PENGARUH PEMBERIAN INHALASI
KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT
DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP
PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL
TESIS
Oleh
REFI SULISTIASARI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH PEMBERIAN INHALASI
KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT
DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP
PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Paru Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU
Oleh
REFI SULISTIASARI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Inhalasi Kombinasi
Salmeterol / Flutikason Propionat Dalam Bentuk Diskus Inhaler
Terhadap Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif
Kronik Stabil
Nama : Refi Sulistiasari
Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Menyetujui
Pembimbing
Dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P NIP. 19691107.199903.2.002
Koordinator Penelitian Ketua Program Studi Ketua Departemen
Departemen Pulmonologi Departemen Pulmonologi Departemen Pulmonologi
& Ilmu Kedokteran Respirasi & Ilmu Kedokteran Respirasi & Ilmu Kedokteran Respirasi
TESIS
PPDS PULMONOLOGI dan ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Judul Tesis : Pengaruh Pemberian Inhalasi Kombinasi Salmeterol /
Flutikason Propionat Dalam Bentuk Diskus Inhaler Terhadap
Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil
2. Nama Peneliti : Refi Sulistiasari
3. Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara
4. Jurusan : Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
5. Jangka waktu : 3 (tiga) bulan
6. Lokasi Penelitian : RS. PTPN.II. Tembakau Deli Medan dan RS. PTPN.II. Bangkatan
Binjai
7. Biaya : Rp. 16.200.000,-
PERNYATAAN
PENGARUH PEMBERIAN INHALASI
KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT
DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
Medan, 10 Oktober 2010
PENGARUH PEMBERIAN INHALASI
KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT
DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL
Refi Sulistiasari, Amira Permatasari Tarigan
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan
ABSTRAK
Latar belakang Penelitian : Saat ini inflamasi diketahui sebagai dasar terjadinya PPOK yang
memberi pengaruh terhadap kualitas hidup, faal paru dan kapasitas fungsional. Pemberian inhalasi
kombinasi LABA dan kortikosteroid adalah salah satu terapi dalam farmakologi pasien PPOK
stabil.
Tujuan penelitian : Mengetahui manfaat pemberian inhalasi salmeterol / flutikason propionat
pada PPOK stabil derajat sedang sampai berat.
Desain Penelitian : Uji Klinis acak terkontrol, tersamar ganda
Metode Penelitian : Didapatkan 26 penderita PPOK stabil derajat sedang dan berat yang dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu 13 orang kelompok perlakuan yang mendapatkan inhalasi kombinasi
salmeterol 50µg/flutikason propionat 500µg dan 13 orang kelompok kontrol yang mendapatkan
inhalasi plasebo.
Hasil Penelitian : Setelah 1 bulan pemberian inhalasi inhalasi kombinasi salmeterol
50µg/flutikason propionat 500µg didapatkan perbedaan bermakna pada kualitas hidup yang diukur
dengan SGRQ (p=0,001) dan CAT (p=0,001), faal paru yang diukur dengan VEP1 (0,001) dan
kapasitas fungsional yang diukur dengan uji jalan 6 menit (0,001) antara hari 1 dengan hari
ke-30 penelitian.
Kata Kunci : PPOK stabil, salmetrol 50µg / flutikason propionat 500µg, kualitas hidup, SGRQ,
KATA PENGANTAR
Bismillahirramanirrahiim
Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayat-Nya penulis dapat menyelasaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh
Pemberian Inhalasi Kombinasi Salmeterol Flutikason Propionat Dalam Bentuk
Diskus Inhaler Terhadap Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif
Kronik Stabil” yang merupakan salah satu syarat akhir pendidikan keahlian di
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/RSUP. H. Adam Malik Medan.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang
penulis hormati, teman sejawat asisten di Departemen Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan nonmedis serta dorongan dari pihak
keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Prof.Dr.H.Luhur Soeroso,Sp.P(K) sebagai Ketua Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSUP. H. Adam Malik Medan,
yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, senantiasa
menanamkan disiplin, ketelitian dan perilaku yang baik serta pola berfikir dan
bertindak ilmiah, yang mana hal tersebut sangat berguna bagi penulis untuk masa
yang akan datang.
Dr.Pandiaman Pandia,Sp.P(K) sebagai Sekretaris Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSUP. H. Adam Malik Medan
yang telah banyak memberi penulis saran dan nasehat yang bermanfaat dalam
penyelesaian pendidikan penulis.
Dr.Hilaluddin Sembiring, DTM&H,Sp.P(K) sebagai Ketua Program Studi
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSUP. H. Adam
Malik Medan yang tiada jemunya berupaya menanamkan disiplin, ketelitian,
berfikir dan berwawasan ilmiah serta selalu mendorong penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
Dr.Pantas Hasibuan,Sp.P(K)Onk sebagai Sekretaris Program Studi Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSUP. H. Adam Malik Medan
yang telah memberikan motivasi, saran dan nasehat yang bermanfaat bagi
penyelesaian penulis dalam menyelesaikan pendidikan.
Prof.Dr.Tamsil Syafiuddin,Sp.P(K) sebagai koordinator penelitian ilmiah di
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP.H.Adam
Malik Medan dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan
tulisan ini.
Dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P sebagai pembimbing penulis dalam
penelitian ini yang telah banyak memberi bimbingan, bantuan teknis, masukan dan
dorongan moril serta penyempurnaan penelitian bagi penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini.
Dr.H.Zainuddin Amir, Sp.P(K), sebagai TK-PPDS FK-USU yang telah banyak
memberikan dorongan dan nasihat yang sangat berguna dalam menjalani masa
pendidikan yang bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan.
Drs.Abdul Djalil Amri Arma,M.Kes sebagai pembimbing statistik penulis yang
telah banyak memberikan bantuan, masukan serta membuka wawasan penulis
dalam bidang statistik.
Penghargaan dan rasa terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada
Dr.Fajrinur Syarani,Sp.P(K), Dr.Widi Rahardjo,Sp.P(K), Dr.Parluhutan
Siagian,Sp.P, Dr.Bintang Sinaga,Sp.P, Dr.Noni Novisari Soeroso,Sp.P dan
Dr.Setia Putra Tarigan,Sp.P yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan
pengarahan selama penulis menjalani pendidikan ini.
Rasa terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada pihak PT.
GlaxoSmithKline yang telah memberikan bantuan selama penulis melaksanakan
penelitian ini hingga akhirnya selesai.
Izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Direktur RSUP. H.Adam Malik Medan, Direktur
RS.PTPN II.Tembakau Deli Medan, Direktur RS.PTPN II Bangkatan Binjai yang
telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani
pendidikan dan penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta PPDS
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran respirasi, perawat/petugas RSUP. H.Adam
Malik Medan, perawat RS.PTPN II Tembakau Deli Medan dan RS.PTPN II
Bangkatan Binjai yang bekerjasama dan membantu penulis dalam menjalani
pendidikan dan penelitian ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan rasa terima
kasih atas pertemanan selama ini kepada Dr.Irma Tabrani,Sp.P, Dr. Titiek Gustina
Simanjuntak,Sp.P, dan Dr.Sugiono.
Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan
kepada Ayahanda Dr.H.M.Rasyid Ngah,Sp.P dan Ibunda Hj.Umi Retno tercinta
yang tiada henti-hentinya memberikan kasih sayang, dukungan serta doa kepada
penulis hingga saat ini. Tak lupa kepada Ayahanda dan Ibunda Mertua Zulkifli
Hutasuhut dan Syariati Siregar penulis ucapkan terima kasih atas dukungan,
nasihat serta doa yang tiada terbalas. Kepada suami tercinta Dr.Zulkarnain
Hutasuhut dan anak-anakku tersayang Sabita Marva Illona Hutasuhut, Rania Shofi
Anindya Hutasuhut dan Affan Atthallah Hutasuhut yang selalu setia dalam
suka duka, memberi dorongan, cinta kasih serta banyak pengorbanan selama ini
penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan atas semuanya.
Akhirnya pada kesempatan ini penulis menyampaikan permohonan maaf yang
sebesar-besarnya atas segala segala kekhilafan, kesalahan maupun kekurangan
yang telah penulis perbuat selama ini. Semoga segala ilmu, keterampilan dan
pembinaan yang penulis dapatkan selama ini bermanfaat bagi semuanya dan tetap
dalam Ridho Allah SWT.
