Akreditasi RISTEKDIKTI
Nomor: 2/E/KPT/2015 Tanggal 1 Desember 2015, Terakreditasi A Website: http://www.jurnalrespirologi.org ISSN 0853-7704 Vol.39 No. 2 April 2019 e-ISSN 2620-3162 C M Y CM MY CY CMY K p-ISSN 0853-7704 VOL. 39, No. 4, Oktober 2019
Polifitofarmaka Meningkatkan Nilai Asthma Control Test dan Ekspresi Relatif miR-126 Serum serta Menurunkan Kadar Eosinofil Darah Pada Pasien Asma
Hubungan Polimorfisme Gen Interleukin-10 1082G/A dengan Lama Awitan Nefrotoksisitas Akibat Obat Anti-tuberkulosis pada Pasien Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB)
Studi Longitudinal Faktor Prediksi Indeks BODE pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta
Dasar-dasar Pembacaan Foto Toraks sesuai Klasifikasi International Labour Organization (ILO) untuk Pneumokoniosis
Perbedaan Karakteristik Demografi dan Klinis Infeksi Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis dari Bronchoalveolar Lavage Subjek Tuberkulosis Paru
Proporsi Tuberkulosis Laten Pada Pasien Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta
Proporsi dan Gambaran Radiologi Pneumokoniosis Pada Pekerja Yang Terpajan Debu di Tempat Kerja
Perbaikan Kontrol Kecemasan, Batuk, Sesak Napas dan Nyeri Pada Penatalaksanaan Bronkoskopi dengan Menambahkan Alprazolam
SUSUNAN REDAKSI Penasehat
M. Arifin Nawas Faisal Yunus
Penanggung Jawab / Pemimpin Redaksi Feni Fitriani
Wakil Pemimpin Redaksi Winariani
Sekretariat
Yolanda Handayani Suwondo
SST : Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No.715/SK/DitjenPPG/SST/1980 Tanggal 9 Mei 1980 Alamat Redaksi
PDPI Jl. Cipinang Bunder, No. 19, Cipinang Pulo Gadung Jakarta Timur 13240 Telp: 02122474845
Email : editor@jurnalrespirologi.org Website : http://www.jurnalrespirologi.org Diterbitkan Oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Terbit setiap 3 bulan (Januari, April, Juli & Oktober) Jurnal Respirologi Indonesia
Akreditasi A
Sesuai SK Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor: 2/E/KPT/2015 Tanggal 1 Desember 2015
Masa berlaku 15 Desember 2015 - 15 Desember 2020
Majalah Resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Official Journal of The Indonesian Society of Respirology
RESPIROLOGI
INDONESIA
Anggota Redaksi
Amira Permatasari Tarigan Jamal Zaini
Farih Raharjo Mia Elhidsi
Ginanjar Arum Desianti Irandi Putra Pratomo Fanny Fachrucha
Jurnal Respirologi Indonesia adalah publikasi triwulan yang menerbitkan karya asli yang relevan dengan bidang kesehatan pernapasan.
Petunjuk pengiriman makalah
1. Makalah yang dikirim hendaklah makalah yang belum pernah diterbitkan dalam jurnal lain. Makalah yang pernah dipresentasikan secara lisan, dapat dikirimkan dengan memberikan catatan kaki pada halaman pertama mengenai waktu dan tempat makalah tersebut dipresentasikan.
2. Jurnal Respirologi Indonesia menerbitkan hasil penelitian, laporan kasus, tinjauan pustaka, per- kembangan ilmu pengetahuan dan tulisan ilmiah lainnya.
3. Semua makalah yang dikirimkan pada redaksi, akan diseleksi dan disunting (edit) oleh tim redaksi. Apabila makalah memerlukan perbaikan isi, maka akan dikembalikan kepada penulis untuk diperbaiki. 4. Semua makalah, gambar/foto yang masuk ke redak si akan menjadi hak milik redaksi dan tidak akan dikembalikan kepada penulis. Makalah yang dikirimkan harus disertai surat pengantar, dengan nama penulis dan gelar akademik tertinggi, ins tansi tempat penulis bekerja, nama dan alamat kores -pondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat email. Surat pengantar ditandatangani penulis.
5. Makalah asli dikirimkan serta 1 buah fotokopi
selu-ruh makalah termasuk gambar/foto dan Com pact
Disc (CD). Tulis nama program yang digunakan
dan nama file pada label Compact Disc (CD).
Penulisan makalah
1. Makalah termasuk tabel, gambar dan daftar pustaka diketik 1,5 spasi pada kertas kwarto (ukuran 21,5x28 cm), dengan jarak tepi kiri dan kanan masing-masing 2,5 cm. Halaman pertama diawali dengan judul, kemudian nama penulis dan lembaga/ instansi kerja penulis, dilanjutkan dengan isi makalah. Setiap halaman diberi
2. Judul singkat dan jelas dengan jumlah maksimal 20 kata.
3. Abstrak untuk artikel penelitian dan laporan kasus dibuat singkat dan jelas sehingga pembaca dapat memahami hal yang akan disampaikan tanpa harus membaca seluruh makalah. Abstrak dituliskan dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimal 250 kata dan dalam bentuk paragraf. Setiap paragraf mengandung makna, pesan atau satu kesatuan ekspresi pikiran, dibangun atas sejumlah kalimat. Untuk artikel penelitian, abstrak harus mengandung tujuan penelitian, metode, hasil dan kesimpulan. Abstrak disusun dengan urutan Background / Latar belakang, Methods / Metode, Results / Hasil dan Conclusion / Kesimpulan. 4. Kata kunci berupa kata-kata yang dapat membantu
untuk indeks, umumnya 3-5 kata yang bersifat spesifik. Kata kunci dituliskan di bawah abstrak. 5. Makalah ditulis sesuai subjudul yang dibuat. Artikel
penelitian disusun dengan urutan pendahuluan, metode, hasil, pembahasan, kesimpulan dan daftar pustaka. Untuk tinjauan pustaka, secara garis besar disusun sesuai urutan pendahuluan, isi, penutup / kesimpulan dan daftar pustaka; dengan kerangka isi disesuaikan bergantung apa yang akan diutarakan. Untuk laporan kasus, susunannya berupa pendahuluan, latar belakang, kasus, diskusi, kesimpulan dan daftar pustaka. 6. Penulisan makalah hendaknya menggunakan
bahasa Indonesia yang benar mengikuti Pedo-man Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disem-purnakan. Sedapat mungkin pakailah istilah Indo-nesia menurut Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Singkatan yang digunakan dalam makalah adalah singkatan yang sudah baku.
7. Tabel diberi nomor yang sesuai urutan dan diberi judul yang singkat. Penjelasan tabel dan singkatan yang tidak lazim yang ada dalam tabel dituliskan pada catatan kaki. Apabila tabel berupa kutipan dari tabel tulisan lain yang telah dipublikasikan, maka harus dituliskan dikutip dari (nama penulis dan daftar pustaka/nomor
yang bersangkutan. Jumlah tabel dan gambar yang dilampirkan maksimal 6 buah.
8. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional, difoto dengan cetakan yang tajam dan jelas di atas kertas kilap, hitam putih/berwarna. Apabila gambar berupa gambar/grafik/ilustrasi yang pernah dipub-likasi, maka harus dituliskan dikutip dari (nama penulis dan daftar pustaka/ nomor daftar pustaka), disertai ijin tertulis dari penerbit yang bersangkutan. Setiap gambar diberi keterangan di belakangnya, mengenai nomor gambar sesuai tercantum di makalah, nama/judul gambar, nama penulis. Jumlah tabel dan gambar yang dilampirkan mak-simal 6 buah.
9. Rujukan sebaiknya tidak melebihi 40 buah. Rujukan sebaiknya berasal dari terbitan dalam waktu 10 tahun terakhir. Rujukan dari Jurnal Respirologi Indonesia (JRI) sebaiknya diikutsertakan sesuai topik yang ditulis.
10. Rujukan ditulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor urut sesuai urutan pemunculan dalam makalah. Penulisan nomor rujukan dalam makalah dituliskan rinci sesuai rujukan dalam makalah dituliskan rinci sesuai rujukan dalam makalah
dituliskan sebagai superscript, setelah tanda
baca (titik, koma, dsb). Cantumkan semua nama penulis, kecuali bila lebih dari 6 orang, maka dituliskan sebagai berikut, 6 penulis pertama diikuti oleh dkk (et al). Hindari penggunaan rujukan yang
berupa abstrak atau komunikasi pribadi. Apabila
menggunakan rujukan yang sedang dalam proses publikasi tetapi belum terbit, maka dapat digunakan perkataan “dalam proses terbit” (in press). Pada prinsipnya cara penulisan daftar pustaka adalah sesuai Vancouver yang dapat diunduh dari http:// www.scriptiesaver.nl/Vancouver%20stijl.pdf Contoh cara menuliskan rujukan
Buku
Winn WC, Allen SD, Janda WM, Koneman EW,
Procop GW, Schreckenberger PC, et al. Koneman’s
5th eds. Philadelphia: A Wolters Kluwer Company; 2006. p.1065-92.
