• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR TAHUN TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR TAHUN TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA

NOMOR TAHUN TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009 - 2029

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara dengan

memanfaatkan ruang wilayah secara serasi, selaras, seimbang, berdaya guna, berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan memelihara ketahanan nasional, perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah

c. bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomr 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c

perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara.

Mengingat : 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Propinsi (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260);

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469);

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3406);

(2)

2

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);

10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);

13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);

15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);

16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);

18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);

19. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 444);

20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);

21. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);

24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746 );

(3)

3

25. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

26. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);

27. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);

28. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);

29. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

30. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);

31. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3660);

32. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776);

33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta untuk RTRW (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3034);

34. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

35. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 36. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490);

37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

38. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);

39. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);

40. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696);

41. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik

(4)

4

Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

42. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4833);

43. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

44. Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;

45. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor ...Tahun 2008 tentang Rencana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir;

46. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang;

47. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun ...

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR 17/K/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009 - 2029 BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah Pusat adalah Pemerintah

2. Daerah adalah Provinsi Sumatera Utara;

3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara;

4. Kepala Daerah adalah Gubernur Sumatera Utara;

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera

Utara;

6. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara;

7. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berada di wilayah

Provinsi Sumatera Utara;

8. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat RTRWP adalah Rencana

Struktur Tata Ruang Provinsi yang mengatur struktur dan pola tata ruang wilayah provinsi;

9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara, sebagai satu

kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya;

10. Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak;

11. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian

pemanfaatan ruang;

12. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang;

13. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya

yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional;

(5)

5

15. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian

lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

16. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas

dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

17. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa

kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang menudukung prikehidupan dan penghidupan.

18. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk

pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

19. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan

susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

20. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah

pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkis keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.

21. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang

berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

22. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena

mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.

23. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena

mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

24. Kawasan Pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjukan dan atau ditetapkan oleh

pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakter fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.

25. Kawasan andalan adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang darat maupun ruang laut

yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya.

26. Kawasan Alur Pelayaran adalah wilayah perairan yang dialokasikan untuk alur pelayaran bagi

kapal.

27. Kawasan Pertahanan Keamanan adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk

kepentingan kegiatan pertahanan dan keamanan, yang terdiri dari kawasan latihan militer, kawasan pangkalan TNI Angkatan Udara, kawasan pangkalan TNI Angkatan Laut, dan kawasan militer lainnya.

28. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

29. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan

perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah.

30. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air

hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.

31. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan bandar udara dan

kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

32. Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem kebandarudaraan secara nasional yang

menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda

(6)

6

transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.

33. Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang

digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.

34. Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan umum.

35. Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan

sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya.

36. Bandar Udara Domestik adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani

rute penerbangan dalam negeri.

37. Bandar Udara Internasional adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang

melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan ke luar negeri.

38. Bandar Udara Pengumpul (hub) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan yang

luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai provinsi.

39. Bandar Udara Pengumpan (spoke) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan dan

mempengaruhi perkembangan ekonomi terbatas.

40. Pangkalan Udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas batas tertentu dalam

wilayah Republik Indonesia yang digunakan untuk kegiatan lepas landas dan pendaratan pesawat udara guna keperluan pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia.

41. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang

udara di sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan.

42. Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat

udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

43. Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

44. Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan

sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

45. Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan

udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

46. Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara

dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.

47. Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani

jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.

48. Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke Bandar udara tujuan

melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.

49. Jaringan penerbangan adalah beberapa rute penerbangan yang merupakan satu kesatuan pelayanan

angkutan udara.

50. Tatanan Kepelabuhanan Nasional suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis,

hirarki pelabuhan, rencana induk pelabuhan nasional dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan antar moda serta keterpaduan dengan sector lain.

51. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas batas tertentu

sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminan dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.

52. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya

manusia serta norma, kriteria, persyaratan dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.

(7)

7

53. Prasarana Perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api

agar kereta api dapat dioperasikan.

54. Jaringan jalur kereta api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait satu dengan yang lain yang

menghubungkan berbagai tempat sehingga merupakan satu sistem.

55. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan

dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

56. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia

tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

57. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa

tumbuhtumbuhan.

58. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di

luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.

59. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi,

termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

60. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang

meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.

61. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha

pertambangan.

62. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau

batubara dan mineral ikutannya.

63. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana,

sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

64. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi

mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

65. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah

memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.

66. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan

kepada pemegang IUP.

67. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat

dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.

68. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang

dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.

69. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN

yang dapat diusahakan.

70. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK,

adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.

71. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan

mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

72. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan

yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.

73. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat

multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.

74. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang

berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

(8)

8

yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.

76. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki

potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

77. Sempadan Pantai adalah kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang mempunyai

manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan, dan tersedianya ruang untuk lain lintas umum.

78. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai

buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

79. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan sekeliling danau atau waduk yang mempunyai

manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk.

80. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting

untuk kelestarian fungsi mata air.

81. Kawasan Pantai Berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan

bakau yang berfungsi memberi perlindungan kepada kehidupan pantai dan laut.

82. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan habitat

alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan beraneka ragam.

83. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi dan pendidikan.

84. Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk

tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan satwa alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan rekreasi.

85. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam darat maupun perairan yang

terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

86. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan

bernilai budaya tinggi dan sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang memiliki bentukan geologi alami yang khas.

87. Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau didirikan untuk

memenuhi kebutuhan pariwisata.

88. Objek dan Daya Tarik Wisata Khusus, selanjutnya disebut ODTWK, adalah segala sesuatu yang

menjadi sasaran wisata dengan kekhususan pengembangan sarana dan prasarana.

89. Wilayah Prioritas adalah wilayah yang dianggap perlu diprioritaskan penanganannya serta

memerlukan dukungan penataan ruang segera dalam kurun waktu perencanaan.

90. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi

untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi.

91. Pusat Kegiatan Wilayah yang ditetapkan secara nasional selanjutnya disebut PKW adalah kawasan

perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.

92. Pusat Kegiatan Wilayah yang di promosikan oleh provinsi selanjutnya disebut PKWp adalah

kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.

93. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah adalah kawasan perkotaan yang

berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.

94. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah

aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

95. Daerah Aliran Sungai/Wilayah Sungai yang selanjutnya disingkat WS adalah suatu wilayah tertentu

yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut. Satu WS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (WS-WS lain) oleh pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Pengelolaan WS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara

(9)

9

sumberdaya alam dengan manusia di dalam WS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.

96. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

97. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya

lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

98. Lingkungan adalah sumberdaya fisik dan biologis yang menjadi kebutuhan dasar agar kehidupan

masyarakat (manusia) dapat bertahan.

99. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup

termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

100. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

101. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

102. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh, menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup.

103. Habitat adalah lingkungan fisik, kimia dan biologis dengan ciri-ciri khusus yang mendukung spesies atau komunitas biologis tertentu.

104. Konservasi adalah pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada generasi sekarang sementara

mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi akan datang (suatu variasi defenisi pembangunan berkelanjutan).

105. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang tumbuh dan berkembang pada daerah air payau atau daerah pasang surut dengan substrat berlumpur dicampur dengan pasir. Biasanya berada di mulut sungai.

106. Pulau Kecil adalah pulau dengan ukuran luas kurang atau sama dengan 10.000 km², jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa, terpisah dari pulau induk, bersifat insuler, memiliki biota indemik, memiliki daerah tangkapan air yang relatif kecil dan sempit, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya bersifat khas dan berbeda dengan pulau induk.

107. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disebut ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

108. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan 109. Orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi.

110. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum.

111. Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan prakarsa masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.

112. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan

terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses

pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa

kini dan generasi masa depan.

Ruang Lingkup Pasal 2

(1) Ruang lingkup rencana tata ruang wilayah provinsi mencakup struktur dan pola ruang serta strategi

pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan wilayah kabupaten/kota sampai batas ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(10)

10

(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini berisi :

a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah provinsi; b. rencana struktur tata ruang wilayah provinsi;

c. rencana pola ruang wilayah provinsi; d. penetapan kawasan strategis provinsi; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi; f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang provinsi; g. peran serta masyarakat.

Tujuan Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Pasal 3

Penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara bertujuan untuk mewujudkan wilayah Provinsi Sumatera Utara yang sejahtera, merata, berdaya saing dan dan berwawasan lingkungan

Pasal 4

RTRW Provinsi menjadi pedoman untuk:

a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang provinsi ;

b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah provinsi;

c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah provinsi;

d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta

keserasian antarsektor;

e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;

f. penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan

g. penataan ruang wilayah kabupaten/kota.

Bagian Kedua

Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Pasal 5

(1) kebijakan pertama yaitu mengurangi kesenjangan pengembangan wilayah timur dan barat,

kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:

a. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah barat sesuai dengan daya dukung b. membangun dan meningkatkan jaringan jalan poros timur dan barat

(2) kebijakan kedua mengembangkan sektor ekonomi unggulan melalui peningkatan daya saing dan

diversifikasi produk, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:

a. mendorong kegiatan pengolahan komoditi unggulan di pusat produksi komoditi unggulan b. meningkatkan prasarana perhubungan dari pusat produksi komoditi unggulan menuju pusat

pemasaran

c. menyediakan sarana dan prasarana pendukung produksi untuk menjamin kestabilan produksi komoditi unggulan

d. mengembangkan pusat-pusat agropolitan untuk meningkatkan daya saing

e. meningkatkan kapasitas pembangkit listrik dengan memanfaatkan sumber energi yang tersedia serta memperluas jaringan transmisi tenaga listrik guna mendukung produksi komoditas unggulan

(3) kebijakan ketiga mewujudkan ketahanan pangan melalui intensifikasi lahan yang ada dan

ekstensifikasi kegiatan pertanian pada lahan non-produktif, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:

a. mempertahankan luasan pertanian lahan basah yang ada saat ini b. meningkatkan produktivitas pertanian lahan basah

c. mencetak kawasan pertanian lahan basah baru untuk memenuhi swasembada pangan

(4) kebijakan keempat menjaga kelestarian lingkungan dan mengembalikan keseimbangan ekosistem,

kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:

a. mempertahankan luasan dan meningkatkan kualitas kawasan lindung b. mengembalikan ekosistem kawasan lindung

(11)

11

(5) kebijakan kelima mengoptimalkan pemanfaatan ruang budidaya sebagai antisipasi perkembangan

wilayah, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut: a. Mengendalikan perkembangan fisik permukiman perkotaan

b. Mendorong intensifikasi pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan

(6) kebijakan keenam meningkatkan aksesibilitas dan memeratakan pelayanan sosial ekonomi ke

seluruh wilayah provinsi, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:

a. membangun dan meningkatkan kualitas jaringan transportasi keseluruh bagian wilayah provinsi b. menyediakan dan memeratakan fasilitas pelayanan sosial ekonomi (kesehatan, pendidikan, air

bersih, pemerintahan dan lain-lain).

