• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Buruh Migran Tenaga Kerja Indonesia(TKI) Ilegal di Perbatasan Indonesia- Malaysia. Disusun untuk memenuhi Tugas Migrasi Internasioanal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Permasalahan Buruh Migran Tenaga Kerja Indonesia(TKI) Ilegal di Perbatasan Indonesia- Malaysia. Disusun untuk memenuhi Tugas Migrasi Internasioanal"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Permasalahan Buruh Migran Tenaga Kerja Indonesia(TKI) Ilegal di Perbatasan Indonesia-

Malaysia

Disusun untuk memenuhi Tugas Migrasi Internasioanal Dosen : Wahyuni Kartikasari S.T, S.IP, M.Si

Disusun oleh :

Ivan Yudha 20140510012

Faisal Bahrun 20140510029

Gama Tando Elchusna 20140510076

Astri Ratna Prakasitari 20140510115 Virgina Zahratunnisa Taufik 20140510119

Putu Sukmadewi 20140510356

Kelas : A

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH Yogyakarta

(2)

2017

(3)

A. Pengertian Migrasi dan Faktor-faktor Migrasi

Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara. Migrasi merupakan salah satu dari tiga faktor yang dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, selain faktor lainnya, yaitu kelahiran dan kematian.

Mobilitas Penduduk juga dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk, (Mantra, 2000) Mantra menjelaskan bahwa mobilitas penduduk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, mobilitas penduduk vertikal atau sering disebut dengan perubahan status. Contohnya adalah perubahan status pekerjaan, di mana seseorang semula bekerja dalam sektor pertanian yang kemudian berubah bekerja dalam sektor non-pertanian. Kedua, mobilitas penduduk horizontal, yaitu mobilitas penduduk geografis, yang merupakan gerak (movement) penduduk yang melewati batas wilayah menuju wilayah lain dalam periode waktu tertentu. Selanjutnya Mantra (2000) juga menjelaskan bila dilihat dari ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen atau migrasi; dan mobilitas penduduk non-permanen (Circulation).

Menurut Everett S. Lee (Munir, 2000) ada 4 faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu:

1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal 2. Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan 3. Rintangan-rintangan yang menghambat 4. Faktor-faktor pribadi

Keputusan untuk melakukan migrasi dapat dipengaruhi oleh salah satu faktor atau gabungan beberapa faktor. Faktor-faktor lain yang menyebabkan keputusan untuk melakukan migrasi adalah faktor ekonomi dan politik. Melemahnya sistem politik dan ekonomi di suatu negara menyebabkan keputusan untuk bermigrasi sangat tinggi, hal ini dimaksudkan untuk mencari keamanan baik itu keamanan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam melakukan kegiatan ekonomi. Contoh perpindahan penduduk akibat kedua faktor ini ialah konflik yang terjadi di negara-negara timur tengah yang menyebabkan penduduknya bermigrasi secara besar-besaran ke negara-negara lain, khususnya negara-negara di Eropa. Sementara itu untuk faktor ekonomi contoh yang dapat di ambil ialah perpindahan yang dilakukan oleh para TKI yang memutuskan untuk mencari penghidupan yang lebih layak ke Luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, dsb.

1

(4)

Migrasi tenaga kerja biasanya di definisikan sebagai perpindahan manusia yang melintasi perbatasan untuk tujuan mendapatkan pekerjaan di negara asing (IOM, 2009).

Melalui cara yang resmi atau tidak resmi, difasilitasi atau tidak, tenaga kerja memberikan kontribusi ekonomi terhadap negara pengirim maupun tujuan. Tenaga kerja membantu memperbesar jumlah angkatan kerja di negara tujuan dan dapat membantu pembangunan di negara mereka sendiri melalui pengiriman uang penghasilan mereka.

