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu,

(13)

teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam (Abasri; 2009: 290).

b. Madrasah hendaknya melakukan perubahan dalam sistem pendidikannya yang mengarah perbaikan materi-materi pendidikan agar dapat membangun sikap kritis dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum lainnya.

c. Madrasah mengubah sistem pembelajaran yang terkesan monolog menjadi dialogis yang inovatif.

d. Madrasah melalui para pengelolanya hendaknya juga berusaha meningkatkan manajemen pendidikannya yang dapat mengantisipasi dan merespon tuntutan masyarakat.

e. Madrasah perlu mengembangkan program yakni memberikan nuansa Islam atau spiritualisasi bidang studi umum atau sebaliknya pengajaran bidang studi agama diperkuat dengan pendekatan iptek. Disamping cara-cara di atas, hal lain yang juga turut mendukung dalam menjadikan madrasah sebagai pusat unggulan adalah

ketersediaan tenaga pendidikan yang profesional, kelengkapan sarana dan prasarana, perlu ditangani dengan sistem manajemen profesional yang modern, transparan dan demokratis, dan adanya kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan dunia modern.

Agaknya upaya untuk menjadikan madrasah sebagai pusat unggulan di bidang pendidikan Islam sebagaimana diuraikan di atas masih menjumpai kendala dalam realisasinya, apabila hingga sekarang ini terdapat dikotomi pendidikan Islam dengan pendidikan umum lainnya, sebagai akibat kebijakan pemerintah Indonesia dengan adanya pemisahan kewenangan antara kementrian pendidikan nasional dan kementrian agama dalam soal pembinaan dan pengawasan pendidikan yang dibedakan antara sekolah umum dengan madrasah. Oleh karena itu perlu dilakukan hubungan yang dialogis dan sinergis antara kedua departemen tersebut.

SIMPULAN

Eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang cukup

(14)

lama berada di Indonesia mestinya patut diperhitungkan keberadaan dan fungsinya dalam turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa di tanah air Indonesia.

Upaya pemerintah, pemerintah daerah dan dukungan masyarakat yang aktif hendaknya dilakukan sedemikian rupa dalam mewujudkan reposisi fungsi madrasah di tengah sistem pendidikan nasional. Dan upaya ini tidak berhenti dengan lahirnya sebuah peraturan perundangan-undangan yang selama ini digariskan melalui undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, melainkan perubahan citra madrasah yang terkesan “dipinggirkan” dalam blantika dunia pendidikan nasional menjadi masdrasah yang “diunggulkan”.

DAFTAR PUSTAKA

Suwito dan Fauzan (ed), 2008. Sejarah

Sosial Pendidikan Islam

(Jakarta: Prenada Media) Fadjar, Malik. A., 1998. Madrasah

dan Tantangan Modernitas.

(Bandung: Mizan)

_____________., 1998. Vizi

Pembaruan Pendidikan

Islam, (Jakarta: LP3NI)

Karel A Steenbrink, 1986. Pesantren

Madrasah Sekolah:

Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES)

Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru

Pendidikan Nasional,

(Jakarta: Rineka Cipta)

Thoha, Chabib dan Muth'i, Abdul, 1998. PBM-PAI di Sekolah:

Eksistensi dan Proses

Belajar Mengajar

Pendidikan Agama Islam.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sarna dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang)

Daulay, Haidar Putra, 2004.

Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media).

Samsul Nizar (ed), 2009. Sejarah

Pendidikan Islam:

Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta:

Kencana Media Group)

Nafis, Ahmadi H. Syukron. 2010.

Pendidikan Madrasah:

Dimensi Profesional dan

Kekinian, (Yogyakarta:

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Mbak Umi selaku marketing dan Mbak Fitri selaku perwakilan marketing, yang telah memberikan informasi dan data tentang Desa Wisata Batik Tulis Giriloyo, Wukirsari,

Hasil analisis menunjukkan nilai p sebesar 0,001 (p<0,05) yang berarti ada hubungan antara cyberloafing dan self regulated learning pada mahasiswa Universitas Katolik Widya

Sesuai dari hasil dari penelitian dan pembahasan peneliti menyimpulkan tingkat kecemasan atlet yang didapat hasil dari kuesioner atau angket milik Nyak Amir yang telah

Sebagai perusahaan konsultan, kami bekerja dengan dengan fokus utama manajemen operasional harian, strategi pemasaran, ide kreatif dan membantu bisnis anda beralih menggunakan

Contoh menjual produk inovasi kemasyarakat yang memang saat ini sudah jarang menjual produk cincau hijau dan perlunya dilakukan pengujian laboratorium terhadap produk inovasi

Pienten lasten rotavirus-, pneumokokki-, HPV-, influenssa- ja vesirokkorokotukset ovat ennen rokotusohjelmaan ottamista käyneet läpi 2000-luvun alusta käytössä olleen

Pariwisata meliputi: semua kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan wisata, pengusahaan obyek dan daya tarik wisata, seperti kawasan wisata, taman rekreasi,

Penelitian tersebut sesuai dan didukung oleh penelitian ini karena telah terbukti bahwa bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara pengaruh kompetensi