• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGKAJIAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN. Ketua Tim: Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H. M.H.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGKAJIAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN. Ketua Tim: Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H. M.H."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENGKAJIAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL

PERUSAHAAN

Ketua Tim:

Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H. M.H.

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI JAKARTA, 2009

(3)
(4)

PENGKAJIAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL

PERUSAHAAN

Editor:

Theodrik Simorangkir, S.H., M.H.

Ninuk Arifah, S.H.

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI JAKARTA, 2009

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Dalam era reformasi, keberpihakan kepada masyarakat tumbuh dengan subur. Pemerintah menginginkan sesuatu yang lebih dari kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar dan lingkungannya.

Hal ini juga dilakukan untuk mengantisipasi resistensi masyarakat sekitar terhadap perusahaan yang kurang peduli lingkungannya. Berdasarkan konsepsi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP), yang lahir dari prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan, Indonesia memasukkannya sebagai salah satu materi muatan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Di mana ditetapkan bahwa perseroan yang berusaha di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

Pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan ini mendapat respon yang berbeda dari berbagai kalangan, ada yang pro dan ada yang kontra dengan argumentasi masing-masing. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai beda pemahaman termaksud, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada tahun anggaran 2007 telah melakukan kajian hukum, dengan topik Pengkajian Hukum tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Pengkajian dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalahan hukum yang timbul dari pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang, juga berguna sebagai bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut dan pembentukan peraturan perundang-undangan berkenaan dengan tanggung jawab sosial perusahaan.

Penerbitan hasil kajian ini dimaksudkan, di samping menambah jumlah bahan referensi di bidang hukum ekonomi, khususnya mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang masih relatif sedikit, juga dimaksudkan untuk disebarluaskan kepada instansi pemerintah yang ada di pusat dan daerah. Dengan demikian masyarakat akan lebih mudah mengetahui, memanfaatkan dan mengembangkannya, khususnya di kalangan hukum dan bisnis.

(7)

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada semua anggota tim yang dipimpin oleh Ibu Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H., M.H., beserta semua pihak yang berperan serta, sehingga buku ini dapat diterbitkan.

Jakarta, September 2009

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

Prof. Dr. H. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCBArb.

(8)

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor G1-164.B.PR.09.03 Tahun 2007 Tanggal 2 Juli 2007 Tentang Pembentukan Tim Pelaksana Pengkajian Hukum, termasuk Tim Pengkajian Hukum Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

Laporan pengkajian hukum ini memuat berbagai masalah hukum berkaitan dengan penerapan tanggung jawab sosial perusahaan, khususnya setelah pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan dalam perubahan undang-undang tentang perseroan terbatas, yaitu Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, serta pembahasan identifikasi permasalahan yang melibatkan berbagai pihak terkait.

Tim menyampaikan bahwa pengkajian yang telah dilaksanakan dan penyusunan laporan dapat diselesaikan berkat kerja sama yang baik dari anggota tim. Namun, Tim juga menyadari bahwa laporan ini tidak terlepas dari kekurangan, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih pada Pimpinan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI yang telah menugaskan tim pengkajian ini. Kiranya hasil pengkajian dapat bermanfaat bagi pembangunan hukum, khususnya masalah hukum tanggung jawab sosial perusahaan.

Jakarta, Desember 2007 Ketua,

ttd

Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H., M.H.

(9)
(10)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ... ...

BAB I PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang ...

B. Permasalahan ...

C. Maksud Dan Tujuan ...

BAB II TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB

SOSIAL PERUSAHAAN (TJSP) ...

A. Konsepsi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan..

B. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Perundang-undangan ...

BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

DIHUBUNGKAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN. ...

A. Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Alam ....

B. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pengelola Sumber Daya Alam ...

BAB IV PRAKTIK COORPORAT SOCIAL RESPONSI- BILITY (CSR) DI MANCA NEGARA ...

BAB V KONSEPSI STANDARDISASI PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI INDONESIA ...

v ix 1 1 5 6

7 7 10

15 16 19

25

29

(11)

A. Kebutuhan Akan Standardisasi CSR ...

B. Trend Di Dunia ...

C. Standardisasi Pelaksanaan CSR Di Indonesi ...

BAB VI PENUTUP ...

A. Kesimpulan ...

B. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ...

29 30 32 43 43 44 45 49

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam dekade terakhir ini, di Indonesia muncul tingkat kesadaran dan mengharapkan sesuatu yang lebih dari perusahaan atau korporasi. Perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja atau mencari keuntungan (taking profit), melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi dalam mengatasi permasalahan atau tekanan sosial yang muncul dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang berada sekitar lingkungan perusahaan. Pemahaman ini lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP).

Konsepsi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) yang berkembang di Indonesia sendiri merupakan adopsi atau terjemahan dari Corporate Social Responsibility (CSR), berasal dan berkembang dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada sosial dan lingkungan. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Banyak perusahaan yang telah diprotes, dicabut izin operasionalnya, bahkan dirusak oleh masyarakat sekitar lokasi perusahaan karena melakukan kerusakan lingkungan, di mana perusahaan hanya mengeduk dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, tanpa memperhatikan faktor Iingkungan. Kurangnya perhatian dan tanggung jawab perusahaan terhadap tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat di sekitar. Selain itu, masyarakat sekitarnya juga menjadi terpinggirkan.

(13)

Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat beberapa tahun terakhir ini pada dasarnya mengacu atau berlandaskan pada prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment) dan prinsip-prinsipnya menjadi deklarasi Stockholm 1972, dan kemudian dikembangkan ke dalam prinsip-prinsip sustainable development (pembangunan berkelanjutan)1 yang dikukuhkan pada KTT Bumi di Rio de Jenerio pada tahun 1992. dan kemudian pembangunan berkelanjutan menjadi topik utama untuk KTT di Johannesburg, yang dinamakan World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang telah menghasilkan Deklarasi Johannesburg pada tahun 2002.

Dalam pertemuan Johannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Dan CSR telah dibahas juga dalam Pertemuan antar korporat dunia di Trinidad pada ISO/COPOLCO (ISO Committee on Consumer Policy) workshop 2002 di Port of Spain dalam pokok bahasan ‘Corporate Social Responsibility-Concepts and Solutions’, menegaskan kewajiban korporat yang tergabung dalam ISO untuk menyejahterakan komunitas di sekitar wilayah usaha.

Dalam perkembangannya TJSP menjadi isu dan perhatian negara- negara berkembang termasuk Indonesia. Muncul persepsi yang berbeda, sehingga kesenjangan pemahaman berkaitan dengan berbagai aspek yang diorientasikan oleh negara-negara maju dan lembaga international dengan aspek TJPS yang dilaksanakan di negara-negara berkembang2. Di satu sisi, pemahaman yang muncul dan pro pada TJSP menyatakan bahwa pada dasarnya substansi keberadaan TJSP

1 Konsep keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat

(14)

adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerja sama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan TJSP ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan. Di sisi lain, muncul pemahaman yang tergolong garis keras dalam menentang TJSP, karena dianggap produk neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil.

