21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi Minyak Biji Kamandrah Metode Pengempaan
Hasil ekstraksi minyak biji kamandrah berupa cairan kental berwarna coklat kehitaman dengan bau yang spesifik serta terasa panas jika terkena kulit. Minyak kamandrah dapat menyebabkan iritasi, radang dan pembengkakan (Heyne 1987). Minyak kamandrah akan menimbulkan rasa panas atau pedas seperti terkena cabe jika terkena kulit, efek langsung dapat dirasakan apabila terkena kulit wajah terutama bagian sekitar hidung, mulut dan mata, oleh sebab itu proses ekstraksi harus dilakukan secara hati-hati. Rendemen minyak kamandrah hasil ekstraksi terhadap dua macam sampel biji kamandrah bervariasi dengan kisaran antara 19,90- 22,21 %. Rendemen tertinggi diperoleh dari biji kamandrah tanpa budidaya di Sukabumi yaitu 21,97 % dan terendah diperoleh dari biji kamandrah hasil budidaya Balitri Sukabumi sebesar 20 % (Tabel 2.).
Rendemen atau kadar minyak total merupakan salah satu parameter untuk mengetahui seberapa besar produk yang dihasilkan dari proses produksi. Biji kamandrah tanpa budidaya di Sukabumi memberikan rendemen minyak yang paling tinggi, hal ini disebabkan pada kondisi lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh. Peningkatan rendemen minyak kamandrah dipengaruhi oleh banyak hal, selain kondisi tempat tumbuh, iklim serta intensitas cahaya, rendemen minyak kamandrah juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah (Ahmadi 2011). Semakin tua umur buah maka semakin tinggi kandungan minyak dan senyawa aktif yang terdapat dalam biji kamandrah tersebut (Ketaren 1986). Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari temperatur pemanasan, lama pengepresan, tekanan yang digunakan serta kandungan minyak dalam bahan asal (Banghoye et al. 2011).
Pada penelitian ini rendemen yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan nilai rendemen sebesar 14,13-20,41% (Ahmadi 2012). Hasil penelitian Iswantini et al. (2009) pada
kegiatan penelitian kemitraan dengan perguruan tinggi (KKP3T) departemen pertanian menunjukkan bahwa, hasil budidaya tanaman kamandrah di Kalimantan Tengah pada umur tanaman 10 bulan mempunyai rendemen minyak berkisar 4,94-13,14%, sedangkan pada umur tanaman 16 bulan dapat mencapai 13,18-22,25%. Keuntungan penggunaan metode pengempaan dibandingkan dengan metode lain adalah rendemen yang diperoleh lebih tinggi, tidak terdapat residu pelarut serta cara pengerjaan yang lebih mudah dan murah (Ahmadi 2012). Ekstraksi minyak biji kamandrah dengan metode pengempaan hidrolik (hydrolic pressing) memberikan rendemen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekstraksi dengan metode maserasi. Hasil penelitian Ying et al. (2002) menunjukkan bahwa ekstraksi dari biji kamandrah dengan metode maserasi menggunakan pelarut eter menghasilkan rendemen 11,2% sedangkan dengan etanol menghasilkan ekstrak 12,67% (Wu et al. 2007); 8,77% (Riyadi 2008) dan 18,6% (Saputera et al. 2008). Metode ekstraksi minyak dengan pengempaan hidrolik sesuai untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi antara 30–70 % (Ketaren 1986), sedangkan biji kamandrah mempunyai kandungan minyak yang cukup tinggi yaitu 53,72 % (Ahmadi 2011).
22
Tabel 2. Rendemen minyak biji kamandrah ( Croton tiglium L. )
No Asal tanaman Biji ( gram ) Minyak ( gram ) Rendemen ( % ) Rata-rata ( % ) 1.000 198,98 19,90 1. Balitri 750 150,75 20,10 20,00 1.000 200,04 20,00 1.000 217,10 21,71 2. Sukabumi 500 111,06 22,21 21,97 500 109,90 21,98
Penentuan Mutu Minyak Biji Kamandrah Sebagai Larvasida Nabati Hasil uji fisiko-kimia terhadap tiga macam sampel minyak yaitu minyak kamandrah hasil budidaya Balitri Sukabumi, minyak kamandrah tanpa budidaya di Sukabumi dan Kalimantan disajikan pada Tabel 3. Hasil uji fisiko-kimia secara umum menunjukkan bahwa minyak kamandrah hasil budidaya di Balitri Sukabumi memiliki kualitas minyak yang lebih baik jika dibandingkan dengan minyak kamandrah tanpa budidaya.