Buku dengan editor
Hopewell PC. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In: Murray JF, Mason RJ, Broaddus VC, Nadel JA, editors. Textbook of respiratory medicine. 4 th edition. New York: WB Saunders Company; 2005.p.979-1043.
Jurnal
Edginton ME, Rakgokong L, Verver S, Madhi SA, Koornhof HJ, Wong ML, et al. Tuberculosis culture testing at a tertiary care hospital: options for improved management and use for treatment decisions. Int J Tuberc Lung Dis. 2008;12:786-91.
Tesis
Rassuna V. Pengamatan hasil akhir pengobatan tuberkulosis paru BTA negatif kasus baru di RS Persahabatan. Tesis Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Jakarta; 2008. Organisasi sebagai sumber
World Health Organization. Global Tuberculosis Control 2009: epidemiology strategy financing. Geneva: WHO Press; 2009. p.11-32.
Perhimpunan Dokter Paru Indo nesia. Tuberkulosis Pedoman diagnosis dan penata laksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika; 2006.p.1-8.
Materi Elektronik
The Highland Council. The Learning Environment. [Online].2010 [Cited 2011 November 28]. Available from:http://www.highlandschoolsvirtualib.org uk/ ltt/ inclusive_enjoyable/environment.htm
Sack K. With Medicaid cuts, doctors and patients drop out. The New York Times [Online]. 2010 Mar 16 [cited 2010 Mar 16]; Health:A1. Available from: http://www. nytimes.com/2010/03/16/health policy/16m edicaid. html?ref=health
“JURNAL RESPIROLOGI INDONESIA” is a three monthly journal publication that publishes original articles relevant to respiratory health.
Paper submission
1. The submitted paper must never be published in other journal. Paper that has been presented orally, could be submitted by putting foot-notes on the first-page regarding time and place it was presented.
2. Jurnal Respirologi Indonesia publishes research reports, case reports, literature reviews, information on science development and other scientific papers. 3. All papers submitted to the editors will beselected and edited by the editors. If revision of the contents is needed, the paper will be returned to the authors.
4. All papers, picture/photos submitted to the editors will belong to the editors and will not be returned to the authors. The submitted paper should be accompanied by a cover letter, stalling names of authors and the highest academic degree obtained, institutions of the authors, name and address for correspondence, phone and facsimile number and e-mail address. The cover letter should be signed by the author. 5. Original paper and one copy of all paper
including pictures/photos and Compact Disc
(CD) should be submitted. Write name of the computer programs used and names of the files on the Compact Disc (CD) label.
Paper preparation
1. Paper including tables, pictures and references should be typed with 1.5 space on Q4 paper (21.5 x 28 cm) with distances from the left and right ends of 2.5 cm. The first page should be started with a title, followed by list of authors and
the first page up to the last page.
2. The title should be brief and clear, with no more than 20 words.
3. Abstract of research article and case report should be made short and clear, but it should precise with enough information for the reader to understand the main points in the paper without having to read the whole article. Abstract should be written in Indonesian and English with no more than 250 words, and it is written in paragraph form. Each paragraph contains meaning, message or unified expression, built on sentences. For research articles, the abstract should include objective, methods, main findings and main conclusions. Abstract should be written follow by Background, Methods, Results and Conclusion.
4. Keyword that will assist indexer in cross-indexing the articles, generally consists of 3-5 specific words. Keywords are written on the same page below the abstract.
5. Paper should be organized under suitable headings. Research article should follow Introduction, Methods, Results, Discussion and followed by acknowledgement and references. The literature review, in general, should be organized as introduction, text, closing and references; with content of the text should be relevant to the topic. Case report should be organized as follows: introduction, background, the case, discussion, conclusion and references. 6. Paper should be written using the correct
Bahasa based on general guidlines spelling of enhanced Bahasa. Used the term of Bahasa as much as possible according to the general guidlines for the established of the term. The abbreviations used in the paper is an acronym which is standard
7. Tables should be numbered consecutively
be written as footnotes. If table is copied from other published paper; it should be explained as “copied from” (names of authors and number in the references), and had written permission from the publisher. The number of table and picture should not exceed 6 pieces.
8. Graphics should be made professionally, photo-graphed with sharp and clear printing on the glossy paper, black and white. If the pictures/ graph/illus-tration have been previously published, it should be written “copied from” (names of authors and references/ number in the list of references), accom panied with written permission from the publisher. Graphics should be explained in the back regarding number of the pictures in accordance with the text, name/title of the picture, names of authors. The number of table and picture should not exceed 6 pieces.
9. References.
The number of references should not exceed 40. References should be taken from publications within the last 10 years. Refe rences of the Journal Respirology Indonesia should be included on-topic written.
10. References should follow the Van couver style, numbered consecutively in the order of their appearance in the text. References numbers in the text are written in details as references, written as superscript, after punctuation marks (period, comma, etc.). In references, list all names of authors, except if more than six persons, write as follows: name of the first six, followed by et al. Avoid using references as abstract or personal communication. If using references that is still in the process of publication, add “in press”. Principally, references should be followed the International Committee of Medical Journal Editors, that is Vancouver style, that was revised in 1997, and could be written in British medical Journal vol. 314, 5th January 1997.
Book
Winn WC, Allen SD, Janda WM, Koneman EW, Procop
GW, Schreckenberger PC, et al. Koneman’s color atlas
and textbook of diagnostic microbiology. 5th eds. Phila-delphia: A Wolters Kluwer Company; 2006. p.1065-92. Book with editor
Hopewell PC. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In: Murray JF, Mason RJ, Broaddus VC, Nadel JA, editors. Textbook of respiratory medicine. 4 th edition. New York: WB Saunders Company; 2005.p.979-1043. Journal
Edginton ME, Rakgokong L, Verver S, Madhi SA, Koornhof HJ, Wong ML, et al. Tuberculosis culture testing at a tertiary care hospital: options for improved management and use for treatment decisions. Int J Tuberc Lung Dis. 2008;12:786-91.
Thesis
Rassuna V. Pengamatan hasil akhir pengobatan tuberkulosis paru BTA negatif kasus baru di RS Persahabatan. Thesis Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Jakarta; 2008. Organization resources
World Health Organization. Global Tuberculosis Control 2009 : epidemiology strategy financing. Geneva : WHO Press; 2009.p.11-32.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika; 2006.p.1-8. Electronic resources
The Highland Council. The Learning Environment. [Online].2010 [Cited 2011 November 28]. Available from:http://www.highlandschoolsvirtualib.org.uk/ltt/ inclusive_enjoyable/environment.htm.
Sack K. With Medicaid cuts, doctors and patients drop out. The New York Times [Online]. 2010 Mar 16 [cited 2010 Mar 16]; Health:A1. Available from: http://www. nytimes.com/2010/03/16/health/policy/16medicaid. html?ref=health.
Saya/kami yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
Institusi Alamat No Telp /HP
Dengan ini memberikan persetujuan sepenuhnya kepada Jurnal Respirologi Indonesia untuk mempublikasikan artikel saya/kami beserta perangkat yang ada didalamnya (jika diperlukan) yang berjudul ...
... ... ...
Sehubungan dengan hal tersebut dengan ini saya/kami memberikan pernyataan :
1. Saya/kami menyatakan bahwa artikel ini saya/kami susun tanpa tindakan plagiarisme dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya/kami nyatakan dengan benar.
2. Saya/kami menyatakan bahwa materi dalam artikel ini belum pernah dipublikasikan sebelumnya dan tidak dalam proses pemuatan di jurnal ilmiah lainnya.
3. Saya/kami memiliki hak atas artikel tersebut dan belum pernah memberikan hak cipta artikel tersebut kepada siapapun
4. Saya/kami memberikan ijin kepada Jurnal Respirologi Indonesia untuk semua hak reproduksi, distribusi, penggunaan ulang dan penyantuman sebagian atau seluruh artikel, dalam bentuk media apapun saat ini ataupun di masa yang akan datang, termasuk semua media elektronik dan digital, dalam perlindungan hukum yang berlaku di Republik Indonesia dan negara asing. Kuasa ini akan menjadi milik Jurnal Respirologi Indonesia terhitung sejak tanggal penerimaan artikel untuk publikasi.
5. Saya/kami menandatangani dan menerima tanggung jawab untuk memberikan hak cipta artikel ini ke Jurnal Respirologi Indonesia. ..., ... (Penulis) : ... : ... : ... : ...
