• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan: studi kasus di Polres Wonogiri T1 312012029 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan: studi kasus di Polres Wonogiri T1 312012029 BAB II"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

18

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.

KERANGKA TEORI

1. Pengertian Tindak Pidana Kehutanan

Tindak Pidana Kehutanan adalah meliputi serangkaian pelanggaran

peraturan yang mengakibatkan exploitasi sumber daya hutan yang berlebihan.

Rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan

pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang

berlaku dan berpotensi merusak hutan.1

Menurut Haba (2003: 1), Tindak pidana kehutanan adalah “suatu rangkaian kegiatan yang saling terkait, mulai dari produsen kayu illegal yang

melakukan penebangan kayu secara illegal hingga ke pengguna atau konsumen

bahan baku kayu. Kayu tersebut kemudian melalui proses penyaringan yang

illegal, pengangkutan illegal dan melalui proses penjualan yang illegal.”

Pengertian tindak pidana kehutanan secara umum adalah penebangan kayu

yang dilakukan, yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.

Menurut LSM Indonesia Telapak Tahun 2002, Pengertian tindak pidana

kehutanan adalah operasi atau kegiatan yang belum mendapat izin dan yang

merusak.2

Menurut Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, Pengertian tindak pidana kehutanan adalah semua kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan dan pengelolaan, serta perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum

1

Teguh Prasetyo et.al., Korupsi dan Illegal Logging, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 h. 13.

(2)

Indonesia. Lebih lanjut Global Forest Watch mengemukakan bahwa tindakan pidana kehutanan terbagi atas dua, yang pertama dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya dan yang kedua melibatkan pencuri kayu, pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.3

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak pidana kehutanan adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang, sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan.4

Berikut ini akan dideskripsikan ketentuan pidana dari

perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana di bidang

kehutanan yaitu antara lain:

a. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

UU Dibidang Kehutanan Yang Terkait dengan Tindak Pidana di

Bidang Kehutanan:

1) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Rumusan definisi Tindak Pidana Kehutanan secara eksplisit tidak

ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

namun pidana di bidang kehutanan bisa diidentikkan dengan tindakan atau

perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai perusakan

hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU. No. 41 Th. 1999.

Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan

Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah

terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan

3Ibid

., h 14.

4Ibid

(3)

hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan

fungsinya.”

Rumusan definisi Tindak Pidana bidang kehutanan secara eksplisit

tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, namun tindak pidana bidang kehutanan bisa diidentikkan

dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu

mengenai perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU.

No. 41 Th. 1999.

Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan

Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah

terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan

hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan

fungsinya.”

Tindak pidana di bidang kehutanan menurut Undang-undang No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan

ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Yang menjadi dasar adanya

perbuatan pidana kehutanan adalah karena adanya kerusakan hutan. Dapat

disimpulkan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk

penegakan hukum pidana terhadap kejahatan bidang kehutanan yaitu

sebagai berikut :

(1) Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha;

(2) Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun

karena kealpaannya;

(4)

(a) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan

(b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak

hutan.

(c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang

ditentukan Undang-undang.

(d) Menebang pohon tanpa izin.

(e) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima

titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau

patut diduga sebagai hasil hutan illegal.

(f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH.

(g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan

tanpa izin.

Disamping ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam

rumusan pasal 78, kepada pelaku dikenakan pula pidana tambahan berupa

ganti rugi dan sanksi administratif berdasarkan pasal 80 ; Melihat dari

ancaman pidananya maka pemberian sanksi ini termasuk kategori berat,

dimana terhadap pelaku dikenakan pidana pokok berupa 1). Pidana

penjara. 2) denda dan pidana tambahan perampasan barang semua hasil

hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya. Berdasarkan penjelasan

umum paragraf ke-8 UU No. 41 Tahun 1999 maksud dan tujuan dari

pemberian sanksi pidana yang berat sebagaimana rumusan pasal 78 UU

No. 41 Th. 1999 adalah terhadap setiap orang yang melanggar hukum di

bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi

(5)

hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan

tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang

kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena

sanksi pidananya berat.

2) UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya

Undang-undang No. 5 Tahun 1990 ini, mengatur dua macam

perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi

pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan dan

pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40

ayat (1) dan (2) dan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam

Pasal 40 ayat (3) dan (4) No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur

perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, 21 dan Pasal 33 ; Melihat

dari rumusan ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut maka

dapat dipahami bahwa pasal-pasalnya hanya secara khusus terhadap

kejahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis

tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan

kehutanan hanya sebagai instrumen pelengkap yang hanya dapat

berfungsi jika unsur-usur tersebut terpenuhi.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004

Terkait dengan ketentuan sanksi pidana terkait pengrusakan

(6)

dalam Pasal 42 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 12 ayat (2), diancamdengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) sebagaimana dimaksud

pada Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

Pasal 43 ; Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 14 ayat (2), diancamdengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada

Pasal 78 ayat (2) Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

Pasal 44 ; (1) Semua hasil hutan yang tidak dilengkapi

bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) dirampas untuk Negara. (2) Alat-alat

termasuk alat angkut yang dipergunakan untuk melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirampas untuk negara.

b. Ketentuan Pidana Diluar Bidang Kehutanan Yang Terkait Dengan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus yang

(7)

hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subjeknya yang

khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten)5. Hukum

pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau

pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk

golongan militer. Dan kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus

maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang

tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan

kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum

pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang

menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.

Pada dasarnya kejahatan kehutanan, secara umum kaitannya dengan

unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokan ke dalam

beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:

1) Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412)

Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan kehutanan

berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem

pengeloalaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan

pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi

hutan. Tindak pidana bidang kehutanan pada hakekatnya merupakan

kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak memiliki

izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari

ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over atau penebangan

diluar areal konsesi yang dimiliki.

5

(8)

2) Pencurian (pasal 362 KUHP)

Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan

dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa

kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang

mangatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan

berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu

berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam

areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.

