• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Anwar Harjono mengatakan bahwa perkawinan adalah bahasa (Indonesia) yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan nikah atau zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengandung arti tentang sahnya hubungan kelamin. (Saebani 2001, 9)

Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhoi, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridho meridhoi, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. (Ghozali 2003, 10)

Di samping itu dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 1 yaitu: ”Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologi,

(2)

dan agama. Sebagaimana yang di jelaskan di dalam firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:

ْيِهَو

ِهِتاَيآ

ْىَأ

َقَلَخ

نُكَل

ْيِه

ْنُكِسُفًَأ

ًاجاَوْزَأ

اىٌُُكْسَتِل

اَهْيَلِإ

َلَعَجَو

نُكٌَْيَب

ًةَدَّىَه

ًةَوْحَرَو

َىِإ

يِف

َكِلَذ

ٍتاَيآَل

ٍمْىَقِل

َىوُرَكَفَتَي

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S ar-Rum:21).

Dari ayat di atas dapat dipahami yang harus dijunjung tinggi oleh umat Islam yaitu bahwa manusia dianjurkan membentuk keluarga dimana Allah SWT menciptakan pria dan wanita. Dalam hubungan kekeluargaan atau perkawinan Allah SWT menumbuhkan rasa kasih sayang antara satu dengan yang lainnya, untuk mewujudkan terciptanya rumah tangga bahagia dan sejahtera menurut Islam.

Selain yang dijelaskan di atas adapun tujuan adanya pernikahan ialah:

1. Memelihara gen manusia

Pernikahan sebagai sarana untuk memelihara

keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa. Dengan pernikahan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah. Mungkin dapat dikatakan bahwa untuk mencapai hal tersebut dapat melalui nafsu seksual yang tidak harus melalui syari’at, namun cara tersebut dibenci agama.

(3)

Di dalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan religius. Seseorang akan merasa adanya tali ikatan suci yang membuat tinggi sifat kemanusiaannya, yaitu ikatan rohani dan jiwa yang membuat ketinggian derajat manusia.

3. Nikah sebagai perisai diri manusia

Nikah dapat menjaga diri kemanusiaan dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan dalam agama. Karena nikah memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat biologisnya secara halal dan mubah.

4. Melawan hawa nafsu

Nikah menyalurkan nafsu manusia menjadi terpelihara, melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak dan mendidik mereka. (Azzam, Hawwas 2014, 39)

Pernikahan dapat dilakukan apabila telah melengkapi rukun dan syarat yang telah ditentukan, rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu masuk dalam rangkaian pekerjaan itu, sedangkan syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk sholat. (Ghozali 2003, 45)

Pendapat Imam Mazhab tentang rukun nikah di antaranya: (Ghozali 2003, 45)

1. Imam Malik, mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :

a. Wali dari pihak perempuan b. Mahar (Maskawin)

c. Calon pengantin laki-laki d. Calon pengantin perempuan e. Sighat akad nikah

(4)

2. Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :

a. Calon pengantin laki-laki b. Calon pengantin perempuan c. Wali

d. Dua orang saksi e. Sighat akad nikah

Sedangkan para jumhur ulama mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, yaitu sighat (ijab dan qabul), istri, suami, dan wali. Suami dan wali adalah dua orang yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan akad adalah al-Istimtaa’ (bersenang-senang) yang merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan mahar bukan mahar bukan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil bolehnya menikah dengan cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah yang beredar di kalangan sebagian ahli fiqih (Az-Zuhaili 2011, 45).

Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga diatur mengenai rukun dan syarat perkawinan yang diatur dalam pasal 14 sebagai berikut: (Kompilasi Hukum Islam, 123)

1. Calon suami 2. Calon isteri 3. Wali nikah

4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan Kabul

(5)

Adapun syarat-syarat yang dijelaskan pada masing-masing rukun perkawinan diatas yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah:

a. Calon mempelai, syarat-syaratnya:

1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-sekurangnya berumur 16 tahun.

