• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

10101010

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. State of The Art Review

Penelitian tentang sistem digitalisasi banyak dilakukan dengan berbagai metode yang ada. Tetapi dari penelitian-penelitian tersebut, belum ada yang melakukan penelitian yang menuliskan tentang digitalisasi data kepegawaian pada BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Kota Denpasar. Dengan digitalisasi banyak kemudahan yang diperoleh nantinya. Kemudahan dengan sistem digitalisasi akan berpengaruh terhadap terjaminnya keamanaan dan autentikasi data yang harus dikendalikan dan dilindungi penggunaannya.

Digital Watermarking yang dikenal sebagai salah satu solusi untuk

melindungi media digital. Dengan penyisipan watermark dapat dipergunakan

untuk autentikasi, perlindungan hak cipta, pemantauan data dan bukti kepemilikan intelektual. Beberapa referensi yang bisa dijadikan acuan untuk menjelaskan tentang penelitian tentang digital watermarking tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Daniel Setiadikarunia dan Yohanes Danandy pada November 2008 dengan judul teknik Adaptive Watermarking pada domain spasial untuk penyisipan label pada Citra

Digital. Hasil uji coba yang telah dilakukan dari penelitian tersebut diperoleh bahwa teknik adaptive watermarking dapat menyisipkan

citra biner sebagai watermark pada citra digital dalam domain spasial

tanpa terlihat oleh mata manusia dan watermark tersebut dapat

diekstrak kembali dengan baik. Selain itu pada penelitiannya disebutkan bahwa dengan teknik adaptive watermarking tetap dapat

(2)

11111111

menjaga tingkat transparansi watermark pada citra digital. Pada

penelitian ini disebutkan bahwa teknik adaptive watermarking juga

handal menghadapi proses-proses pengolahan citra pada umumnya seperti cropping, scaling, rotation, filtering maupun lossy compression

(JPEG). (Danandy dan Setiadikarunia, 2008)

2. Pada penelitian yang dilakukan oleh: Wachid Asari, Suhadi Lili, dan Chastine Fatichah yang dipublikasikan pada Seminar Tugas Akhir Periode Januari 2009 yang Berjudul: Generator Watermark Yang

Unik Berdasarkan Nomor Dokumen. Pada penelitiannya disebutkan bahwa suatu metode watermark pada dokumen digital yang

memanfaatkan persamaan parametrik untuk menghasilkan pola-pola

watermark yang unik berdasarkan nomor dokumen. Persamaan

parametrik yang digunakan berdasarkan pada fungsi-fungsi trigonometri dan konsep dari persamaan kurva Lissajous. Disamping itu, nomor dokumen yang merupakan ciri khas dari suatu dokumen digital akan menjadi nilai parameter pada persamaan yang mempengaruhi pola watermark yang terbentuk. Dari penelitian yang

dilakukan dihasilkan suatu kesimpulan yaitu :

a. Penggunaan konsep dasar kurva Lissajous pada fungsi parametrik

dapat menghasilkan pola gambar yang memenuhi aspek estetika dengan memberlakukan beberapa modifikasi fungsi dan batasan-batasan nilai parameter.

(3)

12121212

b. Pola bentuk dan warna watermark yang diciptakan oleh sistem

tergantung pada nilai-nilai parameter yang dihasilkan oleh string hash yang berasal dari nomor dokumen.

c. Penentuan batasan-batasan nilai parameter untuk pembentukan pola watermark berdasarkan pada hasil uji coba dan penggabungan

beberapa pola dasar, sehingga dapat memenuhi aspek estetika. (Asari dkk., 2009)

3. Pada penelitian yang ditulis oleh Yogie Aditya, Andhika Pratama, Alfian Nurlifa yang dipublikasikan pada Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2010 dengan judul Studi Pustaka Untuk Steganografi dengan Beberapa Metode, penulis menganalisis metode mana yang lebih efektif untuk penyembunyian pesan. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa:

a. Jika dilihat berdasarkan ukuran stego image LSB lebih baik karena tidak mengubah ukuran file yang disisipi, namun untuk kualitas image, LSB banyak mengurangi kualitas image yang semula. b. Untuk kualitas image, EOF lebih baik karena kualitas image tetap

terjaga, namun ukuran file lebih besar dari sebelum disisipi oleh pesan. (Aditya dkk., 2010)

