• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORIENTASI BIROKRASI TENAGA TEKNIS KEHUTANAN DI ERA RESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN DI KABUPATEN BONE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ORIENTASI BIROKRASI TENAGA TEKNIS KEHUTANAN DI ERA RESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN DI KABUPATEN BONE"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

ORIENTASI BIROKRASI TENAGA TEKNIS KEHUTANAN DI ERA RESENTRALISASI SEKTOR

KEHUTANAN DI KABUPATEN BONE

Oleh :

DESI RATNASARI M111 14 044

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)
(3)

iii

ABSTRAK

Desi Ratnasari (M11114044). Orientasi Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan di Era Resentralisasi Sektor Kehutanan di Kabupaten Bone. Dibawah bimbingan Yusran dan Muhammad Alif KS.

Resentralisasi merupakan proses menarik kembali urusan pemerintahan yang sudah dilimpahkan ke daerah yang dibahas secara umum didalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Kondisi pada era resentralisasi sektor kehutanan memberikan dasar perpindahan kewenangan birokrasi sehingga memberikan ketidakpastian birokrasi terhadap Tenaga Teknis Kehutanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui orientasi birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan dan reposisi penempatan birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan setelah peralihan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara observasi langsung, wawancara, dan penelusuran dokumen dengan pendekatan kualitatif.

Hasil Penelitian menunjukkan orientasi birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan yang memilih beralih ke Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan sejumlah 75 orang dengan alasan profesional sedangkan Tenaga Teknis Kehutanan yang memilih tetap di Kabupaten Bone sejumlah 26 orang. Orientasi birokrasi menunjukkan reposisi penempatan terjadi perubahan jabatan pada pejabat tinggi pratama, administrator, pengawas, dan pelaksana.

Kata Kunci; Orientasi Birokrasi, Tenaga Teknis Kehutanan, Resentralisasi

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah, rahmat, karunia dan izin-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Orientasi Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan di Era Resentralisasi Sektor Kehutanan di Kabupaten Bone”.

Shalawat dan salam juga penulis panjatkan kepada Baginda Rasulullah SAWyang memberikan ajaran yang benar untuk ummatnya hingga saat ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah membantu selama di lokasi penelitian juga dalam proses penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Yusran, S. Hut., M. Si, IPU. dan Dr Forest. Muhammad Alif KS., S. Hut., M. Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan perhatian dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak/Ibu Syahidah, S. Hut., M. Si. Ph.D., Dr. Ir. M. Asar Said Mahbub, M.P., dan Emban Ibnurusyd Mas’ud, S. Hut., M.P. selaku dosen penguji atas segala masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Kehutanan Bapak Dr. Ir. Syamsuddin Millang, M.S, dan Sekretaris Jurusan Bapak Dr. Ir. Baharuddin, M.P., serta Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf Administrasi Fakultas Kehutanan atas bantuannya.

4. Kepada Muhammad Fadhil Muis, S. Hut., Ikarurul Ahrul, S. Hut., dan Iswahyudi Manggunturang, S. Hut., dalam memberikan arahan dan saran positif dalam penyusunan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Penulis

Desi Ratnasari

(5)

v UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji hanya milik Allah SWT , Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak yang sangat berperan dalam penyusunan skripsi, Oleh karena itu, rasa penuh hormat, tulus dan ikhlas penulis haturkan terimakasih kepada:

1. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bone.

2. Kepada Nurfitriana, Jumriah Lira, Mardiana, Susianti, Wahyuni Samsu, Andi Fenni Aiska, Awaluddin Aziz, Wifitri Fifi BA., S. Hut., Icuk Sugiarta, Erwin Wellang, dan Ade Sugiarti, M.P., atas segala bantuan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

3. Kepada teman seangkatan Aksi Keluarga Rimbawan (AKAR 2014) terima kasih atas kebersamaan dan motivasi yang telah diberikan.

4. Teman-teman, kakak-kakak dan adik-adik di Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan.

5. Terkhusus kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibunda tercinta Ali Ramang dan Matahari atas doa, kasih sayang, kerja keras, motivasi, semangat dan bimbingannya dalam mendidik dan membesarkan penulis, serta seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi dan doanya kepada peneliti.

Penulis

Desi Ratnasari

(6)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan dan Kegunaan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Desentralisasi dan Resentralisasi ... 4

2.1.1. Desentalisasi ... 4

2.1.2. Resentralisasi... 5

2.2. Politik Birokrasi ... 6

2.3. Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan ... 8

2.4. Keadaan Umum Lokasi... 15

2.4.1. Karakteristik Lokasi dan Wilayah ... 15

2.4.2. Potensi Pengembangan Wilayah ... 16

2.4.3. Demografi ... 23

2.4.4. Tata Ruang Wilayah ... 27

2.4.5. Sosial dan Budaya ... 28

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

3.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 29

3.3. Metode Pelaksanaan Penelitian... 29

3.3.1. Populasi dan Sampel ... 29

3.3.2. Pengumpulan Data ... 30

3.4. Analisis Data ... 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

(7)

vii

4.1. Orientasi Pilihan Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan ... 32

4.2. Reposisi Penempatan Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan ... 36

V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 43

5.2. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 45

LAMPIRAN ... 47

(8)

viii DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 1. Rincian Kawasan Peruntukan Hutan Produksi berdasarkan

Kecamatan... 17

Tabel 2. Rincian Kawasan Peruntukan Pertanian berdasarkan Kecamatan ... 18

Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Bone Tahun 2012 ... 24

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Agama di Kabupaten Bone Tahun 2011 ... 25

Tabel 5. Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan (7 Tahun ke atas) di Kabupaten Bone Tahun 2010... 26

Tabel 6. Sampel Penelitian di Birokrasi Kehutanan Kabupaten Bone ... 30

Tabel 7. JumlahTenaga Teknis Kehutanan di Kabupaten Bone ... 32

Tabel 8. Reposisi Penempatan Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan ... 36

(9)

ix DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1. Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Bone ... 10

Gambar 2. Struktur Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan... 14

Gambar 3. Orientasi Tenaga Teknis Kehutanan yang Memilih Beralih ke Provinsi... 33

Gambar 4. OrientasiTenaga Teknis Kehutanan yang Memilih Tetap di Kabupaten Bone ... 34

Gambar 5. Wawancara dengan Polisi Kehutanan dan Staf Kehutanan Kabupaten Bone ... 67

Gambar 6. Wawancara dengan Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone ... 67

Gambar 7. Wawancara dengan Kepala Bidang Bina Kehutanan di Kabupaten Bone ... 68

Gambar 8. Wawancara dengan Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Bone ... 68

Gambar 9. Wawancara dengan Staf Kehutanan di Kabupaten Bone ... 69

Gambar 10.Wawancara dengan Tenaga Honor di Kabupaten Bone ... 69

Gambar 11.Wawancara dengan Pegawai Provinsi (Kasubag. Umum Kepegawaian dan Hukum ... 70

Gambar 12.Pengambilan Data yang Berhubungan dengan Penelitian di Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan ... 70

(10)

x DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1. Kerangka Pertanyaan ... 48

Lampiran 2. Identitas Responden ... 49

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 50

Lampiran 4. Peta Lokasi Penelitian ... 51

Lampiran 5. Orientasi Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan berdasarkan Orientasi Profesional dan Pribadi ... 52

