1 BAB III
TEMUAN PENELITIAN
Dalam bab ini saya akan membahas temuan hasil penelitian terkait studi kasus
kedukaan X mahasiswi Fakultas Teologi UKSW pasca kematian kedua orang tua.
Mengawali deskripsi hasil penelitian ini, saya terlebih dahulu akan menguraikan lokasi
penelitian dan identitas dari para partisipan.
3.1 Lokasi Penelitian dan Identitas Partisipan
Penelitian ini dilakukan di Kampus UKSW Jalan Diponegoro No. 52-60 dan
Asrama Mahasiswa UKSW Jalan Kartini 11a Salatiga.Mengingat partisipan
merupakan mahasiswi Fakultas Teologi UKSW, maka lokasi penelitian lebih intent
difokuskan pada lingkungan sosial dimana partisipan berada. Dalam penelitian ini
saya melibatkan empat orang partisipan yakni X sebagai partisipan utama yang
mengalami kehilangan kedua orang tua karena kematian dan tiga orang sahabat
terdekat X yakni NP, MMB dan MES. Ada pun identitas para partisipan sebagai
berikut:
Tabel1. Identitas Partisipan Utama Penelitian
Identitas Partisipan utama penelitian
Nama X
2
Umur 19 tahun
[image:2.612.98.523.130.625.2]Pekerjaan Mahasiswi
Tabel 2. Identitas Partisipan Penunjang Penelitian
Identitas Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3
Nama N.P M.M.B M.E.S
Jenis kelamin Perempuan Perempuan Perempuan
Umur 18 tahun 19 tahun 19 tahun
Pekerjaan Mahasiswi Mahasiswi Mahasiswi
Status Sahabat dari X Sahabat dari X Sahabat dari X
3.2 Kehilangan yang dialami X karena Kematian Kedua Orang Tua.
X merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya adalah seorang
pendeta yang melayani di daerah asalnya dan ibunya ialah seorang perawat. Dalam
keluarga X, kedua orang tuanya selalu menanamkan kemandirian bagi anak-anaknya
dan tidak memaksakan keinginan atau kemauan mereka bagi anak-anak. Bagi X,
ajaran dan didikan seperti inilah yang membuat dirinya begitu kuat dalam menerima
kematian kedua orang tua.1 Saat ini X menjadi salah satu mahasiswi Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana dan berdomisili di Asrama Mahasiswa UKSW Jln.
Kartini 11a Salatiga. Peristiwa kematian kedua orang tua yang dialami oleh X diawali
1
3
dengan kabar kematian sang ayah yang diterima oleh X via telepon dari pihak
keluarga. Ayah X meninggal pada tanggal 18 Maret tahun 2015 pukul 01.00 WITA,
sehingga X diminta pulang ke daerah asal, karena sang ayah direncanakan akan
dimakamkan pada tanggal 20 Maret tahun 2015 pukul 13.00 WITA. Sebelum acara
pemakaman sang ayah hendak dilaksanakan, tepat pukul 08.00 WITA sang ibu
meninggal dunia tanpa menunjukkan gejala-gejala sakit tertentu.2 Kedukaan yang
dialami oleh X sebagai akibat dari kehilangan karena kematian kedua orang tua dapat
disebut sebagai kedukaan yang bertumpuk. Disebut kedukaan bertumpuk karena
belum terselesaikannya kedukaan karena kematian sang ayah, namun telah muncul
lagi kedukaan karena kematian sang ibu. Peristiwa kehilangan yang dialami oleh X
menurut saya merupakan salah satu bentuk kehilangan yang jarang terjadi. Peristiwa
kehilangan yang tidak biasa seperti ini akan memungkinkan munculnya kedukaan
yang beragam dari X. Kedukaan yang beragam meliputi munculnya gejala-gejala atau
respon yang beragam, serta beragamnya tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh
seorang penduka.
