• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KUANTITATIF TELUR CACING NEMATODA USUS METODE KATO KATZ KUANTITATIF PADA MURID SDN NO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KUANTITATIF TELUR CACING NEMATODA USUS METODE KATO KATZ KUANTITATIF PADA MURID SDN NO"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Jenny Ria Sihombing Analisis Kuantitatif ANALISIS KUANTITATIF TELUR CACING NEMATODA USUS METODE

KATO KATZ KUANTITATIF PADA MURID SDN NO.101777 SAENTIS KECAMATAN PERCUT SEI TUAN DELI SERDANG

TAHUN 2010

Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Jenny Ria Sihombing

Email :jennyriasihombing@gmail.com

ABSTRAK

Penyakit cacingan sangat berpengaruh buruk bagi kesehatan, pada anak-anak cacingan akan berdampak pada gangguan dalam belajar, menurunnya kualitas kecerdasan dan berkurangnya asupan giji yang diperoleh, pada orang dewasa dapat menurunkan kreativitas bekerja. Telah dilakukan penelitian pada 23 sampel tinja yang diambil secara

consecutivesampling pada murid SDN NO. 101777 Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan

Kabupaten Deli Serdang dengan menggunakan metode Kato Katz Kuantitatif dimana sampel yang diperiksa adalah sampel yang positif menderita infeksi cacing Nematoda usus. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat dikategorikan sebagai infeksi ringan. Dikatakan infeksi ringan karena semua jumlah telur cacing baik Ascaris

lumbricoides maupun Trichuris trichiura lebih kecil dari nilai ketentuan dimana menurut

laporan yang diterapkan oleh WHO tahun 1987 jumlah telur infeksi berat Ascariasis sebanyak 50.000 butir telur/gr tinja dan pada Trichuriasis 10.000 butir telur/gr tinja. Melakukan pemeriksaan volume tinja harus benar beratnya 41,7 mg dengan pengukuran ring berdiameter 6 mm yang terbuat dari karton tebal selebar ±3 x 4 cm. Metode ini sangat baik untuk mengevaluasi hasil kemajuan pengobatan.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit cacingan di Indonesia boleh di katakan masih cukup tinggi dan merata, tidak hanya di lingkungan yang kumuh dan buruk sanitasinya saja. Oleh karena itu, penyakit cacingan jangan dianggap enteng, khususnya di daerah-daerah yang sanitasinya masih kurang baik. Pada anak-anak cacingan akan berdampak pada gangguan dalam belajar, menurunnya kualitas kecerdasan serta berkurangnya asupan giji yang diperoleh. Pada orang dewasa dapat menurunnya kreativitas bekerja. Dalam hal ini dapat dikatakan infeksi cacing menurunkan kualitas sumber manusia (Ronald H, 2008).

Nematoda usus merupakan kelompok yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia karena masih banyak yang mengidap cacing ini sehubungan banyaknya faktor yang menunjang untuk hidup suburnya cacing parasiter ini. Faktor penunjang ini antara lain keadaan alam serta iklim, sosial ekonomi, pendidikan, kepadatan penduduk serta masih berkembangnya kebiasaan yang kurang baik. Berdasarkan fungsi tanah pada siklus hidup cacing ini, Soil Transmitted Helminths adalah Nematoda usus yang

dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan telur menjadi

infektif, yang sering menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Hookworm. Diagnosis langsung cacing ini bisa ditemukan telur didalam tinja (Natadisastra, 2009).

Tingginya angka pengidap cacingan pada umumnya disebabkan karena sanitasi lingkungan yang kurang baik, perilaku kebersihan yang kurang, debu yang berterbangan, makanan jajanan yang kurang terjaga kebersihannya (H, Ronald, 2008).

Demikian juga halnya di daerah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang yang masih banyak anak-anak usia sekolah yang belum mengerti tentang pentingnya kesehatan. Dilakukannya penelitian pada murid SD tersebut karena diketahui banyak jajanan sekolah yang belum terjaga kebersihannya, penularan umumnya dapat terjadi melalui makanan, dan minuman secara oral baik dari tangan sendiri maupun jajanan makanan di sekolah ataupun di rumah dimana anak-anak makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, selain itu dapat terjadi dengan memakan makanan terbuka, yang sudah terkontaminasi telur infektif melalui debu yang berterbangan, dan dapat juga dibawa oleh vector mekanik seperti lalat rumah (Musca domestica),

Blathidae dan kecoak yang mengandung

telur infektif. Penularan lain bisa terjadi melalui kulit seperti pada cacing Hookworm

(3)

Jenny Ria Sihombing Analisis Kuantitatif yang dapat menginfeksi manusia dengan

bermain di tanah lembab dan kotor tanpa menggunakan alas kaki (Santosa, 2009).

Sampel diambil secara consecutive sampling pada murid SDN No. 101777

Saentis Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang dimana sampel yang diperiksa adalah sampel positif yang sebelumnya telah diperiksa oleh Irmasari Perangin-angin sebanyak 23 sampel.

Penelitian yang dilakukan pada murid SD tersebut menggunakan metode Kato Katz Kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui berat ringannya infeksi cacing dalam usus (Illahude D, 1998).

Menurut laporan yang ditetapkan oleh WHO (1987), berat ringannya infeksi penyakit cacing dapat diketahui dari jumlah telur/gr tinja dari hasil pemeriksaan Metode Kato Katz Kuantitatif.

Tabel 1. Berat ringannya penyakit cacing berdasarkan jumlah telur/gr tinja.

Ascariasis Trichuriasis - Infeksi Ringan: 5000/gr tinja - Infeksi ringan : 1.000/gr tinja - Infeksi Berat: 50.000/gr tinja - Infeksi Berat : 10.000/gr tinja (WHO, 1987) RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian terhadap pemeriksaan Telur Cacing Nematoda Usus dengan Metode Kato Katz Kuantitatif pada Murid SDN No. 101777 Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang.

TUJUAN PENELITIAN

Untuk menentukan jumlah Telur Cacing per gram tinja dan untuk mengetahui berat ringannya infeksi pada penderita infeksi Nematoda Usus dengan Metode Kato Katz Kuantitatif pada Murid SDN No. 101777 Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

Dapat mengenal Telur Cacing Nematoda Usus dengan Metode Kato Katz.

Dapat melakukan perhitungan Telur Cacing dengan Metode Kato Katz.

Mampu mendiagnosa Telur-telur Cacing dengan Metode Kato Katz.

(4)

METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan dengan metode DeskriptifCrossectional. Dengan menggunakan Metode Kato Katz Kuantitatif.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di laboratorium StiKes Sari Mutiara Medan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2010.

Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel terhadap murid SDN No. 101777 Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang sebanyak 23 sampel yang diambil secara consecutive samlping dimana sampel yang diperiksa adalah sampel positif yang sebelumnya telah diperiksa oleh Irmasari Perangin-angin sebanyak 23 sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 2. Data hasil pemeriksaan telur cacing Nematoda usus dengan Metode Flotasi pada murid SDN No. 101777 Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

No. Insial Pasien Umur (Tahun) Jenis Kelamin (L/P)

Data awal pemeriksaan telur cacing dengan Metode Flotasi Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura Hooworm 1 A1 6 L + + -2 A2 6 P + + -3 A3 10 L - + -4 A4 10 L - + -5 A5 10 L - + -6 A6 10 L - + -7 A7 10 L - + -8 A8 10 P - + -9 A9 7 L - + -10 A10 7 P - + -11 A11 7 L + +

(5)

-Jenny Ria Sihombing Analisis Kuantitatif 12 A12 8 L + + -13 A13 7 P + + -14 A14 7 L - + -15 A15 11 P - + -16 A16 11 L - + -17 A17 9 L + + -18 A18 9 L + + -19 A19 9 L + + -20 A20 9 L + + -21 A21 8 P - + -22 A22 8 P + + -23 A23 8 L - + -24 A24 6 P - - -25 A25 6 L - - -26 A26 6 L - - -27 A27 8 L - - -28 A28 9 L - - -29 A29 9 L - - -30 A30 6 P - - -31 A31 6 P - - -32 A32 9 L - - -33 A33 11 L - - -34 A34 7 P - - -35 A35 7 P - - -36 A36 8 P - - -37 A37 8 P - - -38 A38 11 L - - -39 A39 11 P - - -40 A40 11 L - -

-Catatan: Hasil pemeriksaan telur cacing dengan Metode Flotasi dilanjutkan pemeriksaan untuk menghitung jumlah telur cacing secara kuantitatif dengan Metode Kato Katz.

(6)

Tabel 3. Data Hasil Perhitungan jumlah telur cacing pada data tabel 3 dengan Metode Kato Katz Kuantitatif. No. Insial Pasien Umur (Tahun) Jenis Kelamin (L/P)

Hasil pemeriksaan dengan Metode Kato Katz Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura Jlh Telur Hasil perhitungan

per gr tinja Jlh Telur Hasil perhitungan per gr tinja 1 A1 6 L 3 72 21 504 2 A2 6 P 7 168 43 1.032 3 A3 10 L - - 9 216 4 A4 10 L - - 1 24 5 A5 10 L - - 2 48 6 A6 10 L - - 1 24 7 A7 10 L - - 4 96 8 A8 10 L - - 2 48 9 A9 7 P - - 60 1.440 10 A10 7 P - - 6 144 11 A11 7 L 2 48 12 288 12 A12 8 L 3 72 24 576 13 A13 7 P 1 24 9 216 14 A14 7 L - - 2 48 15 A15 11 L - - 2 48 16 A16 11 L - - 7 168 17 A17 9 L 33 792 17 408 18 A18 9 L 20 480 5 120 19 A19 9 L 113 2.712 5 120 20 A20 9 L 744 17.856 49 1.176 21 A21 8 P - - 2 48 22 A22 8 L 548 13.150 7 168 23 A123 8 P - - 1 24

Hasil Perhitungan yang diperoleh pada tinja positif telur cacing maka dapat ditemukan

jumlah terendah 24 butir telur/gr tinja dan tertinggi 17.856 butir telur/gr tinja.

