• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PELAKSANAAN...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PELAKSANAAN..."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan karunia, kasih sayang dan ridha-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemantauan Kawasan Sabuk Hijau Waduk Wadaslintang Menggunakan Citra Satelit Landsat 8”. Penyusunan skripsi ini dilaksanakan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana teknik pada Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Selama proses penyusunan skripsi, penulis telah banyak mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada :

1. Ir. Djurdjani, M.SP., M.Eng., Ph.D., Ketua Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan selaku dosen penguji skripsi.

2. Ir. Hadiman, M.Sc., selaku dosen pembimbing akademik.

3. Dr. Harintaka, ST, MT., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam pelaksanaan skripsi.

4. Ir. Christine Noegroho Kartini, SU. Pj., selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak masukkan berharga kepada penulis.

5. Seluruh dosen dan karyawan Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gagjah Mada Yogyakarta atas bantuan dan perhatian selama penyelesaian skripsi.

6. Pihak BBWS Serayu Opak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan skripsi.

7. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Khumroni dan Ibu Mujiyah yang telah memberikan doa dan semangat yang tak pernah putus pada penulis selama penyelesaian skripsi.

8. Sahabat-sahabatku : Miranty Noor S, Siti Rahmi, Rizky Ayu P, Usissa A, Siti Noor C dan Anisa A yang selalu memberikan bantuan dan semangat .

(2)

10. Teman – teman seperjuangan kluster Fotogrametri : Wiwin, Ida, Mba Cindy, Mas Ali, dan Mas Gantang.

11. Keluarga besar Teknik Geodesi angkatan 2010.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis memohon maaf apabila dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi kepentingan akademik khususnya di Jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada dan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Yogyakarta, Juni 2014

(3)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

INTISARI ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN...xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Rumusan Masalah ... 2

I.3. Tujuan ... 3

I.4. Manfaat ... 3

I.5. Batasan Masalah ... 3

I.6. Tinjauan Pustaka ... 4

I.7. Landasan Teori ... 5

I.7.1. Waduk ... 5

I.7.2. Sabuk Hijau ... 7

I.7.3. Penginderaan Jauh ... 8

I.7.4. Satelit Landsat ... 9

I.7.4.1. Satelit Landsat 7 ETM+ ... 10

I.7.4.2. Satelit Landsat 8 ... 11

I.7.5. Koreksi Citra ... 14

I.7.5.1. Koreksi radiometrik ... 15

I.7.5.2. Koreksi geometrik ... 16

(4)

I.7.8.1. Training area ... 22

I.7.8.2. Hitungan statistik training area ... 22

I.7.8.3. Uji indeks separabilitas ... 23

I.7.9. Uji Ketelitian Klasifikasi ... 23

I.7.10. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan ... 25

I.8. Hipotesis ... 25

BAB II PELAKSANAAN ... 26

II.1. Persiapan ... 26

II.1.1. Bahan Penelitian ... 26

II.1.2. Peralatan ... 26

II.2. Pelaksanaan ... 27

II.2.1. Tahapan Pre-Processing ... 28

II.2.1.1. Persiapan ... 28

II.2.1.2. Pengumpulan data ... 28

II.2.1.2.1. Citra satelit Lansat 7 dan Landsat 8 ... 29

II.2.1.2.2. Pemilihan titik kontrol pada Peta Rupa Bumi Indonesia ... 29

II.2.1.2.3. Penentuan titik sampel di lapangan ... 29

II.2.1.3. Komposit citra multispektral ... 29

II.2.1.4. Koreksi radiometrik citra ... 31

II.2.1.5. Koreksi geometrik citra ... 32

II.2.1.5.1. Koreksi geometrik dengan transformasi citra tahun 2013 ke peta ... 32

II.2.1.5.2. Koreksi geometrik dengan transformasi citra tahun 2001 ke citra tahun 2013 ... 36

II.2.1.6. Pemotongan (cropping) untuk memilih daerah kajian ... 39

II.2.2. Tahapan Processing ... 40

(5)

II.2.3. Tahapan Post-Processing ... 47

II.2.3.1. Perhitungan luasan kelas penggunaan lahan daerah kajian ... 48

II.2.3.2. Perhitungan luasan kelas penggunaan lahan kawasan sabuk hijau ... 48

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

III.1. Koreksi Geometrik Citra ... 50

III.2. Klasifikasi Terkontrol (Supervised Classification) ... 53

III.3. Uji Ketelitian Hasil Klasifikasi ... 56

III.4. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan ... 58

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

IV.1. Kesimpulan ... 65

IV.2. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(6)

Gambar I.1. Gambaran umum waduk ... 5

Gambar I.2. Grafik sedimentasi Waduk Wadaslintang ... 6

Gambar I.3. Pengumpulan sedimentasi di dalam waduk ... 6

Gambar I.4. Grafik volume Waduk Wadaslintang ... 7

Gambar I.5. Spektrum gelombang elektromagnetik ... 8

Gambar I.6. Sistem penginderaan jauh ... 9

Gambar I.7. Satelit Landsat ... 10

Gambar I.8. Satelit Landsat 7 ETM+ ... 11

Gambar I.9. Satelit Landsat 8 ... 12

Gambar II.1. Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 27

Gambar II.2. Diagram alir pelaksanaan penelitian (lanjutan) ... 28

Gambar II.3. Isi satu paket citra Landsat 8 hasil downloding ... 29

Gambar II.4. Penggabungan band ... 30

Gambar II.5. Data statistik citra ... 31

Gambar II.6. Koreksi geometrik citra ke peta ... 32

Gambar II.7. Koreksi geometrik citra ke citra ... 36

Gambar II.8. Pemotongan daerah kajian ... 37

Gambar II.9. Tampilan N-D visualizer ... 42

Gambar II.10. Tampilan indeks separability ... 42

Gambar II.11. Luasan tiap kelas hasil klasifikasi pada daerah kajian ... 48

Gambar II.12. Luasan tiap kelas hasil klasifikasi pada kawasan sabuk hijau ... 49

Gambar III.1. Koreksi geometrik citra Landsat ... 53

Gambar III.2. Citra komposit ... 54

Gambar III.3. Hasil klasifikasi terkontrol ... 56

Gambar III.4. Foto uji lapangan ... 57

Gambar III.5. Perubahan penggunaan lahan daerah kajian ... 59

Gambar III.6. Grafik perubahan penggunaan lahan ... 60

Gambar III.7. Hasil klasifikasi penggunaan lahan kawasan sabuk hijau ... 61

(7)

Gambar III.11. Kawasan sabuk hijau yang mengalami degradasi lahan ... 63 Gambar III.12. Perubahan luasan permukaan air waduk ... 64

(8)

Tabel I.1. Tinjauan pustaka ... 4

Tabel I.2. Waktu pengoperasian satelit Landsat... 10

Tabel I.3. Saluran band Landsat 7 ETM+ ... 11

Tabel I.4. Saluran band Landsat 8... 12

Tabel I.5. Perbedaan karakteristik Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 ... 13

Tabel I.6. Perbedaan band Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 ... 13

Tabel I.7. Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut USGS ... 19

Tabel I.8. Pemilihan skema klasifikasi ... 20

Tabel II.1. Koordinat GCP Image to Map ... 33

Tabel II.2. Koordinat GCP Image to Map (lanjutan I) ... 34

Tabel II.3. Koordinat GCP Image to Map (lanjutan II) ... 35

Tabel II.4. Nilai RMS Error transformasi citra 2013 ke peta rupa bumi Indonesia ... 35

Tabel II.5. Nilai RMS Error transformasi citra 2001 ke citra 2013 ... 36

Tabel II.6. Wilayah administrasi daerah kajian ... 38

Tabel II.7. Daftar training area tiap kelas ... 39

Tabel II.8. Nilai statistik masing-masing band pada citra tahun 2001 ... 40

Tabel II.9. Nilai statistik masing-masing band pada citra tahun 2013 ... 40

Tabel II.10. Nilai varian kovarian citra tahun 2001 ... 40

Tabel II.11. Nilai varian kovarian citra tahun 2013 ... 40

Tabel II.12. Nilai korelasi citra tahun 2001... 41

Tabel II.13. Nilai korelasi citra tahun 2013... 41

Tabel II.14. Matrik konfusi citra Landsat 7 ETM+ tahun 2001 ... 44

Tabel II.15. Matrik konfusi citra Landsat 8 tahun 2013 ... 44

Tabel II.16. Tabel nilai omission, commision dan map accuracy citra Landsat 7 ETM+ tahun 2001 ... 45

Tabel II.17. Tabel nilai omission, commision dan map accuracy citra Landsat 8 tahun 2013... 45

(9)

ke peta rupa bumi Indonesia ... 51

Tabel III.3. Daftar nilai RMSE transformasi citra tahun 2001 ke citra tahun 2013 ... 52

Tabel III.4. Hasil matrik konfusi ... 58

Tabel III.5. Hasil klasifikasi citra tahun 2001 ... 58

Tabel III.6. Hasil klasifikasi citra tahun 2013 ... 59

Tabel III.7. Hasil klasifikasi sabuk hijau tahun 2001 ... 61

(10)

LAMPIRAN A Metadata Citra ... 69

LAMPIRAN B Data Statistik Citra ... 77

LAMPIRAN C Satistik Training Area ... 82

LAMPIRAN D Indeks Separabilitas ... 91

LAMPIRAN E Nilai RMS Error Citra ... 96

LAMPIRAN F Tabel Titik Uji Hasil Klasifikasi ... 98

LAMPIRAN G Langkah Pengolahan Citra Digital ... 117

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Air merupakan sumber daya alam yang vital dan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia. Kebutuhan air saat ini semakin meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi. Salah satu kebijakan untuk pembangunan bidang sumber daya air adalah dengan meningkatkan efektifitas pengelolaan sumber daya air guna memenuhi semua kebutuhan masyarakat secara merata, adil dan efisien dengan mempertimbangkan kebutuhan masa yang akan datang. Waduk pada umumnya dibangun untuk melestarikan dan memelihara sumber daya air dengan cara menampungnya guna menjaga keseimbangan dan ketersediaan air.