Dalam penerapan TJSP Indonesia, pada awalnya memang bersifat sukarela (voluntary), wajar jika penerapannya pun bebas tafsir berdasarkan kepentingan masing-masing. Antara lain: program pengentasan kemiskinan, perbaikan kesejahteraan, bantuan subsidi langsung dan sebagainya. ltu jika dilakukan oleh pemerintah sebagai unsur negara yang mempunyai peran penting di situ.

Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya ini sering tidak membawa hasil atau berkelanjutan. Di samping itu, walaupun ada beberapa perusahaan yang melakukan aksi kepedulian sosial, baik berupa dana bantuan atau sembako korban bencana alam, panti asuhan, dan lain-lain. Sayangnya, berbagai bantuan ini masih terkesan haus publikasi tanpa menyentuh akar masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Seringkali bantuan tersebut hanya berguna sesaat saja, selanjutnya masyarakat kembali pada kondisi semula.

Namun, belakangan ini Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) menjadi menarik karena diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). TJSP dirumuskan dalam Pasal 1 UUPT, yang didefinisikan bahwa Tanggung Jawab Sosial

2 World Bank mengartikan CSR adalah “the commitment of business to contribute to sustainable econoinic development working with employees and their representatives, their families, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development (The World Bank Group dalam Mas Achmad Daniri,” Mengapa Pewajiban TJSL Pada UUPT Tidak Jelas”, Kadin, Jakarta, 2007, hlm. 6)

(15)

dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya, selanjutnya secara normatif TJSL diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur antara lain:

Pasal 74

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran;

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah Sebagai konsekuensi dan pengaturan tersebut, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya paksa. Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah responsibility (tanggung jawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggung jawab hukum). Dalam artian, TJSP menjadi objek hukum yang dapat diikat dan dipaksakan, dan apabila tidak dilaksanakan akan mendapat sanksi.

Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mendapat respons yang berbeda dari berbagai kalangan.

Kalangan yang pro pengaturan berpendapat bahwa dengan mematuhi berbagai peraturan hukum, maka perbedaan korporasi sebagai pencari untung yang sebesar-besarnya, dengan pihak masyarakat,

(16)

dapat dijembatani secara elegan. Hukum berfungsi sebagai panduan untuk menentukan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing. Tetapi, di pihak lain kalangan berpandangan bahwa konsep di mana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Mereka berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, TJSP juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Di samping itu, proses regulasi yang menyangkut kewajiban TJSP perlu memenuhi pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel.

Dan perlu diperhatikan seberapa jauh dampak pengaturan terhadap keberhasilan program TJSP bagi masyarakat apakah pengaturan tersebut telah dengan sifat dan prinsip dari TJSP, dan harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan- badan yang melakukan penetapan dan penilaian standar, serta memperhatikan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran yang memadai, berkaitan dengan kesenjangan pemahaman yang terjadi atas pemahaman pengertian dan pelaksanaan TJSP serta pengaturan TJSP dalam peraturan perundang-undangan, perlu dilakukan kajian dan aspek hukum supaya Indonesia sebagai negara yang ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan TJSP.

B . Permasalahan

Pada dasarnya peraturan perundang-undangan nasional telah mengenal fungsi sosial dari perusahaan walaupun bersifat parsial dan terbatas. Dan perusahaan dalam menjalankan fungsi sosial memang pada awalnya bersifat sukarela (voluntarily), di mana dalam penerapannya pun bebas tafsir berdasarkan kepentingan masing-masing.

Namun, dengan diundangkannya UU No. 40 tahun 2007 tentang

(17)

Perseroan Terbatas, bahwa tanggung jawab perusahaan yang semula adalah bersifat sukarela (tanggung jawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggung jawab hukum).

Dengan demikian, pertanyaan yang timbul adalah: Bagaimana konsepsi dan pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan dalam rangka penerapan TJSP? apakah ada batasan terhadap bentuk perusahaan yang diwajibkan melaksanakan TJSP tersebut?

C. Maksud dan Tujuan

Pelaksanaan pengkajian ini dimaksud untuk mengidentifikasi permasalahan hukum yang timbul dari pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang tentang perseroan terbatas, serta memperoleh pemikiran teoritis mengenai konsepsi dan jenis tanggung jawab sosial perusahaan dari aspek hukum dan aspek lainnya.

Tujuan dilaksanakan pengkajian adalah hasil pengkajian diharapkan menjadi bahan akademik mengenai aspek hukum tanggung jawab sosial perusahaan. Di samping itu, hasil pengkajian ini menjadi bahan acuan bagi penelitian lebih lanjut dan pembentukan peraturan perundang- undangan yang terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan.

(18)

BAB II

TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (TJSP)

A. Konsepsi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Dalam uraian di bawah dikutif beberapa pengertian TJSP yang dirumuskan oleh lembaga internasional maupun lokal serta pengertian yang dirumuskan oleh undang-undang, dengan menguraikan pengertian tentang CSR atau TJSP diharapkan tergambar tujuan dan kegunaan dilaksanakannya TJSP, Pertama, World Bank mengartikan CSR adalah

‘the commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees and their representatives, their families, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development3,

Dalam pengertian di atas dapat ditafsirkan bahwa setiap orang atau badan hukum (perusahaan) mempunyai komitmen dalam kegiatan usahanya untuk berkontribusi membangun ekonomi yang berkelanjutan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, tidak saja untuk karyawannya atau yang diwakili dari keluarganya juga untuk masyarakat lokal bahkan global, dalam komitmen pembangunan ekonomi tersebut terintegrasi program atau aktivitas CSR, selain itu perusahaan mempunyai otoritas secara otonom merealisasikan program CSR yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup, tidak saja masyarakat setempat di mana perusahaan itu berada, tetapi juga masyarakat luas, di lain pihak pemerintah atau publik mendapat pelaporan tentang pelaksanaan CSR oleh perusahaan tertentu, karena di luar negeri pelaksanaan tanggung jawab tersebut dilakukan oleh perusahaan sendiri artinya terdesentralisasi

3The World Bank Group dalam Mas Achmad Daniri,” Mengapa Pewajiban TJSL Pada UUPT Tidak Jelas”, Kadin, Jakarta, 2007. hlm. 6

(19)

di tingkat perusahaan, dengan demikian CSR atau TJSP merupakan suatu bentuk aktivitas perusahaan mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan yang di dalamnya Kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat lokal maupun global.

Di lain pihak kata “business” (Inggris) menjadi “bisnis”

(Indonesia) secara berarti kegiatan usaha, selain itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata “bisnis” diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan4, sedangkan dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa

“Business: employment, accupation, profesion or commersial activity engaged in for gain or livelihood. Activity or enterprise for again, benefit, advandtage or livelihood...”

Sebagaimana uraian di atas maka bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang dan jasa-jasa maupun fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan5, selain itu “bisnis” berkaitan dengan aktivitas yang di dalamnya meliputi pula unsur-unsur seperti; pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencarian dan keuntungan.