(7)

Jenny Ria Sihombing Analisis Kuantitatif Pembahasan

Dari hasil pemeriksaan dengan Metode Flotasi temuan telur cacing dilanjutkan untuk menghitung jumlah telur cacing secara kuantitatif dengan menggunakan Metode Kato Katz. Dari hasil penelitian terhadap 23 sampel ternyata jumlah tertinggi Ascaris lumbricoides 17.856 telur/gr tinja dan Trichuris trichiura sebanyak 1.440 telur/gr tinja. Ini dikategorikan infeksi ringan. Menurut laporan yang ditetapkan oleh WHO 1987 dikatan infeksi berat Ascariasis apabila dijumpai 50.000 butir telur/gr tinja dan pada Trichuriasis 10.000 butir telur/gr tinja (WHO, 1987).

Walaupun dikategorikan infeksi ringan, hal itu tetap berdampak buruk bagi penderita karena dapat mengganggu proses pertumbuhan bagi anak-anak dan menghambat produktivitas kerja bagi orang dewasa. Penderita kecacingan secara berangsur-angsur akan kekurangan gizi akibatnya selain menyebabkan kurang gairah juga daya tahan tubuhnya akan menurun, mudah sakit dan bagi anak-anak akan mengalami kesulitan belajar secara optimal. Hal ini tentu saja menurunkan kualitas sumber manusia (Ronald H, 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhdap 23 sampel didapat jumlah telur cacing Ascaris lumbricoides teringgi 17.856 butir telur/gr tinja dan

Trichuris trichiura sebanyak 1.440 telur/gr

tinja. Ini dikategorikan infeksi ringa.

Saran

Beberapa saran yang harus diperhatikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam pencetakan sampel tinja harus sesuai dengan ketentuan dimana ring yang digunakan berdiameter 6 mm yang terbuat dari karton tebal selebar ± 3 X 4 cm, dengan ukuran ini volume tinja tersaring 41,7 mg.

2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar melakukan pemeriksaan sebelum dan sesudah pengobatan sebagai evaluasi pengobatan.

3. Pemeriksaan jumlah telur cacing secara kuantitatif juga dapat dilakukan dengan Metode Stoll.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Edriss, Yvette, dkk. 2005. Methods in Parasitology. Swiss Tropical Institute, Basel.

Herri Pedro. 2007. Helmintologi Kedokteran. Prestasi Pustaka : Jayapura.

Ideham, Bariah dan Suhintam Pusarawati. 2007. Helmintologi Kedokteran.Airlangga

University Press : Surabaya.

Ilahude D, Herry, dkk. 1998. Penuntun

Praktikum Parasitologi Kedokteran. FKUI :

Jakarta.

Natadisastra, dkk, 2009. Parasitologi Kedokteran. EGC : Jakarta.

Padmasutra Leshmana. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. EGC : Jakarta.

Reifmantao. 2009. Pengobatan Penyakit Parasit. Sagung Seto : Jakarta.

Ronald H. 2008. Pedoman Perawatan Kesehatan Anak. Yrama Widya : Bandung.

Safar Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran. Yrama Widya : Bandung.

Santosa, dkk. 2009. Parasitologi.Yrama

Widya : Bandung.

Soedarto. 1991. Helmintologi Kedokteran. EGC : Jakarta.

Sutanto Inge, dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. FKUI : Jakarta.

World Health Organization. 1987. Prevention

and Control Of Intestinal Parasitic Infections.

Geneva.

World Health Organization. 1991. Basic Laboratory Methods in Medical Parasitology.

Geneva.

Zulkoni Akhsin. 2010. Parasitologi. Nuha Medika : Yogyakarta.

(9)

Yudi Andre Marpaung Akurasi Derajat Fibrosis Hati AKURASI DERAJAT FIBROSIS HATI

BERDASARKAN KING’S SCORE TERHADAP FIBROSCAN PADA PENYAKIT HEPATITIS B KRONIK

Yudi Andre Marpaung Departemen Penyakit Dalam Email Andremrp@yahoo.com

ABSTRAK

Latar belakang : Dalam beberapa tahun terakhir ini, perhatian yang besar telah didedikasikan bagi pengembangan model prediksi non-invasif dalam mengurangi tingkat kebutuhan biopsi hati untuk penilaian dan evaluasi fibrosis hati. Cross, dkk telah mengusulkan King’s Score, dengan mengukur Usia (thn) x AST (IU/L) x [ INR / JmlPlatelet (109/L)].

Tujuan : Untuk menilai akurasi King’s Score dalam memprediksi derajat fibrosis hati pada pasien penyakit hepatitis B kronik.

Metode : Selama Pebruari 2013 sampai Juli 2013, pada 62 pasien penyakit hepatitis B kronikmenjalani Fibroscan di divisi Gastroenterologi dan Hepatologi, RS Haji Adam Malik, Medan dan dilakukan pemeriksaan serum AST, INR,PLTserta selanjutnya mengkalkulasiKing’s Score. Patologi fibrosis hati digradasi berdasarkan sistem penilaian

Fibroscan dari skala F0 sampai F4. Digunakan nilai-nilai prediktif diagnostik dalam menilai

akurasi King’s Score.

Hasil : King’s Score≥12,3 memiliki sensitivitas sebesar 48,1%, spesifisitas 88,6%, PPV 76,5%, NPV 68,9%, LR (+) 0,54, LR (–) 0,53 dalam memprediksisignificant fibrosis. Untuk memprediksi sirosis, King’s Score≥16,7 memiliki nilai akurasi yang tinggi dengan sensitivitas sebesar 83,3%, spesifisitas 85,7%, PPV 38,5%, NPV 98%, LR (+) 0,98, LR (–) 0,96. Nilai AUROC untuk masing-masing non-significant dan sirosis adalah 0,684(95% CI, 0,545-0,822,

p value = 0,014) dan 0,845 (95% CI, 0,664-1,027, p value = 0,006).

Kesimpulan : King’s Scorememiliki kemampuan memprediksi sirosis ( fibrosis grade 4) pada pasien penyakit hepatitis B kronik dengan tingkat akurasi yang tinggi, sehingga pasien dengan nilai King’s Score≥16,7 tidak membutuhkan biopsi hati lagi.

(10)

ABSTRACT

Background: A great interest has been dedicated to the development of noninvasive predictive models in recent years to substitute liver biopsy for fibrosis assessment and follow-up. Cross, et al proposed King’s Score,Age (years) x AST (IU/L) x [INR / Platelets (109/L)].

Objective: To investigate the accuracy of King’s Score for predicting liver fibrosis in patients with chronic hepatitis B.

Methods: Since 2013 February until July, sixty two patientsconfirmed chronic hepatitis B, underwent Fibroscan in division of Gastroenterology and Hepatology at Haji Adam Malik hospital, Medan. Serum obtained and analyzed for AST, INR and PLT activity, and the

King’s Scorewas computed. Liver fibrosis pathology was staged according to a defined

system on a scale of F0 to F4 in Fibroscan. We used predictive values to assess the accuracy of King’s Score.

Results: King’s score greater than or equal to 12,3 in predicted significant fibrosis has 48,1% sensitivity, 88,6% specificity, 76,5% PPV,68,9% NPV. King’s scoregreater than or equal to 16,7in predicted cirrhosis has 83,3% sensitivity, 85,7% specificity, 38,5% PPV, 98% NPV. The validation set confirmed the utility of this index, area under receiver operating characteristic curves for each non-significant and cirrhosis was 0,684(95% CI, 0,545-0,822, p

value = 0,014) and 0,845 (95% CI, 0,664-1,027, p value = 0,006), respectively.Conclusion:

The King’s Score predicts cirrhosis ( grade-4 fibrosis ) in patients with chronic hepatitis B with a high degree of accuracy, potentially decreases the need for liver biopsy.

(11)

Yudi Andre Marpaung Akurasi Derajat Fibrosis Hati

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit hepatitis kronik merupakan penyakit yang melibatkan proses destruksi yang progresif dan regenerasi dari parenkim hati yang diawali dengan fibrosis hati yang sering berlanjut pada sirosis hati dan hepatoselular karsinoma. Fibrosis hati terjadi akibat kerusakan kronik pada hati yang dihubungkan dengan akumulasi yang berlebih-lebihan dari matriks ekstraselular (MES) protein. Penyebab utama fibrosis hati antara lain adalah infeksi kronik dari virus B dan C, peminum alkohol, autoimun, penyakit kolestasis dan non alkoholik steatohepatitis (NASH). Akumulasi dari MES protein akan merusak arsitektur hati dengan terbentuknya jaringan ikat fibrous dan mengakibatkan berkembangnya nodul. Bila nodul sudah terbentuk maka keadaan ini disebut sirosis. Fibrosis hati digambarkan sebagai suatu respon penyembuhan luka terhadap jejas hati kronik. Deteksi dan penentuan stadium fibrosis hati adalah proses yang penting dalam manajemen pasien dengan penyakit hepatitis kronik.

Hepatitis B kronik merupakan penyebab infeksius tersering pada penyakit hepatitis kronik didunia. Model prediktif didesain secara khusus untuk pasien

hepatitis B kronik telah dimintakan oleh

Shanghai Liver Fibrosis roup (SLFG), Hui et al. dan Mohamadnejad et al. Namun

sedikit dari model-model yang telah disebutkan di atas yang diimplementasikan dan divalidasikan secara luas pada praktikal klinis (Leroy, et al., 2007), (Lai,

et al., 2003), (Zeng, et al., 2005).

Sejak diketahui bahwa fibrosis sebagai problem utama yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada penyakit hepatitis kronik, penentuan derajat fibrosis sangat diperlukan untuk memberikan pengobatan dini dan benar. Biopsi hati sebagai metode invasif masih sebagai baku emas dalam menegakkan diagnosis derajat fibrosis. Kesulitan yang dihadapi adalah gambaran klinis sering tidak selalu sesuai dengan gambaran derajat fibrosis dan tidak semua penderita bersedia untuk dibiopsi. Selain itu, limitasi pada biopsi dapat dijumpai dengan adanya variasi hasil biopsi intra- dan inter-observerserta adanya kemungkinan untuk terjadinya kesalahan dalam pengambilan sampel (sampling error). Juga dijumpai kesulitan dalam mendapatkan jumlah sampel yang sama untuk tiap-tiap kelompok derajat fibrosis (Czaja, 2010), (Grigorescu, 2010).

