• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS MINYAK BIJI KAMANDRAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS MINYAK BIJI KAMANDRAH"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS MINYAK BIJI KAMANDRAH (Croton tiglium)

DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas) SEBAGAI LARVASIDA,

ANTI-OVIPOSISI DAN OVISIDA

NYAMUK Aedes aegypti DAN Aedes albopictus

ENDANG PUJI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : “EFEKTIVITAS MINYAK BIJI KAMANDRAH (Croton tiglium) DAN JARAK PAGAR (Jatropha

curcas) SEBAGAI LARVASIDA, ANTI-OVIPOSISI DAN OVISIDA NYAMUK Aedes aegypti DAN Aedes albopictus” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan

arahan komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2008

Endang Puji Astuti B252060071

(3)

ABSTRACT

ENDANG PUJI ASTUTI. Larvicidal, Anti-oviposition, and Ovicidal Activity of

Croton tiglium and Jatropha curcas Seed Oil Against Aedes aegypti and Aedes albopictus.

Aedes aegypti and A. albopictus mosquito is increasing problem of public

health, being the vector responsible for dengue and chikungunya. Various effort have been done to control the mosquitoes both chemically and naturally. Croton tiglium and Jatropha curcas seed oil were known to posses insecticide activity against larval

mosquito species. The study was aimed to examine effectiveness of C. tiglium seed oil

and J. curcas seed oil as larvicidal, anti-oviposition, and ovicidal against A. aegypti

and A. albopictus, and quantitative analysis of piperine achieved by spectrophotometer. C. tiglium seed oil possessed a significantly higher larvicidal activity against the 3th-4th

instar larvae of A. aegypti and A. albopictus than J. curcas seed oil. The larval

mortality was observed after 24 h of exposure. The LC50 value of C. tiglium seed oil and J. curcas seed oil were 769.52 ppm and 1366.07 ppm respectively, against A. aegypti and 707.78 ppm and 905.29 ppm respectively, against A. albopictus. There

was a decrease in the number of eggs laid by A. aegypti and A. albopictus with C. tiglium and J. curcas oil (≤ 5% eggs) if compared to control (> 50% eggs). C. tiglium and J. curcas seed oil was effective on 0.4%-0.5% concentration so that could

prevent the eggs from being hatched (> 90%). Quantitative analysis of C. tiglium and J. curcas by spectrophotometer revealed the presence of piperine were 0.0385% and

0.0054%. The content of C. tiglium was higher compared to J. curcas as proved by the

value of LC50. The result of this study suggested that the C. tiglium and J. curcas oil posses insecticide properties that could be developed and used as natural insecticide for larval mosquito control.

Keywords index : Croton tiglium, Jatropha curcas, A. aegypti, A. albopictus,

(4)

RINGKASAN

ENDANG PUJI ASTUTI. Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croton tiglium) Dan

Jarak Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, Anti-Oviposisi Dan Ovisida

Nyamuk Aedesaegypti Dan Aedes albopictus

Nyamuk vektor yang menjadi masalah kesehatan di dunia adalah nyamuk

Aedes aegypti dan A. albopictus, kedua spesies ini merupakan vektorpenyakit Dengue

dan Chikungunya. Di Indonesia jumlah kasus DBD setiap tahun cenderung meningkat dan persebarannya semakin luas. Memasuki awal tahun 2004 telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Pada tahun 2007 kasus di Indonesia sampai bulan September adalah 123.828 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 1.256 orang. Seperti halnya DBD, penyakit Chikungunya di Indonesia sudah menyebar di 11 Provinsi selama tahun 2001 - 2005, dengan jumlah kasus sebanyak 12.695 penderita tanpa kematian. Berbagai upaya pengendalian baik secara kimia maupun alamiah telah dilakukan, cara alamiah adalah memanfaatkan tanaman sebagai insektisida nabati. Biji kamandrah (Croton tiglium) dan jarak pagar (Jatropha curcas) mengandung senyawa toksik yang

bisa berperan sebagai larvasida nabati. Tujuan penelitian untuk menguji efektivitas minyak biji kamandrah dan jarak pagar sebagai larvasida, anti-oviposisi, dan ovisida nyamuk A. aegypti dan A. albopictus serta mengetahui besarnya senyawa aktif

piperine. Minyak kamandrah lebih berpotensi sebagai larvasida Aedes sp instar III-IV

di bandingkan dengan minyak jarak pagar. Kematian larva A. aegypti dan A. albopictus pada minyak biji kamandrah dan jarak pagar menunjukkan hasil yang

meningkat sesuai dengan dosis aplikasinya. Dosis tertinggi 0,5% minyak kamandrah diperoleh kematian larva sebesar 100%, sedangkan kematian larva pada minyak jarak pagar adalah < 100%. Nilai LC50 minyak biji C. tiglium dan J. curcas terhadap A.

aegypti berturut-turut adalah 769,52 ppm dan 1366,07 ppm, sedangkan terhadap larva A. albopictus adalah 707,78 ppm dan 905,29 ppm selama 24 jam pengamatan.Hasil

uji anti-oviposisi minyak kamandrah dan jarak pagar menunjukkan adanya penurunan jumlah peletakan telur A. aegypti dan A. albopictus dengan paparan minyak

kamandrah dan jarak pagar (dosis 0,5%) yaitu sebesar ≤ 5% telur jika dibandingkan dengan kontrol yaitu >50% telur. Hasil uji ovisida pada kedua spesies menunjukkan pola rata-rata jumlah telur yang mengalami penurunan setelah pemberian paparan minyak kamandrah dan jarak pagar. Hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa jumlah telur A. aegypti yang menetas pada ovitrap kamandrah dosis 0,5% adalah 0 – 13 telur,

sedangkan minyak jarak pagar pada dosis 0,5% adalah 1 – 11 telur. Seperti halnya pada telur A. aegypti, telur A. albopictus juga mengalami kegagalan menetas pada

dosis 0,5% minyak kamandrah jumlah telur yang berhasil menetas adalah 0 – 7, sedangkan pada minyak jarak pagar diperoleh jumlah telur menetas 1 – 5 telur. Minyak kamandrah dan jarak pagar efektif pada konsentrasi 0,3% - 0,5% sehingga mampu menghambat penetasan telur yaitu kegagalanya sebesar >90%. Hasil analisis UV spektrophotometer minyak kamandrah dan jarak pagar menunjukkan adanya

senyawa aktif suatu alkaloid golongan piperidine yang diduga sebagai larvasida dengan kadar piperine 0,0385% dan 0,0054%. Minyak kamandrah dan jarak pagar dapat dikembangkan menjadi larvasida nabati untuk mengendalikan populasi larva nyamuk. Namun, perlu adanya kajian formulasi kedua minyak tersebut agar mudah larut dalam air dan dapat diaplikasikan di lapangan sehingga mampu menurunkan kepadatan vektor Dengue dan Chikungunya.

Kata kunci : Croton tiglium, Jatropha curcas, A. aegypti, A. albopictus, Larvasida,

(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya lmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(6)

EFEKTIVITAS MINYAK BIJI KAMANDRAH (Croton tiglium)

DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas) SEBAGAI LARVASIDA,

ANTI-OVIPOSISI DAN OVISIDA

NYAMUK Aedes aegypti DAN Aedes albopictus

ENDANG PUJI ASTUTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(7)
(8)

Judul Tesis : Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croton tiglium) Dan Jarak Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, Anti-Oviposisi Dan Ovisida Nyamuk Aedes aegypti Dan Aedes

albopictus

Nama : Endang Puji Astuti

NIM : B252060071

Program Studi : Entomologi Kesehatan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS Ketua

Dr. Ir. Dyah Iswantini Pradono, M.Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena hanya dengan izin dan anugerahnya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ”Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croton tiglium) Dan Jarak

Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, Anti-Oviposisi Dan Ovisida Nyamuk Aedes aegypti Dan Aedes albopictus”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Dyah Iswantini Pradono, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing atas masukan, saran dan bimbingan, serta Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si atas kesediaannya menguji dalam sidang tesis penulis.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. drh. Singgih H. Sigit, MS, Bapak Dr. drh. FX. Koesharto, MS, Bapak Dr. drh. Ahmad Arif Amin, Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si, Bapak Dr. Ir. Dadang (HPT), Bapak Joko Prijono, MS (HPT), atas ilmu yang penulis peroleh selama mengikuti pendidikan di Entomologi Kesehatan. Semua pegawai Entomologi Kesehatan (Ibu Juju, Bapak Yunus, Bapak Heri, drh. Sugiarto, Bapak Taufik, Bapak Nanang dan Ibu Een) atas bantuannya terutama bimbingannya dalam praktikum.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Adi Riyadhi, M.Si, Ibu Trivadila, S.Si, Bapak Noor Roufiq Ahmadi, S.TP, MP., Ibu Heni Prasetyowati, S.Si, Bapak Roy Nusa RES, M.Si, yang telah banyak membantu secara teknis selama penelitian. Terima kasih kepada seluruh rekan di Pasca Sarjana Entomologi Kesehatan angkatan 2006, Rita Juliawaty, M.Si atas bantuan, kebersamaan dan semangatnya, Amalia Safitri SKM, Bapak Amirullah, M.Si, dan Bapak Yuliansyah, S.Si atas kekeluargaan dan semangatnya. Seluruh rekan Parasitologi dan Entomologi Kesehatan angkatan 2007 (Ety Rahmawati, Yahya, Bapak Gondo, Bapak Ali, Bapak Mulyono, Bapak Irwan dan Bapak Agus) atas bantuan dan dukungannya.

