• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA ISLAM SEBAGAI AGAMA RAHMATAN LIL ALAMIN PERSPEKTIF PARTAI-PARTAI ISLAM PERIODE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA ISLAM SEBAGAI AGAMA RAHMATAN LIL ALAMIN PERSPEKTIF PARTAI-PARTAI ISLAM PERIODE"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

129 MAKNA ISLAM SEBAGAI AGAMA RAHMATAN LIL ALAMIN

PERSPEKTIF PARTAI-PARTAI ISLAM PERIODE 2014-2019 (Studi terhadap Pernyataan Petinggi Partai Islam

dalam Menanggapi Isu SARA) Robiatul Adawiyah

STAI Muhammadiyah Probolinggo Email: robiek17@gmail.com Abstrak

Tujuan tulisan ini adalah ingin memahami kembali konsep Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin dalam perspektif partai Islam di Indonesia khususnya pada periode 2014 - 2019. Di dalam banyak pemberitaan yang dinilai begitu masif terhadap Islam dan perilaku sebagian penganutnya yang dianggap melakukan perbuatan teror telah berhasil membuat sebagian kalangan apriori terhadap Islam kemudian takut untuk belajar Islam. Di tengah kondisi seperti ini istilah rahmata lil alamin dapat menjadi model alternatif Islam yang dieluh-eluhkan oleh banyak kalangan. Ironisnya, istilah ini dimaknai tanpa ada landasan ilmiah yang cukup memadai, bahkan dapat dikatakan telah terjadi bias makna. Dengan menggunakan pendekatan sosio-antropolinguistik dari data yang berbasis online, Dalam tulisan ini penulis menggunakan studi literatur, yaitu mencari sumber data tertulis yang meiliki relevansi dengan masalah yang sedang dikaji. Sedangkan sumber data yang digunakan baik berupa buku, artikel jurnal, majalah, dan surat kabar online yang terpercaya. Berdasarkan studi literatur, maka teknik pengumpulan data baik primer maupun sekunder penulis menggunakan teknik kepustakaan dan literatur terkait. Dengan tulisan ini penulis berharap konsep Islam rahmatan lil alamin dalam perspektif partai Islam di Indonesia mendapatkan kejelasan sehingga makna Islam rahmatan lil alamin itu benar-benar bisa mencerminkan sifat yang universal dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan bagi seluruh rakyat indonesia khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya.

Keywords: Islam, Rahmatan Lil Alamin, Partai Islam

Abstract

The purpose of this paper is to re-understand the concept of Islam as a religion that rahmatan lil alamin in the perspective of Islamic parties in Indonesia, especially in the period 2014 - 2019. some a priori towards Islam then afraid to study Islam. In the midst of such conditions the term rahmata lil alamin can

(2)

130 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 be an alternative model of Islam that is complained of by many groups. Ironically, this term is interpreted without sufficient scientific basis, it can even be said to have been a meaning bias. By using a socio-anthropolinguistic approach from online-based data, in this paper the authors use a literature study, which is looking for sources of written data that have relevance to the problem being studied. While the data sources that are used both in the form of books, journal articles, magazines and online newspapers are trusted. Based on the study of literature, the data collection techniques both primary and secondary authors use literature techniques and related literature. With this writing the authors hope the concept of Islam rahmatan lil alamin in the perspective of Islamic parties in Indonesia get clarity so that the meaning of Islam rahmatan lil alamin can truly reflect the universal nature and uphold the value of humanity that is fair and civilized and justice for all Indonesian people in particular and all humanity in general.

Keywords: Islam, Rahmatan Lil Alamin, Islamic Party

PENDAHULUAN

Sistem demokrasi di Indonesia, tumbuhnya partai-partai politik menunjukkan bahwa sistem demokrasi di indonesia mulai berkembang. Perkembangan sistem demokrasi ini memiliki tujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam alinea ke-4 teks Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Berkembangnya sistem politik di Indonesia juga disertai dengan tumbuhnya partai politik. Partai politik tumbuh dengan dilandasi oleh ideologi dan gagasan-gagasan tentang tujuan pembentukan partai politik itu sendiri. Sedangkan kemunculan partai politik di Indonesia dilandasi oleh ideologi yang berdasarkan pada agama dan nilai-nilai Pancasila. Begitu pula visi misi dari masing-masing partai politik yang merupakan buah hasil dari pemikiran filosofis yang melandasi partai politik tersebut. (Yumitro, 2013)

Bicara tentang demokrasi yang berjalan di Indonesia, maka perlu diketahui pula bahwa perkembangan demokrasi di indonesia pasca era reformasi mulai diwarnai dengan keberadaan partai-partai islam seperti PAN, PKB, PPP, PBB, dan PKS. Kemunculan partai-partai islam di Indonesia bukan tanpa alasan, meliankan karena adanya beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya sebuah partai islam. Salah satu diantaranya adalah setiap partai Islam itu ingin melanjutkan misi dakwahnya melalui jalur politik.

Adapun partai Islam, berkaitan erat dengan pemahaman terhadap hubungan antara Islam dan politik. mendefinisikan bahwa politik Islam terdiri dari berbagai partai dan gerakan yang menginginkan penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik dan sosial. Dengan makna yang sama, Olivier Roy

(3)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

131 menjelaskan bahwa partai dan gerakan Islam merupakan kelompok aktivis yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik sebagaimana mereka memahami agama. (Yumitro, 2013)

Sistem politik Islam merupakan sebuah sistem yang tentu bisa mengalami sebuah perubahan. Namun, sistem tersebut terdapat bagian-bagian tertentu yang secara pasti sudah diatur karena sifatnya yang universal. Oleh karena itu, setiap ajaran yang dianggap sesuai bagi semua komponen kehidupan dapat ditemukan dalam Islam.(Prihatin, 2018)

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, istilah rahmatan lil alamin sangat tepat dihubungkan dengan istilah politik. Hal itu tentu tidak hanya sekadar hubungkan atau disandingkan saja dalam sebuah frasa, akan tetapi juga untuk dijadikan sebagai suatu prinsip yang wajib dimaknai dan diejawantahkan dalam kehidupan politik sehari-hari. Oleh karena itu, sangat tepat jika setiap partai politik selalu mengusung istilah itu dalam setiap perjuangan politiknya.

Siring berjalannya waktu, politik rahmatan lil alamin pun semakin dapat relevansinya mengingat pada praktik politik kita dewasa ini dinilai cenderung mengalami kemunduran, selain itu hanya menjadi sekadar perjuangan kuasa demi memperoleh kuasa semata. Politik dewasa ini bukan lagi dimaknai sebagai perjuangan mewujudkan kebajikan bersama. Akhirnya, kebajikan dasar kehidupan suatu bangsa yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila, seperti: ketakwaan, peri kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan, mengalami kini telah mengalami pengerdilan. (Republika, 2014).