Kedua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) mendefinisikan TJSP atau CSR sebagai “Tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan etis yang: Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;

Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder; Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;

Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi.6.

Disadari bahwa dalam proses produksi oleh organisasi (perusahaan), terjadi yang ditanggung pihak lain yang tidak terlibat di dalamnya, oleh

4 Depdiknas,”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, PT. Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hIm. 138

5 Richar Burton Simatupang, “Aspek Hukum dalam Bisnis;, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. I

6 Mas Achmad Daniri,” Mengapa Pewajiban TJSL Pada UUPT Tidak Jelas”. Kadin. Jakarta, 2007, hlm. 5

(20)

karena organisasi harus bertanggunjawab kepada pihak lain yang menerima dampak sehingga organisasi dengan sukarela dengan didorong moral dan etika melaksanakan aktivitas TJSP yang terintegrasi dalam organisasi tersebut, dalam definisi di atas tergambar bahwa tanggung jawab sosial suatu organisasi dilakukan melalui transparansi dan etis yang konsisten dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan kesejahteraan masyarakat, sedangkan perilaku transparan harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan sesuai dengan norma internasional serta aktivitas TJSP terintegrasi dalam kegiatan organisasi, akan tetapi dalam pengertian tersebut tidak tersurat secara jelas tujuan dari TJSP.

Pengertian TJSP yang dirumuskan oleh KADIN agak berbeda dengan pengertian CSR yang dirumuskan oleh World Bank, akan tetapi pada tahap pelaksanaan aktivitas atau program TJSP atau CSR sama-sama terintegrasi dengan kegiatan organisasi atau perusahaan, sehingga organisasi mempunyai hak otonom dalam merealisasikannya, dengan demikian dari pengertian yang dirumuskan oleh KADIN tersebut, nampaknya CSR dipandang atau dimaknai sebagai community development (CD), padahal CD hanya bagian kecil daripada CSR, CD dilaksanakan sebatas pada upaya untuk menjaga dan membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar.

Ketiga, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mendefinisikan TJSP sebagai “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualistas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya”7.

Dalam definisi yang dirumuskan UU, maka TJSP identik dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), istilah perusahaan dipersempit menjadi perseroan dan aspek lingkungan lebih mendapat perhatian. Dengan diaturnya TJSL dalam UU maka tersirat

7 Lihat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(21)

pelaksanaannya tidak lagi terintegrasi dalam aktivitas bisnis perseroan, dengan definisi tersebut terkesan adanya campur tangan pemerintah dalam pelaksanaannya, selain itu aktivitas TJSL digunakan sebagai sarana yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kualitas lingkungan yang bermanfaat, tidak saja untuk perseroan akan tetapi bermanfaat juga untuk komunitas setempat maupun masyarakat luas.

Sedangkan tujuan TJSL dalam UUPT yaitu untuk menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat, sedangkan kegunaan TJSL dalam UUPT antara lain digunakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan itu sendiri, komunitas setempat maupun pada masyarakat umumnya, dengan demikian semangat UUPT berkaitan dengan TJSL adalah sentralisasi pelaksanaan oleh pemerintah, termasuk harus dialokasikan perusahaan sejumlah dana dan dana tersebut akan diatur oleh pemerintah.

B . Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) Dalam Perundang- undangan

Istilah perusahaan dan bentuk-bentuk perusahaan terdapat dalam berbagai Undang-Undang, antara lain dalam Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan dirumuskan bahwa perusahaan adalah bentuk- bentuk usaha..., terminologi istilah perusahaan dalam UU tersebut sangat luas tidak saja perusahaan dengan bentuk usaha yang berbadan hukum juga termasuk perusahaan dengan bentuk usaha yang tidak berbadan hukum, selain itu diatur pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dengan demikian apakah perusahaan dan bentuk-bentuk perusahaan yang diatur di luar Undang-Undang Perseroan tersebut diwajibkan melaksanakan CSR atau TJSP atau TJSL menurut Undang- Undang Perseroan Terbatas?

Sebelum dijawab pertanyaan di atas terlebih dahulu perlu diuraikan pengertian perusahaan dan bentuk-bentuk perusahaan, istilah perusahaan

(22)

rnerupakan suatu pengertian ekonomi karena jika ditelusuri dalam KUH Dagang tidak terdapat rumusan atau penafsiran atau penjelasan resmi secara yuridis arti “perusahaan”8, akan tetapi terdapat pandangan berkaitan dengan rumusan perusahaan antara lain; disebutkan bahwa perusahaan merupakan suatu aktivitas dari para pihak secara terus menerus dan terang terangan atau terbuka serta dalam kedudukan tertentu untuk memperoleh laba rugi bagi diri sendiri atau bersama dengan mitra usahanya9, di lain pihak terdapat bentuk-betuk perusahaan yang terdapat dalam KUHPerdata antara lain; Perseroan Firma, Perseroan Komanditer dan Perseroan Terbatas juga terdapat bentuk- bentuk Perusahaan yang bersifat publik yaitu Perusahaan Perseroan dan Perusahan Umum.

Di lain pihak secara yuridis TJSP atau TJSL diatur dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), dalam UUPT diatur berbagai aspek berkaitan dengan Perseroan yang merupakan salah satu bentuk perusahaan, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, TJSP dirumuskan dalam Pasal 1 UUPT, yang didefinisikan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya, selanjutnya secara normatif TJSL diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur antara lain:

Pasal 74

ayat 1 Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;

8Soedjono Dirjosisworo, “Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) di In- donesia”, Mandar Maju, Bandung, 1977, hlm 7

9Menteri Kehakiman Belanda dalam Soedjono Dirjosisworo, “Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) di Indonesia”, Mandar Maju, Bandung, 1977, hlm 7

(23)

ayat 2 Tanggung Jawab Sosial den Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran

ayat 3 Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

ayat 4 ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam penjelasan Pasal 74 ayat 1 disebutkan bahwa, ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat, yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, yang dimaksud Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah Perseoran yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, sedangkan penjelasan Pasal 74 ayat (3) bahwa yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan adalah dikenai sanksi segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.

Di lain pihak dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dirumuskan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan10 dan BUMN terdiri dari Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahanan Umum (Perum)11,

10 Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

11 Lihat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

(24)

Perusahaan Perseroan berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 (lima puluh satu) persen sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utama mengejar keuntungan12, selain itu terhadap BUMN termasuk Perusahaan Perseroan selain berlaku UU BUMN berlaku juga perundang-undangan lainnya, termasuk UU Nomor 40 tahun 2007 tentang UUPT, dengan demikian Perusahaan Perseroan atau Persero harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam UUPT, termasuk di dalamnya kewajiban TJLS karena terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT.