Kadar air minyak kamandrah dari ketiga sampel bervariasi dengan kisaran antara 0,2 – 0,6 %, kandungan air tertinggi diperoleh dari tanaman kamandrah yang tumbuh liar di Kalimantan yaitu 0,61 % dan terendah diperoleh dari tanaman kamandrah hasil budidaya Balitri di Sukabumi yaitu sebesar 0,20 %. Penetapan kadar air suatu ekstrak atau minyak sangat penting karena kadar air yang tinggi memungkinkan terjadinya pertumbuhan mikroba (jamur atau bakteri), terjadinya reaksi hidrolisis/penguraian atau reaksi enzimatis yang menyebabkan terjadinya perubahan spesifikasi bahan dan penurunan kualitas produk. Kandungan air dalam minyak biji kamandrah dapat berasal dari kandungan simplisia, proses ekstraksi, atau penyerapan uap air dari udara, baik saat penyimpanan simplisia maupun ekstrak. Faktor-faktor ekstrinsik, seperti iklim, suhu, curah hujan, kondisi tanah, dan ketinggian tempat merupakan faktor terbesar yang dapat mempengaruhi komponen kimia yang terkandung dalam simplisia, termasuk kandungan air (Samuelsson 1999).
Keasaman minyak kamandrah dari ketiga sampel bervariasi dengan kisaran antara 0,09% – 0,13% tingkat keasaman terendah diperoleh dari tanaman kamandrah yang tanpa budidaya di Sukabumi yaitu 0,09 % dan tertinggi diperoleh dari tanaman kamandrah tanpa budidaya di Kalimantan yaitu sebesar 0,13 %. Keasaman berdasarkan SNI 02-3127-1992 dihitung sebagai % b/b H2SO4.
Keasaman atau angka asam yang tinggi merupakan indikator tingkat kerusakan minyak, keasamam minyak dapat meningkat sebagai akibat terjadinya reaksi hidrolisis serta reaksi oksidasi. Pada reaksi hidrolisis, minyak atau lemak akan dirubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol, reaksi hidrolisis dapat terjadi sebagai akibat tingginya kandungan air dalam minyak/lemak. Proses oksidasi
23 dalam minyak dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida, tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas ( Ketaren 1986).
Viskositas minyak kamandrah dari ketiga sampel bervariasi dengan kisaran antara 4,1 – 5,8 cP, viskositas tertinggi diperoleh dari minyak kamandrah tanpa budidaya di Kalimantan sebesar 5,8 cP dan terendah diperoleh dari minyak kamandrah hasil budidaya di Sukabumi sebesar 4,1 cP. Kandungan beberapa senyawa organik dalam minyak dapat menyebabkan penurunan viskositas, hal ini terjadi karena beberapa senyawa organik yang terlarut dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi panjang rantai asam lemak sehingga ukurannya menjadi lebih pendek. Panjang rantai karbon asam lemak bebas yang lebih pendek menyebabkan viskositas minyak menjadi lebih rendah (Syah 2005). Minyak kamandrah hasil budidaya Sukabumi mempunyai kandungan zat aktif yang tinggi, hal ini dapat ditunjukkan nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak kamandrah dari Kalimantan yang memiliki kandungan zat aktif yang lebih rendah. Peningkatan viskositas pada minyak merupakan salah satu indikasi dari tingkat kerusakan minyak. Minyak yang telah mengalami proses pemanasan dan oksidasi akan mengalami peningkatan viskositas yang disebabkan karena terbentuknya senyawa polimer dalam minyak (Lucas et al. 2013).