Waduk Wadaslintang merupakan waduk tertinggi di Indonesia pada tahun 1988 (Data BBWS Serayu Opak). Waduk ini mulai dibangun pada tahun 1982 dan difungsikan sebagai waduk serbaguna (multipurpose dam), yaitu fungsi waduk tidak hanya sebagai pemasok kebutuhan air untuk irigasi, tetapi juga dapat berperan sebagai alat pengendali banjir dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang menyuplai energi listrik untuk keperluan masyarakat. Selain itu, waduk digunakan sebagai sarana budidaya perikanan dan objek pariwisata sehingga dapat menghasilkan pemasukan bagi masyarakat di sekitarnya. Namun seiiring dengan berjalannya waktu, waduk mengalami penurunan fungsi dan kinerjanya, karena pendangkalan waduk akibat tingginya laju sedimentasi yang akan mempengaruhi perubahan kapasitas tampungan waduk tersebut sehingga menyebabkan berkurangnya volume efektif waduk dan tingkat operasional waduk. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja pengelolaan Waduk Wadaslintang sehingga pemanfaatan air secara optimal dapat tercapai. Dengan pengelolaan waduk yang baik diharapkan waduk Wadaslintang dapat memenuhi berbagai kebutuhan air sesuai dengan peruntukkannya.

Untuk menjamin fungsi waduk tetap optimal dan berkelanjutan, kegiatan pengelolaan harus ditekankan pada upaya pengamanan dan penyelamatan waduk

(12)

serta daerah di sekitarnya. Daerah-daerah yang bervegetasi terutama kawasan sabuk hijau, harus dilindungi dan harus tetap dijaga kelestariannya. Berkurangnya luasan lahan vegetasi yang berfungsi sebagai pelindung waduk dari ancaman erosi dan laju sedimentasi yang tinggi di daerah tersebut, akan memberikan dampak negatif terhadap siklus hidrologi waduk.

Salah satu upaya pengawasan untuk memonitor pemanfaatan lahan di kawasan waduk dan sekitarnya dibantu dengan menggunakan citra penginderaan jauh yang memiliki resolusi temporal yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk memonitoring perubahan penggunaan lahan yang terjadi (Ahmada, 2013). Informasi tentang penggunaan lahan yang akurat dan up to date sangat penting dalam pengelolaan lahan, data tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi masalah lahan dan memonitoring perubahan lahan. Penelitian ini menggunakan citra Landsat 7 ETM+ dan citra Landsat 8. Citra Landsat 8 merupakan citra yang diperoleh dari satelit Landsat 8 sebagai generasi penerus satelit Landsat 7 ETM+ yang mengalami kerusakan pada sensornya sehingga proses scanning pada citra landsat 7 ETM+ tidak sempurna (stripping). Karakteristik dari citra Landsat 8 hampir sama dengan citra Landsat 7 ETM+, hanya saja citra Landsat 8 memiliki jumlah band yang lebih banyak dari citra Landsat 7 ETM+ yaitu 11 band, sedangkan citra Landsat 7 ETM+ hanya memiliki 8 band. Pengamatan dengan citra Landsat ini dimaksudkan untuk memetakan dan memantau perubahan kondisi sabuk hijau (green belt) dan penggunaan lahan di sekitar kawasan Waduk Wadaslintang.

I.2. Rumusan Masalah

Waduk Wadaslintang mengalami pendangkalan waduk akibat tingginya laju sedimentasi yang akan mempengaruhi kapasitas tampungan waduk sehingga volume efektif waduk semakin berkurang. Perlu dilakukan pemantauan pada kawasan sekitar waduk dan sabuk hijau waduk untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Pemantauan dilakukan dengan citra Landsat 8 tahun 2013, untuk kemudian dibandingkan dengan citra Landsat 7 ETM+ tahun 2001.

(13)

I.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan dan sabuk hijau di kawasan Waduk Wadaslintang dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8.

I.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menghasilkan informasi spasial dan atribut mengenai perubahan vegetasi luasan sabuk hijau dan perubahan penggunaan lahan.

2. Sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki tata guna lahan di sekitar Waduk Wadaslintang.

3. Sebagai informasi yang dapat digunakan oleh pemerintah maupun instansi-instansi terkait untuk meningkatkan kinerja waduk Wadaslintang.

I.5. Batasan Masalah

Pada penelitian ini diberikan batasan – batasan sebagai berikut :

1. Identifikasi perubahan lahan menggunakan citra Landsat, yang mana citra Landsat memiliki resolusi spasial yang rendah, yaitu sebesar 30 m x 30 m. 2. Perubahan lahan yang diteliti dalam jangka waktu 12 tahun dengan

menggunakan citra Landsat 7 ETM+ tanggal 1 Juli 2001 dan citra Landsat 8 tanggal 24 Juni 2013.

3. Daerah penelitian mencakup daerah sekitar Waduk Wadaslintang yang berada pada koordinat 7º 30’ 37,02” LS - 7º 38’ 23,51” LS dan 109º 44’ 16,92” BT - 109º 50’ 54,11” BT.

4. Kelas penggunaan lahan yang diteliti adalah tanah terbangun, kebun, sawah, tegalan, hutan, semak belukar dan tubuh air.

5. Klasifikasi penggunaan lahan menggunakan klasifikasi terkontrol (supervised classification) dengan metode maximum likelihood.

(14)

I.6. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dari penelitian ini disajikan pada tabel I.1 berikut : Tabel I.1. Tinjauan pustaka

No Penulis Judul

Penelitian Lokasi Metode Hasil

1. Hardini,dkk (2012) Analisa Spasial Dinamika Morfometri Waduk Menggunakan Data Satelit Multi Temporal di Waduk Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah Waduk Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah Klasifikasi visual (digitasi on screen) Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa morfometri waduk Rawa Pening pada tahun 1982-1990 mengalami pelebaran

ukuran waduk

sedangkan dari tahun 1990-2009 mengalami penyempitan waduk 2. Ismail, A. (2009) Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Daerah Tangkapan Air Waduk Darma, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Daerah Tangkapan Air Waduk Darma, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Klasifikasi visual (digitasi on screen) Perubahan penggunaan lahan pada daerah

tangkapan air (DTA)

Waduk Darma

selama periode waktu tahun 1991 – 2008 mempengaruhi kondisi koefisien aliran, baik itu dari hasil perhitungan faktor biofisik, maupun dari analisis data hidrologi debit inflow waduk Darma 3. Yudo, P. dan Nugraha, A.L. (2006) Analisis Tata Guna Lahan Kawasan Waduk Kedung Ombo Menggunakan Citra Satelit Landsat Tahun 1998 dan 2002 Kawasan Waduk Kedung Ombo Menggunak an algoritma NDVI TM Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa terjadi penurunan kualitas pemanfaatan lahan yang diindikasikan dengan peningkatan lahan kritis di dalam kawasan green belt

Waduk Kedung

(15)

I.7. Landasan Teori I.7.1. Waduk

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2010 tentang Bendungan, Waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan. Bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur. Struktur ini menghambat aliran sungai sehingga menciptakan danau buatan atau waduk. Gambar I.1 memperlihatkan gambaran umum waduk.

Gambar I.1. Gambaran umum waduk (Imhof, 2006)

Waduk berfungsi untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air saat kelebihan air yang biasanya terjadi pada musim penghujan dan mengeluarkan air pada saat dibutuhkan. Air yang ditampung dalam waduk dapat digunakan untuk pembangkit listrik, irigasi, kebutuhan rumah tangga (cuci, mandi, dan minum), mengendalikan banjir, dan untuk rekreasi. Beberapa bendungan dibangun dengan tujuan untuk memenuhi fungsi lebih dari satu hal (multipurpose dam) (Imhof, 2006). Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen air umumnya telah direncanakan sehingga kedalaman, volume, luas, debit inflow dan outflow dapat diketahui secara pasti. Waduk Wadaslintang mengalami penurunan fungsi dan kinerja karena pendangkalan waduk akibat tingginya laju sedimentasi. Grafik mengenai perubahan sedimentasi pada Waduk Wadaslintang dapat dilihat pada gambar I.2.