Medan, September 2010
Penulis
Refi Sulistiasari
DAFTAR ISI
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 5
2.1.1.Epidemiologi 5
2.1.2.Patogenesis, Patologi, dan Patofisiologi 6
2.2. Inflamasi Pada PPOK 8
2.3. Diagnosis dan Klasifikasi PPOK 10
2.4. Penatalaksanaan PPOK 14
2.4.1. Penatalaksanaan PPOK stabil 16
2.4.2.Peranan Salmeterol/flutikason Propionat dalam penatalaksanaan
4.1.1. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan demografi 44
4.1.2. Nilai dasar kualitas hidup, faal paru, derajat sesak, dan
uji jalan 6 menit 47
4.1.3. Eksaserbasi, efek samping dan terapi B2 agonist kerja cepat IDT
sampai hari ke-15 49
4.1.4. Perubahan nilai kualitas hidup, faal paru, derajat sesak dan
uji jalan 6 menit setelah hari ke-30 51
4.2. Pembahasan 61
BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN 72
5.1. Kesimpulan 72
5.2. Saran 74
DAFTAR PUSTAKA 75
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
ACTH = ADrenocorticotropic Hormone
AGDA = Analisa Gas Darah Arteri
APE = Arus Puncak Ekspirasi
ATS = American Thoracic Society
CAT = COPD Assessment Test
COPD = Chronic Obstructive Pulmonary Diseases
CRDQ = Chronic Respiratory Diseases Questionnaire
CD6 = Cluster of Differentiation-6
CD8 = Cluster of Differentiation-8
ERS = European Respiratory Society
EGFR = Epidermal Growth Factor Receptor
GR = Glukocorticoid Reseptor
GOLD = Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga
TRISTAN = Trial of Inhaled Steroids And Long-Acting β 2-ADrenoceptor Agonists
VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK 12
Tabel 4.1. Sebaran umur, lama merokok, jumlah rokok, lama menderita PPOK
dan derajat PPOK subyek penelitian 45
Tabel 4.2. Sebaran pendidikan, suku, dan riwayat merokok subyek penelitian 47
Tabel 4.3. Nilai dasar VEP1, SGRQ, CAT, skala sesak MRC & uji jalan 6 menit
pada subyek penelitian 49
Tabel 4.4. Kejadian eksaserbasi sampai hari ke-15 pada subyek penelitian 50
Tabel 4.5. Kejadian efek samping sampai hari ke-15 pada subyek penelitian 51
Tabel 4.6. Penggunaan B2 agonist IDT sebagai pelega sampai hari ke-15 pada
subyek penelitian 51
Tabel 4.7. Nilai VEP1, SGRQ, CAT, derajat sesak MRC dan uji jalan 6 menit
hari ke-30 pada subyek penelitian 53
Tabel 4.8. Perubahan nilai awal (hari ke-1) dan akhir (hari ke-30) dari VEP1, SGRQ, CAT, derajat sesak MRC dan uji jalan 6 menit pada subyek
penelitian 55
Tabel 4.9. Kejadian eksaserbasi sampai hari ke-30 pada subyek penelitian 59
Tabel 4.10. Kejadian efek samping sampai hari ke-30 pada subyek penelitian 60
Tabel 4.11. Penggunaan B2 agonist IDT sebaga pelega sampai hari ke-30
pada subyek penelitian 61
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Patogenesis PPOK 7
Gambar 2.2. Terapi pada setiap stadium PPOK 15
Gambar 2.3. Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil 16
Gambar 2.4. Struktur kimia salmeterol 22
Gambar 2.5 Struktur kimia flutikason propionat 23
Gambar 2.6. Kombinasi LABA dan Inhalasi kortikosteroid yang memutus
siklus berat pada PPOK 26
Gambar 4.1. Rerata perubahan VEP1 awal(hari ke-1) dan VEP1 akhir(hari ke-30) 56
Gambar 4.2. Rerata perubahan kualitas hidup SGRQ awal dan SGRQ akhir 56
Gambar 4.3. Rerata perubahan kualitas hidup CAT awal dan CAT akhir 57
Gambar 4.4. Rerata perubahan derajat sesak MRC awal dan MRC akhir 57
Gambar 4.5. Rerata perubahan uji jalan 6 menit (6MWT)awal dan akhir 58
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Status Pemeriksaan
Lampiran 2. St George Respiratory Questionnair (SGRQ)
Lampiran 3. COPD Assessment Test (CAT)
Lampiran 4. Skala Sesak Napas MRC
Lampiran 5. Lembaran penjelasan calon subyek penelitian
Lampiran 6. Lembaran persetujuan calon subyek penelitian
Lampiran 7. Persetujuan Komite Medik
Lampiran 8. Data-data subyek penelitian
PENGARUH PEMBERIAN INHALASI
KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT
DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL
Refi Sulistiasari, Amira Permatasari Tarigan
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan
ABSTRAK
Latar belakang Penelitian : Saat ini inflamasi diketahui sebagai dasar terjadinya PPOK yang
memberi pengaruh terhadap kualitas hidup, faal paru dan kapasitas fungsional. Pemberian inhalasi
kombinasi LABA dan kortikosteroid adalah salah satu terapi dalam farmakologi pasien PPOK
stabil.
Tujuan penelitian : Mengetahui manfaat pemberian inhalasi salmeterol / flutikason propionat
pada PPOK stabil derajat sedang sampai berat.
Desain Penelitian : Uji Klinis acak terkontrol, tersamar ganda
Metode Penelitian : Didapatkan 26 penderita PPOK stabil derajat sedang dan berat yang dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu 13 orang kelompok perlakuan yang mendapatkan inhalasi kombinasi
salmeterol 50µg/flutikason propionat 500µg dan 13 orang kelompok kontrol yang mendapatkan
inhalasi plasebo.
Hasil Penelitian : Setelah 1 bulan pemberian inhalasi inhalasi kombinasi salmeterol
50µg/flutikason propionat 500µg didapatkan perbedaan bermakna pada kualitas hidup yang diukur
dengan SGRQ (p=0,001) dan CAT (p=0,001), faal paru yang diukur dengan VEP1 (0,001) dan
kapasitas fungsional yang diukur dengan uji jalan 6 menit (0,001) antara hari 1 dengan hari
ke-30 penelitian.
Kata Kunci : PPOK stabil, salmetrol 50µg / flutikason propionat 500µg, kualitas hidup, SGRQ,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2.1.1. Epidemiologi
Kebanyakan informasi tentang PPOK mengenai prevalensi, morbiditas, dan mortalitas
berasal dari negara berkembang. Data prevalensi dan morbiditas biasanya diperkirakan lebih
rendah dari data yang sebenarnya karena penyakit ini biasanya tidak terdiagnosis sampai adanya
gejala klinis dan perburukan. Penelitian yang dilakukan dari tahun 1990 hingga 2004 pada 28
negara mendapatkan prevalensi PPOK lebih tinggi pada pasien perokok dibandingkan bukan
perokok. Diperkirakan prevalensi pasien PPOK derajat sedang hingga berat sekitar 6,3%. Di
Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta pasien PPOK yang dirawat jalan, 1,5 juta yang
dirawat di departemen emergensi, dan 673.000 yang dirawat inap.11,12,13,14 Di Indonesia tidak ada
data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986
menunjukkan asma, bronkitis kronik, dan empisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab
kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT tahun 1992 menunjukkan angka
kematian akibat asma, bronkitis kronik, dan empisema menduduki peringkat ke-6 dari 10
penyebab kematian tersering di Indonesia.15 Sementara SKRT Departemen Kesehatan Republik
Indonesia tahun 1995 menunjukkan PPOK diperingkat ke-5 sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Data di RS. Persahabatan sebagai pusat rujukan paru nasional menunjukkan PPOK
menduduki peringkat ke-4 dari jumlah pasien yang dirawat.5
2.1.2. Patogenesis, Patologi dan Patofisiologi
Perubahan patologi yang khas pada penderita PPOK di saluran napas besar berupa infiltrasi
kecil terjadi fibrosis, di parenkim paru terjadi terjadi empisema, serta di pembuluh darah pulmonal
berupa infiltrasi sel-sel radang pada dinding pembuluh darah pulmonal.16 Inhalasi asap rokok dan
partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi pada paru yang menjadi dasar seseorang
menderita PPOK. Respon inflamasi ini merangsang kerusakan jaringan parenkim sehingga terjadi
empisema dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan normal (menyebabkan fibrosis
di saluran napas kecil). Perubahan patologi ini akan menyebabkan air trapping dan hambatan
aliran udara yang progresif. Inflamasi dan perubahan struktur pada saluran napas ini akan berlanjut
sesuai dengan derajat penyakit dan bertahan meskipun telah berhenti merokok.11
Inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan pada pasien PPOK merupakan respon
inflamasi saluran pernapasan terhadap iritan kronik seperti asap rokok dan partikel terinhalasi
lainnya. Inflamasi paru akan dijelaskan lebih lanjut oleh stres oksidatif dan meningkatkan jumlah
proteinase paru. Mekanisme ini secara bersamaan menimbulkan karakteristik perubahan patologi
Gambar 2.1. Patogenesis PPOK11