Data Tabel 3. menunjukkan berat jenis dari ketiga sampel minyak kamandrah bervariasi dengan kisaran antara 0,9425 – 0,9475. Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak, berat jenis sering dihubungkan dengan fraksi berat komponen-komponen yang terkandung dalam suatu minyak. Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam minyak, maka semakin besar pula nilai densitasnya (Sastrohamidjojo 2004). Berat jenis minyak dari tanaman kamandrah hasil budidaya Balitri Sukabumi sebesar 0,9425 g/ml, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak kamandrah dari tanaman tanpa budidaya di Sukabumi dan Kalimantan. Selain itu, nilai berat jenis minyak dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan dan berat molekul rata-rata komponen asam lemaknya. Makin tinggi derajat ketidakjenuhan suatu minyak, maka berat jenis makin besar. Minyak dengan derajat ketidakjenuhan yang tinggi mudah teroksidasi, sehingga dapat meningkatkan keasaman minyak.
Indeks bias merupakan derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium. Indeks bias sangat berguna untuk menguji kemurnian suatu minyak. Nilai indeks bias sangat dipengaruhi oleh komponen asam lemak yang menyusun minyak tersebut. Semakin banyak komponen berantai panjang atau komponen bergugus oksigen terkandung dalam minyak, maka kerapatan medium minyak akan bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar untuk dibiaskan, hal ini menyebabkan indeks bias minyak lebih besar. Nilai indeks juga dipengaruhi oleh adanya air dalam kandungan minyak tersebut, semakin banyak kandungan airnya, maka semakin kecil nilai indek biasnya. Hal ini karena sifat dari air yang mudah untuk membiaskan cahaya yang datang (Ketaren 1986). Dari hasil penelitian terlihat bahwa minyak kamandrah yang dibudidayakan di Balitri Sukabumi memiliki indeks bias sebesar 1,4788 nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks bias minyak kamandrah yang tumbuh liar di Kalimantan yaitu sebesar 1,4771. Minyak dengan nilai indeks bias yang tinggi
24
lebih bagus dibandingkan dengan minyak dengan nilai indeks bias yang rendah. Hasil analisis kandungan asam lemak bebas pada Tabel 3. memperlihatkan bahwa kadar asam lemak bebas berkisar antara 1,65% - 2,56%, nilai tertinggi diperoleh pada minyak kamandrah yang tumbuh liar di Kalimantan yaitu sebesar 2,56%, adapun asam lemak bebas terendah diperoleh pada minyak kamandrah yang dibudidayakan di Balitri Sukabumi sebesar 1,65%. Tingginya kadar asam lemak bebas mengindikasikan telah terjadi kerusakan pada suatu minyak. Adanya asam lemak bebas pada minyak kamandrah, salah satu penyebabnya adalah adanya enzim lipase yang terkandung dalam jaringan biji. Enzim lipase mampu menghidrolisa lemak sehingga menghasilkan asam lemak bebas (Ketaren 1986). Selanjutnya Sudrajat et al. (2006) menyatakan bahwa ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi terjadinya asam lemak bebas, yang merupakan faktor internal adalah asam lemak tidak jenuh rantai rangkap, keberadaan enzim pemecah lemak, dan keberadaan mikroba alami. Adapun faktor eksternal, dalam hal ini adalah tahapan kegiatan ekstraksi minyak dari mulai pengeringan biji, penggilingan, hingga pengepresan, yaitu berupa udara, air, pemanasan, kation logam. Sehingga pada saat faktor internal bertemu dengan faktor eksternal, akan terjadi proses oksidasi, yang pada akhirnya memunculkan asam lemak bebas.