Hal yang sama pun dilakukan oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yaitu dengan melakukan Migrasi ke luar negeri. Migrasi yang dilakukan oleh TKI ini pun dilakukan dengan berbagai cara, baik secara legal maupun ilegal. Dalam kasus migrasi secara ilegal, negara tujuan utama para TKI ialah Malaysia yang secara geografis berbatasan langsung dengan Indonesia. Migrasi yang dilakukan secara ilegal oleh para TKI menimbulkan banyak masalah baik ke negara para TKI pergi maupun kepada negara Indonesia. Hal ini di sebabkan pemerintah Malaysia yang terus menerus melakukan pemeriksaan penduduknya akan menemukan para TKI ilegal ini dan mendeportasi pihak-pihak yang ketahuan tidak memiliki izin untuk bekerja di negaranya. Data resmi tahun 2006 dari Malaysia diperkirakan ada kira- kira 700.000 tenaga kerja ilegal di Malaysia, yang sebagian besar (70 persen) berasal dari Indonesia (IOM International Organization for Migration, 2010).

Tenaga Kerja yang ketahuan bermasalah nantinya akan di deportasi oleh pihak berwenang negara Malaysia, begitu pula Tenaga Kerja asal Indonesia. Pendeportasian ini dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan jalur darat, laut maupun udara. Para tenaga kerja yang tidak ingin di deportasi biasanya akan lari dan mengungsikan diri ke wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia yaitu di daerah Kalimantan, hal ini disebabkan karena penjagaan yang lebih longgar daripada di wilayah berpenduduk.

B. Latar Belakang Migrasi dan Permasalahan

Malaysia merupakan salah satu negara yang berhubungan dengan masalah migrasi, khususnya migrasi tenaga kerja. Awal mula masuknya tenaga kerja migran ke Malaysia tidak bisa dilepaskan dari diterapkannya Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy/NEP) pada periode tahun 1971-1990. Kebijakan tersebut memicu ekspansi industri di Malaysia, terutama sektor manufaktur, dan kemudian diikuti pula oleh penambahan kesempatan kerja di perdagangan, jasa dan birokrasi pemerintahan yang hampir seluruhnya terpusat di daerah perkotaan.

(5)

Dalam perkembangan tenaga kerja migran yang datang ke Malaysia berpengaruh dalam dua hal. (Kassim, 1997) Pertama, pertumbuhan sektor manufaktur yang sangat pesat menyebabkan banyak penduduk muda Malaysia yang kemudian pindah ke kota untuk mengisi lapangan pekerjaan di sektor manufaktur dan jasa. Hal ini juga dipicu oleh makin tingginya tingkat pendidikan angkatan kerja Malaysia terutama sejak diterapkannya NEP pada awal tahun 70-an. Makin tingginya tingkat pendidikan ini, terutama di daerah pertanian, menyebabkan meningkatnya harapan untuk bekerja di sektor modern yang menjanjikan upah lebih tinggi. Sehingga menyebabkan kurangannya tenaga kerja di sektor pertanian.

Kedua, NEP juga meningkatkan kesempatan wanita Malaysia yang berpendidikan tinggi untuk bekerja di lapangan kerja formal. Tingginya kesempatan untuk berkarier ini menyebabkan pada akhirnya kebutuhan terhadap pembantu rumah tangga menjadi sangat besar. Sementara itu,wanita Malaysia yang kurang mendapat pendidikan formal lebih tertarik untuk mengisi pekerjaan di sektor manufaktur, karena tingkat upah yang lebih tinggi.

Akibatnya terjadilah kekurangan tenaga kerja untuk menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia.

Dua perkembangan ini kemudian membuat Pemerintah Malaysia membuka kesempatan terhadap masuknya para pekerja asing. Dari beberapa negara yang menjadi pemasok kebutuhan tenaga kerja untuk Malaysia, Indonesia menempati posisi yang sangat signifikan dalam segi kuantitas.

Sampai tahun 70-an, kehadiran TKI di Malaysia belum menjadi suatu masalah bagi masyarakat Malaysia. Kehadiran mereka bahkan tidak terlalu dirasakan oleh sebagian besar warga Malaysia, karena jumlah mereka yang relatif kecil dan terkonsentrasi di pedesaan.

