LAPORAN KASUS
Nama : Nn. W
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Mahasiswa Alamat : Sudiang Agama : Kristen No. RM : 030660 Tanggal masuk : 27/12/2014 I. SUBJEKTIF a. Anamnesis : Autoanamnesis b. Keluhan Utama : Demam
c. Anamnesis Terpimpin :
Demam dialami sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk RS, dirasakan tidak terus menerus, kadang turun pada pagi hari tapi tidak mencapai suhu tubuh yang normal, dan naik lagi terutama pada sore hari, menggigil ada, pasien juga mengeluhkan keringat dingin. Demam menghilang dengan obat penurun panas (paracetamol).
Pasien juga mengeluh sakit kepala dan pusing, sakit kepala terutama pada bagian belakang kepala. Tidak ada mimisan dan tidak ada perdarahan gusi. Batuk tidak ada, lendir tidak ada. Sesak tidak ada.
Ada nyeri ulu hati, terasa tertusuk-tusuk, ada mual, ada muntah 1 hari yang sebelum masuk rumh sakit frekuensi lebih dari 5 x berisi cairan dan sisa makanan.
Lemah badan, terdapat penurunan nafsu makan, tidak ada penurunan berat badan.
Buang air besar belum hari ini, riwayat bab encer 1 hari yang lalu frekuensi 5 x tidak disertai lendir dan darah. Riwayat buang air besar hitam tidak ada
Buang air kecil kesan lancar, kesan normal, warna kuning jernih Riwayat:
Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada. Riwayat kebiasaan makan yang tidak bersih disangkal. Riwayat perdarahan hidung dan gusi disangkal.
Riwayat dari daerah endemis malaria disangkal. Riwayat hipertensi tidak ada, DM tidak ada. Riwayat demam tifoid sebelumnya disangkal.
II. Status Present
a. Status Generalisasi : Sakit sedang, Gizi baik, Compos Mentis b. Tinggi badan : 157 cm c. Berat Badan : 58 kg IMT = BB/TB2 = 48/1,57 2 = 19,47 kg/m2 (normal) Status Vitalis : TD : 110/70 mmHg N : 90 x/menit P : 24 x/menit S : 38,5 C, axilla⁰ III.Pemeriksaan Fisis a. Kepala : Ekspresi : biasa
Simetris muka : simetris kiri = kanan Deformitas : tidak ada
Rambut : warna hitam, sukar dicabut b. Mata :
Eksoptalmus/Enoptalmus : tidak ada
Gerakan : ke segala arah (normal)
Kelopak Mata : edema tidak ada, hiperemis tidak ada, ptosis tidak ada
Konjungtiva : anemis tidak ada Sklera : ikterus tidak ada
Pupil : bulat isokor, uk 2,5 ODSϴ c. Telinga :
Pendengaran : dalam batas normal
Tophi : tidak ada
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : tidak ada d. Hidung :
Perdarahan : tidak ada
Sekret : tidak ada
e. Mulut :
Bibir : pucat tidak ada, kering ada
Lidah : kotor ada, tremor ada,tepi hiperemis Tonsil : T1 – T1, hiperemis tidak ada
Faring : hiperemis tidak ada Gigi geligi : caries dentis tidak ada Gusi : hiperemis tidak ada f. Leher :
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
DVS : R-2 cmH2O
Pembuluh darah : tidak ada kelainan Kaku kuduk : tidak ada
Tumor : tidak ada
g. Dada : Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri = kanan, normochest Pembuluh darah : bendungan vena sentral tidak ada Sela iga : dalam batas normal
h. Paru : Palpasi :
Fremitus raba : kesan normal Nyeri tekan : tidak ada Massa tumor : tidak ada Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor.
Batas paru-hepar : ICS VI dekstra anterior, Batas paru belakang kanan : CV Th. IX dekstra
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler Bunyi tambahan : Rh , Wh -/-i. Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis tidak teraba Perkusi : pekak relatif
Kanan atas : ICS II linea parasternalis dexter Kiri atas : ICS II linea midclavicularis sinistra Kanan bawah : ICS V linea parasternalis sinistra Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bunyi
tambahan tidak ada j. Perut :
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas, massa tumor tidak ada
Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal.