4. Pada sebuah penelitian yang ditulis oleh Erizal dan Roswiani, 2009 dan dipublikasikan pada Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009Yogyakarta, 20 Juni 2009 yang berjudul Pemanfaatan model strategic alignment untuk penentuan layanan unggulan digital government service bidang kesehatan pada pemerintah daerah Provinsi

(4)

13131313

DIY. Tujuan dikembangkannya DGS Bidang Kesehatan adalah memudahkan dalam mengkoordinasikan kegiatan dan mengelola jaringan kerja yang berkaitan dengan pelaksanaan Digital Government Services (DGS) dengan harapan terjadi sinergisitas yang baik dan

mendapatkan panduan pengembangan aplikasi-aplikasi unggulan dalam rangka pengembangan DGS pemerintah Provinsi DIY pada umumnya dan Dinas Kesehatan pada khususnya. Sedangkan sasarannya adalah tersusunnya rancangan teknis layanan unggulan Bidang Kesehatan (Detail Technical Design) dan tersusunnya aplikasi

software layanan unggulan bidang kesehatan yang siap operasional (Erizal dan Roswiani, 2009)

2.2. Digitalisasi Data Pegawai

Digitalisasi adalah proses alih media dari bentuk tercetak, audio, maupun video menjadi bentuk digital. Digitalisasi dilakukan untuk membuat arsip dokumen berbentuk digital. Digitalisasi memerlukan peralatan seperti komputer,

scanner, operator media sumber dan software pendukung.

Digitalisasi data pegawai yaitu proses alih media bentuk cetak data pegawai berupa bentuk fisik menjadi bentuk digital data pegawai. Pengelolaan dokumen elektronik memerlukan teknik khusus yang memiliki perbedaan dengan pengelolaan dokumen tercetak. Proses pengelolaan dokumen elektronik melewati beberapa tahapan. Tahapan tersebut meliputi proses digitalisasi, proses penyimpanan, pengaksesan dan proses pencarian kembali dokumen.

(5)

14141414 2.3. Pengelolaan Dokumen Elektronik

Pengelolaan dokumen elektronik yang baik dan terstruktur harus diperhatikan dalam pembangunan sistem data digital. Tujuan pengolahan dokumen elektronik adalah untuk menghasilkan informasi yang berguna untuk para pemakai pengolahan data elektronik yang menghasilkan informasi yaitu:

1. Relevant, suatu sistem informasi mempunyai kemampuan pemrosesan

terbatas jadi hanya data yang relevan dengan kebutuhan sekarang atau masa depan.

2. Improve thoughput, salah satu ukuran dari sistem konversi data adalah

laju konversinya, kuantitas data yang di konversi sistem selama suatu priode waktu tertentu peningkatan laju konversi meningkatkan kinerja sistem.

3. Efficiency, istilah efisiensi, mengacu pada hasil yang dicapai dengan

kumpulan sumber daya tertentu. Sistem konversi data yang efisien pada umumnya menghasilkan laju konversi yang tinggi dengan biaya yang wajar.

4. Flexibility, sistem konversi data mampu menghadapi perubahan ini

secara lancar, efektif dan mampu melayani berbagai kebutuhan penggunanya.

5. Accuracy and security, untuk menghasilkan data yang dapat

diandalkan, sistem konversi data membutuhkan pengendalian dan pengamanan yang memadai.

(6)

15151515 2.3.1. Proses Digitalisasi Dokumen

Dalam pengembangan teknologi informasi umumnya, dan digitalisasi dokumen khususnya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan diantaranya :

1. Aspek infrastruktur (perangkat keras). 2. Aspek Aplikasi Perangkat lunak. 3. Aspek Content (Informasi).

4. Aspek sumber daya manusia yang meliputi pengetahuan, keterampilan sikap dan budaya kerjanya.

Proses perubahan dari dokumen tercetak (printed document) menjadi

dokumen elektronik sering disebut dengan proses digitalisasi dokumen. Proses digitalisasi yaitu merubah dokumen mentah (jurnal, prosiding, buku, majalah, dan sebagainya) diproses dengan sebuah alat (scanner) untuk menghasilkan dokumen

elektronik. Pemilihan scanner dokumen yang tepat, harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Bentuk dokumen, ada beberapa jenis dokumen yaitu:

a. Bentuk dokumen kertas lembaran lepas atau suatu dokumen yang sudah dijilid tetapi pada saat discan boleh melepaskan penjilidnya maka dapat digunakan scanner Automatic Document Feeder atau ADF Scanner.