Secara umum istilah Corporate Social Responsibility (CSR) diterjemahkan menjadi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP), dalam praktiknya terdapat kesenjangan pengertian CSR dengan pengertian TJSP, antara lain istilah perusahaan dirumuskan menjadi sempit hanya terbatas perusahaan yang berbentuk Perseroan, sehingga dalam undang-undang dibatasi bahwa tidak semua perusahaan diwajibkan melaksanakan TJSL, hanya bentuk perusahaan perseoran yang bergerak atau berkaitan usahanya dengan sumber daya alam (SDA) saja yang diminta komitmennya untuk bertanggung jawab sosial dan lingkungan, sedangkan jika dicermati tidak saja perusahaan perseroan yang mencari keuntungan dan berpotensi mempunyai dampak terhadap masyarakat juga bentuk-bentuk perusahaan lainnya berpotensi dampak yang sama, akan tetapi yang terakhir tidak diwajibkan untuk bertanggung jawab sosial dan lingkungan artinya tidak semua bentuk usaha dengan berbagai kegiatan usaha dikenakan kewajiban TJSL.

Selain itu istilah CSR atau TJSP dirumuskan dalam UUPT menjadi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), di lain pihak terdapat pemahaman yang berbeda dalam kaitannya dengan pelaksanaan TJSL, di Indonesia pelaksanaan TJSL terkesan disentralisasikan oleh pemerintah,

12 Lihat Pasal 1 angka 2 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN

(25)

sedangkan di luar negeri pelaksanaan CSR merupakan bagian yang didesentralisasikan oleh perusahan yang bersangkutan.

Komitmen peran serta perseroan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan = TJSL adalah alat yang digunakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya, sedangkan tujuan (TJSL) untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat, dengan demikian tujuan TJSL yang dirumuskan dalam UUPT terkesan seperti tujuannya CD, padahal CD lebih sempit dari CSR, karena CD merupakan bagian kecil dari CSR.

(26)

BAB Ill

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DIHUBUNGKAN DENGAN

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Pembangunan di Indonesia lebih menitik beratkan pada pembangunan ekonomi, pertumbuhan perekonomian yang baik akan menggerakkan pembangunan bidang lainnya yang dapat mewujudkan pemerataan pembangunan dengan memberi kesempatan kepada semua lapisan masyarakat.

Pada umumnya di negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam dalam pembangunan ekonominya lebih menekankan pada pemanfaatan sumber daya alam. Dalam kenyataannya pada negara berkembang terjadi kecenderungan eksploitasi besar besaran atas kekayaan yang terkandung dalam sumber daya alam untuk mengejar ketinggalan dalam pembangunan ekonomi dari negara maju dalam pembangunan, negara berkembang merasa mempunyai hak untuk membangun sehingga sering terjadi eksploitasi atas sumber daya alam tanpa memperhatikan pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia sumber daya alam hayati misalnya tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia, pandangan terhadap nilai ekonomi hasil hutan menyebabkan dalam pengelolaannya terjadi pemanfaatan hasil hutan khususnya kayu secara besar besaran dengan tidak memperhatikan kelestarian hutan dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya. Penebangan kayu secara resmi maupun illegal terjadi di mana-mana tanpa ada usaha reboisasi dan mengakibatkan kerusakan serta penggundulan hutan selain pada hutannya sendiri tetapi pada fungsinya sebagal wilayah resapan air maupun dalam fungsi hutan sebagai hutan lindung. Dalam pengelolaan sumber daya alam pertambangan mineral sering terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam tidak memperhatikan kelestarian lingkungan berupa pengabaian atas pencemaran lingkungan bahkan terjadi perusakan lingkungan yang berat (di Indonesia misalnya dalam penambangan di

(27)

Freeport, Newmont). Dalam pengelolaan sumber daya alam baik dalam pertambangan migas, non migas, atau dalam pengelolaan sumber daya alam hayati maupun sumber daya air, sumber daya kehutanan faktor lingkungan sering kurang mendapat perhatian. Perusahaan mengelola sumberdaya alam dengan mengejar keuntungan kurang memperhatikan selain lingkungan fisik juga lingkungan masyarakat sekitarnya di mana perusahaan itu berkiprah. Apabila dilihat dari ketentuan UUD pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat, maka jelas sekali sumber daya alam harus digunakan untuk kepentingan dan untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat, sebagaimana tujuan negara kesejahteraan yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam masalah kelestarian lingkungan ini perlu ada pengawasan terpadu pada semua instansi terkait terhadap pengelolaan sumber daya alam yang juga harus melibatkan perusahaan pengelola sumber daya alam yang biasanya secara langsung terlibat dalam masalah kerusakan lingkungan dengan tujuan untuk mencapai pembangunan yang tetap berwawasan lingkungan hidup dan berkelanjutan.

Dalam menanggulangi masalah itu muncul suatu pemikiran tentang adanya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pembangunan dan pengembangan masyarakat dan lingkungan perusahaan (CSR). CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan bertujuan menciptakan tatakelola perusahaan yang baik dengan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menciptakan masyarakat di wilayah usahanya dan lingkungan sekitarnya yang sehat.

A. Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Alam

Konferensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro tahun 1992 telah menghasilkan suatu agenda di mana negara-negara bertekad akan menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu realitas dalam kehidupan bernegara dan menggariskan prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan. Pembangunan berkelanjutan dimaksudkan

(28)

sebagai suatu pembangunan yang terus menerus dengan selalu memperhatikan kelestarian lingkungan pada semua generasi. Dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan itu diperlukan peran serta dan sikap kepedulian baik dari pemerintah, instansi dan masyarakat dari generasi ke generasi

Kerusakan lingkungan sering terjadi boleh dikatakan yang paling parah adalah dalam pengelolaan sektor sumber daya alam, baik sumber daya alam pertambangan mineral, migas, kehutanan, sumber daya hayati, sumber daya air dan sebagainya.

Dalam pembangunan berkelanjutan timbul masalah kerusakan lingkungan yang paling parah diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam yang selain sering melakukan pencemaran lingkungan dan merusak lingkungan juga merugikan masyarakat sekitarnya.

Di Indonesia ketersediaan sumber daya alam yang sangat kaya dalam berbagai bidang dan tersebar di berbagai wilayah dan sering terjadi perusakan lingkungan yang merugikan masyarakat sekitarnya.

Perusakan lingkungan sering dilakukan oleh para pengusaha dengan membuang limbah industri yang tidak tertata baik sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan, para penngusaha dalam pengelolaan limbah industri sering melupakan AMDAL. (Contoh di Freeport merusak hutan Timika, juga Newmont di Sulawesi Utara telah merusak perairan sekitarnya)

Pasal 33 ayat (3) UUD menyebutkan bahwa: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Penguasaan sumber daya alam ini diberikan kepada negara dan merupakan wewenang negara untuk mengatur peruntukannya dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam ini tidak perlu dilakukan negara dalam hal ini negara hanya mengatur peruntukannya. Penguasaan negara atas sumber daya alam dan semua aset lingkungan dan cabang ekonomi yang vital dilakukan dengan tujuannya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Hak menguasai oleh negara atas sumber daya alam tidak berarti negara yang harus mengelola sendiri pengelolaan dapat diberikan kepada

(29)

BUMD maupun pihak swasta nasional maupun asing, tetapi harus dengan kontrol dan pemerintah mengingat sumber daya alam adalah kekayaan bangsa Indonesia yang harus diatur oleh pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pengusahaan sumber daya alam merupakan usaha vital yang berkaitan dengan pemenuhan hajat hidup rakyat banyak.

