• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT KIMIA DARI KAYU SHOREA RETUSA, SHOREA MACROPTERA,

DAN SHOREA MACROPHYLLA

Chemical Properties of Shorea retusa, Shorea macroptera, and Shorea macrophylla Woods

Rohmatus Rizqy Kisna Yunanta1), Ganis Lukmandaru 1) dan Andrian Fernandes 2) 1)Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada,

Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta e-mail: rizkyyunanta@gmail.com 2)Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda

Jl. A.W. Syahranie No.68, Sempaja, Samarinda; Tlp. (0541) 206364, Fax (0541) 742298. e-mail : af.andrian.fernandes@gmail.com

Diterima 05 Februari 2014, direvisi 21 Mei 2014, disetujui 26 Mei 2014

ABSTRACT

Red meranti woods have very high potential to be used as industrial alternative raw materials. In order to be utilized optimally, it is necessary to know its properties, such as chemical properties of the wood.The objective of this study is to explore the chemical properties of three lesser known species of red meranti woods. The trees used in this research were Shorea retusa (SR) and Shorea macroptera (ST) from PT. Hutan Sanggam Labanan Lestari, Berau, East Kalimantan, and Shorea macrophylla (SP) from PT. Sari Bumi Kusuma, Seruyan, Central Kalimantan. The chemical analysis was conducted based on ASTM method.The results showed that range values of ethanol-toluene soluble (ETS), cold water soluble (CWS), and hot water soluble (HWS)were 1.47-16.09%, 1.37-6.91%, and 1.55-8.14%, respectively. Contents of holocellulose, alpha-cellulose, and lignin were 63.16-75.16%, 39.70-48.33%, and 24.35-35.95%, respectively. Solubility in NaOH 1%, ash content, and pH values were ranged 19.33-39.56%, 0.02-1.40%, and 4.59-8.39, respectively. The SR woodsshowed the highest levels in alpha-cellulose, lignin, and pH values as the ST woods indicated the highest values in ETS, CWS, HWS, and solubility in NaOH 1%. The SP woodsdisplay highest levels in holocellulose and ash content values. Holocellulose and ash content increased from heartwood to sapwood in radial direction. Overall, the levels of ETS, HWS, holocellulose, lignin, and solubility in NaOH 1% increased from the base to the top parts in the axial direction.

Keywords: Shorea retusa, Shorea macroptera, Shorea macrophylla, wood chemistry, pH value

ABSTRAK

Kayu meranti merah berpotensi sangat tinggi untuk digunakan sebagai alternatif bahan baku industri. Agar dapat dimanfaatkan secara optimal, kayu meranti merah perlu diketahui sifat dasarnya, diantaranya sifat kimia kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi sifat kimia pada tiga jenis kayu meranti merah kurang dikenal. Pohon yang dipakai dalam penelitian ini adalah Shorea retusa(SR) dan Shorea macroptera(ST) yang didapat dari PT. Hutan Sanggam Labanan Lestari, Berau, Kalimantan Timur, dan Shorea macrophylla(SP) yang didapat dari PT. Sari Bumi Kusuma, Seruyan, Kalimantan Tengah. Analisis kimia yang dilakukan mengacu pada standar ASTM. Dari hasil penelitian didapatkan kadar ekstraktif etanol-toluena (KEET), air dingin (KEAD), dan air panas (KEAP) secara berurutan adalah 1,47%-16,09%, 1,37%-6,91%, 1,55%-8,14%. Kadar holoselulosa, alfa-selulosa, dan lignin secara berurutan adalah 63,16%-75,16%, 39,70%-48,33%, 24,35%-35,95%. Kemudian kelarutan dalam NaOH 1%, kadar abu, dan nilai pH secara berurutan adalah 19,33%-39,56%, 0,02%-1,40%, 4,59-8,39. Kadar alfa-selulosa, lignin, dan nilai pH tertinggi terdapat i pada SR, sedangkanKEAD, KEAP, dan kelarutan dalam NaOH 1% tertinggi diperlihatkan oleh ST. Selain itu, kadar holoselulosa dan abu tertinggi ditunjukkan oleh SP. Kadar holoselulosa dan kadar abu cenderung meningkat dari kayu teras ke kayu gubal pada variasi radial. Secara keseluruhan variasi aksial, KEET, KEAP, holoselulosa, lignin, dan kelarutan dalam NaOH 1% cenderung meningkat dari bagian pangkal ke ujung.

(2)

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan kayu sebagai bahan baku berbagai kebutuhan industri semakin lama semakin meningkat, namun suplai kayu justru semakin menurun sehingga menyebabkan

ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan. Hal ini salah satunya disebabkan karena selama ini baru jenis-jenis terkenal saja yang digunakan, sehingga diperlukan upaya untuk memunculkan jenis-jenis yang belum

terkenal sebagai alternatif bahan baku. Salah

satu jenis yang mempunyai potensi untuk mulai digunakan sebagai bahan baku industri adalah kayu meranti kurang dikenal.