Dalam hal ini, sering kali agama seringkali menjadi pihak yang dipersalahkan ketika konflik meledak. Momentum persengketaan dan permusuhan yang terjadi akhirnya berimbas pada persoalan agama. Di berbagai medan konflik, warga muslim sering menjadi pihak tertindas. Kaum muslim menjadi kelompok besar yang diam di tengah medan konflik, yang tak dapat menyuarakan aspirasi dan argumentasi secara proporsional. Karena, akses informasi dan relasi kuasa yang sangat terbatas. (nu.or.id)

Melihat kondisi umat Islam saat ini secara keseluruhan dapat dikatakan masih belum mampu untuk membawa agamanya dengan baik dan benar. Ketidak mampuan itu dapat menjadi salah satu penghalang hadirnya Islam dengan penuh kesejukan dan kedamaian. Oleh karena itu, perlunya memahami kembali makna Islam sebgai agama yang rahmatan lil alamin. Berdasarkan tumbuh kembangnya partai politik Islam di indonesia penulis ingin mencari makna Islam sebgai agama yang rahmatan lil alamin perspektif partai-partai Islam periode 2014-2019.

(4)

132 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 KONSEP AGAMA RAHMATAN LIL ALAMIN

Islam merupakan sebuah agama yang dipercaya sebagai agama yang memiliki sifat universal, dinamis, dan humanis. Islam juga dipercaya sebagai agama yang akan kekal sepanjang waktu. Agama yang memiliki kitab suci Alquran ini juga dipercaya telah memiliki orisinal dari Allah swt, dengan rosul terakhir-Nya, yaitu nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang telah termaktub dalam Q.s. al Ahzab/33:40.(Rasyid, 2016)

Dalam ajaran Islam tidak hanya diperuntukkan kepada satu kelompok atau wilayah saja, melainkan ajaran Islam untuk seluruh umat manusia yang berada di alam semsta ini. Namun demikian, konstruksi universalitas Islam dalam kalang umat muslim sendiri tidak selalu sama. Terdapat salah satu kelompok yang mengartikan bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad yang dilahirkan dan berbudaya Arab itu sudah final, sehingga semua yang melekat pada diri nabi termasuk budayanya harus diikuti sebagaimana adanya.ada pula kelompok lain yang mendefinisikan universalitas ajaran Islam merupakan ajaran yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, sehingga kelompok tersebut menyatakan dapat masuk pada budaya apapun.(Luthfi, 2016)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelompok yang pertama menginginkan untuk menyeragamkan seluruh budaya yang ada di dunia menjadi satu. Sementara pada kelompok yang kedua menginginkan Islam sebagaimana nilai yang dapat mempengaruhi seluruh budaya yang ada. Dengan kata lain Islam diwujudkan dalam bentuk nilai bukan dalam bentuk fisik dari budaya yang ada. Berdasarkan pada dua jenis kelompok tersebut dapat dikakan bahwa kelompok yang pertama sama dengan kelompok yang bersifat funamental sedangkan kelompok yang kedua merupakan kelompok yang bersifat substantif.

Untuk lebih dalam memaknai Islam sebgai agama yang rahmatan lil alamin, maka perlu ditinjau berdasarkan makna harfiyahnya. Adapun kalimat Islam rahmatan lil alamin terdapat kata “rahmat” yang memiliki makna kelembutan yang terpadu dengan rasa keibaan. Sebagaimana Ibnu Faris memaknai kata tersebut dengan merujuk pada sebuah kelembutan hati dan belas kasih. Sedangkan dari kata tersebut muncullah kata ‘rahima’ yang memiliki arti ikatan darah, persaudaraan dan hubungan kekrabatan. Dipertegas oleh Al-Asfahani bahwa di dalam konsep “rahmat” kebaikan tanpa belas kasih. Artinya, jika kata rahmat itu disandarkan kepada Allah Swt maka akan bermakna “kebaikan semata-mata” dan jika disandarkan kepada manusia maka diartikan sebagai “simpati semata”.(Rasyid, 2016)

Konsep rahmat dalam al-Quran disebutkan bahwa yang termasuk pada kategori rahmat adalah seluruh bentuk kebaikan dan segala hal yang

(5)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

133 bermanfaat untuk manusia di dunia ini maupun nanti di akhirat. Kata rahmat adalah bentuk antonim dari kata mudharat dengan segala macam bentuknya. Oleh karena itu diebutkan kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad. Berdasarkan pada sifat tersebut Rosulullah menebarkan Agama Islam sebagaimana yang termaktub dalam QS. Ali Imran ayat 159. Kemudian sifat rahmat tersebut juga diwariskan kepada para sahabat Nabi. (Hefni, 2017)

Dalam kesinambungan sifat rahmat dari Allah kepada Nabi kemudian diwariskan kepada sahabat Nabi itu menjadikan suatu konsep rahmat yang kukuh dalam agama Islam sendiri. Meskipun sifat rahmah dimanifestasikan dalam wujud kelembutan,keakraban, dan penuh kasih sayang, akan tetapi sifat-sifat tersebut tidak kemudian menghilangkan sifat ketegasan, keperkasaan, dan keberanian mereka dalam menghadapi kedzaliman, serta penyimpangan, dan bahkan segala macam manipulasi di dunia ini.

Selain sifat rahmat yang telah digambarkan seperti di atas perlu diketahui pula bahwa bentuk rahmat Allah dalam al-Quran itu terdapat tiga bagian, yang pertama, yaitu rahmat Allah untuk seluruh manusia. Kedua, rahmat Allah yang khusus untuk orang yang beriman. Sedangkan yang ketiga, rahmat Allah untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Penjelasan bahwa rahmat Allah untuk Seluruh Manusia, yaitu dalam konsep, Islam rahmat Allah berarti memberikan perhatian tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Dengan kata lain, semua manusia mendapatkan rahmat ddari Allah, baik dia dekat dengan Allah maupun jauh, mukmin atau kafir. Menebar rahmat akhirnya juga menjadi bagian dari tugas Nabi Muhammad saw sebagai komitmen dirinya untuk menjadi Rasul penebar rahmat untuk semesta alam. Rahmat untuk manusia dapat dikelompokkan dalam empat bagian: pertama, rahmat yang terkait dengan fisik, kedua, rahmat terkait dengan batin, ketiga, rahmat yang terkait dengan fitrah, dan keempat, rahmat terkait dengan akal.

Sementara, lebih spesifik, Islam dikatakan sebagai agama yang mengusung jargon “rahmatan lil-‘alamin”. Jargon tersebut selalu dicoba diwujudkan dalam praktek kehidupan umat muslim dengan pola yang beranekaragam. Rasionalisasi-pun sangat dibutuhkan saat Islam mencapai tahap menyebaran. Oleh Sebab itu, dengan jargon tersebut Islam diharapkan agar dapat masuk ke pelbagai aspek. Karena dengan demikia, kehadiran Islam akan lebih bisa diterima oleh semua kalangan dan dapat dipertanggung jawabkan secara rasional.