Karena begitu banyak hambatan yang dialami dengan metode invasif ini, banyak penelitian yang mencoba

(12)

mendiagnosis derajat fibrosis hati dengan menggunakan metode yang non-invasif.

Banyak usaha yang telah dilakukan dalam pengembangan model prediktif non-invasif yang berkorelasi dengan stadium fibrosis dalam beberapa tahun belakangan ini. Saat ini telah ditemukan sebuah alat untuk menilai derajat fibrosis hati dengan tehnik non-invasif. Tehnik ini dikenal dengan nama Ultrasound Elastography, yang secara komersil dikenal sebagai

Fibroscan. Tehnik imaging terbaru

Fibsroscan ini telah menunjukkan keunggulannya dalam menentukan derajat fibrosis hati dengan tingkat akurasi yang tinggi. Namun biaya pemeriksaan dengan alat ini mahal dan sulit dijangkau sebagai tes rutin pada kebanyakan unit klinik di seluruh dunia. Alat ini dapat lebih sensitif menentukan stadium fibrosis hati dengan mengukur kekakuan hati yang dihubungkan dengan derajat fibrosis dalam satuan kiloPascals (kPa). Fibrosis hati diukur oleh Fibroscan secara signifikan sesuai dengan derajat fibrosis hati. Akurasi

diagnostik Fibroscan lebih tinggi dibandingkan dengan penanda biokimia untuk menilai derajat fibrosis hati. Keuntungan Fibroscan adalah cepat, tidak ada rasa sakit dan kesalahan interpretasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan biopsi hati (Kwang, et al., 2010).

Sebelumnya sudah ada penelitian mengenai hubungan antara derajat fibrosis hati dengan King’s Score dibandingkan dengan fibroscan pada penderita penyakit hepatitis C kronik ( Timothy, et al., 2009). Oleh karena itu penulis ingin menilai korelasi antara derajat fibrosis hati dengan model yang simple dan non-invasif dalam memprediksi fibrosis hati pada pasien dengan infeksi virus hepatitis B kronik berdasar pada King’s score dan membandingkannya dengan fibroscan

untuk penyediaan referensi dalam hal pengenalan model prediktif non-invasif dalam manajemen klinikal pada pasien dengan infeksi kronik virus hepatitis B.

METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian dilakukan dengan cara potong lintang (cross sectional study).

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai Pebruari 2013 s/d Juli 2013, di Ruang Rawat Inap dan Poli Penyakit Dalam RS H. Adam Malik Medan serta di beberapa klinik Gastroenterolog di Medan.

(13)

Yudi Andre Marpaung Akurasi Derajat Fibrosis Hati Penelitian ini telah mendapat persetujuan

Health Research Ethical Committee

Sumatera Utara.

Populasi terjangkau

Populasi adalah semua penderita Hepatitis B kronik.

Sampel adalah semua populasi penderita Hepatitis B kronik yang dirawat di RS H. Adam Malik Medan dan di beberapa klinik Gastroenterolog di Medan.

Besar Sampel

Perkiraan besar sampel 39 orang. Sampel tunggal.

Rumus yang digunakan :

2 2 ) 1 ( 2 1 ( ) ( ) 1 ( ) 1 ( a o a a o o P P P P Z P P Z n          

Untuk menentukan besar sampel tunggal minimal pada uji hipotesa dengan menggunakan koefisien korelasi ( r ) diperlukan informasi :

Z(1-/2) = deviat baku alpha, untuk  = 0,05  Z(1-/2) = 1,96 Z(1-) = deviat baku beta, untuk  = 0,10  Z(1-) = 1,282

P0– Pa = selisih proporsi yang bermakna, ditetapkan sebesar  0,25

P0 = Proporsi penderita Hati B kronik pada beberapa RS di Indonesia  0,36

Pa = Perkiraan proporsi penderita Hati B yang diteliti = 0,11

Kriteria inklusi

1. Pria maupun wanita berusia ≥ 18 tahun.

2. Pasien dengan penyakit hepatitis kronik yang disebabkan oleh virus Hati B dengan viral marker (+).

(14)

Kriteria eksklusi

Koinfeksi dengan HIV atau HCV, konsumsi alkohol > 30 gr/hari, penyebab lain penyakit hepatitis kronik, sirosis hepatis stadium dekompensata dan pasien dengan gagal ginjal.

Bahan dan Prosedur Penelitian

Pemeriksaan laboratorium dilakukan di laboratorium Patologi Klinik di RSUP Haji Adam Malik Medan.

King’s Score

King’s Score adalah suatu pemeriksaan non-invasif sebagai petanda awal fibrosis hati dengan

menggunakan variabel umur, trombosit, AST, dan INR. Rumus untuk menghitung skor adalah :

King’s Score ≥ 16,7 : sirosis

12,3 – 16,6 : signifikan fibrosis King’s Score ≤12,2 : non-signifikan fibrosis

Analisa Statistik

Untuk menentukan nilai diagnostic panel petanda King’s Score, dilakukan evaluasi berdasarkan analisis kurva ROC ( Receiving Operating Characteristics ) dan menilai sensitivity (Se), specificity (Spe),

Positive Predictive Values (PPV), Negative Predictive Values ( NPV ), diagnostic accuracy (DA), positive likelihood ratios

(LR+)dan negative likelihood ratio ( LR-)yang dikalkulasi berdasarkan nilai cut-off yang tertera pada publikasi / jurnal

originalnya. Analisa statistic dilakukan dengan software SPSS V15.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Karakteristik Subjek Penelitian

Secara keseluruhan, total dari 62 pasien dengan penyakit hepatitis B kronik diikutsertakan dalam studi penelitian ini. Karakteristik klinis, biokimia dan derajat fibrosis hati pasien telah disimpulkan dan dapat dilihat pada tabel 4.1. Umur rata-rata pasien adalah 46 tahun, dengan jumlah 39

(15)

Yudi Andre Marpaung Akurasi Derajat Fibrosis Hati pasien (62,9%) adalah laki-laki dan

sejumlah 23 pasien dengan jenis kelamin perempuan (37,1%). Seluruh pasien tidak berada dalam keadaan sirosis hepatis dekompensata. Pada tabel 4.1 juga dapat dilihat nilai platelet pasien dengan nilai terkecil dan terbesar 58.000/mm3 dan 417.000/mm3 , nilai AST terkecil dan terbesar masing-masing adalah 14 dan 124 g/L, nilai INR dengan 0,64 dan 2,62 IU/L sebagai nilai terkecil dan terbesar. Sedangkan pada fibroscan seluruh pasien penyakit hepatitis B kronik diperoleh

angka terendah dan tertinggi masing-masing dengan nilai 3,8 kPa dan 67,8 kPa, dan nilai terendah serta nilai tertinggi sebesar 0,7 dan 88,2 diperoleh pada nilai perhitungan King’s Score. Dari derajat fibrosis hati yang digradasi berdasarkan

fibroscan diperoleh derajat fibrosis 4 (F4)

sebesar 9,7% dari keseluruhan pasien, fibrosis yang absen dan ringan (F0-F1) sebesar 56,5%, F3 dengan persentase 16,1% dan F2 sebesar 17,7% dari seluruh pasien.

Tabel 4.1. Karakteristik dasar subjek studi

Variabel Penyakit hepatitis Kronik B

Pasien (n) 62 Jenis Kelamin (Lk/Pr) n (%) 39/23 (62,9/37,1) Umur (tahun) 45,92 (SD ± 12,60) Platelet (109/L) 230 (SD ± 85,82) AST (g/L) 30 (14-124) INR (IU/L) 1,07 (0,64-2,62) Fibroscan (kPa) 6,1 (3,8-67,8) King’s Score(nilai) 6,5 (0,7-88,2) Fibrosis (fibroscan) n (%) F0-1 F2 F3 F4 35 (56,5) 11 (17,7) 10 (16,1) 6 (9,7)

Berdasarkan tes normalitas

Kolmogorov-Smirnov, data umur dan trombosit berdistribusi normal (mean, SD), sedangkan data-data lain tidak berdistribusi

normal (ukuran data median, min-max). Derajat fibrosis hati berdasarkan fibroscan ditampilkan dalam bentuk jumlah dan persentase.

(16)

Gambar 4.1. Derajat fibrosis menurut Fibroscan

Gambar 4.2. Derajat fibrosis menurut King’s Score

Menilai Akurasi Nilai-nilai Prediktif Model Non-invasif King’s Score pada Subjek Penelitian

Nilai cut-off King’s Score dan formulanya diterapkan sesuai dengan referensi jurnal aslinya (Cross dkk). Nilai

cut-off yang dipilih dalam mengkonfirmasi

sirosis adalah ≥16,7, dan nilai cut-off yang dipilih dalam mengkonfirmasi significant

fibrosis adalah ≥12,2. Nilai prediktif dari

model non invasif King’s Score dalam identifikasi significant fibrosis dan sirosis pada pasien dengan penyakit hepatitis B kronik dapat dilihat pada tabel 4.2. Diantara 27 pasien yang dinyatakan

(17)

Yudi Andre Marpaung Akurasi Derajat Fibrosis Hati mengalami significant fibrosis melalui

fibroscan, 13 pasien (48,1%) yang menunjukkan nilai King’s Score lebih tinggi dari 12,2. Dengan King’s Score lebih tinggi dari 12,2, 68,9% pasien dapat dinyatakan tidak mengalami significant

fibrosis.