BAB III

RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA Bagian Kesatu

Umum Pasal 6

(1) Rencana struktur ruang wilayah provinsi meliputi:

a. sistem perkotaan provinsi;

b. sistem jaringan transportasi provinsi; c. sistem jaringan energi provinsi;

d. sistem jaringan telekomunikasi provinsi; dan e. sistem jaringan sumber daya air provinsi.

f. sistem jaringan sarana dan prasarana lingkungan

(2) Rencana struktur ruang wilayah provinsi digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian

1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional Pasal 7

Kebijakan pengembangan tata ruang yang ditetapkan pada tingkat nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), dipertimbangkan dalam RTRWP Sumatera Utara yang meliputi :

(1) menetapkan kawasan Perkotaan Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro) sebagai Pusat

Kegiatan Nasional (PKN);

(2) menetapkan Tebingtinggi, Sidikalang, Pematang Siantar, Balige, Rantau Prapat, Kisaran, Gunung

Sitoli, Padang Sidempuan, Sibolga sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW);

(3) menetapkan jalan bebas hambatan (jalan tol) meliputi :

a. Ruas Medan – Kualanamu – Tebing Tinggi b. Ruas Tebing Tinggi - Kisaran

c. Ruas Kisaran - Rantau Prapat d. Ruas Binjai – Langsa

e. Ruas Tebing Tinggi – Pematang Siantar – Parapat – Tarutung - Sibolga f. Ruas Belmera (Belawan - Medan - Tanjung Morawa)

g. Ruas Medan - Binjai

(4) menetapkan Pelabuhan Belawan dan pelabuhan Sibolga sebagai pelabuhan internasional serta

Tanjung Balai Asahan sebagai Pelabuhan Nasional

(5) menetapkan bandar udara Kuala Namu diarahkan sebagai pusat penyebaran primer dan Silangit

sebagai pusat penyebaran tersier.

(6) menetapkan wilayah sungai strategis nasional meliputi : Belawan – Ular – Padang, Toba –

Asahan, Batang Angkola – Batang Gadis serta wilayah sungai strategis lintas provinsi adalah Batang Natal – Batang Asahan.

(7) menetapkan kawasan lindung nasional cagar alam Dolok Sibual-buali, Dolok Sipirok dan Sei

(12)

12

Dolok Surungan. taman nasional adalah Batang Gadis, Taman nasional gunung Leuser, taman hutan raya adalah Bukit Barisan

(8) menetapkan kawasan strategis nasional adalah Kawasan Perkotaan Medan – Binjai – Deli Serdang

– Karo (Mebidangro), Kawasan Danau Toba dan sekitarnya, Kawasan Taman Nasional Ekosistem Leuser yang berbatasan dengan Provinsi Aceh serta Kawasan Perbatasan Pulau Kecil Terluar Pulau Berhala.

Bagian Kedua

Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara Paragraf Pertama

Rencana Pengembangan Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara Pasal 8

Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara diarahkan menjadi 3 (tiga) hirarki pusat pelayanan, yaitu :

(1) Pusat Kegiatan Nasional, yaitu pusat pelayanan primer yang melayani wilayah Provinsi Sumatera

Utara dan wilayah nasional/internasional yang lebih luas.

(2) Pusat Kegiatan Wilayah, yaitu pusat pelayanan sekunder yang melayani satu atau lebih daerah

Kabupaten/Kota dengan intensitas yang lebih tinggi untuk memacu pertumbuhan perekonomian di wilayah sekitarnya.

(3) Pusat Kegiatan Lokal, yaitu pusat pelayanan tersier melayani satu atau lebih kecamatan. Pusat

pelayanan tersier ini terutama dikembangkan untuk menciptakan satuan ruang wilayah yang lebih efisien sebagai sentra pelayanan kegiatan

Pasal 9

Sistem perkotaan Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut :

(1) PKN mencakup kawasan Perkotaan Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro)

(2) PKW meliputi kawasan perkotaan : Tebingtinggi, Sidikalang, Pematang Siantar, Balige, Rantau

Prapat, Kisaran, Gunung Sitoli, Padang Sidempuan, Sibolga

(3) PKL meliputi kawasan perkotaan : Pangkalan Brandan, Stabat, Pancur Batu, Lubuk Pakam, Sei

Rampah, Limapuluh, Indrapura, Perdagangan, Tanjung Balai, Simpang Empat, Aek Kanopan, Labuhan Bilik, Kota Pinang, Aek Nabara, Gunung Tua, Sipirok, Natal, Panyabungan, Sibuhuan, Pandan, Barus, Pangururan, Parapat, Dolok Sanggul, Tarutung, Siborong-borong, Kaban Jahe, Brastagi, Merek, Tiga Binanga, Salak, Pematang Raya, Lahewa/Lolu, Teluk Dalam, Lahomi/Sirombu, Gido/Lasara, Gunung Sitoli.

Paragraf Kedua

Kriteria Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara Pasal 10

(1) Pusat Kegiatan Nasional PKN, Pusat Kegiatan Wilayah PKW, dan PKL Pusat Kegiatan Lokal

dapat berupa:

a. kawasan megapolitan; b. kawasan metropolitan; c. kawasan perkotaan besar; d. kawasan perkotaan sedang; atau e. kawasan perkotaan kecil.