Di Kalimantan, setidaknya dijumpai sekitar 135 jenis meranti (Kessler dan Sidiyasa, 1999). Menurut Soekotjo (2009), kayu meranti mempunyai nilai ekonomi tinggi, baik berupa kayu, buah, maupun hasil metabolisme sekundernya. Menurut Martawijaya (1989), kayu meranti dibagi menjadi kayu meranti merah, meranti kuning dan meranti putih. Kayu meranti merah terutama dipakai sebagai bahan baku venir dan kayu lapis. Riap pertumbuhan kayu meranti merah pada hutan alam juga cukup tinggi yang membuat potensinya juga semakin tinggi, dimana riap diameter dapat mencapai 1,72 cm/tahun dan riap tinggi dapat mencapai 1,75 m/tahun (Hardiansyah, 2012). Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa kayu meranti merah mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk digunakan sebagai alternatif bahan baku industri. Terdapat jenis-jenis meranti merah yang belum teridentifikasi

sifat-sifat dasarnya, antara lain Shorea retusa,

Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla, bahkan untuk Shorea retusa sama sekali belum ditemukan literatur yang membahas mengenai sifat dasar kayunya.

Sifat kimia memegang peranan penting dalam pemanfaatan suatu jenis kayu. Menurut Fengel dan Wegener (1995), dalam banyak penggunaan kayu secara teknologi, data kuantitatif tentang komposisi kimia spesies kayu sering sangat diinginkan dan diperlukan

untuk sejumlah proses. Penelitian sebelumnya

yang membahas sifat kimia kayu meranti merah

masih terbatas spesiesnya dan tidak membahas variasi dalam pohon maupun variasi antar pohon (Rowell, 1984), (Martawijaya, 1989), (Departemen Kehutanan, 1991), (Kawamura, dkk, 2011), (Rafiqul dan Sakinah, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan komponen kimia dan variasinya

pada arah aksial dan radial. Dengan adanya data

informasi sifat kimia kayu-kayu diatas diharapkan dapat diketahui alternatif penggunaannya sesuai dengan sifat kimianya.

.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu dari pohon S. retusa(diameter 31-38 cm) dan S. macroptera(diameter 37-50 cm) yang didapat dari PT. Hutan Sanggam Labanan Lestari, Berau, Kalimantan Timur, dan kayu S. macrophylla(diameter 32-45 cm) yang didapat dari PT. Sari Bumi Kusuma, Seruyan, Kalimantan Tengah. Bahan yang didapat sudah dalam bentuk piringan kayu (disk) setebal ± 10 cm pada bagian pangkal dan ujung. Pada posisi radial masing-masing bagian kayu diambil kayu dari bagian kayu gubal (±0,5 cm dari kulit kayu), teras luar (±1 cm dari perbatasan kayu gubal dan kayu teras), dan teras dalam (±1 cm dari hati kayu). Disk tersebut kemudian dibor dan dibuat serbuk sampai mencapai ukuran

60-80 mesh untuk analisis sifat kimianya.

Serbuk kayu setara 2 gram berat kering tanur, diekstraksi dengan pelarut etanol-toluena (2:1, v:v) dengan alat soxhlet selama 6 jam (ASTM D1107 – 96, 2002). Ekstraksi secara terpisah juga dilakukan dengan pelarut air dingin dan air panas (ASTM D 1110 – 80, 2002). Untuk serbuk bebas ekstraktif selanjutnya diuji kadar holoselulosa dan alfa-selulosa dengan metode asam klorit modifikasi (Browning, 1968), dan lignin (TAPPI, T222 – OS 78, 1993). Kadar hemiselulosa dihitung dari selisih kadar holoselulosa dan alfa-selulosa. Kemudian diukur uji kelarutan dalam NaOH 1% (ASTM D 1109 – 84, 2002), kadar abu (ASTM D 1102 – 84, 2002), dan nilai pH (Windeisen, 2003). Ulangan tiap perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali.

(3)

Sifat Kimia Dari Kayu Shorea… (Rohmatus Rizqy Kisna Yunanta, Ganis Lukmandaru dan Andrian Fernandes)

Analisis sumatif digunakan untuk memperoleh hasil 100% untuk semua komponen yang ditentukan. Komponen kimia keseluruhan dapat dihitung dengan cara menjumlahkan holoselulosa, lignin, ekstraktif, dan abu (Fengel dan Wegener, 1995). Seluruh komponen total diasumsikan 100% secara teoritis, sehingga perhitungan dapat dilakukan dengan rumus berikut:

- Total holoselulosa dan lignin hasil penelitian (a)

- Kandungan abu (b)

- Kandungan ekstraktif larut etanol-toluena (c)

- Total holoselulosa dan lignin teoritis (d) = 100% - (b + c)

- Holoselulosa terkoreksi (e) = Kadar holoselulosa = d/a x kadar holoselulosa hasil penelitian

- Lignin terkoreksi (f) =

Kadar lignin = d/a x lignin hasil penelitian - Total terkoreksi (b + c + e + f)

Dalam penyajiannya, bagian kayu gubal dan kayu teras dirata-rata untuk setiap spesiesnya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian sifat kimia pada tiga jenis kayu meranti merah disajikan dalam Tabel 1, Tabel 2, dan Gambar 1 sampai dengan Gambar 3 berikut :

A. Kadar Ekstraktif

Hasil pengukuran kadar ekstraktif pada tiga spesies meranti merah disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kadar ekstraktif (% ) pada Kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophyllapada arah aksial dan radial.