b. Apabila dokumen tersebut dalam satu lembarnya ada dua halaman bolak balik maka dapat dipergunakan scanner ADF duplex dimana

secara otomatis dapat melakukan scanning dua muka sekaligus karena dilengkapi kamera atau lensa ganda (duplex).

(7)

16161616

c. Bentuk dokumen yang sudah dijilid dan tidak boleh dilepaskan maka dapat memilih scanner berjenis Flatbed.

d. Bentuk dokumen yang berjilid tebal terkadang gambar yang dihasilkan tidak sempurna karena munculnya lengkungan pada area jilid kertas yang sering disebut sebagai efek butterfly. Untuk

mengatasi efek butterfly, maka dapat memilih jenis Flatbed Bookedge dimana peletakan lensa scanner dapat menjangkau tepi

dokumen tebal secara maksimal atau Bookscanner.

e. Bentuk dokumen kertas lepas dan dokumen jilid dapat menggunakan scanner combi yaitu scanner ADF yang dilengkapi

dengan Flatbed.

2. Ukuran dokumen

Untuk menentukan papersize dari scanner membutuhkan data ukuran

kertas ukuran minimal dan maximal yang hendak kita scan juga serta ketebalan dan ketipisan kertas yang akan diproses. Ukuran scanner ada

yang automatic document feeder (ADF) adalah A4 atau A3. Apabila

dokumen dengan ukuran campuran A3, A4, Folio maka harus dipilih ukuran scanner A3 dan pastikan memiliki fitur autosize detection/autopage size detection.

3. Distribusi Pengguna

Penggunaan scanner dapat dilakukan dengan sistem scanning tersentralisasi dimana satu buah scanner dapat digunakan secara bersamaan oleh beberapa orang di organisasi. Untuk kebutuhan tersebut dapat menggunakan Network scanner atau dapat juga

(8)

17171717

menggunakan scanner biasa (stand alone) yang dihubungkan pada network adapter scanner.

4. Bentuk akhir digitalisasi

Untuk kebutuhan dokumentasi digital dan form processing resolusi

yang dibutuhkan biasanya 300 dpi , beberapa scanner dokumen ada resolusi hingga 600 dpi bahkan 1200 dpi. Beberapa scanner dilengkapi software untuk meningkatkan kualitas gambar. Scanner dapat

melakukan manipulasi image ke bentuk yang lebih optimal untuk

diproses lebih lanjut, seperti: fitur menghilangkan lubang pada binder (punch hole removal) dan penajaman text pada gambar (OCR mode).

5. Kecepatan penyelesaian digitalisasi

Kecepatan penyelesaian suatu pekerjaan digitalisasi , tergantung kecepatan scanning. Untuk scanner ADF (Automatic Document Feeder) diukur dengan menggunakan ukuran ppm (page per minute)

atau lembar per menit pada kondisi simplex. Untuk ukuran duplex

digunakan image per minute. Untuk scanner 25 ppm (25 lembar/menit)

untuk duplex biasanya memiliki 50 ipm 50 muka (25 x 2 sisi kertas) /

menit.

2.3.2 Proses Penyimpanan

Penyimpanan berbagai dokumen dalam volume yang sangat besar, dapat dikerjakan menjadi lebih ekonomis sejak penemuan teknologi penyimpanan digital. Media penyimpanan data yang umum digunakan pada kegiatan digitalisasi informasi adalah media magnetik, media optik, magneto optical (MO), dan digital linear tape (DLT). Ada berbagai media penyimpanan dokumen digital yaitu:

(9)

18181818 1. Media Magnetik

Jenis media magnetik yang umum digunakan dalam penyimpanan data adalah disket floppy dan hard disk. Kedua jenis media magnetik ini

telah mengalami berbagai perkembangan terutama dalam ukuran dan kapasitas simpannya.

a. Disket Floppy

Disket floppy merupakan media penyimpan data yang paling

banyak dipakai pada mikrokomputer. Menurut ukurannya, disket

floppy terdiri atas disket yang berukuran 5,25 dan 3,5 inci.

b. Hard Disk.