3) Penyelundupan

Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang

secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam

KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun

belum mengatur tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan

penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh

karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik

orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan

kayu (peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan illegal

logging dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.

Namun demikian, Pasal 50 (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun

1999, yang mengatur tentang membeli, menjual dan atau mengangkut

hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai

suatu perbuatan penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak

jelas mengatur siapa pelaku kejahatan tersebut. Apakah

(9)

menimbulkan kontra interpretasi maka unsur-unsur tentang penyelundupan

ini perlu diatur tersendiri dalam perundang-undangan tentang ketentuan

pidana kehutanan.

4) Pemalsuan (pasal 261-276 KUHP)

Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan

Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau

membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya.

Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal, suatu

perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu

eterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan

surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 tahun, dan

Pasal 264 paling lama 8 tahun. Dalam praktik-praktik kejahatan

kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku

dalan melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya

Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu,

dan keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur

secara tegas dalam undang-undang kehutanan.

5) Penggelapan (pasal 372 - 377KUHP)

Kejahatan bidang kehutanan antara lain : seperti over cutting yaitu

penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi

target kuota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem

(10)

mencantuman data jumlah kayu dalam SKSH yang lebih kecil dari jumlah

yang sebenarnya.

6) Penadahan (pasal 480 KUHP)

Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan

lain dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan

jahat. Penadahan dalam bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480

KUHP). Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo6 bahwa: “perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang dietahui

atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar

atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil

kejahatan”. Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal

baik di dalam maupun diluar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil

kejahatan kehutanan yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual

maupun pembeli. Modus inipun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf

f UU No. 41 Tahun 1999.

2. Teori Penegakan Hukum

a. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

6Ibid

(11)

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep

konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan

hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.7

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah “kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam

kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak

sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau

kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya

menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara

konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian,

dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung

jawab.

Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:8 a. Ditinjau dari sudut subyeknya:

Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.

Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

b. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya:

Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai

7

Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 32

8Ibid

(12)

keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.9

Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian yaitu:10

a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.

b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi

area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.

c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldsein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation,

(13)

dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:

a. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

b. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

c. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

Soerjono Soekanto adalah:11

1) Faktor Hukum

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan

11

(14)

proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

2) Faktor Penegak Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hokum.

3) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

4) Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. 5) Faktor Kebudayaan

(15)

3. Tugas Pokok Kepolisian

Adapun tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia adalah sebagai

berikut:12

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Mendasari peranan Polri tersebut di atas, bila diperhatikan justru lebih

banyak melakukan perannya dalam bidang-bidang non represif dari pada

melakukan tindakan yang represif seperti memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, karena bagaimanapun

penegakan hukum melalui pendekatan represif jika dibandingkan dengan non

represif jauh lebih berhasil.

Terkait dengan peranan Polri dalam penangangan konflik, dalam hal

ini Polri berangkat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui

pre-emtif, preventif, dan represif. Sebelum melakukan tindakan-tindakan yang

bersifat pre-emtif. Polri selalu melakukan upaya mengindetifikasi dengan

menggunakan teori gunung es yaitu diusahakan mencari akar permasalahan

yang mendalam dari pada setiap timbulnya konflik sosial. Pekerjaan ini

bukanlah mudah, karena permasalahan yang ada di dalam masyarakat sebagai

sumber terjadinya konflik sosial relatif cukup heteronom dan sekaligus

memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan budaya, adat istiadat,

pendididikan , dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam mencari dan mengetahui

12

(16)

secara mendalam akar persamalahan timbulnya konflik sosial yang ada, harus

dilakukan secara konprehensif dan terintegasi antara berbagai fungsi yang

terkait/terpadu di dalamnya (tokoh masyarakat, pemerintah daerah/pusat,

berbagai departemen, Polri, dan TNI), lembaga-lembaga peneliti (lembaga

formal maupun informal) . Tujuannya untuk mensinergikan secara sistematis

sesuai dengan Tupoksi masing-masing.

Realisasi langkah-langkah peran Polri dalam menyelesaiakan konflik

sosial dapat dilakukan pada tahap prakonflik, saat konflik dan pasca konflik.

Pertama, pada tataran pra konflik. Tataran ini merupakan kondisi sebelum

terjadinya konflik terbuka namun sudah ada potensi konflik dalam

masyarakat. Bentuk tindakan kepolisian adalah pre-emtif dan preventif yang

bertujuan untuk mengelola potensi konflik yang ada agar tidak berkembang

menjadi konflik sosial secara terbuka. Kedua, pada saat kondisi konflik sosial

terjadi. Tindakan kepolisian yang dilakukan berbentuk repressif baik bersifat

yusticial maupun nonjusticial. Tindakan yusticial dilakukan merupa

penyidikan tindak pidana yang telah mencul dalam konflik terbuka secara

selektif. Sedangkan tindakan represif non yusticial dapat dilakukan untuk

tujuan untuk menghentikan konflik sosial terbuka walaupun sifatnya

sementara yaitu melalui tindakan melokalisasi areal konflik, membubarkan

kerumunan massa, melakukan razia, dan lain-lain.

Ketiga, pada kondisi pasca konflik sosial. Dilaksanakan setelah selesai

konflik sosial terbuka. Tindakan kepolisian dalam situasi ini dilakukan dengan

tujuan menciptakan kembali kondisi setelah konflik terbuka terjadi. Tujuannya

(17)

mewujudkan rasa keadilan dari masyarakat yang berkonflik. Tindakan

kepolisian yang dilakukan mulai dari tahap pre-emptif, preventif dan represif

dalam penyelesaian konflik sosial pada dasarnya merupakan fluktuasi

tindakan yang mengarah pada penciptaan ketertiban umum. Dikatakan sebagai

fluktuasi tindakan, karena Polri dalam melakukan tidanakan pre-emtif dan

preventif berawal dari adanya kondisi sosial dalam masyarakat yang

menyimpan potensi konflik, namun belum muncul dalam bentuk konflik

terbuka. Pada kondisi ini masyarakat masih dapat melakukan aktivitas sosial

sehari-hari, kemudian ketika terjadi konflik terbuka, kondisi sosial tersebut

menjadi terganggu dan memunculkan tindak pidana.