3.3 Respon X terhadap Peristiwa Kehilangan
Akibat dari kehilangan karena kematian kedua orang tua, X mengalami
kedukaan sebagai respon terhadap kehilangan yang dialami. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan saya terhadap X, N.P, M.M.B dan M.E.S, ditemukan
2Hasil wawancara dengan X
4
beberapa gejala kedukaan yang diperlihatkan oleh X sebagai respon terhadap peristiwa
kehilangan karena kematian kedua orang tua antara lain:
3.3.1 Fisik
Secara fisik, X mengalami dua gejala sebagai respon dari kehilangan yang
diakibatkan karena kematian kedua orang tua yaitu menangis dan hiperaktif. Gejala
awal yang diperlihatkan X terhadap peristiwa kehilangan yang dialaminya ialah
menangis. Menurut X, dirinya tidak mampu membendung air matanya mendengar
kabar kematian sang ayah, disusul dengan kematian sang ibu.3 Penuturan X ini
dibenarkan pula oleh ketiga partisipan lainnya, yakni bahwa kabar kematian yang
diterima oleh X membuat dirinya terkejut dan menangis.4 Di sisi lain, X sempat
dilarang oleh ibunya untuk menangis ketika kematian sang ayah.
Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa, gejala menangis yang
diperlihatkan oleh X merupakan gejala universal yang akan dialami oleh setiap
penduka. Hal ini disebabkan karena setiap penduka yang mengalami kehilangan sering
tidak memiliki banyak kata-kata untuk diucapkan atau dirangkai untuk mengukapkan
kesedihannya, sehingga sering berujung pada tangisan. Betapa pun kuatnya seorang
penduka ketika mengalami kehilangan orang-orang terkasih, pasti sulit dalam
menahan air mata. Hal ini pula yang menurut saya dialami oleh X ketika menghadapi
peristiwa kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua.
3
Hasil wawancara dengan X, 4 Desember 2015, pukul 10.00 WIB.
4
5
Gejala kedua yang diperlihatkan X ialah hiperaktif. Pasca kematian kedua
orang tua, X memperoleh beasiswa imbalan kerja dari pihak Universitas Kristen Satya
Wacana. Demi memenuhi persyaratan beasiswa yang sementara diperoleh, X harus
bekerja ekstra, lantas mengesampingkan kondisi tubuhnya.5 Selain aktif bekerja,
dalam proses perkuliahan X juga memperlihatkan semangat yang begitu tinggi untuk
terus belajar, serta tekun mngikuti kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan di
Fakultas Teologi UKSW.6 Berdasarkan temuan ini menurut saya, kehilangan yang
dialami oleh X berdampak bagi peningkatan aktivitas keseharian X.
3.3.2 Mental
Secara mental, X mengalami kesulitan menerima kematian kedua orang
tuanya, sebab menurut X semasa hidup hubungan X dan kedua orang tuanya terjalin
begitu baik.7 Sejalan dengan penuturan X, menurut sahabatnya N.P, sebagai anak
bungsu di dalam keluarga, X dikenal sebagai anak kesayangan dari sang ayah,
sehingga berita kematian sang ayah disusul dengan kematian sang ibu sempat
membuat X mengalami kesulitan menerima kematian kedua orang tuanya.8 Kedekatan
yang terjalin antara X dan kedua orang tua berimbas pada sering dimimpikannya
kedua orang tua. Pasca kematian kedua orang tua, dalam tidurnya X sering bermimpi
5
Hasil wawancara dengan M.E.S. 6Hasil wawancara dengan N.P.
7
Hasil wawancara dengan X, 4 Desember 2015.
8
6
bertemu dengan kedua orang tuanya.9 Ada pun beberapa temuan yang diperoleh
sebagai berikut:
Papa saya rindu, kenapa papa? kenapa saat saya rindu seperti ini Papa datang dalam
saya punya mimpi siang begini peluk saya saat saya menangis dan dalam Papa punya
pelukan baru saya sadar kalau Papa Mama sudah tidak ada, Telalu sakit, kenapa saya
sadar seperti ini dalam tangis dan tidak ada Papa Mama.10
Terima kasih Tuhan sudah menghadirkan Papa untuk saya peluk meski hanya dalam
mimpi. Setidaknya saya masih ketemu Papa, masih menangis di Papa punya pelukan,
dan Papa selalu membuat saya sadar kalau tidak ada orang yang bisa seperti Papa
untuk saya. Terima kasih Papa, selalu jadi orang terbaik meski dunia kita telah
berbeda. I miss and love you father Mother.11
Papa Mama hadir lagi. Terima kasih telah hadir walau hanya dalam mimpi, setidaknya
di awal bulan keluarga saya masih merasakan kehadiran Papa Mama. Meski selalu
tersadar dalam tangis saat menyadari Papa Mama tak di sampingku lagi. Terlalu
indah semua cerita kita, darah yang mengalir di tubuh ini selalu mengingatkan bahwa
selalu ada Papa Mama di hidupku.12
Hai Papa Mama.Apa kabar kalian? Aku cuma rindu. Itu saja13
Berdasarkan temuan di atas saya menyimpulkan bahwa, secara mental X
mengalami dua gejala sebagai bukti kedukaan dari kehilangan yang dialami yaitu
merasa sedih dan rindu akan seseorang atau sesuatu yang hilang. Kedua gejala yang
dialami X terjadi secara bersamaan sebagai respon dari kehilangan yang dialami.