Nilai cut-off untuk sirosis adalah ≥16,7. Sebanyak 5 pasien (83,3%) yang menunjukkan nilai King’s Score lebih tinggi dari 16,7 diantara 6 pasien yang dinyatakan mengalami sirosismelalui pengukuran fibroscan. Dengan King’s Score lebih tinggi 16,7, sebesar 98%

pasien dapat dinyatakan tidak mengalami sirosis.

Nilai diagnostik dari King’s Score kemudian dievaluasi lebih lanjut dengan menilai besarnya AUROC, LR (+), LR (-) dan akurasi. Dalam memprediksi

significant fibrosis, AUROC adalah 0,684

untuk King’s Score (gambar 4.3). Sedangkan dalam prediksi sirosis, AUROC adalah 0,845 untuk King’s Score (gambar 4.4). Dari hasil ini, terlihat walaupun

King’s Score merupakan model prediktif

yang terdiri atas petanda laboratorium yang sederhana dan rutin, namun King’s Score

memiliki akurasi dan nilai prediktif yang cukup baik dalam memprediksi sirosis.

Sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, LR (+), LR (-) beserta nilai akurasi model prediktif dapat dilihat pada tabel 4.2. Pada tabel 4.2 menunjukkan King’s Score

memiliki nilai prediktif yang tinggi dalam memprediksi sirosis. Pada tabel 4.2 juga menunjukkan tingginya sensitivitas, NPV serta LR (-) yang rendah pada King’s Score sehingga memiliki risiko kejadian negatif palsu yang rendah. Data hasil penelitian pada King’s Score menunjukkan sensitivitas sebesar 48,1%, spesifisitas 88,6%, PPV 76,5%, NPV 68,9%, LR (+) 0,54, LR (–) 0,53 dan akurasi sebesar 70.96% dalam identifikasi pasien penyakit hepatitis B kronik dengan significant fibrosis. Diikuti dengan hasil penelitian

dengan sensitivitas sebesar 83,3%, spesifisitas 85,7%, PPV 38,5%, NPV 98%, LR (+) 0,98, LR (–) 0,96 dan akurasi sebesar 85,48% dalam identifikasi pasien penyakit hepatitis B kronik dengan sirosis.

(18)

Tabel 4.2. Nilai Prediktif dari Model Prediktif King’s Score dalam Diagnosis Significant

Fibrosis dan Sirosis pada Subjek Penyakit hepatitis B Kronik.

Sen (Sensitivity); Spe (Specificity); PPV (Positive Predictive Value); NPV (Negative Predictive Value); LR+ (Positive Likelihood Ratio); LR- (Negative Likelihood Ratio); AUROC (Area Under the ROC curves).

Gambar 4.3. Kurva ROC King’s Score dalam prediksi significant fibrosis pada subjek penyakit hepatitis B kronik.

AUROC 0,684

(19)

Yudi Andre Marpaung Akurasi Derajat Fibrosis Hati

Gambar 4.4. Kurva ROC King’s Score dalam prediksi sirosis hatipada subjek penyakit hepatitis B kronik.

Pembahasan (Diskusi)

Banyak studi dalam

model diagnostik fibrosis hati

non-invasif pada

penyakit hepatitis kronis yang telah dipublikasikan dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan dari model diagnostik tersebut diterapkan pada penyakit hepatitis C kronik dan hanya sedikit data yang tersedia pada penerapan pasien penyakit hepatitis B kronik. Meskipun dua laporan terakhir terapan FibroTest pada penyakit hepatitis B kronik menunjukkan hasil 0,77 dan

0,78 nilai AUROC dalam

mendeteksi significant fibrosis, namun model prediktif tersebut terdiri atas petanda yang tidak rutin tersedia seperti haptoglobulin, A2M dan apolipoprotein A1. Kebutuhan tes yang kompleks dan biaya tambahan dalam perhitungan hasil jelas akan mengurangi utilitas praktisnya (Kun, et

al., 2010).

Beberapa model prediktif yang dirancang khusus untuk pasien penyakit hepatitis B kronik telah diusulkan, namun penelitian ini memiliki beberapa fitur

yang unik. Pertama,

model SLFG dirancang dan divalidasi AUROC 0,845

(20)

pada HBeAg positif pasien penyakit hepatitis B kronik dengan ALT antara 2 dan 10 kali

batas normal atas (ULN),

sedangkan Mohamadnejad dkk. menawark an formula yang hanya cocok untuk pasien HBeAg negatif. Hui dkk. merekrut

hanya pasien dengan HBV DNA> 105kopi / mL dan ALT antara 1,5 dan 10 kali batas normal atas (ULN). Dalam studi saat

ini, pasien

yang terdaftar adalah pasien penyakit hepatitis B kronik terlepas dari mendapat terapi ataupun tanpa terapi, tingkat HBeAg, ALT dan jumlah HBV DNA. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan lebih membantu dalam menilai pasien dengan infeksi virus hepatitis B kronis dengan jangkauan yang lebih luas (Kun, et

al., 2010), (Cross, et al., 2009).

Kedua, model prediktif King’s Score didasarkan hanya pada petanda-petanda laboratorium yang rutin. PLT, AST dan INR merupakan semua tes rutin yang tersedia pada kebanyakan klinisi dalam penatalaksanaan pasien dengan infeksi penyakit hepatitis B kronik, sehingga tidak diperlukan adanya tes tambahan lagi. Pada penelitian sebelumnya oleh Kun Zhou dkk., akurasi diagnostik model yang terdiri

dari tes rutin sederhana

kemudian dibandingkan dengan model yang memperkenalkan tes-tes khusus seperti HA dan A2M dengan hasil bahwa model SLFG danHepascore lebih baik dalam mengidentifikasi

significant fibrosis dari pada

skor Forns dan APRI,

tapi keunggulan tersebut tidak signifikan dalam mengidentifikasi

advanced fibrosis ataupun sirosis. Hal ini

menunjukkan bahwa tes khusus mungkin

dapat meningkatkan

sensitivitas diagnostik model dalam memprediksiawal fibrosis. Namun dengan tes khusus yang tidak tersedia dalam praktek sehari-hari akan menyebabkan pemanfaatan standarisasi, validasi dan pemeriksaan rutin menjadi sulit.

Ketiga, King’s Score mudah dikalkulasi (dihitung). Sebagian besar model sebelumnya, kecuali APRI, berisikan formula kompleks yang memerlukan kalkulator untuk perhitungan logaritma. Kesederhanaan

King’s Score dan APRI memungkinkan

mereka dapat diterapkan secara klinis dengan lebih mudah. Namun, APRI yang sebelumnya memang diteliti pada pasien penyakit hepatitis C kronik, memiliki salah satu dari dua parameternya yang berupa AST yang tidak menunjukkan adanya korelasi signifikan dengan kejadian fibrosis pada penyakit

(21)

Yudi Andre Marpaung Akurasi Derajat Fibrosis Hati hepatitis B kronik dalam penelitian Kun

Zhou dkk. Hal inilah yang

mungkin menjelaskan AUROC APRI yang lebih rendah dibandingkan dengan model

King’s Score pada penelitian Kun Zhou

dkk.

Selain itu, juga terdapat beberapa limitasi ataupun kelemahan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini tidak semua pasien dilakukan biopsi hati, dan basis gradasi fibrosis hati adalah berdasarkan fibroscan (Transient Elastography), meskipun demikian, walau

tidak ditampilan pada hasil penelitian ini, terdapat 10 pasien yang mendapat biopsi hati dan semuanya memiliki tingkat gradasi fibrosis hati yang sama dengan hasil gradasi fibrosis hati oleh fibroscan. Pada penelitian Kun Zhou dkk juga memasukkan biopsi hati sebagai salah satu kelemahan penelitian mereka dengan mengemukakan bahwa biopsi hati bukanlah gold standard yang sempurna untuk evaluasi fibrosis hati oleh adanya kesalahan dalam pengambilan bahan (sampling error) dan variasi hasil antar pembaca (observer variability).

Sebuah hasil analisis prospektif juga mengklaim bahwa kegagalan biopsi adalah > 7 kali lebih umum dari kegagalan diagnostik penanda.Untuk mengurangi variabilitas dan subjektivitas, penggunaan laparoskopi biopsi, fibroscan,

memvalidasi tes noninvasif , dapat membantu untuk meningkatkan keandalan standar emas. Keterbatasan lainnya adalah hasil penelitian ini divalidasi dengan subjek penelitian dari populasi yang sama, beserta jumlah populasi yang belum luas.

Di negara – negara Asia, hepatitis B kronik merupakan mayoritas dari keseluruhan penyakit hati kronik. Salah satu alasan utama untuk menentukan tingkat fibrosis pada pasien – pasien tersebut adalah untuk mengidentifikasi pasien yang eligible terhadap terapi antiviral. Berdasarkan Asian-Pasific guidelines untuk penatalaksanaan Hepatitis

B kronik, biopsi hati diindikasikan pada pasien berusia > 40 tahun dengan ALT < 2x ULN dan HBV DNA > 20.000 IU/mL (HBeAg-positif) atau > 2000 IU/mL (HBeAg-negatif). Pasien dengan

significant fibrosis merupakan kandidat

untuk terapi antiviral. Berdasarkan guideline tersebut jika pasien kandidat untuk terapi antiviral dilakukan FibroScan, maka dapat dihindari tindakan biopsi hati. Pada pasien dengan ALT normal dan hasil fibroScan < 6,0 kPa, tidak diterapi, sedangkan jika < 7,5 kPa diobservasi dan jika > 12 kPa harus dipertimbangkan untuk pemberian terapi (Fung, 2009), (Mallet, 2009).