Oleh karena itu, diperlukan tindakan represif yang diharapkan dapat

mengembalikan kondisi sosial masyarakat menjadi kondusif. Kondisi pasca

konflik sosial yang menjadi sasaran upaya polri adalah kembalinya aktivitas

sosial secara normal serta terujudnya ketertiban umum melalui upaya

pembinaan ketertiban masyarakat.13

4. Restorative Justice (Penyelesaian Masalah Pidana di Luar Pengadilan)

Restorative Justice mengandung pengertian yaitu: "suatu pemulihan

hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak

pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya)

(upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar

permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut

dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan

13

(18)

kesepakatan diantara para pihak". Restorative Justice pada prinsipnya

merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar

peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musywarah dalam mencapai

suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum

pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak

pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan

disepakati para pihak.14

Restorative justice dikatakan sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam

mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena

merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya)

dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan

pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice

mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi:15

a. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana

(keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya).

b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk

bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti

kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya.

c. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku

tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai

persetujuan dan kesepakatan diantara para

14

http://edwinnotaris.blogspot.co.id/2013/09/restorative-justice-pengertian-prinsip.html, diakses 3 Maret 2016, jam 17.45.

15

(19)

B.

HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Umum

Mengingat maraknya tindak pidana di bidang kehutanan di Indonesia yang

secara umum menarik kembali bahwa kesadaran akan ketaatan terhadap hukum

dan kesadaran akan kelestarian alam yang dilakukan masyarakat Indonesia masih

sangat rendah. Dilihat dari prosentase dari tahun ketahun tindak pidana di bidang

kehutanan di Indonesia mengalami peningkatan yang siknifikan. Seperti yang

terjadi di Kabupaten Wonogiri yang sebagian besar wilayahnya adalah kawasan

Hutan lindung menjadi marak terjadinya tindak pidana bidang kehutanan.

Menurut Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah Tahun 2013 bahwa luas

wilayah Kabupaten Wonogiri ialah 1.822,37 km2, sedangkan luas kawasan hutan

yang membentang luas di daerah Kabupaten Wonogiri ialah 20,094.56 ha,

sebagian besar berupa hutan pinus dan hutan jati.16

Sedangkan jenis hutan di wilayah Wonogiri tergolong dalam jenis Hutan

Lindung mengingat fungsi dan kegunaanya. Dan untuk di Wilayah Wonogiri

terdapat 4 PTP yang tersebar dianaranya ; 1. PTP Kota Wonogiri, 2. PTP

Jatisrono, 3. PTP Baturetno, 4. PTP Purwantoro. Bisa dilihat bahwa hampir

seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri ialah kawasan hutan, tidak menutup

kemungkinan bahwa daerah yang sebagian besar adalah kawasan hutan sangat

marak terjadi tindak pidana di bidang kehutanan.

16

(20)

2. Upaya Kepolisian Resor Wonogiri dalam Melakukan Penegakan Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan di Wilayah Hutan

Wonogiri

a. Penegakan Secara Represif

Upaya Kepolisian Resor Wonogiri dalam upaya melakukan penegakan

dan pencegahan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan bisa dilihat dari

Anev Tindak Pidana Bulan Tahun 2013-2014 SAT RESKRIM POLRES

WONOGIRI, bahwa jenis kasus tindak pidana di bidang kehutanan ada 3 kasus

yang sudah diproses dan 2 diantaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri

Wonogiri. Dari ketiga kasus yang ditemukan dianataranya sebagai berikut ;

1) Kasus Pertama a) Kasus Posisi

Menurut Laporan Polisi Nomor:17 LP/B/02/VI/2013/Sek. Jatipurno,

tanggal 13 Juni 2013, Terjadi di Hutan Pinus Seper Balepanjang Jatipurno

Petak 44 milik Perhutani Plarar BKPH Lawu Selatan Jatisrono Kabupaten

Wonogiri. Bahwa tersangka Tarno als Bege dan sdr Slamet als Gamok

Pada hari Kamis 13 Juni 2013, Pukul 12.00 WIB telah terjadi pencurian

Kayu Pinus. Para Pelaku Menebang Pohon Pinus sebanyak 3 (tiga) pohon

senilai Rp.3000.000,00 dengan menggunakan gergaji, dan keesokan

harinya Jumat 14 Juni 2013 sekitar Pukul 04.30 WIB Para pelaku

mengangkutnya dengan menggunakan KBM Truk ke arah Jeporo

Kemudian para pelaku ditangkap oleh dua anggota Polsek Jatipurno karena

mendapat laporan dari pihak korban. Melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e

17

(21)

Jo Pasal 78 ayat (5) UU No.41 Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1

Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan Surat dari Kejaksaan Negeri Wonogiri Nomor:

1208/0.3.335/Euh.1/07/2013, tanggal 10 Juli 2013, sesuai kronologis

peristiwa tersebut oleh negara melalui Jaksa Penuntut Umum memberikan

dakwaan terhadap terdakwa yang diduga melanggar ketentuan Pasal 50

ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-undang RI No. 41 Tahun

1999 tentang kehutanan:

“Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki

hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan

sahnya hasil hutan (SKSHH).” Barang siapa dengan sengaja melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h,

diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda

paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

c) Amar Putusan

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam amar putusannya

pengadilan tingkat banding dalam hal ini Pengadilan Tinggi Semarang

yang mengadili perkara tersebut dalam amar putusannya memutuskan:

(22)

(2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Wonogiri tanggal 10 Agustus

2013, No. 104/Pid.B.2013/PN.Wng, yang dimohonkan banding

tersebut kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan sebagai berikut:

(a) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 2 (dua) tahun;

(b)Menyatakan penahanan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan;

(c) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara

dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar

Rp. 2.500.-(dua ribu lima ratus rupiah);

2) Kasus Kedua

a) Kasus Posisi

Menurut Laporan Polisi Nomor:18

LP/B/01/I/2013/Sek.Eromoko, tanggal 15 Januari 2013, Terjadi di

Petak 50 A RPH Eromoko Dusun Sindukarto, Kecamatan

Eromoko,Kabupaten Wonogiri. Pada hari Minggu 13 Januari 2013

sekitar jam 17.00 WIB tersangka Paiman als Gendut, bersama-sama

dengan Srianto als Celeng, Sakim als Kemprot dan seorang lagi belum

tertangkap/DPO, telah menebang, memanen atau memungut hasil

hutan berupa 14 potong kayu kayu mahoni yang ditaksir sekitar

Rp.7.208.000,00 dihutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang.

Melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e Jo Pasal 78 ayat (5) UU No.41

18

(23)

Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan Surat dari Kejaksaan Negeri Wonogiri Nomor:

29/0.3.35/Euh.1/10/2013, tanggal 11 Oktober 2013, sesuai kronologis

peristiwa tersebut oleh negara melalui Jaksa Penuntut Umum

memberikan dakwaan terhadap terdakwa yang diduga melanggar

ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7)

Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan :

“Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki

hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat

keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH).” Barang siapa dengan

sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50

ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar

rupiah).

c) Amar Putusan

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam amar

putusannya pengadilan tingkat banding dalam hal ini Pengadilan

Tinggi Semarang yang mengadili perkara tersebut dalam amar

putusannya memutuskan:

(24)

(2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Wonogiri tanggal 25

November 2013, No. 128/Pid.B.2013/PN.Wng, yang dimohonkan

banding tersebut kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan Sebagai

berikut:

(a) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 2 (dua) tahun;

(b) Menyatakan penahanan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan;

(c) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya

perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat

banding sebesar Rp. 2.500.-(dua ribu lima ratus rupiah);

3) Kasus Ketiga

Terjadi di Petak 50A RPH Eromoko di Dusun Sindukarto,

Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri.19Kasus yang ketiga ini

kepolisian hanya menemukan barang bukti berupa batang pohon bekas

potongan yang diduga telah terjadi penebangan, memanen atau memungut

hasil hutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang. Dari data yang diuraikan

diatas dapat dilihat tindakan penegakan secara Represif yang telah

dilakukan Kepolisian Resor Wonogiri dalam hal ini SATRESKRIM Polres

Wonogiri.

Namun dalam kenyataan dilapangan kasus tindak pidana

Kehutanan yang terjadi di hutan Wonogiri periode Tahun 2013-2014 dari

19

(25)

data Polisi Hutan Polres Wonogiri ada 8 kasus yang ditemukan di

lapangan, tetapi dengan ringannya barang bukti yang ditemukan

(mengambil ranting pohon, mengambil pohon dengan ukuran kecil yang

sudah kering atau mati di kawasan hutan lindung milik Perhutani), dan

tidak adanya unsur sengaja dalam kasus yang ditemukan maka secara

langsung Petugas Perhutani, berkerjasama dengan Polisi Hutan yang pada

saat itu bertugas melakukan penindakan berupa peringatan, teguran dan

diberikan informasi mengenai larangan menebang, memanen dalam

bentuk apapun di kawasan hutan lindung.20 Lihat data tabel di bawah ini

Tabel 2.1

Data Jumlah Pelanggaran Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Ringan POLHUT Polres Wonogiri Tahun 2013-2014

(26)

± Rp70.000,00

Sumber: Unit POLHUT Polres Wonogiri, Tanggal ( 31 Juli 2015)

b. Penyelesaian Masalah Pidana di Luar Pengadilan (Tanpa Melibatkan Aparat Kepolisian)

Tidak hanya berupa peringatan dan teguran saja Polisi Hutan yang

mendapati adanya pelanggaran di wilayah hutan Wonogiri yang sudah

(27)

yang berjumlah 8 seperti data tabel tersebut diatas tidak begitu saja

didiamkan tanpa di proses selanjutnya. Polisi Hutan Polres Wonogiri

bekerjasama dengan SATBINMAS Polres Wonogiri, yang telah membentuk

POLMAS Kawasan Hutan yang merupakan perwakilan dari masyarakat

skitar hutan akan melakukan musyawarah dengan pelaku, aparat

desa(RT,RW) petugas perhutani, maupun dengan Polisi Hutan, melakukan

musyawarah penyelsaian dengan membuat surat pernyataan yang isinya

tidak akan mengulangi tindakannya lagi, yang kemudian akan di

tandatangani pelaku bersama dengan, Polisi Hutan yang bertugas pada saat

itu, aparat desa, dan petugas perhutani. Dengan adanya musyawarah yang

dilakukan petugas perhutani, Polisi Hutan, dan aparat desa setempat dengan

mendatangkan perwakilan masyarakat setempat, tindakan pelanggaran

terhadap tindak Pidana Kehutanan yang terjadi di Hutan Wonogiri selesai

dengan tidak melibatkan aparat penegak hukum dan bahkan perkara tidak

sampai pengadilan.21

Dengan adanya 8 kasus yang tidak di proses ke Pengadilan ini juga

sudah menjadi tugas SATBINMAS Polres Wonogiri untuk melakukan

tindakan terhadap pelaku, kemudian secara berkala akan diminta untuk

hadir mendapatkan pembinaan, penyuluhan yang diadakan SATBINMAS

Polres Wonogiri sebulan sekali sesuai dengan KPH dimana kasus tersebut

ditemukan. Dari penindakan kasus tindak Pidana Kehutanan yang sifatnya

ringan ini diharapkan akan memutus mata rantai kasus tindak pidana bidang

kehutanan yang ada di wilayah Wonogiri, jadi dari pembrantasan kasus

21

(28)