Dalam pengelolaan serta pengusahaan sumber daya alam, baik sumber daya mineral, sumber daya migas, sumber daya kehutanan, sumber daya hayati, dan sumber daya air sering dilupakan tentang pentingnya pembangunan yang berkelanjutan. Faktor pelestarian lingkungan selama ini sering terabaikan baik dalam pengelolaan pertambangan mineral, pertambangan migas, pengelolaan sumber daya kehutanan dan air terlalu memperhatikan kepentingan pembangunan ekonomi, sehingga masing-masing sektor mengelola dan mengatur sendiri sendiri.

Pemanfaatan sumber daya alam yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi telah merusak lingkungan hidup dan perusakan pada sumber daya alam misalnya dalam pengelolaan sumber daya hayati dan kehutanan di mana dilakukan penebangan hutan besar besaran tanpa suatu rencana berkelanjutan dengan reboisasi, juga tidak memperhatikan hak hak masyarakat sekitarnya yang hidup dari sumber daya alam itu secara tradisional, serta tidak memperhatikan kelestarian lingkungan sekitarnya.

Karena itu dalam pembangunan sumber daya alam harus memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang menjadi komitmen masyarakat dunia sehingga terjamin kelestarian lingkungan hidup masyarakat yang akan memberi ruang lebih baik bagi pengelolaan sumber daya alam bagi kepentingan pelaku ekonomi maupun bagi masyarakat banyak. Selama ini dalam pengelolaan pertambangan mineral kurang memberi perhatian pada pelestarian lingkungan hidup dari pada pembangunan masyarakat sekitarnya, banyak lahan pertambangan mineral yang rusak dan dibiarkan sehingga lingkungannya hancur (misalnya pertambangan di Freeport). Bantuan sosial dalam pembangunan masyarakat sekitarnya sering dilupakan atau dilaksanakan tetapi tidak

(30)

ditata secara baik dan tepat untuk lingkungannya, Community Social Development sudah lama dianjurkan dilakukan oleh perusahaan dan sudah ada yang melaksanakan tetapi karena sifatnya sukarela maka pelaksanaannya tidak optimal. Pengusahaan sumber daya alam pertambangan akan berhasil baik apabila juga upaya pembangunan masyarakat sekitarnya khususnya dalam bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan diperhatikan. Tanggung jawab atas kelestarian lingkungan dan masyarakat bukan hanya kewajiban pemerintah saja tetapi juga semua pengelola sumber daya alam baik sumber daya alam migas, pertambangan mineral, kehutanan sumber daya air dan sumber daya hayati, dalam mengembangkan usahanya selain memperhatikan pengembangan dan pembangunan ekonomi juga harus memperhatikan dan melaksanakan pengembangan dan pembangunan masyarakat sekitarnya. Dewasa ini dalam perkembangannya telah ada perubahan sikap perusahaan dalam pengelolaan perusahaannya, para pengusaha mulai peduli dengan pembangunan masyarakat sekitarnya.

Beberapa perusahaan pengelola sumber daya alam mulai secara sukarela memberi perhatian pada masyarakat dalam lingkungan sekitar usahanya dengan cara memberi kesempatan kerja dan memberi bantuan sosial serta kerja sama pemberian bantuan berupa bina lingkungan dengan usaha kecil (Pertamina, Caltex)

Munculnya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR/Corporate Social Responsibility) yang diadopsi oleh UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan oleh UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah menimbulkan suatu polemik karena UU tersebut telah mewajibkan sesuatu yang sifatnya sosial menjadi suatu kewajiban dengan pengenaan sanksi.

B . Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pengelola Sumber Daya Alam

Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tanggung jawab sosial perusahaan timbul sebagai akibat ketidakpedulian perusahaan dalam mengelola usahanya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

(31)

Dalam pengelolaan sumber daya alam pertambangan mineral, tambang migas, sumber daya kehutanan dan hayati juga dalam pengelolaan sumber daya air perusahaan pengelola sering melakukan usahanya dengan tidak menyadari telah melakukan kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat sekitarnya. Dalam beberapa dekade beberapa perusahaan berusaha berkompetisi untuk mendapat keuntungan sebanyak banyaknya tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya.

Perusahaan mulai berpendirian bahwa memaksimalkan keuntungan perusahaan bukan satu-satunya yang harus diperhatikan tetapi juga harus memberi kontribusi kepada publik khusunya kepada masyarakat dan lingkungannya. Pemikiran tentang tanggung jawab sosial oleh perusahaan yang memperoleh keuntungan dalam usahanya mulai berkembang.

CSR telah dikembangkan di semua negara baik negara maju maupun berkembang konsepnya dikembangkan pada pertemuan ISO /COPOLCO di Trinidad tahun 2002. dimana semua perusahaan yang tergabung dalam ISO diwajibkan memberikan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar wilayah usahanya dalam upaya memberi kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat di lingkungannya. Konsep CSR memiliki asas moral bahwa perusahaan hidup bersama lingkungannya karena itu berdasarkan pemikiran bahwa bukan hanya pemerintah dengan kebijakannya yang harus bertanggung jawab terhadap masalah sosial yang dihadapi tetapi pihak perusahaan juga harus ikut bertanggung jawab. Pada beberapa negara maju sudah dilaksanakan CSR dilaksanakan secara sukarela dan bermanfaat dalam pengembangan perusahaan perusahaan kecil. Di Indonesia pada beberapa BUMN sudah melakukan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang merupakan kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil. PKBL bertujuan mengangkat kemampuan usah kecil agar menjadi tangguh dan dapat mengembangkan usaha.Mengingat sifatnya sukarela maka pelaksanaan CSR ini tergantung pada rasa tanggung jawab perusahaan jadi tidak semua perusahaan melakukannya. CSR juga tidak hanya berlaku bagi perusahaan besar saja tetapi juga perusahaan kecil yang sudah mampu melaksanakannya.

(32)

Masalah CSR pada perusahaan swasta nasional maupun swasta asing sejak dulu sudah dikenal ada yang melaksanakannya dalam bentuk yang dikenal dengan Social Community Development, PT Freeport di Papua juga sudah melaksanakannya tetapi tidak optimal dan kurang menyentuh sasaran, juga yang dilakukan perusahaan migas PT Caltex dan PT Pertamina.

Dewasa ini masalah CSR menjadi hangat dibicarakan karena ada pengaturan dalam UU No. 25 tahun 2007 dan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dalam Pasal 15 point b UU Penanaman Modal, disebutkan ada kewajiban penanam modal untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi dan seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.