(16)

Gambar I.2. Grafik sedimentasi Waduk Wadaslintang (BBWS Serayu Opak)

Proses sedimentasi meliputi erosi material tertentu karena terbawa angin atau aliran air oleh sungai dan air hujan, kemudian material tersebut ditransportasi menuju waduk. Seiring berjalannya waktu, waduk akan terisi oleh endapan sedimen, dan akhirnya memadat pada dasar waduk. Semakin banyaknya endapan sedimen maka waduk akan menjadi kurang efektif sehingga tidak dapat lagi beroperasi sebagaimana yang direncanakan. Gambar I.3 mengilustrasikan pengumpulan sedimen di dalam waduk.

Gambar I.3. Pengumpulan sedimentasi di dalam waduk (BBWS Serayu Opak) Sedimentasi yang tinggi akan mempengaruhi perubahan kapasitas tampungan waduk sehingga menyebabkan berkurangnya volume efektif waduk. Berikut ini grafik yang memperlihatkan volume air waduk Wadaslintang.

2.930.000 3.220.260 24.382.193 27.227.182,40 0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000 30000000 1 2 3 4 1987 1993 2004 2013 V ol um e ( m 3 )

(17)

Gambar I.4 menunjukkan grafik volume air Waduk Wadaslintang.

Gambar I.4. Grafik volume Waduk Wadaslintang (BBWS Serayu Opak)

Waduk Wadaslintang merupakan waduk yang dibangun di bagian hulu DAS (Daerah Tangkapan Air) Wawar, sehingga keberadaan dan kondisi Waduk Wadaslintang akan sangat berdampak pada daerah hilir. Perlu tindakan nyata untuk melindungi kawasan waduk ini, salah satunya dengan melakukan penanaman kembali pada kawasan sabuk hijau waduk.

I.7.2. Sabuk Hijau

Sabuk hijau (green belt) adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memiliki tujuan sebagai pemisah antara areal waduk dan area non waduk sekaligus sebagai areal strategis sebagai penyangga keberadaan waduk untuk melindungi dari laju sedimentasi yang menyebabkan pengdangkalan waduk.

Pembuatan sabuk hijau dimaksudkan untuk melindungi bendungan, waduk, PLTA dan bangunan pelengkap lainnya, fungsi sabuk hijau (Asmoro, 2007), yaitu : a. Mencegah erosi pada lereng sekitar waduk dan menahan lumpur yang memasuki

waduk.

b. Memperbaiki kualitas lingkungan dan dapat bermanfaat untuk pengembangan pariwisata.

c. Menjaga kestabilan tanah lereng bukit, dan mengurangi tanah longsor di sekitar waduk. 443.000.000,00 439.779.740,00 418.617.807,00 415.772.817,63 400000000.00 405000000.00 410000000.00 415000000.00 420000000.00 425000000.00 430000000.00 435000000.00 440000000.00 445000000.00 450000000.00 1 2 3 4 V ol um e ( m 3 ) 1987 1993 2004 2013

(18)

d. Dapat memberikan hasil budidaya hutan bagi masyarakat di sekitar waduk, seperti buah-buahan, kayu bakar, rumput sebagai makanan ternak dan lain sebagainya.

Untuk menjamin fungsi waduk tetap optimal dan berkelanjutan, kegiatan pengelolaan harus ditekankan pada upaya pengamanan dan penyelamatan waduk serta daerah di sekitarnya. Pada Keppres 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan bahwa kawasan sekitar danau/waduk adalah kawasan tertentu di sekeliling danau/waduk yang memiliki manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk. Dinyatakan pula bahwa kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

I.7.3. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu objek, daerah atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh tanpa melakukan kontak langsung dengan objek yang dikaji (Lillesand dkk, 2008). Citra penginderaan jauh menggambarkan objek di permukaan bumi, dengan wujud dan letak objek yang mirip dengan wujud dan letak objek di permukaan bumi dengan liputan yang luas.

Matahari memancarkan energinya ke segala arah dengan panjang gelombang berbeda yang membentuk gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik diklasifikasikan menjadi spektrum dan saluran (band). Panjang gelombang elektromagnetik berbeda-beda sehingga peka terhadap berbagai macam objek yang ada di permukaan bumi. Spektrum gelombang elektromagnetik dapat dilihat pada gambar I.5 berikut.

(19)

Energi yang dipancarkan dalam bentuk gelombang elektromagnetik hanya sebagian kecil yang masuk ke permukaan bumi dan sebagian besar tenaga elektromagnetik dihamburkan, dipantulkan dan diserap oleh atmosfer. Energi yang dapat mencapai permukaan bumi melalui celah-celah atmosfer disebut jendela atmosfer. Tenaga yang terpancar maupun yang terpantul oleh objek mempunyai peredaan pantulan dan panjang gelombang yang berbeda, karena tiap objek di permukaan bumi mempunyai perbedaan tingkat kekerasan, kandungan air, mineral, dan sebagainya, sehingga menunjukkan gambaran objek yang berbeda. Dalam perekaman objek harus terjadi interaksi antara tenaga dan objek yang direkam. Interaksi antara tenaga dan objek dalam sistem penginderaan jauh dapat dilihat pada gambar I.6.

Gambar I.6. Sistem penginderaan jauh (Sutanto, 1994)

I.7.4. Satelit Landsat

Satelit Landsat (Land Satellite) merupakan satelit pengamatan bumi milik Amerika yang diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration). Citra dari satelit Landsat telah banyak digunakan oleh pemerintah, masyarakat, industri, maupun pendidikan di seluruh dunia. Citra landsat digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti pada bidang pertanian, kehutananan, pemetaan, oseanografi, sumberdaya alam, dan penelitian perubahan iklim.

Satelit Landsat pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama ERTS-1 (Earth Resource Technology Satellite), kemudian berganti nama menjadi Landsat 1. Seri satelit Landsat hingga saat ini telah sampai pada Landsat 8. Dari Landsat 1

(20)

sampai dengan Landsat 8 telah telah terjadi perubahan sensor sehingga satelit Landsat dikelompokkan menjadi beberapa generasi. Generasi pertama terdiri dari Landsat 1, Landsat 2, dan Landsat 3. Generasi kedua terdiri dari Landsat 4 dan Landsat 5. Generasi ketiga terdiri dari Landsat 6, dan Landsat 7 ETM+, serta generasi terakhir adalah Landsat 8 (U.S. Geological Survey). Waktu pengoperasian satelit Landsat dapat dilihat pada tabel I.2.

Gambar I.7. Satelit Landsat (http://landsat.usgs.gov)

Tabel I.2. Waktu pengoperasian satelit Landsat (http://landsat.usgs.gov)

Satelit Landsat Waktu Beroperasi

Landsat 1 23 Juli 1972 - 6 Januari 1978 Landsat 2 22 Januari 1975 – 22 Januari 1981 Landsat 3 5 Maret 1978 – 31 Maret 1983 Landsat 4 16 Juli 1982 – 1993

Landsat 5 1 Maret 1984 – 26 Desember 2012 Landsat 6 5 Oktober 1993 - gagal mencapai orbit

Landsat 7 ETM+ 15 Desember 1999 – sekarang (mengalami kerusakan sejak Mei 2003)

Landsat 8 11 Februari 2013 – sekarang

I.7.4.1. Satelit Landsat 7 ETM+. Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 Desember 1999 di Pangkalan udara Vandenberg, California. Bentuk satelit Landsat 7 ETM+ dapat dilihat pada gambar I.8. Satelit ini dilengkapi dengan instrumen ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) dengan resolusi 15 meter untuk citra pankromatik dan 30 meter untuk citra multispektral pada kisaran spektrum biru hingga inframerah tengah dan 60 meter untuk citra inframerah termal. Saluran band citra Landsat 7 ETM+ disajikan pada tabel I.3.

(21)

Gambar I.8. Satelit Landsat 7 ETM+. (http://landsat.usgs.gov)

Tabel I.3. Saluran band Landsat 7 ETM+

Band Panjang gelombang

(mikrometer) Resolusi (meter)

Band 1 – Blue 0,45 – 0,52 30

Band 2 – Green 0,52 – 0,60 30

Band 3 – Red 0,63 – 0,69 30

Band 4 - Near Infrared (NIR) 0,77 – 0,90 30

Band 5 – SWIR 1 1,55 – 1,75 30

Band 6 - Thermal 10,40 – 12,50 60

Band 7 - SWIR 2 2,08 – 2,35 30

Band 8 - Panchromatic 0,52 – 0,90 15

Sejak 31 Mei 2003, sistem sensor Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan berupa kegagalan pemindaian (Scan Line Correction, SLC), sehingga data hasil pemindaian banyak yang hilang. Melalui sistem sensor yang menggunakan SLC-off, diperoleh citra digital dengan baris yang melompat – lompat, sehingga mengganggu pengamatan visual citra.