Tabel 3. Uji fisiko-kimia minyak kamandrah ( Croton tiglium L.) dari beberapa daerah
Parameter uji ( SNI 02-3127-1992 )
Minyak kamandrah ( Croton tiglium L. ) Balitri Sukabumi Kalimantan
Kadar air (% b/b) 0,20 0,33 0,61 Keasaman (% b/b) 0,09 0,11 0.13 Viskositas (cP ) 4,1 4,4 5,8 Berat jenis (g/mL) Indeks bias 0,9425 1,4788 0,9433 1,4785 0,9475 1,4771 Asam lemak bebas (% b/b) 1,65 2,18 2,56
Analisis Kandungan Zat Aktif Piperine Minyak Biji Kamandrah Kurva spektrum absorpsi piperin
Panjang gelombang maksimal yang diperoleh pada pengukuran larutan standar piperine dengan konsentrasi 5 ppm adalah 342 nm dengan serapan sebesar 0,577. Nilai ini sesuai dengan nilai yang tertera pada AOAC (2000) tentang penetapan kadar piperine dalam minyak yaitu antara 342 - 345 nm. Kurva spektrum larutan standar piperine ditunjukkan pada Gambar 4. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa absorbansi UV pada 342 nm untuk piperin sesuai dengan penyerapan maksimal dari formula herbal (Sreevidya dan Mehrotta 2003). Karakteristik absorbansi piperine menunjukkan
25 bahwa piperin mematuhi hukum Lambert Beer ( Singh et al. 2011).
Gambar 4. Spektrum absorpsi standar piperine
Kurva kalibrasi
Kurva kalibarasi diperoleh dengan melakukan pengukuran terhadap satu seri larutan standar piperine (C17H19NO3 ). Pengukuran serapan terhadap larutan
standar dilakukan pada panjang gelombang 342 nm sesuai dengan hasil serapan maksimum. Pembuatan kurva kalibrasi piperine menghasilkan persamaan garis y = 0,116 x - 0,006 dengan koefisien korelasi (r2) 0,999 (Lampiran 6). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5. Karena nilai koefisien korelasi (r2) mendekati angka 1, maka persamaan yang didapat adalah persamaan garis linier, sehingga dapat digunakan untuk penentuan konsentrasi piperine dalam formula larvasida.
Gambar 5. Kurva standar piperine Kadar piperine dalam minyak biji kamandrah
Hasil analisis kandungan piperine dalam minyak biji kamandrah ditunjukkan pada Tabel 4. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa kandungan piperine dari tanaman kamandrah yang dibudidayakan di Balitri Sukabumi lebih
26
tinggi jika dibandingkan dengan tanaman kamandrah tanpa budidaya di daerah Sukabumi dan Kalimantan. Data analisis kandungan piperine secara lengkap disajikan pada Lampiran 7.
Tabel 4. Kandungan piperine beberapa minyak biji kamandrah.
No. Asal Tanaman Kadar Piperine ( % )
1. Balitri 0,046
2. Sukabumi 0,043
3. Kalimantan 0,037
Karakteristik minyak kamandrah dipengaruhi oleh varietas, ukuran biji, iklim, kelembaban, keadaan tanah tempat tumbuh, penangannan pasca panen serta tingkat kematangan dari buah kamandrah itu sendiri. Peningkatan taraf umur petik buah kamandrah yang ditunjukkan dengan semakin coklat warna kulit buah berdampak kepada peningkatan rendemen minyak kamandrah dan kandungan senyawa aktifnya (Ahmadi 2012).
Efikasi Larvasida Minyak Biji Kamandrah
Hasil uji pendahuluan efikasi larvasida terhadap beberapa sampel minyak biji kamandrah memberikan nilai LC50 yang bervariasi. Gambar 6. menunjukkan
nilai LC50 pada pengamatan 24 jam dan 48 jamminyak kamandrah dari berbagai
daerah terhadap larva Ae. aegypti instar III. Nilai LC50 pada pengujian 24 jam
terhadap minyak kamandrah hasil budidaya di Balitri sebesar 114.4 ppm, sedangkan minyak kamandrah tanpa budidaya di Sukabumi dan Kalimantan masing-masing sebesar 125.2 ppm dan 212.9 ppm.
Gambar 6. Nilai LC50 beberapa minyak kamandrah pada pengamatan
27 Potensi larvasida minyak biji kamandrah terhadap larva Ae. aegypti lebih baik jika dibandingkan dengan minyak tanaman lain. Iswantini el al. (2011) melaporkan bahwa nilai LC50 24 jam minyak jarak pagar (Jatropha curcas)
terhadap larva Ae. aegypti sebesar 1507 ppm . Nilai LC50 24 jam minyak akar
wangi (Vetiveria zizanoides) terhadap larva Ae. aegypti sebesar 1373,6 ppm (Lailatul et al. 2010). Potensi larvasida minyak biji kamandrah terhadap larva Ae. aegypti lebih rendah jika dibandingkan dengan temephos (abate) yang telah banyak digunakan masyarakat dengan nilai LC50 0.032 ppm (Uthai et al. 2011).