Biomarker dari stres oksidatif (seperti hydrogen peroxide, 8-isoprostane) meningkat pada
pasien PPOK. Oksidan terbentuk oleh asap rokok dan partikel terinhalasi lainnya, dan dilepaskan
dari sel inflamasi yang teraktivasi seperti makropag dan netrofil. Dan terdapat penurunan
antioksidan endogenus pada pasien PPOK. Stres oksidatif mengaktivasi gen inflamasi, inaktifnya
antiprotease, merangsang pembentukan mukus, dan merangsang eksudasi plasma. Hipersekresi
mukus disebabkan juga oleh metaplasia dengan peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa terhadap iritasi kronik oleh asap rokok dan zat terinhalasi lainnya. Beberapa
mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus. Sejumlah protease berasal dari sel
inflamasi dan sel epitel meningkat jumlahnya pada pasien PPOK. Protease memerantai kerusakan
dari elastin, komponen jaringan konektif utama, yang merupakan bagian penting dalam terjadinya
2.2. Inflamasi Pada PPOK
PPOK memiliki karakteristik berupa pola inflamasi lokal dan sistemik dimana sel
inflamasi yang berperan di dalamnya terdiri dari netrofil, makropag, dan sel limposit T CD8. Sel
ini melepaskan mediator inflamasi dan berikatan dengan struktur sel pada saluran napas serta
parenkim paru.11,16 Netrofil merangsang hipersekresi mukus. Netrofil berperan sebagai sel kunci
dalam terjadinya empisema dan hal ini diketahui sejak defisiensi α1-antitripsin memiliki hubungan
dengan penyakit ini. Analisa terhadap otot polos saluran napas memperlihatkan hubungan antara
infiltrasi netrofil dengan air trapping dan beratnya obstruksi saluran napas. Para peneliti
memperkirakan bahwa mediator inflamasi akan berakibat terhadap perubahan struktur dan
kontraktilitas otot saluran napas, dan menyebabkan obstruksi saluran napas perifer.17 Makropag
sebagai sel inflamasi utama akan melepaskan reactive oxygen species (ROS), faktor kemotaktik,
sitokin inflamasi, aktivasi kelenjar mukus, dan protein matriks ekstraseluler. Juga termasuk
kumpulan dari matrix metalloprotease enzymes (MMPs). Pada PPOK fungsi limfosit T CD8
adalah merangsang apoptosis sel. Penelitian lainnya mendapatkan aktivitas dari limfosit T CD8
dalam terbentuknya empisema.17 Sejumlah besar mediator inflamasi seperti leukotrien B4, IL-8,
IL-6, TNF-α akan meningkat pada pasien PPOK. Penarikan sel inflamasi dari sirkulasi (faktor
kemotaktik), akan menyebabkan kerusakan pada struktur paru atau bertahannya inflamasi
netrofilik.11,16,18 Inflamasi PPOK ditandai dengan meningkatnya jumlah netrofil dan sel limfosit T
CD8, sedangkan pada asma terjadi peningkatan jumlah eosinofil dan sel limfosit T CD4. Mediator
inflamasi dan sel inflamasi yang aktif termasuk Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan
Interleukin-6 (IL-6) akan dilepaskan ke sirkulasi sistemik pasien PPOK. Beberapa penelitian
memperlihatkan penurunan fungsi paru berhubungan dengan meningkatnya faktor inflamasi
morbiditas pasien PPOK. Kontribusi kronik, dan low-grade inflammation akan menyebabkan
resiko penyakit sistemik lainnya, sebagai contoh meningkatnya resiko arterosklerosis, gagal
jantung kronik, obesitas maupun diabetes. Meningkatnya inflamasi sistemik akan merangsang
peningkatan mediator seperti C-reactive protein (CRP) yang memberikan kontribusi terhadap
terjadinya disfungsi otot skeletal, berat badan menurun, depresi, osteoporosis dan berkurangnya
status kesehatan. Meningkatnya TNF-α dan IL-6 berhubungan dengan arterosklerosis. Dan yang
terbaru didapatkan bahwa meningkatnya IL-6 berhubungan dengan meningkatnya prevalensi
resistensi insulin pada pasien PPOK.19,20 Intensitas inflamasi sistemik akan meningkat saat PPOK
eksaserbasi. Asal inflamasi sistemik pada pasien PPOK yaitu dari asap rokok, hiperinflasi paru,
hipoksia jaringan, disfungsi otot, dan bone marrow.20 Penurunan VEP1 berasal dari inflamasi dan
penyempitan saluran napas perifer, sementara penurunan pertukaran gas yang berasal dari
kerusakan parenkim dari empisema. Pada inflamasi yang berlanjut, fibrosis dan eksudasi pada
saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan VEP1 dan perbandingan VEP1/KVP. Obstruksi
saluran napas perifer yang progresif akan memerangkap udara selama ekspirasi menghasilkan
hiperinflasi yang akan mengurangi kapasitas inspirasi dan akan menyebabkan sesak napas dan
keterbatasan kepasitas latihan. Abnormalnya pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan
hiperkapnia pada pasien PPOK yang beratnya sejalan dengan perjalanan penyakit.11
2.3. Diagnosis dan Klasifikasi PPOK
Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan dijumpai tanda
inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan pada pasien dengan gejala klinis berupa sesak
napas, batuk kronik atau produksi sputum. Pada pasien PPOK derajat ringan sering dijumpai
batuk berdahak pada pagi hari sementara pada pasien PPOK derajat sedang gejala klinis jelas
Dijumpainya riwayat pajanan seperti riwayat merokok, terpajan zat iritan inhalasi yang bermakna
di tempat kerja. Dari pemeriksaan fisis pada PPOK dini tidak dijumpai kelainan, sedang pada
PPOK yang lanjut dari inspeksi dapat dijumpai pursed-lip breathing, barrel chest, penggunaan
otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga. Dari pemeriksaan fremitus
melemah, pada perkusi dijumpai hipersonor, sedangkan dari auskultasi dijumpai suara napas
melemah, ekspirasi memanjang, terdapat ronki kering atau mengi, bunyi jantung terdengar jauh.
Pemeriksaan foto toraks didapatkan gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diapragma mendatar,
corakan bronkovaskuler meningkat, bulla, jantung pendulum.1,15 Diagnosis harus dikonfirmasi lagi
dengan spirometri. Pada PPOK derajat ringan terkadang spirometri didapat normal. Hasil
spirometri berupa VEP1/KVP < 70% dan VEP1 < 80% prediksi dianggap sebagai adanya hambatan
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.10 Apabila fasilitas spirometri tidak tersedia,
peakflow meter dapat digunakan untuk mengukur Arus Puncak Ekspirasi (APE) walau kurang
tepat tetapi dapat dipakai sebagai alternatif untuk memantau variabiliti harian pagi dan sore dengan
nilai yang didapat tidak lebih dari 20% prediksi.15 Pemeriksaan khusus yang tidak rutin dilakukan
antara lain : uji bronkodilator yang dilakukan sekali saja pada saat penegakkan diagnosis, dapat
menyingkirkan diagnosis asma. Setelah pemberian inhalasi bronkodilator sebanyak 8 hisapan,
sekitar 15 sampai 20 menit kemudian diukur perubahan nilai VEP1 atau APE, akan dijumpai
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal. Uji kortikosteroid dilakukan dengan menilai
perbaikan faal paru setelah pemberian oral kortikosteroid (prednison atau metilprednisolon)
sebanyak 30 sampai 50 mg per harinya selama 2 minggu atau dengan inhalasi steroid selama 6
minggu hingga 3 bulan,dan dijumpai peningkatan VEP1 sebanyak 200 ml atau 15% dari nilai awal.
Adanya respon terhadap kortikosteroid akan menjadikannya salah satu terapi regular bersama
ATS dan ERS beserta GOLD membuat suatu sistem penderajatan untuk PPOK berdasarkan nilai
VEP1 prediksi. Ada 5 derajat untuk klasifikasi PPOK dari ringan (derajat I) hingga berat (derajat
IV) seperti yang terlihat pada tabel 2.1.12
Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK11 Gold 2009
VEP1 <50 dengan gagal napas kronis
Alat ukur kualitas hidup umumnya meliputi spektrum fungsi yang luas berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari sehingga dapat dipakai sebagai alat ukur berbagai macam penyakit.
Beberapa contoh kuesioner yang dapat dipakai adalah Chronic Respiratory Diseases
Questionnaire (CRDQ) dari Guyat dkk dan St. George’s’s Respiratory Questionnaire (SGRQ) dari
Jones dkk. SGQR merupakan kuesioner spesifik untuk mengukur kualitas hidup penderita saluran
napas kronik. Terdiri dari 76 butir yang dibagi dalam 3 komponen yaitu :
- Gejala penyakit yang berhubungan dengan gejala saluran napas, frekwensi dan beratnya
gejala tersebut.
- Aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan yang menyebabkan sesak napas atau
terhambat karena sesak.