I.7.4.2. Satelit Landsat 8. Pada tanggal 11 Februari 2013, NASA meluncurkan satelit Landsat Data Continuity Mission (LDCM) yang dikenal dengan Landsat 8. Bentuk satelit Landsat 8 dapat dilihat pada gambar I.9. Satelit ini dibawa oleh roket ATLAS V yang diluncurkan dari Pangkalan udara Vandenberg, California.

(22)

Gambar I.9. Satelit Landsat 8 (http://landsat.usgs.gov)

Landsat 8 terdiri dari 2 instrument yaitu OLI (Operational Land Imager) dan TIRS (Thermal Infrared Sensor). Instrumen OLI (Operational Land Imager) terdiri dari band yang ada pada Landsat 7 ETM+ sebelumnya, ditambah dengan 3 band baru,yaitu band biru untuk studi wilayah pesisir/aerosol, band inframerah gelombang pendek untuk mendeteksi awan cirrus, dan band TIRS. TIRS (Thermal Infrared Sensor) memberikan 2 band termal. Keduanya memberikan peningkatan sinyal terhadap noise sehingga mendapatkan karakteristik yang lebih baik dari keadaan dan kondisi tutupan lahan. Produk dikirim sebagai citra dengan 16 bit (65536 tingkat keabuan). Tabel I.4 menyajikan saluran band citra Landsat 8.

Tabel I.4. Saluran band Landsat 8 (http://landsat.usgs.gov)

Band Panjang gelombang

(mikrometer)

Resolusi (meter)

Band 1 - Coastal aerosol 0,43 – 0,45 30

Band 2 – Blue 0,45 – 0,51 30

Band 3 – Green 0,53 – 0,59 30

Band 4 – Red 0,64 – 0,67 30

Band 5 - Near Infrared (NIR) 0,85 – 0,88 30

Band 6 - SWIR 1 1,57 – 1,65 30

Band 7 - SWIR 2 2,11 – 2,29 30

Band 8 – Panchromatic 0,50 – 0,68 15

Band 9 – Cirrus 1,36 – 1,38 30

Band 10 - Thermal Infrared (TIRS) 1 10,60 – 11,19 100 Band 11 - Thermal Infrared (TIRS) 2 11,50 – 12,51 100

(23)

Karakteristik Landsat 8 hampir sama seperti Landsat 7 ETM+, baik resolusi (spasial, spektral, dan temporal), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa, hanya ada beberapa penyempurnaan dari landsat 7 ETM+ seperti jumlah band, rentang spektrum, gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap oleh sensor dan nilai digital number (bit) dari setiap piksel citra. Perbedaan karakteristik Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 dapat dilihat pada tabel I.5 dan I.6.

Tabel I.5. Perbedaan karakteristik Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 (http://landsat.usgs.gov)

Spesifikasi Landsat 7 ETM+ Landsat 8

Tinggi Orbit 705 km 705 km

Jenis Orbit Inklinasi 98.2, Sun-synchronous

Inklinasi 98.2, Sun-synchronous

Sensor ETM+ (Enhanced

Thematic Mapper)

OLI (Onboard Operational Land Imager) + TIRS (Thermal Infrared Sensor)

Luas Liputan per scene 185 km x 185 km 185 km x 185 km

Resolusi Temporal 16 hari 16 hari

Periode Orbit 99 menit 99 menit

Kuantitas Data 8 bitt ( 0 – 255) 16 bitt (0 – 65535)

Tabel I.6. Perbedaan band Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 (Markham, 2013)

Landsat 7 ETM+ Landsat 8

30 m Coastal/Aerosol 0,435-0,451 Band 1 Band 1 30 m Blue 0,441-0,514 30 m Blue 0,452-0,512 Band 2 Band 2 30 m Green 0,519-0,601 30 m Green 0,533-0,590 Band 3 Band 3 30 m Red 0,631-0,692 30 m Red 0,636-0,673 Band 4 Band 4 30 m NIR 0,772-0,898 30 m NIR 0,851-0,879 Band 5 Band 5 30 m SWIR-1 1,547-1,749 30 m SWIR-1 1,566-1,651 Band 6 Band 6 60 m TIR 10,31-12,36 100 m TIR-1 10,60-11,19 Band 10

100 m TIR-2 11,50-12,51 Band 11 Band 7 30 m SWIR-2 2,064-2,345 30 m SWIR-2 2,107-2,294 Band 7 Band 8 30 m Pan 0,515-0,896 15 m Pan 0,503-0,676 Band 8 30 m Cirrus 1,363-1,384 Band 9 Landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khusus, banyaknya band penyusun RGB komposit pada landsat 8 dan spesifikasi band baru yaitu band 1,9,10, dan 11, membuat warna objek menjadi lebih bervariasi. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari

(24)

pada band yang sama pada landsat 7 ETM+, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Band ini lebih unggul untuk membedakan konsentrasi aerosol di atmosfer dan mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman yang berbeda. Band 9 lebih sensitif dalam mendeteksi awan cirrus. Band 10 dan 11 bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 m. Tingkat keabu-abuan (digital number) pada landsat 8 memiliki interval yang lebih panjang yaitu 16 bit (0-65535) , dengan ini tampilan citra akan lebih halus, baik pada citra multispektral maupun pankromatik serta dapat mengurangi terjadinya kesalahan interpretasi objek-objek di permukaan bumi.

I.7.5. Koreksi Citra

Data penginderaan jauh digital merupakan data yang dapat diperoleh, disimpan, dimanipulasi, dan ditampilkan dengan basis logika biner (Danoedoro, 2012). Prinsipnya adalah sensor yang terdapat pada satelit penginderaan jauh merekam energi matahari yang dipancarkan oleh objek tertentu yang melewati atmosfer, sehingga energi yang direkam sensor merupakan energi pantulan dan bias atmosfer. Energi yang direkam sebagai sinyal energi analog kemudian dikonversi menjadi nilai digital. Citra digital dibentuk oleh elemen piksel yang menyatakan tingkat keabuan (Purwadhi, 2001). Tiap piksel terbentuk dalam baris dan kolom yang menyajikan permukaan bumi. Posisi piksel diwujudkan dalam sistem koordinat x,y dimulai dari kiri atas citra baris pertama dan kolom pertama.

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap data citra satelit (sensor, kondisi medan, kondisi atmosfer) sehingga diperlukan koreksi sebelum pengolahan citra untuk memperoleh informasi yang lebih berkualitas. Pembagian kualitas citra Landsat dibagi menjadi beberapa tipe (USGS, 2012), yaitu :

a. Level 0

Data citra masih dalam format aslinya, berupa data mentah (raw data) yang belum terkoreksi radiometrik dan geometrik.

b. Level 1 Radiometrik (L1R)

Kesalahan radiometrik pada citra sudah dikoreksi, sedangkan kesalahan geometriknya masih sama seperti pada level 0.

(25)

c. Level 1 Sistematik (L1G)

Kualitas data citra L1R sudah dikoreksi geometrik sistematik. d. Level 1 GT

Merupakan produk L1R yang sudah mengalami koreksi geometrik dan koreksi terain sesuai dengan proyeksi peta berdasarkan datum tertentu. Level ini menggunakan faktor ephemeris wahana untuk mengkoreksi serta mengontrol data ketinggian untuk mengkoreksi kesalahan paralak. e. Level 1 Terain

Merupakan L1R yang koreksi geometriknya menggunakan GCP (Ground Control Point) atau memiliki informasi posisi untuk transformasi citra sesuai dengan proyeksi referensi datum tertentu. Data menggunakan Digital Elevasi Model (DEM), sehingga sudah mengalami koreksi terain untuk mengurangi efek relief displacement.

Citra penginderaan jauh hasil download perlu dilakukan koreksi sebelum diproses lebih lanjut, agar diperoleh hasil yang akurat dan memberikan interpretasi citra yang berkualitas.

I.7.5.1. Koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik merupakan pembetulan citra akibat kesalahan radiometrik, yaitu kesalahan yang berupa pergeseran nilai keabu-abuan piksel pada citra, kesalahan tersebut dapat disebabkan oleh (Purwadhi, 2001) :

1. Kesalahan optik yang disebabkan oleh bagian optik pembentuk citra buram dan perubahan kekuatan sinyal.

2. Kesalahan karena ganguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer yang disebabkan oleh pengaruh hamburan dan serapan, respon amplitudo yang tidak linear, dan terjadinya bising (noise) pada waktu transmisi data.

3. Kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari, menyebabkan perubahan pencahayaan pada permukaan bumi karena sifat dan kepekaan objek dalam menerima tenaga dari luar tidak sama, perubahan radiasi dari permukaan objek karena perubahan sudut pengamatan sensor.

(26)

Koreksi radiometrik diperlukan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan objek yang sebenarnya. Salah satu koreksi radiometrik adalah penyesuaian histogram (histogram adjustment). Metode ini mengasumsikan bahwa dalam proses koding digital diperoleh respon spektral akan memberikan nilai 0 (null value) pada respon yang paling lemah. Apabila nilai ini ternyata lebih dari 0 maka nilai tersebut dihitung sebagai offset, dan koreksi dilakukan dengan mengurangi seluruh nilai pada saluran tersebut dengan nilai offset-nya. Besarnya offset dipandang sebagai pengaruh gangguan atmosfer (Danoedoro, 2012).