DAFTAR ISI
Artikel PenelitianRESPIROLOGI
INDONESIA
Majalah Resmi Perhimpunan Dokter Paru IndonesiaOfficial Journal of The Indonesian Society of Respirology
VOLUME 39, NOMOR 4, Oktober 2019
Harsini, Reviono, Umarudin
Hubungan Polimorfisme Gen Interleukin-10 1082G/A dengan Lama Awitan Nefrotoksisitas Akibat Obat Anti-tuberkulosis pada Pasien Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) 215 Studi Longitudinal Faktor Prediksi Indeks BODE pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di
Rumah Sakit Persahabatan Jakarta 220
Isep Supriyana, Faisal Yunus, Budhi Antariksa, Aria Kekalih
Polifitofarmaka Meningkatkan Nilai Asthma Control Test dan Ekspresi Relatif miR-126 Serum serta
Menurunkan Kadar Eosinofil Darah Pada Pasien Asma 231
I Dewa Putu Ardana, Susanthy Djajalaksana, Iin Noor Chozin, Alidha Nur Rakhmani
Perbedaan Karakteristik Demografi dan Klinis Infeksi Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis dari Bronchoalveolar Lavage Subjek Tuberkulosis Paru, Indonesia 238
Budi Yanti, Soetjipto, Ni Made Mertaniasih, Muhammad Amin
Tinjauan Pustaka
Proporsi Tuberkulosis Laten Pada Pasien Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Jakarta 256
Erlina Burhan, Ririen Razika Ramdhani, Jamal Zaini
Dasar-dasar Pembacaan Foto Toraks sesuai Klasifikasi International Labour Organization (ILO) untuk Pneumokoniosis 272
Agus Dwi Susanto
Proporsi dan Gambaran Radiologi Pneumokoniosis Pada Pekerja Yang Terpajan Debu di
Tempat Kerja 266
Mukhtar Ikhsan
Perbaikan Kontrol Kecemasan, Batuk, Sesak Napas dan Nyeri Pada Penatalaksanaan Bronkoskopi dengan
Menambahkan Alprazolam 245
Awitan Nefrotoksisitas Akibat Obat Anti-tuberkulosis pada Pasien
Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB)
Harsini, Reviono, Umarudin
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Negersi Sebelas Maret, RSUD Dr. Moewardi, Surakarta
Abstrak
Latar belakang: Permasalahan penanggulangan tuberkulosis (TB) semakin kompleks dengan keberadaan resistensi kuman MTb terhadap
OAT yang disebut MDR-TB. Polimorfisme gen IL-10 1082G/A berhubungan dengan sekresi interleukin 10 (IL-10) sebagai sitokin anti-inflamasi yang turut berperan dalam patogenesis infeksi MDR-TB. Tatalaksana MDR-TB menggunakan obat anti-TB (OAT) aminoglikosida dapat menimbulkan efek nefrotoksik. Peran protektif IL-10 dari genotip IL-10 1082G/A terhadap nefrotoksisitas akibat OAT kanamisin masih menjadi kendala.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif pada pasien MDR-TB yang berobat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Moewardi Surakarta dari tahun 2011-2015.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 89 pasien MDR-TB dengan polimorfisme genotip IL-10 1082G/A. Proporsi polimorfisme genotip IL-10
1082G/A genotip AA sebanyak 13,48%, GG sebanyak 4,49% dan GA sebanyak 82,02%. Pengujian statistik menyatakan bahwa pada genotip GG lebih cepat terjadi nefrotoksisitas bila dibandingkan dengan genotip GA dan AA.
Kesimpulan: Polimorfisme gen IL-10 1082G/A tidak berhubungan dengan lama awitan terjadinya nefrotoksisitas pada subjek MDR-TB yang
diberikan kanamisin di RSUD. Dr. Moewardi (J Respir Indo. 2019; 39(4): 215-9) Kata kunci: MDR-TB, polimorfisme genotip IL-10-1082G/A, nefrotoksisitas
The Correlation Between Interleukin-10 1082G/A Gene
Polimorphism with Nephrotoxicity Onset Secondary to
Antituberculosis Treatment in Multidrug Resistant Tuberculosis
(MDR-TB) Patients
Abstract
Backgrounds: Tuberculosis controlling programme has become more complex with MDR-TB problem. Interleukin 10 (IL-10) 1082G/A gene
polimorphism correlates with IL-10 secretion as anti-inflammatory cytokine which plays important role in pathogenesis of MDR-TB infection. The management of MDR-TB which used aminoglycosides could cause nephrotoxic effect to the patients. The protective role of IL-10 from IL-10 1082 G/A genotype to nephrotoxicity due to kanamycin still becomes a prolem nowadays.
Methods: This study was a retorspective cohort study of MDR-TB patients who underwent treatmentin Dr. Moewardi Hospital in 2011-2015.
Results: Subjects of the study were 89 MDR-TB patients with IL-10 1082 G/A genotype polimorphism. The proportions of IL-10 1082 G/A
genotype were AA genotype of 13.48%, GG of 4.49%, and GA of 82.2%. Statistic test showed that the onset of nephrotoxicity in GG genotype was faster than GA and AA genotype
Conclusions: Interleukin 10 1082 G/A gene polymorphism had no significant correlation with nephrotoxicity onset in MDR-TB patients
treated with kanamycin in Dr. Moewardi hospital. (J Respir Indo. 2019; 39(4): 215-9) Keywords: MDR-TB, IL-10 1082 G/A genotype polimorphism, nephrotoxicity
Korespondensi: Harsini
PENDAHULUAN
Tuberkulosis multidrug resistant (MDR-TB)
yang didefinisikan sebagai infeksi yang disebabkan
oleh strain Mycobacterium tuberculosis (MTb) yang
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin masih
menjadi masalah pemberantasan tuberkulosis
(TB).1,2 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan bahwa kasus baru MDR-TB di dunia diperkirakan mencapai angka 480.000 pada tahun 2015. Insiden MDR-TB di Indonesia sebesar 32.000 kasus pada tahun 2015 yang menduduki peringkat
keempat setelah India, Cina, dan Rusia.3
Pengobatan MDR-TB menggunakan
setidaknya empat obatantituberkulosis (OAT) dengan isolat MTb yang masih sensitif termasuk OAT injeksi lini kedua. Semua obat suntik lini kedua bersifat bakterisidal dan berpotensi menimbulkan efek samping. Obat injeksi lini kedua yang digunakan dalam rejimen terapi adalah kanamisin, capreomisin, dan amikasin yang dikenal sebagai aminoglikosida (AG). Kanamisin adalah obat suntik lini kedua yang
digunakan dalam regimen standar di Indonesia.1
Tinjauan pustaka oleh Caminero memiliki hipotesis bahwa capreomisin adalah pilihan pertama obat
injeksi lini kedua dalam terapi MDR-TB.4
Aminoglikosida adalah penyebab acute kidney
injury (AKI) nefrotoksik yang paling sering digunakan
mengobati infeksi MDR-TB dan endokarditis.5
Aminoglikosida terakumulasi pada sel tubulus proksimal yang mengganggu metabolisme fosfolipid, menyebabkan kematian sel epitel tubular dan
nekrosis tubular akut.6 Acute kidney injury akibat AG
mengakibatkan mortalitas tinggi pada rumah sakit dengan perawatan lama dan berkembang menjadi chronic kidney disease (CKD).7,8,9
Vasokonstriksi ginjal dan kontraksi mesangial yang disebabkan oleh AG berkontribusi terhadap
gangguan fungsi ginjal.5 Frekuensi nefrotoksisitas
dengan obat aminoglikosida bervariasi dari 0 sampai 50%.10,11 Pada pasien lanjut usia dengan penyakit
multisistemik dapat mengakibatkan frekuensi
nefrotoksisitas sebesar 50% sedangkan pasien yang
dirawat di ICU sebesar 76%.5
Interleukin-10 (IL-10) berperan penting dalam fisiologi ginjal normal, selama cedera ginjal akut dan dalam perkembangan menjadi ginjal kronik. Sel mesangial adalah sumber utama IL-10 pada ginjal
orang dewasa normal.12 Interleukin-10 bekerja pada
transforming growth factor-β (TGF-β) dan Cystatin C
(Cyst C). Transforming growth factor-β dan Cyst C
secara terpisah mempengaruhi sintesis dan aktivasi
IL-10. Transforming growth factor-β menginduksi
ekspresi Cyst C. Cystatin C bertindak sebagai
antagonis TGF-β yang mencegah pengikatan TGF-β
ke reseptornya dan dengan demikian menghambat
aktivitasnya. Cystatin C berperan penting dalam
respons fase cedera ginjal akut yang cepat dan
agresif, sedangkan TGF-β mendorong proses yang
lebih lambat menyebabkan ginjal kronik dan penyakit
ginjal stage akhir. Peran utama antara IL-10 dan
TGF-β, IL-10 dan Cyst C, Cyst C dan TGF-β adalah untuk menginstruksikan dan mengatur tingkat respons ginjal terhadap cedera primer. Respons ini antara lain mengontrol proliferasi sel mesangial, akumulasi matriks ekstraselular, masuknya sel mononuklear,
glomerulosklerosis dan fibrosis tubular.12
Gen IL-10 terletak pada kromosom 1 q31-q32. Penelitian menunjukkan bahwa alel G polimorfisme IL-10 rs 1800896 dikenal sebagai (1082 G/A) berhubungan dengan peningkatan produksi IL-10,
sedangkan alel A berhubungan dengan
berkurangnya produksi IL-10 yang disebut genotip
rendah.13
METODE
Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain kohort retrospektif yang dilakukan pada bulan Maret 2018 terhadap pasien MDR-TB yang berobat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2011-2015. Pengambilan sampel
dilakukan dengan cara purposive sampling. Kriteria
inklusi penelitian ini adalah pasien MDR-TB yang berusia >18 tahun. Pasien MDR-TB dengan data yang tidak lengkap serta ada riwayat nefrotoksisitas akut maupun kronik tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Data diambil dari rekam medis yaitu
jenis kelamin, usia, indek smassa tubuh (IMT), awitan nefrotoksisitas, kadar kreatinin, yang digabungkan bersama data hasil pemeriksaan polimorfisme gen IL-10 1082G/A. Hubungan antara polimorfisme gen IL-10 1082 dengan terjadinya nefrotoksisitas secara bivariat dianalisis dengan uji chi square. Semua perhitungan dilakukan dengan
program komputer SPSS 21.0. Pengujian data
dinyatakan bermakna apabila menghasilkan P<0,05.