Hard disk adalah jenis disk yang bersifat tetap, tidak perlu

dikeluar-masukkan sebagaimana disket floppy.

2. Media Optik

Penyimpanan data atau dokumen dengan menggunakan media optik (optical storage) pada prinsipnya adalah memanfaatkan suatu sinar

laser berkekuatan tinggi untuk menuliskan data pada disk atau tape,

dengan membakar lobang-lobang microscopic , yang dinamai pits pada

permukaannya. a. CD-ROM

Dewasa ini compact disk (CD) banyak dipakai untuk media

penyimpanan data. CD yang dipakai untuk menyimpan data yang sifatnya read only atau hanya dapat dibaca, namanya dikenal

(10)

19191919 b. WORM

Teknologi penyimpanan WORM (Write Once Read Many) mirip

dengan teknologi CD-ROM. WORM menawarkan atau memberikan hanya sekali penulisan data (write once), sedangkan

data yang tersimpan bisa dibaca atau ditemukan kembali berkali-kali (read many).

3. Magneto Optical

Magneto optical adalah media penyimpanan yang sifatnya rewritable

atau kadang-kadang disebut erasable. Rewritable adalah bentuk

terbaru dalam penyimpanan optik. Penyimpanan optik yang rewritable

mempunyai kemampuan membaca dan menulis yang sama dengan media magnetik, dengan kemampuan tambahan atau nilai tambah dalam kapasitas penyimpanan yang sangat besar.

4. Digital Linear Tape (DLT)

Pendekatan lain yang dilakukan untuk penyimpanan data dalam skala besar ialah menggunakan digital linear tape (DLT). Media ini sangat

populer digunakan dalam penyimpanan data di perpustakaan digital. Beberapa keunggulan media ini ialah kapasitas simpannya yang sangat besar, sifatnya yang dinamis, mudah digunakan.

2.3.3. Proses Pencarian Kembali Dokumen Digital

Proses pencarian kembali adalah inti layanan dari sebuah sistem digitalisasi. Semakin mudah dan cepat dalam proses pencarian data digital maka sistem bekerja dengan baik. Inti dari proses ini adalah bagaimana dapat melakukan pencarian kembali terhadap dokumen yang telah disimpan.

(11)

20202020

Diharapkan dari dokumen digital adalah mudah di buka dan ditelusuri isi dan riwayatnya, recod elektronk memungkinkan pembagian informasi (infomasi sharing) yang efektif, serta dapat memberikan kontribusi pada penyebarluasan

informasi. Dokumen digital harus dikelola dengan baik untuk menjamin integrasi, keabsahan, dan keaslianya. Dokumen digital yang berisi transaksi elektronik harus dijaga agar tetap memenuhi syarat dan bobot nilai informasinya serta mengandung unsur autentikasi.

2.4. Kemananan Dokumen Digital

Dokumen digital dapat dipergunakan dan dapat menghasilkan suatu informasi sehingga keamanan informasi dari suatu dokumen digital sangat penting. Keamanan informasi dari dokumen digital adalah proses yang sirkuler yang diawali dengan Prevention (pencegahan), Protection (perlindungan), Detection (Deteksi) dan Response (Respon). Karena keamanan informasi adalah

hal yang sangat krusial (penting), maka keamanan informasi adalah suatu keharusan dari sistem. Mengingat pentingnya sebuah sistem yang aman maka biasanya pengguna sistem mengamankan informasi dari sistem tersebut melalui empat tahapan yaitu :

1. Fisik (physical security), keamanan pada tahapan ini adalah keamanan

fisik yang cenderung ke arah keamanan hardware dari sistem

informasi tersebut.