Tinggi rendahnya nilai LC50 minyak kamandrah berbanding terbalik dengan
kandungan piperine dalam masing-masing minyak, semakin tinggi kandungan piperine dalam minyak maka semakin rendah nilai LC50 nya, begitu juga
sebaliknya semakin rendah kandungan piperine maka semakin tinggi nilai LC50
nya. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Riyadi (2008) yang melaporkan salah satu senyawa aktif yang diprediksi sebagai larvasida nabati dari minyak biji kamandrah adalah senyawa piperidine, 1-[5-(1,3-benzodioxol-5-yl)-1-oxo-2,4-pentadienyl]-,(E,E). Piperine adalah suatu alkaloida piperidine yang bersifat toksik yang biasa digunakan sebagai insektisida. Salah satu senyawa golongan piperidine yang telah diteliti sebagai pembunuh nyamuk Ae. aegypti adalah 2-ethyl-piperidine (Pridgeon et al. 2007). Dispersi minyak biji kamandrah dalam air sangat mempengaruhi hasil uji efikasi larvasida minyak biji kamandrah. Semakin tinggi tingkat dispersi minyak kamandrah dalam air maka semakin banyak jumlah larva yang terpapar dengan zat aktif piperine dalam minyak kamandrah.
Formulasi Larvasida Nabati Minyak Biji Kamandrah.
Formulasi larvasida dilakukan terhadap minyak biji kamandrah hasil budidaya Balitri Sukabumi. Dari beberapa hasil uji terhadap minyak biji kamandrah menunjukkan bahwa minyak biji kamandrah hasil budidaya di Balitri Sukabumi memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan minyak kamandrah tanpa budidaya dari Kalimantan dan Sukabumi. Hasil pembuatan granul larvasida nabati minyak kamandrah dengan cara granulasi basah didapatkan granul dengan ukuran rata-rata yang bervariasi antara 14 -16 mesh. Granul larvasida nabati minyak biji kamandrah hasil formulasi selanjutnya ditentukan sifat kelarutannya dalam air. Sifat dan kondisi air setelah ke dalamnya dilarutkan granul larvasida nabati minyak biji kamandrah ditunjukkan pada Tabel 5. Berdasarkan data penelitian pada Tabel 5. menunjukkan bahwa secara umum aplikasi semua formula larvasida nabati minyak biji kamandrah pada air tidak mempengaruhi kualitas air. Hasil pengukuran beberapa parameter fisik air seperti pH, TDS dan CND selama penelitian menunjukkan hasil yang masih memenuhi persyaratan Kepmenkes Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum. Persyaratan pH 6,5 – 8,5, batas maksimum TDS sebesar 1000 mg/l serta batas maksimum conductivity atau CND sebesar 125 µS/m. Tabel 5. menunjukkan bahwa dari beberapa formula yang diuji, formula 5 memiliki nilai TDS yang paling tinggi yaitu sebesar 178,9 ppm, hal ini menunjukkan bahwa formula 5 memiliki tingkat kelarutan yang lebih baik jika dibandingkan dengan formula lainnya.