Table 1. Extractive contents (%) of Shorea retusa, Shorea macroptera, and Shorea

macrophyllawoods in theaxial and radial direction.

Aksial (Axial) Radial (Radial) Spesies (Species) KEET (ETS) KEAD (CWS) KEAP (HWS) Pangkal (Bottom) Gubal (Sapwood) Shorea retusa 2,80 1,58 4,17 Shorea macroptera 5,55 5,92 7,89 Shorea macrophylla 1,81 1,70 1,84 Teras luar (Outer heartwood) Shorea retusa 5,87 2,47 3,28 Shorea macroptera 11,37 4,96 6,21 Shorea macrophylla 2,35 1,52 2,37 Teras dalam (Inner heartwood) Shorea retusa 4,69 1,37 1,68 Shorea macroptera 10,62 3,37 4,28 Shorea macrophylla 4,27 2,09 2,34 Ujung (Top) Gubal (Sapwood) Shorea retusa 2,86 2,08 3,38 Shorea macroptera 7,21 4,49 7,91 Shorea macrophylla 2,15 2,19 2,69 Teras luar (Outer heartwood) Shorea retusa 16,09 6,91 8,14 Shorea macroptera 15,84 4,34 5,94 Shorea macrophylla 2,58 1,50 2,14 Teras dalam (Inner heartwood) Shorea retusa 11,45 2,48 4,10 Shorea macroptera 12,29 2,01 4,37 Shorea macrophylla 1,47 1,66 1,55 Sumber: diolah dari data primer

Keterangan (Remarks):

- KEET : Kadar Ekstraktif terlarut dalam Etanol-Toluena / ETS : Ethanol Toluene Soluble Extractive Content

- KEAD : Kadar Ekstraktif terlarut dalam Air Dingin / CWS : Cold Water Soluble Extractive Content

(4)

Kadar ekstraktif dalam penelitian ini

diperoleh dengan pengujian kadar ekstraktif

terlarut dalam etanol-toluena (KEET), kadar ekstraktif terlarut dalam air dingin (KEAD), serta kadar ekstraktif terlarut dalam air panas (KEAP). Secara umum kadar ekstraktif rata-rata dari yang tertinggi ke yang terendah secara berurutan adalah ST, SR, dan SP. Hasil penelitian menunjukkan, pada variasi arah radial kadar ekstraktif yang didapat sesuai dengan sifat kayu pada umumnya, dimana kadar ekstraktif kayu teras lebih tinggi dibanding kayu gubal, dan teras luar merupakan yang tertinggi.

Pada variasi arah aksial, dalam KEAP dan KEET nilainya meningkat dari bagian pangkal ke ujung. Hal ini menunjukkan komponen ekstraktif polar seperti gula-gula maupun komponen nonpolar lebih intensif terbentuk di bagian ujung. Khususnya pada KEAP, karena secara fisiologi bagian ujung dibentuk lebih akhir sehingga lebih memerlukan cadangan makanan seperti komponen gula. Beberapa komponen di bagian ujung yang terlarut oleh KEAP diduga juga merupakan pati. Sedangkan kecenderungan pada KEAD berbeda pada setiap spesies, dimana pada SR nilainya meningkat dari bagian pangkal ke ujung, sedangkan pada ST dan SP nilainya mengalami penurunan. B. Komponen Kimia Dinding Sel

Hasil pengukuran mengenai karbohidrat, lignin, dan kelarutan dalam NaOH 1% pada tiga spesies meranti merah disajikan dalam Tabel 2 berikut.

1. Karbohidrat

Fraksi karbohidrat dalam penelitian penelitian ini diamati dengan kadar holoselulosa dan kadar alfa-selulosa. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata kadar holoselulosa dari yang tertinggi ke yang terendah secara berurutan adalah SP (68,96 - 75,16%), ST (64,36 - 71,09%), dan SR (63,16 - 71,22%). Pada alfa-selulosa, berdasarkan hasil perhitungan maka rata-rata kadar alfa-selulosa dari yang paling tinggi ke yang paling rendah

secara berurutan adalah SR (41,00 - 48,33%), SP (41,31 - 48,29%), dan ST (39,70 - 45,61%).

Pada variasi radial baik pada holoselulosa maupun alfa-selulosa berbeda-beda pada tiap spesies. Pada variasi arah aksial, didapati adanya kesamaan pada semua spesies, dimana kadar holoselulosa mempunyai kecenderungan meningkat dari bagian pangkal ke ujung. Sebaliknya pada kadar alfa-selulosa, nilainya memiliki kecenderungan menurun dari bagian pangkal ke ujung pada semua spesies. Kadar alfa-selulosa memiliki kecenderungan menurun dari bagian pangkal ke ujung diduga karena bagian ujung merupakan bagian kayu yang baru terbentuk sehingga lebih banyak dibentuk gula non-selulosa dengan berat molekul rendah.

Selisih antara kadar holoselulosa dengan alfa-selulosa diatas merupakan komponen gula lain yang disebut hemiselulosa. Pada penelitian ini memang tidak dilakukan pengujian tentang kadar hemiselulosa, namun secara matematis dapat dihitung dengan perbandingan antara selisih kadar holoselulosa dengan alfa-selulosa. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa kadar hemiselulosa dari yang paling tinggi ke yang paling rendah secara berurutan adalah SP (24,19 – 29,29%), ST (20,78 – 30,45%), dan SR (19,32 – 27,32%).