2. Manusia (personal security), keamanan ini cenderung ke arah siapa

saja yang bisa mengakses informasi tersebut dalam hal ini ada user

previlege di sistem informasi tesebut, dan siapa saja yang memiliki

(12)

21212121

3. Data, media dan teknik, pada tahapan ini menitikberatkan kepada keamaman teknis bagaimana data tersebut disimpan dan media yang digunakan untuk menyimpan data tersebut ke tempat lain.

4. Kebijakan dan Prosedur, pada tahapan ini adalah cenderung kearah pembuatan standar operasional prosedur dari instansi atau perusahaan dalam menggunakan sistem tersebut.

2.5. Perbedaan Steganography dengan Cryptography

Menurut Suhono (2000), Steganography berbeda dengan cryptography,

letak perbedaannya adalah pada hasil keluarannya. Hasil dari cryptography

biasanya berupa data yang berbeda dari bentuk aslinya dan data seolah-olah berantakan sehingga tidak dapat diketahui informasi apa yang terkandung didalamnya (namun sesungguhnya dapat dikembalikan ke bentuk semula lewat proses dekripsi). Sedangkan hasil keluaran dari steganography memiliki bentuk

persepsi yang sama dengan bentuk aslinya. Namun bila digunakan komputer atau perangkat pengolah digital lainnya dapat dengan jelas dibedakan antara sebelum proses dan setelah proses dilakkukan pengolahan suatu data dengan steganografi.

Gambar 2.1 menunjukkan ilustrasi perbedaan antara steganografi dan kriptografi.

Sumber: Suhono (2000),

(13)

22222222

Menurut Bender (1996), Steganografi adalah ilmu pengetahuan dan seni

dalam menyembunyikan komunikasi. Suatu sistem steganografi sedemikian rupa

menyembunyikan suatu data di dalam suatu media yang tidak nampak sehingga tidak menimbulkan suatu kecurigaan kepada orang yang melihatnya. Selain perbedaan tersebut ada perbedaan lain dari steganografi dengan kriptografi. Letak

perbedaannya adalah dari hasil keluarannya. Hasil keluaran dari kriptografi

biasanya berupa data yang berbeda dari bentuk aslinya. Datanya seolah-olah berantakan dan dapat dikembalikan ke bentuk semula. Sedangkan Steganografi ini memiliki bentuk persepsi yang sama dengan bentuk aslinya, tentunya persepsi disini oleh indera manusia. Tetapi tidak oleh komputer atau perangkat pengolah digital lainnya. Gambar 2.2 dibawah ini menunjukkan metode dasar bagaimana cara kerja Steganografi :

Sumber: Bender (1996)

Gambar 2.2 Cara kerja Steganografi secara umum

Keterangan gambar:

FE : Embedding (Penggabungan berkas cover dengan berkas pesan )

FE-1 : Exracting (Pengambilan berkas pesan dari berkas cover)

Cover : Berkas data yang akan disisipkan informasi (carrier)

Key : Kunci yang digunakan Emb : Pesan yang akan disisipkan

(14)

23232323

Kriteria yang harus diperhatikan dalam penyembunyian data adalah:

1. Fidelity yaitu mutu citra penampung tidak jauh berubah setelah

penambahan data rahasia, citra hasil steganografi masih terlihat dengan baik. Pengamat tidak mengetahui di dalam citra tersebut terdapat data rahasia.

2. Robustness yaitu data yang disembunyikan harus tahan terhadap

manipulasi yang dilakukan pada citra penampung (seperti pengubahan kontras, penajaman, pemampatan, rotasi, perbesaran gambar, pemotongan (cropping), enkripsi, dan sebagainya). Bila pada citra

dilakukan operasi pengolahan citra, maka data yang disembunyikan tidak rusak.

3. Recovery yaitu data yang disembunyikan harus dapat diungkapkan

kembali (recovery). Karena tujuan steganography adalah data hiding,

maka sewaktu-waktu data rahasia di dalam citra penampung harus dapat diambil kembali untuk digunakan lebih lanjut.