2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

3. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. 4. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa

pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

5. Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan.

b. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. 2. Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab b. Wali hakim

c. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

(6)

2. Saksi hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

d. Akad nikah, syarat-syaratnya:

1. Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

2. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.

3. Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

4. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria member kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

5. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. (Kompilasi Hukum Islam 2013, 123)

Sementara itu dalam pasal 12 dan 13 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Nagari ( PERNA) Nomor 03 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perbuatan Maksiat, Proses Pernikahan dan Pelarangan Hiburan Malam di Nagari Ujuang Gadiang syarat pernikahan adalah kewajiban melakukan Tes Baca al-Qur’an dan Tes Urine bagi calon pengantin, yaitu:

Pasal 12

(1) Setiap penduduk nagari yang beragama Islam wajib pandai membaca al-Qur’an;

(2) Setiap orang tua berkewajiban memberikan pendidikan membaca dan menulis al-Qur’an bagi anak-anaknya di rumah, TPA\MDA dan di tempat-tempat pengajian masyarakat;

(3) Bagi calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang akan melangsungkan pernikahan wajib membaca al-Qur’an sebelum melaksanakan ijab dan qabul (pernikahan) di hadapan

(7)

wali nikah, penghulu/pembantu penghulu, saksi nikah, imam khatib dan undangan yang hadir saat berlangsungnya prosesi pernikahan;

Sebelum melaksanakan ijab dan qabul calon pengantin diwajibkan membaca al-Qur’an terlebih dahulu dihadapan wali nikah yang merupakan syarat pernikahan, namun pada kenyataannya masih banyak calon pengantin yang kurang pandai bahkan sama sekali tidak bisa membaca al-Qur’an, oleh karena itu maka pemerintah nagari yang bekerja sama dengan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) membuat sanksi bagi calon pengantin yang tidak mampu membaca al-Qur’an yang terdapat dalam pasal 26 :

Pasal 26

Apabila calon pengantin tidak mampu membaca al-Qur’an, dalam tenggang waktu enam bulan sejak peraturan nagari ini diundangkan, maka calon pengantin itu membuat pernyataan secara tertulis untuk belajar setelah pernikahan yang disaksikan oleh Da’i Nagari atau penghulu atau pembantu penghulu. (Peraturan Nagari No. 03 tahun 2013)

Tujuan ditetapkan peraturan ini sebagai bahancambukan bagi setiap masyarakat yang ingin menikah agar belajar membaca dan memahami al-Qur’an terlebih dahulu, dengan tujuan untuk meminimalisirkan masalah tersebut maka diatur dalam Peraturan Nagari Ujuang Gadiang. Serta lebih meningkatkan pengawasan bagi orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya yang dimulai sejak dini terutama dalam mempelajari ilmu agama dan mempelajari al-Qur’an.

Pasal 13

(1) Setiap calon pengantin perempuan diwajibkan terlebih dahulu melakukan tes urine (air seni) dipuskesmas guna menentukan yang bersangkutan apakah dalam keadaan hamil atau tidak; (2) Hasil tes urine (air seni) disampaikan kepada Kepala Kantor

Urusan Agama dalam amplop yang tertutup rapat untuk ditindaklanjuti proses pernikahannya;

(3) Hasil tes urine bersifat rahasia, tidak boleh dipublikasikan, hanya diberitahukan kepada pembantu penghulu, orang tua dan ninik

(8)

mamak/penghulu adat untuk kepentingan proses pernikahan yang bersangkutan;

Adapun ketentuan sanksi dari pasal di atas terdapat dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 yaitu:

Pasal 27

(1) Apabila hasil tes urine sebagaimana dimaksud pasal 13 calon pengantin perempuan terbukti hamil, maka proses pernikahannya tidak boleh dilaksanakan di rumah orang tuanya, pernikahan dilangsungkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan hanya diurus oleh ninik mamak yang bersangkutan sebatas untuk proses pernikahan;

(2) Setelah nikah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan, pasangan suami istri itu tidak boleh diresmikan pernikahannya dalam bentuk pesta, baik pesta secara adat maupun pesta dalam bentuk non-formal tidak memakai adat dan atau hanya tidak boleh dengan acara makan-makan dengan mengundang orang banyak; (Peraturan Nagari No. 03 Tahun 2013)