Terimakasih juga disampaikan kepada kepala Loka Litbangkes P2B2 Ciamis, Bapak Sugianto, SKM, MSc.PH dan rekan-rekan (Joni Hendri, Yuneu Yuliasih, Mara Ipa, Titin Delia, Marliah Santi) serta rekan-rekan Loka Litbangkes yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Balitbangkes DEPKES RI, Pusren-Gun SDM Kes DEPKES RI dan Balitbang Pertanian melalui program KKP3T yang telah memberikan bantuan dana.

Terima kasih dan penghargaan tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Kasidi & Sri Utami), mertua (Hayat & Uhen) serta suami (Heriyana) yang tak henti-hentinya berdoa, memberikan dorongan dan pengorbanan moral maupun materiil sampai selesainya studi ini. Mas Agus dan istri, Mas Win dan istri, Mas Budi, Mas Edi dan istri, Mbak Yus dan suami, Mba Wida dan suami, Mas Hendar dan istri, Adik tersayang (Yeni & Iva), Deka serta ponakan-ponakan tercinta atas doa, cinta dan semangatnya.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap hasil karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2008 Endang Puji Astuti

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto Jawa Timur pada tanggal 27 Oktober 1977 dari pasangan Bapak Purn. Kasidi dan Ibu Sri Utami (telah dipanggil ke Rahmatullah pada tanggal 19 Juli 2008). Penulis merupakan putri kelima dari tujuh bersaudara. Penulis telah menikah pada tahun 2005 dengan Heriyana.

Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Miji I Mojokerto pada tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Mojokerto, lulus pada tahun 1993, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN Sooko Mojokerto, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya melalui jalur UMPTN dan lulus pada bulan Agustus 2000.

Penulis pernah bekerja sebagai asisten peneliti di Lembaga Penelitian UNAIR Surabaya pada tahun 2000, pada bulan Januari 2001 bekerja di LSM Abdi Asih Surabaya, kemudian pada bulan Februari 2001 - 2002 bekerja sebagai dosen tetap mata kuliah Biostatistik di STIKes Cirebon, dan pada bulan Desember 2002 hingga sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Loka Litbangkes P2B2 Ciamis, Balitbangkes DEPKES RI yang beralamatkan di Jl. Raya Pangandaran KM 3 Ds. Babakan, Kec. Pangandaran, Kab. Ciamis.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 3 1.4 Hipotesa alternatif (H1) ... 4 1.5 Manfaat ... 4 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Penyakit demam berdarah dengue ... 5

2.2 Penyakit Chikugunya ... 7

2.3 Lingkungan dan kehidupan Aedes sp ... 8

2.4 Tumbuhan Sebagai Larvasida dan Insektisida nabati ... 12

2.5 Kamandrah (Croton tiglium) ... 15

2.6 Jarak Pagar (Jatropha curcas) ... 18

3 BAHAN DAN METODE ……….. 21

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 21

3.2 Tanaman Uji ………. 21

3.3 Serangga Uji ... 21

3.4 Metode Kerja ... 22

3.5 Metode Identifikasi Senyawa Aktif ... 26

3.6 Analisa Data ... 26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Karakteristik dan Pengepresan Biji Kamandrah ... 27

4.2 Karakteristik dan Pengepresan Biji Jarak Pagar ... 28

4.3 Uji Potensi Larvasida ……… 29

4.4 Penentuan Nilai Lethal Concentration (LC) Minyak Kamandrah dan Jarak Pagar sebagai Larvasida ... 33

4.5 Uji Anti – Oviposisi ... 36

4.6 Uji Ovisida ... 38

4.7 Identifikasi Senyawa Aktif ... 39

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(12)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1 Hasil identifikasi minyak kamandrah dengan GC-MS Metode IV ……... 17 2 Rata-rata kematian (%) larva A. aegypti berdasarkan perlakuan

kamandrah setelah 24 jam pengamatan ... 29 3 Rata-rata kematian (%) larva A. aegypti berdasarkan perlakuan jarak

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1 Profil Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968 – 2007.. 5

2 Profil Kasus Chikungunya di Indonesia tahun 2001 – 2007 ... 7

3 Morfologi bentuk sisir larva A. aegypti seperti trisula (A) dan sisir larva A. Albopictus berbentuk lancip (B)........ 10 4 A. aegypti (A) dan A. albopictus (B) Saat Menghisap Darah ... 10

5 Profil Tanaman Kamandrah (Croton tiglium) ... 16

6 Profil Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) ... 19

7 Kromatogram GC-MS minyak jarak pagar metode III ………. 20

8 Alat pengepresan hidraulik (A) dan Profil timbangan elektrik (B) ……... 23

9 Telur Aedes yang terpilih untuk uji (A) dan Telur Aedes yang telah menetas menjadi larva (B) ………. 23

10 Profil kandang uji dan rearing (A) dan Gelas Uji untuk Anti-oviposisi (B) ………... 25 11 Pengambilan nyamuk blood feed (A) dan pemberian larutan gula (B) .... 25

12 Profil Buah Kamandrah (A), Minyak Kamandrah Hasil Pengepresan (B) ……….. 27 13 Profil Daun, Buah Jarak Pagar (A) dan Profil Minyak Jarak Pagar Hasil Pengepresan (B) ……… 28 14 Rata-rata persentase kematian larva A. aegypti berdasarkan perlakuan selama 24 jam pengamatan... 31 15 Rata-rata persentase kematian larva A. albopictus berdasarkan perlakuan

selama 24 jam pengamatan ...

31 16 Nilai maksimal, minimal dan rata-rata kematian larva A. aegypti dan A.

albopictus dengan paparan minyak kamandrah selama 24 jam …………

32 17 Nilai maksimal, minimal dan rata-rata kematian larva A. aegypti dan A.

albopictus dengan paparan minyak jarak pagar selama 24 jam …………

32 18 Larva Aedes mati yang terpapar minyak sawit (A), terpapar minyak

jarak pagar (B) dan terpapar minyak kamandrah (C) ...

34 19 Konsentrasi efektif berdasarkan Lethal Concentration minyak

kamandrah, jarak dan sawit pada A. aegypti dan A. albopictus selama 24

jam pengamatan ...

(14)

No Teks Halaman 20 Rata-rata jumlah telur yang diletakkan nyamuk berdasarkan ovitrap

dengan paparan minyak kamandrah ... 37 21 Rata-rata jumlah telur yang diletakkan nyamuk berdasarkan ovitrap

dengan paparan minyak jarak pagar ... 37 22 Rata-rata persentase telur yang berhasil menetas berdasarkan perlakuan

pada telur A. aegypti dan A. albopictus ...

39 23 Struktur cis-9-Hexadecenal ... 40

24 25

Struktur (Z)- 13-Octadecenal ...

Contoh beberapa senyawa piperidine ... ...

41 41

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1 Hasil pengamatan kematian larva pada uji larvasida ... 49

2 Hasil pengamatan jumlah peletakan telur pada uji anti-ovipoisi... 52

3 Hasil pengamatan telur yang gagal menetas pada uji ovisida ... 54

4 Hasil uji ANOVA C. tiglium (larvasida) ... 55

5 Hasil uji ANOVA J. curcas (larvasida) ... 56

6 Hasil uji ANOVA C. tiglium (anti-oviposisi) ... 57

7 Hasil uji ANOVA J. curcas (lanti-oviposisi) ... 58

8 Hasil uji ANOVA C. tiglium dan J. curcas (ovisida) ... 59

9 Analisa probit minyak kamandrah terhadap larva A. aegypti selama 24 jam perlakuan ……… 60

10 Analisa probit minyak kamandrah terhadap larva A. albopictus selama 24 jam perlakuan ………... 61

11 Analisa probit minyak jarak pagar terhadap larva A. aegypti selama 24 jam perlakuan ……… 62

12 Analisa probit minyak jarak pagar terhadap larva A. albopictus selama 24 jam perlakuan ………... 63

13 Analisa probit minyak sawit terhadap larva A. aegypti selama 24 jam perlakuan ………... 64

14 Analisa probit minyak sawit terhadap larva A. albopictus selama 24 jam perlakuan ………... 65

15 Hasil uji spektrofotometer kadar piperin (%) minyak kamandrah ……… 66

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyamuk termasuk satu di antara jenis serangga yang memperoleh perhatian besar dalam kesehatan manusia, karena mempunyai potensi sebagai vektor dalam penularan suatu penyakit (Stocker et al. 2005). Nyamuk Aedes aegypti dan A. albopictus

merupakan nyamuk vektor yang menularkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Chikungunya, yang sampai saat ini kasus kesakitannya selalu meningkat (WHO 2004 & Kusriatuti 2003).

Di Indonesia jumlah kasus DBD setiap tahun cenderung meningkat dan persebarannya semakin luas. Memasuki awal tahun 2004 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), sejak Januari - Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53% ). Pada tahun 2007 kasus DBD di Indonesia sampai bulan September adalah 123.828 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 1.256 orang (DEPKES 2007).

Seperti halnya DBD, kasus demam Chikungunya di Indonesia sudah menyebar di 11 Provinsi selama tahun 2001 – 2005. Wilayah tersebut terdiri dari Provinsi DI Nangroe Aceh Darusalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat, dengan jumlah kasus sebanyak 12.695 penderita tanpa kematian, yang tersebar di 38 kabupaten/kota, 90 kecamatan dan 134 desa/keluranan (DEPKES 2007).

Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dan Chikungunya dititik beratkan pada pemutusan siklus penularan yaitu dengan cara pengendalian vektor (WHO 2004). Metode pengendalian yang paling cepat memutuskan siklus penularan adalah penggunaan larvasida dan insektisida sintetik, namun senyawa kimia sintetik dapat menyebabkan sifat resisten pada nyamuk. Beberapa kasus resisten juga dilaporkan di dunia, diantaranya resistensi nyamuk A. aegypti terhadap

organophosphat di Brasil (Araujo et al. 2006). Sebagian besar nyamuk vektor malaria

di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta juga telah mengalami penurunan kerentanan terhadap insektisida organophosphat dan karbamat (Widiarti et al. 2003).

(18)

Cara pengendalian alamiah adalah dengan memanfaatkan tanaman sebagai biopestisida, sebagai satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan, mudah diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi musuh alami dan serangga menguntungkan lainnya. Insektisida dari tanaman ini lebih selektif dan aman, karena mudah terurai (terdegradasi) di alam sehingga tidak meninggalkan residu di tanah, air dan udara (Jadhau & Jadhau 1984 dalam Adebowale et al. 2006).

Berbagai jenis tanaman telah diketahui mengandung senyawa bioaktif seperti seperti fenilpropan, terpenoid, alkaloid, asetogenin, steroid dan tanin yang bersifat sebagai insektisida. Menurut Aminah (1995), buah lerak yang mengandung senyawa utama saponin, daun kecubung yang mengandung alkaloid dan antrakinon serta daun orang-aring yang mengandung minyak atsiri, tanin dan steroid terbukti berkhasiat sebagai insektisida dan repelen.

Uji toksisitas beberapa tanaman telah dilakukan terhadap larva nyamuk, seperti minyak tumbuhan yang berasal dari tanaman (Camphor, Thyme, Amyris, Lemon, Cedarwood, Frankincense, Dill, Myrtle, Juniper, Black Pepper, Verbena, Helichrysum and Sandalwood) yang dilaporkan memiliki bioaktivitas sebagai larvasida nyamuk

(Amer & Mehlhorn 2006). Ekstrak daun dari tanaman Euphorbiaceae seperti Croton nepetaefolius, C. zehntneri, dan C. argyrophylloides terbukti mampu membunuh 100%

larva A. aegypti skala laboratorium (Araujo et al. 2006).

Ekstrak air dari tanaman Piper retrofractum (Chansang et al. 2005), ekstraksi

daun Annona muricata (Hamidah 2002), ekstrak tanaman Origanum onites (Cetin &

Yanikoglu 2006), beberapa ekstrak petroleum ether dari lima spesies tanaman Euphorbiaceae, yaitu Jatropha curcas, Pedilanthus tithymaloides, Phyllanthus amarus, Euphorbia hirta dan E. tirucalli juga terbukti mempunyai potensi sebagai larvasida

(Rahuman et al. 2007).

Tumbuhan kamandrah (Croton tiglium), famili Euphorbiaceae merupakan salah

satu tumbuhan beracun yang berpotensi sebagai insektisida. Senyawa 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-acetate hasil isolasi dari biji kamandrah dapat membunuh

100% larva Culex pipiens instar ke dua pada konsentrasi 0,6 ppm (Marshall et al.

2005). Senyawa 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-acetate juga dapat berfungsi sebagai

Anti-HIV (Singh et al. 2005).

Tumbuhan jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan satu famili dengan

tumbuhan kamandrah. Bagian daun dari tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai obat anti koreng dan gatal-gatal, bagian biji digunakan untuk mengurangi kesulitan buang

(19)

air besar, kanker mulut rahim, kulit, bisul dan infeksi jamur (Heyne 1987). Biji jarak pagar mempunyai toksisitas yang tinggi karena mengandung senyawa protein yang toksik (curcin) dan diterpene ester (Heller 1996). Minyak biji tanaman jarak pagar

juga dapat menghambat penetasan telur Callosobruchus maculatus (Coleoptera :

Bruchidae) dan bersifat anti-oviposisi (Adebowale et al. 2006).

Tanaman kamandrah dan jarak pagar merupakan tanaman yang mudah pertumbuhannya dan tersebar merata di seluruh Indonesia. Dilihat dari sifat toksiknya, biji tanaman kamandrah dan jarak pagar memiliki potensi sebagai larvasida nyamuk A. aegypti dan A. albopictus, namun demikian belum banyak penelitian yang lengkap

mengenai efektivitasnya sebagai larvasida, anti-oviposisi dan ovisida.

1.2 Perumusan Masalah

Sebagian besar pengendalian vektor yang dilakukan dengan menggunakan larvasida sintetis dapat mencemari lingkungan dan menyebabkan sifat resisten pada larva. Kajian tentang larvasida nabati banyak dilakukan, namun efektivitasnya masih rendah sehingga perlu kajian bahan aktif tanaman lain yang mempunyai tingkat toksisitas tinggi, mudah mendapatkannya dan ramah lingkungan.

1.3 Tujuan Penelitian

1 Mengetahui efikasi minyak biji tanaman kamandrah (C. tiglium) dan jarak

pagar (J. curcas) terhadap larva A. aegypti dan A. albopictus.

2 Mengetahui daya anti-oviposisi minyak biji tanaman kamandrah dan jarak pagar terhadap peletakan telur nyamuk betina A. aegypti dan A. albopictus.

3 Mengetahui daya ovisida untuk menghambat penetasan telur A. aegypti dan A. albopictus dalam media minyak biji kamandrah dan jarak pagar.

4 Mengetahui konsentrasi senyawa aktif piperine yang terkandung pada biji kamandrah dan jarak pagar sebagai larvasida, anti-oviposisi dan ovisida.

(20)

1.4 Hipotesa alternatif (H1)

1 Terdapat peningkatan kematian larva A. aegypti dan A. albopictus yang

terpapar minyak biji kamandrah dan jarak pagar.

2 Terdapat penurunan jumlah peletakan telur A. aegypti dan A. albopictus

yang terpapar minyak biji kamandrah dan jarak pagar.

3 Terdapat kegagalan penetasan telur nyamuk A. aegypti dan A. albopictus

yang terpapar minyak biji kamandrah dan jarak pagar.

1.5 Manfaat

Diharapkan dapat menambah inventarisasi jenis tanaman yang mengandung senyawa insektisida nabati sebagai larvasida, anti-oviposisi dan ovisida nyamuk. Selanjutnya dapat digunakan sebagai alternatif dalam upaya pengendalian kepadatan populasi nyamuk vektor dan pencegahan terjadinya transmisi penyakit tular vektor secara aman, rasional, efisien, efektif, dapat diterima masyarakat dan berkelanjutan.

(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) muncul lebih dari 20 tahun yang lalu dengan perluasan distribusi geografis baik pada virus maupun pada nyamuk vektor. Sejak tahun 1980, penyakit DBD menyebar luas di berbagai wilayah tropis dan sub tropis meliputi benua Amerika, Afrika, Asia dan Pasifik Barat. WHO memperkirakan telah terjadi 50 - 100 juta kasus DBD pertahunnya di dunia, dengan 25.000 kasus kematian (Gubler 1997).

Kasus penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit DBD. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah dan secara sporadis selalu terjadi KLB (kejadian luar biasa) setiap tahun (Kristina et al. 2004).

Memasuki awal tahun 2004 telah terjadi KLB DBD di beberapa provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, NTT, NTB, dan Kalimantan Selatan. Insidens kasus (IR) tertinggi terjadi di DKI Jakarta yaitu 69,92 per 100.000 penduduk dengan risiko kematian (CFR) 0,8% selanjutnya NTT 12,47 per 100.000 penduduk dengan CFR = 4,1%, DI Yogya 11,94 per 100.000 penduduk dengan CFR = 3,8% (Kandun 2004).

Gambar 1 Profil Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968 - 2007 (Sumber : Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL. DEPKES RI 2007)

0 20 40 60 1968 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 IR d a n C F R Tahun DBD, Insiden dan CFR Indonesia, 1968‐2007 (Sep) IR/100.000 CFR(%)

(22)

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2003-2007), jumlah kejadian kasus DBD di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Berdasarkan laporan kasus sejak Januari - Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53% ). Pada tahun 2007 kasus di Indonesia sampai bulan September adalah 123.828 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 1.256 orang (Gambar 1) (DEPKES 2007).

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus, famili

Flaviridae yang terdiri atas empat serotipe yaitu, DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Penyakit ini disebarkan oleh nyamuk A. aegypti sebagai sumber penularan utama

biasanya banyak ditemukan di negara tropis khususnya di Asia Tenggara, sedangkan

A. albopictus telah dikenal sebagai vektor kedua yang juga penting dalam mendukung

keberadaan virus (WHO 2004).

Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang

terinfeksi pada saat menghisap darah dari seseorang yang mengalami fase demam akut (viraemia). Setelah melewati periode inkubasi ekstrinsik selama 8 – 10 hari, kelenjar

nyamuk tersebut akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan tubuh orang lain. Virus akan tetap bertahan di tubuh nyamuk sepanjang hidupnya, sehingga nyamuk yang terinfeksi virus dengue mampu menularkan penyakit ini kepada orang lain selama hidupnya (DEPKES 2005).