Selain perbedaan steganography dengan cryptography, steganography

berbeda dengan watermarking. Perbedaannya adalah Watermarking merupakan

aplikasi dari steganography namun ada perbedaan antara keduanya. Pada

steganography informasi rahasia disembunyikan di dalam media digital dimana

media penampung tidak berarti apa-apa, maka pada watermarking media digital

tersebut yang akan dilindungi kepemilikannya dengan pemberian label hak cipta. Meskipun steganography dan watermarking tidak sama, namun secara prinsip

(15)

24242424 2.6. Watermarking

Salah satu karya intelektual yang dilindungi adalah produk dalam bentuk digital, seperti software dan produk multimedia seperti teks, musik (dalam format MP3 atau WAV), gambar/citra (image), dan video digital (VCD). Selama ini

penggandaan atas produk digital tersebut dilakukan secara bebas dan leluasa. Salah satu cara untuk melindungi hak milik intelektual atas produk multimedia (gambar/foto, audio, teks, video) adalah dengan menyisipkan informasi ke dalam data multimedia tersebut dengan teknik digital watermarking. Informasi yang

disisipkan ke dalam data multimedia disebut watermark. Watermark dapat

dianggap sebagai sidik digital (digital signature) atau stempel digital dari pemilik

yang sah atas produk multimedia. Pemberian signature dengan teknik watermarking ini dilakukan sehingga informasi yang disisipkan tidak merusak

data digital yang dilindungi. Watermark di dalam data digital tidak dapat

dideteksi oleh orang yang tidak mengetahui rahasia skema penyisipan watermark,

dan juga watermark tidak dapat diidentifikasi dan dihilangkan. Watermark dapat

digunakan sebagai bukti kepemilikan untuk membantu digital publisher

melindungi materi yang mempunyai hak cipta (copyright).

Dalam sebuah buku, Juergen Seitz, (2004) memberikan definisi tentang

digital watermarking, yakni:“Digital watermarking” means embedding information into digital material in such a waythat it is imperceptible to a human observer buteasily detected by computer algorithm. A digitalwatermark is a transparent, invisible informationpattern that is inserted into a suitable component of the data source by using a specific computer algorithm. Digital watermarks are signals added to digital data (audio, video, or still images) that

(16)

25252525

can be detected or extracted later to make an assertion about the data. Adapun

penjelasan lain tentang watermark oleh Goldstein dan David, (2002), yakni: A digital watermark is a pattern of binary digits inserted into the artefact that provides information about copyright. It is not visible and must be robust enough to continue to exist if the digital artefact is changed in some way. Berdasarkan

referensi tersebut, maka Watermark adalah suatu cara penyembunyian atau

penanaman data maupun informasi tertentu (baik hanya berupa catatan umum maupun bentuk dokumen rahasia) kedalam suatu data digital lainnya, tetapi tidak diketahui kehadirannya oleh indera manusia (indera penglihatan atau indera pendengaran), dan mampu menghadapi proses-proses pengolahan sinyal digital sampai pada tahap tertentu. Sehingga mampu menyediakan informasi yang sah tentang kepemilikan dokumen digital.

Teknik watermarking adalah proses menambahkan kode identifikasi secara

permanen ke dalam data digital. Kode identifikasi tersebut dapat berupa teks, gambar, suara, atau video. Selain tidak merusak data digital produk yang akan dilindungi, kode yang disisipkan seharusnya memiliki ketahanan (robustness) dari

berbagai pemrosesan lanjutan seperti pengubahan, transformasi geometri, kompresi, enkripsi, dan sebagainya.

Proses penyisipan watermark ke dalam citra disebut encoding. Encoding

dapat disertai dengan pemasukan kunci atau tidak memerlukan kunci. Kunci diperlukan agar watermark hanya dapat diekstraksi oleh pihak yang sah. Kunci

juga dimaksudkan untuk mencegah watermark dihapus oleh pihak yang tidak

berhak. Berdasarkan tipe dokumen yang diberi watermark, watermarking dapat

(17)

26262626 1. Image Watermarking 2. Video Watermarking 3. Audio Watermarking 4. Text Watermarking

Watermarking dapat juga dikategorikan sebagai visible watermarking (watermark

terlihat oleh indera manusia) dan invisible watermarking (watermark tidak

tampak). Watermarking dapat juga dikategorikan sebagai blind watermarking

(proses verifikasi watermark tidak membutuhkan citra asal) dan non blind watermarking (proses verifikasi watermark membutuhkan citra asal).