2. Lignin

Komponen kimia penyusun dinding sel lainnya adalah lignin. Hasil pengamatan kadar lignin disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil perhitungan maka rata-rata kadar lignin dari yang paling tinggi ke yang paling rendah secara berurutan adalah SR (26,75 - 35,95%), ST (24,35 - 34,29%), dan SP (27,38 - 31,40%). Hasil ini sesuai dengan kadar holoselulosa diatas, secara teori jika kadar holoselulosa tinggi maka kadar ligninnya rendah, demikian sebaliknya.Jadi, berat holoselulosa ditambah lignin sama dengan berat kayu bebas ekstraktif (Fengel dan Wegener, 1995).

Variasi kandungan lignin arah radial berbeda pada setiap spesies. Pada SR dan ST ada kesamaan dimana kadar lignin selalu menurun dari teras sampai ke gubal.

(5)

Sifat Kimia Dari Kayu Shorea… (Rohmatus Rizqy Kisna Yunanta, Ganis Lukmandaru dan Andrian Fernandes)

Tabel 2. Komponen kimia dinding sel (%) pada kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial.

Table 2.Chemical properties in the cell wall (%) of Shorea retusa, Shorea macroptera, and Shorea

macrophylla woods in axial and radial direction.

Sumber: diolah dari data primer

Keterangan (Remarks):

- KEET : Kadar Ekstraktif terlarut dalam Etanol-Toluena / ETS : Ethanol Toluene Soluble Extractive Content

- KEAD : Kadar Ekstraktif terlarut dalam Air Dingin / CWS : Cold Water Soluble Extractive Content

- KEAP : Kadar Ekstraktif terlarut dalam Air Panas / HWS : Hot Water Soluble Extractive Content

Sedangkan pada SP menurun dari teras dalam ke teras luar, kemudian meningkat lagi ke gubal. Pada variasi arah aksial ada kecenderungan yang sama dengan variasi pada arah radial diatas, dan ada kesamaan antara SR dan ST.Kadar lignin pada SR dan ST cenderung meningkat dari bagian ujung. Sedangkan pada SP terjadi sebaliknya dimana nilainya menurun dari bagian pangkal ke ujung. Secara keseluruhan hasil dari penelitian ini sesuai dengan kecenderungan dalam teori, dimana nilai yang didapatkan menunjukkan hubungan yang sesuai antara kadar holoselulosa dengan kadar lignin sesuai dengan letaknya pada pohon.

C. Kelarutan dalam NaOH 1%

Nilai kelarutan dalam NaOH 1% disajikan pada Tabel 2. Pada penentuan kelarutan dalam

NaOH 1%, bahan-bahan yang terlarut diduga adalah komponen gula rantai pendek seperti komponen dari hemiselulosa atau gula dari ekstraktif. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata kelarutan dalam NaOH 1% dari yang tertinggi ke yang terendah secara berurutan adalah ST (29,18 - 33,55%), SR (23,70 - 39,56%), dan SP (19,33 - 27,33%). Pada variasi arah radial berbeda pada setiap spesies. Pada SR nilainya mengalami kenaikan dari teras dalam ke teras luar kemudian menurun ke gubal. Untuk ST nilainya menurun dari teras dalam ke teras luar kemudian meningkat dari teras luar ke gubal. Kemudian untuk SP nilainya selalu meningkat dari teras dalam sampai ke gubal. Pada variasi arah aksial juga berbeda pada setiap spesies,dimana pada SR dan ST nilainya meningkat dari bagian pangkal

Aksial (Axial) Radial (Radial) Spesies (Species) Holoselulosaa (Holocellulose) Alfaselulosaa (Alpha-cellulose) Hemiselulosaa (Hemicellulose) Lignina (Lignin) NaOH 1%b NaOH 1% (content) Pangkal (Bottom) Gubal (Sapwood) SR 69,92 48,33 21,59 26,75 23,70 ST 71,05 43,60 27,45 24,35 29,18 SP 73,14 43,86 29,29 28,51 27,33 Teras luar (Outer heartwood) SR 71,22 46,44 24,79 30,20 27,50 ST 66,39 45,61 20,78 29,30 29,22 SP 69,66 45,47 24,19 27,87 25,72 Teras dalam (Inner heartwood) SR 69,54 47,96 21,58 29,20 25,17 ST 71,09 44,46 26,65 29,75 32,64 SP 72,90 47,86 25,04 31,40 24,36 Ujung (Top) Gubal (Sapwood) SR 64,55 45,23 19,32 31,35 27,39 ST 70,15 39,70 30,45 31,01 33,55 SP 68,96 41,31 27,64 28,07 21,74 Teras luar (Outer heartwood) SR 68,32 41,00 27,32 34,95 39,56 ST 64,36 41,27 23,09 31,43 32,71 SP 69,76 44,23 25,54 27,38 19,33 Teras dalam (Inner heartwood) SR 63,16 42,29 20,87 35,95 37,35 ST 75,16 43,16 27,64 34,29 33,78 SP 75,16 48,29 26,87 28,05 20,13

(6)

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 Teras Dalam

Teras Luar Gubal

K ad ar ab u (% ) 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 Teras Dalam Teras Luar Gubal K ad ar ab u (% ) Shorea retusa Shorea macroptera Shorea macrophylla ke bagian ujung, sebaliknya pada SP nilainya menurun dari bagian pangkal ke bagian ujung.