- Dampak yang meliputi rangkaian aspek yang berhubungan dengan fungsi sosial dan
Setiap jawaban kuesioner mempunyai bobot yang diambil secara empiris. Bobot paling kecil = 0,
bobot paling besar = 100. Setiap komponen bobot untuk jawaban positip dijumlahkan. Nilai
dihitung dengan membagi jumlah bobot dengan nilai maksimum untuk komponen tersebut dan
hasil dinyatakan dalam persen. Nilai yang lebih rendah menggambarkan keadaan kesehatan yang
lebih baik.5
Saat ini telah dibuat suatu metode yang lebih sederhana, dapat dipercaya yaitu COPD assessment
test (CAT)/ Uji penilaian PPOK yang terdiri dari 8 pertanyaan dengan skor antara 0 sampai 40. Hal
ini memudahkan pasien untuk mengisinya. Pertanyaan ini diambil dari derajat penyakit, dengan
kesimpulan berupa ringan hingga berat. Skor yang tinggi menunjukkan status kesehatan yang
buruk. Pertanyaan meliputi tentang batuk, dahak, dada tertekan, sesak napas, kemampuan menaiki
tangga, keterbatasan aktivitas di rumah, kepercayaan diri untuk meninggalkan rumah, tidur dan
energi. Pertanyaan lebih ditekankan pada sesak saat menaiki tangga pada pasien dengan keadaan
ringan, pertanyaan untuk pasien dengan keadaan berat lebih ditekankan pada kepercayaan diri
untuk meninggalkan rumah. Skor diatas 30 menunjukkan keadaan yang sangat berat, skor diatas 20
menunjukkan keadaan yang berat, skor antara 10 sampai 20 menunjukkan keadaan yang sedang
dan skor dibawah 10 menunjukkan keadaan yang ringan.23
2.4. Penatalaksanaan PPOK
Secara umum tujuan penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Hal ini dapat dicapai melalui penatalaksaan PPOK yang secara umum meliputi :
Edukasi; Obat-obatan berupa bronkodilator yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi;
Terapi oksigen; Ventilasi mekanik; Nutrisi; Rehabilitasi dengan latihan fisis, latihan pernapasan
dan Fisioterapi dada.15 Terapi pada setiap derajat PPOK tertera pada gambar 2.2 di bawah ini.
2.4.1. Penatalaksanaan PPOK stabil
Algoritme PPOK stabil
EDUKASI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI
Berhenti merokok
Gambar 2.3. Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil1
Strategi pentalaksanaan berdasarkan penilaian derajat penyakit dan respon terhadap terapi,
hal ini tertera pada gambar 3 di atas. Derajat penyakit ditentukan oleh gejala dan hambatan aliran
napas serta frekwensi eksaserbasi, komplikasi, gagal napas, penyakit komorbid serta status
kesehatan pasien.21 Semua golongan bronkodilator akan meningkatkan kapasitas latihan pada
dengan menggunakan bronkodilator kerja panjang lebih efektif dibandingkan pengobatan dengan
bronkodilator kerja singkat (evidence A).11 Banyak penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil
terapi kombinasi inhalasi β2 agonist kerja panjang dan kortikosteroid lebih memberikan efek yang
menguntungkan terhadap fungsi paru, penurunan gejala harian, penurunan frekuensi eksaserbasi
dan perbaikan status kesehatan pasien PPOK dibandingkan inhalasi obat tunggal. Pedoman GOLD
(2008) merekomendasikan penanganan PPOK dengan pendekatan yang bertahap dimana inhalasi
bronkodilator diperkenalkan sejak awal pada pasien PPOK, dan inhalasi kortikosteroid
ditambahkan hanya pada keadaan yang berat (VEP1 <50% prediksi), eksaserbasi yang berulang,
dan adanya respon uji faal paru terhadap inhalasi kortikosteroid. Pedoman penatalaksanaan PPOK
yang direkomendasikan oleh ATS maupun ERS tahun 2004 juga menyatakan adanya efek yang
menguntungkan dari penambahan terapi kombinasi terhadap fungsi paru, berkurangnya gejala,
frewensi eksaserbasi serta kualitas hidup pada pasien dengan pemeriksaan VEP1 <50%.24
Sementara bronkodilator kerja singkat direkomendasikan sesuai dengan kebutuhan. Bronkodilator
yang tersedia untuk dipergunakan terdiri dari 3 kelompok: antikolinergik, agonist simpatomimetik,
dan metylxantin. Ketiganya memiliki kemampuan dalam meningkatkan fungsi paru pada pasien
PPOK. Antikolinergik (khususnya tiotropium) akan menyebabkan relaksasi otot polos saluran
napas melalui antagonis dari asetilkolin reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran napas,
sementara β2-agonist akan menyebabkan bronkodilasi melalui perangsangan reseptor β2,
meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (juga terjadi inhibitor phospodiesterase, seperti
metylxantin oral). β2-agonist kerja singkat seperti albeterol onsetnya lebih cepat tetapi durasinya
lebih singkat dibandingkan antikolinergik, sehingga merupakan obat yang digunakan untuk
mengatasi bronkospasme akut. Inhalasi antikolinergik seperti ipratropium, memiliki onset yang
2.4.2. Peranan Salmeterol/Flutikason propionat dalam Penatalaksanaan PPOK
LABA merupakan bronkodilator lini satu dalam penatalaksanaan PPOK stabil. Efikasi dan
keamanan dalam mengatasi obstruksi saluran napas sejalan dengan menurunnya frekwensi
eksaserbasi dan beratnya simptom dengan meningkatnya kualitas hidup. Yang menarik, beberapa
penelitian mendokumentasikan bahwa inhalasi LABA yaitu salmeterol dan formoterol lebih efektif
sebagai pengobatan regular untuk jangka panjang dibandingkan dengan antikolinergik pada pasien
PPOK stabil. Hal ini sangat penting karena selama ini antikolinergik lebih dipilih sebagai terapi
lini satu jangka panjang pada pasien PPOK stabil. LABA yang diberikan sebagai terapi kombinasi
dengan antikolinergik lebih efektif dibandingkan dengan menambahkan SABA pada terapi pasien
PPOK stabil.26
Sedikitnya telah dilakukan 2 penelitian yang mengindikasikan bahwa pada pasien PPOK
berat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi akan mengurangi derajat eksaserbasi seperti sesak napas,
batuk berdahak dan mengi. Eksaserbasi akan memberikan pengaruh negatip terhadap kualitas
hidup serta biaya perawatan kesehatan. Saat ini, terdapat pilihan penggunaan inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi antara lain 500µg flutikason propionat, 800µg budesonid atau 1000µg
beklometason dipropionat per hari.6
Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa inhalasi
kortikosteroid tidak mempengaruhi sel dan mediator inflamasi pada sputum pasien PPOK stabil,
tetapi penelitian lain melaporkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid merangsang respon
biologis yang berhubungan dengan perubahan akhir hasil klinis. In vitro kortikosteroid mengurangi
penarikan dan aktivasi kemotaksis netrofil. In vivo, kortikosteroid meningkatkan kapasitas
inhibisi elastase netrofil dan meningkatkan penurunan netrofil dalam mukus. Lebih lanjut
memberikan efek pada sebagian besar sel inflamasi PPOK. Inhalasi kortikosteroid juga
merangsang penurunan jumlah IL8 dan myeloperoxidase pada cairan BAL, sama seperti terjadinya
penurunan jumlah sel dan proporsi netrofil sputum. Penemuan ini menyokong penggunaan inhalasi
kortikosteroid dalam penatalaksanaan PPOK stabil.26 Salpeter dkk (2008) melakukan evaluasi
terhadap 22 penelitian dengan waktu minimum 3 bulan terhadap efikasi dan keamanan dari β2
-agonist (SABA dan LABA) dibandingkan dengan plasebo dan antikolinergik pada PPOK stabil.