Gejala-gejala yang dialami oleh X lantas memberi gambaran bagi saya bahwa salah
9Hasil pengamatan akun facebook X.
10
Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 19 September 2015, 14.12 WIB. 11
Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 19 September 2015, pukul 14.51WIB.
12Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 2 Oktober 2015, pukul 4.46 WIB. 13
7
satu elemen yang sangat menyedihkan dari anak-anak yang kehilangan orang tua
karena kematian ialah kemampuan untuk mempertahankan kenangan jangka panjang.
Saat kenangan indah bersama orang tua hilang secara tragis, tidak semua anak lantas
dapat menyesuaikan dirinya, sehingga hal inilah yang kemudian menurut saya dialami
pula oleh X pasca kematian kedua orang tuanya.
3.3.3 Sosial
Secara sosial, seorang penduka akan cenderung mengurung diri atau menutup
diri terhadap lingkungan sekitar pasca mengalami kehilangan, namun hal ini tidak
terjadi pada X. Menurut X, dua hari setelah pemakaman kedua orang tua, X diminta
untuk kembali ke Salatiga oleh pihak keluarga. Hal ini dilakukan oleh pihak keluarga
agar X tidak larut dalam kesedihannya bila tetap tinggal di rumahnya. Sekembalinya
Salatiga, aktivitas sebagai mahasiswi Fakultas Teologi UKSW kembali dijalani seperti
semula. Lingkungan asrama, kampus dan sahabat-sahabat X juga memberikan
dukungan yang positif terhadap peristiwa kehilangan yang dihadapi oleh X.14 Sejalan
dengan itu menurut M.E.S, dahulunya X adalah anak yang jarang bergaul di
lingkungan kampusnya dan dikenal introvert. Semenjak kematian kedua orang tuanya, X kini lebih banyak bergaul dan peduli dengan teman-temannya yang lain.15
Berdasarkan temuan ini menurut saya, peristiwa kehilangan yang dialami oleh X
berdampak terhadap perilaku X dengan lingkungan sosialnya.
14
Hasil wawancara dengan X.
15
8 3.3.4 Spiritual
Pada perisitiwa kehilangan yang dialami, X sempat mempertanyakan mengapa
peristiwa kematian kedua orang tua terjadi kepadanya, namun dibesarkan oleh orang
tua (ayah) yang berprofesi sebagai pendeta, menjadikan X bertumbuh sebagai anak
yang memiliki keyakinan yang sungguh terhadap Tuhannya, hal ini terlihat ketika X
diperhadapkan dengan peristiwa kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua
orang tua, X memiliki pemahaman bahwa:
“Kematian merupakan akhir dari sebuah kehidupan yang ditentukan langsung oleh sang pemilik kehidupan dan manusia tidak memiliki kuasa untuk mengatur, namun
cukup menerima saja.”16
Berdasarkan pemahaman X di atas menurut saya, dalam kekalutan karena
mengalami kehilangan tidak semua penduka akan hilang kepercayaannya kepada
Tuhan. Sebaliknya pengalaman kehilangan dapat menjadikan penduka lebih dekat
dengan Tuhan.
3.4 Tahap-Tahap Kedukaan yang dialami oleh X
Selain memaparkan tentang gejala-gejala kedukaan yang dialami oleh X
sebagai bukti terhadap kedukaannya, saya juga melakukan penelitian dengan bertolak
dari teori Westberg tentang 10 tahapan kedukaan.17 Tahapan-tahapan kedukaan ini
akan memberikan gambaran tentang bagaimana X menjalani kedukaannya pasca
kematian kedua orang tua. Menurut Westberg terdapat 10 tahapan yang akan dilalui
16
Hasil wawancara dengan X.
17
9
oleh seorang penduka, namun berdasarkan temuan di lapangan hanya delapan tahapan
kedukaan yang dilalui oleh X antara lain shock atau terkejut, mengungkapkan emosi, munculnya gejala-gejala fisik, depresi dan sangat kesepian, perasaan bersalah, kembali
ke kebiasaan awal, berpengharapan, menerima kenyataan.