Pada tahun 1979, Wakil Menteri Perburuhan Malaysia mengumumkan bahwa pekerja Indonesia yang bekerja di Malaysia berjumlah sekitar 12.000 orang. (Kassim, The Unwelcomed Guests: Indonesan Immigrants and Malaysian Public Responses, 1987)

Situasi mulai berubah saat memasuki dekade 80-an, arus migrasi dari Indonesia ke Malaysia meningkat secara tajam. Pada tahun 1981, Pemerintah Malaysia memperkirakan jumlah pekerja Indonesia telah meningkat menjadi kurang lebih 100.000 orang dan menurut laporan Masalah-masalah Buruh dan Tenaga Kerja yang dikeluarkan Kementerian Malaysia (nama baru dari Kementerian Perburuhan) tahun 1978/1988, pada tahun 1984 terdapat kurang lebih 500.000 pekerja asing di Malaysia, yang didominasi oleh TKI ilegal. Mereka tidak hanya bekerja di sektor perkebunan di daerah pedesaan, tetapi juga direkrut untuk bekerja

3

(6)

sebagai pembantu rumah tangga dan di sektor konstruksi yang kebanyakan berlokasi di perkotaan. (Abdullah, 1993)

Alasan paling besar untuk melakukan migrasi adalah untuk memperbaiki kesejahteraan hidup atau motif ekonomi. Hal tersebut diperkuat oleh negara asal kaum migran tersebut yang umumnya negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Mereka melakukan migrasi karena negara asalnya bukan lagi negara yang dapat memberikan kehidupan yang layak bagi masa depannya. Dikuatkan oleh berita-berita keberhasilan dan kesuksesan dari beberapa kaum migran di negara-negara baru yang sampai ke telinga sanak famili di negaranya. Akibatnya keinginan untuk melakukan migrasi menjadi daya penarik yang kuat bagi masyarakat di Indonesia.

Namun, tenaga kerja migran Indonesia sebagian besar dianggap menyalahi hukum akibat masalah dokumen. Mereka rata-rata tidak mempunyai izin kerja dan hanya berbekal paspor. Paspor yang mereka miliki pun umumnya didapatkan dengan memalsukan data-data, seperti usia dan daerah asal. Akan tetapi hal ini bukan semata-mata kesalahan dari para pekerja migran tersebut, karena tingginya animo para pencari kerja ke Malaysia ini kemudian dimanfaatkan para oknum untuk mengeluarkan dokumen-dokumen keimigrasian tanpa harus diserta data-data yang sebenarnya. Persoalan deportasi muncul sebagai akibat dari ketidakcakapan Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan penempatan dan perlindungan buruh migran. Faktor lain terjadinya deportasi terhadap WNI oleh Malaysia menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalimantan Barat, Maksum Jauhari adalah akibat masalah keimigrasian. Banyak TKI yang sebenarnya izin masa tinggal di Malaysia sudah habis, akan tetapi mereka masih berada di Malaysia. (Kompas, 2010)

C. Pokok Permasalahan Migrasi di Perbatasan

Migrasi yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, seiring berjalannya waktu muncul pula banyak permasalahan yang mengiringinya. Permasalahan tersebut hadir dan bervariasi berdasarkan tempat terjadinya, dan yang paling banyak menuai banyak perhatian kaum aktivis keimigrasian adalah kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Seperti kita semua tahu, Malaysia merupakan destinasi utama bagi masyarakat yang hendak melakukan migrasi, dimana hingga kini pun masih terdapat banyak perdebatan mengenai jumlah imigran Indonesia di Malaysia. BNP2TKI menyatakan bahwa jumlah TKI Indonesia di Malaysia hingga Juli 2012 berjumlah sekitar 1,9 Juta (detikFinance, 2012), sementara Dubes RI untuk Malaysia, Herman Prayitno dalam sambutannya di acara Sosialisasi Diaspora

(7)

termasuk jumlah tenaga kerja yang ilegal (Indonesia Diaspora Network Malaysia, 2013).

Letak Malaysia yang cenderung terjangkau dan terlihat menjanjikan membuat masyarakat Indonesia dari berbagai daerah tertarik melakukan migrasi dengan cara apapun, termasuk masyarakat daerah perbatasan.