Palpasi : Nyeri tekan ada pada epigastrium, massa tumor tidak ada,
Hepar dan Lien tidak teraba pembesaran
Perkusi : timpani
k. Alat Kelamin :
Tidak dilakukan pemeriksaan l. Anus dan Rektum :
Tidak dilakukan pemeriksaan m. Punggung :
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, Massa tumor tidak ada Nyeri ketok : tidak ada
Auskultasi : BP: vesikuler Gerakan : dalam batas normal n. Ekstremitas :
Edema : -/-, hangat ada o. Laboratorium :
Tanggal Jenis Pemeriksaa n
27/12/2014 Hematologi rutin Fungsi Ginjal Kimia Hati Infeksi Lain WBC RBC HGB HCT PLT NEUTH LYMPH MONO EO BASO Ureum Kreatinin GOT GPT IgM Salmonella (TF semikuantit atif) Dengue NS1 5,00 4,33 13,1 38,1 158 59,2 28,1 8,9 0,7 3,1 19 0,7 42 26 +6 -4.00-10.00 4.00-6.00 12.0-16.0 37.0-48.0 150-400 52.0-75.0 20.0-40.0 2.00-8.00 1.00-3.00 0.00-0.10 10-50 L(<1.3);P(<1 .1) <38 <41 -10^3/uL 10^6/uL gr/dL % 10^3/uL 10^3/uL % 10^3/uL 10^3/uL 10^3/uL mg/dl mg/dl U/L U/L ---16/09/2014 (Tes Widal)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Salmonella Thypii O positif 1/160 Negatif Salmonella part A H positif 1/160 Negatif
Salmonella part B Negatif Negatif
Salmonella part C O positif 1/320 Negatif
Tanggal Jenis Pemeriksaa n
Item Hasil Nilai rujukan Satuan
28/12/2014 Hematologi rutin WBC RBC HGB HCT 4,92 4,17 12,2 34,6 4.00-10.00 4.00-6.00 12.0-16.0 37.0-48.0 10^3/uL 10^6/uL gr/dL %
NEUTH LYMPH MONO EO BASO 2,1 28,1 0,59 0,01 0,03 52.0-75.0 20.0-40.0 2.00-8.00 1.00-3.00 0.00-0.10 10^3/uL % 10^3/uL 10^3/uL 10^3/uL IV. ASSESSMENT Diagnosa : 1. Demam tifoid Diagnosis banding : 1. Demam dengue 2. Malaria V. PLANNING Pengobatan: Tirah Baring Diet Lunak
IVFD NaCl 0,9% 24 tetes/menit
Ceftriaxone 3 gr/24 jam/IV, drips dalam NaCl 0,9% 100 cc Paracetamol 500 mg 3x1(bila suhu > 37,50C)
Ranitidine 1 ampul/8 jam/IV Rencana Pemeriksaan :
Darah rutin kontrol, tes widal, Urinalisa, PT APTT, Profil Lipid, elektrolit, foto thorax.
VI. PROGNOSIS
• Quad ad vitam : Dubia et Bonam • Quad ad sanationam : Dubia et Bonam
FOLLOW UP TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER 27/12/2014 T: 110/70 mmhg N: 80 x/m P: 22 x/m S:
Demam ada, menggigil ada, nyeri kepala ada. Batuk tidak ada, lendir
P :
Tirah baring Diet Lunak NaCl 0,9% 24
S:38,5 C⁰ tidak ada, sesak tidak ada.
Mual ada, muntah ada Nyeri ulu hati ada. BAB : belum hari ini, riwayat bab encer ada. BAK : biasa, kuning, kesan cukup.
O :
SS / GC / CM Mata : Anemis tidak ada, ikterus tidak ada, Lidah kotor ada, bibir kering ada.
DVS R-2 cmH2O
Paru : BP : vesikuler, BT : Rhonki-/- , Wheezing
-/-Jantung : BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada Abdomen : Peristaltik ada, kesan normal Nyeri tekan epigastrium ada.
Hepar dan lien tidak teraba
Ext : Edema tidak ada/ tidak ada
IgM Salmonella ada
A :
Demam typhoid
tetes/menit
Ceftriaxone 3 gr/ 24 jam /drips (dalam piggy bag) (hari ke-1) Paracetamol 500 mg 3x1 (bila suhu >37,5 oC) Ranitidine 1 ampul/8 jam/IV Plan : SGOT/SGPT, ur/cr,profil lipid, DR, PT/APTT, albumin, elektrolit
28/12/2014 T: 110/80 mmhg N: 80 x/m P: 22 x/m S:39,1 C⁰ S:
Demam ada, mengigil tidak ada, nyeri kepala ada.