Lampiran 6. Identitas Responden di Kabupaten Bone ... 54

Lampiran 7. Daftar Personel yang Beralih ke Provinsi ... 55

Lampiran 8. Daftar Polisi Kehutanan Non PNS yang Beralih ke Provinsi ... 58

Lampiran 9. Daftar Serah Terima Sarana dan Prasarana ... 59

Lampiran 10. Surat Penugasan Polisi Kehutanan dan Surat Keputusan Penugasan Sementara Penyuluh Kehutanan ... 63

Lampiran 11. Dokumentasi Penelitian ... 67

(11)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya alam termasuk hutan selalu menjadi bagian dari pembentukan dan perubahan peraturan perundang-undangan. Penempatan pengelolaan sumberdaya alam dalam kebijakan tidak terlepas dari kedudukan sumberdaya alam sebagai sumber daya yang mendatangkan kemampuan finansial negara untuk menyelenggarakan pelayanan dasar. Sebagai produk politik, sumberdaya alam dalam peraturan perundang-undangan terbagi menjadi 2 yaitu kebijakan atau kewenangan mengenai desentralisasi dan resentralisasi (Simarmata, dkk., 2016).

Kebijakan desentralisasi secara umum dibahas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana Undang-Undang tersebut masih memberikan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola sumberdaya alam. Kebijakan desentralisasi memiliki dampak negatif dari terbukanya otoritas yang cukup luas bagi daerah memunculkan berbagai persoalan birokrasi, seperti tumpang tindih kewenangan pusat dan daerah. Undang-Undang yang terakhir ini dianggap memulai proses menarik kembali urusan pemerintahan yang sudah dilimpahkan ke daerah yang disebut dengan resentralisasi dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Simanjutak, 2015).

Sejak dikeluarkannya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dianggap sebagai proses resentralisasi yang sempurna (Sahide, et al, 2016).

Kondisi pada era resentralisasi sektor kehutanan belum jelas pembagian adanya tugas, wewenang, tanggung jawab dari Pemerintah Pusat, Kabupaten, dan Provinsi, sehingga pelaksanaan kebijakan sektor kehutanan itu perlu diperjelas lagi dalam bentuk pedoman umum oleh Departemen Kehutanan yang diberi petunjuk pelaksanaannya oleh Dinas Provinsi dan petunjuk teknis oleh Dinas Kabupaten dalam setiap program pembangunan kehutanan (Azhar, 2012). UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memberikan dasar perpindahan kewenangan birokrasi kehutanan dari Kabupaten ke tingkat Provinsi

(12)

2 susuai arahan tata pengelolaan hutan yang konteks di era resentralisasi (Maryudi, 2016).

Ketidakpastian birokrasi terhadap Tenaga Teknis Kehutanan menyebabkan kebingungan dengan adanya pilihan birokrasi sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Tenaga Teknis Kehutanan dapat memilih beralih ke Dinas Kehutanan Provinsi sebagai pegawai kehutanan atau tetap bekerja di Kabupaten tetapi non kehutanan yang akan mempengaruhi kinerja birokrasi dalam pengelolaan sumberdaya manusia.

Tenaga Teknis Kehutanan pada hakekatnya adalah petugas kehutanan yang merupakan salah satu alat kontrol yang dapat melakukan pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan hasil hutan dan melestarikan sumberdaya hutan sebagai asset negara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tenaga Teknis Kehutanan memiliki peran strategis, baik dalam rangka penanganan kerusakan hutan serta pelestarian sumberdaya hutan (Handajani, dkk., 2014).

Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh resentralisasi sektor kehutanan mempengaruhi berbagai perubahan tata kelola kehutanan termasuk salah satunya adalah pilihan birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian tentang Orientasi Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan di Era Resentralisasi Sektor Kehutanan di Kabupaten Bone. Kabupaten Bone dipilih sebagai lokasi kajian karena kabupaten ini memiliki areal hutan seluas 145.053 ha atau 31,82 % dari luas wilayah Kabupaten Bone. Kawasan ini melebihi standar luas kawasan hutan dari suatu wilayah (21%). Hasil kajian ini tentunya akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui orientasi birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan Kabupaten Bone di era resentralisasi tingkat provinsi serta reposisi penempatan birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan setelah peralihan. Kegunaan dari penelitian ini dapat menjadi referensi dan memberikan informasi tentang politik birokrasi kehutanan di era resentralisasi serta hasil penelitian ini diharapkan dapat

(13)

3 memberi masukan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah untuk melakukan langkah-langkah perubahan dalam proses pembuatan kebijakan kehutanan yang lebih aspiratif dan mendorong penyelenggaraan pengelolaan hutan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan pemerataan keadilan dimasyarakat dan kelestarian sumberdaya.

(14)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Desentralisasi dan Resentralisasi

2.1.1. Desentralisasi

Kata desentralisasi ditinjau secara etimologis berasal dari bahasa latin de yang berarti lepas dan centrum yang berarti pusat. Jadi desentralisasi berarti melepaskan diri dari pusat. Desentralisasi didefinisikan sebagai tindakan dimana Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangan kepada aktor atau institusi pada level di bawahnya dalam lingkup baik hirarkhi politik-administratif maupun hirarki wilayah (Ribot, 2006). Istilah desentralisasi menunjuk kepada proses penyerahan kekuasaan, baik politik, dan administratif kepada unit-unit pemerintah sub- national (Burki, dkk., 1999). Wacana desentralisasi selalu berkaitan dengan penyerahan wewenang atau kekuasaan antara aktor/institusi Pemerintah Pusat/pemerintahan yang lebih tinggi dan Pemerintah Daerah/tingkat pemerintahan yanglebih rendah, baik menyangkut bidang legislatif, yudikatif, politik, administratif maupun wilayah (Ekawati, 2014).

Tujuan desentralisasi adalah tata kelola yang baik yang ditandai dengan peningkatan efisiensi dan kesetaran, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat (Ferguson, 2006). Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu (Ekawati, 2014):

1. Memperpendek rantai pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam.

2. Meningkatkan akuntabilitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

3. Mengurangi biaya transaksi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

4. Memperkecil kesenjangan pelayanan dan kebutuhan dalam rangka 5. Optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

6. Menghargai pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam.

7. Meningkatkan koordinasi sektoral dalam pengelolaan sumberdaya alam.

(15)

5 8. Memberikan keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

Desentralisasi menyebabkan peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam yang ekstraktif, seperti pembalakan kayu dan pertambangan batu bara (Haug, 2007). Laju kerusakan hutan makin bertambah dan kesejahteraan masyarakat tidak kunjung meningkat. Desentralisasi menyebabkan eksploitasi hutan secara tidak berkelanjutan dan konversi kawasan hutan untuk pertanian, perkebunan dan tujuan lainnya (Siswanto, dkk., 2006).

Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat. Rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi (Wahyuni, 2010).

2.1.2. Resentralisasi

Resentralisasi merupakan pengembalian kebijakan yang pengambilan keputusannya ke tingkat yang lebih tinggi dari birokrasi (Schusser dkk., 2015).

Resentralisasi merupakan fenomena tarik menarik kepentingan atau kewenangan- kewenangan daerah ditarik kembali ke pusat, sebelum desentralisasi yang disebut dengan sentralisasi. Sentralisasi berasal dari Bahasa Inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah pusat atau tengah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah (Wahyuni, 2010).