HASIL
Observasi data catatan medis dari 89 pasien MDR-TB diperoleh data demografi nilai rerata umur pada kelompok yang tidak terjadi nefrotoksisitas sebesar 40,14 tahun (standar deviasi 10,71 tahun) dan yang terjadi nefrotoksisitas sebesar 40,44 tahun (standar deviasi 13,94 tahun). Jenis kelamin
perempuan yang tidak terjadi nefrotoksisitas
sebanyak 29 orang (69%) dan yang terjadi nefrotoksisitas sebanyak 13 orang (31,0%). Jenis
kelamin laki-laki yang tidak mengalami
nefrotoksisitas sebanyak 35 orang (74,5%) dan yang mengalami nefrotoksisitas sebanyak 12 orang (25,5%).
Tabel 1. Data Karakteristik Demografi
Variabel Nefrotoksisitas P Tidak Ya Umur 40,14±10,71 40,44±13,94 0,914 Jenis Kelamin Perempuan 29(69,0%) 13(31,0%) 0,570 Laki-laki 35(74,5%) 12 (25,5%) Berat Badan 44,40±8,30 44,96±11,57 0,799 Tinggi Badan 162,27±6,83 161,24±6,62 0,522 IMT (kg/m²) 16,79±10,71 17,15±3,71 0,600 Ket: IMT=indeks massa tubuh
Pasien MDR-TB mempunyai berat badan rerata 44,40 kg (standar deviasi 8,30 kg) pada kelompok yang tidak terjadi nefrotoksisitas dan yang terjadi nefrotoksisitas 44,96 kg (standar deviasi 8,30 kg). Rerata IMT subjek MDR-TB yang tidak terjadi
nefrotoksisitas sebesar 16,79 kg/m2 (standar deviasi
10,71 kg/m2) dan IMT pada kelompok yang terjadi
nefrotoksisitas sebesar 17,15 kg/m2 (standar deviasi
3,71 kg/m2). Hal ini mengindikasikan bahwa rerata
subjek memiliki status gizi kurang baik pada kelompok yang terjadi nefrotoksisitas maupun kelompok yang tidak.
Uji statistik memperoleh nilai P untuk seluruh
variabel demografi adalah >0,05 sehingga secara demografi sampel bersifat homogen atau setara.
Karakteristik demografi subjek penelitian
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Awitan nefrotoksisitas dikelompokkan menjadi 2 yaitu awitan <2 bulan dan >2 bulan. Nilai 2 bulan diambil dari saat pemeriksaan berkala pada MDR-TB yaitu tiap bulan. Polimorfisme gen IL-10 1082G/A pada kelompok GG dengan awitan <2 bulan diperoleh 1 orang (25%) dan >2 bulan sebanyak 3 orang (75%). Polimorfisme gen IL-10 1082G/A pada kelompok GA dengan awitan <2 bulan didapatkan sebanyak 58 orang (79,5%), lebih besar dari awitan >2 bulan yaitu 15 orang (20,5%) sedangkan pada kelompok AA didapatkan yang awitan <2 bulan sebanyak 9 orang (75%) dan >2 bulan sebanyak 3 orang (25%).
Uji statistik memperoleh hasil genotip GG dan GA cenderung menjadi faktor risiko karena nilai
RR>1, akan tetapi hasil uji chi square menunjukkan
nilai P>0,05, yang berarti bahwa genotip GG dan GA
bukan faktor risiko dari awitan <2 bulan, atau dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara polimorfisme gen IL-10 1082G/A dengan awitan nefrotoksisitas pada pasien MDR-TB di RS Dr. Moewardi. Hubungan polimorfisme gen IL-10 1082G/A dengan awitan nefrotoksisitas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hubungan antara Polimorfisme Gen IL-10 1082G/A dengan Awitan Nefrotoksisitaspada Pasien MDR-TB
L-10-1082G/A Awitan RR P <2 bulan >2bulan GG 1 (25,0%) 3 (75,0%) 3,542 (0,549-22,852) 0,193 GA 6 (8,2%) 67 (91,8%) 1,315 (0,170-10,182) 0,791 AA 0 (0,0%) 12 (100,0%) Reference
Secara statistik dapat dilihat bahwa nilai awitan pada polimorfisme IL-101082G/A di kelompok GG mempunyai nilai rerata sebesar 2,582±2,582, kelompok GA sebesar 1,33±2.85 dan kelompok AA
sebesar 1,48±3,74 dengan nilai P=0,159 (>0,05)
yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna dari ketiga kelompok polimorfisme gen IL-10-1082G/A. Akan tetapi awitan yang paling cepat
adalah pada kelompok GG disusul GA dan AA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa polimorfisme gen IL-10 1082G/A genotip AA
mengalami nefrotoksisitas lebih lama bila
dibandingkan dengan genotip GG dan GA. Perbedaan nilai polimorfisme IL-10 1082 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbedaan Lama Awitan Nefrotoksisitas Polimorfisme Gen IL-10 1082G/A
IL-10-1082G/A N Rerata SD P
GG 3 4,00 2,00
0,378
GA 19 5,11 3,47
AA 3 7,67 3,06
Analisis ketahanan kejadian nefrotoksisitas 12 bulan pada pengobatan TB MDR berdasarkan gen polimorfisme sebagai berikut:
a. Selama 12 bulan dari 4 pasien dengan genotip GG yang terjadi nefrotoksisitas adalah sebesar 3 pasien. Angka ketahanan 12 bulan adalah 25,0% b. Selama 12 bulan dari 73 pasien dengan genotip
GA yang terjadi nefrotoksisitas adalah sebesar 19 pasien. Angka ketahanan 12 bulan adalah 74,0%. c. Selama 12 bulan dari 12 pasien dengan genotip AA yang terjadi nefrotoksisitas adalah sebesar 3 pasien. Angka ketahanan 12 bulan adalah 75,0%.
d. Dengan uji Log Rank didapatkan perbedaan
bermakna antara ketiga kurva ketahanan
(P=0,026) dengan genotip GG memiliki angka
ketahanan yang paling rendah dibandingkan GA dan AA.
e. Angka ketahanan nefrotoksisitas polimorfisme gen IL-10 1082G/A dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kurva Ketahanan Nefrotoksisitas Seluruh Pasien TB
PEMBAHASAN
Faktor risiko terjadinya nefrotoksisitas akibat
AG yang diketahui meliputi deplesi volume
intravaskular, sepsis, insufisiensi ginjal yang sudah ada sebelumnya, lama terapi, usia lanjut, disfungsi
hati dan penggunaan obat-obat nefrotoksik lainnya.14
Penelitian kami tidak mendapatkan riwayat sepsis, dehidrasi dan insufisiensi ginjal baik akut maupun kronik.
Karakteristik subjek penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan IMT. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 47 (52,8%) dari 89 pasien bila dibandingkan jenis kelamin perempuan 42 (47,1%). Hasil penelitian ini mirip dengan yang dilaporkan Mulu W dkk tahun 2015 yaitu laki-laki sebanyak 57% wanita sebanyak 42,5% di
Amhara Ethiopia.15 Rerata umur pasien MDR-TB
yang mengalami nefrotoksisitas di RS Dr. Moewardi adalah 40,44±13,94 tahun. Jenis kelamin perempuan
lebih banyak mengalami nefrotoksisitas yaitu
13(31,0%) dari 42 orang bila dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 12 (25,5%) dari 47 orang. Peneliti tidak bisa membandingkan umur dan jenis kelamin yang dihubungkan dengan nefrotoksisitas karena belum dapat menemukan penelitian yang serupa.