(22)

Meskipun sebagian besar model prediktif noninvasif tidak dapatmemberikan derajat fibrosis dengan tepat oleh karena tumpang tindih antara pasien dengan berbagai tahap fibrosis, namun model prediktif tersebut memiliki kecukupanakurasi dalam memprediksi significant fibrosis. Peran utama mereka adalah untuk mengurangi kebutuhan biopsi hati dengan mengidentifikasi significantfibrosis

atau sirosis, namun bukanlah untuk menggantikan biopsi hati secara total. Dengan menggunakan nilai-nilai cut-off yang dioptimalkandari King’s Score, diharapkan akan dapat mengurangi

kebutuhan untuk biopsi hati. Selanjutnya, kombinasimodel prediktif dan teknik diagnostik invasif lainnya dapat meningkatkan kinerja ke tingkat yang lebih tinggi. Kombinasi Fibroscan dan King’s

Score akan menjadi cara yang menarik dalam pengelolaan pasien penyakit

hepatitis B kronik. Tapi

kita harus mengakui bahwa sebelum menerapkan model prediktif dalam praktek klinis, prioritas harus diberikan dalam studi validasi skala besar karena diagnostik akurasi mudah terpengaruh oleh etiologi penyakit hepatitis kronik yang

berbeda,populasi pasien dan uji metode (Kun, et al., 2010).

KESIMPULAN

King’s Scorememiliki kemampuan

memprediksi sirosis ( fibrosis grade 4) pada pasien penyakit hepatitis B kronik dengan tingkat akurasi yang tinggi, sehingga pasien dengan nilai King’s Score≥16,7 tidak membutuhkan biopsi hati

lagi. Sedangkan untuk significant fibrosis, model ini tidak menunjukkan tingkat akurasi yang tinggi.

SARAN

King’s Score sebagai model prediktif non-invasif sirosis hati pada penyakit hepatitis B kronik memilki akurasi yang tinggi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan studi validasi skala yang lebih besar dan dengan kelompok populasi yang berbeda sehingga membantu untuk mengetahui model akurasi yang stabil, terlepas darimana pasien berasal. Demikian juga dengan basis gradasi fibrosis hati yang lebih divalidasi dengan biopsi hati dikombinasi dengan fibroscan untuk meningkatkan keandalan standar emas.

(23)

Yudi Andre Marpaung Akurasi Derajat Fibrosis Hati DAFTAR KEPUSTAKAAN

Akbar HN (2007). Hepatitis B dan Hepatitis C. Dalam : Sulaiman A. Akbar HN. Lesmana LA. Noer MS. Ed: Buku Ajar Penyakit hepatitis. Edisi 1. Jakarta: FK.UI; 201-8 Amirudin R (2007). Fibrosis Hati. Dalam :

Sulaiman A. Akbar HN. Lesmana LA. Noer MS. Buku Ajar Ilmu Penyakit hepatitis 1. Jakarta: Penerbit Jayabadi : 329-33

Cross Timothy J.S., Rizzi Paolo, Berry Philip A., et al (2009). King’s Score: an accurate marker of cirrhosis in chronic hepatitis C. European Journal of Gastoenterology & Hepatology 2009, 21:730-738 Czaja, A.J., 2010. Chronic Liver Disease.

[online] Available at:

<www.umm.edu/liver/chronic.htm. > [Accessed 1 January 2011].

Franciscus A. (2010). HCV Diagnostic Tools: Grading and Staging a Liver Biopsy. [online] Available at: http://www.hcvadvocate.org/hepatit is/factsheets_pdf/grade_stage.pdf. Fung JY, Lai CL, Yuen MF (2009).

Clinical Application of Transient Elastography (Fibroscan) in Liver Diseases. The Hongkong Medical Diary;14(11):22-4

Giannini E, Risso D, Botta F, Chiarbonello B, Fasoli A, Malfatti F, et al.

Validity and clinical utility of the aspartate aminotransferase-alanine aminotransferase ratio in assessing diasease severity and prognosis in patients with hepatitis C virus-related chronic liver disease. Arch

Intern Med 2003; 163:218-224

Grigorescu M (2010). Noninvasive Biochemical Markers of Liver Fibrosis. University of Medicine and Pharmacy. [online] Available at:

http://168.105.175.200/Csiszar/644 _07/09_20_07/Grigorescu%2006% 2rev.pdf.

Hasan Irsan (2009). Patofisiologi dan Gambaran klinis Fibrosis Hati. Pertemuan Ilmiah Tahunan, Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. FK-UI;171-78

Hui AY, Chan HLY, Wong VWS, et al (2005). Identification of chronic hepatitis B patients without significant liver fibrosis by a simple noninvasive predictive models. Am J Gastroenterol; 616-23

Kim SU, Han KH, Ahn SA (2010). Transient elastography in chronic hepatitis B: An asian perspective. World J Gastroenterol; 16(41): 5173-5180

(24)

Kun Z, Chun FG, Yun PZ, et al (2010). Simpler Score of Routine Laboratory Tests Predicts Liver Fibrosis in Patients with Chronic Hepatitis B. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 96(4): 1569-77

Kwang GL, Yeon SS, Hyonggin A, et al (2010). Usefullness of Non-invasive Markers for Predicting Liver Cirrhosis in Patients with Chronic Hepatitis B. Journal of Gastroenterology and Hepatology, 25(1): 94-100

Ledinghen VD, Vergniol J (2008). Transient elastography (FibroScan). Gastroenterol Clin Bio. 32: 58-67 Mallet V, Vernier VD, Roussins C et al

(2009). The accuracy of the FIB-4 index for the diagnosis of mild fibrosis in chronic hepatitis B. Alimentary Pharmacology & Therapeutics;29:409-15

Nalpas B, Mallet V, Pichard V et al (2009). The FIB-4 index is accurate to assess liver fibrosis before and during treatment in chronic hepatitis B. Poster Presentation;Apr 23, 2009

Poynard T, Morra R, Ingiliz P, et al (2008). Assesment of Liver Fibrosis : Noninvasive Means : 14:163-173

Sembiring J (2009). “Korelasi kadar thrombopoietin serum dengan fibrosis hati pada penderita hepatitis kronik.” Diss; 1-16

Soemohardjo S, Gunawan S (2009). Hepatitis B Kronik. Dalam: A.W. Sudoyo,

B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata, S. Setiati, eds., 2009. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit InternaPublishing: 653-57

Wai CT, Cheng CL, Wee A, et al (2006). Non-invasive models for predicting histology in patients with chronic hepatitis B. Liver International: 26: 666-72

(25)

Ristarin Interaksi Mahasiswa Pada Pertemuan Tutorial

KUALITAS INTERAKSI MAHASISWA PADA PERTEMUAN TUTORIAL PBL TAHUN PERTAMA DIFAKULTAS KEDOKTERAN NOMMENSEN,

MEDAN

Ristarin

Departemen Medical Education Unit Email: Ristarin@gmail.com

Abstrak

Latar Belakang: Tutorial PBL adalah salah satu metode pembelajaran yang banyak digunakan diFakultas kedokteran diIndonesia. Namun, implementasinya dilapangan sering tidak sesuai dengan ekspektasi.

Tujuan: Mengeksplorasi persepsi mahasiswa di FKNommensen terkait kualitas diskusi tutorialyang mereka jalani.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatifdeskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan FGD dan observasi pada seluruh mahasiswa yang berada dalam kelompok tutorial tahun pertama di FK Nommensen, Medan. Hasil FGD ditanskrip secara verbatim dan dianalisis dengan menggunakan metode perbandingan tetap sampai terbentuk tema-tema. Observasi dilakukan dengan merekam satu sesi tutorial.

Hasil: Kebanyakan anggota kelompok setuju bila kualitas elaborasi dan ko- konstruksi dalam kelompok mereka masih kurang.Tutorial dipersepsikan sebagai metode belajar yang memfokuskan pada problem solving.Tutorial memiliki efek retensi materi kualiah namun juga berperan sebagai stressor. Kualitas interaksi mahasiswa masih kurang dari persepsi mahasiswa dinilai dari kedalaman materi yang mereka diskusikan dan juga jenis interaksi yang terjadi. Faktor yang mempengaruhi kualitas yang terutama adalah

pengetahuan dan atmosfir tutorial. Kesimpulan: Kualitas interaksi tutorial mahasiswa tahun pertama di FK Nommensen masih kurang. Masih terdapat kesalahan dalam pemahaman tutorial oleh mahasiswa FK Nommensen.

(26)

Latar Belakang

Pengetahuan dalam tutorial dikonstruksi melalui interaksi yang terjadi antara anggota kelompok, tutorial, dan skenario kasus. Konstruksi pengetahuan ini terjadi secara kolaboratif maupun karena belajar mandiri. Kolaborasi dalam konstruksi pengetahuanterjadi dalam pertemuan tutorial melalui interaksi yang terjadi dalam kelompok.Interaksi ini dapat berupa tanya jawab, penjelasan, dan penyelesaian konflik.Kualitas interaksi akan mempengaruhi kualitas pengetahuan yang di konstruksi. Semakin berkualitas intraksi yang terjadi maka semakin baik konstruksi pengetahuan. Kualitas interaksi mahasiswa dinilai dengan cara observasi. Visschers-Pleijersetal. mengembangkan kuesioner untuk menilai kualitas tersebut. Perlu di lakukan penelitian untuk mengetahui kualitas interaksi dari persepsi mahasiswa sebagai salah satu pihak yang menjalan kantutorial. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi mahasiswa mengenai kualitas interaksi yang terjadi pada mahasiswa tahun pertama di FK Nommensen, Medan.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk mengeksplorasi persepsi mahasiswa mengenai kualitas interaksi dalam tutorial yang telah dialaminya dalam kelompok. Persepsi mahasiswa ini dieksplorasi dengan menggunakan metode FGD. Penelitian ini juga menggunakan metode observasi sebagai triangulasi metode dan memperkaya hasil yang didapatkan dari FGD. Penelitian ini dilakukan pada seluruh kelompok tutorial

Tahun pertama yang ada diFK Nommensen. Terdapat lima kelompok tutorial. Anggota kelompok FGD merupakan anggota kelompok tutorial. Kelompok ini telah bersama selama satu semester dan sudah menjalani tutorial selama 27 kali. FGD dimoderatori oleh seorang psikolog yang terlah berpengalaman dalam melakukan FGD. Hal ini dilakukan mengingat peneliti belum pernah melakukan FGD sebelumnya. Keikutsertaan mahasiswa bersifat sukarela.Sebelum ikut serta, mahasiswa diberikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban selama menjadi perserta FGD. Untuk observasi,

(27)

Ristarin Interaksi Mahasiswa Pada Pertemuan Tutorial

peneliti meminta kesediaan dari mahasiswa dan juga tutor untuk menjadi subjek penelitian. Mahasiswa tahu akan direkam. Untuk menghindari kemungkinan mahasiswa mengubah perilakunya karena direkam, maka mahasiswa diberitahukan dua minggu sebelum pengamabilan data yang sebenarnya dilakukan. Keabsahan data dijaga dengan cara triangulasi metode, peeraudit, memberi checking diakhir FGD dan sesudah pembentukan tema, serta audit oleh supervisor penelitian.