(2) PKL ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera

Utara berdasarkan usulan pemerintah kabupaten/kota, setelah dikonsultasikan dengan Menteri.

(3) PKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional;

b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan/atau

(13)

13

c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala

nasional atau melayani beberapa provinsi.

(4) PKW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN;

b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten; dan/atau

c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten.

(5) PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan; dan/atau

b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan.

Pasal 11

(1) kawasan megapolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan yang

ditetapkan dengan kriteria memiliki 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang mempunyai hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.

(2) kawasan metropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan perkotaan

yang ditetapkan dengan kriteria:

a. memiliki jumlah penduduk paling sedikit 1.000.000 (satu juta) jiwa;

b. terdiri atas satu kawasan perkotaan inti dan beberapa kawasan perkotaan di sekitarnya yang membentuk satu

c. kesatuan pusat perkotaan; dan

d. terdapat keterkaitan fungsi antarkawasan perkotaan dalam satu sistem metropolitan.

(3) kawasan perkotaan besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan

perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.

(4) kawasan perkotaan sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan

perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.

(5) kawasan perkotaan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan

perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 50.000 (lima puluh ribu) sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa.

Bagian Ketiga

Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Transportasi Paragraf Pertama

Paragraf Pertama

Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Pasal 12

Sistem jaringan transportasi Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b terdiri atas:

(1) sistem jaringan transportasi darat yang terdiri atas jaringan jalan, jaringan jalur kereta api, dan

jaringan transportasi penyebrangan sungai, danau,dan jalan bebas hambatan;

(2) sistem jaringan transportasi laut terdiri atas tatanan kepelabuhanan dan alur pelayaran.

(3) sistem jaringan transportasi udara terdiri atas tatanan kebandarudaraan dan ruang udara untuk

penerbangan.

(14)

14

Sistim Transportasi di Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b diarahkan untuk sistim transportasi multi moda yang terintegrasi dari melayani

Rencana dan Pengembangan Sistim Jaringan Transportasi Darat Sistim Transportasi Jaringan Jalan

Pasal 14

(1) jaringan jalan terdiri atas jaringan jalan arteri primer, jaringan jalan kolektor primer dan jalan

tol/bebas hambatan.

(2) jaringan jalan arteri primer dikembangkan secara menerus dan berhierarki berdasarkan kesatuan

sistem orientasi untuk menghubungkan: a. antar-PKN;

b. antara PKN dan PKW; dan/atau

c. PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional.

(3) jaringan jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar-PKW dan antara PKW

dan PKL.

(4) jalan tol/bebas hambatan dikembangkan untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas

hambatan sebagai bagian dari jaringan jalan nasional yang terdiri dari Jalan bebas hambatan antar kota dan Jalan bebas hambatan dalam kota

Pasal 15

Pengembangan sistim jaringan jalan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :

(1) Rencana Pengembangan Jaringan jalan arteri primer dan Kolektor Primer di Provinsi Sumatera

Utara diarahkan atas tiga jalur regional, yaitu

a. Jalur Lintas Timur merupakan muara pergerakan dari seluruh pusat kegiatan ekonomi di pantai Timur, termasuk Kawasan Perkotaan Mebidang yang merupakan pusat pelayanan primer yaitu mulai dari batas Aceh, - Pangkalan Susu, Tanjung Pura – Binjai – Medan – Lubuk Pakam – Perbaungan –Sei Rampah –Tebing Tinggi - Tanjung Kasau –Indrapura –Lima puluh – Sei Bejangkar – Kisaran – Sp Kawat–Rantau Prapat – Aek Nabara – kota Pinang – Batas Riau b. Jalur Lintas Tengah yang merupakan prasarana yang melayani pergerakan penumpang dan

barang di wilayah Sumatera Utara bagian Tengah yang menghubungkan pantai Barat dan pantai Timur, terutama pusat pelayanan primer Mebidang dan Sibolga, mulai dari batas Aceh - Lawe Pakam – Kota Buluh – Sidikalang – Panji – Dolok Sanggul – Siborong – borong – Tarutung – Sipirok – Padang sidempuan- Jembatan Merah – Ranjau Batu – Muara Sipomgi – batas Sumatera Barat

c. Jalur Lintas Barat merupakan prasarana untuk perkuatan wilayah pantai Barat, mengembangkan potensi ekonominya, terutama untuk mendukung aksesibilitas pusat primer Sibolga yaitu batas aceh – Saragih – Manuamas- Barus – Sibolga – Batang Toru - Riniate – Batu Mundon

(2) Pengembangan jaringan diagonal atau feeder road yaitu Medan – Brastagi – kabanjahe –

Sidikalang, Tebingtinggi – Pematang Siantar- Prapat – Balige – Siborong – borong – Tarutung – Sibolga, Padang Sidempuan – Batang toru

(3) Pengembangn jaringan yang terpisah dengan jaringan jalan nasional atau pun provinsi yaitu

Lingkar Pulau Nias dan Pulau Samosir

(4) Peningkatan kapasitas jaringan bebas hambatan ruas Belmera (Belawan - Medan - Tanjung

Morawa)

(5) Pengembangan dengan pembangunan baru bebas jalan hambatan dalam dan antar kota yang

mendukung perkembangan PKN Mebidangro meliputi : a. Ruas Medan – Lubuk Pakam - Kualanamu – Tebing Tinggi b. Ruas Tebing Tinggi - Kisaran

c. Ruas Kisaran - Rantau Prapat d. Ruas Binjai – Langsa

e. Ruas Tebing Tinggi – Pematang Siantar – Parapat f. Ruas Medan - Binjai

(15)

15

(6) Pengembangan derajat aksesibilitas antara Provinsi Sumatera Utara dengan Nangroe Aceh

Darussalam adalah melalui jalur Medan - Stabat - Pangkalan Brandan ke arah Langkat dan Medan - Sidikalang - ke arah Tapaktuan.