I.7.5.2. Koreksi geometrik. Menurut Mather (2004), koreksi geometrik adalah transformasi citra penginderaan jauh sehingga citra tersebut memiliki sifat, bentuk, skala, dan proyeksi peta. Koreksi geometrik ada dua macam, yaitu :

1. Koreksi geometrik sistematik

Kesalahan geometrik sistematik disebabkan karena kesalahan sensor dan diperlukan informasi mengenai sensor dan data ephemeris saat pemotretan untuk mengkoreksinya. Dilakukan pembetulan dan penempatan kembali posisi piksel, sehingga pada citra yang ditransformasi terlihat gambaran objek permukaan bumi yang terekam sensor. Transformasi ini diterapkan pada citra mentah (raw data) dan dapat mengubah bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar menjadi jajaran genjang.

2. Koreksi geometrik non-sistematik.

Kesalahan geometrik non-sistematik disebabkan oleh orbit, perilaku satelit, dan efek rotasi bumi. Diperlukan titik kontrol tanah atau GCP (Ground Control Point) yang permanen dan tersebar merata untuk mengkoreksinya. GCP adalah suatu lokasi titik di permukaan bumi yang dapat diindentifikasi dengan menyesuaikan koordinat piksel pada citra dengan koordinat objek yang sama pada peta (Jensen, 2004). Dengan GCP, analisis citra memperoleh dua himpunan data lokasi, yaitu koordinat piksel pada citra yang dinyatakan dalam baris dan kolom, serta

(27)

koordinat peta yang dinyatakan dalam x dan y, dapat berbentuk lintang bujur, maupun dalam satuan meter pada sistem proyeksi tertentu. Berdasarkan titik-titik ini transformasi koordinat dapat diperoleh sehingga citra yang akan dikoreksi dapat dirubah proyeksinya mengikuti sistem proyeksi koordinat referensi. Kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan citra yang terkoreksi geometrik memerlukan tahapan berikut :

a). Transformasi Koordinat

Koreksi geometrik menggunakan transformasi 2D dengan menggunakan persamaan polynomial. Transformasi polynomial dapat dilihat pada rumus berikut (Jensen, 2004) :

Xcitra = a0 + a1. Xpeta + a2.Ypeta... ... (1.1) Ycitra = b0 + b1. Xpeta + b2.Ypeta... ... (1.2) Keterangan :

Xpeta, Ypeta : posisi objek pada koordinat peta Xcitra, Ycitra : posisi objek pada koordinat citra a0,a1,a2,b0,b1,b2 : parameter transformasi

b). Resampling

Resampling merupakan proses penentuan kembali nilai piksel sehubungan dengan koordinat baru setelah transformasi koordinat. Pelaksanaannya dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem koordinat ke suatu sistem koordinat lainnya (Purwadhi, 2001).

Ada 3 metode dalam melakukan resampling, yaitu nearest neighbour, bilinear, dan cubic convolution. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode interpolasi nearest neighbour atau interpolasi tetangga terdekat, yaitu nilai keabuan piksel terbaru ditentukan berdasarkan nilai piksel tetangga yang paling dekat. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dan tidak menyebabkan perubahan nilai piksel selama proses resampling.

(28)

Pengecekan ketepatan pada titik GCP perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasinya. Pengecekan akurasi ini dilakukan dengan menghitung kesalahan RMSE (Root Mean Square Error) dari titik kontrol yang dipilih. Nilai RMSE diusahakan kecil dan tidak lebih dari 1 piksel. Semakin kecil nilai RMSE maka semakin teliti dalam menentuan titik GCP pada citra. Algoritma perhitungan RMSE dihitung dengan persamaan (Jensen, 1996 dalam Harintaka dan Sumarno, 2002):

RMSE = √ ... (2) Keterangan :

x’, y’ : nilai piksel yang dianggap benar dari citra acuan (base image) x, y : nilai piksel prediksi yang dihasilkan pada citra

I.7.6. Penggunaan Lahan

Menurut Lillesand dkk (2008) penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan jenis kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu, sedangkan penutup lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakkan yang ada di permukaan bumi. Penggunaan lahan memperlihatkan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Informasi penggunaan lahan antara lain dapat digunakan sebagai dasar pembuatan rencana tata ruang. Pada data penginderaan jauh, informasi mengenai penutupan lahan umumnya mudah dikenali, sedangkan informasi penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsirkan secara langsung oleh citra akan tetapi perlu dideteksi terlebih dahulu dari kenampakkan penutupan lahan, kemudian dilakukan kegiatan survey lapangan untuk pengecekkan (Ahmada, 2013).

I.7.7. Skema Klasifikasi

Skema klasifikasi adalah pemilihan kategori penggunaan lahan yang akan digunakan untuk mengelompokkan nilai piksel ke dalam kelas tertentu. Skema klasifikasi menurut USGS (1976) disajikan pada tabel I.7.

(29)

Tabel I.7. Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut USGS

LEVEL I LEVEL II

1. Urban or built-up land 1.1 Residental

1.2 Commercial and Services

1.3 Transportation, communications and utilities 1.4 Industrial and commercial complexes

1.5 Mixed and commercial complexes 1.6 Mixed urban or built-up land 1.7 Other urban or built-up land 2. Agricultural land 2.1 Croplands and pasture

2.2 Orchard, groves, vineyards, nurseries, and ornamental holticultural areas

2.3 Confined feedings operations 2.4 Other agricultural land 3. Range land 3.1 Herbaceous range land

3.2 Shrub-brusland rangeland 3.3 Mixed rangeland

4. Forest land 4.1 Deciduous forest land 4.2 Evergreen forest land 4.3 Mixed forest land

5. Water 5.1 Stream and canal

5.2 Lakes 5.3 Reservoirs

5.4 Bays and estuaries 6. Wet land 6.1 Forested wet land

6.2 Nonforested wet land 7. Barren land 7.1 Dry salt flats

7.2 Beaches

7.3 Sandy areas other than beaches 7.4 Bare exposed rock

7.5 Strip mines, quarries, and gravel pits 7.6 Transitional areas

7.7 Mixed barren land

8. Tundra 8.1 Shrub and brush tundra

8.2 Herbaceous tundra 8.3 Bare ground tundra 8.4 Wet tundra

8.5 Mixed tundra

9. Perennial snow or ice 9.1 Perennial snowfields 9.2 Glaciers

Penentuan kelas tergantung pada citra daerah penelitian karena tidak semua kelas yang ada dapat diklasifikasikan, maka pada penelitian ini menggunakan skema klasifikasi dengan modifikasi, seperti yang terlihat pada tabel I.8.

(30)

Tabel. I.8. Pemilihan skema klasifikasi

LEVEL I Modifikasi Kelas

1. Urban or built-up land 1. tanah terbangun 2. Agricultural land 2. kebun

3. tegalan 4. sawah

3. Range land 5. semak belukar

4. Forest land 6. hutan

5. Water 7. tubuh air

I.7.8. Klasifikasi Digital

Klasifikasi citra adalah proses pengelompokkan piksel ke dalam kelas tertentu atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/ BV) piksel yang bersangkutan. Tujuan klasifikasi citra secara digital adalah untuk melakukan pengelompokkan secara otomatis dari setiap piksel ke kelas tertentu. Menurut Danoedoro (2012), Klasifikasi citra multispektral dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan tingkat otomasinya, yaitu klasifikasi terkontrol (supervised classification) dan klasifikasi tidak terkontrol (unsupervised classification). Klasifikasi digital yang dipakai pada penelitian ini adalah klasifikasi terkontrol (supervised classification) yang membagi kelas objek berdasarkan nilai piksel sampel dari tiap kelas. Klasifikasi terkontrol memerlukan training area atau daerah contoh. Proses klasifikasi terkontrol dengan metode yang berbeda akan mendasarkan perhitungan kedekatan nilai piksel terhadap kelas tertentu dengan algoritma dan dasar statistik yang berbeda. Ada tiga metode klasifikasi digital (Djurdjani dan Kartini, 2004), yaitu :

a. Klasifikasi jarak minimum rata-rata kelas (minimum distance)

Merupakan salah satu metode yang paling sederhana, yaitu dengan cara menentukan keanggotaan suatu pixel pada kelas tertentu yang dapat diketahui dengan menghitung jarak terpendek terhadap nilai rata-ratanya. Rumus yang dipakai adalah (Danoedoro, 2012):

Jarak = √∑ ... (3)

Keterangan :

= jumlah saluran = saluran tertentu

(31)

= kelas obyek tertentu

= vektor piksel pada saluran k

= nilai rerata vektor piksel kelas c di saluran k

b. Klasifikasi Paralellepiped

Proses klasifikasi dilakukan dengan cara memperhitungkan kisaran nilai digital dari masing-masing rangkaian kategori nilai piksel daerah contoh. Kisaran nilai piksel tertinggi dan terendah dimasukkan dalam bentuk empat persegi panjang yang merupakan batas kelas yang diuji.