Selama masa inkubasi di tubuh manusia (intrinsik) yaitu sekitar 3 – 14 hari maka akan timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia dan berbagai tanda non spesifik lainnya. Nyamuk A. aegypti dan A. albopictus lebih aktif mencari mangsanya di siang hari di banding nyamuk lain yang

cenderung menyerang manusia pada malam hari. Setelah menggigit tubuh manusia, perut nyamuk akan terpenuhi darah kira-kira dua hingga empat miligram atau sekitar 1,5 kali berat badannya (Kristina et al. 2004).

(23)

2.2. Penyakit Chikungunya

Penyakit Chikungunya ditemukan pertama kali di negara Afrika dan selanjutnya menyebar ke Asia. Penyakit ini kemudian menyebar luas ke seluruh wilayah Afrika dan Asia, termasuk India, Srilanka, Myanmar, Thailand, Indonesia dan Malaysia. Hasil penelitian di Bangkok (Thailand), Vellore dan Madras (India) menunjukkan terjadinya gelombang epidemi dengan interval 30 tahun. Satu gelombang epidemi umumnya berlangsung beberapa bulan, kemudian menurun dan bersifat ringan sehingga sering tidak termonitor (Sam et al. 2006). Di India, kasus Chikungunya terjadi antara bulan

Februari sampai dengan Agustus tahun 2006 sebanyak dua juta kasus (Kumar et al.

2007).

Kasus Chikungunya di Indonesia sudah menyebar di 11 Provinsi selama tahun 2001 – 2005. Kasus ini menyebar luas di Provinsi DI Nangroe Aceh Darusalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat, dengan jumlah kasus sebanyak 12.695 penderita tanpa kematian. Selama kurun waktu 7 tahun (2001-2007) total kasus Chikungunya adalah 18.169 kasus. Kejadian penyakit ini berfluktuasi, kasus tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebanyak 8870, pada tahun 2005 menurun menjadi 442 kemudian meningkat lagi pada tahun 2007 yaitu sebanyak 1111 kasus (Gambar 2) (DEPKES 2007).

Gambar 2 Profil Kasus Chikungunya di Indonesia tahun 2001 - 2007 (Sumber : Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL. DEPKES RI 2007)

539 1818 8870 1266 442 1407 1111 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

(24)

Chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), Genus Alphavirus,

Famili Togaviridae. Virus chikungunya pertama kali diisolasi oleh Ross sejak terjadinya epidemi dengue di wilayah Newala, Tanzania yaitu pada tahun 1953 (Diallo

et al. 1999). Seperti halnya DBD, sumber penularan utama penyakit Chikungunya

adalah nyamuk A. aegypti dan A. Albopictus (Kusriastuti 2003). Gejala utamanya

adalah demam mendadak, nyeri persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki, tangan serta tulang belakang yang disertai ruam (bintik-bintik kemerahan) pada kulit (Diallo et al. 1999).

Demam Chikungunya relatif kurang berbahaya dibandingkan dengan penyakit DBD, karena penyakit ini dapat sembuh sendiri (self limiting disease). Masa inkubasi

dalam tubuh manusia (intrinsik) sekitar 2 - 4 hari, sementara manifestasi klinis antara 3 - 10 hari. Meski demikian, demam Chikungunya dapat menyebabkan penderita mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan ini hanya bersifat sementara karena pengaruh dari proses perkembangbiakan virus dalam darah yang menimbulkan nyeri pada persendian dan tulang sehingga sulit menggerakkan anggota tubuh. Walaupun bukan kelumpuhan total, namun dapat menghambat produktivitas kerja dan aktivitas sehari-hari (Diallo et al. 1999).

Menurut Kumar et al. (2007) kemiskinan merupakan faktor penting tejadinya

infeksi Chikungunya dan dapat memperburuk permasalahan kemiskinan masyarakat. Masyarakat kaya secara umum juga dapat terserang penyakit ini, proporsi tertinggi adalah pada usia produktif dengan gejala yang panjang lebih dari dua minggu sehingga berdampak pada produktivitas/penghasilan berkurang. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara kemiskinan dan infeksi yang terjadi karena malnutrisi sehingga semakin menambah individu yang rentan terhadap serangan penyakit tersebut.

2.3. Lingkungan dan kehidupan Aedes

Siklus Hidup. Vektor yang berperan dalam penularan DBD dan demam Chikungunya adalah nyamuk famili Culicidae, subfamili Culicinae, genus Aedes,

spesies aegypti dan albopictus (Gubler et al. 1997). Nyamuk ini mengalami

metamorfosis sempurna (holometabola), meliputi empat tahapan yaitu telur, larva (jentik) pupa dan dewasa. Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya, sedangkan telur pada A. aegypti tahan hidup dalam waktu lama tanpa air, meskipun

(25)

Telur. Telur Aedes yang masih baru berwarna putih namun setelah satu atau dua

jam berubah menjadi hitam berbentuk oval. Dinding luar telur (exochorion)

mempunyai bahan yang lengket (glikoprotein) yang akan mengeras bila kering. Telur akan menetas selama satu sampai tiga hari pada suhu antara 23 oC - 30oC dan kelembaban 60-80%, tetapi membutuhkan tujuh hari pada suhu 16oC (Christophers 1960).

Nyamuk Aedes dapat menghasilkan 80 - 125 butir telur (rata-rata 100 butir)

setelah menghisap darah (Hoedojo 1993). Hasil penelitian di Sam Hughes (Amerika), 300 nyamuk betina A. aegypti mampu menghasilkan 20.000 telur selama 4 bulan

(Ginley 2001). Rumini (1980) melaporkan bahwa nyamuk A. albopictus rata-rata

meletakkan telur 52 butir setiap kali bertelur.

Telur dapat bertahan pada kondisi kering dalam waktu lebih dari satu tahun. Kemampuan bertahan memberikan keuntungan bagi kelangsungan hidup spesies tersebut selama iklim yang tidak menguntungkan (WHO 2004). Agustina (2006) melaporkan bahwa waktu penetasan telur yang disimpan lebih lama daripada waktu penetasan telur dalam keadaan segar (baru) serta kondisi yang lebih baik. Telur yang disimpan selama dua minggu menunjukkan tanda mulai mengkerut dan kering.

Larva. Larva Aedes berbentuk silindris dengan kepala membulat, antena pendek

dan halus. Alat pernafasan larva menggunakan siphon yang berada di ruas ke delapan dari abdomen, sedangkan untuk mengambil makanan menggunakan rambut-rambut yang ada di kepala yang berbentuk seperti sikat (Christophers 1960). Morfologi larva

A. aegypti mirip dengan A. albopictus, perbedaannya terlihat pada bentuk sisir yang

terdapat di segmen abdomen ke delapan (Mattingly 1957) (Gambar 3).

Larva mengalami empat kali instar, lama stadium ini hanya berlangsung selama enam sampai sembilan hari (Christophers 1960). Lamanya larva mengalami moulting

(pergantian kulit) dan ukuran larva dipengaruhi oleh nutrisi atau makanan yang diperoleh. Secara umum makanan larva di alam berupa mikroba dan jasad renik seperti

flagelata, ciliata, dan rhizopora (zooplankton dan fitoplankton)(Rumini 1980)).

Larva Aedes yang dipelihara dengan ekstrak hati, ragi dan vitamin B pada suhu

28 oC membutuhkan waktu 4 – 8 hari selama empat stadium. Perkembangan larva juga dipengaruhi oleh pH yang merupakan faktor dalam menentukan sebaran populasi larva. Larva Aedes dapat hidup dalam wadah yang mengandung air dengan pH 5,8 –

8,6 dan tahan terhadap air mengandung kadar garam dengan konsentrasi 10,0 – 59,5 g klor/ltr (Hoedojo 1993).

(26)

A B

Gambar 3 Morfologi bentuk sisir larva A. aegypti seperti trisula (A) dan sisir larva A. albopictus berbentuk lancip (B)

A B

Gambar 4 A. aegypti (A) dan A. albopictus (B) Saat Menghisap Darah

(Sumber : www.mosquitomagnetdepot.com)

Pupa. Pupa Aedes berbentuk koma, pada fase ini pupa tidak membutuhkan

makanan. Pada permulaan pupa berwarna putih kemudian berubah menjadi coklat dan sebelum dewasa menjadi hitam. Kepala dan thoraks tebal, abdomen melengkung ke bawah dan kebelakang, hanya dapat bergerak vertikal setengah lingkaran. Pupa bernafas melalui tabung pernafasan yang berbentuk seperti segitiga, tabung pernafasan ini merupakan ciri khas nyamuk Aedes (Christophers 1960). Lama stadium pupa

menjadi nyamuk dewasa adalah satu sampai dua hari (Hoedojo 1993).

Dewasa. Morfologi nyamuk Aedes dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk Culex quinquefasciatus, ujung abdomennya lancip, berwarna hitam dengan

belang-belang putih pada seluruh bagian tubuhnya termasuk kaki-kakinya. Nyamuk A. aegypti

(27)

sedangkan A. albopictus bulu-bulu halus yang berwarna putih tersebut membentuk

garis putih tebal yang lurus dan memanjang (Mattingly 1957).

Secara umum A. aegypti dan A. albopictus betina mempunyai daya terbang

sejauh 50– 100 meter. Penelitian di Puerto Rico menunjukkan bahwa nyamuk betina dewasa menyebar lebih dari 400 meter untuk mencari tempat bertelur. Kedua spesies nyamuk inipun mampu hidup dan berkembang biak sampai pada wilayah dengan ketinggian ± 1000 m dari permukaan air laut (WHO 2004).