Status IMT pada pasien yang mengalami nefrotoksisitas pada penelitian ini memiliki rerata
17,15 kg/m2 (standar deviasi 3,71 kg/m2) yang
mengindikasikan bahwa rerata pasien MDR-TB
memiliki status gizi kurang menurut kriteria WHO.16
Penurunan berat badan dapat terjadi pada pasien
dengan penyakit kronik seperti TB. Sitokin–sitokin
inflamasi seperti TNF-α, IL-6, IFN-γ dan leptin dapat
mempengaruhi hipotalamus sehingga terjadi
penurunan nafsu makan. Penurunan masa otot juga dapat terjadi akibat peningkatan proses katabolisme
protein yang disebabkan proses inflamasi kronik.17
KESIMPULAN
Genotip GG memiliki kerentanan terhadap nefrotoksisitas yang lebih tinggi bila dibandingkan genotip GA dan AA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Katherine F, Annabel B, Anna D, Hannah MD, Dennis F, Inés G, et al. Editors. Global tuberculosis report. France: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data; 2013.
2. Amalia L, Maidatuz Z, Soeroto AY. Comparative study of kanamycin and capremicin on
potassium level of multidrug resistance
tuberculosis patientsat a hospital in Bandung
Indonesia.J Int Pharm Pharm Sci.
2016;8:307-10.
3. World Health Organiation. WHO treatment
guidelines for drug-resistant tuberculosis.
Switzerland: WHO; 2016. p.59-72.
4. Jose AC, Giovani S, Alimuddin Z, Giovani BM.
Best drug treatment for multi-drug-resistant and extensively drug-resistant tuberculosis. Lancet Infect Dis. 2010;10:621-9.
5. Lopez-Novoa JM, Quiros Y, Vicente L, Morales AI, Lopez-Hernandez FJ. New insights into the mechanism of aminoglycoside nephrotoxicity: an integrative point of view. Kidney Int. 2011;79:33–45.
6. Bell S, Davey P, Nathwani D, Marwick C, Vadiveloo T, Sneddon J, et al. Risk of AKI with gentamicin as surgical prophylaxis. J Am Soc Nephrol. 2014;25:2625–32.
7. Paquette F, Bernier-Jean A, Brunette V, Ammann H, Lavergne V, Pichette V, et al. Acute kidney injury and renal recovery with the use of aminoglycosides: a large retrospective study. Nephron. 2015;131:153–60.
8. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of acute kidney injury. J Clin Am Soc Nephrol. 2008;3:844–61. 9. Chawla LS, Amdur RL, Amodeo S, Kimmel PL,
Palant CE. The severity of acute kidney injury predicts progression to chronic kidney disease. Kidney Int. 2011;79: 1361–9.
10. Morata L, Cobos-Trigueros N, Martinez JA, Soriano A, Almela M, Marco F, et al. Influence of multidrug resistance and appropriate empirical therapy on the 30-day mortality rate of Pseudomonas aeruginosa bacteremia.
Antimicrob Agents Chemother. 2012;56:4833– 7.
11. Wargo KA, Edwards JD. Aminoglycoside-induced nephrotoxicity. J Pharm Pract. 2014;27:573–7.
12. Sinuani I, Averbukh Z, Gitelman I, Rapoport MJ, Sandbank J, Albeck M, et al. Mesangial cells initiate compensatory renal tubular hypertrophy via IL-10 induced TGF beta secretion: effect of the immunomodulator AS101 on this process. Am J Physiol Renal Physiol. 2006;384-94. 13. Jaber BL, Prereira BJG, Bonventre JV,
Balakrishnan VTS. Polymorphism of host
response genes: Implications in the
pathogenesis and treatment of acute renal
failure. Kidney Int. 2005;67:14–33.
14. Anthony TG, Stanislaw PS, Charles HC, Claire M. Risk factors for aminoglycoside associated nephrotoxicity in surgical intensive care unit patients. Int J Crit Illn Inj Sci. 2011;1:17-21. 15. Mulu W, Mekonnen D, Yimer M, Admassu A,
Abera B. Risk factors for multidrug resistant tuberculosis patients in Amhara National Regional State. Afr Health Sci. 2015;2:368-77. 16. Singla R, Sharma SK, Mohan A, Makharia G,
Sreenivas V, Jha B. Evaluation of risk factors for
antituberculosis treatment induced
hepatotoxicity. Indian J Med Res. 2010;132:81–
86.
17. Greenberg AS, Obin MS. Obesity and the role of adipose tissue in inflammation and metabolism.
Am J Clin Nutr. 2006;83:461–5.
18. Fen W, Yabin Q, Yunxia T, Duizhi C, Pin C, Zhaolin X. Lack of association between cytokine
gene polymorphisms and silicosis and
pulmonary tuberculosis in Chinese iron miners. J Occup Health. 2008;50:445-54.
19. Asgharzadeh, M; Ghorghanlu, S; Rashedi, J. Association of promoter polymorphism of
interleukin-10 and interferon-gamma with
tuberculosis in Azeri population of Iran. Iran J
Studi Longitudinal Faktor Prediksi Indeks BODE pada Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Rumah Sakit Persahabatan
Jakarta
Isep Supriyana1, Faisal Yunus1, Budhi Antariksa1, Aria Kekalih2
1Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta
2 Departemen Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta
Abstrak
Latar belakang: Indeks BODE terdiri dari indeks masa tubuh (IMT), volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), skala sesak Modified Medical Research Council (MMRC) dan uji jalan 6 menit yang digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Kuesioner St. George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ) digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien PPOK. Menurunnya kualitas hidup pasien PPOK dapat disebabkan oleh eksaserbasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara indeks BODE dengan eksaserbasi dan kualitas hidup pasien PPOK. Hipotesis penelitian ini adalah semakin tinggi indeks BODE maka semakin sering eksaserbasi dan menurunkan kualitas hidup.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif yang dilakukan di RS Persahabatan pada November 2010 sampai Juni 2011.
Indeks BODE dinilai pada awal kunjungan (0 bulan), bulan ke- 3, 6, 9 dan 12. Pasien mengisi lembar kerja penelitian saat awal kunjungan dan mengisi kuesioner SGRQ pada awal kunjungan, bulan ke-6 dan 12. Peneliti memonitor terjadinya eksaserbasi setiap bulannya melalui telepon, mencatat rekam medis atau saat kunjungan ke poli asma PPOK atau instalasi gawat darurat.
Hasil: Didapatkan 85 pasien pada kunjungan awal dengan rerata indeks BODE 4,29 dan rerata SGRQ skor total 41,41%. Setelah 12 bulan
pemantauan didapatkan 52 pasien yang melengkapi pemeriksaan, 29 pasien keluar dari penelitian dan 4 pasien meninggal dunia karena PPOK atau komplikasi. Berdasarkan analisis statistik t-test, didapatkan perbedaan bermakna indeks BODE pada kelompok 1 kali eksaserbasi dengan kelompok sering eksaserbasi (P<0,05). Terdapat perbedaan bermakna SGRQ skor total pada kelompok 1 kali eksaserbasi dengan kelompok sering eksaserbasi (P<0,05) serta hubungan bermakna antara indeks BODE dengan skor total SGRQ (P=0,045).
Kesimpulan: Indeks BODE dapat digunakan untuk memprediksi eksaserbasi dan kualitas hidup pasien PPOK. (J Respir Indo. 2019; 39(4): 220-30)
Kata kunci: indeks BODE, eksaserbasi, kualitas hidup.
Longitudinal Study of BODE Index as Predictive Factor of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease in Persahabatan Hospital Jakarta
AbstractBackground: The BODE index is generally used for predicting mortality risk of COPD patients. The BODE index included the body mass index,
degree of airflow obstruction (FEV1), dyspnea (MMRC questionnaire), and exercise capacity (6-minute walk test). Exacerbation of COPD
associated with decreased health related quality of life (HRQoL). HRQoL has become an important outcome in respiratory patients as proved
by St.George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ). This study aim to find the correlation between BODE index with exacerbation and quality of life of COPD patients. We hypothesized that the higher BODE index score, the more frequent exacerbation occurrence and HRQoL decreased.
Methods: Prospective cohort study of COPD patients was conducted in Persahabatan Hospital in November 2010 till June 2011. This study
assessed the BODE index (at baseline) and followed at 3, 6, 9 and 12 months. Patient were also examined with SGRQ at baseline and followed at 6 and 12 months. We monitored the occurrence of exacerbation every month by telephone, observed their medical record, or visited the
COPD’s clinic and emergency departement.
Results: Eighty-five patients were examined at baseline with mean of BODE index 4.29 and SGRQ total score 41.42%. After one year follow
up 52 patients have completed examination, 29 patients have not complete examination and 4 patients died. Using t-test analysis the correlation of BODE index between single and frequent exacerbation was significant (P<0.05), the correlation of SGRQ between single and frequent exacerbation was also significant (P<0.05) and correlation between BODE and SGRQ was significant (P=0.045).
Conclusion: BODE index can predict COPD exacerbations and HRQoL. (J Respir Indo. 2019; 39(4): 220-30)
Keywords: exacerbation, BODE index, HRQoL.