Rumus yang dipakai adalah :

... (4) Bila dipenuhi, piksel yang bersangkutan termasuk kelas c = -  batas bawah ... (5)

= +  batas atas ... (6) Keterangan :

= kelas yang akan ditentukan = nomor band citra

= nilai rerata

= nilai standart deviasi

c. Klasifikasi Maximum Likelihood

Kegiatan penelitian ini mengfokuskan klasifikasi penggunaan lahan pada metode klasifikasi terkontrol dengan persamaan maximum likelihood. Algoritma maximum likelihood secara statistik dikatakan sebagai algoritma yang paling mapan karena mendasarkan perhitungan kemiripan setiap piksel dengan asumsi bahwa objek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal. Piksel diklasifikasikan sebagai kelas tertentu bukan karena jarak eklidiannya, melainkan karena bentuk, ukuran, dan orientasi sampel berupa elipsoida. Ukuran elipsoida ditentukan oleh variansi pada tiap saluran, sedangkan bentuk dan orientasi elipsoida ditentukan oleh kovariannya (Danoedoro, 2012). Ketentuan yang dipakai adalah:

= { 0,5 Ln (det Vc)} – {0,5 (X- µc)T

(32)

Maka piksel yang bersangkutan termasuk kelas c. Keterangan :

= jarak suatu kelas tertentu yang diberi bobot = suatu kelas tertentu

X = vektor piksel yang diklasifikasi µc = vektor rerata sampel kelas c

Vc = matriks kovarian piksel-piksel pada sampel kelas c

I.7.8.1. Training area. Pelaksanaan klasifikasi terkontrol (Supervised Classification) memerlukan proses penentuan training area atau daerah contoh sebelum dilakukan klasifikasi. Penentuan training area dilakukan berdasarkan data pendukung lain berupa data lapangan, data penggunaan lahan, ataupun data foto udara. Training area dipilih pada lokasi yang menyebar pada citra. Pemilihan training area yang benar akan mempengaruhi kualitas hasil klasifikasi (Djurdjani dan Kartini, 2004).

I.7.8.2. Hitungan statistik training area. Setelah training area ditentukan batasnya kemudian dilakukan hitungan statistik terhadap training area tersebut. Hasil hitungan statistik meliputi nilai statistik tunggal (univariate statistic) yang terdiri dari mean, nilai maksimum, nilai minimum, standar deviasi, serta varian dan nilai statistik citra banyak (multivariate statistic) yang terdiri dari varian kovarian serta korelasi antar band (Djurdjani dan Kartini, 2004). Rumus untuk menghitung nilai statistik adalah sebagai berikut :

Mean (µk) =

... (8) Varian populasi (Vark) =

... (9) Varian sampel (Vark) =

... (10)

Simpangan baku (Sk) = √ ... (11)

Kovarian band k dan band l (covkl) =

... (12)

Korelasi band k dan band l (rkl) =

(33)

Keterangan :

BV = nilai keabuan/nilai digital n = jumlah piksel tiap band

I.7.8.3. Uji indeks separabilitas. Pemilihan training area akan berpengaruh terhadap akurasi hasil klasifikasi. Evaluasi tingkat separabilitas sampel dapat dilakukan metode pengukuran jarak Jeffries-Matusita (JM). Nilai yang dihasilkan dari evaluasi tersebut berkisar antara 0 sampai 2. Nilai indeks yang lebih dari 1,9 (mendekati 2) memiliki arti bahwa sampel memiliki separabilitas (keterpisahan) yang baik. Apabila nilai seperabilitas kurang dari 1, maka sampel tersebut harus dikelompokkan menjadi satu kelas, karena separabilitasnya buruk.

I.7.9. Uji Ketelitian Klasifikasi

Uji ketelitian klasifikasi bertujuan untuk memperoleh nilai kedekatan hasil klasifikasi dengan data ukuran sebenarnya. Uji ketelitian ini dilakukan agar dapat diketahui tingkat kepercayaan terhadap pemakaian hasil klasifikasi untuk analisis dan keperluan berikutnya. Menurut Sutanto (1994) metode uji ketelitian klasifikasi dapat menggunakan point sampling accuracy dengan tahapan sebagai berikut :

1. Melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik uji/sampel yang dipilih dari setiap kelas objek.

2. Menilai kecocokan hasil klasifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan 3. Membuat matrik perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada

kelas objek hasil klasifikasi sehingga diketahui tingkat ketelitiannya.

Ketelitian analisis dibuat dalam beberapa kelas X yang dihitung dengan rumus (Short dan Nicholas, 1982) :

MA = ... (14) Keterangan :

MA = ketelitian klasifikasi (Map Accuracy) Xcr = jumlah piksel kelas yang benar (Correct)

Xo = jumlah piksel kelas X yang masuk kelas lain (Ommision) Xco = jumlah piksel kelas X tambahan dari kelas lain (Commision)

(34)

Akurasi hasil identifikasi diuji menggunakan tabel matrik konfusi (confusion matriks). Tabel matrik konfusi merupakan derivasi dari penjumlahan omisi, komisi, dan keseluruhan penelitian pemetaan (Short dan Nicholas, 1982). Omisi adalah jumlah kesalahan interpretasi dari objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi. Komisi adalah jumlah objek lain yang diinterpretasikan sebagai objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi. Tabel tersebut juga memberikan informasi nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy) masing-masing kelas. Nilai overall accuracy minimal untuk memenuhi syarat batas penentuan hasil klasifikasi diterima atau tidak adalah ≥ 85% (Short dan Nicholas, 1982). Overall accuracy menunjukkan banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiap kelas dibanding jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas. Rumus untuk menghitung overall accuracy, dinyatakan sebagai berikut :

overall accuracy ... (15) Keterangan :

diagonal = banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiap kelas

= jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas

Dihitung pula nilai user accuracy dan procedure accurracy. User accuracy adalah nilai yang menyatakan jumlah piksel pada suatu kelas klasifikasi, merupakan nilai yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Procedure accurracy merupakan nilai yang menyatakan jumlah data lapangan yang telah terklasifikasi secara benar pada suatu kelas klasifikasi.

Skema sampling digunakan untuk menentukan titik uji atau sampelnya. Menurut Congalton (1999) sampling acak sederhana (simple random sampling) menyajikan hasil yang memuaskan. Pada sampling ini, setiap unit sampel dalam studi area memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Keuntungan utama dari sampling acak sederhana ini adalah sifat statistik yang baik dari hasil pemilihan secara acak. Melalui sampling ini diharapkan sampel training area dapat mewakili semua kelas yang ada, sehingga tidak ada kelas yang terabaikan. Conglaton dan Green (1999) merekomendasikan jumlah titik sampel untuk setiap kategori

(35)

penggunaan lahan adalah 50 titik. Akan tetapi apabila wilayah pengamatan cukup besar misalnya lebih dari satu juta are atau 400 ribu ha, atau kelas penggunaan lahan yang ada pada daerah kajian cukup banyak (lebih dari 12 kelas) , maka jumlah titik sample ditingkatkan menjadi 75 hingga 100 titik sampel per kategori.

I.7.10. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan merupakan proses mengidentifikasi perubahan suatu obyek atau fenomena dengan membandingkan antara citra digital yang direkam dalam waktu yang berbeda. Perubahan pada citra yang berbeda waktu tidak hanya mengimplikasikan perbedaan dalam karakteristik unsur di permukaan bumi, tetapi juga dapat mencerminkan variasi normal yang belum terkarakteristikkan dan dapat diketahui pada suatu periode waktu ke waktu berikutnya (Ahmada, 2013). Berdasarkan hasil klasifikasi citra multi temporal kemudian dilakukan analisis perubahan penggunaan lahan dengan cara melakukan teknik pengurangan (Image differencing) . Dengan cara ini, luas perubahan penggunaan lahan di kawasan Waduk Wadaslintang dapat diketahui. Rumus yang digunakan dalam teknik ini adalah : BVbaru = BVt1 – BVt2 ... (16) Keterangan : BV = nilai keabuan t1 = waktu perekaman 1 t2 = waktu perekaman 2 1.8. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terjadi perubahan penggunaan lahan di kawasan sabuk hijau Waduk Wadaslintang. Berkurangnya lahan hutan sebagai pelindung waduk akan berpengaruh terhadap bertambahnya sedimentasi di dasar waduk.

(36)

BAB II

PELAKSANAAN

II.1. Persiapan

Persiapan dalam hal ini meliputi segala aktivitas yang bersangkutan dengan pelaksanaan penelitian, seperti studi literatur, penentuan lokasi penelitian dan persiapan peralatan penelitian.