Hasil Penelitian

Terdapat empat tema utama yang muncul dalam penelitian ini yaitu tujuan tutorial PBL, tutorial sebagai stressor, jumlah informasi,dan atmosfir tutorial. Hasil FGD akan dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dari observasi.

Tujuan tutorial PBL

Berdasarkan pengalaman mahasiswa, tutorial PBL yang terjadi selama ini bertujuan untuk memecahkan kasus dan mendapatkan satu diagnosisa khir. Pembelajaran mereka dipicu oleh kasus dan mereka harus berkolaborasi melalui diskusi dan belajar mandiri untuk memecahkan kasus atau mencapai satu diagnosis.Sesi pertama dipandang terutama untuk konfirmasi apa yang

mereka telah pelajari selama waktu belajar mandiri.

Tutorial sebagai stressor

Semua kelompok partisipan dalam penelitianini setuju bahwa tutorial memiliki efek belajar. Beberapa mahasiswa bahkan menyatakan bahwa tutorial secara umum lebih bermanfaat dibandingkan kuliah, terutama dalam retensi materi. Dengan mengikuti tutorial, mahasiswa merasa bahwa materi kuliah menjadi lebih dapat dipahami, baik karena berusaha untuk menjelaskan, maupun karena mendengarkan penjelasan dari teman lainnya. Tutorial juga berguna dalam mengasah ketrampilan soft skills mahasiswa, terutama ketrampilan komunikasi dan ketrampilan kepemimpinan.

Selain efek positif, satu kelompok secara eksplisit menyatakan bahwa torial PBL merupakan stressor buat mahasiswa. Tutorial sebagai stressor ini disebabkan karena mahasiswa merasa bahwa tutorial PBL dinilai, kemudian jarak yang terlalu dekat antara tutor dan mahasiswa sehingga mahasiswa merasa terintimidasi, Stress tutorial juga disebabkan karena ketidakpastian dalam tutorial. Mahasiswa merasa bahwa keluasan dan kedalaman tutorial tidak

(28)

terstandar sehingga mereka menjadi bingung. Juga karena ilmu didapatkan dari teman-temannya seangkatan yang nota bene dianggap sebagai sesamata kompeten. Tutorial juga menjadi stressor karena butuh banyak usaha. Mahasiswa harus membaca banyak buku, harus mencoba memahami sendiri, sedangkan jadwal perkuliahan terlalu padat, sedangkan dalam perkuliahan, mahasiswa bisa langsung mendapatkan ilmu.

Jumlah Informasi

Pengetahuan merupakan faktor yang dipersepsikan sebagai faktor yang memacu konstruksi pengetahuan. Pengetahuan bagi mahasiswa merupakan jumlah informasi yang dimiliki. Seluruh mahasiswa dalam kelompok tutorial dalam penelitian ini mengatakan bahwa persiapan mereka, yang digambarkan sebagai jumlah literatur yang mereka baca, akan mempengaruhi kualitas diskusi. Menariknya, hanya sedikit mahasiswa yang menganggap kurangnya kemampuan berpikir kritis mereka yang merupakan faktor yang menyebabkan kurangnya konstruksi pengetahuan.

“Saya tidak bisa menyusun pertanyaan yang sesuai untuk menanggapi

penjelasan teman. Menurut saya,itu yang perlu diperbaiki.”

Atmosfir tutorial

Hampir semua mahasiswa menyebutkan bahwa kurangnya kualitas tutorial dalam kelompok mereka dipengaruhi oleh atmosfir tutorial. Hal ini dibentuk oleh tutor, anggota kelompok lainnya, dan sistem penilaian. Kemampuan kognitiftutor seperti halnya dengan ketrampilan interpersonal tutor merupakan faktor yang dirasakan mahasiswa paling berkontribusi terhadap proses elaborasi dan ko- konstruksi mereka. Sering, tutor dirasakan mengintimidasi mahasiswa sehingga mencegah mereka untuk menyatakan pendapat mereka.

“Ada beberapa gaya yang berbeda dari para tutor. Yang baik itu yang membuat kami berpikir dan memberikan petunjuk ketika kami sudah buntu.Yang nggak baik itu yang suka memotong kalau kami lagi diskusi, nggak pernah puas dengan apa yang kami baca. Yang lebih parah, ada tutor yang moody, memberikan suasana negatif, dan memberikan nilai yang rendah.”

(29)

Ristarin Interaksi Mahasiswa Pada Pertemuan Tutorial

Pembahasan

Dari penelitian ini didapatkan empat tema yang muncul dari pertanyaan utama. Dari tema-tema yang ada dapat disimpulkan bahwa kualitas interaksi mahasiswa dalam tutorial pertama masih kurang. Kualitas interaksi tersebut masih superfisial dan minimal. Menurut mahasiswa, hal ini disebabkan karena pengetahuan yang kurang dan tidak seimbang, juga situasi tutorial yang intimidatif, pemicu yang rancu atau malah terlalu jelas, dan beban kerja yang terlalu padat yang mempengaruhi persiapan mahasiswa. Hal lain yang menyebabkan kurangnya kualitas interaksi mahasiswa didapatkan dari tema pertama, kedua, dan ketiga, yaitu konsepsi mahasiswa mengenai tujuan dan efek diskusi tutorial PBL. Tema ini, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit sebagai faktor yang mempengaruhi kualitas interaksi oleh mahasiswa, justru merupakan faktor penting yang menjadi penyebab dari kurangnya kualitas interaksi pada mahasiswa tahun pertama di FK Nommensen.

Penelitian ini dilakukan di tahun pertama, sehingga kemungkinan critical

thinking mahasiswa masih belum terasah.Halini menjelaskan kualitas interaksi yang superfisial dan minimal. Penjelasan lainnya adalah karena ketidak sesuaian antara implementasi PBL dengan nilai yang dimiliki mahasiswa dan juga tutor. PBL merupakan salah satu metode pembelajaran berbasis mahasiswa (student- centered learning). Beberapa literatur menyebutkan bahwa implementasi PBL akan mengalami tantangan karena adanya faktor budaya (Khoo,2003; Framba ch,2012). Hal ini dapat dilihat konsepsi mahasiswa mengenai tujuan dan efek dari diskusi tutorial PBL. Kemudian dari persepsi mereka mengenai peran tutor yang ideal. Konsepsi mereka akan mempengaruhi perilaku yang tampak dalam tutorial. Adanya temuan seperti formalitas dan superfisial, yang didukung juga dalam observasi,

(30)

Daftar Pustaka 1. deGrave,W.S.,Boshuizen, H. P.A.,&Schmidt,H.G.(1996).Problem -basedlearning: Cognitiveand smetacognitiveprocessesduringprobl emanalysis.InstructionalScience,24( 5),321-341. 2. VisschersPleijers,A.,Dolmans,D.,W olfhagen,I.,&VanderVleuten,C.P.M. (2004).Exploration of a method to analyze group interactions in problem basedlearning.MedicalTeacher,26(5), 471-478. 3. VanBoxtel,C., VanderLinden,J.,&Kanselaar, G.(2000).Collaborative learning tasksandtheelaboration of conceptual knowledge.Learning and

Instruction,10(4),311-330.

4.

Virtanen,P.J.,Kosunen,E.A.-L.,HolmbergMarttila,D.M.H.,&Virj o,I.O.(1999).What happens inPBL tutorial sessions? Analysis ofmedical students’ written accounts.

MedicalTeacher,21(3),270-276.

5. deGrave,W.S.,Dolmans,D.H.J.M.,& vanderVleuten,C.P.M.(2002).

Student perspectiveson critical incidentsinthe tutorial group.AdvancesinHealthSciences Education,7(3),201-209. 6. Khoo,H.(2003).ImplementationofProblemb asedLearninginAsianMedicalSchools andStudents’Perception oftheir Experience,MedicalEducation,37:401–9. 7. Hofstede,G.TheHofstedeCentre[Internet].Fi nland:TheHofstedeCentre;2012[cited 2015 October29]. Availablefromhttp://geerthofstede.com/ind onesia.html 8. Frambach,J.M.,DriessenE.W,ChanLi, vanderVleuten,C.P.M.(2012)Rethinkingthe globalisation of

problem-basedlearning:how culture challenges self-directedlearning. MedicalEducation 46,738–747. 9. Thanh,P.T.H.(2011).Issuestoconsiderwhen implementingstudent-centered learning practicesat Asianhighereducationinstitutions.Journalof Higher EducationPolicyand Management. 33(5),519-528. 10. Hallinger,P.&Lu,J.(2011).Implementingpro blem-basedlearningin highereducationinAsia:challenges,strategie sandeffect.JournalofHigherEducationPolic yand Management,33:3,267-285.

11. Nugraheni, E. (2015).Feedback in the non shifting context of the midwifery

clinical ducationin Indonesia:Amixed methodstudy. Unpublished doctoral

(31)

Ristarin Interaksi Mahasiswa Pada Pertemuan Tutorial dissertations, Gadjah Mada

University,Yogyakarta.

12. Claramita, M(2013). Doctor patient communication in Southeast Asia : a different culture. AdvHealth SciEducTheoryPract. 18(1):15-31.

13.Geertz,H.(1973). The interpretation ofcultures. BasicBooks,New York.