Hasilnya, hanya 12 penelitian yang membandingkan LABA dengan plasebo atau antikolinergik
(7,449 pasien). Mereka mendapatkan bahwa β2-agonist mengurangi resiko eksaserbasi PPOK yang
berat. Kemudian dilakukan evaluasi penelitian dengan waktu minimum 1 bulan dan didapatkan 17
penelitian dengan jumlah pasien 13,845 orang. Hasilnya LABA mengurangi eksaserbasi PPOK
yang berat dan memberikan efek yang menguntungkan berdasarkan pemeriksaan terhadap uji faal
paru, meningkatnya kualitas hidup dan berkurangnya penggunaan obat-obatan untuk mengatasi
serangan dibandingkan dengan plasebo.10 Pada Trial of Inhaled Steroids And Long-Acting β
2-Adrenoceptor Agonists (TRISTAN) memperlihatkan onset perbaikan yang cepat pada pengobatan
dengan kombinasi salmeterol dan flutikason propionat.27 Pada pengamatan in vitro menggunakan
fibroblast primer paru manusia dan sel otot polos pembuluh darah, LABA merangsang translokasi
reseptor glukokortikoid (GR) dari sitosol sel sampai ke inti sel dan merubah respon GR. LABA
memiliki kerja yang serupa dengan kortikosteroid dalam menekan inflamasi termasuk kerjanya
pada histon asetilasi dan deasetilasi atau melalui efek aktivasi faktor transkripsi nuclear factor
(NF). Yang terbaru diketahui bahwa kombinasi glukokortikoid dan LABA sejalan dengan aktivasi
GR meningkatkan ikatan protein yang termasuk kedalam kelompok faktor transkripsi yang
merupakan proses differensiasi dari sejumlah jaringan. Lebih lanjut, pemberian secara bersamaan
Data ini akan memberi sokongan terhadap pemikiran bahwa kombinasi dua obat memiliki
keuntungan jika diberikan secara bersamaan.26
Salmeterol memiliki efek penghambatan mediator inflamasi, sel mast (seperti histamine,
leukotrien, dan prostaglandin D2), mengurangi edema saluran napas dengan mengurangi bocornya
plasma, dan mengurangi hiper responsif bronkus. Selain itu, stimulus reseptor epitel β2
-adrenoreseptor meningkatkan pergerakkan silia sehingga terjadi peningkatan daya pembersihan
mukosiliari.9 Salmeterol yang nama kimianya adalah 2 - (hydroxymethyl) - 4 - [1 - hydroxyl – 2
- [6-(4-phenylbutoxy) hexylamino] ethyl] -phenol dan formulasi kimianya C25H37NO4 adalah
LABA pertama yang diperkenalkan di Amerika Serikat. Molekul dasarnya adalah mirip albuterol
dengan rantai etilamin menyambung hingga rantai atom karbon-10 yang berakhir sebagai
lingkaran benzyl seperti yang terlihat pada gambar 2.4 di bawah ini. Rantai panjang ini
menyebabkan lingkaran terminal yang inaktif berkhir pada reseptor β2, dan menyebabkan juga
bagian aktif dari molekul β2 berulangkali lepas dan menempel kembali pada reseptor. Hal inilah
yang menyebabkan kerja salmeterol bertahan hingga 12 jam dengan range 8 sampai 20 jam.
Salmeterol merupakan molekul lipofilik yang bereaksi dengan lemak dan memiliki molekul mass
sekitar 415,57g/mol. Salmeterol merupakan obat yang selektif, bersifat memanjang ke
samping melalui membran sel hingga target β2-adrenoreseptor yang merupakan reseptor utama
pada otot polos bronkus. Salmeterol dapat berikatan berulangkali pada reseptor β2 tempat
ikatannya, dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dry powder yang penetrasi ke mukosa
tenggorokan. Di tenggorokan salmeterol diserap, didistribusikan, dimetabolis dan diekskresikan.
Salmeterol dapat diberikan secara regular sebanyak 1 sampai 2 semprot setiap 12 jam. Meskipun
salmeterol memiliki efek antiinflamasi, sebaiknya tetap diberikan kortikosteroid secara bersamaan.
Gambar 2.4. Struktur kimia salmeterol30
Salmeterol menghalangi netrofil melekat pada epitel sel bronkus, selain itu juga mengurangi
jumlah netrofil yang melekat pada endotelial pembuluh darah dan mengurangi bocornya plasma.
Selain itu juga meningkatkan penumpukan kortikosteroid perifer, dan mengubah aktivitas
antiinflamasinya.26
Flutikason propionat (C25H31F3O5S) adalah sintetik glukokortikoid sintetik generasi kedua dalam
bentuk propionat ester. Flutikason propionat digunakan sebagai antiinflamasi dan antipruritik.
Nama kimianya adalah
S-fluoromethyl-6alpha,9alpha-difluoro-11beta-hydroxy-16alpha-methyl-3-oxo-17alpha-propionyloxyandrosta-1,4-diene-17beta-carbothioate, seperti yang terlihat pada
gambar 2.5 di bawah ini. Flutikason propionat merupakan serbuk putih, yang tidak larut dalam air,
Gambar 2.5. Struktur kimia flutikason propionat 31
Glukokortikoid berfungsi untuk regulasi karbohidrat dan lemak, metabolisme protein dan
menghalangi pelepasan ACTH (adrenocorticotropic hormone). Glukokortikoid juga memiliki
pengaruh terhadap otot dan mikrosirkulasi, berperan serta dalam menjaga tekanan darah arteri,
meningkatkan sekresi gaster, merubah respon connective tissue terhadap cedera, menghalangi
produksi kartilago, menghambat inflamasi, alergi dan respon imunologi, mengurangi jumlah
limposit sirkulasi, dan berpengaruh terhadap fungsi sistem saraf pusat.31
Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi standar pada pasien PPOK masih diperdebatkan. Namun
pada pasien dengan adanya eksaserbasi yang ditandai dengan memburuknya hambatan aliran udara
dengan gejala yang mirip dengan asma maka terapi yang sama dengan terapi asma maka akan
mengurangi hambatan aliran udara, edema bronkus, produksi mukus, bronkospasme, dan
inflamasi. Penggunaan kortikosteroid pada pasien PPOK stabil dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan akan memberikan keuntungan berupa melambatnya penurunan fungsi paru dan
simpatomimetik dengan meningkatkan daya respon reseptor β2 dan meningkatkan konsentrasi
intraseluler cAMP.26 Inhalasi kortikosteroid biasanya diberikan dengan dosis yang tinggi pada
pasien PPOK. GOLD (2008) merekomendasikan penggunaan terapi secara regular dengan inhalasi
kortikosteroid baik tunggal maupun dengan kombinasi LABA, diberikan pada pasien PPOK berat
(VEP1 < 50% prediksi, dan seringnya eksaserbasi yang membutuhkan pengobatan dengan
antibiotik dan atau tanpa kortikosteroid). Respon terhadap kortikosteroid tergantung pada derajat
PPOK. Pemberian inhalasi kortikosteroid pada pasien PPOK derajat 3 meningkatkan kualitas
hidup dan berkurangnya eksaserbasi. Kortikosteroid bekerja dengan berikatan pada reseptor
glukokortikoid (GR) yang lokalisasinya di sitoplasma sel. GR akan dijumpai pada hampir seluruh
jenis sel dan densitasnya bervariasi dari 200 sampai 30.000 per sel, dengan afinitas terhadap
kortisol sekitar 30 nM, yang akan turun dalam kadar normal untuk konsentrasi plasma dari hormon
yang bebas.33 Inhalasi flutikason propionat pada pasien PPOK stabil secara signifikan juga akan
mengurangi jumlah SP-D dan IL-6 dan meningkatkan kualitas hidup serta fungsi paru dalam
waktu 4 minggu. Data ini mendukung terapi yang mengandung flutikason propionat akan
mengurangi biomarker inflamasi sistemik spesifik. Yang menarik, dengan berkurangnya jumlah
SP-D berhubungan dengan meningkatnya kualitas hidup (terutama keluhan sesak napas) dan
fungsi paru, mendukung dugaan bahwa inflamasi paru memegang peranan penting dalam
kesehatan pasien PPOK. Inhalasi flutikason propionat dengan atau tanpa salmeterol yang secara
signifikan mengurangi kadar SP-D mungkin hanya dicapai pada PPOK yang stabil. SP-D adalah
glikoprotein kolagen yang besar, multisentrik, dengan berat sekitar 43 kD yang memegang peranan
penting dalam imunitas awal dan pertahanan melawan inhalasi mikroorganisme dan partikel. SP-D
juga merupakan fungsi utama dalam regulasi hemostatik surfaktan di dalam paru dengan mengatur
diproduksi terutama oleh pneumosit tipe II di dalam paru. Asap rokok dapat meningkatkan kadar
SP-D di dalam serum. Di paru SP-D berguna untuk pertahanan paru dari oksidan bebas, inflamasi
dan stres infeksi. Walaupun demikian, ekspresi sistemik SP-D dapat berbahaya. Peningkatan SP-D
berhubungan dengan semakin beratnya penyakit dan berkurangnya status kesehatan. Dari
percobaan klinis multisenter yang terbaru didapatkan data yang signifikan dimana inhalasi
flutikason propionat atau kombinasinya akan menyebabkan penurunan SP-D dan menigkatnya
kualitas kesehatan serta fungsi paru pada pasien PPOK sedang hingga berat.34
Gambar 2.6. Kombinasi LABA dan inhalasi kortikosteroid memutus siklus berat pada PPOK26
Efek salmeterol pada fungsi paru pasien PPOK biasanya terlihat dalam 2 jam setelah inhalasi dosis
pertama, dan onset bronkodilator ini tidak berbeda dengan yang dijumpai pada pasien asma.
Perubahan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dilaporkan terjadi pada 24 jam setelah inhalasi.