(7) Akses ke Provinsi Riau dibentuk melalui peningkatan jalur Medan - Perbaungan - Tebing Tinggi -

Tanjungbalai - Kota Pinang ke arah Dumai dan jalur kereta api dari Medan - Tebing Tinggi - Kisaran - Rantau Prapat ke arah Dumai. Sedangkan akses dengan Provinsi Sumatera Barat dikembangkan melalui jalur Padang Sidempuan ke arah Muara Sipongi dan jalur Sibolga - Lumut - Natal ke arah Air Bangis.

Sistim Jaringan Kereta Api Pasal 16

(1) jaringan jalur kereta api di Provinsi Sumatera Utara terdiri atas:

a. jaringan jalur kereta api antarkota; dan b. jaringan jalur kereta api perkotaan.

(2) Jaringan jalur kereta api antarkota dikembangkan untuk menghubungkan:

a. antar-PKN;

b. PKW dengan PKN; atau c. antar-PKW

(3) Jaringan jalur kereta api perkotaan dikembangkan untuk:

a. menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional; dan

b. mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan.

Sistim Jaringan Kereta Api di Provinsi Sumatera Utara Pasal 17

Pengembangan sistim jaringan jalan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :

(1) Pengembangan Jaringan jalur kereta api yang merupakan bagian Trans Asia Raillway

meliputi : Banda Aceh – Pangkalan Susu – Medan – Rantau Prapat – Teluk Bayur

(2) Pemantapan jalur KA antar kota di pantai timur yang menhubungkan batas NAD – Medan

– Lubuk Pakam – Tebing tinggi – kisaran - Rantau Prapat - batas Riau

(3) Pemantapan jaur kereta api antar kota di pantai timur yang menhubungkan batas NAD – Medan –

Lubuk Pakam – Tebing tinggi – kisaran - Rantau Prapat - batas Riau

(4) pemantapan jalur kereta api antar kota di bagian tengah utara yang menghubungkan batas Riau –

Gunung Tua – Rantau Prapat

(5) pengembangan jalur kereta api antar kota di pantai barat bagian utara yang menghubungkan Kota

Sibolga ke Tapak Tuan

(6) pembangunan jaur trasportasi kerea api antar kota Sibolga- Padangsidempuan – Rantau Prapat,

Pematang siantar Tebing – Tinggi, Kisaran – Tanjung Balai.

(7) Pengembangan simpul kereta api di stasiun KA antar kota Medan, Sibolga, Pematang Siantar dan

stasiun KA kelas B di Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat.

(8) Pengembangan jalur KA menuju pelabuhan yaitu Belawan – Gabion (Pelabuhan Peti Kemas),

Bandar Tinggi – Pel. Kuala Tanjung, Kisaran – Pelabuhan. Tanjung. Tiram, R.Prapat – A.Nabara-Negeri Lama-Lab.Bilik

(9) Pengembangan jalur KA menuju bandar udara Kuala Namu.

(10) Pengoperasian kembali jalur Medan - Pancur Batu dan Medan - Deli Tua untuk antisipasi rencana relokasi perguruan tinggi, pembangunan sarana olah raga, dan taman botani di sekitar Pancur Batu. (11) Pembangunan jalan layang (fly over) pada beberapa titik pertemuan rel kereta api dengan jalan

raya.

Sistim Jaringan Angkutan Sungai dan Penyebrangan Pasal 18

(1) Jaringan transportasi sungai dan danau dan penyebrangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

(16)

16

a. pelabuhan sungai dan pelabuhan danau; dan

b. alur pelayaran untuk kegiatan angkutan sungai dan alur pelayaran untuk kegiatan angkutan danau.

(2) Jaringan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terdiri atas

pelabuhan penyeberangan dan lintas penyeberangan.

(3) Pelabuhan penyeberangan terdiri atas:

a. pelabuhan penyeberangan lintas antarprovinsi dan antarnegara; b. pelabuhan penyeberangan lintas antarkabupaten/kota;dan c. pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/kota.

(4) Lintas penyeberangan terdiri atas:

a. lintas penyeberangan antarprovinsi yang menghubungkan antarjaringan jalan nasional dan antarjaringan jalur kereta api antarprovinsi;

b. lintas penyeberangan antar negara yang menghubungkan antar jaringan jalan pada kawasan perbatasan;

c. lintas penyeberangan lintas kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan jalan provinsi dan jaringan jalur kereta api dalam provinsi; dan

d. lintas pelabuhan penyeberangan dalam kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan jalan kabupaten/kota dan jaringan jalur kereta api dalam kabupaten/kota.

Sistim Jaringan Angkutan Sungai dan Penyebrangan di Provinsi Sumatera Utara Pasal 19

Pengembangan sistim angkutan sungai dan penyebrangan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :

(1) Penyebrangan lintas negara yaitu Belawan – Malaysia dan Tanjung Balai – Malaysia

(2) Penyebrangan lintas kabupaten/kota yaitu Sibolga- Gunung Sitoli, Ajibata – Tomok, Simanindo –

Tigaras, Belawan Lama- Batang Sere, Belawan Lama- Karang Gading

Rencana dan Pengembangan Sistim JaringanTransportasi Laut Pasal 20

(1) tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) terdiri atas:

a. pelabuhan umum; dan b. pelabuhan khusus.