Kelangsungan hidup nyamuk Aedes di laboratorium sangat dipengaruhi oleh

jenis makanan, nyamuk yang tidak diberi makan dapat bertahan hidup selama 7 hari, diberi larutan gula dapat bertahan selama 20 hari dan bila diberi darah maka umur nyamuk dapat mencapai 93 hari (Christophers 1960). Hoedojo (1993) melaporkan bahwa sebagian besar nyamuk A. aegypti yang diberi air gula dapat bertahan hidup

sampai dua bulan.

Perilaku Mencari Pakan. Secara umum, perilaku mencari pakan dari nyamuk

A. aegypti dan A. albopictus jantan adalah menghisap cairan tanaman sedangkan

nyamuk betina menghisap darah yang digunakan untuk mematangkan telur. Sifat dari nyamuk Aedes adalah cenderung menghisap darah manusia daripada hewan

(antropofilik). Aktivitas mencari pakan nyamuk betina yaitu mulai pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktivitas antara jam 09.00 – 10.00 dan 16.00 – 17.00. Nyamuk Aedes mempunyai perilaku menghisap darah berulang kali (multiple bites)

dalam satu siklus gonotropik, nyamuk ini juga sangat efektif untuk menularkan virus ke manusia (WHO 2004).

Kawada et al. (2007) melaporkan bahwa aktivitas mencari pakan A. albopictus

adalah kurang dari 0,1 kali dibandingkan dengan A. aegypti dalam kondisi

laboratorium, hasil ini konsisten dengan kecenderungan menggigit kedua spesies tersebut di alam. Frekuensi target-serangan (aktivitas mencari pakan) pada nyamuk betina A. aegypti dalam kondisi unfed adalah 30 kali lebih besar daripada nyamuk A. albopictus pada beberapa perlakuan di laboratorium (Kawada, et al. 2007).

Habitat. Tempat berkembang biak larva nyamuk A. aegypti adalah kontainer

buatan yang berada di lingkungan perumahan. Habitat larva nyamuk ini bersifat buatan manusia yang banyak ditemukan di dalam rumah dan sekitar lingkungan perkotaan (rumah tangga, lokasi pembangunan dan pabrik), misalnya botol minuman, pot bunga, bak mandi, tong kayu dan logam, ban, kaleng, pipa saluran (WHO 2004).

(28)

Agustina (2006) melaporkan bahwa A. aegypti dapat hidup di air terkontaminasi

deterjen dengan perolehan telur tertinggi 2,7 ppm, kaporit dengan konsentrasi 10 ppm ditemukan perolehan telur tertinggi, pada tanah konsentrasi 30 gr/ml juga memperoleh jumlah telur tertinggi sedangkan air yang terkontaminasi feses ayam, perolehan telur tetinggi pada konsentrasi 10 gr/ml.

Habitat larva yang alami seperti lubang pohon, bambu, ketiak daun, dan tempurung kelapa merupakan habitat utama larva A. albopictus (WHO 2004).

Perbedaan habitat antara A. aegypti dan A. albopictus tersebut menunjukkan adanya

pemisahan ekologi, A. aegypti Asia lebih bersifat domestik dan endophagik daripada A. albopictus (Ishak et al. 1997 dalam Kawada et al. 2007).

2.4. Tumbuhan Sebagai Larvasida dan Insektisida nabati

Larvasida Nabati. Beberapa tanaman telah dilaporkan mempunyai bioaktivitas sebagai larvasida dengan cara menghambat pertumbuhan bahkan menyebabkan kematian larva. Pada umumnya bahan aktif yang diperoleh dari tanaman berupa

essential oil yang berfungsi sebagai larvasida dan bersifat toksik bagi nyamuk dewasa

(Aminah et al. 1995).

Efek insektisida dari essential oil yang diperoleh dari tanaman Origanum onites

dan Origanum minutiflorum terhadap larva Culex pipiens secara berturut-turut

diperoleh nilai LC50 sebesar 22,4 ppm dan 73,8 ppm, sedangkan LC90 berturut-turut adalah 61,3 ppm dan 118,9 ppm (Cetin & Yanikoglu 2006). Tanaman Carapa guianensis dari famili Meliacea mempunyai sifat repelensi terhadap nyamuk dewasa.

Tanaman tersebut juga mempunyai efek sebagai larvasida dengan LC50 sebesar 0,74% terhadap larva A. albopictus instar 3 dan 0,66% pada instar 4 (Silva et al. 2004).

Dilaporkan bahwa ekstrak buah lerak bersifat toksik terhadap larva nyamuk dengan LC50 sebesar 0,450 mg/l sedangkan LC100 sebesar 0,9 mg/l. Saponin dalam buah lerak diduga mengandung hormon steroid yang berpengaruh dalam pertumbuhan larva nyamuk. Larva yang mati dalam perlakuan ekstrak buah lerak memperlihatkan kerusakan pada dinding saluran cerna (traktus digestivus). Hal ini diakibatkan karena

saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa saluran cerna sehingga menjadi korosif (Aminah et al. 1995).

Minyak yang diperoleh dari ekstrak Ipomoea cairica, pada konsentrasi 100 ppm

telah berhasil membunuh 100% larva C. tritaeniorhynchus dengan nilai LC50 sebesar 14,8 ppm. Konsentrasi 120 ppm mampu membunuh larva A. aegypti dan Anopheles

(29)

stephensi dengan nilai LC50 secara berturut-turut adalah 22,3 ppm dan 14,9 ppm (Thomas et al. 2004).

Fitriana (2006) melaporkan bahwa dari hasil uji aktivitas larvasida minyak atsiri kuncup bunga cengkeh (Syzygium aromatikum) terhadap kematian larva nyamuk Anopheles aconitus instar 3 diperoleh nilai LC90 sebesar 67,69 ppm. Minyak tanaman

camphor, thyme, amyris, lemon, cedarwood, fankincense, dill, verbena dan sandalwood memiliki bioaktivitas sebagai larvasida. Nilai LC50 sebesar 1 – 101,3 ppm untuk larva A. aegypti, sebesar 9,7 – 101,4 ppm pada A. stephensi dan sebesar 1 – 50,2

ppm pada C. quinquefasciatus (Amer & Melhorn 2006).

Rahuman et al. 2007 melaporkan bahwa ethyl acetate, butanol dan ekstrak

petroleum ether dari lima spesies tanaman Euphorbiaceae, yaitu J. curcas, Pedilanthus tithymaloides, Phyllanthus amarus, Euphorbia hirta dan E. tirucalli mampu

membunuh larva A. aegypti dengan LC50 secara berturut-turut adalah 8,79 ; 55,26 ; 90,92 ; 272,36 ; 4,25 ppm dan dapat membunuh C. quinquefasciatus sebesar 11,34 ;

76,61 ; 113,40 ; 424,94 ; 5,52 ppm selama 24 jam pengamatan. Ekstrak petroleum ether dari J. curcas dan E. tirucalli yang lebih efisien dibanding dengan tanaman

lainnya.

Pradono et al. (2007) melaporkan bahwa minyak biji kamandrah (C. tiglium)

mempunyai konsentrasi efektif LC50 sebesar 769,52 ppm dan LC90 sebesar 2717,4 ppm terhadap kematian larva A. aegypti selama perlakuan 24 jam. Sementara itu, Riyadhi

(2008) melaporkan bahwa minyak biji jarak pagar (J. curcas) mampu membunuh larva A. aegypti dengan nilai LC50 sebesar 1507 ppm.

Insektisida Nabati. Insektisida ini mempunyai daya tarik bagi banyak pihak karena merupakan insektisida alamiah yaitu insektisida yang didapatkan dari tanaman. Beberapa insektisida nabati yang umum digunakan yaitu piretrum, nikotin, dan rotenon, limonene atau d-limonene dan azadirachtin (Indrosancoyo 2006 dalam Sigit &

Hadi 2006).

Di antara insektisida yang masih dipakai, piretrum merupakan insektisida nabati untuk mengendalikan berbagai serangga hama permukiman dan tidak berbahaya bagi mamalia. Piretrum berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium.

Insektisida ini bekerja dengan menyerang sistem syaraf pusat pada serangga sehingga dapat melumpuhkan (knockdown) serangga secara cepat Di Indonesia sebelum

(30)

Bahkan bahan ampas dari sisa ekstrak tanaman hingga kini masih digunakan sebagai campuran anti nyamuk bakar (Indrosancoyo 2006 dalam Sigit & Hadi 2006).

Nikotin adalah suatu alkaloid yang berasal dari ekstrak tanaman tembakau. Nikotin bekerja dengan mimik/meniru asetilkholin pada persimpangan neuromuskular binatang yang dapat mengakibatkan kejang, konvulsi dan kematian secara cepat. Pada serangga kejadiannya sama, namun hanya terjadi di ganglia pada sistem saraf pusat (SSP) (Opender & Dhaliwal 2005).

Rotenon dihasilkan dari akar/rhizome dari tanaman Derris elliptica. Rotenon

biasa digunakan untuk reklamasi kolam yaitu dengan mengendalikan ikan yang ada, kemudian digantikan dengan spesies ikan yang dikehendaki. Pada konsentrasi yang disarankan rotenon merupakan pembunuh ikan yang selektif namun tidak toksik terhadap organisme makanan ikan yang ada serta dapat terurai secara cepat. Sebagai insektisida, rotenon adalah racun kontak dan perut, yang membunuh serangga secara perlahan yang diikuti dengan aktivitas berhenti makan (stop feeding action). Rotenon

banyak digunakan untuk pengendalian serangga di taman dan kebun di sekitar rumah (Indrosancoyo 2006 dalam Sigit & Hadi 2006).