Sementara efek flutikason propionat baru terlihat pada 1 sampai 2 hari pengobatan. Vetsbo dkk
terapi dan respon maksimum terhadap VEP1 serta APE dalam 2 minggu terapi.27 Sementara
Pinto-Plana dkk (2006) memperlihatkan hubungan yang signifikan antara penggunaan jangka panjang
inhalasi flutikason propionat dengan atau tanpa salmeterol dengan menurunkan level C-reactive
protein (CRP) pada pasien PPOK yang mendapatkan terapi kombinasi.34 Penelitian yang
dilakukan oleh Jing-pin dkk (2007) dengan memberikan kombinasi salmeterol(50µg)/flutikason
propionat (500µg) pada pasien PPOK di Cina mendapatkan hasil peningkatan fungsi paru dan
berkurangnya gejala klinis pada kelompok yang diberi perlakuan dibandingkan kelompok
plasebo.35 Make dkk (2005) yang melakukan penelitian selama 8 minggu pada pasien 361 pasien
PPOK derajat sedang hingga berat dengan menggunakan kombinasi salmeterol flutikason
propionat sebanyak 2 inhalasi perhari, mendapatkan hasil perbaikan VEP1 dan APE pagi,
berkurangnya gejala yang timbul pada malam hari, terbangun malam hari akibat gejala respirasi,
dan penggunaan harian salbutamol sebagai penolong saat eksaserbasi. Dal Negro dkk (2003) yang
melakukan penelitian pada 18 pasien PPOK yang diobservasi selama 52 minggu, mendapatkan
penurunan eksaserbasi selain peningkatan VEP1 pada kelompok yang diberikan
salmeterol/flutikason propionat.
Peninjauan sistemik terhadap penelitian kombinasi salmeterol/flutikason propionat yang
dilaporkan oleh Sin dkk (2003) dan Nannini dkk (2004) menyimpulkan terapi kombinasi lebih
efektif dibandingkan plasebo, secara klinis terjadi peningkatan fungsi paru, berkurangnya
frekuensi eksaserbasi dan skor kualitas hidup. Barnes dkk (2006) yang melakukan biopsi bronkus
untuk mengukur inflamasi saluran napas, mendapatkan kelompok yang diterapi dengan
salmeterol/flutikason propionat jumlah sel T CD8 dan CD4 akan berkurang. Tetapi rasio CD8/CD4
tidak berubah. Dan terdapat sedikit penurunan jumlah netrofil pada kelompok ini. Dan yang
pasien serta meningkatnya kualitas hidup pada pasien PPOK, menegaskan efek
salmeterol/flutikason propionat pada inflamasi sistemik adalah merupakan efek sekunder terhadap
inflamasi sistemik tersebut. Dan kontrol terhadap inflamasi sistemik merupakan hasil kontrol
2.5. Kerangka Konsep
PPOK
Inflamasi Paru
pe↗ sel inflamasi : netrofil, makropag limposit T CD8
pe↗ mediator inflamasi: TNFα, CRP, IL-6, IL-8
Perubahan Anatomi Paru
Inhalasi salmeterol/flutikason propionat 50/500µg Perubahan Fungsi Paru
Peningkatan Kualitas Hidup
Gangguan Sistemik
Penurunan Kualitas Hidup
me↘ edema saluran napas me↘ hiperresponsif paru me↘ mediator / sel inflamasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2.1.1. Epidemiologi
Kebanyakan informasi tentang PPOK mengenai prevalensi, morbiditas, dan mortalitas
berasal dari negara berkembang. Data prevalensi dan morbiditas biasanya diperkirakan lebih
rendah dari data yang sebenarnya karena penyakit ini biasanya tidak terdiagnosis sampai adanya
gejala klinis dan perburukan. Penelitian yang dilakukan dari tahun 1990 hingga 2004 pada 28
negara mendapatkan prevalensi PPOK lebih tinggi pada pasien perokok dibandingkan bukan
perokok. Diperkirakan prevalensi pasien PPOK derajat sedang hingga berat sekitar 6,3%. Di
Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta pasien PPOK yang dirawat jalan, 1,5 juta yang
dirawat di departemen emergensi, dan 673.000 yang dirawat inap.11,12,13,14 Di Indonesia tidak ada
data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986
menunjukkan asma, bronkitis kronik, dan empisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab
kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT tahun 1992 menunjukkan angka
kematian akibat asma, bronkitis kronik, dan empisema menduduki peringkat ke-6 dari 10
penyebab kematian tersering di Indonesia.15 Sementara SKRT Departemen Kesehatan Republik
Indonesia tahun 1995 menunjukkan PPOK diperingkat ke-5 sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Data di RS. Persahabatan sebagai pusat rujukan paru nasional menunjukkan PPOK
menduduki peringkat ke-4 dari jumlah pasien yang dirawat.5
2.1.2. Patogenesis, Patologi dan Patofisiologi
Perubahan patologi yang khas pada penderita PPOK di saluran napas besar berupa infiltrasi
kecil terjadi fibrosis, di parenkim paru terjadi terjadi empisema, serta di pembuluh darah pulmonal
berupa infiltrasi sel-sel radang pada dinding pembuluh darah pulmonal.16 Inhalasi asap rokok dan
partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi pada paru yang menjadi dasar seseorang
menderita PPOK. Respon inflamasi ini merangsang kerusakan jaringan parenkim sehingga terjadi
empisema dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan normal (menyebabkan fibrosis
di saluran napas kecil). Perubahan patologi ini akan menyebabkan air trapping dan hambatan
aliran udara yang progresif. Inflamasi dan perubahan struktur pada saluran napas ini akan berlanjut
sesuai dengan derajat penyakit dan bertahan meskipun telah berhenti merokok.11
Inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan pada pasien PPOK merupakan respon
inflamasi saluran pernapasan terhadap iritan kronik seperti asap rokok dan partikel terinhalasi
lainnya. Inflamasi paru akan dijelaskan lebih lanjut oleh stres oksidatif dan meningkatkan jumlah
proteinase paru. Mekanisme ini secara bersamaan menimbulkan karakteristik perubahan patologi
Gambar 2.1. Patogenesis PPOK11
Biomarker dari stres oksidatif (seperti hydrogen peroxide, 8-isoprostane) meningkat pada
pasien PPOK. Oksidan terbentuk oleh asap rokok dan partikel terinhalasi lainnya, dan dilepaskan
dari sel inflamasi yang teraktivasi seperti makropag dan netrofil. Dan terdapat penurunan
antioksidan endogenus pada pasien PPOK. Stres oksidatif mengaktivasi gen inflamasi, inaktifnya
antiprotease, merangsang pembentukan mukus, dan merangsang eksudasi plasma. Hipersekresi
mukus disebabkan juga oleh metaplasia dengan peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa terhadap iritasi kronik oleh asap rokok dan zat terinhalasi lainnya. Beberapa
mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus. Sejumlah protease berasal dari sel
inflamasi dan sel epitel meningkat jumlahnya pada pasien PPOK. Protease memerantai kerusakan
dari elastin, komponen jaringan konektif utama, yang merupakan bagian penting dalam terjadinya
2.2. Inflamasi Pada PPOK
PPOK memiliki karakteristik berupa pola inflamasi lokal dan sistemik dimana sel
inflamasi yang berperan di dalamnya terdiri dari netrofil, makropag, dan sel limposit T CD8. Sel
ini melepaskan mediator inflamasi dan berikatan dengan struktur sel pada saluran napas serta
parenkim paru.11,16 Netrofil merangsang hipersekresi mukus. Netrofil berperan sebagai sel kunci
dalam terjadinya empisema dan hal ini diketahui sejak defisiensi α1-antitripsin memiliki hubungan
dengan penyakit ini. Analisa terhadap otot polos saluran napas memperlihatkan hubungan antara
infiltrasi netrofil dengan air trapping dan beratnya obstruksi saluran napas. Para peneliti
memperkirakan bahwa mediator inflamasi akan berakibat terhadap perubahan struktur dan
kontraktilitas otot saluran napas, dan menyebabkan obstruksi saluran napas perifer.17 Makropag
sebagai sel inflamasi utama akan melepaskan reactive oxygen species (ROS), faktor kemotaktik,
sitokin inflamasi, aktivasi kelenjar mukus, dan protein matriks ekstraseluler. Juga termasuk
kumpulan dari matrix metalloprotease enzymes (MMPs). Pada PPOK fungsi limfosit T CD8
adalah merangsang apoptosis sel. Penelitian lainnya mendapatkan aktivitas dari limfosit T CD8
dalam terbentuknya empisema.17 Sejumlah besar mediator inflamasi seperti leukotrien B4, IL-8,