Didapatkan hubungan yang sesuai antara kelarutan dalam NaOH 1% jika dihubungkan dengan kadar hemiselulosa. Seperti yang diketahui, bahan-bahan yang terlarut dalam NaOH 1% diduga merupakan gula rantai pendek yang berasal dari hemiselulosa dan gula dari ekstraktif.

Berdasarkan hasil perhitungan selisih antara holoselulosa dan alfa-selulosa, kadar hemiselulosa pada SR, ST, dan SP secara berurutan adalah 22,58%, 26,01%, dan 26,43%. Hal ini sesuai dengan hasil diatas, dimana ST mempunyai kelarutan dalam NaOH 1% tertinggi menunjukkan kisaran kadar hemiselulosanya, kemudian diikuti oleh SP, dan SR.

D. Kadar Abu

(a) (b)

Sumber: diolah dari data primer

Gambar 1. Kadar abu bagian pangkal (a) dan ujung (b) dari Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial.

Figure 1. Ash content in the bottom (a) and top (b) parts of Shorea retusa, Shorea macroptera, and Shorea macrophylla in axial and radial direction.

Nilai kadar abu pada bagian pangkal dan ujung disajikan pada Gambar 1. Kadar abu menunjukkan kandungan bahan-bahan anorganik yang terdapat dalam kayu. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata kadar abu dari yang tertinggi ke yang terendah secara berurutan adalah SP (0,39% - 1,40%), ST (0,02% - 0,75%), dan SR (0,02% - 0,33%). Terlihat perbedaan yang tinggi antara kadar abu SP dibandingkan dengan SR dan ST, dimana kadar abu SP nilainya ada yang mencapai lebih dari 1% sedangkan pada SR dan ST nilainya tidak lebih dari 1%.

Variasi dalam arah radial kadar abu pada 3 spesies tersebut mempunyai kecenderungan meningkat dari kayu teras ke kayu gubal. Hal ini diduga karena kayu gubal merupakan bagian

kayu yang masih hidup yang masih melakukan aktivitas fisiologis sehingga terdapat bahan-bahan anorganik dari tanah yang mengendap dalam dinding sel kayu gubal. Kemudian pada variasi arah aksial berbeda-beda pada setiap spesies. Pada SR kadar abu meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung, sedangkan sebaliknya pada ST dan SP kadar abu menurun dari bagian pangkal ke bagian ujung.

Kadar abu pada SP berbeda relatif besar dibandingkan dengan SR dan ST diduga karena perbedaan tempat tumbuh, dimana SP berasal dari lokasi yang berbeda dari SR dan ST. Kadar abu diduga sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah tempat tumbuh yang memungkinkan pohon menyerap bahan-bahan anorganik dari tanah dalam kondisi yang berbeda.

(7)

Sifat Kimia Dari Kayu Shorea… (Rohmatus Rizqy Kisna Yunanta, Ganis Lukmandaru dan Andrian Fernandes)

3 4 5 6 7 8 9 Teras Dalam

Teras Luar Gubal

N ilai p H 3 4 5 6 7 8 9 Teras Dalam Teras Luar Gubal N ilai p H Shorea retusa Shorea macroptera Shorea macrophylla E. Nilai pH (a) (b)

Sumber: diolah dari data primer

Gambar 2. Nilai pH bagian pangkal (a) dan ujung (b) dari Kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial.

Figure 2. The pH content value in bottom (a) and top (b) parts of Shorea retusa, Shorea macroptera, and Shorea macrophyllawoods in the axial and radial direction.

Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH dari yang tertinggi ke terendah secara berurutan adalah SR ( 7,16 – 8,39), SP (6,40 – 7,48), dan ST (4,59 – 7,12). Nilai pH dalam penelitian ini menunjukkan nilai asam lemah hingga basa lemah pada semua spesies. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fengel dan Wegener (1995) yang menyatakan harga pH kayu dari daerah sedang ada dalam kisaran asam lemah hingga sedang (3,3 – 6,4), pH untuk kayu tropika ada dalam kisaran asam lemah hingga basa lemah (3,7 – 8,2).

Pada variasi arah radial, nilai pH dari semua spesies mempunyai kecenderungan menurun. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kayu gubal lebih asam dibandingkan kayu teras. Hasil ini berlawanan dengan asumsi bahwa kayu teras lebih asam dibanding kayu gubal karena kandungan fenolat dari ekstraktif. Secara teoritis, keasaman berasal dari gugus asetil dari ekstraktif baik itu terlarut dalam etanol-toluena, air dingin, air panas, maupun NaOH 1%. Kemudian jika dibandingkan dengan kadar abu hasil ini juga bertolak belakang, dimana kadar abu tertinggi pada kayu gubal. Abu merupakan bahan anorganik kayu yang didominasi oleh Ca, Mg, dan K yang

bersifat basa (Fengel dan Wegener, 1995), sehingga apabila dihubungkan dengan kadar abu maka seharusnya kayu gubal lebih bersifat basa. Maka dari itu pada penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan pengamatan yang lebih intens mengenai faktor mana yang berkontribusi mempengaruhi nilai pH dalam kayu meranti merah. Pada variasi arah aksialnya, nilai pH memiliki kecenderungan menurun dari bagian pangkal ke bagian ujung dari semua spesies.