Pada ranah praktis, seringkali jargon rahmatan Lil alamin tidak dapat defahami secara utuh oleh manusia pada umumnya, dan umat muslim khususnya. Salah satu contoh ketika nilai-nilai dalam Islam yang bersumber dari wahyu mencoba pakai dalam praktek kehidupan (habitual actions)

(6)

134 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 seringkali diklaim sebagai kebenaran utuh dan tunggal, dengan menafikan tafsir-tafsir lain. Padahal tidak ada kebenaran yang utuh dan tunggal. Pada hakikatnya kebenaran itu selalu terjalin antara satu dengan yang lain, ibarat sebuah benang yang dirajut hingga menjadi sehelai kain. (Kompasiana, 26 juni 2015)

Pandangan Tokoh Ulama tentang Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin

Di dalam menelaah gagasan Islam Rahmatan lil Alamin perspektif KH. Hasyim Muzadi, merujuk kepada sumber primer, yakni Islam Rahmatan lil Alamin menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia (Perspektif Nahdlatul Ulama). (Rasyid, 2016) Lebih lanjut KH. Hasyim Muzadi menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat untuk semesta alam sekaligus sebagai penyempurna bagi agama-agama sebelumnya sehingga menjadikan Islam sebagai agama yang cukup istimewa. KH. Hasyim Muzadi. Dengan mengusung gagasan Islam Rahmatan lil Alamin, ia berhasil menghadirkan wajah Islam yang khas, menyeluruh, dan komprehensif, dibandingkan istilah Islam yang Liberal, Islam Progresif, Islam Nusantara dan istilah Islam yang lainnya. Ada bebrapa metode yang beliau gunakan dalam menyampaikan konsep tersebut: pertama, melalui sebuah pendekatan dakwah, pendekatan hukum serta pendekatan politik. Ketiganya, dapat membawa Islam dengan lemah lembut, damai dan penuh rahmat, di beberapa negara yang memiliki beragam suku, etnis, agama dan budaya.

Berdasarkan pada beberapa landasan seperti psikologis, historis dan realistis yang melatarbelakangi Islam rahmatan lil alamin untuk dikampanyekan ke dunia. Gambaran sikap dan pola dakwah tawassuth (moderat), i’tidal (tegak), tasammuh (toleran) dan tawazun (seimbang), menjadikan salah satu organisasi Islam seperti NU ini memiliki ciri khas dan wajah yang berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya. Empat pilar dakwah yang dijalankan secara proporsional, menjadikan NU kondusif menerima perbedaan di tengah-tengah pergulatan pemikiran di Indonesia. Bahkan NU dianggap sebagai organisasi peyanggah moderasi Islam di Indonesia.

Kebiasaan-kebiasaan menerima hal yang berbeda inilah kemudian dapat menghantarkan NU menjadi lebih dewasa dalam menatap masa depan dan menyebarkan ajaran Islam, dengan visi Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam praktiknya, seperti Islam yang memberi rahmat kepada siapa pun, baik non-Muslim yang ingin masuk Islam pun tidak ada unsur paksaan dan tekanan apa pun. Sebagaimana Konsep ukhuwahIslamiyah (hubungan sesama orang Islam) yang dideklarasikan Nabi Muhammad, telah termaktub dalam Piagam

(7)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

135 Madinah, hal itu juga dapat menginspirasi lahirnya sikap dewasa dalam menyikapi sebuah perbedaan.

Dengan demikian Islam rahmatan lil alamin menurut pandangan KH. Hasyim Muzadi sebagaimana maknanya, yaitu Islam yang membawa pada sebuah Keadilan dan Perdamaian Dunia, karena sifatnya yang universal sehingga makna yang terkandung adalah untuk semua makhluk sejagat raya ini, tidak memandang siapa manusianya, apa agamanya, apa negaranya dan sebagainya.

Tidak jauh berbeda, salah satu tokoh Islam yang dikenal sebagai bapak pluralisme, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebg akrab dipanggil Gus Dur. Sekilas tentang riwayah hidup seorang Gus Dur, beliau besar diantara “tiga dunia”; pertama, yaitu dunia pesantren yang berstruktur hirarkis, penuh dengan ortodoksi, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, yaitu dunia Timur Tengah yang cenderung lebih terbuka dan sedikit keras, dan ketiga, yaitu budaya Barat yang dikenal liberal, rasional dan sekular. Secara Kompleksitas kepribadian beliau itulah, yang kemudia terbentuk perspektif atau sebuah pemikiran dan perhatian yang disebut multidimensi.(Asmara, 2017)

Gus Dur mengatakan, demi tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada suatu pola hidup yang berdampingan secara damai, karena hal itu masih dinilai rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada waktu tertentu dapat menimbulkan disintegrasi. Namun, lebih dari itu harus ada sebuah penghargaan yang tinggi terhadap pluralisme itu sendiri, yaitu adanya kesadaran untuk terus saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lainnya dapat saling menerima dan memberi.

Islam rahmatan lil alamin menurut Gus Dur harus tampil sebagai pemersatu bangsa dan pelindung bagi keragaman serta mampu menjawab tantangan masa sehingga Islam lebih toleran, egaliter, inklusif, dan demokratis. Nilai Islam yang esensial dan universal lebih diutamakan dari pada hanya sekedar legal-simbolis. Islam juga dikatakan telah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa membawa “embel-embel” atau atribut yang melekat pada Islam itu sendiri, akan tetapi ruh keislaman telah menyatu dalam wajah nasionalisme, yaitu:

1. Pribumisasi Islam; Agama dan budaya ibarat sebuah uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Agama Islam diyakini bersumber pada wahyu yang bersifat normatif, maka cenderung menjadi kekal. Sedangkan budaya adalah ciptaan manusia, maka dari itu perkembangannya selalu mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah-ubah. Perbedaan ini tidak lantas menghalangi kemungkinan terwujudnya kehidupan beragama dalam

(8)

136 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 bentuk budaya. Inti dari pribumisasi Islam adalah suatu kebutuhan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang cukup sulit untuk terhindarkan.

2. Nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia; inti dari yang terkandung dalam nillai-nilai demokrasi dan hak asai manusia adalah terwujudnya suatu keadilan dan kesejahteraan hidup lahir maupun batin, baik secara material maupun spiritual.

3. Primsip humanis dalam pluralitas masyarakat; dalam hal ini diharapkan bahwa dalam bernegara perlunya menjunjung tinggi kemanusiaan sehingga tidak ada lagi konflik yang berkepanjangan baik antar suku, ras, golongan maupun yang mengatasnamakan agama di berbagai pelosok di Indonesia. Sebab jika masih terdapat konflik yang berkepanjangan itu menunjukkan belum adanya penghargaan terhadap kemanusiaan sehingga dengan mudahnya orang main hakim sendiri. 4. Prinsip Keadilan dan egaliter; Demokrasi akan dinilai berkeadilan jika

ada kesetaraan (egalitarianisme) warga masyarakat baik di depan hukum, undang-undang, maupun dalam lembaga birokrasi dengan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa adanya diskriminasi baik warna kulit, pribumi-keturunan, etnis, gender, idiologi, maupun agama.

Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI yaang sekaligus sebagai Cawapres terpilih dalam pemilu 2019 ini pun menyatakan bahwa Islam rahmatan lil alamin adalah Islam yang moderat. Hal tersebut disampaikainya dalam acara halal bi halal dan seminar sehari dalam rangka milad Dewan Masjid Indonesia yang ke-47 di Jakarta. (Republika, 17 Juli 2019)

Lebih lanjut KH. Maruf Amin atau lebih akrab dipanggil Kiayi Maruf ini mengatakan bahwa Islam yang moderat itu nampak dari cara seseorang berpikir dan bergerak. Gambaran cara berpikir yang moderat itu adalah tidak terlalu tekstual dan juga tidak terlalu liberal. Sedangkan Isalam rahmatan lil alamin itu dinamis dan tidak kaku tetapi tidak juga meremehkan masalah. Kiyai Maruf juga memakai istilah Islam Wasatiyah yang berarti bahwa Islam yang dapat menerima kehadiran NKRI, karena menurutnya NKRI itu bukan hanya milik perorangan, akan tetapi milik kita semua. Pada kesempatan lain, tepat hari Rabu 08 Mei 2019 lalu atau bertepatan pada bulan suci Ramadhan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah mengundang sejumlah mantan narapidana kasus terorisme dan semua keluarganya di salah satu Hotel di Jakarta Pusat, yaitu Hotel Arya Duta. Dalam kesempatan tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) juga dihadirkan untuk mengisi sesi sosialisasi tentang sifat rahmatan lil 'alamin agama Islam. Salah seorang yang mengisi acara tersebut diantaranya adalah Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Muhammadiyah Amin menyampaikan bahwa konsep rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) perlu dikomunikasikan

(9)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

137 kepada para mantan teroris dan mantan napi teroris. Dalam penyampaiannya Amin menyebutkan bahwa ada empat karakteristik cabang rahmat itu diantaranya: (Pluralis, Humanis, Dialogis, dan Toleran). (Republika, 08 Mei 2019).

Amin menjelaskan dari masing-masing istilah tersebut di atas, yang dimaksud dengan pluralis adalah sikap beragama yang mampu menjalin hubungan dengan siapapun tanpa memandang perbedaan baik agama, suku, bangsa, ras atau hal lain yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, humanis, itu sikap beragama yang mampu memanusiakan manusia serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), dialogis adalah bersikap akomodatif terhadap pelbagai macam pemikiran yang berbeda. Sedangkan toleran dimaknai memberi kesempatan kepada semua kalangan yang berbeda untuk melakukan hal-hal yang diyakininya dengan aman dan damai.

Berdasarkan keempat sikap beragama tersebut Amin menilai sudah sesuai dengan watak kebangsaan Indonesia. Sebagaimana Indonesia yang dikenal sebagai negeri yang majemuk, namun tetap menjaga persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat. Sehingga tidak heran jika pada era 90-an Indonesia sempat menuai pujian dari dunia luar dan menyatakan bahwa karakter Islam di Indonesia menunjukkan wajah Islam yang ramah. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban moral setiap warga Indonesia khususnya yang beragama Islam untuk menunjukkan serta menyebarluaskan sikap beragama dengan karakter yang rahmatan lil alamin.

Konsep Islam Rahmatan Lil Alamin Dalam Konteks Partai Politik Di Indonesia

Fenomena yang paling menarik untuk selalu diamati adalah ketika Islam dileburkan dengan aspek politik. Dari beberapa ahli pun kemudian mulai menawarkan Pelbagai terori. Diantara teori tersebut adalah Kultural Islam, Domestikasi Islam, Skismatik Aliran, Trikotomi Islam, dan Dekonfessionalisasi Islam. Dari kelima pendekatan teoritis tersebut hanya satu yang jelas mengasumsikan adanya keterpisahan antara islam dan politik. Sementara, sejarah telah membuktikan bahwa upaya umat Islam sangatlah berarti dalam mengawal kemerdekaan bangsa dengan berbagai gerakan jihad dalam melawan kolonial Belanda. Fenomena politik tersebut kemudian berlanjut kepada proses pembentukan identitas bangsa. Berdasarkan gerakan tersebut, dapat dikatakan bahwa umat Islam telah menanamkan nilai-nilai yang ada dalam Islam dan selanjutnya ditransformasikan ke dalam spirit nasionalisme sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa ‘cinta tanah air adalah sebagian dari Iman. (Kompasiana, 26 juni 2015)

Sebelum mengbahas terlalu jauh tentang konsep islam rahmatan lil alamin dalam konteks partai politik di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu tentang bagaimana relasi agama dan negara dalam perjalanan politik

(10)

138 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Indonesia. Sebagaimana Indonesia yang memiliki ideologi yang mengutamakan unsur ketuhanan, nampak jelas dalam pancasila yang melandasi keempat sila yang lainnya. Disisi lain, dikatkan suatu negara tidak akan bisa menjalankan roda pemerintahannya tanpa adanya tindakan politik. Oleh Sebab itu, tindakan politik dalam tatanan negara menjadi penting dan melalui politik sebuah kebijakan dapat dilahirkan. (Saputro, 2019)

Sedangkan bicara soal agama dan politik, menurut Gunter W. Remmling (1976) dari keduanya dikatakan seperti dua wujud yang terpisah, akan tetapi keduanya juga memiliki peran sosial yang cukup tinggi dalam masyarakat. Sebagaimana agama dengan nilai moralitasnya memiliki peran sebagai social control, seperti harmonisasi, nilai dan norma dalam masyarakat. Disisi lain, politik diidentikan dengan kekuasaan dan peran regulasinya. Seperti dalam tesis Herbert Spencer, disebutkan bahwa politik dan agama itu memainkan peran yang sama, yaitu hal yang berkaitan dengan regulating dan restraining. Menurut Spencer agama dan politik memiliki peran dalam masyarakat sebagai lembaga pengaturan sekaligus mempertahankan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat.

Jika ditinjau berdasarkan tafsir al quran Q.S al Baqoroh ayat 119 disebutkan bahwa agama adalah kabar gembira dan peringatan. Sedangkan politik dikatan kekuatan pemaksa (coercion). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa agama dapat mempengaruhi jalannya sejarah dengan kesadaran bersama (collective consdience). Sedangkan politik mempengaruhi sejaran dengan adanya sutu keputusan, kekuasaan, dan bahkan dengan perang. Akan tetapi antara keduanya itu dapat bersatu dalam sebuah partai, hal itu juga yang bisa terjadi di Indonesia berdasarkan Pancasila.

Dalam perjalanan partai politik Indonesia sepanjang sejarah sudah ada partai politik yang beraliran agama. Hadirnya partai politik yang beraliran agama tersebut bahkan sudah ada sebelum kemerdekaan sampai saat ini. Selain partai politik, oraganisasi masyarakat seperti yang dulu dikenal dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI) merupakan kumpulan pedagang Islam yang menentang politik Belanda pada saat itu, terkait masalah keleluasaan masuknya pedagang asing. Pada tahun 1920 akhirnya SDI mulai bertransformasi menjadi Partai Serikat Islam (PSI).