Batuk dan lendir tidak ada, sesak tidak ada, Mual ada, muntah tidak ada.
Nyeri ulu hati tidak ada. BAB : Biasa
BAK : Lancar, kuning. O :
SS / GC / CM Mata : Anemis tidak ada, ikterus tidak ada. Lidah kotor ada, bibir kering tidak ada. DVS R-2 cmH2O
Paru : BP : vesikuler, BT : Rhonki -/- , Whezing
-/-Jantung : BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada Abdomen : Peristaltik ada kesan normal
Nyeri epigastrium tidak ada.
Hepar dan lien tidak teraba
Ext : Edema -/-IgM Salmonella ada
A : P : Tirah baring Diet Lunak NaCl 0,9% 24 tetes/menit Ceftriaxone 3 gr/ 24 jam /drips (dalam piggy bag) (hari ke2) Paracetamol 500 mg 3x1 (bila suhu >37,5
oC)
Drips novalgin 2 ampul dalam NaCl 0,9% 16 tetes/menit (jika suhu > 38,5 oC)
Ranitidine 1 ampul/8 jam/IV
Demam typhoid 29/12/2014 T: 110/80 mmhg N: 76 x/m P: 22 x/m S:38,7 C⁰ S:
Demam ada, mengigil tidak ada, nyeri kepala ada.
Batuk dan lendir tidak ada, sesak tidak ada, Mual berkurang, muntah tidak ada. Nyeri ulu hati tidak ada. BAB : Biasa
BAK : Lancar, kuning, O :
SS / GC / CM Mata : Anemis tidak ada, ikterus tidak ada. Lidah kotor ada, bibir kering tidak ada. DVS R-2 cmH2O
Paru : BP : vesikuler, BT : Rhonki -/- , Whezing
-/-Jantung : BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada Abdomen : Peristaltik ada kesan normal. Hepar dan lien tidak teraba
Ext : Edema -/-IgM Salmonella ada
Salmonella typhii O + 1/160 P : Tirah baring Diet Lunak NaCl 0,9% 24 tetes/menit Ceftriaxone 3 gr/ 24 jam /drips (dalam piggy bag) (hari ke-3)
Paracetamol 500 mg 3x1 (bila suhu >37,5
oC)
Drips novalgin 2 ampul dalam NaCl 0,9% 16 tetes/menit (jika suhu > 38,5 oC)
Ranitidine 1 ampul/8 jam/IV
A : Demam typhoid 30/12/2014 T: 120/80 mmhg N: 72 x/m P: 20 x/m S:37,5 C⁰ S:
Demam ada, mengigil tidak ada, nyeri kepala ada.
Batuk dan lendir tidak ada, sesak tidak ada, Mual tidak ada, muntah tidak ada.
Nyeri ulu hati tidak ada. BAB : Biasa
BAK : Lancar, kuning, O :
Mata : Anemis tidak ada, ikterus tidak ada. Lidah kotor tidak ada. DVS R-2 cmH2O
Paru : BP : vesikuler, BT : Rhonki -/- , Whezing
-/-Jantung : BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada Abdomen : Peristaltik ada kesan normal. Hepar dan lien tidak teraba
Ext : Edema -/-IgM Salmonella ada Salmonella typhii O + 1/160 A : Demam typhoid P : Tirah baring Diet Lunak NaCl 0,9% 24 tetes/menit Ceftriaxone 3 gr/ 24 jam /drips (dalam piggy bag) (hari ke 4) Paracetamol 500 mg
3x1 (bila suhu >37,5
oC)
Ranitidine 1 ampul/8 jam/IV
31/12/2014 T: 120/80 mmhg N: 80 x/m P: 20 x/m S:36,7 C⁰ S:
Demam tidak ada, mengigil tidak ada, nyeri kepala ada.
Batuk dan lendir tidak ada, sesak tidak ada, Mual tidak ada, muntah tidak ada.