II.1.1. Bahan Penelitian

a. Citra Landsat 8 tanggal 24 Juni 2013 dari situs earthexplorer.usgs.gov sebagai citra yang akan diekstraksi informasinya.

b. Citra Landsat 7 ETM+ tanggal 1 Juli 2001 dari situs earthexplorer.usgs.gov sebagai citra pembanding yang akan diekstraksi informasinya.

c. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1: 25.000 dari Badan Informasi Geopasial tahun 2003 untuk menentukan titik kontrol.

II.1.2. Peralatan

Peralatan –peralatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah A. Perangkat keras, terdiri dari :

a. Kamera Digital SLR Nikon D3000, untuk pengambilan foto di lapangan. b. GPS Handheld Garmin E-Trex HVX, digunakan untuk alat bantu

penentuan titik uji lapangan.

c. Laptop ASUS Processor Intel Core i3, RAM 2 GB, Sistem windows 7 Ultimate – 64 bit, untuk mengolah data.

d. Printer Canon Pixma iP2880, untuk mencetak hasil peta dan laporan. B. Perangkat lunak, terdiri dari :

a. ENVI 5.0, untuk pengolahan citra digital. b. ArcGIS 10.0, untuk pengolahan data vektor

c. Microsoft Office 2010, untuk penulisan laporan penelitian.

d. Microsoft Excel 2010, untuk membantu dalam proses perhitungan. e. Google Earth, membantu dalam menentukan training area.

(37)

II.2. Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan disajikan dalam diagram alir berikut ini :

P re -P ro ce ss ing Mulai

Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25.000 Image to image registration

T

id

ak

Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2001

Komposit citra Landsat 7 ETM+ band 743 Koreksi radiometrik Koreksi geometrik Cropping citra 2001 RMSE < 1 piksel Ya T id ak

Komposit citra Landsat 8 band 754 Citra Landsat 8 Tahun 2013 Koreksi radiometrik Koreksi geometrik Cropping citra 2013 RMSE < 1 piksel Ya T id ak Ya Ya Citra hasil klasifikasi 2013 Pemilihan skema klasifikasi

Penentuan training area

Klasifikasi digital (Supervised Classification)

Uji hasil klasifikasi (Confusion Matrix)

Akurasi ≥ 85 %

Pemilihan skema klasifikasi

Penentuan training area

Klasifikasi digital (Supervised Classification)

Citra hasil klasifikasi 2001

Uji hasil klasifikasi (Confusion Matrix)

Akurasi ≥ 85 % - Citra Google Earth

- Survey Lapangan Skema klasifikasi penggunaan lahan: 1. Tanah terbangun 2. Kebun 3. Tubuh air 4. Ladang/tegalan 5. Semak belukar 6. Sawah 7. Hutan Maximum Likelihood P ro cess ing T id ak

(38)

Gambar II.2. Diagram alir pelaksanaan penelitian (lanjutan)

II.2.1. Tahapan Pre-Processing

Tahapan pre-processing (pra pengolahan citra) merupakan tahapan pengolahan citra penginderaan jauh sebelum dilakukan interpretasi untuk menghasilkan data penggunaan lahan, tahapan ini terdiri dari :

II.2.1.1. Persiapan

Tahapan ini adalah tahap paling awal yang dilakukan sebelum melakukan proses penelitian. Hal yang dilakukan dalam tahapan persiapan ini adalah melakukan studi pustaka dan mempersiapan alat untuk mendukung penelitian seperti kamera SLR, laptop, printer, GPS handheld, serta penginstalan software yang dibutuhkan yaitu ENVI 5.0 dan ArcGIS 10.0. Tahapan ini menjadi sangat penting, dikarenakan kualitasnya akan menentukan tahap-tahap berikutnya. Oleh karena itu, tahapan persiapan ini perlu dilakukan dengan baik, sistematis dan menyeluruh.

II.2.1.2. Pengumpulan data

Pada tahap pengumpulan data dilakukan pengunduhan citra satelit Landsat, pemilihan titik GCP menggunakan peta Rupa Bumi Indonesia untuk melakukan transformasi citra, dan penentuan titik sampel untuk pengujian peta penggunaan lahan menggunakan GPS handheld.

Selesai Citra penggunaan lahan tahun 2013 Citra penggunaan lahan tahun 2001 A

Analisis perubahan penggunaan lahan tahun 2001 - 2013 Analisis perubahan sabuk hijau

tahun 2001 - 2013 P o st -P ro ce ss ing

(39)

II.2.1.2.1. Citra Satelit Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8. Citra satelit yang digunakan untuk penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+ tanggal 1 Juli 2001 dan Landsat 8 tanggal 24 Juni 2013, path 120 dan row 65 yang diperoleh dengan cara download pada situs www.earthexplorer.usgs.gov. Citra yang diperoleh dari proses downloading memiliki ekstensi *.rar, sehingga perlu diekstrak terlebih dahulu sebelum dilakukan pengolahan. Satu paket citra berisi jumlah band berformat *.TIFF beserta metadatanya. Landsat 7 ETM+ terdiri dari 8 band dan Landsat 8 terdiri dari 11 band. Metadata citra Landsat dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar II.3. Isi satu paket citra Landsat 8 hasil downloading II.2.1.2.2. Pemilihan titik kontrol pada peta Rupa Bumi Indonesia. Titik kontrol ( titik GCP ) yang digunakan untuk transformasi citra memiliki sifat yang permanen, posisinya tetap, dan mudah dilihat, misalnya berupa bangunan atau jalan. Titik kontrol dipilih dengan objek sama pada kedua citra.

II.2.1.2.3. Penentuan titik sampel di lapangan. Pengumpulan titik sampel di lapangan dilakukan untuk uji akurasi peta penggunaan lahan yang akan dibuat dengan citra landsat. Pengumpulan titik sampel ini menggunakan GPS handheld Garmin E-Trex HVX disertai dengan pengambilan foto lokasi titik sampel dengan menggunakan kamera SLR Nikon D3000.

II.2.1.3. Komposit citra multispektral

Pembuatan citra komposit bertujuan untuk menghasilkan citra multispektral dengan kombinasi tiga buah saluran yaitu Red (merah), Green

(40)

(hijau), dan Blue (biru). Komposit citra multispektral berfungsi untuk meningkatkan kualitas visual citra sehingga mudah untuk diinterpretasi. Pembuatan komposit citra dilakukan dengan menggabungkan band menjadi satu kesatuan melalui proses staking layer pada software ENVI 5.0. Langkah kerja pengolahan citra dapat dilihat pada lampiran G.

`

a. Panggabungan band 743 pada citra Landsat 7 ETM+

b. Penggabungan band 754 pada citra Landsat 8 Gambar II.4. Penggabungan band Komposit Band Landsat 7 ETM+

Red : Band 7 Green : Band 4 Blue : Band 3

Komposit Band Landsat 8 Red : Band 7 Green : Band 5 Blue : Band 4

(41)

II.2.1.4. Koreksi radiometrik citra

Koreksi radiometrik lebih dipengaruhi oleh adanya kesalahan pada sistem optik (internal optik), yaitu berupa gangguan radiasi elektromagnetik pada atmosfer (atmosferik error) dan kesalahan karena pengaruh sudut matahari/topografi (external error).

Koreksi radiometrik dilakukan dengan melakukan koreksi atmosferik. Koreksi atmosferik dilakukan dengan penyesuaian histogram (histogram adjustment). Metode ini mengasumsikan bahwa dalam proses koding digital diperoleh respon spektral akan memberikan nilai 0 pada respon yang paling lemah. Apabila nilai ini ternyata lebih dari 0 maka nilai tersebut dihitung sebagai offset, dan koreksi dilakukan dengan mengurangi seluruh nilai pada saluran tersebut dengan nilai offsetnya. Besarnya offset dipandang sebagai pengaruh gangguan atmosfer. Respon spektral dari citra dapat dilihat pada data statistik citra. Gambar II.5 menunjukkan data statistik citra. Data statistik citra secara lengkap dapat dilihat pada lampiran B.

a. Data statistik citra Landsat 7 ETM+ b. Data statistik citra Landsat 8

tahun 2001 tahun 2013

Gambar II.5. Data statistik citra

Pada respon spektral minimum di atas terlihat nilainya 0 pada semua band baik pada citra Landsat 8 maupun Landsat 7 ETM+. Hal ini dikarenakan citra hasil download bertipe LT1, yaitu sudah terkoreksi secara radiometrik,

(42)

geometrik dan koreksi kondisi terain. Walaupun citra sudah terkoreksi secara geometrik, perlu dilakukan koreksi geometrik kembali untuk transformasi citra agar sesuai dengan sistem referensi yang akan digunakan, yaitu sistem proyeksi UTM datum WGS-84 dengan zone 49 S.