2.7. Proses Watermark dan Verifikasi Watermark

Watermark merupakan sesuatu yang ditanamkan, maka watermarking

merupakan proses penanaman watermark tersebut. Secara umum framework

sebuah algoritma watermarking tersusun atas tiga bagian, yaitu :

1. Watermark,

2. Algoritma penyisipan watermark (enkoding), dan

3. Algoritma pendeteksian watermark (dekoding).

Watermark dapat berupa representasi identitas kepemilikan media digital, maupun

informasi lain yang dipandang perlu untuk ditanamkan kedalam media yang bersangkutan. Algoritma penyisipan watermark menangani bagaimana sebuah watermark ditanamkan pada media induknya. Algoritma pendeteksian watermark

menentukan apakah didalam sebuah media digital terdeteksi watermark yang

sesuai atau tidak. Berikut pada gambar 2.3 adalah proses Watermark pada citra

(18)

27272727

Gambar 2.3 Proses Watermark pada Citra Digital

Poses penyisipan watermark kedalam citra disebut encoding. Encoding

dapat disertai dengan pemasukan kunci atau tidak. Kunci diperlukan agar

watermark hanya dapat diekstraksi oleh pihak yang sah. Kunci dimaksudkan

untuk mencegah watermark dihapus oleh pihak yang tidak sah.

Sedangkan untuk proses verifikasi watermark pada citra digital dapat

dilihat pada gambar 2.4. di bawah ini.

Gambar 2.4. Proses Verifikasi Watermark pada Citra Digital

Verifikasi watermark dilakukan untuk membuktikan status kepemilikan

citra digital. Verifikasi watermark terdiri dari dua sub-proses, yaitu ekstraksi watermark dan pembandingan. Proses ekstraksi watermark disebut juga decoding, decoding bertujuan mengungkap watermark dari dalam citra. Tujuan dari decoding adalah untuk meningkatkan kinerja yang lebih baik. Proses

(19)

28282828

dengan watermark asli dan dapat membantu memberi keputusan tentang watermark tersebut.

2.7.1. Metode Image Watermarking

Pada Image watermarking dapat diolah dengan dua metode yaitu: 1. Metode dalam ranah spasial

Menyisipkan watermark langsung pada nilai byte dari pixel citra. Teknik

ini bekerja dengan cara menanamkan watermark secara langsung kedalam domain spasial dari suatu citra. Istilah domain spasial sendiri mengacu pada piksel-piksel penyusun sebuah citra. Teknik watermarking jenis ini beroperasi secara langsung pada piksel-piksel tersebut. Beberapa contoh teknik yang bekerja pada domain spasial adalah teknik penyisipan pada Least Significant Bit (LSB) (Johnson and

Jajodia, 1998), metode patchwork yang diperkenalkan oleh Bender et.al,

(1996), Teknik adaptive spatial-domain watermarking diusulkan oleh

Lee dan Lee, (1999).

2. Metode dalam ranah transform

Menyisipkan watermark pada koefisien transformasi dari citra. Pada transform domain watermarking (sering juga disebut dengan frequency domain watermarking) ini penanaman watermark dilakukan pada

koefisien frekuensi hasil transformasi citra asalnya. Ada beberapa transformasi yang umum digunakan oleh para peneliti, yaitu: discrete cosine transform (DCT), discrete fourier transform (DFT), discrete wavelet transform (DWT) maupun discrete laguerre transform (DLT).

(20)

29292929

frekuensi : Koch dan Zhao, (1995) memperkenalkan teknik randomly sequenced pulseposition modulated code (RSPPMC) yang bekerja pada

domain DCT. Kemudian Cox et 11 al, (1997) mengusulkan teknik watermarking digital yang dianalogikan dengan teknik spread spectrum communication. Teknik yang hampir serupa dengan proposal Cox et al

(1997) diperkenalkan oleh Fotopoulos et al (2000), letak perbedaanya adalah dalam penggunaan blok DCT tempat penanaman watermark.