28
Tabel 5. Kondisi fisik air pada uji kelarutan beberapa formula larvasida nabati minyak biji kamandrah
Formula Kondisi air
pH TDS CND Kontrol 8,30 10,3 5,1 Formula 1 7,95 140,6 45,7 Formula 2 7,97 139,2 45,3 Formula 3 7,88 161,4 47,1 Formula 4 7,90 159,6 46,5 Formula 5 7,67 178,9 47,8 Formula 6 7,68 175,4 46,9
Keterangan : TDS = Total Dissolved Solids (ppm), CND =Conductivity (µS/m )
Uji Formula Larvasida Nabati Minyak Biji Kamandrah. Hasil uji efikasi
Hasil uji efikasi larvasida terhadap beberapa formula yang dihasilkan menunjukkan nilai LC50 terhadap larva Ae. aegypti yang berbeda-beda. Nilai
LC50 beberapa formula yang diuji ditunjukkan pada Tabel 6. Formula F.5 dan
F.6 dengan kandungan minyak kamandrah sebesar 15 % memberikan nilai LC50
masing-masing sebesar 210,01 ppm dan 244,13 ppm, nilai ini yang lebih rendah jika dibandingkan dengan formula lainnya. Kandungan zat aktif piperine yang terkandung dalam formula sangat berpengaruh terhadap penurunan nilai LC50
Tabel 6. Nilai Lethal Concentration (LC) beberapa formula larvasida minyak biji kamandrah ( Croton tiglium L. )
Formula Kadar piperine (ppm)
Nilai LC (ppm)
Pengamatan 24 jam Pengamatan 48 jam LC50 LC90 LC50 LC90 F.1 23,25 3.015,58 31.806,34 1.769,10 6.068,10 F.2 23,24 3.392,15 17.589,79 1.931,08 13.301,63 F.3 48,06 900,44 4.581,43 655,06 3.024,23 F.4 47,61 1.170,35 4.787,26 823,75 3.966,60 F.5 68,30 210,01 404,17 193,62 346,53 F.6 68,29 244,13 489,80 216,79 401,86
29 Gambar 7. Menunjukkan nilai LC50 cenderung semakin menurun dengan
meningkatnya kandungan zat aktif minyak kamandrah yang digunakan, disamping itu penggunaan gom arab sebagai emulsifier memberikan hasil yang lebih efektif bila dibandingkan dengan maltodekstrin. Secara lengkap analisis kandungan zat aktif piperine dalam formula disajikan pada Lampiran 8.
Gambar 7. Nilai Lethal Concentration 50 (LC50) beberapa formula larvasida
nabati minyak biji kamandrah pada pengamatan 24 jam
Nilai LC50 formula dengan kandungan minyak kamandrah 15 % lebih rendah
jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Iswantini et al. (2009) melaporkan formulasi larvasida nabati dalam bentuk granul lebih baik dibandingkan serbuk dengan LC50 pengamatan 24 jam sebesar 1.039 ppm. Pada
Kandungan minyak kamandrah sebesar 15% serta penggunaan gom arab sebagai emulsifier pada formula 5 (F5) memberikan nilai LC50 sebesar 210,0 ppm, nilai
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan formula lainnya. Gom arab memiliki sifat emulsifier yang baik serta dapat membentuk lapisan film yang sangat baik. Maltodekstrin memiliki sistem jaringan matriks yang cukup baik sehingga dapat melindungi bahan yang mudah menguap dari oksidasi, namun maltodekstrin kurang memiliki sifat emulsifier yang baik (Pitchaon et al. 2013). Dari hasil uji efikasi yang ditunjukkan pada Tabel 6. maka formula 5 (F5) yang akan digunakan untuk pengujian formula selanjutnya yaitu uji stabilitas formula serta uji durabilitas formula.
Hasil uji stabilitas formula larvasida
Uji stabilitas terhadap formula larvasida dengan cara penyimpanan pada beberapa tingkatan temperatur yaitu pada 30 °C, 40 °C dan 50 °C selama 28 hari menujukkan bahwa tidak ada perubahan fisik pada granul. Pengukuran kandungan piperine dalam granul menggunakan metode spektrofotometri menujukkan bahwa kandungan piperine mengalami peningkatan selama penyimpanan. Gambar 8. terlihat bahwa kandungan piperine dalam formula larvasida meningkat selama penyimpanan, kandungan zat aktif piperine meningkat antara 0,6 – 234 % ( Lampiran 9, 10, 11 ).
Janakiraman dan Manavalan (2011) telah melakukan penelitian terhadap stabilitas piperine. Penelitian ini dilakukan sebagai studi dipercepat dengan
30
menyimpan formula selama 6 bulan dengan temperatur penyimpanan pada 40 ˚C dan sebagai studi jangka panjang dengan menyimpan formula selama 1 tahun pada temperatur penyimpanan pada 25 ˚C. Penelitiannya menunjukkan bahwa senyawa piperine stabil selama penelitian jangka panjang (penyimpanan pada 25 ˚C) dan bahkan pada kondisi dipercepat (penyimpanan pada 40 ˚C).