Masalah yang muncul karena tanggung jawab sosial yang sifatnya sukarela menjadi suatu kewajiban, dalam UU Penanaman Modal tidak ada ketentuan sanksi apabila perusahaan tidak melaksanakannya.

Dalam Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas kewajiban itu lebih dijelaskan dan ini tentu hanya mengatur perusahaan yang berbentuk PT.

Pasal 74 UU Perseroan Terbatas:

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran;

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(33)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Penjelasan Pasal 74 UU PT disebutkan pada:

Ayat (1) Ketentuan ini bertujuan tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.

Yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam, adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.

Yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada kemampuan sumber daya alam.

Dalam ketentuan Pasal 74 UU PT terdapat pembatasan perusahaan yang wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yaitu hanya perusahaan yang berbetuk PT dan itupun dibatasi juga dengan ketentuan hanya bagi perusahaan yang mengelola sumber daya alam dan atau berkaitan dengan sumber daya alam.

Masalah yang timbul adalah:

1) karena TJSL diwajibkan dengan sanksi apabila tidak melaksanakannya meskipun peraturan pelaksananya belum ada;

2) TJSL dianggarkan pada biaya perusahaan.

Dengan adanya kewajiban itu CSR/TJSL yang tadinya bersifat sukarela sebagaimana istilah digunakan adalah tanggung jawab sosial dalam UUPT diwajibkan dengan sanksi apabila tidak melaksanakan.Selain itu juga TJSL harus dianggarkan sebagai bagian dari biaya perusahaan.

Pada umumnya tindakan sukarela dalam CSR apabila perusahaan mendapat keuntungan, tetapi apabila dianggarkan pada biaya perusahaan, ada kemungkinan perusahaan merugi, dan karena dianggarkan sebagai biaya perusahaan maka harga produk bisa menjadi lebih mahal.

Dapat dipahami apabila UUPT mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam sektor sumber daya alam karena perusahaan tersebut

(34)

baik sumber daya alam pertambangan mineral, migas, sumber daya kehutanan dan sumber daya air yang paling banyak melakukan kerusakan lingkungan dan sering tidak diperhatikan kesejahteraan masyarakat lingkungannya. Kerusakan lahan karena penambangan ataupun karena penebangan hutan sering tidak direhabilitasi yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berat dan sangat merugikan masyarakat setempat.

Dalam Pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang diwajibkan hanya perusahaan berbentuk PT dan yang bergerak dalam sektor sumber daya alam, perusahaan lainnya tidak ada kewajiban itu namun CSR/

TJSL juga seharusnya dilakukan oleh perusahaan non sumber daya alam juga dan dapat berpartisipasi secara sukarela untuk tercapainya kenyamanan dalam hubungan sosial dengan lingkungannya untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan perekonomian Indonesia.

Masalah lain dalam Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah adanya kewajiban bagi perusahaan yang terkait dengan sumber daya alam. Ini memerlukan suatu penjelasan yang rinci apa yang dimaksud dengan perseroan yang berkaitan dengan sumber daya alam ini karena perseroan yang bergerak dalam bidang berkaitan ini sangat banyak dengan rincian kandungan ketergantungan pada sumber daya alamnya yang berbeda (yang jelas mungkin SPBU, perusahaan gas elpiji).

Namun demikian dengan tujuan yang baik dan berdasarkan asas moral yang baik perusahaan dapat melakukan pengembangan masyarakat dan lingkungannya berdasarkan kesadaran hukum para pengusaha baik pengusaha besar maupun kecil, sehingga kesadaran hukum untuk secara sukarela melaksanakan CSR harus melekat pada semua sektor usaha baik usaha besar maupun kecil.

Kewajiban TJSL yang dibebankan kepada perusahaan berbentuk PT yang bergerak di bidang sumber daya alam mungkin akan dirasakan berat karena dibebani sanksi dan ini akan lain apabila itu sifatnya sukarela, tetapi berlandaskan kesadaran hukum dan asas moral serta rasa tanggung jawab kepada lingkungan dan masyarakatnya beban itu akan hilang karena manfaatnya lebih besar baik bagi perusahaan yang

(35)

menjadi kondusif maupun pada peningkatan perekonomian pada umumnya.

Dengan diundangkannya UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan diaturnya tentang TJSL dalam Pasal 74 meskipun peraturan pelaksananya belum terbentuk diharapkan terutama kepada perusahaan yang kegiatan usahanya dalam pengelolaan sumber daya alam untuk memperhatikan dan melaksanakan tanggung jawabnya atas kelestarian lingkungan sebagai upaya dalam pembangunan yang berkelanjutan.

Perusahaan pengelola sumber daya alam secara moral harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat di wilayah lingkungan usahanya. Demikian juga semua usaha baik dalam bentuk perseroan atau yang bukan perseroan yang bergerak tidak hanya dalam bidang sumber daya alam dan yang berkaitan dengan sumber daya alam dianjurkan secara sukarela untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan untuk mencapai pembangunan perekonomian yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

(36)

BAB IV

PRAKTIK CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

DI MANCA NEGARA

Di tingkat internasional, ada banyak prinsip yang mendukung praktik CSR di banyak sektor. Misalnya Equator Principles yang diadopsi oleh banyak lembaga keuangan internasional. Untuk menunjukkan bahwa bisnis mereka bertanggung jawab, di level internasional perusahaan sebenarnya bisa menerapkan berbagai standard CSR seperti:

Accountability’s (AA1000) standard, yang berdasar pada prinsip

“Triple Bottom Line” (Profit, People, Planet) yang digagas oleh John Elkington

Global Reporting Initiative’s (GRI) – panduan pelaporan perusahaan untuk mendukung pembangunan berkesinambungan yang digagas oleh PBB lewat Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan UNEP pada tahun 1997

Social Accountability International’s SA8000 standard

ISO 14000 environmental management standard

• Kemudian, ISO 26000.13

Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip- prinsip hak asasi manusia (HAM). Bank-bank di Eropa menerapkan kebijakan dalam pemberian pinjaman hanya kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik.

13 Yanuar Nugroho, “Commodum ToW Topulo: The Benefit is for the Whole Society”, 20 Maret 2007, diakses dan www.audentis.wordpress.com

(37)

Sebagai contoh, bank-bank Eropa hanya memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yakni ketika membuka lahan perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan.

Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corpo- rate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR.

Begitu pula London Stock Exchange yang memiliki Socially Respon- sible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki (FTSE) Good sejak 2001. Inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dan adanya indeks-indeks tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan dananya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam indeks.

Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap tahunnya kepada stakeholdernya. Laporan bersifat non finansial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungannya.

Di Uni Eropa pada tanggal 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi berjudul ‘Corporate Social Responsibility:

A new partnership” yang mendesak Komisi Eropa untuk meningkatkan kewajiban yang terkait dengan persoalan akuntabilitas perusahaan seperti tugas direktur (directors’ duties), kewajiban langsung luar negeri (foreign direct liabilities) dan pelaporan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (environmental and social reporting).