(2) pelabuhan umum terdiri atas pelabuhan internasional hub, pelabuhan internasional, pelabuhan

nasional, pelabuhan regional, dan pelabuhan lokal.

(3) pelabuhan internasional hub dan pelabuhan internasional dikembangkan untuk:

a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah besar;

b. menjangkau wilayah pelayanan sangat luas; dan c. menjadi simpul jaringan transportasi laut internasional.

(4) Pelabuhan nasional dikembangkan untuk:

a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah;

b. menjangkau wilayah pelayanan menengah; dan

c. memiliki fungsi sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional.

(5) Pelabuhan regional dikembangkan untuk:

a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; dan

b. menjangkau wilayah pelayanan menengah.

(6) Pelabuhan lokal dikembangkan untuk:

a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; dan

(17)

17

Sistim Transportasi Laut di Provinsi Sumatera Utara

Pasal 21

Pengembangan sistim transportasi laut di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :

(1) Pelabuhan internasional direncanakan di Belawan dan Sibolga, pelabuhan nasional direncanakan

di Tanjung Balai.

(2) pelabuhan skala regional dan lokal di Provinsi Sumatera Utara yang dikembangkan untuk

menunjang perkembangan aktifitas ekonomi wilayah pelayanannya, adalah :

a. pelabuhan Labuhan Bilik dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan barang di wilayah pantai Timur bagian Selatan, sehingga komoditi setempat tidak berorientasi ke Pelabuhan Dumai di Provinsi Riau.

b. pelabuhan Barus dikembangan sebagai pelabuahn pengumpan lokal untuk melayani pergerakan di wilayah pantai timur Provinsi Sumatera Utara

c. pelabuhan Pangkalan Brandan dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal dengan skala pelayanan angkutan penumpang dan barang di wilayah pantai Timur Sumatera Utara d. pelabuhan Natal dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan

penumpang dan barang di wilayah pantai Barat bagian Selatan, sehingga komoditi setempat tidak berorientasi ke pelabuhan Teluk Bayur di Sumatera Barat.

e. pelabuhan Gunung Sitoli dan Sirambu dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan penumpang dan barang dari dan menuju Pulau Nias.

f. pelabuhan Balige, Pelabuhan Ajibata, Pelabuhan Simanindo dan Pelabuhan Pangururan dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan tourist/wisatawan mengunjungi objek-objek wisata di daerah tujuan wisata Danau Toba.

(3) alur pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) terdiri atas alur pelayaran

internasional dan alur pelayaran nasional.

Rencana dan Pengembangan Sistim Jaringan Transportasi Udara Pasal 22

(1) tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) terdiri atas:

a. bandar udara umum; dan b. bandar udara khusus.

(2) bandar udara umum terdiri atas:

a. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer; b. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekunder; c. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersier;dan d. bandar udara bukan pusat penyebaran

Pasal 23

Rencana pengembangan jaringan transportasi udara terdiri dari :

(1) Bandara udara Kuala Namu, Deli Serdang sebagai pusat penyebaran primer berskala internasional

(2) Bandara udara Silangit, Siborong-borong, Tapanuli Utara sebagai pusat penyebaran tersier

(3) Bandara bandar udara Dr. Ferdinand Lumban Tobing, Sibolga ditingkatkan menjadi pusat

penyebaran sekunder

(4) Bandar Udara Aek Godang, di Tapanuli Selatan, Bandar Udara Sibisa di Toba Samosir, Bandar

udara Binaka di Gunung Sitoli Pulau Nias, Lasondre Pulau Batu sebagai pusat penyebaran tersier.

(5) Bandar udara perintis di Aek Nabara Labuhan Batu dan Madina.

Paragraf kedua

Kriteria Sistem Jaringan Transportasi Pasal 24

(1) Jalan arteri primer diarahkan untuk melayani pergerakan antar kota antar provinsi, dengan kriteria

(18)

18

a. Menghubungkan antar-PKN

b. Menghubungkan antara PKN dan PKW

c. Menghubungkan PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/ nasional;

d. Berupa jalan umum yang melayani angkutan utama; e. Melayani perjalanan jarak jauh;

f. Memungkinkan untuk lalu-lintas dengan kecepatan rata-rata tinggi; dan g. Jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

(2) Jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar kota dalam provinsi, dengan

kriteria sebagai berikut :

a. Menghubungkan antar-PKW;

b. Menghubungkan antara PKW dengan PKL;

c. Berupa jalan umum yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi; d. Melayani perjalanan jarak sedang;

e. Memungkinkan untuk lalu-lintas dengan kecepatan rata-rata sedang; dan f. Membatasi jumlah jalan masuk.

(3) Jalan strategis nasional dikembangkan berdasarkan kriteria menghubungkan PKN dan/atau PKW

dengan kawasan strategis nasional.

(4) Jalan tol dibangun untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang dan

meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi.

(5) Pengembangan jalan kereta api ditetapkan dengan kriteria menghubungkan antar PKN, PKW

dengan PKN, antar PKW dan menghubungkan pusat-pusat Sentra produksi dan distribusi.