F. Variasi Dalam Pohon

Jika dibandingkan dengan penelitian kayu meranti merah lainnya, maka kadar ekstraktif, kadar lignin, dan kadar abu dalam penelitian ini termasuk dalam kisaran hasil dari penelitian Kawamura, dkk (2011), penelitian Martawijaya (1989), Departemen Kehutanan (1991), Rafiqul dan Sakinah (2011), dan Rowell (1984). Tetapi pada parameter lainnya nilainya cukup bervariasi dibandingkan dengan penelitian-penelitian pada meranti merah di atas.

Pada variasi arah radial, kadar ekstraktif cenderung serupa dengan penelitian pada kayu Larch (Windeisen, 2002) dan kayu jati (Lukmandaru, 2011) dimana kadar ekstraktif

(8)

pada kayu teras lebih tinggi dibanding dengan kayu gubal. Kemudian pada fraksi karbohidrat, Usta dan Kara (1997) yang melakukan penelitian pada kayu Cedrus libani mengamati kadar holoselulosa pada kayu gubal lebih tinggi dibandingkan kayu teras, maka hasil ini sejalan pada SR, namun tidak pada SP dan ST. Sebaliknya pada kadar alfa-selulosa, dimana pada kayu teras lebih tinggi dibandingkan kayu gubal.

Pada kadar lignin, kecenderungan data serupa dengan penelitian pada kayu Pinus radiata (Harwood, 1971) dimana lignin memiliki kecenderungan menurun dari kayu dalam (kayu teras) ke kayu luar (kayu gubal).Kecenderungan sebaliknya diperoleh dari kayu jati di Panama (Windeisen, 2003) dan kayu Populus spp. (Sykes, dkk, 2003). Pada kelarutan dalam NaOH 1%,kecenderungan data pada ST dan SP serupa dengan penelitian Usta dan Kara (1997) dimana kelarutan dalam NaOH 1% memiliki kecenderungan meningkat dari kayu teras ke kayu gubal. Kemudian pada kadar abu, kecenderungan data serupa dengan

penelitian Usta dan Kara (1997) dan pada kayu Robinia pseudoacacia (Adamopoulos, dkk, 2005) dimana kadar abu meningkat dari kayu teras ke kayu gubal. Nilai pH yang cukup tinggi di kayu gubal dari penelitian ini berlawanan dengan penelitian Adamopoulos, dkk (2005) dan Windeisen, dkk (2003).

Pada variasi aksial, kadar ekstraktif pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adamopoulos, dkk (2005) dan Lukmandaru (2011) dimana kadar ekstraktif cenderung meningkat dari bagian pangkal ke ujung.Pada kadar lignin, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Adamopoulos, dkk (2005). Kemudian pada kadar abu dan nilai pH, masing-masing memiliki kecenderungan data serupa dengan kayu Antocephalus macrophylus Roxb (Cahyono, dkk, 2005) dan Adamopoulos, dkk (2005), dimana kadar abu cenderung menurun dari bagian pangkal ke ujung dan nilai pH cenderung menurun dari bagian pangkal ke ujung.

G. Analisis Sumatif

Sumber: diolah dari data primer

Gambar 3. Analisis sumatif nilai rata-rata komponen kimia keseluruhan pada tiga spesies (%). Figure 3. Summative analysis of all average values of total chemical components in three species

(%). 0 20 40 60 80 100 120 Pa n g ka l U ju n g Pa n g ka l U ju n g Pa n g ka l U ju n g

Shorea retusa Shorea

macroptera Shorea macrophylla K o m p o n e n ki m ia ke sel u ru h an (% ) Abu Ekstraktif Etanol-Toluena Lignin Holoselulosa

(9)

Sifat Kimia Dari Kayu Shorea… (Rohmatus Rizqy Kisna Yunanta, Ganis Lukmandaru dan Andrian Fernandes)

Pada analisis komponen kimia keseluruhan, dapat dilihat pada SR bagian ujung dan ST bagian ujung memiliki komponen kimia dinding sel yang lebih rendah (88,06 - 89,70%) dibanding yang lainnya karena kadar ekstraktif yang relatif lebih tinggi. Pada SP komponen kimia dinding sel merupakan yang tertinggi, hal ini disebabkan karena kadar ekstraktif SP jauh lebih rendah dibandingkan spesies lainnya. Pada SP juga terlihat kadar abu paling tinggi dibandingkan spesies lainnya. Pada SR dan ST terlihat adanya perbedaan yang relatif besar antara bagian pangkal dengan bagian ujung, sedangkan pada SP nilainya hanya dalam selisih kecil. Dari hasil penelitian ini, dapat dinyatakan bahwa kayu SP sesuai digunakan untuk bahan baku pulp dan kertas sesuai dengan sifat kimianya diatas. SP memiliki kandungan selulosa yang tinggi dan relatif lebih tinggi dibandingkan kayu meranti merah lainnya, serta memiliki kadar ekstraktif yang rendah. SP juga akan sesuai jika digunakan sebagai bahan baku kayu lapis. Demikian pula pada kayu SR, akan sesuai digunakan sebagai bahan baku kayu lapis sesuai dengan sifat kimianya diatas seperti kadar abu yang rendah dan ekstraktif yang cukup tinggi. Selain itu, SR juga mempunyai kenampakan yang paling indah jika dibandingkan dengan ST dan SP. Sedangkan ST akan sesuai digunakan sebagai bahan baku mebel sebab memiliki kandungan ekstraktif terlarut dalam etanol-toluena yang tinggi diasumsikan dapat membuat sifat keawetannya lebih baik.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah kadar ekstraktif terlarut dalam etanol-toluena, air dingin, dan air panas pada SR secara berturut-turut adalah 2,80 - 16,09%, 1,37 - 6,91%, 1,68 - 8,14% ; pada ST secara berturut-turut adalah 5,55 - 15,84%, 2,01 - 5,92%, 4,28 - 7,91% ; dan pada SP secara berturut-turut adalah 1,47 - 4,27%, 1,50 - 2,19%, 1,55 - 2,69%.