Banyak pihak menyambut gembira perkembangan ini. Semakin lama semakin disadari bahwa walaupun perusahaan (sektor bisnis)

(38)

selama ini sudah berkontribusi sangat positif terhadap pembangunan dunia, pada saat yang sama perusahaan harus diminta semakin bertanggung jawab. Karena, upaya memupuk laba cenderung (meski tidak selalu) mengabaikan tanggung jawab sosial.

Di lnggris, sudah lama perusahaan diikat dengan kode etik usaha.

Dan karena sudah ada banyak aturan dan undang-undang yang mengatur praktik bisnis di Inggris, maka tidak diperlukan UU khusus CSR.

Sekedar diketahui, perusahaan di lnggris ini tidak lepas dari pengamatan publik (masyarakat dan negara) karena harus transparan dalam praktik bisnisnya. Publik bisa protes terbuka ke perusahaan jika perusahaan merugikan masyarakat konsumen/buruh/lingkungan. Melihat perkembangan ini, tahun lalu, disahkan Companies Act 2006 yang mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat di bursa efek untuk melaporkan bukan saja kinerja perusahaan (kinerja ekonomi dan finansial) melainkan kinerja sosial dan lingkungan. Laporan ini harus terbuka untuk diakses publik dan dipertanyakan. Dengan demikian, perusahaan didesak agar semakin bertanggung jawab.

Mac Oliver — EA Marshal (Company Law Handbook Series, 1991) berpendapat, perusahaan Amerika yang beroperasi di luar negeri diharuskan melaksanakan Sullivan Principal dalam rangka melaksanakan Corporate Social Responsibilty, yaitu:

Tidak ada pemisahan ras (non separation of races) dalam makan, bantuan hidup dan fasilitas kerja.

Sama dan adil dalam melaksanakan pekerjaan (equal and fair employment process).

• Pembayaran upah yang sama untuk pekerjaan yang sebanding (equal payment compansable work).

• Program training untuk mempersiapkan kulit hitam dan non kulit putih lain sebagai supervisi, administrasi, klerk, teknisi dalam jumlah yang substansial.

• Memperbanyak kulit hitam dan non kulit putih lain dalam profesi manajemen dan supervisi.

(39)

• Memperbaiki tempat hidup pekerja di luar lingkungan kerja seperti perumahan, transportasi, kesehatan, sekolah dan rekreasi.14 Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk menjadi contoh penerapan CSR. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak asasi manusia (HAM). Berbasis pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna mengatur CSR.

Australia, misalnya, mewajibkan perusahaan membuat laporan tahunan CSR dan mengatur standardisasi lingkungan hidup, hubungan indus- trial, dan HAM. Sementara itu, Kanada mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan, dan penyelesaian masalah sosial.

Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam aspek sosial. Sementara aspek lingkungan apalagi aspek ekonomi memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar “pemanis bibir” (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah peningkatan kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.

‘Sinopsis UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, M. Yahya Harahap, Makalah Seminar disampaikan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 20 November 2007, dikutip dari MC Oliver — EA Marshal,

“Company Law Handbook Series” 1991 Hlm.321

(40)

BAB V

KONSEPSI STANDARDISASI PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN Dl INDONESIA

A. Kebutuhan akan Standardisasi CSR

Secara singkat CSR dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat sukarela. CSR adalah konsep yang mendorong organisasi untuk memiliki tanggung jawab sosial secara seimbang kepada pelanggan, karyawan, masyarakat, lingkungan, dan seluruh stakeholder.

Sedangkan program charity dan community development merupakan bagian dari pelaksanaan CSR.

Dalam praktiknya, memang charity dan community development dikenal lebih dahulu terkait interaksi perusahaan dengan lingkungan sekitarnya. Serta, kebutuhan perusahaan untuk lebih dapat diterima masyarakat. Sementara itu, lebih jauh CSR dapat dimaknai sebagai komitmen dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan aspek sosial, norma-norma dan etika yang berlaku, bukan saja pada lingkungan sekitar, tetapi juga pada lingkup internal dan eksternal yang ebih luas.

Tidak hanya itu, CSR dalam jangka panjang memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatnya kesejahteraan.15

Memang ada pendekatan yang berbeda-beda terhadap ketentuan dan pelaksanaan CSR. Dan sisi pendekatan, misalnya, ada commu- nity based development project yang lebih mengedepankan pembangunan keterampilan dan kemampuan kelompok masyarakat.

Ada pula yang fokus pada penyediaan kebutuhan sarana. Dan, yang paling umum adalah memberikan bantuan sosial secara langsung maupun

15’CSR Bukan Urituk Laba-Rugi Semata, Majalah Marketing Edisi 11/2007

(41)

tidak langsung guna membantu perbaikan kesejahteraan masyarakat, baik karena eksternalitas negatif yang ditimbulkan sendiri maupun yang bertujuan sebagai sumbangan sosial semata.

B. Trend di Dunia

Dua dekade terakhir ditandai dengan dinamika ekonomi yang memberi peran yang besar terhadap pasar saham. Dinamika ini, terutama terjadi di Amerika Serikat dan lnggris serta diikuti berbagai negara lainnya, ditandai dengan makin banyak korporasi yang memperoleh modal dan pasar saham. Turun naiknya harga saham mencerminkan nilai dari sebuah perusahaan. Makin tinggi harga saham, makin tinggi market value dari perusahaan tersebut. Tidak heran, manajemen perusahaan lebih banyak mencurahkan perhatian pada usaha untuk memaksimalkan nilai saham yang dibeli oleh investor atau shareholder melalui pasar saham tadi. Strategi bisnis perusahaan, oleh karena itu, seringkali lebih mencerminkan dimensi jangka pendek dan terkadang mengabaikan dampak sosial dan lingkungan demi mewujudkan tujuan memaksimalkan shareholder value tersebut.16

Akibatnya, muncul banyak debat tentang peran dan sepak terjang korporasi terutama dikaitkan dengan masalah kesenjangan global di atas. Debat ini berujung pada tuntutan bahwa perusahaan tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab sosial karena kegiatan mereka memiliki dampak tidak hanya dari dimensi ekonomi tetapi juga sosial dan lingkungan.

Tuntutan ini tidak hanya muncul dan traditional stakeholder yang memiliki keterkaitan bisnis secara langsung — seperti supplier, customer, competitor maupun regulator, tetapi yang lebih penting lagi dari stakeholder lainnya yang merepresentasikan civil society seperti LSM, kelompok masyarakat lokal, serta aktivis lingkungan dan HAM.

Stakeholder ini merasa prihatin dengan pengaruh korporasi yang makin besar dan luas. Malah dalam banyak kasus, pengaruh ini telah memasuki

16 Riawandi Yakub, “CSR: Perilaku Korporasi dan Peran Civil Society”, 14 September 2004.

(42)

wilayah politik turut mempengaruhi kebijakan pemerintah dimana korporasi tersebut beroperasi. Pengaruh politik mereka ini seringkali membuat pemerintah melupakan tanggung jawab dasarnya. Pengaruh ini bahkan tercermin di dalam pemilihan umum dimana korporasi ikut membiayai kampanye politik. Tidak heran bila praktik ini telah menggeser kontrak sosial dengan kontrak perusahaan yang menyediakan dana kampanye dan, pada gilirannya, mendiktekan agenda kepada pemerintah yang berkuasa. Realitas ini terjadi di banyak negara di dunia baik di negeri maju maupun berkembang.