pidana kehutanan yang sifatnya ringan ini akan berpengaruh pada kasus

yang sifatnya berat yang sudah sampai kepengadilan.22

Dalam rangka melaukan penindakan terhadap tindak pidana bidang

kehutanan yang terjadi di wilayah hutan Wonogiri SATRESKRIM Polres

Wonogiri bersama POLHUT Polres Wonogiri secara rutin setiap harinya

melakukan Patroli langsung di Kekuasaan Wilayah Hutan (KPH) yang

tersebar di wilayah hutan Wonogiri. Di Wilayah Wonogiri sendiri terdapat

empat KPH yang tersebar, dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek

yang menaungi adalah Polsek Wonokarto, b) KPH Jatisrono, Polsek yang

menaungi adalah Polsek Jatisrono, c) KPH Baturetno, Polsek yang

menaungi adalah Polsek Baturetno, d) KPH Purwantoro, Polsek yang

menaungi adalah Polsek Purwantoro. Dengan KPH yang tersebar dan

bersama Kapolsek yang menaungi, dipimpin POLHUT Polres Wonogiri

melakukan Patroli langsung ke hutan-hutan yan tersebar di wilayah

Wonogiri dengan tujuan untuk melihat langsung kondisi hutan,

meminimalisir terjadinya kegiata kejahatan kehutanan, melakukan

penindakan langsung bila terjadi tindakan kejahatan kehutanan. Untuk

jumlah personil POLHUT setiap melakukan Patrolipaling sedikit ada 4

anggota POLHUT yang bertugas setaiap harinya di PTP yang tersebar di

wilayah hutan Wonogiri.23

22

Wawancara dengan KANIT BINPOLMAS Polres Wonogiri, Wonogiri 31 Juli 2015.

23

(29)

c. Penegakan Secara Preventif

Tidak berhenti pada penindakan secara represif saja, untuk

benar-benar membrantas habis seluruh tindak pidana di bidang kehutanan

khususnya di Wilayah Kabupaten Wonogiri, Kepolisian Resor Wonogiri

dalam hal ini SATBIMNAS juga berupaya melakukan pencegahan sebelum

terjadinya tindakan tersebut Preventif. Bentuk pencegahannya berupa: 24

1) Melakukan pembinaan terhadap Petugas Perhutani, kegiatan ini

dilakukan oleh KOMPOLHUT UNIT BINPOLMAS yang diadakan

sebulan sekali. Di Wilayah Wonogiri tersebar beberapa KPH yang,

dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek, b) KPH Jatisrono, c)

KPH Baturetno, d) KPH Purwantoro. Materi pembinaan yang di lakukan

BINPOLMAS tentunya yang utama adalah maslah dampak Peruskan

Huatan, akibat tindak pidana kehutanan, bahaya terorisme, karena tidak

menutup kemungkinan kawasan hutan sangat strategis untuk pelatihan

terorisme, dan narkoba termasuk didalamnya memberikan informasi

tentang jenis-jenis tanaman yang terindikasi termasuk tanaman yang

berbahaya.

2) Membentuk POLMAS Kawasan yang dalam hal ini masyarakat yang

ada disekitar wilayah hutan dikumpulkan untuk dilaukan pembinaan

secara rutin. Tujuannya adalah untuk menjembadani adanya forum

kemitraan polisi dengan masyarakat, bila terjadi masalah yang ringan

Polmas Kawasan yang dibentuk ini juga bisa menyelesaikan masalah

24

(30)

tersebut tanpa harus diproses pidana. Karena Polmas kawasan yang

dibentuk ini tujuannnya menyelesaikan masalah yang bersifat ringan.

d. Hambatan Dalam Penegakan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

di Wilayah Hutan Wonogiri

Namun dari penegakan yang dilakukan Polres Wonogiri dalam

menangani tindak pidana bidang kehutanan ada beberapa

hambatan-hambatan yang tentunya mempengaruhi jumlah pelaporan maupun jumlah

kasus yang dapat ditindak secara hukum. Dari hambatan tersebut dapat kita

lihat: 25

1) Minimnya laporan dari masyarakat tentang adanya tindak pidana bidang

kehutanan yang terjadi, karena biasanya yang melakukan tindak pidana

kehutanan ini adalah oknum dilingkungan sekitar hutan itu sendiri dan

masyarakat cinderung menutup-nutupi adanya oknum yang melakukan

tindakan tersebut. Alasan yang paling sering ditemui ialah sungkan,

tidak mungkin masyarakat disekitar hutan mau dan berani melaporkan

tetangganya sendiri yang melakukan tindakan tersebut.

2) Polisi dalam melakukan penindakan tindak pidana kehutanan yang

terjadi di Wilayah Wonogiri hanya terpaku pada pelaporan dari petugas

KPH, Polisi Hutan, maupun dari Petugas Kepolisan yang sedang

melakukan patroli di wilayah hutan kemudian menemukan tindak pidana

tersebut. Hal ini menyebabkan penanganan dan penindakan terhadap

25

(31)

tindak pidana bidang kehutanan di Wilayah Wonogiri menjadi kurang

maksimal.

Namun penindakan tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan

di Wilayah Kabupaten Wonogiri diklaim dapat berkurang dari periode

Tahun 2013-2014 tidak lepas dari pencegahan yang dilakukan

SATRESKRIM, SATBIMNAS dan POLHUT Polres Wonogiri yang secara

berkala melakukan pembinaan dan melakukan kerjasama yang dibangun

antar instansi masyarakat yang terkait langsung dengan hutan. Yang

semuanya bertujuan untuk memberantas habis segala yang berkaitan dengan

tindak Pidana bidang kehutanan yang terjadi di Wilayah Hutan Wonogiri.

Dan yang paling utama untuk mencegah banjir, tanah longsor, dan

pendangkalan Waduk Gajah Mungkur.

C.