(32)

KADAR ENZIM 11 β-HYDROXYLASE, KOLESTEROL LOW DENSITY LIPOPROTEIN DAN KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN

PADA OBESITAS DAN OVERWEIGHT

Jenny Novina Sitepu Departemen Anatomi

Email :Jemugiez@gmail.com

Background:The previous studies show that obesity associated with high LDL and low HDL.

Hipercortisolismhas been assumed to be involved in obesity-associated lipid profile disorders. Cortisol is synthesized by 11β-Hydroxylaseenzyme. The aim of this study was to investigate the11 β-Hydroxylase, LDL, and HDL level in obese and overweight young adult men.

Method: This cross-sectional study followed by 52 young adult men (18-24 years old), which 26

subjects with obese and 26 with overweight. The 11 β-Hydroxylase, LDL, and HDL level was evaluated in blood sample after 10 hours fasting.

Result:The 11 β-Hydroxylase level was approximately 52.15 in obese subjects and 71.63 in

overweight subjects. LDL cholesterol level was approximately 126.04 mg/dl in obese subjects and 105.88 mg/dl in overweight subjects. HDL cholesterol level was approximately 38.46 mg/dl in obese subjects and 43.15 mg/dl in overweight subjects.

Conclusions:The 11 β-Hydroxylase and LDL cholesterol level was high in obese and overweight

subjects. On the contrary, The HDL cholesterol level was low in obese and overweight subjects.

Keywords:11 β-Hydroxylase, kolesterol, LDL, obesitas, overweight

Pendahuluan

Prevalensi obesitas dan overweight semakin meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.1,2,3Peningkatan prevalensi obesitas dan overweight merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan

angka kematian akibat penyakit tidak menular.1

Obesitas merupakan faktor risiko untuk berbagai penyakit seperti penyakit kardiovaskuler dan stroke, diabetes mellitus tipe 2, hiperkolesterolemia, dan penyakit

(33)

Jenny Novina Sitepu Kadar Enzim 11 β-Hydroxylase

sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan gangguan profil lipid.7, 8,9

Penelitian di Amerika Serikat dan Italia menunjukkan bahwa peningkatan cortisol berhubungan dengan gangguan profil lipid.10,11 Namun, bagaimana gambaran kadar enzim 11 β-hydroxylase (enzim yang berperandalamsintesis cortisol), kolesterol LDL, dan HDL pada laki-laki dewasa muda belum pernah diteliti di Indonesia.

Metode

Desain dan Sampel Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional terhadap 52 orang yang termasuk dalam kategori obesitas dan overweight. Kelompok

obesitas adalah laki-laki

denganIMT≥25kg/m2dan lingkar pinggang >90cm) dan kelompok overweight adalah laki-laki dengan IMT 23–24,9kg/m2 dan lingkar pinggang 80-90cm). Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive

sampling. Kriteria eksklusi adalah subyek

yang memiliki riwayat hipertensi, menderita Cushing syndrome (berdasarkan riwayat penyakit dan gejala klinis), menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme lemak dan fungsi adrenal selama 6 bulan terakhir, dan memiliki kadar trigliserida serum > 400 mg/dl.

Pengukuran Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh dihitung dengan membagi berat badan (Kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2) dan dicatat 1 angka di belakang koma. Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital merek Kris. Subyek penelitian ditimbang dengan menggunakan baju kaos tipis dengan celana pendek untuk mengurangi bias berat badan. Pengukuran berat badan dilakukan sebanyak tiga kali kemudian diambil nilai rata-rata untuk tiga pengukuran tersebut dan dicatat nilainya 1 angka di belakang koma.

Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan stature meter pada menarik nafas (inspirasi) panjang. Pengukuran tinggi badan dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian diambil nilai rata-ratanya dan dicatat nilainya 1 angka di belakang koma.

Pemeriksaan Sampel Darah

Sampel darah diambil pada pagi hari (jam 08.00 – 09.00) setelah subyek penelitian puasa selama 10-12 jam. Darah sebanyak 3 ml diambil di vena cubiti, kemudian dimasukkan kedalam tabung tanpa

ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA).

Serum darah disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -20°C dan akan stabil sampai 4 bulan.

(34)

Pemeriksaan kadar11-β hydroxylase serum dilakukan dengan teknik

quantitative sandwich enzyme

immunoassay. Pengukuran kadar kolesterol

HDL dilakukan dengan teknik presipitasi yang dilanjutkan dengan pemeriksaan

human cholesterol liquicolor. Selanjutnya,

kadar kolesterol LDL ditentukan rumus

Friedewald.

HASIL

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek obesitas dan overweight memiliki rata-rata kadar enzim11 β-Hydroxylase

yang cenderung tinggi. Rata-rata kadar LDL juga cukup tinggi meskipun masih dalam batas normal. Sebaliknya, rata-rata kadar kolesterol HDL cenderung rendah (tabel 1).

Tabel 1. Gambaran IMT, 11 β-Hydroxylase, LDL, dan HDL

Variabel n Nilai Min. Nilai Maks. Mean Standar deviasi Uji Normalita s (p-value) IMT (kg/m2) - Obesitas - Overweight 52 26 26 23,0 25,8 23,0 38,2 38,2 24,9 27,63 31,03 24,24 4,32 3,68 0,67 0,000 11 β-Hydroxylase - Obesitas - Overweight LDL (mg/dl) - Obesitas - Overweight HDL - Obesitas - Overweight 52 26 26 52 26 26 52 26 26 6,9 6,9 17,0 71 73 71 22 22 26 199,4 149,3 199,4 182 182 175 69 52 69 61,89 52,15 71,63 115,96 126,04 105,88 40,81 38,46 43,15 45,63 43,49 46,49 29,89 26,81 29,89 9,19 7,45 10,27 0,200* 0,200 0,200

(35)

Jenny Novina Sitepu Kadar Enzim 11 β-Hydroxylase Pembahasan

Rata-rata kadar kolesterol LDL pada sampel penelitian cukup tinggi meskipun masih dalam batas normal. Rata-rata kadar kolesterol LDL sampel tergolong tidak optimal. Kadar kolesterol LDL optimal menurut The National Cholesterol Education Program Adult Panel III adalah

<100 mg/dl.12Hal tersebut menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar kolesterol LDL pada obesitas dan overweight. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan kadar kolesterol LDL (p= 0,043)7.

Sebaliknya, rata-rata kadar kolesterol HDL cenderung rendah. Kadar kolesterol HDL <40 mg/dl menurut The National

Cholesterol Education Program Adult Panel III termasuk kategori rendah.12Hasil ini sesuai dengan beberapa pebelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa obesitas berhubungan dengan penurunan kadar kolesterol HDL9.

Tingginya rata-rata kadar LDL dan rendahnya rata-rata kadar HDL menunjukkan adanya kecenderungan gangguan profil lipid pada sampel. Hal tersebut mengindikasikan adanya kecenderungan gangguan profil lipid pada usia muda yang tampak sehat. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa saat ini gangguan profil lipid sudah mulai terlihat pada usia muda bahkan pada anak-anak usia sekolah7,8.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kadar enzim 11 β-hydroxylase pada obesitas dan overweight cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan teori sebelumnya yang menyebutkan bahwa obesitas berkaitan erat dengan hiperaktivitas aksis

hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang menyebabkan

hiperkortisolisme13. Enzim11 β-hydroxylase berperan dalam sintesis cortisol. Enzim 11 β-hydroxylase menghidroksilasi molekul11-deoxycortisol pada karbon 11 menjadi

cortisol di dalam mitokondriaselkorteks adrenal14.

Tingginya kadar kolesterol LDL dan rendahnya kadar kolesterol HDL pada subyek penelitian sejalan dengan tingginya kadar enzim 11 β-hydroxylase. Teori menyebutkan bahwa cortisol dalam jangka waktu lama menyebabkan abnormalitas lipid15. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan cortisol dan kadar enzim 11 β-hydroxylase dengan kadar kolesterol LDL dan HDL.

(36)

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, kadarenzim 11β-Hydroxylase dan kolesterol LDL cenderung

tinggi pada laki-laki usia muda yang mengalami obesitas dan overweight.

Sebaliknya, kadar kolesetrol HDL cenderung rendah. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan gangguan profil lipid pada laki-laki usia muda yang mengalami obesitas dan overweight. Penelitian lebih lanjut pada perempuan atau kelompok obesitas dan overweight yang menderita dislipidemia diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih luas dan bahan perbandingan mengenai gambaran kadar 11

β-Hydroxylase, kolesterol LDL dan HDL.

Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan ketiga variable tersebut.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. (2011). Noncommunicable Diseases. Country Profiles 2011. Geneva: World Health Organization.

2. World Health Organization. (2013). Glogal Health Statistic 2013 Part III. Global Health Indicators. Geneva: World Health Organization.

3. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

4. Obregon, M-J. (2010). Maternal Obesity Results in Offspring Prone to Metabolic Syndrome. Journal of Endocrinology

151(8): 3475-3476.

5. Tirosh, A., Shai, I., Afek, A., Dubnov-Raz, G., Ayalon, N., Gordon, B., … Rudich, A. (2011). Adolescent BMI Trajectory and Risk of Diabetes Versus Coronary Disease. N Engl J Med 364: 1315-25.

6. Schmidt, M., Johannesdottir, S., A., Lemeshow, S., A., Lash, T,. L., Ulrichsen, S., P., Botker, H., E., Sorensen, H., T. (2013). Obesity in Young Men, and Individual and Combined Risks of Type 2 Diabetes, Cardiovascular Morbidity and Death Before 55 Years of Age: Danish 33-Years Follow-up Study.

7. Ramzan, M., Ali, I., Ramzan, F., Ramzan, F., Ramzan, M., H. (2011). Waist Circumference and Lipid Profile Among Primary School Children. JPMI Vol 25 No. 03: 222-226

8. Rizk, N., M., Yousef, M. (2012). Association of Lipid Profile and Waist Circumference as Cardiovascular Risk Factors for Overweight and Obesity

(37)

Jenny Novina Sitepu Kadar Enzim 11 β-Hydroxylase Among School Children in Qatar.

Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy 2012:5

425-432.