Berdasarkan definisi di atas bisa kita interpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh keputusan/kebijakan dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-

(16)

6 kebijakan yang telah digariskan menurut UU. Kelemahan sistem sentralisasi adalah sebuah kebijakan dan keputusan Pemerintah Daerah dihasilkan oleh orang- orang yang berada di Pemerintah Pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama (Wahyuni, 2010).

Jika ditafsirkan pemerintah dapat menyelenggarakan urusannya tanpa perlu mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah. Terdapat kondisi yang mengharuskan Pemerintah Pusat menyelenggarakan urusannya apabila Pemerintah Daerah tidak dapat melakukan upaya yang lebih untuk mengembangkan daerah yang dikelolanya (Tinambunan, 2013).

2.2. Politik Birokrasi

Birokrasi secara etimologis berasal dari bahasa Perancis terdiri dari dua kata yakni Bureau yang berarti meja tulis atau tempat kerja para pejabat dan Cracy yang diturunkan dari kata kretein (Bahasa Yunani) yang berarti mengatur (Albrow, 2007). Politik birokrasi merupakan proses pengaturan kepentingan pemerintah yang jelas dengan konfigurasi terkait kekuasaan (Sahide, et al., 2016).

Kajian paradigma politik birokrasi dalam pandangan Graham Allison (1971) yang diulas oleh Frederickson (2003) dalam bukunya The Public Administration Theory Primer mengemukakan secara umum teori politik birokrasi adalah teori menjelaskan peran administrasi dan birokrasi dalam pembuatan kebijakan public sekaligus menolak pandangan dikotomi administrasi dan politik. Kemunculan politik birokrasi berasumsi dari fakta empiris peran dan perilaku politik dalam birokrasi. Paradigma politik birokrasi menjelaskan bahwa tindakan-tindakan pemerintah merupakan hasil tawar menawar dan kompromi diantara berbagai elemen organisasi dalam pemerintah.

Hal ini bisa dimaknai bahwa birokrasi mempunyai kekuasaan politik.

Posisi birokrasi kuat secara politik karena memiliki sumber-sumber kekuasaan yang lengkap. Menurut Guys Peters (2001) diungkap ada empat sumber kekuasaan penting yang dimiliki birokrasi yaitu personifikasi negara, penguasaan informasi dan keahlian, dukungan politik, status sosial yang tinggi dan kelembagaan permanen dan stabil.

(17)

7 Birokrasi publik dalam paradigma ini dikategorikan sebagai salah satu aktor yang memiliki posisi, memiliki pengaruh, dan memiliki cara bermain didalam proses politik formulasi kebijakan. Watak birokrasi politik tetap eksis, kenyataan yang bisa diungkap adalah pada domain formulasi kebijakan dimana birokrasi menjadi kekuatan bergaining dengan legislatif, misalnya kompromi dan lobi anggaran (Daniarsyah, 2015).

Birokrasi yang sukses adalah dimana eksekutif telah menjalankan misi dengan baik, mengidentifikasi tugas-tugas yang harus dicapai untuk memenuhi misi, wewenang didistribusikan dalam organisasi sesuai dengan tugas-tugas, dan memberikan bawahan (terutama operator) dengan cukup otonomi untuk mencapai tugas ditangan, urutan cukup tinggi mengingat lingkungan kompleks lembaga-lembaga publik (Wilson, 1987). Penjelasan teori kontrol birokrasi menurut pemahaman George Frederickson (2003) “kekuasaan politik untuk birokrasi adalah langkah kontrol dalam pembuatan kebijakan pemerintah, yang dalam praktek birokrasi membatasi tindakan politik hanya dalam kegiatan administrasi pemerintahan saja”. Kehadiran politik dalam birokrasi memperlihatkan bahwa seorang administrator dalam perumusan kebijakan pemerintah mengedepankan arah pemikiran politik yang komprehensif.

Teori kontrol politik birokrasi merupakan titik penting dan harus dipahami sebagai bagian dari pelaksanaan administrasi publik. Kehadiran politik dalam tindakan birokrasi dianggap sebagai titik awal pengambilan keputusan administrasi, ini sejalan dengan pendekatan teori administrasi publik yang modern, karena dikotomi politik pemerintahan adalah kebutuhan primer dalam teori kontrol birokrasi (Daniarsyah, 2015).

Politik birokrasi dalam perumusan kebijakan politik sebagai bagian dari kontrol birokrasi kebijakan tidak bisa dipisahkan secara eksistensi, peryataan tersebut menjelaskan bahwa politik dalam birokrasi secara bersama- sama sejalan dan tidak ada batasan wilayah khusus (Wilson, 1987). Kebijakan administrasi dalam tindakan politik tidak berjalan bersama dalam merumuskan langkah kebijakan, hanya saja dalam pengembangan teori politik birokrasi lebih diposisikan secara non formal karena dikotomi/pemisahan tidak dapat

(18)

8 dilihat sebagai bentuk pemisahan tindakan dalam menjalankan birokrasi (Frederick, 2003).

Keberhasilan politik dalam birokrasi ditentukan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang dominan dikemukakan saat ini adalah “Reformasi birokrasi”, dalam artiansetiap permasalahan birokrasi memerlukan nilai pengabdian aparatur Negara maupun warga negara dalam mewujudkan clean government dan good governance. Pemerintah dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa (Mustopadjijaja, 2003).

Politik sebagai kontrol birokrasi hendaknya dilaksanakan berdasarkan nilai- nilai moral dalam cara pandang negarawan sehingga perilaku penyelenggara negara tidak mementingkan kepentingan pribadi atau golongan masyarakat tertentu. Birokrasi yang kuat adalah birokrasi yang mampu menempatkan politik sebagai kekuatan utama menyejahterakan masyarakat, sehingga politik dalam kontrol birokrasi bukan sebuah upaya kepentingan pribadi atau golongan tertentu, mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi/kelompok secara nyata dan bertangung jawab. Bersama tetapi tidak bersatu, berantara tetapi tidak berpisah (Daniarsyah, 2015).

2.3. Birokrasi Tenaga Teknis Kehutanan

Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan Sektor Kehutanan dan Perkebunan mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 24 tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000 yang telah disahkan dengan surat Keputusan Bupati Bone Nomor 249 Tahun 2001 yang memuat Struktur dan Tata Kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone (Dishutbun, 2016).

1. Struktur Organisasi Kehutanan dan Perkebunan

Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan sesuai dengan Perda tersebut di atas sebagai berikut: Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang Program, Kepala Bidang Bina Perkebunan, Kepala Bidang Bina Kehutanan,

(19)

9 Kepala Bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM), Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran (Dishutbun, 2016).

Pelaksanaan tugas Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone dibantu oleh Sekretaris, Kepala Bidang Program, Kepala Bidang Bina Perkebunan, Kepala Bidang Bina Kehutanan, Kepala Bidang Pengembangan SDM, dan Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran. Lancarnya pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada sub Sektor Kehutanan dan Perkebunan masing- masing Bidang dan dibantu oleh Subag masing-masing, Sekertaris dibantu oleh 3 orang Kepala Seksi yaitu Sub. Bagian Umum, Sub. Bagian Keuangan dan Perlengkapan, dan Sub. Bagian Kepegawaian. Bidang Program terdiri dari Seksi Penyusunan Program, Seksi Monitoring dan Evaluasi, Seksi Data dan Pelaporan.