Perbatasan merupakan tempat yang pada umumnya jauh dari jangkauan pemerintahan dan berada dalam kondisi yang jauh berbeda dengan pusat kenegaraan. Masyarakat di perbatasan pada umumnya akan merasakan dilema nasionalisme seperti yang terjadi di Indonesia. Karena pusat pemerintahan dan ekonomi berada di pulau jawa, pemerintah Indonesia terkadang dianggap kurang memperhatikan pemerataan terutama di daerah-daerah perbatasan. Hal ini membuat masyarakat perbatasan terkadang memilih untuk bermigrasi ke negara tetangga dan hal ini dapat dilakukan dengan mudah karena jarak menuju negara lainnya cenderung lebih dekat dibanding jarak menuju ibu kota negaranya sendiri. Migrasi masyarakat perbatasan itu dilakukan secara swadaya karena kurang berjalannya pengaturan keimigrasian di wilayah terkait dan berimbas juga pada terbukanya pintu bagi masyarakat Indonesia lain yang hendak bermigrasi namun ingin menghindari birokrasi, atau lebih mudah kita menyebutnya illegal. Banyaknya fenomena migrasi perbatasan tersebut cukup menjawab pertanyaan mengenai besarnya jumlah imigran dan mengapa Malaysia menjadi negara terbesar yang menampung masyarakat Indonesia. Namun yang menjadi permasalahan disini adalah, mengapa besarnya migrasi tersebut bisa menimbulkan masalah ? tentu hal ini akan terjawab apabila kita mengamati kejadian migrasi ini dari segi pandang negara penerima yakni Malaysia.

Malaysia memang cenderung menjadi negara yang terbuka bagi para imigran karena memang tenaga kerja lokalnya kurang mencukupi, namun semakin lama ketika banyak imigran yang masuk dan bersifat ilegal itu malah membalikkan keadaan. Keadaan yang pada awalnya membutuhkan berubah menjadi kekacauan ketika banyak tenaga kerja ilegal yang tersebar di Malaysia dan jelas melanggar peraturan kependudukan. Status dari tenaga kerja ilegal ini memang membingungkan karena kedua belah pihak baik Indonesia ataupun Malaysia tidak mencatatnya sebagai salah satu imigran, lantas siapa yang harus bertanggung jawab apabila terjadi tindak pelanggaran HAM yang menimpa para pekerja atau hal-hal yang merugikan lainnya terhadap para pekerja. Hal itu menjadi salah satu alasan Malaysia menetapkan Akta Imigresen 1154 tahun 2002 yang membuat seluruh imigran Ilegal selalu berada dalam ancaman hukum di Malaysia (Harian Nasional, 2016). Penetapan peraturan tersebut diaplikasikan secara tegas di dalam tragedi migrasi terburuk Indonesia yakni, tragedi 5

(8)

Nunukan 2002. Malaysia melakukan deportasi atas 800.000 imigran asal Indonesia yang diarahkan di Nunukan, Kalimantan Utara. Nunukan merupakan salah satu kawasan perbatasan dan di sana minimnya fasilitas untuk imigran masih terasa, terbukti dengan banyaknya korban sakit dan meninggal saat deportasi masal tersebut . Adanya tragedi tersebut juga diduga karena kurangnya platform perlindungan antar dua negara, kembali lagi yakni terkait masalah paradigma diskriminatif dan pertanggungjawaban serta status yang membingungkan bagi kedua negara.

D. Aktor-Aktor yang Terlibat

Banyaknya Program Transmigrasi yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat justru seringkali menimbulkan permasalahan yang baru di tempat tujuan dari program transmigrasi tersebut karena Pemerintah yang terkadang tidak memperhatikan keberlangsungan dan memberikan pendampingan secara rutin. Sulitnya melakukan adaptasi dengan tempat baru merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya masalah transmigrasi di Indonesia, kurangnya infrastruktur dan fasilitas yang memadai, kompetensi sumber daya manusia yang kurang hingga minimnya lapangan pekerjaan juga mengarahkan kepada berbagai permasalahan baru. Untuk lingkup transnasional, lemahnya pengawasan dari pemerintah dalam mengawal penyaluran buruh migran ke luar negeri, sering kali menyebabkan kemungkinan adanya masalah migran ilegal yang kerap mengarah kepada perdagangan manusia (human trafficking).