(6) Pengembangan terminal regional tipe A, dengan kriteria sebagai berikut :

a. Lokasi terletak di PKN dan/atau di PKW dalam jaringan trayek antar kota, antar provinsi (AKAP);

b. Terletak di jalan arteri primer dengan kelas jalan minimum IIIA;

c. Jarak antara terminal regional tipe A sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) km; d. Luas minimum 5 (lima) ha;

e. Mempunyai akses masuk atau keluar jalan dari terminal minimum 100 (seratus)m; dan

f. Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan AKAP, AKDP, Angkutan Perkotaan, serta Angkutan Pedesaan

(7) Pengembangan terminal regional tipe B, dengan kriteria sebagai berikut :

a. Lokasi terletak di PKW dan/ atau di PKL dalam jaringan trayek antar kota, antar provinsi (AKAP);

b. Terletak di jalan arteri atau kolektor primer dengan kelas jalan minimum IIIB;

c. Jarak antara terminal regional tipe B dan/atau antara terminal regional tipe B dengan terminal regional tipe A sekurang-kurangnya 15 (lima belas) km;

d. Luas minimum 3 (tiga) ha;

e. Mempunyai akses masuk atau keluar jalan dari terminal minimum 50 (lima puluh) m; dan f. Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan AKDP, Angkutan Perkotaan, serta

Angkutan Pedesaan.

(8) Rencana pengembangan pelabuhan internasional dengan fungsi pelabuhan utama ditetapkan dengan

kriteria :

a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut internasional dalam jumlah besar;

b. Menjangkau wilayah pelayanan sangat luas;

c. Menjadi simpul utama pendukung pengembangan produksi kawasan andalan ke pasar internasional;

d. Berhadapan lansung dengan alur laut kepulauan Indonesia dan/atau jalur pelayaran internasional;

e. Berjarak paling jauh 500 (lima ratus) mil dari alur laut kepulauan Indonesia atau jalur pelayaran internasional;

f. Bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antar negara; g. Berada di luar kawasan lindung; dan

(19)

19

h. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 12 (dua belas) meter untuk

pelabuhan internasional hub dan 9 (sembilan) meter untuk pelabuhan internasional.

(9) Rencana pengembangan pelabuhan nasional dengan fungsi pelabuhan pengumpul ditetapkan

dengan kriteria :

a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah;

b. Menjangkau wilayah pelayanan menengah;

c. Memiliki fungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasn andalan ke pasar nasional;

d. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antar provinsi;

e. Memberikan akses bagi pengembangan pulau-pulau kecil dan kawasan andalan laut, termasuk pengembangan kawasan tertinggal;

f. Berada di luar kawasan lindung; dan

g. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 9 (sembilan) meter.

(10) Rencana pengembangan pelabuhan regional dengan fungsi pelabuhan pengumpul ditetapkan dengan kriteria :

a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah;

b. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dan PKW dalam sistem transportasi antar provinsi;

c. Berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar regional; d. Memberi akses bagi pengembangan kawasan andalan laut, kawasan pedalaman sungai, dan

pulau-pulau kecil, termasuk pengembangan kawasan tertinggal; e. Berada di luar kawasan lindung; dan

f. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 4 (empat) meter. 25

(11) Rencana pengembangan pelabuhan lokal dengan fungsi pelabuhan pengumpan ditetapkan dengan kriteria :

a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil;

b. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKW/ PKWp atau PKL dalam sistem transportasi antar kabupaten/kota dalam satu provinsi;

c. Berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan budidaya di sekitarnya ke pasar lokal;

d. Berada di luar kawasan lindung;

e. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 1,5 (satu setengah) meter; dan f. Dapat melayani pelayaran rakyat.

Bagian Keempat

Rencana Pengembangan dan Kriteria Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara Paragraf Pertama

Rencana Pengembangan Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara Pasal 25

(1) sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c terdiri atas:

a. penyediaan minyak dan gas bumi; b. pembangkit tenaga listrik; dan c. jaringan transmisi tenaga listrik.

(2) Pengembangan jaringan energi bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan daya energi yang

menjangkau seluruh wilayah dalam kapasitas dan pelayanannya guna untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat, mendukung aspek politik dan pertahanan negara

(20)

20

Pasal 26

Pengembangan sistem jaringan energi di Provinsi Sumatera Utara adalah :

(1) pengembangan pengelolaan sistim penyediaan minyak dan gas bumi yang berasal dari Pangkalan

Susu, Kabupaten Langkat, dan Riau (Pertamina Sumbagut)

(2) Pengembangan pembangkit tenaga listrik dengan peningkatan kapasitas pembangkit tenaga listrik

antara lain PLTG/U Belawan, PLTG Paya, Pasir, PLTG Glugur, PLTD Titi Kuning, PLTA Sipansihaporas, PLTA Renun, PLTU Labuhan Angin, PLTA Inalum, PLTP Sibayak, PLTM Kombih I & VII, PLTM Boho, PLTM Silang, PLTM Sibundong, PLTD G. Sitali, PLTD T. Dalam, PLTMH Batang Gadis I & II, PLTMH Aek Raisan I & II

(3) Pengembangan dan penyediaan pembangkit listrik baru yang berbasiskan pertambangan batu bara,

panas bumi, hidro, yaitu:

No

.