ANALISIS

1. Bentuk Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan oleh Polres Wonogiri

a. Penegakan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Secara Represif, Preventif yang Dilakukan Polres Wonogiri

Semakin maraknya kejahatan kehutanan pada akhir-akhir ini

membuat masyarakat semakin resah dan khawatir akan kelestarian hutan

yang berdampak pada generasi yang akan datang. Lebih spesifik dalam hal

ini tindak pidana bidang kehutanan yang semakin marak terjadi yang

(32)

terhadap generasi yang akan datang membuat aparat penegak hukum

seperti TNI, POLRI, Jaksa, Hakim harus bekerja keras demi keadilan yang

nantinya berpengaruh pada pengurangan tingkat tindak pidana bidang

kehutanan sampai ketingkat daerah seperti yang dilakukan Polres

Wonogiri dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana di

bidang kehutanan.

Menurut Soerjono Soekanto, Penegakan hukum adalah “kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam

kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak

sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau

kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan

hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara

konvensional , tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian,

dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung

jawab. Seperti yang dilakukan Polres Wonogiri dalam menangani tindak

pidana bidang kehutanan yang terjadi di wilayah Kabupaten Wonogiri,

berpegangan pada kaidah dan aturan hukum yang ada dalam hal ini

(33)

mengenai praktek kejahatan kehutanan tepatnya dalam Pasal 50 Ayat (3) ;

Setiap orang dilarang: huruf e ; menebang pohon atau memanen atau

memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari

pejabat yang berwenang. Dan Junto Pasal 78 Ayat (5) ; Barang siapa

dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00

(lima milyar rupiah). Dengan berpegangan kaidah yang sudah ada Polres

Wonogiri melakukan tindakan penegakan hukum terhadap tindak pidana

bidang kehutanan yang terjadi pada periode Tahun 2013-2014. Terbukti

dari data Anev Tindak Pidana Bulan Tahun 2013-2014 dari SAT

RESKRIM POLRES Wonogiri ada 3 kasus tindak pidana bidang

kehutanan yang terjadi, dan 2 diantaranya sudah dilimpahkan ke

Kejaksaan Negeri Wonogiri untuk di proses hukum lebih lanjut. Dari data

yang ditemukan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana di

bidang kehutanan yang dilakukan oleh Polres Wonogiri menunjukan

bahwa bentuk penegakan bersifat Represif yaitu penindakan hukum

setelah terjadi pelanggaran.

Tidak bertumpu pada penegakan secara Represif saja, untuk

benar-benar membrantas habis segala tindak pidana di bidang kehutanan yang

ada diwilayah Kabupaten Wonogiri, Polres Wonogiri melakukan

penegakan yang bersifat Preventif yaitu tindakan pencegahan sebelum

terjadinya tindakan yang dilakukan masyarakat dalam kaitannya dengan

(34)

yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tepatnya terdapat dalam

Pasal 13 yang berbunyi ; Tugas pokok Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b.

menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat. Poin yang c menyebutkan bahwa Polri

harus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat utamanya pada saat penegakan hukum tidak saja melakukan

penegakan tetapi Polri juga harus memberikan pengayoman pencegahan

yang diberikan pada masyarakat bilamana masyarakat yang akan

melakukan tindakan pelanggaran hukum dapat dicegah dengan adanya

tindakan yang di lakukan Kepolisiaan tersebut.

Dilihat secara langsung dilapangan bentuk penegakan secara

Preventif yang dilakukan Polres Wonogiri dalam mencegah terjadinya

tindak pidana bidang kehutanan dianatanya:

1) Melakukan pembinaan terhadap Petugas Perhutani, kegiatan ini

dilakukan oleh KOMPOLHUT UNIT BINPOLMAS yang diadakan

sebulan sekali. Di Wilayah Wonogiri tersebar beberapa KPH yang,

dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek, b) KPH Jatisrono, c)

KPH Baturetno, d) KPH Purwantoro. Materi pembinaan yang di

lakukan BINPOLMAS tentunya yang utama adalah maslah dampak

Peruskan Huatan, akibat kejahatan kehutanan, bahaya terorisme,

karena tidak menutup kemungkinan kawasan hutan sangat strategis

(35)

memberikan informasi tentang jenis-jenis tanaman yang terindikasi

termasuk tanaman yang berbahaya. Berkaitan dengan Teori penegakan

hukum menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor mempengaruhi

penegakan hukum salah satunya adalah faktor penegak hukum itu

sendiri dalam hal ini personil Kepolisian Polres Wonogiri yang secara

berkala turun langsung ke lapangan untuk melakukan pembinaan

kepada personil lainnya diantara Petugas Perhutani, dan stake holder

lainnya yang terkait langsung pada pembrantasan tindak pidana bidang

kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.

2) Membentuk POLMAS Kawasan yang dalam hal ini masyarakat yang

ada disekitar wilayah hutan dikumpulkan untuk dilakukan pembinaan

secara rutin. Tujuannya adalah untuk menjembadani adanya forum

kemitraan polisi dengan masyarakat, bila terjadi masalah yang ringan

Polmas Kawasan yang dibentuk ini juga bisa menyelesaikan masalah

tersebut tanpa harus diproses pidana. Karena Polmas kawasan yang

dibentuk ini tujuannnya menyelesaikan masalah yang bersifat ringan.

Masyarakat juga berperan penting dalam proses pembrantasan tindak

pidana illegal logging ini, hal ini penting karena dapat dilihat dari teori

penegakan hukum manurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum faktor masyarakat juga penting

karena “Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat

atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum.”26

26

(36)

Untuk penyelesaian masalah tindak pidana di bidang

kehutanan yang sifatnya ringan dalam prakteknya yang dilakukan

Polres Wonogiri dalam hal ini SATBINMAS membentuk Polmas

Kawasan yang bertujuan untuk penyelesaian bila terjadi pelanggaran

yang ada di lapangan tanpa harus sampai di proses lebih lanjut oleh

Kepolisian dapat dikatakan ini bersifat kekeluargaan dan bersifat

peringatan.

Proses diatas erat hubungan dengan Teori Restortive Justive

yang dalam pengertianya adalah "suatu pemulihan hubungan dan

penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana

(keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya)

(upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan

agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan

pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya

persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak". Restorative Justice

pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam

proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara

mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang

diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut

yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana

(keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan

disepakati para pihak.