Timbulnya beberapa masalah terkait perihal transmigrasi dan migrasi menjadikan beberapa aktor, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah turun tangan untuk membantu mengatasi persoalan dan permasalahan yang ada. Aktor-aktor ini, khususnya dari para lembaga non-pemerintah memiliki tujuan tidak lain untuk dapat ikut berperan aktif dalam mengawal pelaksanaan dan monitoring pelaku migrasi, melakukan pemantauan terhadap usaha perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah agar dapat terjamin keamanan para pelaku migrasi hingga membantu dalam proses penyelesaian masalah yang kerap kali menimpa pelaku migrasi, khususnya bagi kaum buruh migran. Untuk permasalahan migrasi, LSM dari Indonesia sendiri banyak yang ikut berperan aktif dalam melakukan pendampingan buruh migrant seperti dari NGO Migrant CARE, Tenaganita, Tifa Foundation dan Yayasan milik Arsinah Sumitro, serta organisasi dan kelompok seperti Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia, Serikat Buruh Migran Indonesia, Indonesian Migrant Workers, hingga lembaga seperti Lembaga Advokasi Buruh Migran,

(9)

menyangkut persoalan legislasi hukum. Umumnya NGOs tersebut tergabung dalam JBM (Jejaring Buruh Migran) yang sudah terbagi dengan tugasnya sesuai dengan latar belakangnya masing-masing.

Pemerintah Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dalam menangani masalah imigran yang biasanya terjadi di daerah perbatasan antar negara seperti di daerah Entikong dan juga Nunukan, perbatasan antara wilayah kedaulatan Indonesia dengan Malaysia. Pemerintah sudah melakukan langkah-langkah yang diperlukan melalui Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dan Transmigrasi (DISNAKERTRANS), baik dari wilayah kabupaten maupun pusat. Dinas terkait melakukan tindakan yang dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu (Peran Disnakertrans Kab.Nunukan dalam menangani Tenaga Kerja Indonesia, 2015), pendataan dan penampungan TKI yang terjerat kasus deportasi, perlindungan terhadap TKI selama penampungan, pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dan fasilitas kepulangan ke daerah asal serta penempatan TKI yang ingin kembali bekerja ke luar negeri secara legal. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia melakukan koordinasi dengan pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Malaysia.

Indonesia melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah berupaya melakukan kerja sama dengan Pemerintah Malaysia mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang bekerja secara temporer dengan menginisiasi nota kesepahaman (MoU) antara kedua negara (BNP2TKI, 2017). Hal ini dilakukan karena bertujuan untuk memantau dan mengawasi hak-hak para tenaga kerja yang sering tidak terpenuhi gaji, upah lembur, tunjangan kesehatan dan perlindungan yang tidak terjaga dengan baik saat bekerja di Malaysia. Meski telah melakukan usaha perlindungan dan lainnya, menurut NGO seperti Migrant CARE dan Indonesian Migrant Workers, Pemerintah masih dirasa kurang maksimal dalam melakukan upaya pengawalan terhadap keselamatan dan kesejahteraan buruh migran karena fakta di lapangan yang berkata lain. Masih banyak ditemukan pelanggaran dan tindakan tidak adil seperti tidak diberikannya gaji atau pemotongan gaji, pembatasan kebebasan bergerak dan komunikasi, kriminalisasi, penyalahgunaan wewenang oleh otoritas setempat, pemerkosaan dan juga TKI yang menghadapi hukuman mati di luar negeri, khususnya di Malaysia.

Sementara NGO seperti Migrant CARE bersama Tifa Foundation melakukan langkah pro-aktif dengan program-program utama dari lembaga mereka dalam bentuk upaya mekanisme perlindungan hak-hak dasar buruh migrant saat bekerja di negara tujuan, advokasi 7

(10)

dan peningkatan kapasitas dari buruh migrant melalui cara memperluas kemitraan jaringan mereka dengan pihak-pihak tertentu. Bahkan mereka mempunyai program bernama MAMPU yang memiliki fokus pengembangan inisiatif lokal untuk memastikan jaminan perlindungan bagi buruh migrant perempuan (MAMPU, 2017) dengan melakukan kerjasama bersama Pemerintah Australia melalui program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. NGO bernama Tenaganita yang berpusat di Malaysia juga melakukan upaya advokasi pekerja migran dan hak perempuan. NGO ini memiliki fokus pada perlindungan hak buruh-buruh migran yang bekerja di Malaysia, upaya memberantas penyelundupan manusia dan pemberian fasilitas shelter bagi para buruh migran yang terkena krisis. Selain NGO lokal baik Indonesia maupun Malaysia, banyak NGO Internasional yang turut berperan aktif dalam membantu menyelesaikan persoalan buruh migran yang terjadi seperti Amnesty International.

Tidak hanya itu, untuk permasalahan di dalam negeri seperti perihal transmigrasi di Indonesia sendiri Pemerintah melalui Kementerian Desa, PDTT (Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) berusaha melakukan kerja sama dan menjalin mitra kerja dengan berbagai LSM dan NGO dari Indonesia agar dapat terbentuk sinergi antara Pemerintah dengan lembaga lain yang selama ini terkesan bekerja secara terpisah dengan melakukan programnya masing-masing untuk meningkatkan kapasitas wilayah transmigrasi, bentuk kerja sama ini disebut sebagai Kelompok Kerja (Pokja) Masyarakat Sipil (Adam, 2017) untuk menyelesaikan isu-isu perihal transmigrasi di wilayah yang sulit dijangkau seperti di dekat daerah terpencil (remote area).

E. Dampak Permasalahan Migrasi

Dampak positif dari migrasi tenaga kerja ke Malaysia adalah kemajuan fisik desa, yang dapat berupa menurunnya tingkat kemiskinan. Sedangkan dampak negatif migrasi, baik yang dialami migran, keluarga migran, maupun masyarakat secara umum antara lain berupa kecemasan tinggi, gangguan kejiwaan akibat stress, perpecahan keluarga bahkan perceraian, serta lunturnya norma dan nilai budaya dari daerah asal karena terlalu terbiasa dengan budaya di daerah migrasi. Lebih buruknya lagi, beberapa migran yang khususnya bekerja sebagai TKI seringkali diperlakukan dengan tidak menyenangkan oleh majikan mereka.

Dalam konteks politik dalam negeri Malaysia, kehadiran pekerja asing sebenarnya merupakan dilema bagi pemerintah. Di satu sisi ketakutan pemerintah Malaysia akan komunitas pekerja migran yang makin besar diakawatirkan menjadi pesaing berat pekerja

Referensi

Dokumen terkait

Selain kepribadian yang kuat dan darah biru yang mengalir ditubuhnya, menjadi kekuatan untuk menanamkan kepercayaan dan memperluas pengaruh sebagai pemersatu, Pangeran

Pada tahun 2013, di Kecamatan Teluk Duairi terdapat 2 KOPERMAS. Namun koperasi yang terdaftar, ada 1 koperasi yang aktif dan yang lainnya tidak aktif.. 0 2 4 6 8 Alam Alam

Kata ganti persona kedua adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada lawan bicara. Dengan kata lain, bentuk kata ganti persona kedua baik tunggal maupun jamak merujuk

Dari Tabel 4 dan Gambar 2 diperoleh variabel yang paling berpengaruh terhadap nilai lahan dan bangunan persepsi responden (penghuni perumahan) yaitu variabel faktor sosial berupa

Untuk mengetahui variabel motivasi berpengaruh terhadap kinerja usaha maka rumus yang digunakan adalah t hitung > t tabel yaitu 1,137 < 2,051 artinya

Diperkirakan bahwa perbedaan kekayaan spesies serangga herbivora dan connectance antara sawah organik dan konvensional akan signifikan dengan waktu pengamatan yang lebih

Tidak dapat dilepaskan kebutuhan untuk melakukan lobi dan diplomasi politik bagi buruh migran khususnya untuk memastikan dua hal, yaitu (1) transformasi buruh migran non

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini yang berjudul “ Bepahkupi sebagai