1. Tahapan pertama: Shock
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa X mengalami shock pertama kali mendengar kabar kematian sang ayah yang kemudian disusul dengan kematian sang
ibu. X merasa terkejut karena sang ayah ataupun sang ibu tidak menujukkan
gejala-gejala sakit apapun sebelum kematian mereka. Menurut X, beberapa jam sebelum
ayahnya meninggal, sang ayah sempat menelepon X untuk meminta maaf, namun hal
ini tidak disadari oleh X sebagai tanda dari kematian sang ayah, sehingga kematian
sang ayah dan ibu yang terjadi dalam tenggang waktu yang dekat, membuat X dan
keluarganya merasakan kehilangan yang mendalam.18 Peristiwa yang dialami X
memberi gambaran bahwa kematian orang tua secara mendadak umumnya akan
menimbulkan konsekuensi besar terhadap perkembangan seorang anak yang
ditinggalkan, karena anak belum siap ditinggalkan orang tua yang begitu tiba-tiba dan
anak akan merasa kesulitan sepeninggal orang tuanya.
2. Tahapan kedua: mengungkapkan emosi
Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X
mengaku lebih banyak mengungkapkan emosinya dengan menangis. X dikenal
18
10
sebagai anak yang introvert terhadap sesuatu yang dirasakan, sehingga menangis menjadi pilihan dalam mengungkapkan emosi. Selain menangis, menurut
sahabat-sahabatnya cara X mengungkapkan emosi dapat pula diamati lewat media sosial.
Akun facebook dari X sering dijadikan tempat bagi X untuk mengungkapkan emosinya.19 Berdasarkan fakta di atas, saya menyimpulkan bahwa ketika seseorang
berada dalam stage yang diwarnai dengan kesedihan atau perasaan tidak nyaman, orang tersebut akan cenderung memiliki “sensitifitas” yang lebih tinggi atau memiliki
“daya magnet” yang membuat berbagai emosi negatif dan perasaan tidak nyaman
lainnya dapat muncul dari sebelumnya.
3. Tahapan ketiga: merasa depresi dan sangat kesepian
Hari-hari hidup yang dilalui tanpa kedua orang tua, membuat X kini merasa
kesepian. Menurut X, semasa hidup kedua orang tuanya sering menelepon dan
menanyakan kabar tentang dirinya, namun kini hubungan yang tejalin begitu intent
tidak lagi dirasakannya.
Bangun tidur ingin telepon Papa... Kebiasaan yang sulit dilupakan. Ya ampun. Sekarang nomornya Papa milikmu sayang.20
Kasih sayang dan perhatian yang selama ini diterima oleh X pun tidak lagi
diperoleh karena kematian kedua orang tua.21 Pasca kematian kedua orang tua,
19Hasil wawancara dengan ketiga partisipan penunjang.
20
Hasil pengamatan akun facebook X, diposting tanggal 3 Oktober 2015, pukul 17.58 WIB.
21
11
kakak X yang kini lebih berperan dalam menjaga X, namun menurut X frekuensinya
jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Menurut M.E.S pasca kematian kedua orang tua, X terkadang sedih dan mulai
membandingkan dirinya dengan teman-teman yang lain dengan berkata “teman-teman
omong orang tua, lalu saya?”.22
Menurut saya, perilaku X pada tahapan ini memberi
gambaran bahwa kesedihan yang muncul akibat rasa kehilangan yang begitu besar,
cenderung membuat individu tidak mampu untuk menerima kenyataan tersebut.
Perasaan kesepian dan sedih yang diperlihatkan X merupakan manifestasi dari
pengalaman subjektif X saat harus menghadapi kenyataan bahwa ikatan emosional
yang penting baginya kini telah berakhir.
4. Tahapan keempat: munculnya gejala-gejala fisik
Sejalan dengan berakhirnya proses pemakaman, menurut X gejala-gejala fisik
yang sempat dialami intensitasnya mulai menurun dan beberapa hilang dengan
sendirinya, namun salah satu gejala fisik yang masih bertahan ialah mati rasa.23
Penuturan X ini dibenarkan pula oleh ketiga sahabatnya yang lain.24 Berdasarkan
temuan ini menurut saya, gejala-gejala fisik yang dialami masing-masing penduka
berbeda-beda. Gejala-gejala fisik pada beberapa penduka cenderung dialami cepat,
namun beberapa gejala pada penduka akan dialami dalam tenggang waktu yang cukup
lama.