Korespondensi: Isep Supriyana
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) diprediksi sebagai penyebab kematian ketiga di dunia pada tahun 2020 dan merupakan salah satu masalah
kesehatan di masyarakat. Eksaserbasi dan
komorbiditas berkontribusi terhadap keparahan dari PPOK. Eksaserbasi merupakan kejadian penting pada pasien PPOK karena menyebabkan efek negatif pada kualitas hidup. Inflamasi sistemik pada PPOK
disebabkan oleh gangguan mekanisme stres
oksidatif dan gangguan imunologi. Inflamasi sistemik
disebabkan oleh tumpahan atau spill-over mediator
inflamasi yang terjadi di paru dengan PPOK sebagai pusat prosesnya. Inflamasi sistemik ini menyebabkan berbagai manifestasi seperti pengurangan masa otot atau kaheksia, penyakit jantung iskemik, gagal jantung, hipertensi osteoporosis, depresi dan diabetes yang dapat memperburuk kualitas hidup.
Sistem penderajatan indeks body mass index,
obstructive of airway, dyspnea, exercise capacity (BODE) merupakan suatu skala multidimensi yang digunakan untuk mengukur lama tahan hidup pasien PPOK dan kerentanan terhadap perawatan di rumah sakit. Saat ini indeks BODE sangat baik digunakan untuk memprediksi risiko kematian pada pasie PPOK. METODE
Penelitian ini merupakan studi longitudinal
(kohort prospektif) yang bertujuan untuk
mengumpulkan data-data faktor prediksi indeks
BODE terhadap eksaserbasi dan St. George’s
Respiratory Questionnaire (SGRQ) yang mempengaruhi kualitas hidup PPOK. Populasi target adalah semua pasien PPOK di RS Persahabatan, populasi terjangkau adalah semua pasien PPOK yang berobat ke Poli Asma dan PPOK di RS Persahabatan pada bulan November 2010 sampai Juni 2011. Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien PPOK yang memenuhi kriteria inklusi dan memenuhi perhitungan besar sampel minimal. Kriteria inklusi adalah laki-laki yang didiagnosis
sebagai PPOK dan menyetujui informed consent.
Kriteria eksklusi adalah pasien yang diduga
menderita penyakit infeksi paru akut yang
mengancam jiwa, penyakit terminal yang fatal, penyakit berat atau imunokompromais.
Penelitian ini dilakukan pada bulan
November 2010 sampai Desember 2012. Periode pengambilan sampel dimulai pada bulan November
2010 sampai Juni 2011. Subjek menjalani
pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisis,
spirometri, penghitungan indeks massa tubuh (IMT), uji jalan 6 menit, penghitungan skor sesak napas
berdasarkan Modified Medical Research Council
(MMRC) serta pengisian lembar kerja penelitian. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada saat pertama kali datang, bulan ke-3, bulan ke-6, bulan ke-9 dan bulan ke-12. Pengisian kuesioner SGRQ dipandu oleh peneliti dan dilakukan saat pertama datang, bulan ke-6 dan bulan ke-12. Bila terjadi eksaserbasi maka pemeriksaan dilakukan setelah stabil dalam 4 minggu. Pasien PPOK menjalani tindak lanjut setiap bulan dan dinilai apakah mengalami eksaserbasi, dan bila mengalami eksaserbasi pasien dirawat atau tidak. Tindak lanjut pada pasien dilakukan melalui telepon atau menghubungi dokter poli asma dan PPOK atau instalasi gawat darurat (IGD) RS Persahabatan. Data penelitian diperoleh dengan cara mencatat status pasien eksaserbasi yang
mendapatkan tambahan terapi antibiotik,
kortikosteroid atau keduanya. Pasien juga
diperbolehkan untuk menghubungi peneliti.
HASIL
Terdapat 85 subjek yang diperiksa pada kunjungan awal penelitian. Selama 6 bulan pemantauan terdapat 60 subjek yang melengkapi pemeriksaan dan terbagi manjadi tiga kelompok eksaserbasi yaitu kelompok tanpa eksaserbasi 9 subjek (15%), 1 kali eksaserbasi 24 subjek (40%) dan sering (>2 kali) eksaserbasi 27 subjek (45%). Selama 12 bulan pemantauan didapatkan 52 subjek yang melengkapi pemeriksaan dan terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok 1 kali eksaserbasi sebanyak 26 subjek (50%) serta kelompok sering (>2 kali) eksaserbasi sebanyak 26 subjek (50%). Didapatkan 4 subjek (7,7%) meninggal dunia karena PPOK dan komplikasinya.
Tabel 1. Skor Prognostik Indeks BODE Berdasarkan Komponennya
Variabel Poin indeks BODE
0 1 2 3
VEP1 ≥65 50-64 36-49 ≤35
Uji jalan 6 menit ≥350 250-340 150-249 ≤149 Derajat sesak napas
MMRC 0-1 2 3 4
Indeks Masa Tubuh >21 ≤21 Ket: VEP1: volume ekspirasi paksa detik pertama
MMRC: Modified Medical Research Council
Tabel 2. Karakteristik Subjek Pada Kunjungan Awal (n=85)
Variabel Mean Median Standar Deviasi
Umur (tahun) 61,77 62,00 7,80
Indeks BODE 4,38 4,00 2,49
VEP1 (%) 54,73 56,00 10,33
IMT (kg/m2) 20,86 20,65 2,16
MMRC 1,83 2,00 1,02
Uji jalan 6 menit (m) 268,80 300,00 108,23
SpO2 (%) 94,62 95,00 84,00 VEP1 (L) 1,36 1,26 0,42 Indeks brinkman 422,75 400,00 261,27 SGRQ (%) Gejala 44,91 47,86 4,90 Aktivitas 53,27 54,85 9,63 Dampak 35,62 40,85 10,72 Skor total 41,62 45,94 9,17
Ket: VEP1: volume ekspirasi paksa detik pertama IMT: indeks massa tubuh
MMRC: Modified Medical Research Council
SpO2: saturasi oksigen
SGRQ: St. George’s Respiratory Questionnaire
Dari data awal didapatkan karakteristik subjek dengan penyakit penyerta yaitu 24 subjek (28,2%) menderita penyakit kardiovaskular dengan atau tanpa disertai diabetes melitus, dislipidemia dan osteoartritis. Selebihnya 61 subjek (71,8%) tanpa penyakit penyerta. Sebanyak 18 orang (21,2%) mengikuti program rehabilitasi medis dan 67 subjek (78,8%) tidak mengikuti program rehabilitasi medis. Pada penelitian ini semua pasien adalah laki- laki dan tidak mendapatkan vaksinasi. Sebanyak 69 subjek
(81,2%) menggunakan obat inhalasi steorid╪ dan
long acting antimuscarinic agent (LAMA) dan 16 subjek (18,8%) tidak menggunakan obat inhalasi LAMA. Subjek penelitian menggunakan inhalasi
steorid╪long acting β2 agonist (LABA) sebanyak 22
subjek (25,9%) sedangkan subjek yang tidak
menggunakan steorid╪ dan LABA sebanyak 63
subjek (74,1%). Subjek yang berobat dengan ditanggung jaminan sosial sebanyak 70 subjek (82,4%) sedangkan dengan yang berobat dengan biaya sendiri sebanyak 15 subjek (17,6%).
Didapatkan proporsi subjek berdasarkan kuartil indeks BODE yaitu Q1 (skor BODE 0-1) 11
subjek (21,52%), Q2 (skor BODE 2-4) 14 subjek (26,92%), Q3 (skor BODE 5-6) sebanyak 12 subjek (23,07%) dan Q4 (skor BODE >7) sebanyak 15 subjek (28,84%). Penelitian ini mengklasifikasikan
PPOL berdasarkan The Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2011
meliputi gejala, abnormalitas fungsi paru,
eksaserbasi dan komorbid. Pasien dalam grup A (sedikit gejala dan risiko rendah) terdiri dari derajat obstruksi ringan dan sedang, skala MMRC 0-1 dan eksaserbasi 0-1 kali dalam setahun. Pasien grup B (banyak gejala dan risiko rendah) terdiri dari derajat obstruksi ringan sedang, skala MMRC >2 dan
eksaserbasi 0-1 kali dalam setahun.2
Pasien grup C (risiko tinggi dan sedikit gejala) terdiri dari derajat obstruksi berat dan sangat berat, skala MMRC 0-1, dan eksaserbasi >2 kali dalam setahun. Pasien grup D (risiko tinggi dan banyak gejala) terdiri dari derajat obstruksi berat dan sangat
berat, skala MMRC >2 dan eksaserbasi ≥2 kali dalam
setahun. Selama 12 bulan pemantauan didapatkan kelompok PPOK berdasarkan kriteria GOLD 2011 yaitu grup A sebanyak 17 subjek (32,69%), grup B sebanyak 4 subjek (7,69%), grup C sebanyak 6 subjek (11,52%) dan grup D sebanyak 25 subjek (48,1%).