Kadar holoselulosa dan alfa-selulosa pada SR secara berturut-turut adalah 63,16 - 71,22%, 41,00 - 48,33% ; pada ST secara berturut-turut adalah 64,36 - 71,09%, 39,70 - 45,61% ; dan pada SP secara berturut-turut adalah 68,96 - 75,16%, 41,31 - 48,29%.

Kadar lignin pada SR adalah 26,75 - 35,95%, pada ST adalah 24,35 - 34,29%, dan pada SP adalah 27,38 - 31,40%.

Kelarutan dalam NaOH 1%, kadar abu, dan nilai pH pada SR secara berturut-turut adalah 23,70 - 39,56%, 0,02 - 0,33%, 7,16 – 8,39 ; pada ST secara berturut-turut adalah 29,18 - 33,78%, 0,02 - 0,75%, 4,59 – 7,12 ; dan pada SP secara berturut-turut adalah, 19,33 - 27,33%, 0,39 - 1,40%, 6,40 – 7,48.

Kadar alfa-selulosa, kadar abu, dan nilai pH cenderung meningkat dalam variasi arah radial dari kayu teras ke kayu gubal. Sedangkan kadar ekstraktif terlarut dalam etanol-toluena, air dingin, dan air panas, kadar holoselulosa, kadar lignin, dan kelarutan dalam NaOH 1% cenderung menurun dari kayu teras ke kayu gubal.

Variasi arah aksial dari bagian pangkal ke ujung memiliki kecenderungan meningkat pada kadar ekstraktif terlarut dalam etanol-toluena, kadar ekstraktif terlarut dalam air panas, kadar holoselulosa, kadar lignin, dan kelarutan dalam NaOH 1%. Sedangkan kecenderungan menurun didapati pada kadar ekstraktif terlarut dalam air dingin, kadar alfa-selulosa, kadar abu, dan nilai pH.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar diperoleh informasi yang lebih terperinci mengenai sifat kimia kayu S. retusa, S. macroptera, dan S. macrophylla.

Perlu dilakukan penelitian pada nilai pH untuk mengetahui faktor yang berkontribusi mempengaruhi nilai pH pada S. retusa, S. macroptera, dan S. macrophylla.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

American Society for Testing and Materials (ASTM). 2002. Standar Methods of Testing Small Clear Speciments of Timber Designation D.

Adamopoulos, S., Voulgaridis, E., dan Passialis, C. 2005.

Variation of Certain Chemical Properties Within the Stemwood of Black Locust (Robinia pseudoacacia L.). Holz als roh-und Werkstoff Vol. 63: hal. 327-333.

Bao, F. C., Jiang, Z. H., Jiang, X. M., Lu, X. X., Luo, X. Q., dan Zhang, S. Y. 2001. Differences of Wood Properties Between Juvenile Wood and Mature Wood in 10 Species Grown in China. Wood Science and Technology Vol. 35. Hal.363-375.

Browning, B.L. 1967. Methods of Wood Chemistry Volume I. Interscience Publisher, A Division Of John Wiley and Sons, Inc. New York.

Cahyono, T. D., Ohorella, S., dan Febrianto, F. 2012. Beberapa Sifat Kimia dan Keawetan Alami Kayu Samama (Antocephalus macrophylus Roxb.) terhadap Rayap Tanah. Jurnal Imu dan Teknologi Kayu Tropis. Vol. 10 No. 2. Hal.168-178.

Departemen Kehutanan. 1991. Vademikum Dipterocarpaceae. Hal. 42-45.

Fajri, M. 2008. Perlunya Pengembangan HTI Jenis Meranti (Shorea spp.) di Kalimantan Timur. Info Teknis Dipterokarpa Vol. 2 No. 1. Hal.31-38. Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. KAYU: Kimia,

Ultrastuktur, Reaksi-reaksi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hardiansyah, G. 2012. Analisis Pertumbuhan Tanaman Meranti pada Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Vokasi Vol. 8 No. 3. Hal.165-171.

Harwood, D. V. 1971. Variation in Carbohydrate Analyses in Relation to Wood Age in Pinus radiata.

Holzforschung Vol. 25 No. 3. Hal.73-77.