22
Hasil wawancara dengan M.E.S.
23
Hasil wawancara dengan X.
24
12
5. Tahapan kelima: panik
Perilaku panikjuga tidak dialami oleh X dalam peristiwa kehilangan yang
dialaminya,25 sehingga menurut saya perilaku panik tidak mutlak dialami oleh setiap
penduka yang mengalami kehilangan karena kematian.
6. Tahapan keenam: perasaan bersalah
Sebagai seorang anak yang sedang merantau untuk menuntut ilmu, X memiliki
keinginan untuk membanggakan kedua orang tuanya, namun sebelum keinginannya
tercapai kedua orang tuanya telah tiada. Menurut X:
“Saya pikir bila papa mati masih ada mama, tapi ternyata mama juga pergi. Kalau seperti ini mau apalagi”.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan perasaan bersalah dalam diri X,
sehingga pasca kematian kedua orang tuanya, X lebih tekun mengikuti proses kuliah.
Penuturan X ini di dukung dengan hasil wawancara dengan N.P, menurut N.P, X kini
lebih bersemangat dalam berkuliah, karena X ingin membuktikan kepada papa dan
mamanya bahwa dirinya dapat sukses tanpa kedua orang tua. Pada tahapan ini terlihat
bahwa X berupaya semaksimaul mungkin untuk membahagiakan kedua orang tua
yang telah tiada. Upaya yang dilakukan oleh X cukup beralasan, mengingat bahwa
sebagai seorang anak, X memiliki tanggung jawab untuk membahagiakan kedua orang
tua.
25
13
7. Tahapan ketujuh: permusuhan dan kebencian
Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian kedua orang tua, X
tidak menunjukkan perilaku permusuhan atau kebencian terhadap siapa pun. Menurut
X, pada awal kehilangan dirinya sempat mempertanyakan mengapa kedua orang
tuanya diambil secara bersamaan, namun setelah acara pemakaman X mulai meyakini
bahwa peristiwa kehilangan kedua orang tua yang dirinya hadapi merupakan jalan
Tuhan.
8. Tahapan kedelapan: kembali ke kebiasaan awal
Dua hari setelah acara pemakaman sang ayah dan ibu, X diminta oleh pihak
keluarga untuk kembali ke Salatiga. Setibanya di Salatiga, X langsung beraktivitas
seperti semula.
“Dua hari setelah pemakaman, saya langsung balik ke sini. Sampe disini saya langsung kuliah seperti biasa. Di asrama juga hidup biasa-biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Sudah itu saja”
Aktivitas sebagai seorang mahasiswi kembali dilakukan oleh X pasca kematian kedua
orang tuanya.26 Penuturan X ini dibenarkan oleh ketiga partisipan lainnya yakni bahwa
sesampainya di Salatiga, X langsung beraktivitas seperti biasanya.27 Berdasarkan fakta
ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan X untuk bersosialisasi kembali dengan
lingkungan pasca mengalami kehilangan bukanlah persoalan mudah, namun pilihan X
untuk kembali ke kebiasaan awal memberi gambaran bahwa X mulai menyadari
26
Hasil wawancara dengan X.
27
14
kehilangan yang dihadapi dan perlahan mulai menata kehidupannya pasca kematian
kedua orang tua.
9. Tahapan kesembilan: berpengharapan
Dalam kasus kehilangan yang disebabkan karena kematian, X tetap memiliki
pengharapan bahwa “kehidupan ini milik Tuhan dan manusia tidak dapat menambah
sejengkal pun hidupnya”.28
Menurut saya, pemahaman X ini mengindikasikan bahwa
dalam kedukaan seorang penduka masih tetap memiliki pengharapan kepada Tuhan.
10. Tahapan kesepuluh: menerima kenyataan
Seiring berjalannya waktu, intensitas kesulitan dalam menerima kematian
kedua orang tua berkurang. Menurut X “tidak ada gunanya larut dalam kesedihan,
karena kematian merupakan jalan Tuhan”.29
Pada tahapan ini jelas menunjukkan
bahwa X sudah dapat mengakui kehilangan yang terjadi, berusaha melalui kekacauan
emosional yang selama ini dialami, menyesuaikan diri dengan kondisi tanpa kehadiran
orang tua dan melepaskan ikatan dengan orang tua, sehingga menerima bahwa
kematian telah terjadi menjadi dasar bagi penyembuhan X.
28Hasil wawancara dengan X.
29