9. Thakur, J. S., Bisht, S. (2010). Comparative Study of Blood Lipid Profile of Obese and Non-obese Sedentary College Men. VSRD-TNTJ. Vol. I (1), 2010, 26-29

10. Russel, M., Bredella, M., Tsai, P., Miller, K., K., Klibanski, A., Misra, M. (2009). Relative Growth Hormone And Excess are Associated with Increased Cardiovascular Risk Markers in Obese Adolescents Girls. J Clin Endocrinol

Metab 94:2864–2871.

11. Mungreiphy, N. K., Kapoor S., Sinha R. (2011). Association between BMI, Blood Pressure, and Age: Study among Tangkhui Naga Tribal Males of Northest India. Journal of Anthropology. Doi: 10. 1155/2011/748147.

12. Adam J. M. F. Dislipidemia dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid III. Jakarta: Interna Publishing, 2010: 1984-92.

13. Anagnostis, P., Athyros, V., G., Tziomalos, K., Karagiannis, A., Mikhailids, D., P. (Agustus 2009). The Pathogenetic Role of Cortisol in

Metabolic Syndrome: A Hypothesis. J.

Clin Endocrinol Metab. 94(8):2692-2701.

14. Barret, K., Brooks, H., Boitano, S., Barman, S. (2010). Ganong’s Review of Medical Physiology 23thEdition. USA: The McGraw Hill Companies, 337-90.

15. Arnaldi, G., Scandali, V., M., Trementino, L., Cardinaletti, M., Appolloni, G., Boscaro, M. (2010). Pathophysiology of Dyslipidemia in Cushing’s Syndrome. Neuroendocrinology; 92(Suppl 1):86-90.

(38)

GAMBARAN PENGENALAN DAN PENANGANAN GEJALA AWAL PENYAKIT MALARIA DI RUMAH PADA MASYARAKAT DI KECAMATAN

PANYABUNGAN KABUPATEN MANDAILING NATAL

Novita Hasiani Simanjuntak

Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fak. Kedokteran Univ. HKBP Nommensen Email:novitahasiani@gmail.com

Abstrak

Berdasarkan perhitungan Annual Paracyte Incidence (API) tahun 2010 di Sumatera Utara, daerah tertinggi kasus malaria adalahNias Selatan sebesar 1.163 kasus (3,73%), diikuti Mandailing Natal (Madina) sebesar 1.225 kasus (3,12%).4Menurut data darikantor Pusat Penanggulangan Malaria Madina, pada tahun 2012, kasus malaria tertinggiterdapat di Kecamatan Panyabungan yaitu sebesar 3.842 kasus, dari total 78.584 jiwa penduduk.

Jenis penelitianini adalah penelitian desktiptif kualitatif, dilakukan di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara pada April sampai dengan Mei 2015.Populasi Penelitian ini adalah semua warga Kabupaten Panyabungan. Cara pemilihan sampel dengan teknik consecutive sampling, sebanyak 100 orang, dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa49 orang (49%) memiliki pengetahuan yang kurang tentang pengenalan gejala malaria dan78 orang (78%) memiliki perilaku yang buruk tentang penanganan awal di rumah.

Kabupaten Madina memiliki Kantor Pusat Penanggulangan Malaria Kabupaten Mandailing Natal, yang berkantor di Panyabungan. Namun upaya penanggulangan malaria kantor pusat pengendalian malaria belum efektif disebabkan karena tidak baiknya kordinasi kantor pusat pengendalian malaria dengan dinas kesehatan, sarana transportasi dan laboratorium khusus yang masih kurang, dan sumber daya manusia juga masih belum efektif dalam menjalankan program penanggulangan malaria. Saran dari penelitian ini adalah strategi penambahan pengetahuan mengenai malaria, baik itu pencegahan, pengenalan gejala, dan membawa penderita malaria dari Kantor Pusat Penanggulangan Malaria Kabupaten Mandailing Natal harus diperbaiki, sehingga penanggulangan Malaria dapatdikerjakan dan visi misi Madina bebas Malaria tahun 2020 dapat tercapai dan harus

(39)

Novita Hasiani Simanjutak Gejala Awal Penyakit Malaria

lebih intensif, lebih mendekat kemasyarakat, sehingga tidak kalah dengan pemberian infomasi informasi penyakit menular seperi demam berdarah dengue.

Kata Kunci: Gejala Malaria, Penanganan Malaria di Rumah.

Pendahuluan

Penyakit Malaria, menurut perkiraan terakhir dari WHO tahun 2013, sebanyak 198 juta kasus malaria muncul di seluruh dunia (sekitar 124 – 283 juta kasus), dan mengakibatkan kematian sebanyak 584.000 jiwa (sekitar 367.000 – 755.000 kematian). Menurut World Malaria Report, angka kejadian malaria yang

dilaporkan menurun dari 2,9 juta menjadi 1,5 juta kasus.1

Secara nasional, menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013,angka kesakitan malaria selama tahun 2005– 2013 cenderung menurun yaitu dari 4,1 per 1.000 penduduk berisiko pada tahun 2005 menjadi 1,38 per 1.000 penduduk.2

Menurut Data RISKESDAS tahun 2013, proporsi pengobatan efektif Indonesia adalah 45,5 persen. Penduduk Indonesia yang yang mengobati sendiri penyakit malaria yang dideritanya adalah 0,6 persen.3

Menurut Data RISKESDAS tahun 2013, di Sumatera Utara angka insiden dan prevalensi malaria adalah 1,4 % dan 5,2%, angka proporsi penderita malaria yang mendapat pengobatan sesuai program yaitu proporsi mendapat ACT

program 20,9%, mendapatkan obat dalam 24 jam pertama sebanyak 62,9%, minum obat selama 3 hari sebanyak 84,8%, mendapatkan pengobatan efektif (pengobatan malaria sesuai program) pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat diminum habis dalam 3 hari) sebanyak 55,7%, minum obat anti malaria dengan/ tanpa gejala khas malaria sebanyak 0,7%.3

Berdasarkan perhitungan Annual

Paracyte Incidence (API) tahun 2010 di

Sumatera Utara, daerah tertinggi kasus malaria adalah Nias Selatan sebesar 1.163 kasus (3,73%), diikuti Mandailing Natal (Madina) sebesar 1.225 kasus (3,12%).4Menurut data dari kantor Pusat Penanggulangan Malaria Madina, pada tahun 2012, kasus malaria tertinggi terdapat di Kecamatan Panyabungan yaitu sebesar 3.842 kasus, dari total 78.584 jiwa penduduk.5

Untuk mencapai visi misi Madina bebas dari penyakit malaria tahun 2020, modal utama dan kunci suksesnya adalah kepedulian masyarakat yang tinggi terhadap penyakit malaria. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pengetahuan

(40)

masyarakat tentang pengenalan dan penanganan gejala awal di rumah pada penyakit malaria di Kecamatan Panyabungan, Madina.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pengenalan dan penanganan gejala awal penyakit malaria pada masyarakat di kecamatan Panyabungan Kabupaten Maidailing Natal.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian desktiptif kualitatif, dilakukan di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara pada April sampai dengan Mei 2015.Populasi Penelitian ini adalah semua warga Kabupaten Panyabungan. Cara pemilihan sampel dengan teknik

consecutive sampling, sebanyak 100 orang, dengan menggunakan kuesioner yag telah divalidasi. Analisa data dilakukan dengan Analisa Univariat.30

Hasil Dan Pembahasan

Karakteristik yang dinilai dari penelitian adalah usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan pekerjaan.

A. Usia Responden

Tabel 4.1 Usia Responden

Usia Frekuensi Persen

15 - 24 Tahun 36 36.0 25 - 34 Tahun 33 33.0 35 - 44 tahun 12 12.0 45 - 54 Tahun 15 15.0 55 - 64 Tahun 3 3.0 ≥ 65 Tahun 1 1.0 Total 100 100.0

Dari tabel di atas didapatkan bahwa responden terbanyak adalah usia 15 sampai dengan 24 Tahun, sebanyak 36 orang (36%).

B. Jenis Kelamin Responden

Tabel 4.2 Jenis Kelamin Responden

Dari tabel di atas didapatkan bahwa responden terbanyak adalah responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 63 orang (63%).

Jenis Kelamin Frekuensi Persen

Laki-laki 63 63.0

Perempuan 37 37.0

Gambar

Tabel 1. Berat ringannya penyakit cacing berdasarkan jumlah telur/gr tinja.
Tabel 2. Data hasil pemeriksaan telur cacing Nematoda usus dengan Metode Flotasi pada murid SDN No
Tabel 3. Data Hasil Perhitungan jumlah telur cacing pada data tabel 3 dengan Metode Kato Katz Kuantitatif
Gambar 4.1. Derajat fibrosis menurut Fibroscan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi web yang bekerja dengan Ajax, bekerja secara asynchronously yang berarti mengirim dan menerima data dari user ke server tanpa perlu

Bahan baku: Ampas tebu dengan ukuran partikel 1 dan 1,5 cm dengan kondisi hidrolisis larutan asam untuk produksi furfural dan xylose pertama-tama dilakukan dalam skala

Fungsi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan yang terdaftar dalam sektor pertanian pada Bursa Efek Indonesia adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang tanaman pangan,

Penelitian ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Pebriani, SH (2018) pada anak usia 1-6 tahun yang dilakukan tindakan invasif berupa pemasangan infus dengan

Hipotesis penelitian ialah (1) pelengkungan cabang dan taraf dosis pupuk kandang yang memberikan pengaruh pada transisi pertumbuhan vegetatif ke generatif tanaman jeruk keprok

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu melakukan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Atribut Produk Dan Citra Merek Terhadap Kepuasan Pelanggan Kartu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Ada kontribusi kekuatan lengan terhadap kemampuan passing bawah pada permainan bolavoli Murid SD Negeri Sudirman

Pencantuman halal pada suatu label produk pangan adalah suatu keharusan yang harus dijalankan oleh pelaku usaha untuk lebih memperhatikan hak konsumen. Seperti