Peningkatan kandungan piperine paling tinggi terjadi pada formula yang disimpan pada temperatur 50 °C. Hal ini dapat terjadi karena diduga terdapat senyawa lain pada minyak kamandrah yang terurai ketika disimpan pada temperatur tinggi. Senyawa ini memiliki gugus kromofor yang menyerap pada panjang gelombang yang sama dengan piperine. Sehingga saat diukur memberikan kontribusi pada nilai absorbansi piperine, akibatnya kandungan piperine yang terukur meningkat.
Gambar 8. Pengaruh temperatur serta lama penyimpanan terhadap kandungan piperine pada formula larvasida.
Menariknya, hal ini sejalan dengan nilai LC50 pada uji stabilitas formula
yang dapat dilihat pada Gambar 9. dan Gambar 10. Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara kandungan piperine dalam formula dengan penurunan nilai LC50 formula. Semakin lama waktu penyimpanan, maka
nilai LC50 semakin rendah. Ini artinya, senyawa yang diduga terurai ketika
disimpan pada suhu tinggi juga berpotensi sebagai larvasida. Meningkatnya mortalitas larva uji kemungkinan disebabkan adanya kandungan senyawa aktif kompleks yang terdapat dalam minyak kamandrah yang berpotensi sebagai larvasida.
31
Gambar 9. Pengaruh temperatur dan lama penyimpanan terhadap nilai LC50
formula larvasida pada pengamatan 24 jam.
Gambar 10. Hubungan kandungan piperine pada formula larvasida terhadap nilai LC50 formula larvasida.
Hasil uji durabilitas
Hasil uji durabilitas atau ketahanan formula larvasida terhadap larva Ae. aegypti instar III ditunjukkan pada Tabel 7. Dari data tersebut menunjukkan bahwa penurunan potensi larvasida hingga kurang dari 80% terjadi pada hari ke 8, dengan kematian larva sebesar 73,6 %. Tingkat kematian larva Ae. aegypti instar III yang rendah setelah terpapar larvasida menunjukkan bahwa larva sudah mulai resisten terhadap larvasida nabati minyak biji kamandrah. Menurut WHO (2009) larvasida dikatakan rentan apabila persentase kematian larva setelah terpapar larvasida pada konsentrasi diagnosa antara 98 - 100%, dikatakan toleran apabila kematian larva antara 80 – 97 % dan dikatakan resisten apabila kematian larva
32
kurang dari 80%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula larvasida nabati minyak biji kamandrah masih mampu membunuh larva lebih dari 80 % hingga haru ke 4 yaitu sebesar 86,4 %. Dengan demikian dapat diartikan bahwa durabilitas formula larvasida nabati minyak biji kamandrah sebagai larvasida selama 4 hari.
Tabel 7. Tingkat kematian larva Ae. aegypti instar III pada uji durabilitas formula larvasida nabati minyak biji kamandrah pengamatan 24 jam
Hari Ke :
Jumlah Larva
Jumlah larva yang mati pada ulangan ke : Kematian larva (%) 1 2 3 4 5 Rata-rata 1 25 25 25 24 24 22 24.0 96,0 4 25 21 24 19 22 22 21.6 86,4 8 25 20 17 19 20 16 18.4 73,6 12 25 12 11 10 10 13 11.2 44,8 16 25 9 8 7 7 8 7.8 31,2 20 25 3 4 2 2 3 2.8 11,2 22 25 1 1 0 0 2 0.8 3,2
Penurunan potensi suatu larvasida nabati dengan bahan kimia aktif (bioaktif) yang berasal dari tanaman dapat terjadi karena bahan tersebut mudah terurai (biodegradable) (Moehammad 2005). Insektisida nabati tidak meninggalkan residu di udara, air dan tanah, sehingga aman bagi lingkungan dan juga menurunkan peluang hewan yang bukan sasaran terkena residu (Matsumura 1985). Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari larvasida nabati, sehingga penggunaan bahan nabati sebagai larvasida cenderung tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia.