commit to user 13 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengambilan Keputusan 1. Pengertian Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan secara konvensional diartikan sebagai tindakan memilih antara berbagai alternatif atau kemungkinan dalam kondisi yang tidak pasti (O’Hare, 2003). Pengambilan keputusan diambil dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan.
Terlebih dahulu masalah harus diketahui dan dirumuskan dengan jelas, sedangkan pemecahannya harus didasarkan pemilihan alternatif terbaik (Syamsi 1989). Pengambilan keputusan juga didefinisikan sebagai kegiatan intelektual yang secara sadar dilakukan oleh seseorang yang dilakukan secara sistematis terhadap suatu masalah sehingga lebih menjamin bahwa hal-hal yang dihadapi telah diperhitungkan sebelumnya merupakan tindakan yang paling tepat (Siagian, 1990).
Menurut Drummond (1993) pengambilan keputusan adalah mengenai penciptaan kejadian-kejadian dan pembentukan masa depan.
Pengambilan keputusan juga didefinisikan sebagai suatu pengakhiran atau pemutusan pikiran tentang suatu masalah atau problema untuk menjawab pertanyaan dalam rangka mengatasi masalah tersebut dengan menjatuhkan pilihan pada salah satu alternatif yang tersedia (Atmosudirjo, 1984).
Sementara itu, Janis dan Mann (1977) menyatakan pengambilan keputusan
commit to user
sebagai proses memilih diantara beberapa alternatif tindakan yang tersedia, bentuk dan jenis pencarian yang dipilih, pertimbangan, dan prosedur pemilihan yang akan digunakan.
Pengambilan keputusan dalam lingkungan penerbangan dikenal dengan istilah aeroneutical decision making, yaitu sebuah pendekatan sistematis kepada proses mental pada pilot untuk secara konsisten menentukan tindakan terbaik dalam menanggapi suatu keadaan tertentu (FAA, 2008). O’Hare (2003) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan dalam penerbangan sangat banyak mencerminkan karakteristik normatif dalam pengambilan keputusan dimana tugas utama pilot adalah memilih pilihan terbaik, mengingat setiap hasilnya terkait dengan setiap pilihan yang diambil. Sedangkan menurut Hutagaol (2013), dalam membuat keputusan, setiap penerbang harus memahami seluruh informasi terkait yang telah diterima, mengevaluasi dan membandingkan dengan pengetahuan serta pengalaman. Selain itu, penerbang harus dapat memisahkan fakta dari perasaan, mempertimbangkan solusi alternatif, memperhitungkan dan mengurangi resiko yang timbul, serta membuat keputusan yang tepat.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengambilan keputusan dalam penerbangan adalah kegiatan berpikir atau proses memilih yang secara sadar dilakukan oleh seorang penerbang untuk secara konsisten menentukan tindakan terbaik dalam menanggapi suatu keadaan tertentu dengan memahami seluruh
commit to user
informasi terkait yang telah diterima, mengevaluasi dan membandingkan dengan pengetahuan serta pengalaman.
2. Aspek Pengambilan Keputusan
Terdapat beberapa aspek dalam pengambilan keputusan yang digunakan dalam dunia penerbangan. Federal Aviation Administration atau FAA (2008) menjabarkan aspek-aspek tersebut sebagai berikut:
a. Detect (the problem) atau Mendeteksi (masalah)
Kemampuan penerbang untuk mendeteksi masalah yang dimulai dengan mengenali perubahan yang terjadi maupun perubahan yang diharapkan terjadi tapi tidak terjadi. Sebuah masalah dirasakan pertama kali secara inderawi, lalu masalah tersebut diidentifikasi menggunakan pemahaman dan pengalaman. Kemampuan ini serupa dengan analisa objektif terhadap semua informasi yang tersedia yang digunakan untuk menentukan sifat dan tingkat keparahan masalah.
b. Estimate (the need to react) atau Mengestimasi (kebutuhan bereaksi) Kemampuan penerbang dalam mengestimasi dan bereaksi terhadap peristiwa yang terjadi. Dalam beberapa kasus, reaksi yang berlebih dan mendalam terhadap masalah dapat mengakibatkan hasil yang tidak aman dalam penerbangan. Masalah tidak dapat diubah, akan tetapi persepsi seorang penerbang akan resiko yang ditetapkan dapat berubah. Pengalaman, disiplin, kesadaran dan pengetahuan akan mempengaruhi bagaimana seorang pilot dapat mmemperkirakan sebuah masalah.
commit to user
c. Choose (a course of action) atau Memilih (sebuah tindakan)
Yaitu kemampuan penerbang dalam menentukan tindakan yang akan diambil. Setelah masalah dapat diidentifikasi dan pengaruhnya dapat diperkirakan, seorang penerbang harus dapat menentukan hasil yang diinginkan dan memilih tindakan apa yang akan dilakukan untuk mencapai hasil tersebut.
d. Identify (solution) atau Mengidentifikasi (solusi)
Dalam aspek ini penerbang mengidentifikasi dan merumuskan rencana untuk mencapai sebuah tujuan. Terkadang hanya terdapat satu solusi tindakan, akan tetapi penerbang dituntut untuk memilki beberapa solusi dalam menyelesaikan masalah. Penting bagi penerbang untuk tidak terpaku pada proses yang membatasi dalam membuat keputusan.
e. Do (the necessary action) atau Melakukan (tindakan yang perlu dilakukan)
Saat jalan keluar sudah diidentifikasi, penerbang memilih salah satu jalan yang paling cocok dalam situasi tersebut.
f. Evaluate (the effect of the action) atau Evaluasi (akibat dari tindakan) Setelah mengimplementasikan solusi, evaluasi atas keputusan tersebut harus dilakukan untuk melihat apakah keputusan itu benar.
FAA juga mengembangkan model lain dalam pengambilan keputusan dalam penerbangan, yang meliputi tiga aspek, yaitu:
commit to user a. Perceive
Langkah pertama dalam model pengambilan keputusan 3P yaitu perceive atau memahami, berupa mengembangkan kesadaran yang jelas dan komprehensif tentang situasi tertentu.
b. Process
Langkah kedua yaitu memproses informasi tentang fakta-fakta yang telah dikenali. Bertujuan untuk mengevaluasi akibatnya pada keselamatan penerbangan.
c. Perform
Ketika situasi yang berbahaya sudah dipahami (langkah pertama) dan diproses dampaknya terhadap keselamatan penerbangan, langkah selanjutnya adalah “perform” dengan mengambil tindakan terbaik dan kemudian mengevaluasi dampaknya.
Penelitian ini menggunakan salah satu aspek pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh FAA (2008), yang terdiri atas detect (the problem) atau mendeteksi (masalah), estimate (the need to react) atau mengestimasi (kebutuhan bereaksi), choose (a course of action) atau memilih (sebuah tindakan), identify (solution) atau mengidentifikasi (solusi), do (the necessary action) atau melakukan (tindakan yang perlu dilakukan), dan evaluate (the effect of the action) atau evaluasi (akibat dari tindakan) atau dikenal dengan sebutan DECIDE model. Aspek-aspek tersebut lebih jelas dan lengkap dalam menggambarkan pengambilan keputusan dalam penerbangan.
commit to user
3. Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Gunarsa (dalam Listyaningrum, 2007) mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor dari dalam (internal)
Pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri seseorang, seperti kognisi, emosi dan afeksi.
b. Faktor dari luar (eksternal)
Faktor dari luar diri seseorang yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan meliputi pertimbangan orang terdekat, situasi, urgensi dari masalah tersebut, pendidikan dan pengalaman.
Menurut FAA (2008), terdapat beberapa faktor dalam membuat keputusan yang efektif. Seorang penerbang harus bisa mengenali dan mengelola faktor tersebut untuk mencapai pengambilan keputusan yang efektif. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Mengenali sikap yang berisiko
Dua langkah untuk meningkatkan keselamatan dalam penerbangan adalah mengidentifikasi sikap personal yang berisiko dan mempelajari tehnik modifikasi perilaku. Sikap yang beresiko berkontribusi pada kesalahan penilaian penerbang dan menpengaruhi kualitas pengambilan keputusan. Sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan motivasi pribadi untuk menanggapi orang, situasi, atau peristiwa dengan cara tertentu. Terdapat lima sikap yang berisiko yang dapat mempengaruhi kemampuan penerbang untuk membuat keputusan dan
commit to user
menjalankan otoritas dengan benar., yaitu anti-authority atau tidak menerima pendapat orang lain, impulsif, tidak mau mengalah, sok berkuasa dan terlalu pasrah (resignation).
b. Manajemen stres
Mempelajari cara untuk mengenali dan mengatasi stres adalah teknik lain pengambilan keputusan yang efektif. Penyebab stres pada penerbang dapat berkisar dari cuaca tak terduga atau masalah mekanis sementara di penerbangan ke masalah pribadi yang tidak terkait dengan penerbangan. Stres adalah bagian tak terelakkan dan penting dari kehidupan; itu menambah motivasi dan mempertinggi respons seseorang untuk memenuhi tantangan apapun.
Kinerja umumnya meningkat dengan timbulnya stres, hingga mencapai titik maksimal, dan kemudian mulai jatuh dengan cepat jika tingkat stres melebihi kemampuan seseorang dalam mengatasinya.
Kemampuan untuk membuat keputusan yang efektif selama penerbangan bisa terganggu oleh stres. Stres dapat meningkatkan risiko penerbang dalam membuat kesalahan di dek penerbangan.
Menurut Hutagaol (2013) terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh penerbang, diantaranya yaitu:
pengetahuan yang cukup baik, keterampilan yang tinggi, pengalaman yang banyak, kepribadian dan sikap, fatigue, kondisi psikologis dan fisik serta kerjasama tim atau koordinasi awak. Sedangkan menurut Hunter (dalam Martinussen & Hunter, 2010), pengambilan keputusan dalam penerbangan
commit to user
dapat dipengaruhi oleh informasi yang efektif; kualitas, kuantitas dan format dari informasi; kemampuan penerbang dalam mengatasi berbagai tuntutan; serangkaian respon yang dilakukan oleh penerbang; kemampuan sistem dan pesawat terbang; dukungan dari luar; dan hasil dari keputusan terdahulu.
4. Pertimbangan dalam Pengambilan Keputusan
Pertimbangan yang baik dan kemampuan mengambil keputusan yang baik pada saat yang tepat merupakan suatu keterampilan penerbang yang sangat penting untuk dikembangkan. Setiap penerbang wajib memiliki data dan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk dianalisis (Hutagaol, 2013). Hutagaol (2013) juga menyatakan bahwa pertimbangan yang berdasarkan perhitungan terjadi setelah otak menerima informasi serta data, kemudian menganalisisnya dengan menggunakan ingatan jangka pendek dan jangka panjang untuk memilah, mempertimbangkan, dan membuat suatu keputusan. Pertimbangan terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Pertimbangan perseptual atau keterampilan yang dipelajari
Pertimbangan ini dapat dipelajari dari pelatihan yang benar dan efisien serta dari pengalaman. Hal-hal yang diperoleh dari pembelajaran tersebut menjadi bahan untuk menghasilkan suatu pertimbangan yang diresapi persepsi, perasa dan penjiwaan.
commit to user
b. Pertimbangan pemikiran atau pertimbangan kognitif
Pertimbangan ini merupakan pertimbangan yang dilakukan setelah menerima sejumlah informasi untuk diolah, dibandingkan, dan dievalusi untuk mengambil suatu keputusan yang tepat.
Pertimbangan membutuhkan pemusatan pikiran dan didasarkan oleh beberapa faktor, yaitu pengetahuan tentang buku-buku manual, kedisiplinan terhadap penggunaan prosedur yang standar (SOP), serta pengertian dan kesanggupan berpikir.
Serangkaian pengambilan keputusan yang keliru dapat mempengaruhi hasil akhir sebuah penerbangan, FAA (2008) menyebutkan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat akan melakukan penerbangan, yaitu:
a.
Keputusan terkait dengan cuacab.
Keputusan dalam perencanaan penerbangan/ performance chartc.
Fatigue/ kegagalan untuk mengenali keterbatasan dirid.
Persediaan bahan bakarFederal Aviation Administration (FAA, 2008) juga menyebutkan ada tiga proses dalam pengambilan keputusan pada penerbang saat melakukan penerbangan, yaitu:
a. Menetapkan masalah
Langkah pertama dalam proses pengambilan keputusan adalah menetapkan masalah. Langkah ini diawali dengan mengenali bahwa perubahan telah terjadi atau perubahan yang diprediksi tidak terjadi.
commit to user
Salah satu kesalahan kritis yang dapat terjadi selama proses pengambilan keputusan adalah penetapan masalah yang keliru.
b. Memilih rangkaian tindakan
Setelah masalah telah diidentifikasi, pilot mengevaluasi kebutuhan untuk bereaksi dan menentukan tindakan yang dapat diambil untuk mengatasi situasi dalam waktu yang tersedia. Hasil yang diharapkan dari setiap tindakan yang mungkin harus dipertimbangkan dan risiko dinilai sebelum pilot memutuskan respon terhadap situasi.
c. Menerapkan keputusan dan mengevaluasi hasilnya
Meskipun keputusan dapat dicapai dan tindakan dilaksanakan, proses pengambilan keputusan masih belum lengkap. Hal ini penting untuk berpikir ke depan dan menentukan bagaimana keputusan dapat mempengaruhi fase lain dari sebuah penerbangan. Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap penerbangan, pilot harus terus mengevaluasi hasil dari keputusan untuk memastikan bahwa itu memproduksi hasil yang diinginkan.
B. Kualitas Komunikasi 1. Pengertian Kualitas Komunikasi
Kata komunikasi berasal dari bahasa latin communicare, yang berarti berpartisipasi atau memberitahukan (Liliweri, 1997). Menurut Dale Yoder dkk., (dalam Hutagalung, 2015), kata “communications” berasal dari sumber yang sama seperti kata “common” (bersama), oleh karena itu
commit to user
“communicate” (mengkomunikasikan) berarti bersama-sama membagi ide.
Hutagalung (2015) sendiri mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses dua arah, yaitu komunikasi tidak hanya berupa memberitahukan dan mendengarkan saja, komunikasi harus mengandung pembagian ide, pikiran, fakta, atau pendapat.
Sedangkan menurut Liliweri (2014), komunikasi merupakan suatu aktivitas manusia yang selalu melibatkan sumber komunikasi; pesan komunikasi yang berbentuk verbal dan nonverbal; media atau salauran sebagai sarana atau wadah tempat pesan atau rangkaian pesan dialihkan;
cara, alat atau metode untuk memindahkan pesan; penerima atau sasaran yang menerima komunikasi; tujuan dan maksud komunikasi; dan rangkaian kegiatan antara sumber atau pengirim dengan sasaran atau penerima. Komunikasi juga dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Lasswell dalam Effendy, 2001).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kualitas merupakan tingkat baik atau buruknya sesuatu, mutu atau taraf. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kualitas komunikasi adalah tingkat seberapa baik atau buruknya proses penyampaian atau pembagian pesan, ide, pikiran, fakta, atau pendapat oleh komunikator atau sumber komunikasi kepada penerima atau komunikan.
commit to user 2. Aspek Kualitas Komunikasi
Menurut Laswell dan Laswell (1987) terdapat beberapa aspek dalam kualitas komunikasi, yaitu:
a. Keterbukaan
Keterbukaan adalah adanya kemauan untuk membuka diri, mengatakan tentang dirinya sendiri yang pada awalnya berniat untuk disembunyikan dan mengatakan atas segala yang menimpa dirinya baik perasaan maupun perilaku.
b. Kejujuran
Bersikap jujur adalah mengungkapkan diri apa adanya atau sesuai dengan fakta yang terjadi, serta mengungkapkan yang menjadi problem dalam dirinya.
c. Kepercayaan
Kepercayaan adalah merasa yakin bahwa orang tersebut dapat diandalkan. Menaruh kepercayaan tanpa menaruh kecurigaan akan membantu memperlancar tercapainya tujuan komunikasi.
d. Empati
Empati adalah kemampuan untuk berpikir dan merasakan hal yang sesuai dengan yang dirasakan orang lain. Empati berarti berusaha menempatkan diri pada keadaan orang lain baik secara intelektual maupun emosional.
commit to user e. Mendengarkan
Mendengarkan adalah proses aktif yang membutuhkan konsentrasi dan bertujuan melakukan pemahaman terhadap stimulus untuk memberikan feedback. Dengan saling mendengarkan lawan bicara dan meresponnya maka dialog dapat terus berjalan.
Komunikasi antar pribadi dapat sangat efektif dan dapat pula sangat tidak efektif, hal ini dapat dilihat dari tiga sudut pandang (De Vito, 1997):
a. Sudut pandang humanistik yang menekankan pada keterbukaan, epati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan.
b. Sudut pandang pragmatis yang menekankan pada kepercayaan diri, kebersatuan, manajemen interaksi, daya ekspresi dan orientasi kepada orang lain.
c. Sudut pandang pergaulan sosial dan sudut pandang kesetaraan yang didasarkan pada model ekonomi imbalan dan biaya.
De Vito (2015) mengatakan ada tujuh kualitas atau keterampilan yang dipertimbangkan untuk menciptakan komunikasi yang efektif, yaitu:
a. Keterbukaan (openness)
Keterbukaan mencakup kesediaan untuk membuka diri, mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan. Keterbukaan juga termasuk kesediaan untuk mendengarkan dan bereaksi secara jujur terhadap pesan yang disampaikan oleh orang lain.
commit to user b. Empati (empathy)
Empati adalah kemampuan untuk merasakan yang dirasakan orang lain dari sudut pandang orang lain. Bersikap empati berarti mengerti secara emosional, tanpa kehilangan identitas pribadi, mengenai kejadian yang dialami oleh orang lain.
c. Sikap positif (positiveness)
Sikap positif dalam komunikasi interpersonal meliputi penggunaan pesan bersifat positif daripada pesan yang bersifat negatif.
d. Kebersatuan (immediacy)
Kebersatuan mengacu pada keterlibatan pembicara dan pendengar, terciptanya rasa kebersamaan dan kesatuan.
e. Manajemen interaksi (interaction management)
Manajemen interaksi yang efektif terlihat dari interaksi yang tidak seorang pun yang merasa diabaikan, masing-masing pihak berkontribusi dalam komunikasi.
f. Daya ekspresi (expressiveness)
Daya ekspresi merupakan kemampuan mengkomunikasikan keterlibatan secara jujur, misalnya bertanggung jawab atas pemikiran dan perasaan pribadi, mendorong ekspresi dan keterbukaan orang lain, dan memberikan umpan balik yang sesuai.
g. Orientasi kepada orang lain (other-orientation)
Orientasi kepada orang lain adalah kemampuan untuk mengadaptasi pesan interpersonal kepada orang lain, hal ini termasuk menyapaikan
commit to user
minat dan ketertarikan pada orang lain dan tentang hal yang dikatakan oleh orang tersebut.
Aspek kualitas komunikasi yang diungkapkan Sadarjoen (2005), terdiri dari:
a. Keterbukaan b. Kesadaran diri c. Harga diri d. Kecukupan diri e. Kepercayaan f. Empati
g. Keterampilan mendengar
Penelitian ini menggunakan aspek-aspek kualitas komunikasi yang disampaikan oleh Lasswell & Lasswell (1987), yang meliputi keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, empati dan mendengarkan. Komunikasi antar pilot dan co-pilot yang jujur dan terbuka mengenai sinyal-sinyal yang diperoleh dalam penerbangan akan memudahkan pilot dalam membuat pertimbangan dan pengambilan keputusan.
3. Komunikasi Efektif
Tubs dan Moss (1996) menyatakan bahwa komunikasi dikatakan berhasil apabila dapat menyampaikan yang ingin dikatakan dan orang lain memahami maksud yang ditujukan. Lima hal yang dijadikan ukuran bagi komunikasi efektif menurut Tobs dan Moss (1996) yaitu:
commit to user a. Pemahaman
Penerimaan yang cermat atas kandungan rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan.
b. Kesenangan
Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan maksud tertentu. Sebenarnya tujuan mahzab analisis transaksional adalah sekedar berkomunikasi dengan orang lain untuk menimbulkan kesejahteraan bersama atau mempertahankan hubungan.
c. Mempengaruhi pada sikap
Tindakan mempengaruhi orang lain merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain dalam berbagai situasi dan berusaha agar orang lain memahami ucapan kita.
Ketika memahami pesan, seseorang itu dapat saja tidak berarti menyetujuinya.
d. Memperbaiki hubungan
Keefektifan komunikasi diperlukan suasana psikologis yang positif dan penuh kepercayaan. Jenis pemahaman lainnya yang berpengaruh besar dalam hubungan manusia adalah memahami motivasi prang lain.
Komunikasi dilakukan bukan hanya untuk menyampaikan informasi atau untuk mengubah sikap seseorang, tapi hanya untuk “dipahami”.
e. Tindakan
Banyak orang berpendapat bahwa komunikasi apapun tidak ada gunanya bila tidak memberi hasil yang diinginkan. Mendorong orang
commit to user
lain untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan yang kita inginkan merupakan hasil yang paling sulit dicapai dalam berkomunikasi, karena lebih mudah mengusahakan agar pesan kita dipahami daripada agar pesan kita disetujui.
De Vito (1997) menyatakan bahwa komunikasi memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah menemukan diri (personal discovery), berhubungan dengan orang lain, meyakinkan orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya, untuk bermain, menghibur orang lain atau mengutarakan sesuatu yang baru. Sedangkan tujuan komunikasi menurut Effendi (1993) adalah:
a. Mengubah sikap (to change the attitude) b. Mengubah opini (to change the opinion) c. Mengubah perilaku (to change the behavior) d. Mengubah masyarakat (to change the society)
Fungsi komunikasi harus sesuai dengan tujuan diadakannya komunikasi itu, seperti adanya perubahan di berbagai aspek individu, di mulai dari sikap, pendapat, perilaku dan sosial. Effendi (2001) menyebutkan beberapa fungsi komunikasi, yaitu:
a. Menyampaikan informasi (to inform) b. Mendidik (to educate)
c. Menghibur (to entertain) d. Mempengaruhi (to influence)
commit to user
Sedangkan menurut Liliweri (1997), yang menyatakan bahwa komunikasi berkaitan dengan sikap pengambilan keputusan individu diakibatkan adanya proses komunikasi, fungsi komunikasi adalah:
a. Manusia berkomunikasi untuk membagi informasi.
Informasi merupakan kunci utama dalam pengambilan keputusan yang efektif. Individu maupun masyarakat tidak dapat berfungsi dengan baik jika tidak ada informasi. Apabila informasi itu benar dan dapat dibagi karena kesamaan makna maka akan menguntungkan pengambilan keputusan.
b. Manusia berkomunikasi untuk mempengaruhi orang lain.
Karena informasi sangat menentukan sukses tidaknya pengambilan keputusan maka komunikasi pada awalnya bertujuan untuk mendapatkan persetujuan dan kerjasama dengan orang lain. Tujuan pengambilan keputusan antara lain mempengaruhi orang lain terutama dalam sikap serta perilakunya.
4. Komunikasi dalam Penerbangan
Komunikasi efektif merupakan elemen dasar dalam memberikan instruksi. Instruktor penerbangan ynag memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sudah tinggi harus pula dapat melakukan komunikasi efektif dengan awak lain untuk membagi pengetahuan dan pengalaman tersebut. Komunikasi terjadi ketika seseorang meneruskan pikiran atau perasaan kepada individu lain atau sekelompok individu. Komunikasi
commit to user
efektif dapat diukur dengan adanya kesamaan antara gagasan yang diteruskan dan gagasan yang diterima (FAA, 2008).
Hutagaol (2013) menjelaskan, sebagai pilot in command, pimpinan atau nahkoda, seorang captain diharuskan mempunyai kemampuan (keterampilan) mengatur, melaksanakan, dan mengelola agar awak pesawat dapat bekerja sama secara efisien. Hal ini hanya bisa dicapai dengan komunikasi yang jelas. Setiap awak harus meyakinkan dirinya berbicara jelas dan efektif dengan tujuan agar lawan bicaranya mengerti sehingga informasi yang disampaikan atau yang ingin didapatkan tidak mengalami kerancuan selama penerbangan. Kochan, dkk. (dalam Martinussen & Hunter, 2010) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa bila dibandingkan dengan pilot yang kompeten, pilot yang ahli cenderung untuk mencari informasi yang lebih berkualitas dengan cara yang lebih tepat waktu, membuat keputusan yang lebih progresif untuk memecahkan masalah, dan berkomunikasi lebih mudah dengan semua sumber daya yang tersedia.
Menyadari elemen dasar dari proses komunikasi menunjukkan tercapainya sebuah komunikasi efektif. Mengenali berbagai penghalang dalam komunikasi juga dapat meningkatkan komunikasi efektif dalam penerbangan (FAA, 2008).
FAA (2008) menyebutkan bahwa dalam sebuah penerbangan, proses komunikasi terdiri dari tiga elemen, yaitu:
commit to user a. Sumber informasi atau komunikan
Sumber informasi antara lain yaitu pengirim informasi, pembicara, penulis, pemberi sandi, penyalur informasi, atau instruktor.
b. Simbol atau tanda yang digunakan dalam menyusun dan menyebarkan pesan (kata atau tanda).
c. Penerima pesan atau informasi
Penerima informasi disini yaitu orang yang mendengar, decoder, pembaca dan receiver. Komunikasi efektif ditunjukkan ketika penerima informasi bereaksi dengan memahami dan mengubah perilakunya berdasarkan informasi yang ia terima.
Kesalahan dalam penerimaan informasi dapat terjadi akibat adanya empat penghalang dalam komunikasi (FAA, 2008), yaitu:
a. Kurangnya pengalaman
Perbedaan pengalaman antara komunikator dan penerima informasi memungkinkan adanya penghalang besar dalam komunikasi yang efektif. Komunikasi dapat menjadi efektif jika pengalaman (baik fisik, mental maupun emosional) dari dua orang yang bersangkutan memiliki tingkat yang sama.
b. Kerancuan antara simbol/ tanda dan objek yang ditandai
Kata atau simbol tidak selalu menggambarkan sesuatu yang sama pada setiap individu. Untuk mencapai komunikasi efektif, pengirim dan penerima informasi harus menyadari perbedaan tersebut dan berusaha menyelaraskan pemahaman akan simbol atau informasi yang diterima.
commit to user c. Abstraksi yang berlebihan
Abstraksi harus dihindari dalam beberapa kasus, tetapi ada saat-saat tertentu abstraksi diperlukan dan difungsikan. Dalam dunia penerbangan, abstraksi diperlukan unutk memahami karakteristik pesawat terbang. Perbedaan abstraksi dapat terjadi karena adanya perbedaan pengalaman dan dapat menghambat komunikasi.
d. Interference atau gangguan
Beberapa penghalang komunikasi efektif mungkin dapat dikontrol dengan menambah pemahaman dan pengetahuan, tetapi beberapa faktor dari luar seperti kondisi fisik, lingkungan, dan gangguan psikologis terkadang lebih sulit untuk dikontrol, maka faktor-faktor ini perlu diwaspadai keberadaannya agar komunikasi efektif dapat dicapai.
Kanki dan Palmer (dalam Krivonos, 2007) memberikan struktur yang sangat baik tentang pentingnya komunikasi dalam penerbangan dan keselamatan penerbangan, terutama pengaruhnya terhadap kinerja kru, yang meliputi:
a. Komunikasi menyediakan informasi
Membagi informasi merupakan bagian penting dalam keselamatan penerbangan. Beberapa topik yang berkenaan dengan masalah pembagian informasi antara lain yaitu ekspektasi terhadap informasi yang diterima, dimana pilot mendengar informasi yang ia harapkan dan inginkan, dan seringkali tidak mendengar apa yang ia tidak harapkan untuk mendengarnya; membuat asumsi, dimana saat
commit to user
seseorang membuat asumsi, ia menginterpretasi pesan atau situasi dalam makna yang ia asumsikan, bukan apa yang sebenarnya dikatakan atau dirasakan; makna, bahasa dan jargon yang mungkin tidak dipahami; serta komunikasi efektif.
b. Komunikasi menetapkan hubungan interpersonal
Salah satu aspek dari hubungan komunikasi adalah bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain, khusunya pada lingkungan yang memiliki hirarki, dalam kasus ini yaitu dalam operasi pesawat terbang. Beberapa hasil penelitian seperti yang dilakukan oleh Linde, Thomas dan Pethili (dalam Krisonov, 2007) menyebutkan bahwa keselamatan penerbangan dapat dipengaruhi oleh komunikasi yang kurang asertif, berbelit-belit dan terlalu sopan. Sementara penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Linde dan Merrit (dalam Krisonov, 2007) menyebutkan bahwa hubungan interpersonal yang longgar tidak selalu diperlukan dalam keselamatan penerbangan.
c. Komunikasi menetapkan pola perilaku yang dapat diprediksi
Berfungsi untuk memprediksi pola perilaku, komunikasi dapat membantu mengkoordinasi kegiatan manusia termasuk kerjasama tim yang diperlukan untuk operasi efektif sebuah penerbangan yang kemudian berdampak pada keselamatan penerbangan. Ruffell Smith (dalam Krisonov, 2007) menjelaskan bahwa kesulitan pada penerbangan berhubungan dengan masalah kordinasi kru, bukan keterampilan teknis atau pengetahuan yang kurang. Kordinasi kru
commit to user
yang efektif dapat dicapai dengan komunikasi yang efektif, dimana kemudian kinerja kru yang efektif terkait lebih erat dengan komunikasi efektif kru daripada kemampuan individu untuk menerbangkan pesawat.
d. Komunikasi mempertahankan perhatian pada tugas dan perhatian Permasalahan lain dalam transfer informasi adalah ketika informasi diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat, tetapi informasi yang ada terlalu banyak (overload). Kondisi ini dapat mengarahkan pada ketegangan dan kesalahan, dan komunikasi atau informasi yang berlebihan sering terjadi di lingkungan penerbangan.
e. Komunikasi adalah sebuah alat manajemen
Aspek paling penting dari fungsi komunikasi sebagai alat manajemen adalah berkenaan dengan menciptakan dan mempertahankan budaya keselamatan dalam sebuah organisasi penerbangan, yang meliputi kepemimpinan dan pesan mengenai pentingnya keselamatan, perilaku dan sumber daya untuk menjaga pesan tersebut bahwa budaya keselamatan dapat dibangun dan dipelihara.
Kegagalan komunikasi dalam penerbangan dapat disebabkan oleh beberpa faktor menurut Orasanu, dkk. (1996), yaitu:
a. Permasalahan pada pengiriman informasi
Percakapan di dek pesawat dan antara kru penerbangan dan ATC sering terjadi dalam sebuah tugas penerbangan dan dapat terhambat oleh adanya gangguan. Pilot terkadang tidak mendengar apa yang
commit to user
disampaikan padanya karena sesuatu yang lain mengalihkan perhatiannya. Pengiriman informasi melalui radio dan logat yang tidak familiar juga dapat menyebabkan kesalahan dalam penerimaan informasi.
b. Permasalahan terkait konten dari komunikasi
Informasi yang disampaikan oleh komunikan tidak hanya harus diterima dengan baik, tetapi juga harus dipahami makna sebenarnya, karena bisa jadi satu kata memiliki makna yang berbeda, tergantung pada konteks pembicaraan tersebut. Lingkungan penerbangan mengharuskan penerbang memiliki kesamaan asumsi terkait dalam tiga hal berikut:
1) Pengetahuan dan asumsi tentang situasi saat ini
2) Pengetahuan profesional tentang peran dan tanggung jawab masing-masing individu (pilot, controller, operator, petugas kabin, dll), standard operational procedures serta kosakata dan ungkapan standar dalam penerbangan.
3) Pengetahuan terkait budaya, meliputi pengetahuan, keyakinan, norma, dan nilai-nilai yang lazim dalam budaya tertentu.
c. Permasalahan yang timbul dari model interaksi sosial
Perbedaan budaya dapat mempengaruhi kualitas komunikasi yang terjadi. Kesalahan dalam penerimaan informasi akan semakin besar kemungkinannya ketika komunikator dan komunikan memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
commit to user
Berdasarkan handout pelatihan Crew Resourch Management oleh Komando TNI AU I (2009), terdapat beberapa petunjuk komunikasi antar pribadi bagi awak kokpit. Dalam handout tersebut dijelaskan bahwa salah satu keberhasilan tugas awak kokpit ditentukan oleh komunikasi verbal yang jelas (celar) dan tepat (accurate), baik antar awak kokpit sendiri maupun dengan petugas lainnya. Agar hal ini bisa tercapai, prasyarat yang harus dipenuhi oleh awak kokpit dalam melakukan komunikasi antar pribadi antara lain:
a. Kesiagaan penuh untuk melakukan komunikasi antar pribadi
Begitu menjalankan tugasnya, awak kokpit hendaknya dalam kondisi siap untuk melakukan komunikasi. Komunikasi antar pribadi dalam kokpit hendaknya tidak disamakan dengan komunikasi sehari-hari.
Singkatnya, membuka telinga selebar-lebarnya (agar stimulus terdengar sebagaimana adanya) dan mengabaikan pesan atau isu lain yang tidak relevan dengan tugas, merupakan persyaratan awal yang harus dipenuhi pada saat awak kokpit melakukan komunikasi antar pribadi.
b. Mendengar aktif
Awak kokpit diharapkan mampu mengolah pesan atau informasi yang diterimanya, serta tidak membiarkan pesan berlalu begitu saja tanpa penelitian ulang, sikap kritis atau dorongan untuk menggali lebih dalam.
commit to user
Selain prasyarat di atas, terdapat tujuh prinsip untuk menciptakan komunikasi yang baik pada saat awak kokpit melakukan komunikasi antar pribadi (Komando TNI AU I, 2009), yaitu:
a. Prinsip kejelasan perumusan
Sebelum menyampaikan pesan, terlebih dahulu rumuskanlah secara jelas dan tepat apa yang ingin disampaikan.
b. Prinsip relevansi
Relevansi bukan hanya sesuai dengan masalah yang dihadapi, tetapi juga relevan dengan istilah, bahasa atau dengan hal-hal yang diketahui oleh si penerima pesan. Pengirim pesan harus meyakinkan penerima pesan bahwa apa yang ia sampaikan merupakan hal yang penting bagi si penerima pesan.
c. Prinsip kesederhanaan
Hendaknya pengirim pesan merumuskan hal-hal yang ingin disampaikan dalam kalimat atau istilah yang sederhanam efisien dan tidak berbelit-belit.
d. Prinsip kejelasan struktur
Bila ingin menyampaikan pesan beberapa hal sekaligus, maka perlu terlebih dahulu dipikirkan atau direncanakan suatu urutan pesan, mana yang lebih dahulu ingin disampaikan, mana yang kemudian, mana yang terakhir dan seterusnya.
commit to user e. Prinsip pengulangan
Ada kalanya hal-hal yang dianggap penting atau diperkirakan akan ditangkap secara tidak jelas oleh si penerima, atau istilah yang bila diucapkan akan terdengar sama dengan istilah lain, perlu diucapkan atau dikomunikasikan lebih dari satu kali. Dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi kekeliruan komunikasi.
f. Prinsip penekanan
Ada kalanya si pengirim pesan ingin menyampaikan bahwa dari serangkaian pesan atau kalimat yang disampaikannya terdpaat beberapa kata kunci yang perlu ditangkap atau diingat ole penerima pesan. Dalam hal ini penerima pesan dapat menggunakan intonasi, menaikkan suara atau menggunakan gerakan bagian tubuh pada saat mengucapkan kata kunci tersebut.
g. Prinsip perbandingan dan kontras
Seringkali komunikasi antar pribadi tidak jelas karena pengirim pesan mempunyai asumsi bahwa penerima pesan pasti sudah mengetahui beberapa hal yang dijadikan titik tolak oleh si pengirim pesan. Dalam hal ini, pengirim pesan dapat membandingkan atu mengkontraskan gagasannya dengan hal-hal yang diketahui oleh penerima pesan.
commit to user C. Fatigue 1. Pengertian Fatigue
Fatigue menurut The ICD 10 Classification of Mental and Behavioral Disorders (2004) dijabarkan sebagai sebuah kondisi yang ditandai oleh keadaan mengantuk, kekurangan energi, kewaspadaan mental, kelelahan yang sangat dan ketidakmampuan untuk berfungsi sepenuhnya karena kekurangan energi. Fatigue dapat terjadi karena banyak hal, termasuk penyakit, luka, atau obat-obatan dan dapat berupa fatigue akut maupun kronis. Mustopo (2011) mendefinisikan fatigue sebagai kelelahan yang sangat (deep tiredness), mirip stres dan bersifat kumulatif. Fatigue juga kerap dikaitkan dengan kondisi non-patologis yang dapat membuat kemampuan seseorang menurun dalam mempertahankan kinerja yang berhubungan dengan stres fisik maupun mental; atau, terganggunya siklus biologis tubuh atau jet lag.
Fatigue dalam dunia penerbangan sering dihubungkan dengan kondisi kurang tidur, kondisi akibat tidur yang terganggu, atau kebutuhan kuat untuk tidur yang berhubungan dengan panjangnya waktu kerja, dan stres- stres kerja (dan penerbangan) yang bervariasi. Ahli lainnya sering mengaitkan fatigue dengan perasaan lelah bersifat subjektif, hilangnya perhatian bersifat temporer, dan menurunnya respon psikomotor; atau berhubungan dengan gejala-gejala yang dikaitkan dengan menurunnya efisiensi performance dan skill; atau, berhubungan dengan menurunnya
commit to user
kinerja sebagai hasil dari akumulasi stres-stres penerbangan. (Mustopo, 2011).
FAA (2008) menjelaskan bahwa, fatigue merupakan kondisi yang paling berbahaya untuk keselamatan penerbangan karena seringkali keadaan ini tidak begitu jelas bagi pilot sampai kesalahan serius dibuat oleh pilot. Sementara Hutagaol (2013) mendefinisikan fatigue atau kelelahan sebagai keletihan fisik yang terjadi pada bagian tubuh tertentu.
Pada penerbangan jarak jauh, penerbang akan merasa penat, letih, dan merasa seperti kehabisan tenaga. Hal ini juga dipengaruhi oleh usia, kondisi fisik, dan level stres yang menghabiskan energi. Kelelahan akan mengakibatkan menurunnya kesanggupan berfikir, pertimbangan, dan kehilangan kewaspadaan. Usaha menghilangkan kelelahan adalah istirahat yang sempurna.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fatigue adalah kelelahan yang sangat akibat kurang tidur, tidur yang terganggu, atau kebutuhan kuat untuk tidur yang berhubungan dengan panjangnya waktu kerja, stres-stres kerja yang bervariasi, menurunnya kinerja sebagai hasil dari akumulasi stres-stres penerbangan dan merupakan kondisi yang paling berbahaya untuk keselamatan penerbangan karena seringkali keadaan ini tidak begitu jelas bagi pilot sampai kesalahan serius dibuat oleh pilot.
commit to user 2. Gejala-Gejala Fatigue
The ICD 10 Classification of Mental and Behavioral Disorders (2004) menjabarkan gejala-gejala fatigue sebagai berikut:
a. Sebuah kondisi yang ditandai oleh keadaan mengantuk dan kekurangan energi dan kewaspadaan mental. Dapat terjadi karena banyak hal, termasuk penyakit, luka, atau obat-obatan.
b. Sebuah kondisi yang ditandai oleh kelelahan yang sangat dan ketidakmampuan untuk berfungsi sepenuhnya karena kekurangan energi. Fatigue dapat berupa fatigue akut maupun kronis.
c. Sebuah gangguan yang ditandai oleh penurunan kesadaran yang ditandai oleh kelambanan mental dan fisik.
d. Sebuah gangguan yang ditandai dengan keadaan kelemahan umum dengan ketidakmampuan untuk menghadirkan energi yang cukup untuk menyelesaikan kegiatan sehari-hari.
e. Keadaan umum berupa rasa lemah, lesu, tak bersemangat, lelah, kesulitan berkonsentrasi dan kesulitan melakukan tugas-tugas sederhana.
f. Rasa berkelanjutan luar biasa dari kelelahan dan penurunan kapasitas kerja fisik dan mental.
g. Setelah periode aktivitas mental atau fisik, ditandai berkurangnya kapasitas dalam bekerja dan efisiensi atau prestasi berkurang, biasanya disertai dengan perasaan lelah, mengantuk, dan mudah tersinggung.
commit to user
h. Keadaan kelelahan setelah pengerahan tenaga, mental atau fisik, ditandai dengan penurunan kapasitas untuk bekerja dan mengurangi efisiensi untuk menanggapi rangsangan.
i. Mengalami kekurangan energi dan sebagai hasilnya seseorang merasa tertekan. Tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Kelelahan akut merupakan kelelahan normal dengan gejala sesekali yang dimulai dengan cepat dan berakhir untuk waktu yang singkat. Istirahat dapat membantu meringankan kelelahan akut dan seseorang dapat kembali ke aktivitas normalnya. Kelelahan kronis adalah gangguan yang menyebabkan kelelahan ekstrim. kelelahan ini bukan semacam perasaan lelah yang hilang setelah beristirahat. Sebaliknya, akan berlangsung lama dan membatasi kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Kelelahan juga dapat disertai oleh kondisi lain, termasuk kehamilan, anemia, atau kanker, atau mungkin akibat dari obat-obatan atau masalah emosional.
Industrial Fatigue Research Commitee atau IFRC (Oesman &
Simanjuntak, 2011) mengungkapkan beberapa gejala fatigue, yaitu:
a. Pelemahan kegiatan
Pelemahan kegiatan ditandai dengan gejala perasaan berat di kepala, lelah di seluruh badan, rasa berat di kaki, menguap, pikiran kacau, mengantuk, ada beban pada mata, gerakan canggung dan kaku, berdiri tidak stabil dan rasa ingin berbaring.
commit to user b. Pelemahan motivasi
Pelemahan motivasi ditandai dengan adanya gejala susah berpikir, rasa lelah untuk berbicara, gugup, tidak dapat berkonsentrasi, sulit memusatkan perhatian, mudah lupa, kepercayaan diri berkurang, merasa cemas, sulit mengontrol sikap, tidak tekun dalam pekerjaan.
c. Kelelahan fisik
Kelelahan fisik ditandai dengan adanya gejala sakit di kepala, kaku di bahu, nyeri di punggung, sesak nafas, haus, suara serak, pening, spasme di kelopak mata, tremor pada anggota badan dan merasa kurang sehat.
Menurut Michielsen, dkk., (2003) terdapat dua dimensi kelelahan, yaitu:
a. Kelelahan fisik
Kelelahan yang dialami pada dasarnya merupakan proses yang bersifat kumulatif dan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan untuk melaksanakan tugas serta penurunan perhatian terhadap stimulus dari lingkungan.
b. Kelelahan mental
Selain mengalami penurunan kemampuan, orang yang mengalami kelelahan umumnya juga menagalami perubahan motivasi untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Penelitian ini menggunakan dimensi fatigue yang dikemukakan oleh Michielsen, dkk., (2003), yang meliputi dua aspek yaitu kelelahan fisik
commit to user
dan kelelahan mental. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pilot dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu kelelahan fisik dan mental.
3. Penyebab Fatigue dalam Penerbangan
Menurut Mustopo (2011) terdapat beberapa situasi yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi fatigue. Situasi tersebut bisa fisik- fisiologis maupun psikologis. Secara umum, fatigue merupakan hasil dari konsumsi resources, baik fisik dan/ atau mental. Manifestasi fatigue dapat berupa perasaan letih atau menurunnya kinerja. Beberapa situasi yang dapat dikaitkan sebagai penyebab terjadinya fatigue, antara lain kebutuhan tidur (baik karena kurang tidur atau terganggu), jadwal waktu kerja dan istirahat yang menyebabkan circadian desynchronization, posisi duduk yang terbatas dalam durasi penerbangan yang lama, kekurangan nutrisi dan cairan yang berhubungan dengan terbatasnya asupan, cockpit ergonomics and equipment yang tak nyaman, kebisingan, vibration, hypoxic environments (perubahan tekanan atmosfer, tingkat kelembaban dan perubahan temperatur), akibat dari zat-zat dan obat-obatan tertentu (seperti kafein, alkohol, antihistamines), accelerative forces and G- related stress, stres-stres psikologis yang berhubungan dengan situasi kerja maupun misi- misi penerbangan khususnya di lingkungan militer.
4. Dampak Fatigue dalam Sebuah Penerbangan
Mustopo (2011) menyebutkan beberapa dampak yang menunjukkan penurunan performance yang disebabkan oleh fatigue, yaitu:
commit to user
a. Penurunan motivasi dan perubahan suasana hati
Simtom awal dari fatigue dan kurang tidur biasanya adalah berubahnya perasaan atau suasana hati menjadi lebih negatif. Terkait dengan hal ini, umumnya orang melaporkan munculnya rasa malas untuk memulai kerja, atau merasa kurang bertenaga, mudah tersinggung, diliputi perasaan negatif, dan mengantuk. Mereka yang mengalami hal tersebut seringkali menyangkal bahwa mereka mengalami hal tersebut.
Perubahan minat dan motivasi sering dikaitkan dengan menurunnya performance. Menurunnya inisiatif dan meningkatnya perasaan tidak suka serta perasaan mudah tersinggung pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain; suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan kerjasama tim.
b. Penurunan rentang perhatian (span of attention)
Hasil sejumlah penelitian menunjukkan bahwa fatigue dan terganggunya waktu tidur akan menyempitkan rentang perhatian dan kesulitan berkonsentrasi terhadap tugas-tugas tertentu khususnya yang membutuhkan tingkat kewaspadaan tinggi. Gangguan tidur, seperti terbangun karena mimpi, mempunyai efek yang sama dengan gangguan sistematika berpikir yang dapat menyebabkan kehilangan perhatian sesaat dan menurunnya kemampuan konsentrasi. Sejalan dengan meningkatnya fatigue dan berkurangnya waktu tidur, lapses of attention menjadi meningkat pula.
commit to user c. Kehilangan daya ingat jangka pendek
Tanda yang jelas sebagai akibat hilangnya waktu tidur adalah ketidakmampuan mengingat apa yang pernah didengar, dilihat, atau dibaca sebelumnya. Hilangnya daya ingat terutama terjadi pada daya ingat jangka pendek. Seseorang yang mengalami fatigue akan lupa tentang pesan-pesan, data yang baru dibacanya. Sebuah penelitian melaporkan, individu yang tidak tidur dalam 24 jam akan gagal mengingat beberapa informasi atau materi yang baru dibacanya.
Setelah 48 jam tidak tidur karena harus bekerja terus menerus, daya ingat terhadap bahan/materi yang baru dibacanya akan menurun lebih dari 40 persen.
d. Waktu reaksi melambat
Sebenarnya fatigue dan terganggunya waktu tidur tidak hanya menurunkan kecepatan reaksi, melainkan juga akurasi reaksi. Bahaya fatigue dan hilangnya waktu tidur kadang kurang dapat diprediksi, seperti jenis respon-respon apa sajakah yang terganggu. Hal ini tergantung dari tugas apa yang sedang dilakukan, karena pada tugas tertentu ada yang lebih peka terhadap terganggunya waktu tidur dan fatigue, sedangkan untuk tugas yang lain kurang peka. Tidak tidur dalam satu malam mungkin efeknya kecil pada 5 menit pertama pelaksanaan tugas yang menuntut kewaspadaan, namun bila tugas tersebut harus dilakukan selama 15 menit maka kinerja akan
commit to user
memburuk. Bertambahnya tingkat kesulitan tugas menyebabkan respon jadi lebih lama yang mengakibatkan kinerja menjadi rusak.
e. Tidak menyadari adanya penurunan kinerja
Dalam kondisi fatigue, individu biasanya lebih mudah menerima tingkat kinerja yang lebih rendah dan seringkali sebenarnya mereka tahu kesalahannya tetapi tidak berusaha mengoreksinya. Di samping itu, kondisi fatigue juga membuat seseorang kehilangan fleksibilitas dalam pendekatan masalah serta kemampuannya mengamati suatu persoalan, atau dalam melihat kemungkinan baru dalam mengatasi masalah.
f. Menurunnya interpersonal skills dan kegagalan crew coordination.
Seperti telah disinggung sebelumnya, fatigue dapat menyebabkan menurunnya inisiatif dan meningkatnya perasaan negatif, serta perasaan mudah tersinggung yang pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain; suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan interaksi antar awak yang menyebabkan menurunnya kerjasama tim. Problem koordinasi antar awak pesawat sebagai dampak dari fatigue, dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
1) Ketidaktepatan dalam menetapkan prioritas tugas, 2) Komunikasi yang tidak efektif, atau
3) Tidak adanya tindakan koordinasi.
commit to user
Dampak lainnya yaitu lack of awareness, menurunnya keterampilan motorik, konsentrasi terpaku, poor instrument flying, dan cenderung kembali ke kebiasaan lama.
5. Jenis-Jenis Fatigue
FAA (2008) dan Mustopo (2011) menyebutkan ada dua jenis fatigue, yaitu:
a. Fatigue jangka pendek (acute fatigue)
Fatigue akut merupakan kelelahan yang dirasakan setelah jangka waktu yang lama akibat tekanan fisik maupun mental, termasuk kerja fisik yang berat, imobilitas, beban kerja mental yang berat, tekanan emosional yang kuat, monoton, dan kurang tidur. Fatigue merupakan pertimbangan utama dalam menentukan panjang dan frekuensi dari periode instruksi penerbangan dan instruksi penerbangan harus dilanjutkan hanya selama penerbang dalam keadaan waspada, menerima instruksi, dan tampil di tingkat yang konsisten dengan pengalaman.
Fatigue akut ditandai dengan adanya hal-hal di bawah ini:
- Kurang perhatian (inattention) - Distractibility
- Kesalahan dalam melakukan aksi - Mengabaikan tugas sekunder - Kehilangan akurasi dan kontrol
- Kurangnya kesadaran terhadap akumulasi dari kesalahan-kesalahan
commit to user - Mudah marah (irritability)
b. Fatigue jangka panjang (chronic fatigue)
Fatigue kronis dapat terjadi ketika tidak ada pemulihan dari episode berulang dari fatigue akut. Long-term fatigue atau fatigue yang bersifat kronis lebih sulit dikenali. Fatigue jenis ini dapat muncul dari sejumlah penyebab yang bervariasi, termasuk tidak fit, baik fisik maupun mental; kondisi stres, baik karena masalah pekerjaan ataupun rumah tangga; kekhawatiran finansial, dan beban kerja. Fatigue ini juga dapat bersifat subjektif, artinya ada penerbang yang memiliki toleransi yang cukup, namun yang lainnya tidak; bisa juga terjadi pada seorang penerbang dalam hal mana saat ini ia lebih toleran terhadap fatigue waktu dari sebelumnya. Bagi siapa saja yang mengalami fatigue yang bersifat kronis, tidak terbang adalah tindakan yang bijaksana.
Pemulihan dari fatigue kronis membutuhkan solusi yang berkepanjangan dan tidak tergesa-gesa. Fatigue kronis dapat menyebabkan terganggunya kinerja dan mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan pada penerbang, kecuali jika dilakukan tindakan pencegahan.
D. Pilot Pesawat Militer
Pilot adalah orang yang bertugas untuk menerbangkan pesawat terbang, baik untuk penerbangan sipil maupun militer (Prasetyo dalam Perwitasari, 2015). Hutagaol (2013) mendefinisikan pilot sebagai awak terbang yang
commit to user
mengoperasikan sebuah pesawat terbang pada suatu penerbangan yang terdiri atas Pilot in Command dan First Officer. Jabatan Pilot in Command diberikan kepada seorang penerbang yang mempunyai klasifikasi Captain Pilot. Dalam dunia militer, pilot pesawat militer atau orang yang menerbangkan pesawat disebut dengan penerbang (Rudy dalam Perwitasari, 2015). Penerbang ini kemudian dibagi menjadi tiga berdasarkan pesawat yang dioperasikannya, yaitu penerbang pesawat tempur, penerbang pesawat angkut dan penerbang helikopter (Agus, 2002). Sedangkan klasifikasi penerbang militer berdasarkan kualifikasinya dibagi menjadi empat, yaitu copilot, captain pilot, instructor dan test pilot.
E. Hubungan antara Kualitas Komunikasi dan Fatigue dengan Pengambilan Keputusan pada Pilot Pesawat Militer
Sebagai seorang penerbang militer, melakukan penerbangan menjadi tugas utama sekaligus menjadi sebuah keterampilan yang wajib dikuasai. Dalam sebuah penerbangan, keselamatan penerbangan menjadi hal penting sekaligus menjadi tanggung jawab bagi seluruh kru penerbangan, khususnya bagi seorang penerbang, melihat selama beberapa dekade ini kecelakaan penerbangan selalu dikaitkan dengan adanya faktor manusia, dan kekeliruan pengambilan keputusan pada pilot masih menduduki peringkat tertinggi sebagai penyebab sebuah kecelakaan pesawat terbang. Berdasarkan hasil penelitian NTSB (National Transportation Safety Board), disebutkan bahwa tidak kurang dari 47% kecelakaan penerbangan disebabkan kesalahan
commit to user
penerbang dalam judgement dan pengambilan keputusan (Mustopo, 2008).
Menurut O’Hare (2003), pengambilan keputusan dalam penerbangan menjadi sangat penting mengingat setiap hasilnya terkait dengan keselamatan penerbangan tersebut. Dalam melakukan pengambilan keputusan, setiap penerbang harus memahami seluruh informasi terkait yang telah diterima, mengevaluasi dan membandingkan dengan pengetahuan serta pengalaman.
Selain itu, penerbang harus dapat memisahkan fakta dari perasaan, mempertimbangkan solusi alternatif, memperhitungkan dan mengurangi resiko yang timbul, serta membuat keputusan yang tepat (Hutagaol, 2013).
Pengambilan keputusan juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kualitas komunikasi di dalam awak pesawat saat penerbangan berlangsung.
TNI AU sebagai organisasi satuan tugas penerbangan militer menganut sistem mekanistik sebagaimana lazimnya satuan-satuan militer lainnya yang ketat dalam struktur, hirarki dan komando. Sistem organisasi ini secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi kondisi hubungan interpersonal, terlebih hubungan antara senior dan junior. Hubungan interpersonal erat kaitannya dengan komunikasi, hubungan interpersonal yang terlalu berjarak dapat mempengaruhi kualitas komunikasi antar komunikan yang bersangkutan.
Seorang penerbang militer mengungkapkan bahwa sebuah kecelakaan yang diakibatkan oleh faktor manusia erat kaitannya dengan culture (budaya).
Budaya untuk selalu menerima perintah atasan tanpa pertimbangan sama sekali tidak dapat sepenuhnya diterapkan dalam dunia penerbangan. Jika seorang
commit to user
copilot tidak berani memberi saran kepada pilot tentang suatu potensi accident/
incident berkaitan dengan suatu rencana penerbangan, karena copilot tersebut seorang penerbang junior baik dari pangkat maupun kualifikasi, maka akan berakibat fatal dan dapat menimbulkan kecelakaan (tni-au.mil.id).
Kualitas komunikasi antar kru penerbangan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan saat penerbangan dan pada akhirnya juga mempengaruhi keselamatan penerbangan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hutagaol (2013), bahwa ketidak harmonisan yang terjadi di antara tim dalam koordinasi awak di kokpit menjadi suatu ancaman terhadap keamanan penerbangan. Perbedaan wibawa antara captain terhadap copilot akan sangat mempengaruhi kualitas kerjasama di kokpit. Sebuah riset di Inggris menyebutkan bahwa hampir 40% copilot ragu-ragu menyatakan pendapatnya kepada captain tentang pengoperasian pesawat yang dilakukan captain.
Padahal dalam sebuah penerbangan setiap awak harus meyakinkan dirinya berbicara jelas dan efektif dengan tujuan agar lawan bicaranya mengerti sehingga informasi yang disampaikan atau yang ingin didapatkan tidak mengalami kerancuan selama penerbangan. Selain itu, seorang captain diharuskan mempunyai kemampuan (keterampilan) mengatur, melaksanakan, dan mengelola agar awak pesawat dapat bekerja sama secara efisien. Hal ini hanya bisa dicapai dengan komunikasi yang jelas.
Di samping bertugas untuk melakukan penerbangan, anggota penerbang militer juga memiliki tugas lain di luar itu, hal ini tentu dapat memicu adanya kelelahan dalam bekerja, dan kelelahan atau fatigue ini juga dapat
commit to user
mempengaruhi pengambilan keputusan dalam sebuah penerbangan. Seorang penerbang militer memiliki tugas pokok dalam struktural organisasi TNI AU dan memilliki tugas terbang sebagai seorang yang memiliki kualifikasi terbang.
Tidak seperti penerbangan sipil dimana fatigue lebih disebabkan oleh jam terbang yang panjang, dalam penerbangan militer fatigue lebih disebabkan oleh beban kerja dan stres-stres psikologis yang berhubungan dengan situasi kerja maupun misi-misi penerbangan (Mustopo, 2011).
Menurut FAA (2008), fatigue merupakan kondisi yang paling berbahaya untuk keselamatan penerbangan karena seringkali keadaan ini tidak begitu jelas bagi pilot sampai kesalahan serius dibuat oleh pilot. Fatigue dapat menurunkan kinerja penerbang dan akibatnya dapat mengganggu pengambilan keputusan.
Mustopo (2011) menambahkan bahwa dalam keadaan fatigue, pengambilan keputusan akan cenderung kaku. Penerbang menjadi tidak fleksibel dalam mengamati berbagai alternatif tindakan yang paling aman. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan dampak yang berlawanan dari apa yang diharapkan, dan tentunya dapat berakibat fatal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara kualitas komunikasi dan fatigue dengan pengambilan keputusan pada pilot pesawat militer. Semakin baik kualitas komunikasi antara pilot dan copilot dan semakin rendah fatigue pada pilot, maka akan meningkatkan efektifitas pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pilot pesawat militer.
commit to user
F. Hubungan Kualitas Komunikasi dengan Pengambilan Keputusan pada Pilot Pesawat Militer
Komunikasi merupakan perekat antar individu yang dapat mengikat dan mendekatkan mereka dalam sebuah interaksi kelompok atau tugas kelompok.
Dalam dunia kerja, komunikasi merupakan perantara yang sangat dibutuhkan untuk mengorganisasi dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan dalam sebuah kelompok, terutama untuk tugas-tugas atau pekerjaan yang menuntut interaksi dan koordinasi antar individu. Komunikasi juga diperlukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan kepada orang lain, meminta dan memberi informasi, meminta orang lain untuk membagi ide dan saran mereka, memerintah seseorang untuk melakukan sebuah tindakan, dan mengatur hubungan sosial antar individu (Kanki & Palmer dalam Orasanu., dkk., 1996).
Dalam mencapai tujuan komunikasi sebagaimana yang disebutkan di atas, maka komunikasi tidak hanya sekedar disampaikan, tetapi komunikasi juga harus berkualitas. Kualitas komunikasi adalah tingkat seberapa baik atau buruknya proses penyampaian atau pembagian pesan, ide, pikiran, fakta, atau pendapat oleh komunikator atau sumber komunikasi kepada penerima atau komunikan.
Komunikasi yang berkualitas, efektif dan efisien yang menuntut koordinasi antar anggota kelompok sangat dibutuhkan khususnya dalam keadaan genting saat berada di kondisi yang beresiko tinggi. Pada saat kondisi darurat ditentukan oleh waktu yang terbatas dan masalah yang belum diketahui solusi apa yang paling tepat. Misalnya kondisi dalam ruang operasi, kebakaran,
commit to user
operasi militer, dan sebagainya. Dalam dunia penerbangan, komunikasi merupakan sebuah rutinitas yang diperlukan untuk melakukan koordinasi khususnya antar kru penerbangan dan antar kru penerbangan dengan Air Traffic Controller (Orasanu, dkk., 1996).