Pada masa sebelum kemerdekaan beberapa partai yang beraliran Islam bergabung dalam suatu majelis yang diberi nama Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI). Sedangkan pada masa pendudukan Jepang kehadiran partai dan pergerakan politik dilarang, akan tetapi untuk golongan Islam masih diberi kebebasan untuk membentuk sebuah partai yang kemudian diberi nama Partai Mejelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat menjadi Partai Masyumi. Pada masa tersebut Masyumi cenderung banyak bergerak di bidang sosial dan

(11)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

139 tidak terlalu banyak berbicara dalam bidang politik. Dengan demikian sejarah telah membuktikan bahwa ada relevansi antara persoalan agama dan negara.

Relasi agama dan negara di Indonesia tidak hanya hadir dalam partai politik keagamaan saja, namun dua organisasi besar seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah juga menjadi dua tiang yang menyanggah Indonesia dalam menjaga demokrasi dan pluralisme. Kehadiran dua ormas agama besar tersebut dikatakan dapat meredam adanya gerakan-gerakan radikal keagamaan yang selalu mengancam kestabilan suatu negara. Bagi beberapa kalangan yang pemikirannya telah dipengaruhi oleh Karl Marx melihat bahwa relasi agama dan negara itu tidak selalu saling menguntungkan. Marx yang mengatakan bahwa ‘agama sebagai candu masyarakaat’ secara implisit merupakan deskripsi dari relasi agama dan negara. (Saputro, 2019)

Belum hilang dalam ingatan tentang pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017 lalu, pemilihan tersebut dimenangkan oleh pasangan Anis Baswedan-Sandiaga Uno. Kemenangan pasangan tersebut tidak lepas dari kasus besar tentang penodaan agama yang membawa nama Basuki Cahya Purnama alias Ahok yang menjadi lawan politiknya. Kemudian, beberapa aksi protes besar-besaran pun dilakukan oleh umat Islam, hal itu menunjukkan adanya tuntutan kepada pemerintah agar segera memberikan keputusan bahwa yang dilakukan oleh Ahok itu merupakan penodaan agama. Akhirnya muncullah fatwa MUI melalui KH. Ma’ruf Amin tentang penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok sebelum pemilihan Gubernur dilaksanakan, hal itu tentu membawa dampak terhadap hasil perolehan suara yang sekaligus mengantarkan pasangan Anis Baswedan-Sandiaga Uno menjadi Gubernur terpilih.

Kasus seperti yang terjadi pada Ahok tersebut telah menggambarkan bahwa politik identitas telah berhasil memenangi sebuah kompetisi politik. Hal tersebut tidak lepas dari persoalan agama yang diangkat dan dihubungkan kedalam persoalan politik, sehingga banyak menuai persoalan-persoalan baru seperti persoalan yang menyangkut SARA. Pada pelaksanaan Pilpres 2019 kemarin disinyalir bahwa Joko Widodo atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi ini dalam mengambil keputusan untuk memilih KH. Makruf Amin sebagai wakil presiden merupakan suatu langkah yang disebut politik identitas. Salah satu yang menjadi alasan Jokowi memilih KH. Maruf Amin karena mengaanggap KH. Maruf Amin sebagai agamawan yang bijaksana dan pengalamannya yang cukup di pemerintahan. Selain itu Jokowi mengklaim bahwa keputusan memilih KH. Maruf Amin sebagai pasangannya dalam pemilu 2019 telah mendapatkan persetujuan dan saran dari berbagai elemen masyarakat, seperti dari kalangan ulama, para ketua umum partai dan pengurusnya serta relawannya.

(12)

140 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Berdasarkan pada keputusan Jokowi menggandeng KH. Maruf Amin dalam pemilu 2019 kemarin nampak jelas bahwa agama yang dinilai dapat menjadi senjata sekaligus peredam politik identitas yang kemungkinan dapat dilakukan oleh lawan politiknya dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada. Dunia perpolitikan di Indonesia nampaknya masih sangat gemar menggunakan politik identitas sebagai usaha untuk memenangkan kompetensi politik. Salah satu identitas pembedanya adalah agama. Sebagaimana Islam yang merupakan agama yang mayoritas di Indonesia ibarat sebuah kendaraan yang dapat menghantarkan para elit untuk memenangkan persaingan politik.

Hubungan antara agama dan negara pada saat menghadapi pemilu 2019 khususnya di pemilihian presiden, nampaknya pada kedua calon presiden telah malakukan politik identitas dengan memodifikasi agama. Terbukti bahwa dari kedua pasangan calon dari awal masa kampanye sampai menjelang pelaksanaan pilpres mulai gencar untuk mendatangi ulama, tokoh agama, dan beberapa pondok pesantren dalam rangka kegiatan politiknya. Dampak yang dapat dilihat secara langsung dari elektabilitas pemilih sebelum dan sesudah penetapan Cawapres, diberitakan oleh lembaga survei Indonesia (LSI) yang berdasarkan pada keputusan Jokowi memilih KH. Maruf Amin, hasilnya menunjukkan bahwa elektabilitas menurun hingga mencapai 52,2 persen. Penurunan elektabilitas Jokowi-Maruf itu dapat terjadi karena beberapa data pemilih, yaitu terdiri dari 22,8 persen non-muslim, 40,4 persen pemilih berasal dari kaum terpelajar dan 7,6 persen berasal dari kalangan pemilih pemula. Berdasarkan data tersebut telah mennjukkan bahwa terdapat relasi antara agama dengan negara dalam dunia politik yang cukup erat bahkan kaitannya dengan memperoleh pemimpin. (Saputro, 2019)

Dalam pemilihan seorang pemimpin, hendaknya memposisikan otoritas tertinggi pada suatu negara. Demikian halnya negara seyogyanya dapat menjalankan tugasnya secara adil serta menjadikan agama sebagai alat pemersatu dari perbedaan pilihan politik yang ada. Sebagaimana Islam yang notabenenya merupakan agama yang mayoritas di Indonesia dan sering disebut sebagai agama yang rahmatan lil alamin, atau dengan kata lain dikenal sebagai agama yang memiliki sifat universal serta membawa rahmat bagi seluruh umat. Oleh karena itu, tidak jarang para elit politik membawa-bawa istilah Islam agama yang rahmatan lil alamin di dalam konteks partai politik.

Istilah rahmatan lil alamin pada dasarnya jarang disandingkan dengan istilah politik dalam bentuk sebuah frasa. Umumnya, istilah itu melekat dengan makna Islam sebagai sebuah Din atau jalan hidup. Jika dimaknai secara bebas, pemahaman rahmatan lil alamin itu dapat merujuk pada dua hal. Pertama, yaitu alam semesta mendapat manfaat dengan diutusnya seorang

(13)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

141 Nabi yang bernama Muhammad Saw. Diyakini bahwa bagi orang mukmin yang mengikuti beliau, akan mendapat kemuliaan di dunia maupun di akhirat. Kedua, yaitu Islam adalah sebuah rahmat bagi setiap manusia, namun khusus untuk orang yang beriman, mereka akan menerima rahmat serta mendapatkan manfaat di dunia juga di akhirat.