Bidang Bina Perkebunan terdiri dari Seksi Pengembangan Tanaman, Seksi Pengolahan Lahan dan Air, dan Seksi Perlindungan Tanaman. Bidang Bina Kehutanan terdiri Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Seksi Pengusahaan dan Pemanfaatan, Seksi Perlindungan dan Pengawasan Hutan. Bidang Pengembangan SDM terdiri dari Seksi Tata Penyuluhan, Seksi Kelembagaan, dan Seksi Pelatihan. Bidang Pengolahan dan Pemasaran terdiri dariSeksi Pasca Panen dan Pengelolahan, Seksi Promosi dan Pemasaran, Seksi Sarana dan Prasaranan (Dishutbun, 2016).

Susunan organisasi seperti tersebut di atas secara jelas digambarkan dalam bentuk Struktural Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang tercantum pada Gambar 1. Berikut ini (Dishutbun, 2016) :

(20)

10 Gambar 1. Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun, 2016)

2. Tata Kerja Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Tata kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone berdasarkan Perda Nomor 24 Tahun 2000 adalah sebagai berikut (Dishutbun, 2016) :

1. Tugas

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone mempunyai tugas untuk melaksanakan sebagian kewenangan daerah di bidang Kehutanan dan Perkebunan yang diberikan oleh pemerintah dan tugas-tugas lain yang diberikan Bupati.

2. Fungsi :

Untuk melaksanakan tugas tersebut maka Dinas Kehutanan dan Perkebunan menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut:

(21)

11 a. Melaksanakan pembinaan umum berdasarkan kebijaksanaan yang

ditetapkan oleh Bupati.

b. Melaksanakan pemberian izin dan pengawasan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu, pemanfaatan kawasan hutan kecuali kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan Taman Burung.

c. Melaksanakan pemberian izin dan pengawasan usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dana reboisasi dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan dan pemberian izin dan pengawasan pemanfaatan jasa lingkungan hutan.

d. Melaksanakan izin usaha dan pengawasan distribusi sarana produksi kehutanan dan perkebunan (perbenihan, pupuk, dan pestisida tanaman).

e. Melaksanakan pemberian izin usaha dan pengawasan pemanfaatan wilayah hutan untuk pariwisata alam.

f. Melaksanakan izin usaha dan pengawasan perkebunan pengawasan industri primer perkebunan.

g. Melaksanakan penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan hutan dan kebun, tata batas hutan, rekonstruksi dan penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung dan pengelolaan tanaman hutan raya.

h. Melaksanakan penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan dan industri primer bidang perkebunan non lintas kabupaten/kota, penyelenggaraan pengurusan erosi, sidementasi, produktivitas lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dan melaksanakan pengesahan rencana tebang tahunan.

i. Melaksanakan pengaturan hutan rakyat dan hutan milik dan melaksanakan penyelenggaraan produksi, pengolahan, pengendalian mutu, pemasaran dan peredaran hasil hutan dan perkebunan.

j. Melaksanakan penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan produksi dan hutan lindung dan penyelenggaraan rehabilitasi pesisir diluar kawasan hutan dan melaksanakan pengaturan dan pengelolaan sarang burung walet dan pelebahan.

(22)

12 k. Melaksanakan penyelenggaraan dan pengawasan terhadap penentuan lahan kawasan dan areal perkebunan dan penyelenggaraan tata hutan dan rencana pengelolaan, pemanfaatan dan pemeliharaan, rehabilitasi, reklamasi, pemulihan pengawasan hutan kecuali kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman burung.

l. Melaksanakan penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari dibidang kehutanan dan perkebunan dan menyelenggarakan pengamanan dan penanggulangan bencana pada kawasan hutan pada areal perkebunan.

m. Melaksanakan fasilitas usaha perkebunan (skala kecil) dan memberikan rekomendasi penetapan mutu hasil produksi perkebunan.

n. Melaksanakan pengawasan peredaran benih, pupuk dan pestisida tanaman perkebunan.

o. Melaksanakan pembentukan dan perwilayahan areal perkebunan sesuai dengan rencana tata ruang kabupaten dan penyusunan rencana makro perkebunan kabupaten.

p. Melaksanakan pengamatan, peramalan organisme tumbuhan pengganggu dan pengendalian hama tanaman perkebunan.

q. Melaksanakan pengaturan Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan dan melaksanakan demplot/uji coba dalam bidang perkebunan spesifik daerah dan melaksanakan pemantauan penyebar luasan informasi pasar, promosi komoditas kehutanan dan perkebunan dan melaksanakan peningkatan sumberdaya manusia secara menyeluruh pada bidang kehutanan dan perkebunan serta melaksanakan penyuluhan secara menyeluruh pada bidang kehutanan dan perkebunan.

r. Melaksanakan urusan penghijauan, konservasi tanah dan air, melaksanakan urusan persutraan alam, urusan pengelolaan hutan rakyat, urusan hutan lindung, urusan hutan produksi, urusan penyuluh kehutanan, urusan pengelolaan hasil hutan non kayu, urusan

(23)

13 perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru dan pelaksanaan urusan perlindungan hutan.

s. Melaksanakan pengelolaan ketatausahaan dibidang kehutanan dan perkebunan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil menjelaskan terkait Aparatur Sipil Negeri (ASN). ASN yang dimaksud adalah Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah. Aturan tersebut menjelaskan bahwa jabatan ASN dibagi berdasarkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan. Pengadaan ASN disetiap instansi yang telah diklasifikasikan yakni jabatan pejabat tinggi, administrasi, dan fungsional.

Aturan tersebut menjelaskan bahwa jabatan yang dimiliki pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone sebelum pengalihan yaitu jabatan pejabat tinggi pratama, administrasi, dan fungsional. Jabatan pejabat tinggi pratama seperti Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Jabatan administrasi yang terbagi menjadi 3 (tiga) jenjang jabatan yakni jabatan administrator, pengawas, dan pelaksana. Jabatan administrator adalah sekertaris Dinas Kehutanan dan Perkebunan, sedangkan jabatan pengawas diperuntukkan kepada Kepala Sub Bagian, Kepala Bidang, dan Kepala Seksi Dinas Kehutanan. Jabatan pelaksana diperuntukkan kepada para Staf Dinas Kehutanan. Jabatan fungsional di Dinas Kehutanan yang dimaksud adalah kelompok jabatan fungsional seperti Polisi Kehutanan dan Penyuluh Kehutanan.