2.5. Kamandrah (Croton tiglium)

Kamandrah merupakan nama lokal untuk daerah Kalimantan Tengah, di daerah lain tanaman ini disebut simalakian (Sumatera Barat), ceraken (Jawa), roengkok (Sumatera Utara), semoeki (Ternate), kowe (Tidore), sedangkan nama umum adalah cerakin. Tanaman ini tergolong dalam divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae, famili Euphorbiaceae, genus Croton, spesies tiglium (Hutapea, 1994).

Kamandrah merupakan tanaman semak, pohon kecil, tinggi sekitar 5-24 meter. Batang tanaman tegak, bulat, berambut dan berwarna hijau. Pangkal daun tanaman bergerigi, berseling, lonjong, bagian ujung runcing, pangkal membulat dan berdaun tunggal. Panjang daun 3-4,5 cm, lebar 1-3,5 cm, tangkai silindris, panjang 2-2,5 cm, pertulangan menyirip dan berwarna hijau. Bunga berbentuk majemuk dan berbulir, kelopak membulat, benang sari putih kekuningan, kepala putik bulat, mahkota berbentuk corong kuning. Buah berbentuk kotak, bulat, dengan diameter 0,5 cm dan berwarna hijau. Biji berbentuk bulat telur, kecil dan berwarna hitam. Akar tanaman ini berwarna putih dan termasuk akar tunggang (Pradono et al. 2007).

Menurut Guerrero et al. (1990) kamandrah mengandung rotenon dan saponin,

air rebusan akarnya digunakan oleh masyarakat Filipina untuk menggugurkan kandungan. Minyak kental yang diperoleh dari biji kamandrah digunakan sebagai obat

(31)

cuci perut, sedangkan minyak encer digunakan sebagai penawar rasa nyeri (Bimantoro, 1977).

Di sekitar Maluku dan Sulawesi Selatan bahan ini digunakan sebagai obat KB, sebenarnya yang terjadi adalah abortus atau bila digunakan pada masa implantasi, maka kerjanya sebagai anti implantasi, karena adanya kontraksi yang kuat pada usus dan uterus. Tanaman ini dianggap berbahaya karena LD50 cukup kecil, tetapi belum diketahui kandungan mana yang mengakibatkan gejala negatif (Dzulkarnain 1989).

Konsentrasi biji kamandrah sebesar 0,05 gram dapat menyebabkan diare. Minyaknya juga mengandung crotin yang merupakan suatu fitotoksin protein (protein phytotoxin). Minyak ini juga mengandung suatu zat karsinogenik yang dapat

merangsang zat karsinogen yang lemah sehingga menyebabkan kanker (Dzulkarnain 1989).

Gambar 5 Profil Tanaman Kamandrah (Croton tiglium)

(Sumber : Pradono et al. 2007)

Saputera (2008) melaporkan bahwa uji toksisitas akut ekstrak biji kamandrah terhadap mencit, diperoleh konsentrasi efektif sebesar 0,06 ml/30 g BB mencit setara dengan 5,34 g/kg BB mencit. Hasil uji ini masih tergolong toksik sedang (LD50 = 0,07), maka dalam aplikasinya konsentrasi aman adalah kurang dari 2,7 kali konsentrasi efektif yang digunakan sebagai bahan laksatif (pencahar).

Tanaman ini merupakan tanaman obat yang banyak ditemukan di wilayah Indonesia. Di Kalimantan Tengah, biji tanaman kamandrah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat pencahar. Dengan memakan bijinya maka akan menimbulkan

(32)

mulas pada perut dan biasanya akan cepat buang air besar, namun pemanfaatan sebagai bahan baku tanaman obat masih tergantung pada tanaman yang ada di hutan alam atau berasal dari pertanaman rakyat secara tradisional (Saputera 2008).

Serbuk biji kamandrah sering digunakan oleh para nelayan untuk meracuni ikan di perairan agar mudah tertangkap namun masih dapat dikonsumsi (Pet 1997). Saputera (2008) juga melaporkan bahwa ekstrak etanol dari biji kamandrah mempunyai nilai LC50 sebesar 1.003 ppm terhadap larva udang A. salina Leach dan hasil identifikasi menunjukkan kandungan terbesar dari biji kamandrah adalah asam lemak dengan asam linoleat sebagai komponen terbanyak.

Menurut Duke (1983) minyak Croton tiglium mengandung 37,0% oleic acid,

19,0% linoleic acid, 1.5% arachidic acid, 0.3% stearic acid, 0.9% palmitic acid, 7.5% myristic acid, 0.6% acetic acid, 0.8% formic acid dan sedikit lauric, tiglic, valeric, dan butyric (Banerjee 1983).

Yuningsih et al. (2007) melaporkan bahwa ekstrak biji kamandrah (C. tiglium)

dengan konsentrasi 0,5 ml/ekor secara oral sangat toksik pada mencit. Secara patologi anatomis ekstrak tersebut menyebabkan pembendungan dan perdarahan umum pada paru-paru, jantung dan hati dan sebagian besar dari area mukosa lambung karena mengalami atrofi.

Pradono et al. 2007 menganalisis minyak kamandrah dengan GC-MS metode

IV dan berhasil mengidentifikasi 12 senyawa dengan komponen utama oleic acid dan octadecanoic acid, 3-[(1-oxohexadecyl)oxy]-2-[(1-oxotetradecyl)oxy]propyl ester.

Selain itu ditemukan juga senyawa yang berfungsi menyerupai feromon yaitu (Z)-13-octadecenal dan cis-9-hexadecenal dan senyawa piperine yang termasuk dalam golongan alkaloid piperidin sebesar 0,47% area (Tabel 1). Senyawa golongan alkaloid piperidine biasa digunakan sebagai larvasida dan insektisida (Riyadhi, 2008).

(33)

Tabel 1 Hasil identifikasi minyak kamandrah dengan GC-MS Metode IV

Komponen %

Area

% Kemiripan Fragmentasi 1-Butanol, 2-methyl- atau 2-Methyl-1-butanol atau

sec-Butylcarbinol 4,31 89

cis-11-Hexadecenal atau 11-Hexadecenal, (Z)- atau

(Z)-11-Hexadecenal 0,80 81

Oleic Acid atau 9-Octadecenoic acid (Z)- 9,72 90 Eicosanoic acid, 2-hydroxy-1-(hydroxymethyl)ethyl

ester

0,06 82

13-Octadecenal, (Z)- 0,31 87

cis-9-Hexadecenal atau 9-Hexadecenal, (Z)- 0,36 90 Piperidine,

1-[5-(1,3-benzodioxol-5-yl)-1-oxo-2,4-pentadienyl]-, (E,E)- atau Piperine 0,47 85

gamma.-Tocopherol 0,09 84

Octadecanoic acid, 3-[(1-oxohexadecyl)oxy]-2-[(1-oxotetradecyl)oxy]propyl ester

35,57 85

(Sumber : Pradono et al. 2007)

2.6. Jarak Pagar (Jatropha curcas)

Menurut sejarah, genus Jatropha merupakan nama dari bahasa Yunani yaitu iatrós (dokter) dan trophé (makanan) yang digunakan sebagai obat. Menurut Correll

dan Correll (1982), curcas adalah nama umum untuk sejenis kacang-kacangan di

Malabar, India (Heller 1996). Tanaman ini menyebar hampir diseluruh bagian dunia beriklim tropis dan dapat tumbuh di wilayah yang kurang subur serta kering sehingga dapat berperan dalam penghijauan lahan kritis (Purwantoro 2007).

Tanaman jarak pagar (J. curcas) telah lama dikenal masyarakat di Indonesia,

yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942. Beberapa nama daerah antara lain ; jarak kosta, jarak budeg (Sunda), jarak gundul, jarak pager (Jawa), kuman nema (Alor), bintalo, jarak wolanda (Sulawesi), ai huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku). Berdasarkan klasifikasinya tanaman ini termasuk divisi Spermatophyta, kelas Magnoliopsida, famili Euphorbiaceae, genus Jatropha, spesies curcas, nama

umum adalah jarak pagar (Hutapea, 1994).

Jarak pagar merupakan pohon perdu dengan cabang tidak teratur dan tinggi tanaman satu sampai tujuh meter. Batangnya berkayu, silindris, bila terluka mengeluarkan getah. Daunnya berupa tunggal, berlekuk, bersudut tiga atau lima,

(34)

sedangkan tulang daun menjari dengan 5 - 7 tulang utama, berwarna hijau, panjang tangkai daun antara 4 - 15 cm (Hariyadi 2005).

Bunga jarak pagar berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah satu. Bunga jantan dan betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul diujung batang atau ketiak daun. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 2 - 4 cm. Buah jarak terbagi tiga ruang yang masing - masing ruang diisi tiga biji. Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30 - 40 % (Hariyadi 2005).

Gambar 6 Profil Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas)

Tanaman jarak pagar mempunyai manfaat sebagai obat tradisional. Bagian daun dari tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai obat anti koreng dan gatal-gatal, bagian biji digunakan untuk mengurangi kesulitan buang air besar, kanker mulut rahim, kulit, bisul dan infeksi jamur (Heyne 1987). Minyak biji dapat digunakan untuk mengatasi gangguan pada kulit, bengkak dan terkilir. Getah jarak pagar juga dapat berkhasiat menghentikan perdarahan dan bersifat antimikroba (Purwantoro 2007).