Pada konteks yang lain khususnya politik, nilai-nilai yang terkandung dalam istilah rahmatan lil alamin diharapkan pula dapat melekat di dalamnya. khususnya Islam sebagai sebuah agama yang mengatur banyak hal termasuk hal yang berkaitan dengan politik. Dengan kata lain, politik dapat artikan sebagai upaya menyerupai istilah rahmat dan keselamatan bagi alam semesta tanpa terkecuali. Politik rahmatan lil alamin juga dimaksudkan sebagai politik yang mengedepankan keberpihakan pada kepentingan umum dan kehidupan alam semesta.

Sebagaimana dasar pemikiran politik seorang Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, beliau tidak bisa terlepas dari kenyataan bahwa beliua berada pada posisi beyond the symbols, yaitu berbagai macam simbol atau peran melekat dalam dirinya.

Sebagaiamana Gus Dur memahami realitas sosial dengan multidimensi, sehingga menanggapi realitas tidak hanya bersifat monolitik. Secara sitematis Gus Dur melihat universalisme Islam dalam berbagai jaminan dasar Islam berdasarkan pada martabat manusia yang meliputi beberapa hal seperti berikut ini:

1. Jaminan atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan jasmani di luar ketentuan hukum.

2. Jaminan atas keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada unsur paksaan untuk berpindah agama.

3. Jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan, yang akan menampilkan sosok moral, baik moral dalam arti kerangka etis maupun kesusilaan. 4. Jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum,

serta jaminan atas keselamatan profesi yang merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu.

Lebih lanjut, Gus Dur menjelaskan bahwa aplikasi dari ajaran Islam yang universal, atau dengan kata lain dikenal dengan istilah Islam rahmatan lil alamin itu tidak akan terjadi tanpa sikap terbuka terhadap peradaban yang lain, yang membuat Islam bersikap secara kosmopolitan atau memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. sikap terbuka tersebut memiliki unsur dominan, seperti kuatnya pluralitas budaya, hilangnya batasan etnis, dan terciptanya keberagaman politik.(Asmara, 2017)

(14)

142 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Dengan demikian, yang menjadi orientasi Gus Dur adalah kepada kesejahteraan rakyat, karena dengan adanya kesejahteraan itulah dapat membuktikan demokratis atau tidaknya sebuah kehidupan di dalam masyarakat. Dengan pemikiran Gus Dur yang dinilai liberal itu telah mempengaruhi banyak kalangan, salah satu diantaranya adalah suatu partai Islam, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Asas yang menjadi pemikiran Gus Dur tidak lepas dari aspek nasionalisme dan Islam, yang keduanya itu dituangkan dalam AD/ART PKB sehingga menjadikan Pancasila sebagai asas partai. Berkenaan dengan penentuan nasionalisme dan demokrasi yang dijadikan landasan dasar PKB dari pada dasar agama, Gus Dur mengatakan bahwa PKB lebih mengutamakan kepentingan nasional.

Jika dikaitkan dengan Islam, menurut Gus Dur PKB tidak harus mengusung simbol-simbol Islam karena pada dasarnya PKB sudah menerapkan nilai yang terkandung dalam Islam. Berdasarkan hai itu, Gus Dur mengatakan:

“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja. Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak mementingkan mereknya, tapi isinya”. Dengan kata lain, satu-satunya alasan pemakaian Pancasila sebagai asas partai itu dilandasi oleh cara pandang tokoh PKB dalam melihat Islam, Islam dipandang tidak perlu dilembagakan secara formal, akan tetapi yang lebih utama adalah nilai ajaran Islam itu harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu senada dengan Alwi Sihab yang pemikirannya dipengaruhi oleh Gus Dur, ia menegaskan bahwa agama idealnya dapat mendorong proses demokratisasi bukan malah menjadi alat legitimasi politik. (Asmara, 2017)

Dari visi-misi PKB, Alwi menilai bahwa partai tersebut merupakan partai yang terbuka dan inklusif yang memiliki cita-cita untuk mewujudkan masyarakat bermoral, bukan untuk membentuk sebuah negara yang berasaskan syari‘at Islam. Karena menurutnya, apabila masyarakat telah menerapkan moralitas dengan sendirinya akan membentuk negara yang bermoral pula. Bukan hanya asas, sistem, dan bentuk yang diutamakannya, melainkan tetapi yang terpenting adalah upaya untuk menanamkan substansi dan hakikat Islam dalam menciptakan manusia yang beradab.

Dikatakan pula bahwa agama dan demokrasi juga sangat berkaitan, karena nilai-nilai substansinya telah mendukung proses terciptanya demokrasi, di antaranya adalah pemerataan, persamaan, dan keadilan. Alwi menegaskan kembali bahwa yang menjadi tujuan Islam adalah untuk

(15)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

143 menciptakan masyarakat yang bermoral tinggi bukan menciptakan negara yang berlandaskan agama karena demikian hanya akan memecah belah kesatuan bangsa.

Salah satu tokoh Islam lainnya yang bernama Ulil Abshar Abdalllah, ia juga dikenal sebagai seorang tokoh yang cukup kontroversial di kalangan NU, namanya cukup dikenal karena kekritisannya mengenai pluralisme agama. Secara esensial Ulil memiliki pemikiran yang sama dengan pemikiran Gus Dur, tentang beberapa istilah Islam yang ada, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual, dan Islam Universal. Menurutnya, yang harus menjadi perhatian dalam memaknai Islam itu Pertama, bahwa penafsiran Islam itu non-literal, substansial dan sesuai dengan peradaban manusia yang dinamis. Kedua, yaitu harus ada pemisahan unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam ajaran Islam, dengan kata lain, kita harus membedakan mana termasuk ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang bukan. Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara agama dan kekuasaan politik.

Bagi Ulil agama adalah urusan privat, sedangkan pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsensus masyarakat melalui prosedur yang disebut dengan demokrasi. Kendati demikian nilai-nilai universal agama tetap harus dihadirkan sebagai bentuk partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai yang ada di masyarakat.(Asmara, 2017)

Berdasarkan gambaran Islam dalam konteks partai politik di atas, penulis mencoba untuk menampilkan salah satu contoh partai Islam yang sampai saat ini masih eksis di dunia perpolitikan Indonesia. Salah satunya adalah PKB yang sejak awal menyatakan tidak pelru memakai “embel-embel” Islam, namun secara esensinya partai tersebut telah menerapkan nilai yang terkandung dalam ajaran Islam sendiri.