Nama Pembangkit

Jenis

Jumlah Unit

Unit Size

(MW)

Kapasitas

(MW)

1

PLTG Barge Maunted

PLTG

1

60

60

2 Asahan

I

PLTA

2 90 180

3 Sumut

PLTU

2

200 400

4 Sarulla

PLTP

3 110 330

5 Kuala

Tanjung

PLTU

2 1

25 250

6 Paluh

Merbau

PLTU

2

125

250

7 Asahan

III

PLTA

2 87 174

(4) Pengembangan sistim jaringan terisolasi pada pulau-pulau kecil atau gugus pulau serta kawasan

terpencil dilaksanakan dengan sistem pembangkit mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin dan tenaga diesel.

(5) Pengembangan sistim jaringan transmisi interkoneksi se Sumatera dan sistim energi Asean

(6) Pengembangan sistim jaringan strasmisi SUTET dan SUTUT dengan mempertimbangkan pola

pemanfaatan ruang yang ada

Paragraf Kedua

Kriteria Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara Pasal 27

(1) Pengembangan prasarana energi ditujukan untuk peningkatan kapasitas pembangkit listrik dengan

kriteria :

a. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan di kawasan perkotaan, perdesaan, dan pulau-pulau kecil;

b. Mendukung pemanfaatan teknologi tinggi yang mampu menghasilkan energi untuk mengurangi ketergantungan sumber energi tak terbarukan;

c. Berada pada lokasi aman dari bahaya bencana alam dan aman terhadap kegiatan lain; d. Tidak berada pada kawasan lindung.

(2) Pengembangan prasarana jaringan energi listrik ditetapkan dengan kriteria :

a. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan di kawasan perkotaan, perdesaan, dan pulau-pulau kecil;

b. Melintasi kawasan permukiman, wilayah sungai, laut, hutan, pertanian, dan jalur transportasi; c. Mendukung pemanfaatan teknologi tinggi yang mampu menghasilkan energi untuk mengurangi

ketergantungan sumber energi tak terbarukan;

Bagian Kelima

(21)

21

Paragraf Pertama

Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 28

(1) Sistem jaringan telekomunikasi Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(1) huruf d terdiri atas : a. jaringan terestrial dan

b. jaringan satelit termasuk yang menggunakan spektrum frekuensi radio sebagai sarana transmisi,

(2) Pengembangan jaringan telekomunikasi bertujuan untuk mewujudkan sarana komunikasi dan

informasi yang menjangkau seluruh wilayah dalam kapasitas dan pelayanannya guna untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat, mendukung aspek politik dan pertahanan negara.

Pasal 29

Sistim jaringan telekomunikasi di Provinsi Sumatera Utara adalah :

(1) sistim jaringan telekomunikasi teresterial dikembangkan di jaringan pusat pertumbuhan di wilayah

pantai timur

(2) sistim jaringan telekomunikasi teresterial dikembangkan di jaringan pelayanan di PKN Mebidangro

dan di pusat pertumbuhan wilayah pantai barat

(3) sistim jaringan telekomunikasi satelit dikembangkan pada kawasan tertinggal, terisolasi dan

kawasan perbatasan yaitu Pulau Berhala serta pembangunan Stasiun Bumi di Kabupaten Karo

Paragraf Pertama

Kriteria Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 30

(1) Pengembangan jaringan telekomunikasi dengan sistem terestrial ditetapkan dengan keriteria :

a. Jaringan dikembangkan secara berkesinambungan dan terhubung dengan jaringan nasional; b. Menghubungkan antar pusat kegiatan; dan

c. Mendukung kawasan pengembangan ekonomi.

(2) Pengembangan jaringan sistem satelit ditetapkan dengan kriteria :

a. Mendukung dan melengkapi pengembangan jaringan terestrial; b. Mendukung pengembangan telekomunikasi seluler; dan

c. Pemanfaatan bersama menara untuk paling sedikit 3 (tiga) operator setiap menara.

Bagian Keenam

Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air Paragraf Pertama

Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air Pasal 31

(1) sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e merupakan

sistem sumber daya air pada setiap wilayah sungai dan cekungan air tanah.

(2) wilayah sungai meliputi wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai strategis nasional dan

wilayah sungai strategis provinsi.

(3) cekungan air tanah meliputi cekungan air tanah lintas provinsi.

Pasal 32

Pengembangan prasarana sumber daya air di Provinsi Sumatera Utara bertujuan untuk :

(1) Pengembangan, pengelolaan dan konservasi SDA antara lain sungai, danau, rawa dan sumber daya

air lainnya

(2) Pengembangan dan pengelolaan jaringan sumberdaya air bagi penyediaan air baku di pusat – pusat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penyusunan Laporan Akhir ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Diploma III pada Jurusan Manajemen Informatika Politeknik Negeri

Pojok Kampung disajikan dengan bahasa suroboyo diharapkan dapat mewakili identitas pojok kampung sebagai paket berita yang ditayangkan oleh televisi lokal

Saran yang dapat diberikan oleh peneliti untuk penelitian lanjutan adalah melihat variabel lain yang dapat mempengaruhi ketrampilan seorang pengasuh dalam

[r]

Kata penghubung yang tepat untuk melengkapi bagian yang rumpang pada paragraf tersebut adalah .... karena,

Pengalokasian pagu penggunaan PNBP lebih lanjut ke dalam program, sub program, kegiatan, sub kegiatan, dan akun belanja dilakukan oleh Direktorat Anggaran yang menjadi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh promosi, harga dan kualitas layanan terhadap keputusan pembelian sepeda motor matic Honda Beat di Dealer WIN Surabaya Timur.. Data

Setelah operasi berjalan pada minggu ke dua waktu tinggal di dalam reaktor diubah menjadi dua hari, dan setelah satu minggu berjalan yakni pada minggu ke tiga konsentrasi ammonia