Biji jarak pagar juga mempunyai toksisitas yang tinggi karena mengandung senyawa protein yang toksik (curcin) dan diterpene ester (Heller 1996). Minyak jarak

dapat dihasilkan dari daging buah biji jarak melalui proses ekstraksi atau dengan menggunakan mesin pengepres biji. Kadar lemak yang terdapat pada biji jarak pagar kering adalah 46,25%, protein 18,88%, serat 15,1%, abu 2,62% dan karbohidrat 32,25% (Zulkifli 2005).

(35)

Bagian biji jarak pagar selain mengandung senyawa kursin juga mengandung senyawa toksalbumin. Bagian daun mengandung senyawa kaemfesterol, sitosferol, stigmasterol, amirin dan tarakserol. Ampas biji jarak pagar juga dapat dimanfaatkan untuk membasmi nematoda tanah karena masih mengandung sifat-sifat pestisida (Purwantoro, 2007).

Minyak J. curcas mengandung 43,1% oleic acid, 34,3% linoleic acid, 0,20% arachidic acid, 6,9% stearic acid, 14,2% palmitic acid, 0,38% myristic acid dan

0.12% gadoleic acid (Salatino et al. 2007).

Hasil analisis minyak jarak pagar menurut Riyadhi (2008) dengan GC-MS metode III diperoleh asam oleat (oleic acid) dan asam linoleat (linoleic acid) sebagai

kandungan utama, senyawa lainnya adalah piperine yaitu suatu alkaloid golongan piperidine yang berpotensi sebagai larvasida dan (Z)-13-octadecenal dan cis-9-hexadecenal yang mirip dengan senyawa yang berfungsi sebagai feromon (Gambar 7). Irwanto (2006) melaporkan bahwa jarak pagar mempunyai senyawa racun namun lebih banyak terkait dengan informasi mengenai biodiesel (bahan bakar alamiah). Menurut Grainge & Ahmed (1988) minyak biji, ekstrak dari biji dan phorbol esters dari minyak digunakan untuk pengendalian beberapa hama tanaman. Ekstrak air daun efektif untuk mengendalikan pathogen/jamur Sclerotium sp. dari tanaman Azolla

(36)

Gambar 7 Kromatogram GC-MS minyak jarak pagar metode III (Sumber : Riyadhi, 2008)

(37)

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pasca Panen Bogor, Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor, Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka-LPPM IPB Bogor, insektarium Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor dan insektarium Loka Litbang Kesehatan P2B2 Ciamis dari bulan Januari – Mei 2008.

3.2 Tanaman Uji

Bahan yang digunakan adalah biji kamandrah (C. tiglium) yang telah dikeringkan

dan diperoleh dari Barito Timur, Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak 111º BT hingga 116º BT dan 0º 45´ LU serta 3º 30´ LS (Narang 2007), curah hujan 1245-5795 mm/tahun dengan hari hujan 118-154 per tahun, temperatur 26,6-28,20C dan kelembaban udara 69-81%. Rata-rata curah hujan selama tahun 2003-2006 adalah 1699,5 mm/tahun dengan hari hujan 127,3 pertahun, temperatur 27,20C dan kelembaban udara 74,45 % (BPPD 2006).

Bahan yang digunakan adalah minyak biji tanaman jarak pagar (J. curcas) yang

diperoleh dari BB Litbang Pertanian Pasca Panen Bogor. Biji jarak pagar tersebut diperoleh dari daerah Lampung Sumatera Selatan. Sumatera merupakan daerah yang beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi. Temperatur udara berkisar antara 25-27oC dengan curah hujan rata-rata antara 2286-4699 mm per tahun (LAPAN 2007).

3.3 Serangga Uji

Kegiatan uji larvasida, anti-oviposisi dan ovisida minyak biji kamandrah dan jarak pagar menggunakan telur, larva instar III - IV dan nyamuk betina A. aegypti dan A. albopictus (berumur 3–5 hari). Telur, larva dan nyamuk A. aegypti yang digunakan

dalam penelitian adalah hasil kolonisasi insektarium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, IPB. Telur, larva dan nyamuk A. albopictus diperoleh dari hasil rearing

(38)

3.4 Metode Kerja

Metode Pengepresan. Kegiatan ini terdiri dari persiapan bahan baku berupa biji tanaman kamandrah dan jarak pagar yang mempunyai kandungan minyak yang cukup besar. Cara untuk mendapatkan minyak atau lemak adalah dengan pengepresan (Ketaren 1996). Pada penelitian ini akan dilakukan pengepresan dengan teknik pengepresan hidraulik. Biji yang akan dipress dimasukan di kantong yang terbuat dari kain berukuran 20 cm x 40 cm, kemudian dimasukan dalam alat pengepresan hidraulik (Gambar 8A), lalu ditekan semaksimal mungkin dengan pemanasan 50oC – 60oC, sampai seluruh minyaknya keluar.

Metode Uji Larvasida. Pengadaan larva uji dengan mengambil telur A. aegypti

dan A. albopictus yang kemudian direaring lebih lanjut untuk mendapatkan larva instar

III–IV untuk perlakuan larvasida. Telur kedua spesies Aedes dihitung dan dilihat

kondisinya dibawah mikroskop, yang dibutuhkan untuk uji sebanyak ± 2.375 butir per spesies (Gambar 9A).

Penetasan telur dilakukan dengan merendam kertas saring yang berisi telur Aedes

dengan menggunakan air sumur di dalam nampan plastik berukuran 30 x 20 x 5 cm (Gambar 9B). Waktu yang dibutuhkan dalam penetasan telur adalah ± satu sampai lima hari tergantung dari suhu, kelembaban dan kondisi telur. Larva akan menetas menjadi instar I, kemudian diberi pakan hati ayam kering yang telah ditumbuk halus atau pellet anjing sehingga larva akan tumbuh menjadi instar III – IV, waktu yang dibutuhkan antara 4 – 6 hari. Larva instar III – IV ini yang akan digunakan sebagai uji potensi larvasida.

Larutan uji yang digunakan adalah biji kamandrah dan jarak pagar dalam bentuk minyak hasil pengepresan. Untuk menentukan konsentrasi yang sesuai dilakukan uji pendahuluan terhadap larva A. aegypti dan A. albopictus. Cara menguji larutan yaitu di

mulai dari konsentrasi yang paling tinggi (10.000 ppm) kemudian menurun sampai diperoleh angka kematian hampir 100%. Uji berikutnya adalah konsentrasi setengah bagian dari konsentrasi terakhir (5000 ppm). Dari masing-masing perlakuan akan dibuat masing-masing enam konsentrasi dengan satu kontrol.

(39)

A B

Gambar 8 Alat pengepresan hidraulik (A) dan Profil timbangan elektrik (B)

A B

Gambar 9 Telur Aedes yang terpilih untuk uji (A) dan Telur Aedes yang telah menetas

menjadi larva (B)

Untuk pengujian terhadap larva digunakan tujuh buah gelas plastik yang berukuran ± 300 ml, yaitu 6 perlakuan konsentrasi minyak dan satu adalah kontrol dengan masing-masing digunakan 5 ulangan. Berbagai tingkat konsentrasi minyak biji jarak pagar yang diujikan melalui perhitungan rumus V1.C1 = V2.C2 (V1 = volume yang dicari, V2 = volume yang diinginkan, C1 = konsentrasi awal, C2 = konsentrasi yang diinginkan). Konsentrasi awal dianggap 100%.

Setiap gelas perlakuan diisi dengan air aquades dan minyak biji dengan cara menimbang menggunakan timbangan elektrik sesuai konsentrasi sehingga volumenya menjadi 200 ml (Gambar 8B). Larva instar III/IV disiapkan sebanyak 25 ekor per perlakuan dan dimasukkan ke masing-masing gelas perlakuan. Pengamatan dilakukan

(40)

24 dan 48 jam setelah larva dimasukkan, dihitung berapa banyak larva yang mati atau menjadi nyamuk.

Metode Uji Anti-Oviposisi. Uji anti-oviposisi nyamuk dewasa betina dalam peletakan telurnya pada kontainer air / ovitrap dengan penambahan konsentrasi

minyak biji kemudian dimasukkan kedalam kandang nyamuk (Gambar 10A dan 10B). Kandang nyamuk berukuran 40 x 40 x 40 cm sebanyak dua buah yang digunakan untuk rearing dua spesies dan 12 buah kandang berukuran 40 x 40 x 60 cm digunakan

untuk uji perlakuan (3 kali ulangan per spesies per tanaman).

Ovitrap yang berisi air dan minyak sesuai konsentrasi menghasilkan volume

campuran sebanyak 150 ml, kemudian diletakkan kertas saring di tepi permukaan

ovitrap secara merata. Konsentrasi minyak yang digunakan dalam perlakuan

menggunakan kisaran konsentrasi efektif LC50 dan LC95. Ovitrap yang sudah siap dimasukkan dalam kandang perlakuan, masing-masing kandang diisi enam ovitrap

yaitu empat perlakuan kamandrah dan jarak pagar, satu kontrol minyak sawit dan satu kontrol aquades, masing-masing dilakukan 3 kali ulangan.