Komunikasi efektif merupakan elemen dasar dalam memberikan instruksi.
Instruktor penerbangan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sudah tinggi harus pula dapat melakukan komunikasi efektif dengan awak lain untuk membagi pengetahuan dan pengalaman tersebut. Komunikasi terjadi ketika seseorang meneruskan pikiran atau perasaan kepada individu lain atau sekolompok individu. Komunikasi efektif dapat diukur dengan adanya kesamaan antara gagasan yang diteruskan dan gagasan yang diterima (FAA, 2008). Keberhasilan sebuah operasi penerbangan menuntut lebih banyak dari koordinasi dan kerjasama kru penerbangan daripada keterampilan yang diperlukan untuk menerbangkan pesawat terbang. Keamanan penerbangan berulang kali dibahayakan oleh buruknya komunikasi antar kru penerbangan atau buruknya komunikasi antar kru dan ATC (Kayten dalam Orasanu, dkk., 1996).
Menurut Orasanu, dkk. (1996) keberhasilan komunikasi dapat dipengaruhi oleh budaya, meski pesan telah disampaikan dengan akurat dan maksud dari pesan tersebut dapat dimengerti, penerima pesan mungkin belum dapat mengerti pesan tersebut atau mengikuti maksud pengirim pesan begitu saja tanpa memahami makna sebenarnya dari pesan tersebut. Indonesia merupakan negara yang menganut budaya kolektivisme, dimana komunikasi pada budaya
commit to user
kolektivisme memiliki karakteristik yang rumit atau panjang lebar, rinci, seringkali secara tidak langsung atau tidak to the point, dan berfokus pada peran yang sesuai dengan budaya atau keselarasan kelompok. Budaya juga menentukan perbedaan individu dalam power distance yang dapat dilihat dari bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain (Hofstede dalam Orasanu, dkk., 1996). Dalam budaya yang memiliki power distance tinggi, perbedaan status sangat menonjol dan mempengaruhi komunikasi. Dalam penerbangan, perbedaan status dapat tercermin pada kesantunan copilot terhadap captain.
Power distance yang tinggi dapat kita lihat pula pada organisasi militer seperti TNI AU. TNI AU sebagai organisasi satuan tugas penerbangan militer menganut sistem mekanistik sebagaimana lazimnya satuan-satuan militer lainnya yang ketat dalam struktur, hirarki dan komando. Budaya dalam organisasi militer seperti selalu menerima perintah atasan tanpa pertimbangan sama sekali tidak dapat sepenuhnya diterapkan dalam dunia penerbangan. Jika seorang copilot tidak berani memberi saran kepada pilot tentang suatu potensi accident/ incident berkaitan dengan suatu rencana penerbangan, karena copilot tersebut seorang penerbang junior baik dari pangkat maupun kualifikasi, maka akan berakibat fatal dan dapat menimbulkan kecelakaan (tni-au.mil.id).
Orasanu, dkk. (1996) menjelaskan bahwa tujuan komunikasi dalam penerbangan adalah transmisi informasi dengan akurat dan tepat waktu, bersama dengan keberhasilan komunikasi pada situasi yang membutuhkan pemecahan masalah atau pengambilan keputusan oleh kru penerbangan. Hasil analisis yang dilakukan oleh FAA seperti yang dilaporkan oleh Jensel dan
commit to user
Bennel (dalam Orasanu, 1992) menunjukkan bahwa pengambilan keputusan menyumbang kurang lebih 50% terhadap kecelakaan pesawat terbang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan yang efektif dapat dilakukan jika komunikasi yang dilakukan antar kru penerbangan merupakan komunikasi yang berkualitas dan efektif, sehingga informasi yang diterima jelas dan tidak ambigu, sebagai data untuk menentukan keputusan.
G. Hubungan Fatigue dengan Pengambilan Keputusan pada Pilot Pesawat Militer
Pengambilan keputusan merupakan salah satu tindakan yang penting dalam sebuah penerbangan, terlebih bila penerbang menghadapi situasi emergency. Penelitian yang dilakukan oleh FAA (2008) dan NTSB (dalam Mustopo, 2011) menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penerbang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan. Pengambilan keputusan akan efektif ketika pilot berada dalam kondisi yang stabil, baik fisik, emosional, maupun psikis. FAA (2008) menjelaskan bahwa, ketidaknyamanan fisik, sakit dan fatigue dapat mempengaruhi ketajaman penglihatan, pendengaran, dan perasaan, yang semuanya penting untuk memperbaiki kinerja. Fatigue adalah salah satu bahaya yang paling berbahaya untuk keselamatan penerbangan karena mungkin tidak jelas bagi pilot sampai kesalahan serius yang dibuat.
commit to user
Penerbangan militer menghendaki seorang penerbang tidak hanya bertugas saat ada jadwal penerbangan saja, tetapi juga tetap bertugas di luar tugas penerbangan. Seorang penerbang militer memiliki tugas pokok dalam struktural organisasi TNI AU dan memilliki tugas terbang sebagai seorang yang memiliki kualifikasi terbang. Tugas pokok dalam struktural organisasi meliputi menyiapkan dan melaksanakan pembinaan personel serta pengoperasian unsur-unsur udara sesuai dengan fungsinya (sesuai dengan pesawat yang dioperasikan); mengamankan wilayah perbatasan, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan; membantu pemerintah untuk pengamanan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan; pencarian korban kecelakaan pesawat terbang dan sebagainya. Sedangkan tugas terbang sebagai seorang yang memiliki kualifikasi terbang meliputi melakukan latihan terbang, standby SAR, latihan dan operasi pesawat tempur, menjalankan tugas-tugas atau misi penerbangan, melakukan pengamanan udara seperti penindakan terhadap pesawat asing yang masuk wilayah udara Indonesia tanpa izin dan sebagainya (tni-au.mil.id). Tidak seperti penerbangan sipil dimana fatigue lebih disebabkan oleh jam terbang yang panjang, dalam penerbangan militer fatigue lebih disebabkan oleh beban kerja dan stres-stres psikologis yang berhubungan dengan situasi kerja maupun misi-misi penerbangan (Mustopo, 2011).
Kondisi fatigue yang dialami penerbang dapat mengakibatkan dampak yang sangat merugikan di bidang ini (Rosekind, et al., dalam Mustopo, 2008).
Mustopo (2008) menambahkan bahwa, pengambilan keputusan tak terlepas
commit to user
dari faktor psikologis seperti blocking mental dan penyempitan perhatian yang diakibatkan oleh fatigue. Blocking mental dan penyempitan perhatian dapat mempengaruhi penerbang terutama dalam mendapatkan data informasi untuk dasar pertimbangan (judgment) sebelum keputusan diambil. Bilamana fatigue mulai menyempitkan perhatian dan menghambat fleksibilitas berfikir, biasanya seseorang akan mengambil beberapa kemungkinan tindakan. Kemungkinan pertama, ia berusaha mengatasi situasi darurat dengan terpaku pada satu set prosedur yang khusus (biasanya yang termudah). Kemungkinan lainnya, dalam menghadapi situasi yang tak menguntungkan, penerbang mulai menurunkan standar akurasi performance yang lebih rendah. Kemungkinan lain yang bisa terjadi, penerbang terpaku hanya mengandalkan satu cara atau tindakan yang sering lebih sulit untuk mengatasi situasi yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena, menurut pengalaman subjektifnya, bila ia tidak menggunakan cara tersebut akan mengakibatkan konsekuensi yang lebih buruk. Ia mengambil tindakan yang diyakini secara subjektif tanpa didasarkan atas pemikiran yang logis dan realistis. Tindakan ini sangat dimungkinkan dapat meningkatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan dan kemudian juga meningkatkan resiko kecelakaan pada penerbangan yang dilakukan.
commit to user
H. Kerangka Pemikiran
Hubungan antara kualitas komunikasi dan fatigue dengan pengambilan keputusan pada pilot pesawat militer dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran berikut ini:
2
1
3
Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Penelitian
I. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan penelitian yang dinyatakan daam bentuk kalimat pertanyaan (Suryabrata, 1997). Hal ini disebabkan karena baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan oleh fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data sehingga disebut jawaban teoritik, belum merupakan jawaban empirik.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan antara kualitas komunikasi dan fatigue terhadap pengambilan keputusan pada pilot pesawat militer.
Kualitas Komunikasi (X1)
Fatigue (X2)
Pengambilan Keputusan (Y)
commit to user
2. Terdapat hubungan antara kualitas komunikasi dengan pengambilan pada pilot pesawat militer.
3. Terdapat hubungan antara fatigue dengan pengambilan keputusan pada pilot pesawat militer.