American Thoracic Society (ATS) membagi eksaserbasi menjadi 3 kelompok meliputi kriteria 1 yaitu ekaserbasi ringan sampai berat tapi tidak membutuhkan intervensi, kriteria 2 yaitu eksaserbasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan kriteria 3 yaitu eksaserbasi yang menyebabkan
pasien PPOK dirawat di ruangan intensive care unit
(ICU). Kriteria eksaserbasi pada penelitian ini yaitu eksaserbasi derajat sedang yaitu pasien yang mengeluhkan gejala respirasi sehingga mengunjungi dokter atau unit gawat darurat dan mendapatkan
terapi kortikosteroid sistemik, antibiotik atau
keduanya.21
Terdapat 4 subjek yang meninggal dunia. Subjek yang meninggal memiliki rerata usia 66 tahun, rerata indeks BODE 6,2 serta rerata skor total SGRQ
46,23. Ditemukan 9 subjek (17,3%) yang
subjek (32,7%) tidak mendapatkan perawatan di rumah sakit. Rerata indeks BODE pada subjek yang dirawat (n=9) yaitu 5,25 dan rerata skor total SGRQ 47,24%. Pada penelitian ini tidak ditemukan subjek yang mendapatkan perawatan di ICU.
Rerata indeks BODE saat kunjungan awal
kelompok 1 kali eksaserbasi adalah 3,skor terendah
0 dan skor tertinggi 4. Rerata indeks BODE pada kelompok sering (>2 kali) eksaserbasi adalah 6, skor terendah 2 dan skor tertinggi 9. Selama 12 bulan pemantauan didapatkan rerata indeks BODE kelompok 1 kali eksaserbasi 3, skor terendah 0 dan skor tertinggi 4 sedangkan kelompok sering (>2 kali) eksaserbasi ditemukan rerata 6, skor terendah 2 dan skor tertinggi 10.
Analisis t-test menunjukkan perbedaan
bermakna antara indeks BODE kelompok 1 kali eksaserbasi dengan kelompok sering (≥2 kali)
eksaserbasi (P=0,001). Tren analisis selama
duabelas bulan menunjukkan kelompok sering eksaserbasi memiliki skor indeks BODE yang lebih tinggi serta terdapat peningkatan skor maksimal dibanding kelompok 1 kali eksaserbasi yang memiliki skor indeks BODE menetap.
Gambar 1. Tren Indeks BODE selama 12 bulan
Didapatkan rerata VEP1 (dalam liter)
kelompok 1 kali eksaserbasi 1,570 L dan standar deviasi 0,410. Setelah 12 bulan pemantauan
didapatkan rerata VEP1 1,525 L dan standar deviasi
0,417 L sedangkan pada kelompok sering (>2 kali)
eksaserbasi didapatkan rerata VEP1 saat kunjungan
awal 1,127 L dan standar deviasi 0,272 L. Setelah 12
bulan pemantauan didapatkan rerata VEP1 1,035 L
dengan standar deviasi 0,287 L. Terdapat
perbedaan bermakna VEP1 pada kedua kelompok
(P=0,001).
Rerata penurunan nilai VEP1 pada kelompok
1 kali eksaserbasi sebesar 0,05 L dan pada kelompok sering eksaserbasi sebesar 0,08 L.
Analisis t-test menunjukkan perbedaan bermakna
antara penurunan VEP1 pada kelompok 1 kali
eksaserbasi dengan penurunan VEP1 kelompok
sering eksaserbasi (P=0,0457). Hasil ini
menunjukkan penurunan VEP1 pada kelompok
sering eksaserbasi lebih besar dibanding kelompok 1 kali eksaserbasi.
Gambar 2. Rerata Penurunan VEP1 selama 12 bulan
pemantauan
Gambar 3. Rerata penurunan VEP1 selama 12 bulan
pemantauan
Indeks masa tubuh merupakan salah satu komponen indeks BODE. Saat kunjungan awal didapatkan rerata IMT pada kelompok 1 kali
eksaserbasi adalah 21,80 kg/m2 dengan standar
deviasi 2,29 kg/m2. Pada kelompok sering
eksaserbasi didapatkan rerata sebesar 20,69 kg/m2
dengan standar deviasi 2,25 kg/m2. Selama 12 bulan
pemantauan rerata IMT pada kelompok 1 kali
deviasi 2,11 kg/m2 sedangkan pada kelompok sering
eksaserbasi sebesar 20,52 kg/m2 dengan standar
deviasi 1,95 kg/m2. Analisis t-test menunjukkan tidak
didapatkan perbedaan bermakna IMT pada kedua
kelompok (P=0,115). Tren analisis selama 12 bulan
pemantauan menunjukkan bahwa IMT pada
kelompok 1 kali eksaserbasi lebih tinggi dibanding kelompok sering (>2 kali) eksaserbasi serta terdapat penurunan IMT pada kedua kelompok eksaserbasi.
Gambar 4. Tren IMT selama 12 bulan pemantauan
Skala sesak merupakan salah satu
kompenen indeks BODE. Saat kunjungan awal
didapatkan rerata skala sesak pada kelompok1 kali
eksaserbasi adalah 0,96 dengan nilai terendah 1 dan
tertinggi 2. Pada kelompok sering (≥2 kali)
eksaserbasi, rerata skala sesak MMRC adalah 2,35 dengan nilai terendah 2 dan nilai tertinggi 4. Selama 12 bulan pemantauan, rerata sekala sesak MMRC pada kelompok 1 kali eksaserbasi adalah 1,23 dengan nilai terendah 1 dan tertinggi 2, sedangkan pada kelompok sering eksaserbasi rerata skala sesak MMRC adalah 3 dengan nilai terendah 2 dan
tertinggi 4. Analisis t-test menunjukkan perbedaan
bermakna skala sesak MMRC pada kedua kelompok
(P= 0,001). Tren analisis skala sesak MMRC pada
kelompok sering eksaserbasi lebih tinggi dan lebih besar peningkatannya dibanding kelompok 1 kali eksaserbasi.
Uji jalan 6 menit merupakan salah satu komponen indeks BODE. Saat pengukuran pertama uji jalan 6 menit, rerata jarak tempuh pada kelompok 1 kali eksaserbasi adalah 320,77 m dengan standar
deviasi 46,68 m. Pada kelompok sering (≥2 kali)
eksaserbasi adalah 221,27 m dengan standar deviasi 100,70 m. Selama 12 bulan pemantauan didapatkan rerata jarak tempuh uji jalan 6 menit pada kelompok 1 kali eksaserbasi adalah 313,38 m dengan standar deviasi 42,59 m sedangkan pada kelompok sering eksaserbasi didapatkan rerata jarak tempuh 190,60
m dengan standar deviasi 76,93 m. Hasil analisis
t-test menunjukkan perbedaan bermakna jarak tempuh kelompok sering eksaserbasi dengan
kelompok 1 kali eksaserbasi (P=0,001). Tren analisis
selama 12 bulan menunjukkan jarak tempuh uji jalan 6 menit pada kelompok 1 kali eksaserbasi lebih jauh dan cenderung menetap dibanding kelompok sering eksaserbasi. Terdapat penurunan jarak tempuh uji jalan 6 menit pada kelompok sering eksaserbasi.
Saturasi oksigen setelah uji jalan 6 menit bukan merupakan bagian dari komponen indeks BODE namun pada penelitian ini merupakan data tambahan yang dapat dinilai saat pasien melakukan uji jalan 6 menit. Saat kunjungan awal didapatkan
rerata SpO2 setelah uji jalan 6 menit pada kelompok
1 kali eksaserbasi adalah 96,62% dengan standar
deviasi 1,889 dan SpO2 kelompok sering
eksaserbasi (≥2 kali) adalah 93,81% dengan standar deviasi 4,262.
Selama 12 bulan pemantauan didapatkan
SpO2 setelah uji jalan 6 menit pada kelompok 1 kali
eksaserbasi adalah 96,00% dengan standar deviasi 1,52. Sedangkan kelompok sering eksaserbasi (≥2 kali) adalah 91,73% dengan standar deviasi 4,78.
Hasil analisis t-test menunjukkan perbedaan
bermakna SpO2setelah uji jalan 6 menit pada kedua
kelompok (P=0,001). Tren analisis menunjukkan
SpO2 setelah uji jalan 6 menit pada kelompok sering
eksaserbasi lebih rendah dan terdapat penurunan
SpO2 yang lebih besar dibanding kelompok 1 kali
eksaserbasi.