Berdasarkan PERNA di atas dipahami bahwa syarat perkawinan, baik yang termuat dalam fiqh maupun Kompilasi Hukum Islam, tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual, hal ini dilihat dari penjelasan berbagai ulama fiqh dan dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam tentang syarat perkawinan. Sementara penulis melihat yang menjadi syarat dalam Peraturan Nagari (PERNA) Nomor 03 Tahun 2013 ini terjadi tambahan syarat dalam perkawinan di samping rukun dan syarat yang telah ditentukan dalam fikih dan KHI.

Wali Nagari Ujuang Gadiang membuat peraturan itu dikarenakan banyaknya pergaulan bebas di tengah-tengah masyarakat hingga mengakibatkan banyaknya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, salah satu akibat dari pergaulan bebas tersebut seperti hamil di luar nikah.

Selain itu adapun pertimbangan Wali Nagari, Badan Musyawarah (BAMUS), dan pihak-pihak pemerintahan penting lainnya yang ada di Nagari Ujuang Gadiang dalam membuat Peraturan Nagari (PERNA) No 03 Tahun 2013 ialah sebagai berikut:

(9)

a. Bahwa Peraturan Nagari No 01 Tahun 2008 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sosial budaya masyarakat Ujuang Gadiang dewasa ini sehingga perlu dilakukan penyempurnaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat;

b. Pemerintah Nagari sebagai daerah yang memiliki falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah perlu dijaga dan dilestarikan nilai-nilainya kedalam tatanan norma kehidupan masyarakat. (Peraturan Nagari No. 03 Tahun 2013)

Setiap calon pengantin perempuan diwajibkan terlebih dahulu melakukan tes urine (air seni) di puskesmas guna menentukan yang bersangkutan apakah dalam keadaan hamil atau tidak. Apabila calon pengantin perempuan tidak bersedia untuk melakukan tes urine, maka pihak Kantor Urusan Agama (KUA) menolak melaksanakan pernikahannya. Adapun bagi calon pengantin perempuan yang sudah melakukan tes urine apabila hasil tes urine tersebut terbukti hamil maka proses pernikahannya tidak boleh dilaksanakan di rumah orangtuanya, pernikahan dilangsungkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan hanya diurus oleh ninik mamak yang bersangkutan sebatas untuk proses pernikahan. Kemudian setelah nikah dilaksanakan, pasangan suami isteri itu tidak boleh diresmikan pernikahnnya dalam bentuk pesta, baik pesta secara adat maupun pesta dalam bentuk non formal tidak memakai adat dan atau tidak boleh dengan acara makan-makan mengundang orang banyak”. (Syahril, 2017)

Dengan demikian terlihat bahwa peraturan yang diberlakukan mengenai syarat perkawinan dalam Peraturan Nagari Ujuang Gadiang berbeda dengan ketentuan Hukum Islam berhubungan dengan syarat pernikahan. Berdasarkan fenomena di atas penulis tertarik untuk meneliti

(10)

lebih lanjut dan menjadikannya karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “ Pelaksanaan Peraturan Nagari Nomor 03 Tahun 2013 di

Nagari Ujuang Gadiang tentang Proses Pernikahan Perspektif Hukum Islam”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, yang menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimana Pelaksanaan Peraturan Nagari Nomor 03 Tahun 2013 di Nagari Ujuang Gadiang tentang Proses Pernikahan Perspektif Hukum Islam”

1.3 Pertanyaan Penelitian

Adapun yang menjadi pertanyaaan penelitian dalam penulisan ini adalah:

1.3.1 Bagaimana proses pernikahan sebelum berlakunya PERNA Nomor 03 Tahun 2013 di Nagari Ujuang Gadiang ?

1.3.2 Bagaimana pelaksanaan PERNA Nomor 03 Tahun 2013 di Nagari Ujuang Gadiang ?

1.3.3 Bagaimana perspektif Hukum Islam terhadap ketentuan PERNA Nomor 03 Tahun 2013 ?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan dengan pokok masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1.4.1 Tujuan Secara Teoritis

1. Sebagai bahan untuk menambah, memperdalam dan memperluas keilmuan mengenai hukum perkawinan Islam. 2. Dapat digunakan sebagai tambahan refrensi dan rujukan bagi

penelitian selanjutnya.