Perubahan status Birokrasi Kehutanan ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan bahwa perlunya dibentuk urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2016 tentang Road Map Reformasi Birokrasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015-2019 mengemukakan tujuan dalam pembangunannya yakni memastikan kondisi lingkungan berada pada toleransi yang dibutuhkan oleh manusia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan sesuai Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan

(24)

14 Nomor 3 tahun 2016 tentang Kedudukan, Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan dengan uraian sebagai berikut:

Gambar 2. Struktur Organisasi Dinas Kehutanan Provinsi (Pergub Sulsel, 2016)

(25)

15

2.4. Keadaan Umum Lokasi

2.4.1.Karakteristik Lokasi dan Wilayah

Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan dengan Ibukota Watampone dengan luas wilayah keseluruhan mencapai 4.558 km2. Kabupaten Bone secara administratif terbagi kedalam 27 kecamatan, 329 desa dan 43 kelurahan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Bonto Cani yaitu seluas 463,35 km2 sedangkan kecamatan dengan luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Tanete Riatang yaitu seluar 0,52 km2. Kabupaten Bone terletak pada posisi 4°13′- 5°6′ LS dan antara 119°42′-120°40′ BT dengan garis pantai sepanjang 138 km yang membentang dari selatan ke utara.Kabupaten Bone secara langsung berbatasan dengan beberapa kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu:

a. Sebelah Utara : Kabupaten Wajo dan Kabupaten Soppeng b. Sebelah Selatan : Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Gowa c. Sebelah Timur : Teluk Bone

d. Sebelah Barat : Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Barru

Kabupaten Bone ditinjau dari ketinggian tempat dapat diklasifikasikan kedalam 6 kategori dengan variasi ketiggian antara 0 hingga lebih dari 1.000 meter dpl. Kategori pertama (0-25 meter) yaitu seluas 81.925,2 Ha, kategori kedua (25-100 meter) seluas 101.620 Ha, kategori ketiga (100-250 meter) seluas 202.237,2 Ha, kategori keempat (250-750 meter) seluas 62.640,6 Ha, kategori kelima (750-1000 meter) seluas 40.080 Ha, dan kategori keenam (diatas 1.000 meter) seluas 6.900 Ha.

Tingkat kemiringan lahan di Kabupaten Bone bervariasi mulai dari datar, landai hingga daerah kemiringan yang curam. Daerah yang memiliki kemiringan datar hingga landai banyak terdapat di daerah dengan kontur wilayah pantai atau dataran rendah, daerah ini terletak di sepanjang bagian timur Kabupaten Bone hingga di sebagian daerah bagian utara. Daerah dengan kemiringan curam berada pada bagian selatan dan barat yang didominasi oleh perbukitan dan pegunungan.

(26)

16 Wilayah Kabupaten Bone termasuk daerah beriklim sedang. Kelembaban udara berkisar antara 95% – 99% dengan temperatur berkisar 260oC – 430oC.

Pada periode April-September, bertiup angin timur yang membawa hujan.

Sebaliknya pada Bulan Oktober-Maret bertiup angin barat, saat dimana mengalami musim kemarau di Kabupaten Bone. Selain kedua wilayah yang terkait dengan iklim tersebut, terdapat juga wilayah peralihan, yaitu: Kecamatan Bontocani dan Kecamatan Libureng yang sebagian mengikuti wilayah barat dan sebagian lagi mengikuti wilayah timur. Rata-rata curah hujan tahunan di wilayah Bone bervariasi, yaitu: rata-rata <1.750 mm, 1750-2000 mm, 2000-2500 mm dan 2500-3000 mm.

Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Bone berasal dari jenis Alluvial, Gleihumus, Litosol, Regosol, Grumosol, Rasial dan Litosol, Mediteranian dan Latosol. Jenis tanah yang paling dominan di Kabupaten Bone adalah jenis Mediteranian dan Latosol yang tersebar hampir di seluruh kecamatan. Potensi sumberdaya mineral yang terkandung di Kabupaten Bone termasuk besar baik kandungan mineral logam maupun non-logam.

Selain potensi mineral logam, Kabupaten Bone juga memiliki potensi mineral non logam, antara lain: batu bara, gamping, marmer, kuarsa, batu sabak dan basal yang tersebar dibeberapa wilayah seperti Bontocani, Patimpeng, Kahu, Lamuru, Lappariaja, Ponre, dan Cina. Kabupaten Bone memiliki 19 sungai besar yang dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Pekerjaan Umum. Sejumlah sungai tersebut dimanfaatkan sebagai sumber pengairan untuk pertanian maupun sebagai sarana pengembangan perikanan air tawar. Selain digunakan sebagai sarana pendukung perikanan dan pertanian, beberapa sungai di Kabupaten Bone juga akan digunakan sebagai sarana Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

2.4.2. Potensi Pengembangan Wilayah

Potensi pengembangan wilayah di Kabupaten Bone dilaksanakan dalam rangka peningkatan ekonomi. Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Bone Tahun 2012–2032 kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan budidaya sebagai berikut:

(27)

17 1. Kawasan Hutan Produksi

Kawasan hutan produksi di Kabupaten Bone dibagi kedalam 2 kategori, yaitu hutan produksi dan hutan produksi terbatas dapat dilihat padatabel berikut:

Tabel 1. Rincian Kawasan Peruntukan Hutan Produksi berdasarkan Kecamatan

No Kecamatan

Hutan Produksi Tetap

Hutan Produksi Konversi

Hutan Produksi Terbatas Luas (Ha) % Luas

(Ha) % Luas (Ha) %

1 Kec. Tonra 8.093,83 49,63 3.219,16 3,97

2 Kec. Sibulue 926,48 5,68

3 Kec. Cina 222,64 1,37 1.805,34 2,23

4 Kec. Ponre 695,35 4,26 15.911,89 19,64

5 Kec. Lappariaja 951,10 5,83 3.162,26 3,90

6 Kec. Ulaweng 395,25 2,42 1.921,24 2,37

7 Kec. Salomekko 487,36 2,99

8 Kec. Libureng 3.221,21 19,75 3.753,47 4,63

9 Kec. Mare 1.316,52 8,07 1.839,78 2,27

10 Kec. Kahu 737,77 0,91

11 Kec. Bontocani 32.741,75 40,42

12 Kec. Lamuru 13.193,42 16,29

13 Kec.

Tellusiattingnge

283,62 0,35

14 Kec. Awangpone 470,10 0,58

15 Kec. Palakka 1.218,10 1,50

16 Kec. Barebbo 753,11 0,93

JUMLAH 16,309.73 100.00 100.00

Sumber: Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bone, Tahun 2012-2032

Hutan produksi tetap di Kabupaten Bone adalah seluas 16.309,73 hektar yang tersebar di sebagian wilayah Kecamatan Tonra, sebagian wilayah Kecamatan Sibulue, sebagian wilayah Kecamatan Cina, sebagian wilayah Kecamatan Ponre, sebagian wilayah Kecamatan Lappariaja, sebagian wilayah Kecamatan Ulaweng, sebagian wilayah Kecamatan Salomekko, sebagian wilayah Kecamatan Libureng dan sebagian wilayah Kecamatan Mare. Hutan Produksi Terbatas di Kabupaten Bone adalah seluas 81.011 hektar dengan sebaran wilayah di Kecamatan Tonra, sebagian wilayah Kecamatan Cina, sebagian wilayah Kecamatan Ponre, sebagian wilayah Kecamatan Lappariaja, sebagian wilayah Kecamatan Ulaweng, sebagian wilayah Kecamatan Libureng, sebagian wilayah Kecamatan Mare, sebagian wilayah Kecamatan Kahu, sebagian wilayah Kecamatan Bontocani, sebagian wilayah Kecamatan Lamuru, sebagian wilayah Kecamatan Tellusiattingnge, sebagian wilayah Kecamatan Awangpone, sebagian wilayah Kecamatan Palakka dan sebagian wilayah Kecamatan Barebbo.