II.2.1.5. Koreksi geometrik citra

Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki posisi objek yang tampak pada citra agar sesuai dengan kondisi di lapangan. Koreksi geometrik yang dilakukan adalah nonsistematik, yaitu mengubah koordinat citra satelit ke posisi baru berdasarkan data koordinat titik kontrol yang ada di lapangan maupun pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Koreksi geometrik terdiri dari dua tahap, yaitu interpolasi spasial dan interpolasi intensitas. Interpolasi spasial intinya menyamakan kedudukan posisi piksel dilapangan dengan posisi piksel pada citra, baik dengan cara menyamakan GCP pada peta, lapangan maupun citra yang telah terkoreksi. Sedangkan interpolasi intensitas merupakan penyesuaian nilai spektral akibat perubahan posisi piksel (resampling). Pada penelitian ini menggunakan interpolasi nearest neighbor, untuk mengurangi perubahan nilai piksel yang terjadi saat proses resampling. Diharapkan dengan adanya koreksi geometrik ini citra yang dihasilkan akan mendekati kondisi data dilapangan saat perekaman.

II.2.1.5.1.Koreksi geometri dengan transformasi citra tahun 2013 ke peta. Transformasi citra ke peta

(Image to Map) menggunakan prinsip bahwa peta mempunyai sistem proyeksi dan koordinat yang lebih benar sehingga dapat diacu oleh citra. Proses koreksi ini dimulai dengan memilih pasangan titik yang sama antara koordinat pada citra (baris dan kolom) dan pada peta (x dan y).

(43)

Tabel II.1. Koordinat GCP Image to Map No Koordinat Peta (m) Gambar pada Peta Koordinat Citra (piksel) Gambar pada citra 1. X: Y: 330757,344 9232089,462 x: y: 1676,76 2598,51 2. X: Y: 312574,702 9175242,995 x: y: 1070,64 4493,41 3. X: Y: 291960,068 9156478,058 x: y: 383,51 5118,89 4. X: Y: 409073,594 9237437,703 x: y: 4287,29 2420,25 5. X: Y: 434790,242 9231157,353 x: y: 5144,51 2629,59 6. X: Y: 464194,559 9270728,800 x: y: 6124,64 1310,53

(44)

No Koordinat Peta (m) Gambar pada Peta Koordinat Citra (piksel) Gambar pada citra 7. X: Y: 480339,318 9212505,453 x: y: 6662,81 3251,31 8. X: Y: 451159,040 9124935,342 x: y: 5690,14 6170,33 9. X: Y: 366557,635 9158462,467 x: y: 2870,08 5052,75 10. X: Y: 368486,105 9165159,338 x: y: 2934,37 4829,52 11. X: Y: 414046,017 9172514,642 x: y: 4453,04 4584,34 12. X: Y: 322625,482 9176557,827 x: y: 1405,68 4449,58

(45)

No Koordinat Peta (m) Gambar pada Peta Koordinat Citra (piksel) Gambar pada citra 13. X: Y: 380324,317 9149383,080 x: y: 3328,97 5355,40 14. X: Y: 326790,943 9147660,862 x: y: 1544,55 5412,79 15. X: Y: 468631,147 9166270,923 x: y: 6272,54 4792,46

Berikut ini tabel hasil RMS Error transformasi citra Landsat 8 tahun 2013 dengan acuan peta rupa bumi Indonesia.

Tabel II.4. Nilai RMS Error transformasi citra 2013 ke peta rupa bumi Indonesia

No Map X (m) Map Y (m) Image X (piksel) Image Y (piksel) RMS (piksel)

1. 330757,34 9232089,46 1676,76 2598,51 0,0115 2. 312574,32 9175242,80 1070,64 4493,41 0,0103 3. 291960,07 9156478,06 383,51 5118,89 0,0065 4. 409073,59 9237437,70 4287,29 2420,25 0,0093 5. 434790,24 9231157,35 5144,51 2629,59 0,0063 6. 464194,56 9270728,80 6124,64 1310,53 0,0048 7. 480339,32 9212505,44 6662,81 3251,31 0,0053 8. 451159,04 9124935,34 5690,14 6170,33 0,0064 9. 366557,64 9158462,47 2870,08 5052,75 0,0101 10. 368486,10 9165159,34 2934,37 4829,52 0,0027 11. 414046,02 9172514,64 4453,04 4584,34 0,0057 12. 322625,48 9176557,83 1405,68 4449,58 0,0120 13. 380324,32 9149383,08 3328,97 5355,40 0,0103 14. 326790,94 9147660,86 1544,55 5412,79 0,0201 15. 468631,15 9166270,92 6272,54 4792,46 0,0088

(46)

II.2.1.5.2. Koreksi geometri dengan transformasi citra tahun 2001 ke citra tahun 2013. Koreksi Geometri dengan transformasi citra ke citra (Image to Image) dilakukan pada citra landsat 7 ETM+ dengan acuan citra Landsat 8 yang dianggap sebagai citra yang sudah terkoreksi. Transformasi citra ke citra dilakukan dengan menempatkan titik GCP pada citra Landsat 7 ETM+ tahun 2001 yang disesuaikan lokasinya berdasarkan citra Landsat 8 tahun 2013, seperti pada gambar II.7.

a. Landsat 7 ETM+ tahun 2001 b. Landsat 8 tahun 2013 Gambar II.7. Koreksi geometrik citra ke citra

Tabel II.5. Nilai RMS Error transformasi citra 2001 ke citra 2013

No Base X (piksel) Base Y (piksel) Warp X (piksel) Warp Y (piksel) Error X (piksel) Error Y (piksel) RMS (piksel) 1. 1676,76 2598,51 1936,83 2458,50 -0,0194 0.0028 0,0196 2. 1070,64 4493,41 1330,64 4353,41 0,0116 -0,0017 0,0117 3. 383,51 5118,89 643,51 4978,89 -0,0043 0.0006 0,0044 4. 4287,29 2420,25 4547,29 2280,25 0,0195 -0,0028 0,0197 5. 5144,51 2629,59 5404,51 2489,59 0,0074 -0,0011 0,0075 6. 6124,64 1310,53 6384,64 1170,53 -0,0074 0,0011 0,0074 7. 6662,81 3251,31 6922,81 3111,31 -0,0081 0,0012 0,0082 8. 5690,14 6170,33 5950,14 6030,33 0,0000 -0,0000 0,0000 9. 2870,08 5052,75 3130,08 4912,75 -0,0012 0,0002 0,0012 10. 2934,37 4829,52 3194,37 4689,52 0,0021 -0,0003 0,0021 11. 4453,04 4584,34 4713,04 4444,34 0,0028 -0,0004 0,0028 12. 1405,68 4449,58 1665,68 4309,58 0,0118 -0,0017 0,0119 13. 3328,97 5355,40 3588,97 5215,40 -0,0048 0,0007 0,0048 14. 1544,55 5412,79 1804,55 5272,79 -0,0098 0,0014 0,0099 15. 6272,54 4792,46 6532,54 4652,46 -0,0002 0,0000 0,0002

(47)

II.2.1.6. Pemotongan (cropping) untuk memilih daerah kajian

Citra satelit Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 dengan path 120 dan row 65, memiliki luas liputan yang sama yaitu 185 km x 185 km yang mencakup daerah Provinsi Jawa Tengah. Pada penelitian ini terfokus pada Waduk Wadaslintang dan 17 desa yang mengelilingi sekitar waduk sebagai daerah kajian, sehingga perlu dilakukan cropping atau pemotongan daerah yang tidak diperlukan dengan menggunakan file vektor format *.shp hasil digitasi dari peta RBI. Daerah cakupan penelitian dapat dilihat pada gambar II.8 dan keterangan wilayah administrasi daerah tersebut disajikan pada tabel II.6.

Gambar

Gambar I.1. Gambaran umum waduk (Imhof, 2006)
Gambar I.2. Grafik sedimentasi Waduk Wadaslintang (BBWS Serayu Opak)
Gambar I.4 menunjukkan grafik volume air Waduk Wadaslintang.
Gambar I.5. Spektrum gelombang elektromagnetik (Lillesand dkk, 2008)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

ASMIKA RAHMAN: Pelaksanaan pendidikan politik melalui pembelajaran PKn untuk penguatan kesadaran politik siswa di SMA Islam terpadu Abu Bakar Yogyakarta. Tesis,

Biaya visa tetap harus dibayarkan walaupun visa tidak disetujui oleh Kedutaan, demikian juga jika terdapat biaya lain seperti pembatalan hotel, kereta dan atau tiket pesawat

Jadi objek pembahasan ushul fiqh meliputi klasifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara’ sesuai dengan aplikasi dalil-dalil tersebut, orang-orang ahli atau yang

Tutupan hutan dapat menjadi bukan hutan sebagai akibat adanya deforestasi dan degradasi hutan oleh aktivitas ekonomi masyarakat berupa kegiatan pertambangan,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan serta dijelaskan pada bab IV, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kepuasan konsumen antara warga NU

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang bermakna perlakuan relaksasi napas dalam terhadap kecemasan klien post operasi bedah katarak dengan anastesi lokal

ROLE OF ROCK MASS GHARACTERISTIC AND ROCK TOUGHNESS ON PREDICTING CUTTING PERFORMANCE OF RAISE BORING MACHINE. Suseno KRAMADIBRATA1 and

Perubahan mikroskopik dimulai pada 2 jam postmortem berupa kongesti asini; dan sejak 8 jam postmortem struktur asini sudah tidak jelas dengan sel-sel yang mengalami