Nyamuk dewasa betina dipilih yang kenyang darah (blood feed) setelah

menghisap darah marmut, nyamuk berumur sekitar 4 – 5 hari. Pengambilan nyamuk betina dari kandang rearing menggunakan aspirator kemudian dipindahkan ke kandang

perlakuan sebanyak 25 nyamuk per kandang. Jumlah nyamuk yang dibutuhkan sebanyak ± 900 ekor per spesies (Gambar 11A). Larutan gula 10% dimasukkan dalam kandang perlakuan untuk mempertahankan daya tahan nyamuk (Gambar 11B).

Pengamatan uji anti-oviposisi dilakukan selama 3 – 5 hari yaitu menunggu sampai nyamuk betina mengeluarkan telurnya atau kondisi perut nyamuk kembali kosong. Kertas saring pada ovitrap perlakuan dan kontrol diambil dan dilihat di bawah

mikroskop, kemudian dihitung jumlah telur yang menempel di kertas saring. Ovitrap

(41)

A B

Gambar 10 Profil Kandang Uji dan Rearing (A) dan Gelas Uji Anti-oviposisi (B)

A B

Gambar 11 Pengambilan nyamuk blood feed (A) dan pemberian larutan gula (B)

Metode Uji Ovisida. Uji ini menggunakan telur hasil rearing A. aegypti dan A. albopictus, masing-masing dibutuhkan 900 butir telur untuk 2 konsentrasi, 1 kontrol

minyak sawit dan 1 kontrol aquades sebanyak 3 ulangan per tanaman. Telur yang dipilih sebanyak 50 butir untuk tiap konsentrasi dimasukkan dalam gelas plastik yang kemudian ditetesi dengan minyak biji kamandrah, jarak pagar dan minyak sawit dengan konsentrasi yang sama pada uji anti-oviposisi. Telur yang ditetesi minyak dibiarkan selama ± 6 jam kemudian dicampur dengan aquades sehingga volume keseluruhan menjadi 150 ml. Pengamatan dilakukan sampai semua telur menjadi larva,

(42)

3.5 Metode Identifikasi Senyawa Aktif

Identifikasi senyawa kimia pada kamandrah dan jarak pagar dengan menggunakan alat GC-MS pada penelitian Pradono et al. (2007) ditemukan senyawa

selain komponen utama yaitu piperine yang digunakan sebagai insektisida. Piperine yang telah ditemukan akan diuji lanjut dengan cara analisis standart piperine (pure piperine) menggunakan alat Spektrophotometer merk Hitachi 200-20 (double bim).

Analisis kuantitatif senyawa piperin ini dilakukan di Laboratorium Balittro, Bogor. Biji kamandrah dan jarak pagar sebanyak ± 80 gram dipress dan diambil minyaknya.

Sampel yang telah siap dikocok terlebih dahulu kemudian ditimbang. Penimbangan sampel minyak kedua tanaman adalah sebesar 0,9175 gram dan 0,5199 gram. Sampel 0,9175 gram dilarutkan ke dalam 25 ml ethylene dichloride (C2H4Cl2), sedangkan sampel 0,5199 gram dilarutkan dalam 5 ml ethylene dichloride. Konsentrasi

sampel uji diambil dengan menggunakan pipet yaitu 0,5 ml dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml.

Standar piperin untuk perbandingan menggunakan tiga tahap konsentrasi yaitu 0,8 ppm , 2 ppm dan 4 ppm. Serapan cahaya sampel uji diukur pada panjang gelombang 345 nm menggunakan sinar UV terhadap dua tahap konsentrasi serta blanko (ethylene dichloride). Pembacaan hasil pada spektrophotometer dihitung

kembali berdasarkan rumus :

% 100 106 x x sampel gram sampel xppm n pengencera piperine kadar = 3.6 Analisis Data

Analisis data kematian larva, anti-oviposisi dan ovisida nyamuk A. aegypti dan A. albopictus antar perlakuan diuji secara inferensial dengan menggunakan uji Analysis of variance (ANOVA) one way Multiple Comparison Z-Value. Uji lanjut setelah

ANOVA menggunakan uji Least Significant Difference (LSD) untuk mengetahui

kelompok perlakuan yang paling berbeda. Uji statistik ini menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS 10.0 dan minitab 14. Penentuan konsentrasi efektif LC50, LC90, LC95 minyak biji serta data mortalitas larva yang ditransformasikan ke nilai probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987).

(43)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik dan Pengepresan Biji Kamandrah

Buah kamandrah (C. tiglium) berbentuk bulat dengan diameter sekitar 0,5 cm dan

berwarna hijau dengan biji bulat telur berwarna coklat kehitam-hitaman (Saputera 2008). Pengepresan dilakukan pada biji kamandrah dengan tujuan untuk mendapatkan minyak, karena kadar minyak dalam kamandrah cukup tinggi. Minyak kamandrah dipres di Balittro Bogor dengan menggunakan pompa hidrolik. Berdasarkan hasil pengepresan tersebut diperoleh rendemen minyak 20,21% dengan berat sampel biji sebanyak 95,5 gram (Gambar 12).

Hasil pengepresan biji kamandrah dipengaruhi oleh tingkat kematangan biji. Biji kamandrah yang tua dapat menghasilkan minyak sebesar 23%, sedangkan perolehan minyak biji yang masih muda berkisar antara 5-7% (Pradono et al. 2007).

Minyak kamandrah hasil pengepresan pada penelitian ini berwarna kuning kehitaman. Minyak kamandrah ini apabila terkena kulit dapat menyebabkan iritasi berupa rasa panas seperti terbakar. Efek secara langsung dapat dirasakan apabila terkena kulit muka terutama bagian sekitar hidung dan mata, oleh sebab itu penanganan minyak ini harus lebih hati-hati.

A B

(44)

4.2 Karakteristik dan Pengepresan Biji Jarak Pagar

Buah jarak pagar (J. curcas) berbentuk lonjong dengan ukuran 2,5 - 3,5 cm,

panjang dan diameter sekitar 2 - 2,5 cm (Gambar 13A). Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Riyadhi (2008) yaitu berukuran 3-3,5 cm, panjang dan diameter sekitar 2,5 cm. Buah jarak pagar yang dapat dimanfaatkan bijinya sebagai sumber minyak adalah buah jarak pagar yang sudah tua, dengan ciri-ciri batas antara ruang biji sudah nampak jelas bergaris dan berwarna lebih gelap. Biji jarak pagar yang sudah tua berwarna hitam dan berbentuk lonjong. Panjang biji berkisar antara 1,5 - 2,0 cm sedangkan diameternya berkisar 1 – 1,5 cm.

Minyak jarak pagar (Gambar 13B) diperoleh dengan menggunakan alat pompa hidolik (Hydraulic Pressing). Pengepresan dilakukan pada biji jarak pagar untuk

mendapatkan minyak. Berdasarkan hasil pengepresan yang dilakukan di Balittro diperoleh hasil rendemen dengan rata-rata sebesar 25,45 % dari biji yang tua berwarna hitam. Hasil pengepresan dalam penelitian ini masih kurang bila dibandingkan dengan pernyataan Hariyadi (2005), bahwa biji yang tua dan berwarna kehitaman banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30 - 40 %.

Menurut Zulkifli (2005) kadar minyak dalam biji jarak pagar adalah 46,25%. Tingkat kemasakan buah jarak pagar yang berwarna hijau memberikan kadar minyak terendah yaitu 10,93%, sedangkan buah jarak pagar berwarna hijau kekuningan sampai kuning memberikan kadar minyak tertinggi yaitu 26,98% - 29,38% (Wanita & Hartono 2007).

A B

Gambar 13 Profil Daun, Buah Jarak Pagar (A) dan Profil Minyak Jarak Pagar Hasil Pengepresan (B)

Gambar

Gambar 1 Profil Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968 - 2007    (Sumber : Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&amp;PL
Gambar 2 Profil Kasus Chikungunya di Indonesia tahun 2001 - 2007    (Sumber : Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&amp;PL
Gambar 4  A. aegypti (A) dan A. albopictus (B) Saat Menghisap Darah  (Sumber : www.mosquitomagnetdepot.com)
Gambar 5  Profil Tanaman Kamandrah (Croton tiglium)  (Sumber : Pradono et al. 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

SINTESIS SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT MINYAK JARAK DARI BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas

Jadi konsentrasi Minyak Atsiri Bunga Kenanga (Cannagium oddoratum) yang efektif dalam membunuh larva Aedes aegypti adalah konsentrasi 0,75% karena merupakan

(2007) bahwa bagian tanaman kamandrah yaitu daun, batang, dan biji dalam bentuk serbuk yang diekstrak dengan air dan etanol, serta minyak yang diekstrak dengan

Walaupun ekstrak biji kamandrah ini berpotensi tinggi dan efektif sebagai larvasida hayati aedes aegypti karena hanya memerlukan konsentrasi yang sangat rendah, tetapi

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas anti nyamuk pada minyak atsiri daun kenikir ( Cosmos caudatus ) dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti dengan

Untuk itu ingin diteliti kualitas dan karakteristik fisika kimia minyak nabati yaitu minyak jarak pagar (Crude Jatropha Oil), minyak kelapa sawit (Crude Palm

Keunggulan trimiristin biji pala dibanding dengan trimiristin dari minyak kelapa, minyak inti sawit dan minyak babassu adalah (1) lemak pala tidak diperlukan proses fraksinasi,

Biodiesel dihasilkan dengan mereaksikan minyak tanaman (kelapa sawit, jarak pagar, minyak jelantah) dengan alkohol menggunakan katalis pada suhu dan konsentrasi