Dengan adanya pencegahan secara Preventif yang dilakukan

(37)

Polres Wonogiri telah mampu mengurangi tingkat tindak pidana

bidang kehutanan di Wilayah Kabupaten Wonogiri terlihat pada

ANEV TINDAK PIDANA BULAN TAHUN 2013-2014 yang di

keluarkan oleh SAT RESKRIM POLRES WONOGIRI, untuk kasus

tindak pidana illegal logging pada periode Tahun 2014 di Wilayah

Wonogiri sndiri menurun drastis dapat dikatakan tidak ada kasus yang

berkaitan dengan tindak pidana bidang kehutanan di wilayah

Kabupaten Wonogiri.

b. Penyelesaian Konflik di Luar Pengadilan (Restorative Justice)

Melihat fakta dilapangan mengenai tindak pidana bidang

kehutanan yang terjadi di hutan Wonogiri ada beberapa teknik

penyelesaian yang dapat dipakai dalam kaitannya menangani kasus pidana

kehutanan yang terjadi. Penyelesaian tindak pidana bidang kehutanan

tidak selalu menggunakan penindakan aparat Kepolisian maupun

Pengadilan sebagai jalur yang ditempuh untuk benar-benar memberantas

habis dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana bidang

kehutanan yang ada di Wonogiri.

Salah satu teori penyelesaian yang dapat diterapkan dan

disesuaikan dengan kondisi dilapangan pada saat penamuan korban

maupun barang bukti yaitu dengan teori penyelesai konflik di luar

pengadilan atau sering disebut Restorative Justice. Teori penyesaian

konflik ini disesuaikan dengan porsi masalah yang terjadi, bila ringannya

(38)

saat melakukan tindakan kejahatan kehutanan maka teori penyelesaian ini

dapat di gunakan.

Seperti penanganan tindak pidana bidang kehutanan di Wonogiri

periode Tahun 2013-2014 dari data Polisi Hutan Polres Wonogiri ada 8

kasus yang ditemukan di lapangan, dengan ringannya barang bukti yang

ditemukan (mengambil ranting pohon, mengambil pohon dengan ukuran

kecil yang sudah kering atau mati di kawasan hutan lindung milik

Perhutani), dan tidak adanya unsur sengaja dalam kasus yang ditemukan

maka secara langsung Petugas Perhutani, berkerjasama dengan Polisi

Hutan melakukan penindakan dengan melakukan musyawarah bersama.

Dalam musyawarah tersebut pihak perhutani dan pihak dari Polisi Hutan

hanya bersifat memfasilitasi adanya musyawarah tersebut. Dalam

musyawarah tersebut juga mendatangkan Polmas Kawasan Hutan yang

sudah di bentuk sebelumnya oleh SATBINMAS Polres Wonogiri yang

beranggotakan perwakilan masyarakat sekitar hutan, dan mendatangkan

pula aparat desa setempat seperti RT, RW untuk bermusyawarah dalam

rangka penyelesaian masalah tindak pidana bidang kehutanan yang

sifatnya ringan ini. Musyawarah tersebut selain bertujuan menyelesaikan

masalah tanpa diproses lebih lanjut di pengadilan , musyawarah ini juga

nantinya akan memberikan efek jera bagi pelaku tindakan tersebut, dengan

menanda tangani surat pernyataan yang intinya dalam surat tersebut bahwa

tidak akan mengulangi lagi. Dan dalam musyawarah yang di lakukan ini

dapat mengahasilkan kata damai anatara pelaku dengan korban yang

(39)

Ternyata setelah melihat langsung di lapangan mengenai

penindakan tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah

Wonogiri, dengan mengakaitkan teori restorative justice 8 kasus sesuai

data dari Polhut Polres Wonogiri yang ditemukan dilapangan dapat di

selesaiakan dengan kata damai dan selesai tanpa harus melibatkan aparat

penegak hukum dan pengadilan dalam memputus perkara menganai tindak

pidana bidang kehutanan tersebut. Sekaligus memberikan efek jera bagi

pelaku tindak pidana di bidang kehutanan yang nantinya juga dapat

mengurangi bahkan memberantas habis segala tindak pidana bidang

kehutanan yang ada di Wilayah Kabupaten Wonogiri.

2. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Terhadap Tindak

Pidana Di Bidang Kehutanan

Dalam rangka penegakan hukum di bidang kehutanan diharuskan

untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan

hukum itu sendiri. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto yakni

hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana dan prasarana

yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan kebudayaan.27

a. Faktor Hukum

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan

kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara

27Ibid

(40)

normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya

berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang

kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada

hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement

saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum

sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola

perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian,

tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan

hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan

perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya

jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan

untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

Berkaitan dengan penegakan terhadap tindak pidana di bidang

kehutanan, hukum sangat menjadi hal utama untuk tegaknya keadilan bagi

pelaku tindak pidana bidang kehutanan tersebut. Dan berkenaan dengan proses

menjadikan warga negara taat dengan hukum, hukum juga harus memberikan

efek jere bagi pelaku tindak pidana di bidang kehutanan. Hukum juga harus

ditegakkan bagi semua warga negara tidak pandang bulu, bagi setiap pelaku

harus dijerat dengan hukum sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Dengan

adanya hukum yang ditegakkan sesuai yang semestinya akan berimplementasi

pada berkurangnya ataupun membrantas habis segala kejahatan kehutanana.

Dilihat hukuman yang di jatuhkan dari 2 kasus tindak pidana bidang

kehutanan yang terjadi di Wonogiri bisa dilihat bersama bahwa hukum yang

(41)

memberikan efek jera bagi pelaku khususnya yang ada di wilayah Wonogiri,

terbukti dengan adanya penurunan tingkat tindak pidana bidang kehutanan

dari Tahun 2013-2014, bahkan untuk tindak pidana bidang kehutanan yang

berat di Tahun 2014 bisa diakatakan nihil atau tidak ada kasus mengenai

tindak pidana bidang kehutanan. Untuk itu hukum menjadi sangat penting

untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana bidang kehutanan yang

ada di Wonogiri.

b. Faktor Penegakan Hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas

penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,

tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu

kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau

kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang

mengatakan : “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.

Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam

kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif

manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan

terlihat, harus diaktualisasikan”. Di dalam konteks di atas yang menyangkut

kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada

kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum

sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan

(42)

Berkaitan dengan faktor penegak hukum juga sangat berpengaruh pada

penegakan tindak pidana bidang kehutanan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri

adanya hukum yang baik tanpa disertai penegak hukum dalam hal ini Polri,

TNI, Jaksa, Hakim yang baik maka proses menuju keadilan yang sebenarnya

tidak akan terwujud maksimal. Penegak hukum dalam memproses adanya

tindak pidana bidang kehutanan juga harus sesuai dengan prosedur

penanganan, tegas, dan harus bersih tanpa adanya unsur KKN di dalam

melakukan penegakan tindak pidana bidang kehutanan. Agar keadilan bisa

tercapai dengan maksimal dan pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan

kehutanan bisa terpenuhi. Dan akan berrpengaruh pada berkurangnya tindakan

yang mengacu pada pidana kehutanan.

Seperti halnya yang ada di Wilayah Wonogiri dengan penanganan dan

penindakan yang dilakukan penegak hukum Kepolisian Resor Wonogiri dalam

melakukan penegakan terhadap tindak pidana kehutanan dapat dikatakan

sudah baik, terbukti dengan adanya data dilapangan yang terjadi selama

periode Tahun 2013-2014 hanya terjadi 3 kasus yang berkaitan dengan tindak

pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri. Terbukti dengan

adanya penegak hukum yang baik akan berpengaruh pada berkurangnya

tindak pidana dalam hal ini tindak pidana bidang kehutanan yang ada di

Wilayah Kabupaten Wonogiri.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan

(43)

Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang

praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan

di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan

computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan

wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi

dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas

yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

Faktor ini juga bisa berpengaruh terhadap penegakan hukum terhadap

tindak pidana bidang kehutanan. Tanpa adanya sarana dan alat pendukung

dalam proses penegakan hukum, hukum juga akan sulit dan dirasa akan tidak

mampu ditegakkan secara maksimal. Dalam memberantas praktek kejahatan

kehutanan, faktor kelengkapan sarana dan prasarana dalam kegiatan

pemberantasan kejahatan terhadap hutan melalui operasi merupakan faktor

yang sangat menentukan efektifitas penegakan hukum. Banyak realita di

lapangan, kendala obyektif yang dihadapi Polisi Kehutanan terkait dengan

sarana dan prasarana adalah minimnya sarana dan prasarana yang mendukung

operasi, seperti tidak tersedianya alat berat dan alat angkut untuk mengangkut

dan menyimpan barang bukti dari lokasi penemuan/penyitaan ke tempat

penampungan. Jangan sampai fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki oleh

para pelaku lebih canggih di bandingkan dengan sarana dan prasarana yang

dimiliki oleh para penegak hukum, terutama daerah-daerah yang justru

memiliki hutan yang sangat luas dan rawan terjadi tindak pidana bidang

(44)

Dilihat dari kesigapan petugas patroli yang melakukan pengamanan

sekaligus pengawasan di hutan Wonogiri bisa dikatakan sudah mumpuni dan

memadahi dalam melakukan pengawasan maupun pengamanan. Terbukti

dengan cepat sigap Kepolisian Resor Wonogiri menemukan pelaku tindak

pidana bidang kehutanan, bukan hanya pelaku saja tetapi bisa melacak adanya

barang bukti berupa kayu sebagai contoh kasus yang terjadi di Hutan Pinus

Seper Balaipanjang Jatipurno Petak 44 pada saat melakukan penangkapan

barang bukti sudah dilarikan di luar daerah diamana dilakukan penangkapan,

tetapi dengan adanya sarana dan prasarana yang mumpuni tidak membutuhkan

waktu lama kurang dari 24 jam barang bukti sudah bisa di temukan dan

amankan. Inilah yang mempengaruhi penindakan terhadap tindak pidana di

bidang kehutanan di Wonogiri bisa berjalan baik.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok

sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul

adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,

atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,

merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap

masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan

malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan

Gambar

Tabel 2.1 Data Jumlah Pelanggaran Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Ringan

Referensi

Dokumen terkait

Apa saja yang menjadi tugas komite sekolah sebagai pendukung dalam pelaksanaan MBS di SDN Lamper Tengah 01 Semarang?. Memberikan dukungan fasilitas sarana prasarana serta

“Sarana dan prasarana pendidikan merupakn instrumen penting dalam pendidikan sehingga begitu pentingnya setiap institusi berlomba-lomba untuk memenuhi standar sarana

pidana pencurian dengan kekerasan yang terjadi di wilayah hukum.

Berdasarkan kasus – kasus yang diangkat dalam penelitian pencurian dengan kekerasan pasal 362 – 365. Modus operandi tindak pidana yang dilakukan antara lain : Pasal 362

masalah yang dihadapi sekolah adalah hal yang berkaitan dengan sarana prasarana.. .Masalah-masalah sarana prasarana pendidikan yang dihadapi sekolah

Analisa dalam mengatasi masalah Parkir liar dan faktor-faktor yang mempengaruhi penertiban parkir liar yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan UPTD parkir

Rogers mengemukakan bahwa teknologi komunikasi merupakan “alat perangkat keras, struktur organisasi dan nilai-nilai sosial yang digunakan untuk megumpulkan, memproses

proses produksi talkshow ”Dunia Wanita” ada faktor-faktor yang menjadi pendukung dalam jalannya produksi dan ada juga penghambat yang menjadi kendala tersendiri bagi tim