3. Untuk melengkapi salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum pada fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang.

(11)

1.4.2 Tujuan Secara Praktis

1. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat dalam pencegahan hamil diluar nikah dan penyakit masyarakat yang lainnya.

2. Sebagai bahan perbandingan bagi nagari-nagari lain yang ada di Kecamatan Lembah Melintang.

1.5 Signifikasi Penelitian

Syarat perkawinan yang ada di dalam undang-undang perkawinan maupun dalam Hukum Islam tidak ada yang menyebutkan dan menjelaskan adanya syarat pernikahan seperti yang disebutkan di dalam Peraturan Nagari Ujuang Gadiang. Penelitian ini sangat penting untuk menjelaskan tentang bagaimana proses pernikahan sebelum berlakunya PERNA Nomor 03 Tahun 2013 dan setelah berlakunya PERNA tersebut, apakah yang menjadi syarat untuk dipenuhi bagi calon mempelai yang akan menikah sesuai dengan yang diatur dalam PERNA No. 03 tahun 2013 ini, serta untuk menjelaskan bagaimana perspektif Hukum Islam terhadap PERNA tersebut.

1.5 Telaah Pustaka

Dari hasil penelusuran yang dilakukan penulis terhadap literatur yang membahas Pelaksanaan Peraturan Nagari tentang Proses Pernikahan Perspektif Hukum Islam belum ada. Namun ada beberapa karya yang menyinggung tentang Pelaksanaan Peraturan Nagari (PERNA) dan pandangannya dalam Hukum Islam sebagai berikut:

Okton Gunadi Putra (Bp 307.074), menulis skripsi ini dengan judul

“Pelaksanaan Kursus Calon Pengantin (SUSCATIN) di Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok”. Dalam skripsi ini yang menjadi Rumusan

Masalahnya adalah: “Bagaimana pelaksanaan kursus calon pengantin

(Suscatin) di Kecamatan Lembah Gumanti dan apa yang menjadi penyebab tidak terlaksananya Suscatin sesuai dengan peraturan”. Hasil dari

(12)

penelitian ini adalah Pertama, Pelaksanaan suscatin di Kecamatan Lembah Gumanti dilaksanakan di KUA, pemberian materi dilakukan dengan metode ceramah, yang memberikan materi pejabat KUA, satu pasang catin dikenakan biaya 100.000,-. Kedua, yang menjadi penyebab tidak terlaksananya Suscatin sesuai dengan peraturan sebagai berikut :

1. Kepengurusan BP4 belum jelas sebagai pelaksana dari Suscatin.

2. Kantor/kesekretariatan tidak ada.

3. Kurangnya pengawasan kepada pemateri

Andri Syafril (BP 308. 229), menulis skripsi ini dengan judul

“Efektifitas Peraturan Nagari Sumpur Kudus No 04 Tahun 2011 tentang Larangan Perjudian, Minuman Keras dan Membuat Onar Dalam Nagari Sumpur Kudus”. Dalam skripsi ini yang menjadi rumusan masalahnya

adalah “Bagaimana Efektifitas Peraturan nagari No 04 Tahun 2011

Tentang larangan Perjudian, Minuman Keras dan Membuat Onar dalam Nagari Sumpur Kudus di Tengah-tengah Masyarakat”. Hasil dari penelitian

ini adalah PERNA No 04 Tahun 2011 ini sudah Efektif dilaksanakan. Sebelum lahirnya Peraturan Nagari (PERNA) No 04 Tahun 2011 ada 18 kasus perjudian tetapi setelah Peraturan Nagari (PERNA) ini lahir kasus perjudian ini berkurang menjadi 6 kasus, begitu juga dengan kasus minuman keras dan kasus membuat onar dalam Nagari Sumpur Kudus. Sebelum peraturan ini lahir, kasus minuman keras ada 8 kasus, namun setelah Peraturan Nagari ini lahir, kasus itu menjadi berkurang yaitu sebanyak 3 kasus.