Nyeri ulu hati tidak ada. BAB : Biasa
BAK : Lancar, kuning, O :
Mata : Anemis tidak ada, ikterus tidak ada. DVS R-2 cmH2O
Paru : BP : vesikuler, BT : Rhonki -/- , Whezing
-/-Jantung : BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada Abdomen : Peristaltik ada kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ext : Edema -/-IgM Salmonella ada Salmonella typhii O + 1/160 A : Demam typhoid P : Tirah baring Diet Lunak NaCl Ceftriaxone 3 gr/ 24 jam /drips (dalam piggy bag) (Hari ke 5) Paracetamol 500 mg 3x1 (bila suhu >37,5 oC) Ranitidine 1 ampul/8 jam/IV
RESUME
Seorang perempuan 18 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan febris. Febris dialami ± 1 minggu SMRS, bersifat intermiten, demam meningkat pada saat sore hari, menggigil ada. Febris menghilang dengan obat penurun panas (paracetamol). Cefalgia, dirasakan hilang timbul. Epistaksis tidak ada, perdarahan gusi tidak ada. Nausea ada, vomiting ada 1 hari yang lalu frekuensi lebih 5 x isi air dan sisa makanan, nyeri epigastrium ada. Lemah badan ada, penurunan nafsu makan ada, penurunan berat badan tidak ada. Buang air besar belum hari ini ada riwayat BAB encer 1 hari yang lalu frekuensi lebih 5 x tidak ada darah dan lendir . Buang air kecil kesan lancar, volume kesan normal, warna kuning jernih.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital yakni tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90x per menit, pernapasan 22 x per menit, suhu axilla 38,5oC. pada
pemeriksaan lidah didapatkan lidah kotor ada, tremor ada, hiperemis ada. Pada pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan ada pada regio epigastrium, hepar dan lien tidak teraba pembesaran. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan IgM Salmonella +6.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah Demam typhoid.
DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan utama demam. Beberapa penyakit yang dapat menimbulkan demam, antara lain demam tifoid, demam berdarah, malaria, tuberkulosis, abses hepar, dan infeksi saluran kemih. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien mengalami keluhan demam yang dialami sejak 1 minggu SMRS, bersifat intermitten di mana demam meningkat saat malam hari, dan ada menggigil. Demam menurun ketika mengonsumsi obat penurun demam (paracetamol) dan naik kembali setelah reaksi obat habis. Ada sakit kepala yang dirasakan hilang timbul. Tidak ada perdarahan spontan. Ada nausea dan vomitting. Ada nyeri epigastrium. Lemah badan,
ada penurunan nafsu makan, tidak ada penurunan berat badan. Buang air besar belum hari ini namun ada riwayat BAB encer 1 hari yang lalu dan buang air kecil kesan normal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan sakit sedang, gizi normal, composmentis. Tekanan darah = 110/70 mmHg, nadi = 90 x/menit, regular, pernapasan = 22 x/menit, vesikuler, suhu axilla = 38,50C. tidak ada anemis, ada nyeri epigastrium, hepar dan
lien tidak teraba. Hasil pemeriksaan laboratorium: WBC = 5 x 103/uL, RBC = 4,33 x
106/uL, HGB = 13,1 g/dL, HCT 38,1%, NEUT 59,2 x 103/UL, ureum = 19 mg/dL,
kreatinin = 0,7 mg/dL, GOT = 42 U/L, GPT = 26 U/L, gr/dL, IgM Salomonella = +6. Diagnosis pasti ditegakkan melalui kultur darah, perbandingan kepekaan antara typhoid dan metode kultur adalah > 93% untuk menemukan bakteri Salmonella typhi, namun pemeriksaan widal test dan tubex test sangat bermanfat untuk diagnosis cepat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan pada pasien apabila terdapat gejala klinis yang lengkap atau hampir lengkap seperti adanya demam, sakit kepala, kelemahan, mual/muntah, nyeri abdomen, anoreksia, gangguan gastrointestinal, insomnia sampai penurunan kesadaran serta dari pemeriksaan fisis hepatomegali, splenomegali, bradikardi relatif, serta didukung oleh hasil laboratorium yang menunjukkan tifoid berupa Tes Widal.1
Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien didapatkan hasil IgM Salmonella +6 terdapat hasil positif untuk pemeriksaan Tes Widal yang menunjukkan adanya reaksi antigen dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia. 1
Pasien diberikan terapi farmakologi berupa IVFD NaCl 0,9% 24 tpm, ceftriaxone injeksi 3 gram/24jam/hari dalam NaCl 0,9% 100 cc, paracetamol 3 x 500 mg jika suhu > 37,50C, atau Novalgin ampul drips dalam NaCL 0,9% 500 ml jika
Ceftriaxone umumnya aktif terhadap kuman gram positif dan negatif termasuk Salmonella typhi.5 Efek samping yang paling sering adalah rasa hangat di sekitar
tempat injeksi, sakit kepala, berkeringat, dan diare.6 Ceftriaxone memiliki waktu
paruh berkisar 6 hingga 8 jam di dalam tubuh dan sangat cocok untuk pemberian dosis dalam sehari. Selain itu, Ceftriaxone dapat mengurangi waktu terapi hingga 5 hari di rumah sakit sehingga lebih menghemat biaya perawatan. Penggunaan Kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang belakang. Dengan menggunakan Ceftriaxone, pencegahan relaps setelah dinyatakan sembuh terhadap pasien lebih baik daripada Kloramfenikol.3
Paracetamol diberikan sebagai analgesik dan antipiretik yaitu dapat menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang serta menurunkan suhu tubuh.