Kuisioner SGRQ terdiri dari empat bagian yaitu gejala, aktivitas, dampak dan skor total. Pada kelompok 1 kali ekaserbasi, didapatkan rerata skor gejala 35,694, rerata skor aktivitas 34,501, rerata skor dampak 19,790 dan rerata skor total 26,75. Selama 12 bulan pemantauan didapat rerata skor gejala 37,046, rerata skor aktivitas 34,943, rerata
skor dampak 20,570 dan skor total 29,069. Pada kelompok sering eksaserbasi (≥2 kali), pada kunjungan awal didapatkan rerata skor gejala 44,081, rerata skor aktivitas 50,445, rerata skor dampak 35,452 dan rerata skor total 41,212. Selama 12 bulan pemantauan, didapatkan rerata gejala 47,577, rerata skor aktivitas 54,016, rerata skor dampak 41,957 dan
rerata skor total 49,559. Analisis t-test menunjukkan
perbedaan bermakna SGRQ pada kedua kelompok
(P=0,001). Tren analisis SGRQ selama 12 bulan
pemantauan menunjukkan skor gejala, aktivitas, dampak dan skor total pada kelompok sering eksaserbasi lebih tinggi dan disertai peningkatan skor dibanding kelompok 1 kali eksaserbasi.
Selama 12 bulan pemantauan didapatkan 52 subjek melengkapi pengukuran indeks BODE dan mengisi kuesioner SGRQ. Pengisian kuesioner SGRQ melalui wawancara subjek PPOK dipandu oleh pemeriksa. Kuesioner terdiri dari 3 komponen yaitu gejala, aktivitas dan dampak. Semua nilai positif dari gejala, aktivitas dan dampak dijumlahkan lalu dinyatakan hasilnya sebagai suatu pesentase nilai maksimum atau skor total. Uji korelasi menunjukkan hubungan yang bermakna antara indeks BODE
dengan SGRQ skor total (P=0,0457). Peningkatan
skor indeks BODE disertai peningkatan nilai SGRQ skor total. Terdapat kebermaknaan pada analisis hubungan korelasi dan terjadi peningkatan kekuatan
korelasi dari awal kunjungan (r=0,301), bulan ke-6
(r=0,613) sampai bulan ke-12 (r=0,667).
PEMBAHASAN
Disain penelitian adalah studi longitudinal kohort prospektif selama satu tahun yang bersifat
observasional pada subjek penelitian atas
pertimbangan waktu, dana, sarana dan tenaga yang tersedia. Kelemahan penelitian ini adalah penelitian
ini merupakan studi kohort yang bersifat
observasional untuk melihat hubungan sebab akibat antara variabel. Terdapat 29 subjek yang tidak
melengkapi pemeriksaan dan loss to follow up. Hal
ini merupakan salah satu hambatan pada penelitian kohort prospektif yang disebabkan waktu penelitian
yang cukup lama yaitu 1 tahun serta alasan pribadi subjek untuk tidak melakukan spirometri atau uji jalan 6 menit sebanyak lima kali dalam satu tahun sedangkan peneliti sendiri dibatasi waktu, tenaga dan dana. Dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak dan waktu yang lebih panjang untuk melihat
hubungan sebab akibat antara variabel.6
Dilakukan analisis karakteristik subjek
dengan penyakit penyerta pada kunjungan awal. Diantara 85 subjek, didapatkan 24 subjek (28,2%) menderita penyakit penyerta kardiovaskuler dengan atau tanpa disertai diabetes mellitus, dislipidemia dan osteoartritis, selebihnya 61 subjek (71,8%)
tanpa disertai penyakit penyerta. Data GOLD2011
menyebutkan bahwa komorbid yang menyertai PPOK terbanyak adalah penyakit kardiovaskuler. Pada penelitian ini, sebanyak 18 subjek (21,2%) mengikuti program rehabilitasi medis dan 67 subjek (78,8%) tidak mengikuti program rehabilitasi medis. Penelitian Abidin dkk menemukan rerata kelompok perlakuan yang mengikuti program rehabilitasi medis 20,3 subjek.2,7
Pada kunjungan awal didapatkan 69 subjek
(81,2%) menggunakan obat inhalasi LAMA
diataranya adalah pasien PPOK derajat sedang sampai sangat berat yang memiliki jaminan sosial atau asuransi kesehatan yang mendapatkan penganggungan biaya pengobatan. Sebanyak 16 subjek tidak menggunakan obat inhalasi LAMA. Subjek penelitian yang manggunakan inhalasi
steorid╪ LABA berjumlah 22 orang (25,9%).
Penelitian Nungtjik dkk yang meneliti manfaat
inhalasi steorid╪ dan LABA menemukan jumlah
kelompok perlakuan sebanyak 29 subjek yang
menggunakan inhalasi steorid╪ dan LABA.8
Selama 12 bulan pemantauan didapatkan 4 subjek (7,7%) meninggal dunia dengan rerata indeks BODE 6,2 dan rerata SGRQ skor total adalah 42,63%. Celli dkk menyimpulkan bila skor indeks BODE 7 sampai 10 maka persentase mortalitas mencapai
PPOK dan menemukan bahwa 47% pasien mendapat perawatan dirumah sakit dan 17%
meninggal dunia.4 Fanny dkk dalam penelitian
longitudinal yang meneliti indeks BODE sebagai prediktor mortalitas dan perawatan di rumah sakit subjek PPOK didapatkan bahwa sebanyak 25,1% meninggal dunia.11 Bila skor BODE lebih dari tujuh maka angka mortalitas dapat mencapai 30% dalam dua tahun, skor BODE diantara 5 dan 6 maka angka mortalitas mencapai 15% dalam 2 tahun dan skor BODE <4 maka angka mortalitas mencapai 10%
dalam 2 tahun.12
Selama 12 bulan pemantauan didapatkan kelompok kuartil indeks BODE terbanyak adalah Q4 (kuartil 4) yaitu 28,84%. Cote dkk juga menemukan jumlah pasien terbanyak pada kuartil 3 dan 4. Penelitian ini menggunakan klasifikasi GOLD 2011 yang mengelompokkan PPOK berdasar gejala, abnormalitas fungsi paru, eksaserbasi dan faktor komorbid dan didapatkan kelompok terbanyak pada grup D yaitu kelompok dengan banyak gejala dan risiko tinggi.2,5
Dari 60 subjek yang masih ikut serta dalam penelitian selama 6 bulan pemantauan, sebanyak 9 subjek (15%) tanpa eksaserbasi, 24 subjek (40%) mengalami 1 kali eksaserbasi dan 27 subjek (45%) mengalami sering (≥2 kali) eksaserbasi. Hasil
analisis statistik t-test didapatkan perbedaan
bermakna indeks BODE pada kelompok risiko ringan dibandingkan dengan kelompok risiko tinggi.
Cote dkk menemukan rerata indeks BODE pada kelompok tanpa eksaserbasi 4,25 sedangkan rerata kelompok sering eksaserbasi 3,57. Dari temuan tersebut disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna indeks BODE pada kelompok yang tidak eksaserbasi dibanding kelompok yang
mengalami eksaserbasi (P=0,033). Pada penelitian
ini disimpulkan bahwa indeks BODE mampu
memprediksi eksaserbasi selama 6 bulan
pemantauan.5
Hasil analisis statistik menunjukkan
perbedaan bermakna indeks BODE pada kedua
kelompok eksaserbasi (P=0,001). Sesuai dengan
penelitian Cote dkk yang menemukan perbedaan bermakna antara indeks BODE pada kelompok 1 kali eksaserbasi dengan kelompok sering eksaserbasi
(P=0,01).5 Tren analisis selama 12 bulan
pemantauan menunjukkan peningkatan skor indeks BODE pada kelompok sering eksaserbasi terutama setelah bulan ke 6 sedangkan pada kelompok 1 kali eksaserbasi indeks BODE cenderung menetap. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian ini bahwa semakin tinggi nilai indeks BODE maka semakin sering pasien mengalami eksaserbasi. Indeks BODE tidak hanya memberikan gambaran obstruksi paru tetapi juga memberikan gambaran manifestasi inflamasi sitemik. Manifestasi sistemik pada PPOK berupa masalah respirasi, status nutrisi dan kapasitas latihan sehingga dapat digunakan sebagai faktor prognosis pada pasien PPOK. Pada penelitian
ini disimpulkan bahwa indeks BODE dapat
memprediksi eksaserbasi dan keparahan PPOK.10
Didapatkan perbedaan bermakna VEP1
pada kelompok 1 kali eksaserbasi dibandingkan
kelompok sering eksaserbasi (P=0,001). Hasil uji
korelasi menunjukkan perbedaan bermakna
penurunan VEP1 pada kedua kelompok (P=0,0457)
dengan rerata penurunan VEP1 kelompok 1 kali
eksaserbasi adalah 0,05 L sedangkan kelompok sering eksaserbasi adalah 0,08 L. Donaldson
dkkdalam penelitiannya menemukan rerata
penurunan VEP1 adalah 36 mL/tahun, namun pada
pasien yang sering ekaserbasi mancapai 40,1 mL/tahun. Celli dkkmenyimpulkan pada penelitianya
bahwa penurunan VEP1 pada pasien yang sering
eksaserbasi terjadi lebih cepat. Disimpulkan bahwa
penurunan VEP1 mempengaruhi progresivitas dan
keparahan PPOK yang berhubungan dengan
eksaserbasi. Semakin rendah VEP1 maka semakin