Perkembangan CSR di mancanegara sudah demikian sangat populer.

Di beberapa negara bahkan, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan.

Para pendukung gagasan CSR, menggunakan teori kontrak sosial dan stakeholder approach untuk mendukung argumen mereka. Di bawah teori kontrak sosial, perusahaan ada karena ada persetujuan dari masyarakat (corporations exist, then, only by social permission).

Konsekuensinya, perusahaan harus melibatkan masyarakat dalam melaksanakan operasi bisnisnya.

Sementara stakeholder approach berpandangan bahwa keberadaan perusahaan bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan pemegang saham (stakeholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak lainnya (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup jelas bahwa masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan begitu juga sebaliknya.

Sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hill et. al (2007) memberikan gambaran yang mendukung pelaksanaan CSR sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan. Hill et. al melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melakukan praktik CSR lalu menghubungkannya dengan value perusahaan yang diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut.

(43)

Penelitian mereka menemukan bahwa setelah mengontrol variabel- variabel lainnya perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR, pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikkan nilai saham yang signifikan, namun, dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan- perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan praktik CSR.

Dan penelitian tersebut bisa dilihat bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen kuat di CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahan-perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR.

Pendeknya, CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka panjang.

Yang dapat dilakukan adalah mencoba untuk mengenal kerangka global dan mencari pendekatan mengenai prinsip-prinsip dasar yang dapat menjadi pedoman untuk penerapan CSR secara umum. Berapa di antaranya adalah:

• Menetapkan visi

• Memformulasikan misi

• Menetapkan tujuan

• Menetapkan kebijakan

• Merancang struktur organisasi

• Menyediakan SDM

• Merancang program

• Membagi wilayah

• Mengelola dana

C. Standardisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia

Pada tahun 1990an para aktivis pembangunan melihat persoalan kemiskinan sebagai persoalan ketimpangan dalam sistem politik. Menurut

(44)

pandangan mereka, kelompok-kelompok seperti komunitas lokal, masyarakat adat, dan buruh tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan pembangunan macam apa yang dibutuhkan. Akibatnya, demikian menurut pandangan mereka, pembangunan sering tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat tersebut dan sering timpang dalam pembagian keuntungan dan risiko.

Jalan keluar yang diusulkan para aktivis pembangunan adalah merubah skema pembangunan menjadi memberi kemungkinan berbagai kelompok melindungi kepentingannya. Kata kuncinya transparansi, partisipasi, dan penguatan kelompok lemah. Pemerintah dan perusahaan dituntut mekanisme untuk berkomunikasi dengan lebih banyak pihak dan memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka. Terakhir, harus ada upaya penguatan kelompok masyarakat agar dapat berpartisipasi dengan benar. Ketiga kata kunci di atas pada akhirnya menjadi semacam prinsip yang dianggap seharusnya ada bagi organisasi apapun dalam masyarakat.

CSR secara umum merupakan kontribusi menyeluruh dari dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dan kegiatannya.

Sebagai salah satu pendekatan sukarela yang berada pada tingkat beyond compliance, penerapan CSR saat ini berkembang pesat termasuk di Indonesia, sebagai respon dunia usaha yang melihat aspek lingkungan dan sosial sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing serta sebagai bagian dari pengelolaan risiko, menuju sustainability (keberlanjutan) dari kegiatan usahanya.

Penerapan kegiatan CSR di Indonesia baru dimulai pada awal tahun 2000, walaupun kegiatan dengan esensi dasar yang sama telah berjalan sejak tahun 1970-an, dengan tingkat yang bervariasi, mulai dari yang paling sederhana seperti donasi sampai kepada yang komprehensif seperti terintegrasi ke dalam strategi perusahaan dalam mengoperasikan usahanya. Belakangan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pemerintah memasukkan pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ke dalam Undang- Undang Perseroan Terbatas.

(45)

Pada dasarnya ada beberapa hal yang mendasari pemerintah mengambil kebijakan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan Pertama adalah keprihatinan pemerintah atas praktik korporasi yang mengabaikan aspek sosial lingkungan yang mengakibatkan kerugian di pihak masyarakat. Kedua adalah sebagai wujud upaya entitas negara dalam penentuan standar aktivitas sosial lingkungan yang sesuai dengan konteks nasional maupun lokal.

Menurut Endro Sampurno pemahaman yang dimiliki pemerintah mempunyai kecenderungan memaknai CSR semata-mata hanya karena peluang sumber daya finansial yang dapat segera dicurahkan perusahaan untuk memenuhi kewajiban atas regulasi yang berlaku. Memahami CSR hanya sebatas sumber daya finansial tentunya akan mereduksi arti CSR itu sendiri.

Akibat kebijakan tersebut aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan akan menjadi tanggung jawab legal yang mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak.

Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik. Konsekuensi selanjutnya adalah CSR akan bermakna sebatas upaya pencegahan dan dampak negatif keberadaan perusahaan di lingkungan sekitarnya (bergantung pada core business-nya masing-masing) padahal melihat perkembangan aktivitas CSR di Indonesia semakin memperlihatkan semakin sinergisnya program CSR dengan beberapa tujuan pemerintah. Terakhir yang mungkin terjadi adalah aktivitas CSR dengan regulasi seperti itu akan mengarahkan program pada formalitas pemenuhan kewajiban dan terkesan basa- basi.17

Keluhan hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dan pemangku kepentingannya sesungguhnya sudah terdengar setidaknya dalam dua dekade belakangan. Gerakan sosial Indonesia, khususnya

17 Roby Akbar, “Benang Kusut Regulasi CSR”, 3 Desember 2007, diakses dari robyakbar.wordpress.com

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa produksi kopi berpengaruh positif dan signifikan dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap volume ekspor

Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi

Adsorpsi asam humat pada permukaan padatan merupakan proses yang kompleks yang tergantung pada sifat permukaan zeolit alam dan sifat larutan asam humat itu

Hal tersebut menunjukan bahwa adanya perusahaan yang bereputasi di Indonesia berdasarkan majalah Media Bisnis Indonesia yang berjudul “100 Excellent Growth Company Ranks 2018”

• Sistem ekonomi demokrasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem perekonomian nasional yang merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang berasaskan kekeluargaan

Raja Nagori Balimbingan Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun tepatnya di depan Polsekta Tanah Jawa, mobil yang ditumpangi oleh terdakwa diberhentikan oleh pihak

Variasi capit pada Gambar 3 (b) sama dengan variasi pada Gambar 3 (a) dalam hal tidak menunjukkan adanya gigi (gape) pada dactil maupun pollex; bagian ujung dari