(28)

18 2. Kawasan Pertanian

Kawasan pengembangan untuk pertanian di Kabupaten Bone terbagi menjadi 4 kategori, yaitu: Pertanian tanaman pangan, pertanian holtikultura, perkebunan, dan peternakan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Rincian Kawasan Peruntukan Pertanian Berdasarkan Kecamatan

No Kecamatan

Pertanian Lahan Basah

luas (Ha)

Persentase (%)

Luas Lahan Tanaman Holtikultura

(Ha)

Persentase (%)

1 Kec. Ajangale 5,626.36 4.72 11.720,02 6,31

2 Kec. Awangpone 5,525.31 4.63 6.455,30 3,47

3 Kec. Barebbo 3,053.14 2.56 6.298,69 3,39

4 Kec. Bontocani 4,286.40 3.60 10.363,24 5,58

5 Kec. Cenrana 5,162.60 4.33 2.615,38 1,41

6 Kec. Cina 4,970.85 4.17 8.852,20 4,76

7 Kec. Duaboccoe 1,295.15 1.09 14.247,05 7,66

8 Kec. Kahu 9,767.08 8.19 7.358,54 3,96

9 Kec. Kajuara 4,026.44 3.38 4.125,58 2,22

10 Kec. Lamuru 6,341.08 5.32 19.524,29 10,50

11 Kec. Lappariaja 5,765.48 4.84 18.220,33 9,80

12 Kec. Libureng 19,731.70 16.55 8.524,18 4,59

13 Kec. Mare 3,884.50 3.26 9.438,67 5,08

14 Kec. Palakka 10,310.70 8.65 146,10 0,08

15 Kec. Ponre 1,700.02 1.43 8.824,40 4,75

16 Kec. Salomekko 8,915.28 7.48 3.730,98 2,01

17 Kec. Sibulue 6,009.37 5.04 4.682,12 2,52

18 Kec. Tanete Riattang

276.04 0.23 574,14 0,31

19 Kec. TR. Barat 908.28 0.76 1.507,82 0,81

20 Kec. TR. Timur 1,209.87 1.01 431,07 0,23

21 Kec. Tellusiattinge 1,915.77 1.61 12.963,93 6,97

22 Kec. Tonra 7,284.82 6.11 5.876,43 3,16

23 Kec. Ulaweng 1,249.96 1.05 19.400,73 10,44

JUMLAH 119,216.19 100.00 185.881,18 100.00

Sumber: Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bone, Tahun 2012-2032

3. Kawasan Perikanan

Kawasan pengembangan perikanan di Kabupaten Bone dibagi kedalam 4 kategori utama, yaitu: kawasan perikanan tangkap, kawasan perikanan budidaya, kawasan pengolahan ikan, dan kawasan pelabuhan perikanan. Kawasan peruntukan perikanan tangkap ditetapkan pada kawasan pesisir dan laut Kecamatan Kajuara, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Salomekko, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Tonra, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Mare, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Sibulue, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Barebbo, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Tanete Riattang, kawasan pesisir

(29)

19 dan laut Kecamatan Tanete Riattang Barat, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Tanete Riattang Timur, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Awangpone, kawasan pesisir dan laut Kecamatan Tellusiattinge, dan kawasan pesisir dan laut Kecamatan Cenrana dengan wilayah penangkapan mencakup kawasan perairan Teluk Bone berdasarkan cakupan batas wilayah kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Kawasan peruntukan budidaya perikanan ditetapkan dengan luasan sebesar 118.003 hektar, yang tersebar di sebagian daerah di Kecamatan Bone Borong, sebagian wilayah Kecamatan Bone Selatan, sebagian wilayah Kecamatan Bone Barat, Kecamatan Awangpone, sebagian wilayah Kecamatan Tanete Riattang Timur, sebagian wilayah Kecamatan Barebbo, sebagian wilayah Kecamatan Sibulue, sebagian wilayah Kecamatan Mare, sebagain wilayah Kecamatan Tonra, sebagian wilayah Kecamatan Salomekko, sebagian wilayah Kecamatan Kajuara, Cenrana, sebagian wilayah Kecamatan Awangpone, sebagian wilayah Kecamatan Tanete Riattang Timur, sebagian wilayah Kecamatan Barebbo, sebagian wilayah Kecamatan Sibulue, sebagian wilayah Kecamatan Mare, sebagain wilayah Kecamatan Tonra, sebagian wilayah Kecamatan Salomekko, dan sebagian wilayah Kecamatan Kajuara.

Kawasan pengolahan ikan akan dikembangkan secara terpadu dan terintegrasi sebagai kawasan minapolitan di sebagian wilayah Kecamatan Cenrana, sebagian wilayah Kecamatan Mare, sebagian wilayah Kecamatan Kajuara, sebagian wilayah Kecamatan Sibulue, dan sebagian wilayah Kecamatan Barebbo. Pelabuhan perikanan dikembangkan dalam dua kategori, yaitu Pelabuhan Perikanan Ancu di Kecamatan Kajuara, Pelabuhan Perikanan Bulu- Bulu di Kecamatan Tonra, dan Pelabuhan Perikanan LonraE di Kecamatan Tanete Riattang Timur, dan Rencana pembangunan Pelabuhan Perikanan ditetapkan di Kecamatan Cenrana, Kecamatan Awangpone, Kecamatan Ajangale, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kecamatan Barebbo, Kecamatan Sibulue, Kecamatan Mare, Kecamatan Tonra, Kecamatan Salomekko, dan Kecamatan Kajuara.

4. Kawasan Pertambangan

Kawasan pengembangan pertambangan di Kabupaten Bone dibedakan kedalam 2 kategori penambangan, yaitu: pertambangan mineral dan batubara

(30)

20 tersebar di daerah Kecamatan Libureng dan sebagian wilayah Kecamatan Salomekko, Kecamatan Kahu, Kecamatan Patimpeng, Kecamatan Bontocani dan sebagian wilayah Kajuara, Kecamatan Lappariaja, sebagian wilayah Kecamatan Lamuru, sebagian wilayah Kecamatan Ponre, Kecamatan Sibulue, sebagian wilayah Kecamatan Ajangale, sebagian wilayah Kecamatan Palakka.

Pertambangan minyak dan gas tersebar dalam beberapa blok, yaitu: Blok Bone, Blok Sengkang, dan Blok Kambuno ditetapkan di wilayah perairan laut Kabupaten Bone yang meliputi sebagian wilayah Kecamatan Cenrana, sebagian wilayah Kecamatan Awangpone, sebagian wilayah Kecamatan Tanete Riattang Timur, sebagian wilayah Kecamatan Barebbo, sebagain wilayah Kecamatan Sibulue, sebagain wilayah Kecamatan Mare, sebagian wilayah Kecamatan Tonra, sebagain wilayah Kecamatan Salomekko,sebagian wilayah Kecamatan Kajuara dan sebagian wilayah Kecamatan Dua Boccoe.

5. Kawasan Industri

Kawasan pengembangan industri di Kabupaten Bone diklasifikasikan kedalam dua kategori industri, yaitu industri besar dan industri rumah tangga.