IL-6, TNF-α akan meningkat pada pasien PPOK. Penarikan sel inflamasi dari sirkulasi (faktor
kemotaktik), akan menyebabkan kerusakan pada struktur paru atau bertahannya inflamasi
netrofilik.11,16,18 Inflamasi PPOK ditandai dengan meningkatnya jumlah netrofil dan sel limfosit T
CD8, sedangkan pada asma terjadi peningkatan jumlah eosinofil dan sel limfosit T CD4. Mediator
inflamasi dan sel inflamasi yang aktif termasuk Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan
Interleukin-6 (IL-6) akan dilepaskan ke sirkulasi sistemik pasien PPOK. Beberapa penelitian
memperlihatkan penurunan fungsi paru berhubungan dengan meningkatnya faktor inflamasi
morbiditas pasien PPOK. Kontribusi kronik, dan low-grade inflammation akan menyebabkan
resiko penyakit sistemik lainnya, sebagai contoh meningkatnya resiko arterosklerosis, gagal
jantung kronik, obesitas maupun diabetes. Meningkatnya inflamasi sistemik akan merangsang
peningkatan mediator seperti C-reactive protein (CRP) yang memberikan kontribusi terhadap
terjadinya disfungsi otot skeletal, berat badan menurun, depresi, osteoporosis dan berkurangnya
status kesehatan. Meningkatnya TNF-α dan IL-6 berhubungan dengan arterosklerosis. Dan yang
terbaru didapatkan bahwa meningkatnya IL-6 berhubungan dengan meningkatnya prevalensi
resistensi insulin pada pasien PPOK.19,20 Intensitas inflamasi sistemik akan meningkat saat PPOK
eksaserbasi. Asal inflamasi sistemik pada pasien PPOK yaitu dari asap rokok, hiperinflasi paru,
hipoksia jaringan, disfungsi otot, dan bone marrow.20 Penurunan VEP1 berasal dari inflamasi dan
penyempitan saluran napas perifer, sementara penurunan pertukaran gas yang berasal dari
kerusakan parenkim dari empisema. Pada inflamasi yang berlanjut, fibrosis dan eksudasi pada
saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan VEP1 dan perbandingan VEP1/KVP. Obstruksi
saluran napas perifer yang progresif akan memerangkap udara selama ekspirasi menghasilkan
hiperinflasi yang akan mengurangi kapasitas inspirasi dan akan menyebabkan sesak napas dan
keterbatasan kepasitas latihan. Abnormalnya pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan
hiperkapnia pada pasien PPOK yang beratnya sejalan dengan perjalanan penyakit.11
2.3. Diagnosis dan Klasifikasi PPOK
Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan dijumpai tanda
inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan pada pasien dengan gejala klinis berupa sesak
napas, batuk kronik atau produksi sputum. Pada pasien PPOK derajat ringan sering dijumpai
batuk berdahak pada pagi hari sementara pada pasien PPOK derajat sedang gejala klinis jelas
Dijumpainya riwayat pajanan seperti riwayat merokok, terpajan zat iritan inhalasi yang bermakna
di tempat kerja. Dari pemeriksaan fisis pada PPOK dini tidak dijumpai kelainan, sedang pada
PPOK yang lanjut dari inspeksi dapat dijumpai pursed-lip breathing, barrel chest, penggunaan
otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga. Dari pemeriksaan fremitus
melemah, pada perkusi dijumpai hipersonor, sedangkan dari auskultasi dijumpai suara napas
melemah, ekspirasi memanjang, terdapat ronki kering atau mengi, bunyi jantung terdengar jauh.
Pemeriksaan foto toraks didapatkan gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diapragma mendatar,
corakan bronkovaskuler meningkat, bulla, jantung pendulum.1,15 Diagnosis harus dikonfirmasi lagi
dengan spirometri. Pada PPOK derajat ringan terkadang spirometri didapat normal. Hasil
spirometri berupa VEP1/KVP < 70% dan VEP1 < 80% prediksi dianggap sebagai adanya hambatan
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.10 Apabila fasilitas spirometri tidak tersedia,
peakflow meter dapat digunakan untuk mengukur Arus Puncak Ekspirasi (APE) walau kurang
tepat tetapi dapat dipakai sebagai alternatif untuk memantau variabiliti harian pagi dan sore dengan
nilai yang didapat tidak lebih dari 20% prediksi.15 Pemeriksaan khusus yang tidak rutin dilakukan
antara lain : uji bronkodilator yang dilakukan sekali saja pada saat penegakkan diagnosis, dapat
menyingkirkan diagnosis asma. Setelah pemberian inhalasi bronkodilator sebanyak 8 hisapan,
sekitar 15 sampai 20 menit kemudian diukur perubahan nilai VEP1 atau APE, akan dijumpai
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal. Uji kortikosteroid dilakukan dengan menilai
perbaikan faal paru setelah pemberian oral kortikosteroid (prednison atau metilprednisolon)
sebanyak 30 sampai 50 mg per harinya selama 2 minggu atau dengan inhalasi steroid selama 6
minggu hingga 3 bulan,dan dijumpai peningkatan VEP1 sebanyak 200 ml atau 15% dari nilai awal.
Adanya respon terhadap kortikosteroid akan menjadikannya salah satu terapi regular bersama
ATS dan ERS beserta GOLD membuat suatu sistem penderajatan untuk PPOK berdasarkan nilai
VEP1 prediksi. Ada 5 derajat untuk klasifikasi PPOK dari ringan (derajat I) hingga berat (derajat
IV) seperti yang terlihat pada tabel 2.1.12
Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK11 Gold 2009
VEP1 <50 dengan gagal napas kronis
Alat ukur kualitas hidup umumnya meliputi spektrum fungsi yang luas berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari sehingga dapat dipakai sebagai alat ukur berbagai macam penyakit.
Beberapa contoh kuesioner yang dapat dipakai adalah Chronic Respiratory Diseases
Questionnaire (CRDQ) dari Guyat dkk dan St. George’s’s Respiratory Questionnaire (SGRQ) dari
Jones dkk. SGQR merupakan kuesioner spesifik untuk mengukur kualitas hidup penderita saluran
napas kronik. Terdiri dari 76 butir yang dibagi dalam 3 komponen yaitu :
- Gejala penyakit yang berhubungan dengan gejala saluran napas, frekwensi dan beratnya
gejala tersebut.
- Aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan yang menyebabkan sesak napas atau
terhambat karena sesak.
- Dampak yang meliputi rangkaian aspek yang berhubungan dengan fungsi sosial dan
Setiap jawaban kuesioner mempunyai bobot yang diambil secara empiris. Bobot paling kecil = 0,
bobot paling besar = 100. Setiap komponen bobot untuk jawaban positip dijumlahkan. Nilai
dihitung dengan membagi jumlah bobot dengan nilai maksimum untuk komponen tersebut dan
hasil dinyatakan dalam persen. Nilai yang lebih rendah menggambarkan keadaan kesehatan yang
lebih baik.5
Saat ini telah dibuat suatu metode yang lebih sederhana, dapat dipercaya yaitu COPD assessment
test (CAT)/ Uji penilaian PPOK yang terdiri dari 8 pertanyaan dengan skor antara 0 sampai 40. Hal
ini memudahkan pasien untuk mengisinya. Pertanyaan ini diambil dari derajat penyakit, dengan
kesimpulan berupa ringan hingga berat. Skor yang tinggi menunjukkan status kesehatan yang
buruk. Pertanyaan meliputi tentang batuk, dahak, dada tertekan, sesak napas, kemampuan menaiki
tangga, keterbatasan aktivitas di rumah, kepercayaan diri untuk meninggalkan rumah, tidur dan
energi. Pertanyaan lebih ditekankan pada sesak saat menaiki tangga pada pasien dengan keadaan
ringan, pertanyaan untuk pasien dengan keadaan berat lebih ditekankan pada kepercayaan diri
untuk meninggalkan rumah. Skor diatas 30 menunjukkan keadaan yang sangat berat, skor diatas 20
menunjukkan keadaan yang berat, skor antara 10 sampai 20 menunjukkan keadaan yang sedang
dan skor dibawah 10 menunjukkan keadaan yang ringan.23
2.4. Penatalaksanaan PPOK
Secara umum tujuan penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Hal ini dapat dicapai melalui penatalaksaan PPOK yang secara umum meliputi :
Edukasi; Obat-obatan berupa bronkodilator yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi;
Terapi oksigen; Ventilasi mekanik; Nutrisi; Rehabilitasi dengan latihan fisis, latihan pernapasan
dan Fisioterapi dada.15 Terapi pada setiap derajat PPOK tertera pada gambar 2.2 di bawah ini.