Ranitidin atau simetidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel.
Perangsangan reseptor H2 akan merangsan sekresi asam lambung, sehingga pada
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal, perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.4
II. EPIDEMIOLOGI
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 % dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 % per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1
Insiden demam tifoid bervariasi ditiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Didaerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan didaerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens diperkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadahi serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1
Case fatality rate (CFR) demam tifoid ditahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga departemen kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1
III. ETIOLOGI
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Ukuran antara 2 – 4 x 0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37°C dengan pH antara 6 – 8.1
Gambar 1. Salmonella typhi4
Gambar 1. Salmonella typhi (dikutip dari kepustakaan 4)
IV. PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam tubuh manusia dapat melalui transmisi oral melalui makanan yang terkontaminasi kuman Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana tangan yang tidak higienis yang terkontaminasi dengan kuman Salmonella typhi langsung bersentuhan dengan makanan yang dimakan serta melalui transmisi dari kotoran, dimana kotoran individu yang mempunyai basil Salmonella typhi ke sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan sebagai air minum yang kemudian langsung diminum tanpa dimasak. Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung, sebagian lolos dan masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah sehingga mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.1
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagosit kuman Salmonella terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.1
Didalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyer yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.1
Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan dan gangguan organ lainnya.1
V. GAMBARAN KLINIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.1
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (Kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor), Hepatosplenomegally, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia.1
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat juga ditemukan kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap
darah (LED) pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur bakteri. Sampai sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara uji TUBEX, Typhidot dan dipstick.1
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibody yang disebu dengan agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : aglutinin O pada tubuh kuman, Aglutinin H pada flagella kuman dan aglutinin Vi pada simpai kuman.1
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan agglutinin H yang digunakan untuk diagnosisn demam tifoid. Semakin tinggi titernya maka semakin besar kemungkinan terinfeksi oleh kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.1
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium.1
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda diberbagai laboratorium setempat.1
c. Uji tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Salmonella typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif ujin tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmonella paratyphi akan memberikan hasil negatif.1
Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi lgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.1
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi : tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas, reagen A yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen O9, reagen B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik dengan antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 µL) dicampurkan kedalam tabung dengan satu tetes (25 µL) reagen A. setelah itu dua tetes reagen B (50 µL) ditambahkan kedalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut :
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif >6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Tabel 2. Interpretasi hasil uji Tubex (dikutip dari kepustakaan 1)
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. ketika diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan.1
d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen Salmonella typhi. Seberat 50 kD, yang terdapat dalam strip nitroselulosa.1
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesay 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.1
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara berlebihan sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan mengaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo Ke dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.1
e. Uji IgM Dipstik
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonella typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dan antigen IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik.1
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan selama 1 minggu setelah timbulnya gejala.1
f. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil yang negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: telah mendapatkan terapi dengan antibiotik, volume darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat aglutinin semakin meningkat.1
VII. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai berikut Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal, pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.1,4
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.1,3
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan semakin lama.1,3
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau jperforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus d; iistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid.1-3
Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid1
VIII. KOMPLIKASI
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
Komplikasi intestinal :
perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1
IX. PROGNOSIS
Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya penanganan serta penggunaan antibiotik yang tepat. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis buruk.
1 Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Edisi 5. Jakarta, 2009. Hal 2797-2805.
2 Aziz R, Sidartawan S, Anna UZ, dkk. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 2. Jakarta, 2006. Hal 139-141.
3 Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5 Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575. Bangladesh: 1993. 4 John LB. Typhoid Fever. Medscape. 2012. Dapat diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. Diakses 13 februari 2014.
5 Siti FS. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: 2006.
6 Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya Baru. Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.
7 The American Society of Health System Pharmacists. Ceftriaxone Injection. Maryland. 2013. Dapat diakses di http://www.nlm.nih.gov/midlineplus/meds. Diakses 15 Februari 2014.