Melihat fenomena politik Islam yang penuh dengan masalaah seperti pada kondisi saat ini, maka perlu kiranya menampilkaan politik Islam yang lebih obyektif dan substantif. melalui upaya melepaskan praktek politik yang hanya mengusung symbol atau segala macam formalitas Islam tanpa menekankan pada substansi dari nilai ajaran Islam. Dengan adanya perubahan mekanisme berpolitik tersebut diharapkan pula dapat memulihkan kembali citra umat Islam yang sudah mulai tercoreng dimata masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, persoalan ini perlu menjadi perhatian dan mendapatkan apresiasi dari seluruh umat Islam di Indonesia, terutama para elit politik Islam, agar keberagaman dalam pemikiran dan ideologi yang dimiliki umat Islam dapat menjadi rahmat bagi seluruh umat di Indonesia khususnya.

Demikian pula diharapkan citra Islam bisa kembali mendapatkan tempat di hati pemeluknya serta dan non-Islam bila perlu Islam dapat

(16)

144 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 dikembalikan lagi pada fungsinya, yaitu menyelamatkan apa yang perlu diselamatkan.

Sampai saat ini setidaknya ada 5 partai yang dapat dikategorikan sebagai partai yang berazaskan Islam dan mengusung nilai Islam serta berbasis massa Islam diantaranya sebagai berikut:

1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berazaskan Islam (AD-ART, 2016)

2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengusung nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (AD-ART, 2014)

3. Partai Keadilan Sejahtera PKS yang berazaskan Islam (AD, ) 4. Partai Bulan Bintang (PBB) yang berazaskan Islam (AD, 2015) 5. Partai Amanat Nasional (PAN) yang meski berdasarkan Pancasila dan

berazaskan akhlak politik yang berlandaskan agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam (AD, 2010). (Republika, 21 agustus 2019 ) Dalam hal ini penulis ingin mengeksplor lebih dalam tentang makna Islam rahmatan lil alamin dalam konteks partai Islam di Indonesia, melalui pernyataan para petinggi partai Islam di media massa atau surat kabar secara online dalam bentuk tabel seperti berikut di bawah ini:

Tabel:

Pernyataan Para Petinggi Partai Islam Tentang Konsep Rahmatan Lil Alamin Dalam Konteks Partai Politik Di Indonesia

No Partai Tokoh Pernyataan Sumber Berita 1 PKB Muhaimin

Iskandar

“Islam politik jangan dimaknai sebagai hal yang negatif. Islam politik sama sekali tidak identik dengan fundamentalisme. Saya menawarkan Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai konsep dan ideologi Islam politik, yang wajib diturunkan ke dalam program kerja konkret bagi siapa pun yang meyakininya,” kata Cak Imin.

Muhaimin: Islam dan Politik Mustahil Dipisahkan, Republika.co.id Rabu 30 Agustus 2017 2 PBB Yusril Ihza Mahendra

Pemeluk agama lain tidak perlu khawatir

Pemilu 2019, PBB Tegaskan

(17)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

145 dengan adanya PBB.

"Ideologi PBB adalah Islam rahmatan lil alamin dengan latar belakang realitas dan pengalaman bangsa kita sendiri, bukan latar belakang Timur Tengah, bukan pula India-Pakistan dan negara-negara lain,"

Slogan Bela Islam dan NKRI

Republika.co.id Ahad 25 Mar 2018

3 PPP Suryadarma Ali Mukernas, katanya, akan menentukan arah perjuangan PPP ke depan. Apalagi di tengah tantangan PPP dalam mengimplementasikan Islam di tengah-tengah banyaknya stigma negatif. "Perlu kesabaran, ketabahan dan ketekunan untuk menjelaskan pada masyarakat dan dunia internasional. Inilah Islam, Islam yang rahmatan lil'alamin," Mengaku PPP Jadi Kerdil Sejak Reformasi Republika.co.id Jumat , 07 Februari 2014

(18)

146 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 4 PKS Pipin Sopian PKS katakan “kami

ingin berada di jalur demokrasi masuk di dalamnya

berkontribusi kepada bangsa dan negaranya. NKRI harga mati, kami perjuangkan nilai-nilai dan jadikan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin”. PKS Kecam Pihak yang Mainkan Isu SARA Saat Pilpres 2019 Tribunnews.com Senin 09 Juli 2018

5 PAN Zulkifli Hasan Menjadi tugas

bersama Malaysia dan Indonesia untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh

kedamaian, rahmatan lil alamin. "Indonesia dan Malaysia harus bersama-sama menunjukkan citra bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin," kata Zulkifli.

Malaysia Ajak Indonesia Jadi Bangsa Pencipta Bukan Pengguna Newsdetik.com Kamis 26 Mei 2016

Dari masing-masing pernyataan yang disampaikan oleh petinggi partai Islam di atas menunjukkan bahwa masing-masing tokoh memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda tentang konsep Islam rahmatan lil alamin. Sebagaimana yang disampaikan oleh ketua umum PKB Muhaimin Iskandar atau yang lebih akrab disapa Cak Imin menyatakan bahwa:

Islam politik sama sekali tidak identik dengan fundamentalisme. “Saya menawarkan Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai konsep dan ideologi Islam politik, yang wajib diturunkan ke dalam program kerja konkret bagi siapa pun yang meyakininya”.

Dalam pernyataan tersebut mengandung makna bahwa Islam rahmatan lil alamin dapat dijadikan solusi ditengah-tengah persoalan yang membelit negara Indonesia, seperti masalah kemiskinan, persoalan

(19)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

147 ketidakadilan, kecenderungan mengerasnya pemahaman agama yang mulai dangkal, dan masalah lain yang sedang dihadapi negara Indonesia saat ini.

Sebagaimana yang disampaikan oleh ketua umum PBB Yusril Ihza Mahendra yang menegaskan bahwa:

“Pemeluk agama lain tidak perlu khawatir dengan adanya PBB. "Ideologi PBB adalah Islam rahmatan lil alamin dengan latar belakang realitas dan pengalaman bangsa kita sendiri, bukan latar belakang Timur Tengah, bukan pula India-Pakistan dan negara-negara lain". Dengan kata lain, pernyataan yang disampaikan oleh ketua umum PBB tersebut semakin menunjukkan bahwa salah satu partai Islam tersebut memaknai konsep Islam rahmatan lil alamin adalah Islam yang moderat dan lebih inklusif bagi masyarakat Indonesia khususnya. Sebagamana cita-cita PBB untuk memajukan dan mensejahterakan umat Islam dan bangsa Indonesia seluruhnya.

Senada dengan pernyataan yang disampaikan oleh Pipin Sopian Ketua Departemen Politik DPP PKS, saat mengisi acara diskusi yang bertajuk Pemilu Tanpa SARA di daerah Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Ia menyatakan bahwa dalam membela negara tetap harus berada di jalur demokrasi dan terus menjalankan nilai-nilai ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Berikut pernyataanya:

PKS katakan “kami ingin berada di jalur demokrasi masuk di dalamnya berkontribusi kepada bangsa dan negaranya. NKRI harga mati, kami perjuangkan nilai-nilai dan jadikan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin”.

Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, bahwa dalam konteks negara Islam tetap harus diperjuangkan sebagai agama yang memberi rahmat kepada semua umat khususnya bagi umat muslim di Indonesia. Sedangkan yang berkaitan dengan negara, maka NKRI tetap harus dijaga sebagai upaya untuk menjaga keutuhan suatu bangsa.

Konsep Islam rahmatan lil alamin tidak hanya dibahas pada tataran nasional saja, melainkan di dunia internasonal pun diperbincangkan. Seperti Indonesia dan Malaysia yang banyak memiliki kesamaan. Dua negara tersebut selain satu benua keduanya juga dipersatukan oleh kesamaan seperti perjalanan sejarah, sosial, budaya, bahkan agama. Sebagaimana yang digambarkan pada sebuah acara yang dilangsungkan di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM) Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia.

Dalam acara yang dihadiri oleh Presiden IIUM Dr. Rais Yatim dan Zulkifli Hasan MPR RI sekaligus ketua umum PAN tersebut membahas tentang tugas negara untuk menunjukkan kepada semua umat Islam bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian atau istilah lain disebut agama

(20)

148 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 yang rahmatan lil alamin. (Newsdetik.com, 26 Mei 2016) berikut pernyataan yang disampaikan oleh ketua umum PAN dalam acara tersebut.

Menjadi tugas bersama Malaysia dan Indonesia untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian, rahmatan lil alamin. “Indonesia dan Malaysia harus bersama-sama menunjukkan citra bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin,” kata Zulkifli. Berdasarkan pernyataan zulkifli tersebut menunjukkan bahwa persoalan pemahaman Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sudah menjadi persoalan universal dan bukan hanya sebagai kebutuhan negara-negara di dunia, melainkan sudah berlaku untuk umat di muka bumi ini. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas bersama sebagai umat muslim diseluruh penjuru dunia untuk saling bekerjasama dalam menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin.

PENUTUP

Dari masing-masing partai Islam yang ada di Indonesia, semua memiliki misi yang mulia, selain sudah berasaskan Islam ada pula yang berasaskan pada nilai Ahlussunnah wal Jama’ah dan akhlak politik yang berlandaskan agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam. Dari kedua asas tersebut secara intrinsik telah mencerminkan nilai yang terkandung dalam istilah rahmatan lil alamin. Asas rahmatan lil alamin utamanya selalu mengedepankan akhlakul karimah sebagaimana yang tercermin pula pada sifat Nabi. Idealnya eksistensi partai tersebut haruslah menjadi pembeda antara satu dengan yang lainya. Sehingga, masyarakat pada umumnya dapat melihat bahwa partai tersebut memiliki warna tersendiri.

Pada masa-masa politik seperti saat ini ancaman perpecahan dikatakan semakin meningkat, persaingan yang berbasis agama pun mulai nampak, pelbagai macam institusi sosial politik Islam mulai mengambil simpati masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas pemeluk agama Islam. Melalui ideologi Islam kemudian mengatasnamakan penegakan syariat Islam sampai idealitas nilai-nilai Islam. Ironisnya, hal itu tidak sesuai dengan fakta yang ada bahwa dari pelbagai institusi tersebut hanya berjuang untuk kepentingan kelompoknya masing-masing.

Fakta lain yang banyak dijumpai adalah seperti kasus korupsi yang semakin meramaikan pemberitaan di media massa. Ironisnya, orang-orang yang banyak terlibat dalam kasus tersebut justru terdiri dari orang-orang partai politik yang duduk diparlemen dengan memakai “embel-embel Islam”. Hal tersebut tentu berlawanan dengan nilai-nilai yang ada dalam Islam, karena Islam rahmatan lil alamin itu selalu mengedepankan kepentingan publik dari pada kepentingan privat.

(21)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

149 Berdasarkan pada pernyataan para petinggi partai Islam di atas mengenai jargon Islam rahmatan lil alamin dalam konteks partai politik di Indonesia, maka dapat digambarkan bahwa corak gerakan politik Islam di Indonesia mencoba memanifestasikan diri dalam bentuk yang objektif dan mencoba menerima semua budaya Indonesia tanpa menghapus eksistensi dari kepentingan atas nama Islam itu sendiri. Kendati demikian, warna politik Islam atau Islam politis di era post-modern ini, nampaknya telah berusaha untuk menentukan eksistensinya ke dalam ranah politik nasional sehingga mau tidak mau pola politik yang ada harus melalui transformasi dari legalistik-formalistik menuju substantif.

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, M. (2017). Islam dan Pluralisme Dalam Pembangunan Politik di Indonesia (Perspektif Pemikiran Abdurrahman Wahid). Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan,Vol 2, No 1.

Hefni, H. (2017). Makna dan Aktualisasi Dakwah Islam Rahmatan lil ‘ Alamin di Indonesia. 1, 1–20. https://doi.org/10.15575/idajhs.v11i1.1438

Luthfi, K. M. (2016). Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal. SHAHIH : Journal of Islamicate Multidisciplinary, 1(1), 1. https://doi.org/10.22515/shahih.v1i1.53

Prihatin, N. A. (2018). Islam dan demokrasi: Sebuah Ijtihad Partai Politik Islam (Studi Kasus Partai Masyumi Dan Partai Keadilan Sejahtera). MOZAIK: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Dan Humaniora, 8(1), 69–93.

Rasyid, M. Makmu. (2016). Islam RahmatanLil Alamin perspektif KH. Hasim

Muzadi. EPISTEME, 11(1), 93–116.

https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.93-116

Saputro, A. (2019). Agama Dan Negara : Politik Identitas Menuju Pilpres 2019. 111–120.

Yumitro, G. (2013). Partai Islam dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 17(1), 35–50.

Referensi

Dokumen terkait

Parameter yang dijadikan acuan dalam kajian penerapan sistem photovoltaic cell dan pengolahan air hujan terhadap efisiensi energi dan air pada bangunan Mesjid Rahmatan Lil

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin ternyata telah menunjukkan bagaimana setiap muslim harus bertindak dan mempunyai kepribadian. Sesungguhnya banyak orang yang

This study resulted in the conclusion that preaching Islam is actually not limited to just spreading religion, preaching Islam in the concept of "Rahmatan lil alamin"

Bukti historis tersebut antara lain dapat ditilik dalam sejarah Walisongo, yang dikenal sebagai sembilan sufi terkemuka di Indonesia, yang mengajarkan Islam dengan

PENGERTIAN ISLAM SEBAGAI AGAMA RAHMATAN LIL’ALAMIN Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh

Komprehensif atau syumul adalah keseluruhan atau totalitas ajaran syariah Islam, meliputi seluruh atau semua aspek kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Islam

Hasil penelitian ini adalah implementasi konsep pendidikan Islam Rahmatan Li Al-Alamin di pondok pesantren Modern IslamAssalaam didasarkan pada prinsip-SULQVLS ³.($66$/$$0$1´.

In conclusion, developing nationalism-religious character through the project to strengthen Pancasila and Rahmatan lil Alamin student profiles in Indonesian Islamic educational