Kawasan industri besar saat ini tersebar pada 3 perusahaan besar utama, yaitu:

Kawasan pabrik gula Camming yang terletak di Kecamatan Libureng, Kawasan pabrik gula Arasoe ditetapkan di Kecamatan Cina, dan Kawasan pabrik pengolahan alkohol/spritus ditetapkan di Kecamatan Cina. Kawasan industri yang dikategorikan dalam industri rumah tangga merupakan industri kerajinan dan industri pengolahan hasil-hasil pertanian ditetapkan di sebagian wilayah Kecamatan Ajangale, sebagian wilayah Kecamatan Awangpone, sebagian wilayah Kecamatan Barebbo, sebagian wilayah Kecamatan Bontocani, sebagian wilayah Kecamatan Cenrana, sebagian wilayah Kecamatan Cina, sebagian wilayah Kecamatan Duaboccoe, sebagian wilayah Kecamatan Kahu, sebagian wilayah Kecamatan Kajuara, sebagian wilayah Kecamatan Lamuru, sebagian wilayah Kecamatan Lappariaja, sebagian wilayah Kecamatan Libureng, sebagian wilayah Kecamatan Mare, sebagian wilayah Kecamatan Palakka, sebagian wilayah Kecamatan Ponre, sebagian wilayah Kecamatan Salomekko, sebagian wilayah Kecamatan Sibulue, sebagian wilayah Kecamatan Tanete Riattang, sebagian wilayah Kecamatan Tanete Riattang Barat, sebagian wilayah Kecamatan Tanete

(31)

21 Riattang Timur, sebagian wilayah Kecamatan Tellusiattinge, sebagian wilayah Kecamatan Tonra, sebagian wilayah Kecamatan Amali, sebagian wilayah Kecamatan Bengo, sebagian wilayah Kecamatan Tellulimpoe, sebagian wilayah Kecamatan Patimpeng, dan sebagian wilayah Kecamatan Ulaweng.

6. Kawasan Pariwisata

Kawasan pengembangan wisata di Kabupaten Bone dikategorikan kedalam 3 kategoti pariwisata, yaitu pariwisata alam, pariwisata budaya dan pariwisata buatan.

7. Kawasan Permukiman

Pengembangan kawasan permukiman di Kabupaten Bone menurut RTRW Kabupaten Bone dikategorikan kedalam 2 kategori, yaitu permukiman perkotaan dan permukiman pedesaan. Kawasan peruntukan permukiman perkotaan merupakan kawasan permukiman yang didominasi oleh kegiatan non agraris dengan tatanan kawasan permukiman yang terdiri dari sumberdaya buatan seperti perumahan, fasilitas sosial, fasilitas umum, serta prasarana wilayah perkotaan lainnya. Kawasan peruntukan permukiman perdesaan merupakan kawasan permukiman yang didominasi oleh kegiatan agraris dengan kondisi kepadatan bangunan, penduduk yang rendah dan kurang intensif dalam pemanfaatan daerah terbangun.

8. Kawasan Peruntukan Lainnya

Kawasan peruntukan lainnya meliputi kawasan peruntukan perdagangan, kawasan peruntukan olahraga, kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan, dan kawasan keselamatan operasi penerbangan. Kawasan peruntukan olahraga ditetapkan di Kawasan Stadion La Patau di Kecamatan Tanete Riattang Barat.

Kawasan peruntukan perdagangan merupakan kawasan yang dikhususkan untuk melakukan pengembangan kegiatan perdagangan. Kawasan ini dikategorikan menjadi dua, yaitu kawasan perdagangan skala kabupaten dan skala kecamatan.

Kawasan perdagangan skala kabupaten ditetapkan di Kawasan Perkotaan Watampone di Kecamatan Tanete Riattang, Kecamatan Tanete Riattang Barat, dan Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kawasan Perkotaan Palattae di Kecamatan Kahu, kawasan Perkotaan Pattiro Bajo di Kecamatan Sibulue, kawasan Perkotaan Taccipi di Kecamatan Ulaweng, kawasan Perkotaan Camming

(32)

22 di Kecamatan Libureng, kawasan Perkotaan Matango di Kecamatan Lappariaja, kawasan Perkotaan Lalebbata di Kecamatan Lamuru, kawasan Perkotaan Componge di Kecamatan Awangpone, kawasan Perkoataan Pompanua di Kecamatan Ajangale, dan kawasan Perkotaan Bojo di Kecamatan Kajuara.

Kawasan perdagangan skala kecamatan ditetapkan di kawasan Bulu-Bulu di Kecamatan Tonra, kawasan Kadai di Kecamatan Mare, kawasan Tanete Harapan di Kecamatan Cina, kawasan Appala di Kecamatan Barebbo, kawasan Lonrong di Kecamatan Ponre, kawasan Passippo di Kecamatan Palakka, kawasan Kahu di Kecamatan Bontocani, kawasan Manera di Kecamatan Salomekko, kawasan Latobang di Kecamatan Patimpeng, kawasan Tujue di Kecamatan Tellu Limpoe, kawasan Bengo di Kecamatan Bengo, kawasan Tokaseng di Kecamatan Tellu Siattinge, kawasan Taretta di Kecamatan Amali, kawasan Uloe di Kecamatan Dua Boccoe, dan kawasan Ujung Tanah di Kecamatan Cenrana.

Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan adalah kawasan yang merupakan aset-aset pertahanan dan keamanan/TNI Negara Kesatuan Republik Indonesia. Element yang terbentuk dalam kesatuan ini antara lain:

1. Kantor Kepolisian Resort (KAPOLRES) di Kecamatan Tanete Riattang Timur.

2. Kantor Komando Resort Militer (KOREM) 141Toddopuli di Kecamatan Tanete Riattang.

3. Kantor Komando Distrik Militer (KODIM) 1407 Bone di Kecamatan Tanete Riattang.

4. Kantor Kepolisian Sektor (KAPOLSEK) ditetapkan akan ditempatkan di Kecamatan Ajangale, Kecamatan Awangpone, Kecamatan Barebbo, Kecamatan Bontocani, Kecamatan Cenrana, Kecamatan Cina, Kecamatan Duaboccoe, Kecamatan Kahu, Kecamatan Kajuara, Kecamatan Lamuru, Kecamatan Lappariaja, Kecamatan Libureng, Kecamatan Mare, Kecamatan Palakka, Kecamatan Ponre, Kecamatan Salomekko, Kecamatan Sibulue, Kecamatan Tanete Riattang, Kecamatan Tanete Riattang Barat, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kecamatan Tellusiattinge, Kecamatan Tonra, Kecamatan Amali, Kecamatan Bengo, Kecamatan Tellulimpoe, Kecamatan Patimpeng, dan Kecamatan Ulaweng.

(33)

23 5. Kantor Komando Rayon Militer (KORAMIL) ditetapkan akan ditempatkan di Kecamatan Ajangale, Kecamatan Awangpone, Kecamatan Barebbo, Kecamatan Bontocani, Kecamatan Cenrana, Kecamatan Cina, Kecamatan Duaboccoe, Kecamatan Kahu, Kecamatan Kajuara, Kecamatan Lamuru, Kecamatan Lappariaja, Kecamatan Libureng, Kecamatan Mare, Kecamatan Palakka, Kecamatan Ponre, Kecamatan Salomekko, Kecamatan Sibulue, Kecamatan Tanete Riattang, Kecamatan Tanete Riattang Barat, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kecamatan Tellusiattinge, Kecamatan Tonra, Kecamatan Amali, Kecamatan Bengo, Kecamatan Tellulimpoe, Kecamatan Patimpeng, dan Kecamatan Ulaweng.