Adapun permasalahan yang penulis bahas adalah pelaksanaan Peraturan Nagari Nomor 03 Tahun 2013 tentang proses perkawinan perspektif Hukum Islam, dengan demikian jelaslah bahwa permasalahan ini sama sekali berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penulis merasa bahwa penelitian yang penulis lakukan ini tidaklah bersifat mengulang penelitian yang telah ada. Oleh karena itu, penelitian ini dapat

(13)

dikategorikan sebagai penelitian baru yang membahas tentang proses perkawinan yang diatur dalam PERNA No. 03 Tahun 2013 dan belum ada dalam penelitian sebelumnya. Sehingga penelitian ini menjadi layak untuk dilakukan.

1.6 Kerangka Teori

Kerangka teori berisi uraian tentang telaahan teori dan hasil penelitian terdahulu yang terkait. Telaahan ini bisa dalam arti membandingkan, mengkontraskan atau meletakkan kedudukan masing-masing dalam masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi dan pendirian peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti. (Nawawi 2001, 40)

1. Rukun dan Syarat Pernikahan

Para ulama berbeda pendapat tentang rukun nikah sebagaimana berikut: (Az-Zuhaili 2011, 55)

a. Imam Malik, mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu Wali dari pihak perempuan, mahar (Maskawin), calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, dan sighat akad nikah.

b. Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu : Calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang saksi, dan Sighat akad nikah.

Sedangkan mengenai syarat pernikahan terdapat beberapa syarat bagi kedua pihak yang melaksanakan akad (lelaki dan perempuan), dan beberapa syarat dalam sighat (ijab dan qabul), yaitu:

(14)

a. Syarat-syarat kedua belah pihak yang melakukan akad:

1. Mampu melaksanakan: orang yang melaksanakan akad bagi dirinya maupun orang lain harus mampu melakukan akad. 2. Masing-masing kedua belah pihak harus mampu mendengar

perkataan yang lain, sekalipun secara hukmi saja, seperti tulisan kepada seorang perempuan yang tidak ada di tempat, yang memberikan pemahaman keinginan untuk melakukan pernikahan, demi mewujudkan keridhaan keduanya.

b. Syarat-syarat pada perempuan:

Ada dua syarat untuk perempuan yang ingin melakukan akad nikah:

1. Harus benar-benar berjenis kelamin perempuan. Seorang lelaki tidak sah menikah dengan sesama lelaki atau orang banci musykil yang tidak jelas status kelaminnya.

2. Hendaknya perempuan tersebut jelas-jelas tidak diharamkan atas lelaki yang mau menikahinya.

c. Syarat-syarat sighat akad (Ijab dan Qabul)

1. Dilakukan dalam satu majelis, jika kedua belah pihak hadir. 2. Kesesuaian dan ketepatan kalimat qabul dengan ijab.

3. Orang yang mengucapkan ijab tidak boleh menarik kembali ucapannya.

4. Diselesaikan pada waktu akad itu terjadi.

Rukun dan syarat perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 yaitu:

a. Calon suami b. Calon isteri c. Wali nikah

d. Dua orang saksi dan e. Ijab dan Kabul

(15)

Adapun syarat-syarat yang dijelaskan pada masing-masing rukun perkawinan diatas yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah:

a. Calon mempelai, syarat-syaratnya:

1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-sekurangnya berumur 16 tahun.

2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

3. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

4. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

5. Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan.

b. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. 2. Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab b. Wali hakim

(16)

c. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

2. Saksi hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

d. Akad nikah, syarat-syaratnya:

1. Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

2. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.

3. Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

4. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria member kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

5. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. (Kompilasi Hukum Islam, 123)

e. Al-Maslahah

Para ahli Ushul Fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah jika dilihat dari beberapa segi. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli Ushul Fiqh membaginya kepada tiga macam yang mana salah satunya adalah Mashlahah

al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan

kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu : (Haroen 1995, 115)

(17)

1. Memelihara Agama

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan antara sesama manusia.