2.4.1. Penatalaksanaan PPOK stabil
Algoritme PPOK stabil
EDUKASI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI
Berhenti merokok
Gambar 2.3. Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil1
Strategi pentalaksanaan berdasarkan penilaian derajat penyakit dan respon terhadap terapi,
hal ini tertera pada gambar 3 di atas. Derajat penyakit ditentukan oleh gejala dan hambatan aliran
napas serta frekwensi eksaserbasi, komplikasi, gagal napas, penyakit komorbid serta status
kesehatan pasien.21 Semua golongan bronkodilator akan meningkatkan kapasitas latihan pada
dengan menggunakan bronkodilator kerja panjang lebih efektif dibandingkan pengobatan dengan
bronkodilator kerja singkat (evidence A).11 Banyak penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil
terapi kombinasi inhalasi β2 agonist kerja panjang dan kortikosteroid lebih memberikan efek yang
menguntungkan terhadap fungsi paru, penurunan gejala harian, penurunan frekuensi eksaserbasi
dan perbaikan status kesehatan pasien PPOK dibandingkan inhalasi obat tunggal. Pedoman GOLD
(2008) merekomendasikan penanganan PPOK dengan pendekatan yang bertahap dimana inhalasi
bronkodilator diperkenalkan sejak awal pada pasien PPOK, dan inhalasi kortikosteroid
ditambahkan hanya pada keadaan yang berat (VEP1 <50% prediksi), eksaserbasi yang berulang,
dan adanya respon uji faal paru terhadap inhalasi kortikosteroid. Pedoman penatalaksanaan PPOK
yang direkomendasikan oleh ATS maupun ERS tahun 2004 juga menyatakan adanya efek yang
menguntungkan dari penambahan terapi kombinasi terhadap fungsi paru, berkurangnya gejala,
frewensi eksaserbasi serta kualitas hidup pada pasien dengan pemeriksaan VEP1 <50%.24
Sementara bronkodilator kerja singkat direkomendasikan sesuai dengan kebutuhan. Bronkodilator
yang tersedia untuk dipergunakan terdiri dari 3 kelompok: antikolinergik, agonist simpatomimetik,
dan metylxantin. Ketiganya memiliki kemampuan dalam meningkatkan fungsi paru pada pasien
PPOK. Antikolinergik (khususnya tiotropium) akan menyebabkan relaksasi otot polos saluran
napas melalui antagonis dari asetilkolin reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran napas,
sementara β2-agonist akan menyebabkan bronkodilasi melalui perangsangan reseptor β2,
meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (juga terjadi inhibitor phospodiesterase, seperti
metylxantin oral). β2-agonist kerja singkat seperti albeterol onsetnya lebih cepat tetapi durasinya
lebih singkat dibandingkan antikolinergik, sehingga merupakan obat yang digunakan untuk
mengatasi bronkospasme akut. Inhalasi antikolinergik seperti ipratropium, memiliki onset yang
2.4.2. Peranan Salmeterol/Flutikason propionat dalam Penatalaksanaan PPOK
LABA merupakan bronkodilator lini satu dalam penatalaksanaan PPOK stabil. Efikasi dan
keamanan dalam mengatasi obstruksi saluran napas sejalan dengan menurunnya frekwensi
eksaserbasi dan beratnya simptom dengan meningkatnya kualitas hidup. Yang menarik, beberapa
penelitian mendokumentasikan bahwa inhalasi LABA yaitu salmeterol dan formoterol lebih efektif
sebagai pengobatan regular untuk jangka panjang dibandingkan dengan antikolinergik pada pasien
PPOK stabil. Hal ini sangat penting karena selama ini antikolinergik lebih dipilih sebagai terapi
lini satu jangka panjang pada pasien PPOK stabil. LABA yang diberikan sebagai terapi kombinasi
dengan antikolinergik lebih efektif dibandingkan dengan menambahkan SABA pada terapi pasien
PPOK stabil.26
Sedikitnya telah dilakukan 2 penelitian yang mengindikasikan bahwa pada pasien PPOK
berat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi akan mengurangi derajat eksaserbasi seperti sesak napas,
batuk berdahak dan mengi. Eksaserbasi akan memberikan pengaruh negatip terhadap kualitas
hidup serta biaya perawatan kesehatan. Saat ini, terdapat pilihan penggunaan inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi antara lain 500µg flutikason propionat, 800µg budesonid atau 1000µg
beklometason dipropionat per hari.6
Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa inhalasi
kortikosteroid tidak mempengaruhi sel dan mediator inflamasi pada sputum pasien PPOK stabil,
tetapi penelitian lain melaporkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid merangsang respon
biologis yang berhubungan dengan perubahan akhir hasil klinis. In vitro kortikosteroid mengurangi
penarikan dan aktivasi kemotaksis netrofil. In vivo, kortikosteroid meningkatkan kapasitas
inhibisi elastase netrofil dan meningkatkan penurunan netrofil dalam mukus. Lebih lanjut
memberikan efek pada sebagian besar sel inflamasi PPOK. Inhalasi kortikosteroid juga
merangsang penurunan jumlah IL8 dan myeloperoxidase pada cairan BAL, sama seperti terjadinya
penurunan jumlah sel dan proporsi netrofil sputum. Penemuan ini menyokong penggunaan inhalasi
kortikosteroid dalam penatalaksanaan PPOK stabil.26 Salpeter dkk (2008) melakukan evaluasi
terhadap 22 penelitian dengan waktu minimum 3 bulan terhadap efikasi dan keamanan dari β2
-agonist (SABA dan LABA) dibandingkan dengan plasebo dan antikolinergik pada PPOK stabil.
Hasilnya, hanya 12 penelitian yang membandingkan LABA dengan plasebo atau antikolinergik
(7,449 pasien). Mereka mendapatkan bahwa β2-agonist mengurangi resiko eksaserbasi PPOK yang
berat. Kemudian dilakukan evaluasi penelitian dengan waktu minimum 1 bulan dan didapatkan 17
penelitian dengan jumlah pasien 13,845 orang. Hasilnya LABA mengurangi eksaserbasi PPOK
yang berat dan memberikan efek yang menguntungkan berdasarkan pemeriksaan terhadap uji faal
paru, meningkatnya kualitas hidup dan berkurangnya penggunaan obat-obatan untuk mengatasi
serangan dibandingkan dengan plasebo.10 Pada Trial of Inhaled Steroids And Long-Acting β
2-Adrenoceptor Agonists (TRISTAN) memperlihatkan onset perbaikan yang cepat pada pengobatan
dengan kombinasi salmeterol dan flutikason propionat.27 Pada pengamatan in vitro menggunakan
fibroblast primer paru manusia dan sel otot polos pembuluh darah, LABA merangsang translokasi
reseptor glukokortikoid (GR) dari sitosol sel sampai ke inti sel dan merubah respon GR. LABA
memiliki kerja yang serupa dengan kortikosteroid dalam menekan inflamasi termasuk kerjanya
pada histon asetilasi dan deasetilasi atau melalui efek aktivasi faktor transkripsi nuclear factor
(NF). Yang terbaru diketahui bahwa kombinasi glukokortikoid dan LABA sejalan dengan aktivasi
GR meningkatkan ikatan protein yang termasuk kedalam kelompok faktor transkripsi yang
merupakan proses differensiasi dari sejumlah jaringan. Lebih lanjut, pemberian secara bersamaan
Data ini akan memberi sokongan terhadap pemikiran bahwa kombinasi dua obat memiliki
keuntungan jika diberikan secara bersamaan.26
Salmeterol memiliki efek penghambatan mediator inflamasi, sel mast (seperti histamine,
leukotrien, dan prostaglandin D2), mengurangi edema saluran napas dengan mengurangi bocornya
plasma, dan mengurangi hiper responsif bronkus. Selain itu, stimulus reseptor epitel β2
-adrenoreseptor meningkatkan pergerakkan silia sehingga terjadi peningkatan daya pembersihan
mukosiliari.9 Salmeterol yang nama kimianya adalah 2 - (hydroxymethyl) - 4 - [1 - hydroxyl – 2
- [6-(4-phenylbutoxy) hexylamino] ethyl] -phenol dan formulasi kimianya C25H37NO4 adalah
LABA pertama yang diperkenalkan di Amerika Serikat. Molekul dasarnya adalah mirip albuterol
dengan rantai etilamin menyambung hingga rantai atom karbon-10 yang berakhir sebagai
lingkaran benzyl seperti yang terlihat pada gambar 2.4 di bawah ini. Rantai panjang ini
menyebabkan lingkaran terminal yang inaktif berkhir pada reseptor β2, dan menyebabkan juga
bagian aktif dari molekul β2 berulangkali lepas dan menempel kembali pada reseptor. Hal inilah
yang menyebabkan kerja salmeterol bertahan hingga 12 jam dengan range 8 sampai 20 jam.
Salmeterol merupakan molekul lipofilik yang bereaksi dengan lemak dan memiliki molekul mass
sekitar 415,57g/mol. Salmeterol merupakan obat yang selektif, bersifat memanjang ke
samping melalui membran sel hingga target β2-adrenoreseptor yang merupakan reseptor utama
pada otot polos bronkus. Salmeterol dapat berikatan berulangkali pada reseptor β2 tempat
ikatannya, dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dry powder yang penetrasi ke mukosa
tenggorokan. Di tenggorokan salmeterol diserap, didistribusikan, dimetabolis dan diekskresikan.
Salmeterol dapat diberikan secara regular sebanyak 1 sampai 2 semprot setiap 12 jam. Meskipun
salmeterol memiliki efek antiinflamasi, sebaiknya tetap diberikan kortikosteroid secara bersamaan.