Pemanfaatan domain DCT dalam watermarking digital dapat ditemui di

(Gilani dan Skodras, 2000). Teknik yang berbasiskan wavelet ternyata

juga tidak kalah populer digunakan dalam watermarking digital, seperti

penggunaan wavelet pada watermarking video yang diusulkan oleh

Swanson et al, (1997). Salah satu alasan pemanfaatan wavelet dalam watermarking adalah kemampuan watermark untuk bertahan dalam

berbagai skala resolusi citra (Swanson et al, 1997). 2.7.2. LSB (Least Significant Bit Modification)

Terdapat banyak metode watermarking yang dapat dikelompokkan secara

berbeda. Pada umumnya algoritma watermarking pada citra digital dapat

dikelompokkan menjadi dua kelompok utama menurut domain cara kerjanya. Teknik domain spasial menanamkan data langsung dengan cara memodifikasi nilai intensitas atau warna dari pixel-pixel tertentu dari citra, sedangkan teknik domain frekuensi memodifikasi nilai koefisien transformasinya (Ohnishi and Matsui, 1996; O'Ruanaidh et.al., 1996; Tang and Aoki, 1997; Hsu and Wu, 1998).

Metode domain spasial membutuhkan biaya komputasi yang lebih rendah dibandingkan teknik domain frekuensi.

(21)

30303030

Teknik watermarking pada domain spasial yang paling sederhana ialah

menyisipkan informasi label watermarking pada LSB (least significant bit) dari

pixel-pixel citra digital (van Schyndel et.al., 1994). Walaupun watermark yang

dihasilkan tidak terlihat oleh mata manusia, tetapi dapat dengan mudah hancur bila citra yang sudah disisipkan watermark difilter low-pass atau dikompres

(JPEG). Untuk meningkatkan keamanan dari watermark, menggunakan kunci

rahasia untuk memilih lokasi di mana watermark akan disisipkan. Watermark

dapat diacak terlebih dulu sebelum disisipkan pada citra digital, metode ini diusulkan oleh (Voyatzis dan Pitas,1996).

Di dalam satu byte informasi yang diwakili oleh delapan bit ada

penggolongan-penggolongan bit berdasarkan urutan dan pengaruhnya di dalam byte tersebut. Bit yang paling berpengaruh terhadap informasi yang dikandungnya biasanya adalah angka 1 yang terletak di paling depan. Bit ini sering disebut dengan istilah Most Significant Bit (MSB). Semakin ke kanan, bit-bit tersebut

semakin kecil pengaruhnya terhadap keutuhan data yang dikandung. Bit inilah yang dinamakan Least Significant Bit (LSB). Teknik Steganografi modifikasi

LSB dilakukan dengan memodifikasi bit-bit yang tergolong bit Least Significant Bit (LSB) pada setiap byte pada suatu file. Setelah semua bit informasi lain

menggantikan bit LSB di dalam file tersebut, maka informasi telah berhasil disembunyikan. Ketika informasi rahasia tersebut ingin kembali dibuka, maka bit-bit Least Significant Bit (LSB) yang sekarang ada, diambil satu per satu dan

Gambar

Gambar 2.1 menunjukkan ilustrasi perbedaan antara steganografi dan kriptografi.
Gambar 2.2  Cara kerja Steganografi secara umum
Gambar 2.3 Proses Watermark pada Citra Digital

Referensi

Dokumen terkait

Sebanyak 50 orang ibu menyusui obesitas dan normal yang memenuhi kriteria awal bersedia untuk diambil sampel ASI-nya, ditimbang berat badan bayinya setelah lahir, dan

Perkawinan dalam islam tidaklah semata-semata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Oleh karena itu,

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara merumuskan hipotesis dan menguji hipotesis kemudian ditarik kesimpulan dari percobaan / eksperimen mengenai

komponen tersebut siap dioperasi hari berikutnya. 7.2 Rangkaian mesin pemecah batu dimatikan sesuai dengan prosedur/urutannya setelah dipastikan bahwa material telah

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: Pengembangan media pembelajaran papan analisis

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap bank dengan membandingkan antara buku bank dengan rekening koran maka terdapat koreksi sebagai berikut:4. Perusahaan memiliki tabungan

Maslow (1994: 164) juga mengungkapkan, aktualisasi diri lebih bermotivasi pada pertumbuhan bukan kekurangan. Orang yang mencoba mengaktualisasikan diri akan memecahkan