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusak akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya, atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran Islam dengan berbagai paham dan aliran yang bathil. Walau begitu agama Islam memberikan perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya.

2. Memelihara Jiwa

Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qisas, diyat, dan kafarat sehingga dengan demikian diharapkan agar seorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara mendalam terlebih dahulu.

3. Memelihara Akal

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.

Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum

khamr (jenis minuman keras) dan setiap yang memabukkan dan

menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.

4. Memelihara Keturunan

Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu

(18)

dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanyak melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbuatan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.

5. Memelihara Harta

Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia bersifat tamak terhadap harta benda, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu Islam mensyari’atkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dll. (Haroen 1995, 115)

f. ‘Urf

1. Pengertian ‘Urf

Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti:”sesuatu yang dikenal”. Di antara ahli bahasa ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf tersebut, kedua kata itu mutaradif (sinonim).

Bila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata ‘adat dari bahasa Arab: ةدّاع akar katanya: ‘ada, ya’udu (دّىعي-دّاع); mengandung arti: راركت (perulangan). Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat. Tentang berapa kali suatu perbuatan yang harus dilakukan untuk sampai disebut ‘adat, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang dijelaskan al-Suyuthi dalam kitabnya

(19)

Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan yang dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karna perbuatan itu sudah dikaui dan dikenal oleh orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. 2. Macam-macam ‘Urf

Penggolongan macam-macam ‘urf itu dapat dilihat dari beberapa segi: (Syarifuddin 2011, 386)

1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf itu ada dua macam:

a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.

b. ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. 2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘Urf terbagi kepada:

a. Adat atau ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir diseluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama.

b. Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat tertentu atau pada waktu tertentu.

3. Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘adat atau ‘urf itu terbagi kepada:

a. ‘Adat yang shahih, yaitu ‘adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. b. ‘Adat yang fasid, yaitu ‘adat yang berlaku di suatu tempat

(20)

dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. (Syarifuddin 2011, 386)

Dengan adanya PERNA Nomor 03 Tahun 2013 di atas mengenai proses perkawinan khususnya dalam syarat pernikahan sebenarnya tidak bertolak belakang dan terjadi pertentangan dengan al-Qur’an, fqih maupun undang-undang akan tetapi syarat ini dibuat berdasarkan kepada mashlahah yaitu untuk kemaslahatan masyarakat, terutama untuk menjaga keturunan dan hal ini dianjurkan di dalam al-Qur’an. Yang mana dengan kondisi sekarang meskipun telah ada al-Qur’an maupun undang-undang yang mengatur akan tetapi masih banyaknya masyarakat yang kurang peduli dan seakan-akan tidak mengetahui hal itu, maka dengan adanya peraturan ini diharapkan sesuai dengan tujuan kemaslahatan yaitu untuk menjaga keturunan.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan field research atau penelitian lapangan dan library research atau penelitian kepustakaan yang bersifat kualitatif. Penelitian lapangan yang dimaksud adalah penelitian yang dilakukan melalui observasi langsung ke lapangan serta melakukan wawancara. Penelitian ini akan dilakukan di Nagari Ujuang Gadiang. Sedangkan penelitian kepustakaan yang dimaksud adalah penelitian yang dilakukan di perpustakaan. Sumber-sumber data yang diperlukan untuk penyusunan skripsi ini terdapat di dalam literatur buku-buku fiqh.

Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan metode deskripsi yaitu menggambarkan hal-hal yang diteliti sebagaimana adanya. Sebagaimana yang dikemukakan Hadari Nawawi “Metode deskripsi yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan objek penelitian berdasarkan fakta yang

(21)

tampak sebagaimana adanya” (Nawawi 1996, 23). Artinya penelitian ini hanya menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti. 1.7.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas dua macam : 1. Sumber Data Primer

Data Primer adalah sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban terhadap masalah penelitian. (Saebani 2008, 158) Dalam penelitian ini sumber data primer penulis adalah wawancara langsung dengan pihak wali nagari dan jajarannya, kepala Kantor Urusan Agama (KUA) beserta pegawainya, Kerapatan Adat Nagari (KAN), Kepala Badan Musyawarah (BAMUS), Kepala Jorong dan Tokoh Pemuka Adat di tempat penelitian tersebut serta Alim Ulama di Nagari Ujuang Gadiang Kecamatan Lembah Melintang Kabupaten Pasaman Barat.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang membantu sebagai pelengkap di dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini data sekunder penulis adalah literatur buku-buku Fikih Munakahat, peraturan perundang-undangan yang membahas atau yang berkaitan tentang adat dan perkawinan dll.

1.7.3 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi atau keterangan. (Narbuko, Ahmadi 2005, 83) Penulis mengadakan wawancara langsung dengan subjek penelitian yang berbentuk pertanyaan. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang membuat Peraturan Nagari tersebut beserta dengan kepala jorong dan tokoh-tokoh pemuka adat ditempat

(22)

penelitian tersebut. Untuk menemukan informan penulis menggunakan teknik proposive sampling yakni mewawancarai atau mencari informasi terhadap tokoh-tokoh petinggi di lokasi penelitian.

Data yang akan diperoleh melalui wawancara adalah data terkait dengan Pelaksanaan Peraturan Nagari Nomor 03 Tahun 2013 di Nagari Ujuang Gadiang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perbuatan Maksiat, Proses Pernikahan dan Pelarangan Hiburan Malam di Nagari Ujuang Gadiang.

Selain wawancara dalam pengumpulan data penelitian ini penulis menggunakan studi dokumen yang bersumber pada tulisan, dokumen (barang-barang tertulis). Di sini peneliti menyelidiki benda tertulis seperti buku-buku, Peraturan-Peraturan, Undang-Undang, dan sebagainya. Adapun yang dijadikan sumber data di sini oleh penulis yakni berupa artikel-artikel, dokumen-dokumen yang ada di kantor Kantor Urusan Agama maupun Kantor Wali Nagari tempat lokasi penelitian yang berhubungan dengan Peraturan Nagari Ujuang Gadiang dan masyarakat setempat.

1.7.4 Metode Analisis Data

Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan beberapa teknik pendekatan yaitu analisis induktif dan dedukatif. Analisa tersebut dilakukan agar data yang dipergunakan betul-betul data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kemudian penulis menganalisa data yang didapatkan dengan cara sebagai berikut: 1. Induktif yakni pengolahan dengan menelaah dan menganalisa faktor-faktor yang sifatnya khusus, kemudian mengambil suatu kesimpulan yang umum.

2. Deduktif yakni menganalisis masalah yang sifatnya umum kemudian mengambil kesimpulan yang khusus.

Referensi

Dokumen terkait

Data- data neutrino solar dan neutrino atmosferik memperlihatkan adanya hirarki kuat dan dapat dijelaskan oleh osilasi tiga neutrino.. Data LSND dengan orde hirarki yang lain

Berbagi linkmelalui note dapat dilakukan oleh guru Anda, kawan-kawan Anda, maupun Anda sendiri. Apabila Anda ingin berdiskusi atau menanyakan sesuatu melalui

Berikut merupakan salah satu contoh pengujian yang dilakukan pada aplikasi ARMIPA yaitu pengujian ketepatan titik lokasi pada peta dan kamera dengan markerless

Komunikasi dan Informatika, yang mencakup audit kinerja atas pengelolaan keuangan negara dan audit kinerja atas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Komunikasi dan

Pihak sekolah menganggap bahwa layanan kesehatan mental bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting diselenggarakan di sekolah dan perlu adanya suatu perencanaan

Pada Ruang Baca Pascasarjan perlu dilakukan pemebersihan debu baik pada koleksi yang sering dipakai pengguna maupun

Menurut teori hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan laju perubahan tata guna lahan yang cukup tinggi. Kondisi tersebut ditandai dengan laju deforestrasi baik disebabkan