6. Kawasan Komando Pendidikan dan latihan tempur Bancee di Kecamatan Libureng.

7. Kawasan Kompi Senapan (Kipan) B Yonif 726 Tamalatea di Lappacenrana Kecamatan Bengo.

8. Kawasan Kompi Senapan (Kipan) C Yonif 726 Tamalatea di Kecamatan Mare.

9. Kawasan latihan Militer Rawa Laut di Kecamatan Tonra Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) merupakan kawasan udara sekitar bandar udara Kabupaten Bone berupa ruang udara bagi keselamatan pergerakan pesawat kawasan ini berada di sebagian wilayah Kecamatan Awangpone.

2.4.3. Demografi

Penduduk Kabupaten Bone menurut hasil pendataaan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone Tahun 2012 sebanyak 728.737 jiwa yang terdiri dari laki-laki 347.707 jiwa dan perempuan 381.030 jiwa. Penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki dengan perbandingan 47,71% penduduk laki-laki dan 52,29% penduduk perempuan. Seluruh penduduk Kabupaten Bone terhimpun dalam keluarga (rumah tangga) dengan jumlah sebanyak 163.621 KK. Rata-rata anggota keluarga sebesar 4,43 jiwa, artinya setiap keluarga memiliki anggota rata-rata 4 jiwa.

(34)

24 Kepadatan penduduk Kabupaten Bone menurut luas wilayah pada Tahun 2011 rata-rata sebesar 166 jiwa/km2. Tiga kecamatan dengan kepadatan penduduk paling banyak, yakni Kecamatan Tanete Riattang sekitar 2.077 jiwa/km2, disusul Kecamatan Tanete Riattang Timur sekitar 1.003/km2, kemudian Kecamatan Tanete Riattang Barat sekitar 833 jiwa/km2. Sementara itu kepadatan penduduk paling rendah terdapat di Kecamatan Bontocani sebesar 33 jiwa/km2, disusul Kecamatan Tellu Limpoe sebesar 44 jiwa/km2, kemudian Kecamatan Ponre sebesar 46 jiwa/km2. Data terinci mengenai hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Bone Tahun 2012

No Kecamatan

Jumlah Desa/

Kel.

Luas (km2)

Jumlah Penduduk

Kepadatan (km2)

L P L+P

1 Bontocani 11 463,35 7.719 7.772 15.491 33

2 Kahu 20 189,5 18.202 19.717 37.919 199

3 Kajuara 18 124,13 17.199 18.096 35.295 282

4 Salomekko 8 84,91 7.415 7.775 15.190 178

5 Tonra 11 200,32 6.349 6.792 13.141 65

6 Libureng 20 344,25 14.734 14.723 29.457 85

7 Mare 18 263,5 12.518 13.214 25.732 97

8 Sibulue 20 155,8 15.599 17.656 33.255 212

9 Cina 12 147,5 12.360 13.461 25.821 174

10 Barebbo 18 114,2 12.546 14.286 26.832 234

11 Ponre 9 293 6.570 6.883 13.453 46

12 Lappariaja 9 138 11.199 12.227 23.426 169

13 Lamuru 12 208 11.473 13.074 24.547 118

14 Ulaweng 15 161,67 11.484 13.104 24.588 152

15 Palakka 15 115,32 10.361 11.934 22.295 193

16 Tanete Riattang

8 23,79 23.530 26.357 49.887 2.077 17 Awangpone 18 110,7 13.352 15.541 28.893 260 18 Dua Boccoe 22 144,9 13.857 16.186 30.043 207 19 Tellu

Siattinge

17 159,3 18.543 21.325 39.868 250

20 Ajangale 14 139 12.656 14.640 27.296 196

21 Cenrana 16 143,6 11.250 12.413 23.663 164

22 Tanete R.Barat

8 53,68 21.848 23.481 45.329 833

23 Tanete R.Timur

8 48,88 20.683 20.767 41.450 840

24 Amali 15 119,13 9.387 11.229 20.616 173

25 Tellu LimpoE

11 318,1 6.918 6.982 13.900 44

26 Patimpeng 10 130,47 7.744 8.270 16.014 122

27 Bengo 9 164 12.211 13.125 25.336 154

JUMLAH 372 4.559 347.70 381.03 728.73 7.557 Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Bone Tahun 2013

(35)

25 Masyarakat Kabupaten Bone, sebagaimana masyarakat kabupaten lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, merupakan pemeluk Agama Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang serba Religius.

Kondisi ini ditunjukkan dengan banyaknya tempat-tempat ibadah dan Pendidikan Agama Islam. Sekalipun demikian Penduduk Kabupaten Bone yang mayoritas pemeluk agama Islam, tetapi di kota Watampone juga ada Gereja dan Wihara dalam arti pemeluk agama lain cukup leluasa untuk menunaikan Ibadahnya.

Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap kehidupan keagamaan karena mereka saling hormat menghormati danmenghargai satu dengan lainnya.

Peran pemuka agama teruatama para alim ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan bahkan alim ulama merupakan figur kharismatik yang menjadi panutan masyarakat. Data jumlah penduduk menurut agama dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Agamadi Kabupaten Bone Tahun 2011

No Kecamatan Islam Kristen Katolik Hindu Budha

1 Bontocani 15.443 0 0 0 0

2 Kahu 37.739 0 0 0 0

3 Kajuara 35.054 0 0 0 0

4 Salomekko 15.098 14 0 0 0

5 Tonra 13.021 12 0 0 0

6 Libureng 29.227 39 86 0 0

7 Mare 25.485 39 0 0 0

8 Sibulue 33.048 0 0 0 0

9 Cina 25.534 68 75 12 0

10 Barebbo 26.679 0 0 0 0

11 Ponre 13.363 2 0 0 0

12 Lappariaja 23.282 60 0 0 0

13 Lamuru 24.442 19 0 0 0

14 Ulaweng 24.559 0 0 0 0

15 Palakka 22.182 41 0 0 0

16 Tanete Riattang 48.711 0 269 29 23

17 Awangpone 28.774 0 10 0 0

18 Dua Boccoe 29.991 8 8 0 0

19 Tellu Siattinge 39.821 0 0 0 0

20 Ajangale 27.247 16 0 0 0

21 Cenrana 23.554 6 0 0 0

22 Tanete R.Barat 43.493 504 556 4 143

23 Tanete R.Timur 41.081 0 0 0 0

24 Amali 20.591 0 0 0 0

25 Tellu LimpoE 13.853 0 0 0 0

26 Patimpeng 15.894 0 0 0 0

27 Bengo 25.260 45 0 0 0

JUMLAH 722.426 1.264 1.004 45 166

Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Bone Tahun 2012

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Kesulitan Kognitif dan Masalah Afektif Siswa SMA dalam Belajar Matematika Menghadapi Ujian Nasional.. Self-efficacy: the exercise of

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Muhammadiyah Surakarta Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non- exclusive Royalti-Free Right) atas

UU No 3 tahun 2014 tentang perindustrian memberikan pengertian industri hijau sebagai “industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan

Dalam standar isi BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan) 2006, disebutkan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan

pengambilan kredit pensiun di Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN).

Dengan demikian harapan penulis disusunnya penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi siswa atau bagi proses pembelajaran demi mencapainya peningkatan kemampuan pemahaman

Sehingga penulis berkeinginan meneliti lebih lanjut mengenai persoalan TKI yang berada di luar negeri dan mengaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan instrumen

Penerapan metode cooperative learning tipe talking chips ampuh untuk. meningkatkan sikap toleransi peserta didik kelas VIII-c SMP Negeri