Haygreen, J. G. dan J. L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. (terjemahan) Diterjemahkan oleh SA. Hadikusumo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kawamura, F., Fatimah, S., Ramle, M., Sulaiman, O., Hashim R., dan Ohara S. 2011. Antioxidant and Antifungal Activities of Exstracts of 15 Selected Hardwood Species of Malaysian Timber. Eur. J. Wood Prood. Vol. 69. Hal.207-212.

Kessler, P. J. A dan Sidiyasa, K. 1999. Pohon-pohon Hutan Kalimantan Timur. Pedoman Mengenal 280

Jenis Pohon Pilihan di Daerah Balikpapan-Samarinda. Tropenbos. Kalimantan.

Lukmandaru G. 2011. Variability in the natural termite resistance of plantation teak wood and its relation with wood extractive content and color properties.

Journal of Forestry Research Vol. 8 No. 1. Hal.17-31.

Martawijaya, A., I. Kartasujana., K. Kadir., dan S.A. Prawira. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan. CV. Miranti. Bogor.

Nakagawa, M., dan Nakashizuka, T. 2004. Relationships Between Physical and Chemical Characteristics of Dipterokarp Seeds. Seed Science Research Vol. 14. Hal. 363-369.

Panshin, A.J., dan Zeeuw, C. d. 1980. Textbook of Wood Technology Volume I. Mc Grow Hill Book Company. New York.

Rafiqul, I. S. M. dan Sakinah A. M. M. 2011. Kinetic Studies on Acid Hydrolysis of Meranti Wood Sawdust for Xylose Production. Chemical Engineering Science. Hal.431-437.

Rowell, R. 1984. The Chemistry of Solid Wood. American Chemical Society. Washington DC. Sjostrom, E. 1995 Kimia Kayu Dasar-Dasar dan

Penggunaan Edisi Kedua. Gadjah Mada Univeristy Press. Yogyakarta.

Sykes, R., Kodrzycki, B., Tuskan, G., Foutz, K., dan Davis, M. 2008. Within tree Variability of Lignin Composition in Populus. Wood Sci Technol Vol. 45. Hal.649-661.

Technical Association for the Pulp and Paper Industries. 1993. Acid-insoluble in wood and pulp. TAPPI Test Method T 222 os-78.

Usta, M., dan Kara, Z. 1997. The Chemical Composition of Wood and Bark of Cedrus libani A. Rich. Holz als Roh-und Werkstoff. Vol. 55. Hal.268.

Utama, P. 2011. Review on Trade Data Collection Monitoring and Trade Control. ITTO-CITES Activity (May 2010-April 2011). Jakarta.

Windeisen, E., dan Wegener, G. 2002. Investigation of The Correlation Between Extractives Content and Natural Durability in 20 Cultivated Larch Trees.

Holz as Roh- und Werkstoff. Vol. 60. Hal.373-374. Windeisen, E., Klassen, A., dan Wegener, G. 2003. On

the Chemical Characterisation of Plantation Teakwood from Panama. Holz as Roh- und Werkstoff. Vol. 61. Hal.416-418.

Gambar

Tabel  1.  Kadar  ekstraktif  (%  )  pada  Kayu  Shorea  retusa,  Shorea  macroptera,  dan  Shorea  macrophyllapada arah aksial dan radial
Tabel 2.  Komponen  kimia  dinding  sel  (%)  pada  kayu  Shorea  retusa,  Shorea  macroptera,  dan  Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial
Gambar 1.  Kadar  abu  bagian    pangkal  (a)  dan    ujung  (b)  dari  Shorea  retusa,  Shorea  macroptera,  dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial
Gambar 2.  Nilai  pH  bagian    pangkal  (a)  dan    ujung  (b)  dari  Kayu  Shorea  retusa,  Shorea  macroptera, dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi angka prevalensi kejadian penyakit kusta dengan metode regresi data panel agar

Oleh karena itu perlu dilakukan suatu upaya untuk mempertahankan kesegaran dan umur simpan buah potong melon yaitu dengan memanfaatkan teknologi pengemasan edible

Berdasarkan hasil pengujuian, maka dapat diambil kesimpulan yakni: Sistem informasi seleksi calon karyawan yang dirancang memiliki fitur untuk melakukan pencatatan data jabatan,

Perubahan muka air tanah akibat curah hujan dihitung menggunakan persamaan empiris, dan respon gaya beratnya dihitung menggunakan pendekatan koreksi slab Bouguer tak

melalui rekening Bendahara melalui rekening Bendahara Penerimaan KPKNL, PL Kelas I, Penerimaan KPKNL, PL Kelas I, Balai Lelang, atau PL Kelas II Balai Lelang, atau PL Kelas II

fotokegiatannya di upload di facebook perpustakaan.” I3 : “ Semua tentang perpustakaan yang dimuat di media sosial.”.. Berdasarkan pernyataan dari informan diatas bahwa

yang digunakan pilihan mandatory 2 Propinsi Bank Pilih lokasi bank pilihan Mandatory 3 Bank Pilih bank pilihan Mandatory 4 Nomor rekening Input no rekening ketik Mandatory 5

bergulir adalah : kandang hunian ternak tidak layak, budidaya sapi dimana sapi sulit berkembang biak, kurangnya ketersediaan pakan hijau, kekurangan modal untuk pengembangan