• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIABETES MELITUS PADA OBESITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DIABETES MELITUS PADA OBESITAS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

61

DIABETES MELITUS PADA OBESITAS

Yunita Satya Pratiwi*

*Staf Pengajar Prodi Keperawatan Fikes Univ. Muhammadiyah Jember Abstract

Body overweight (obesity or overweight) related to many disease. This condition is known can trigger some degeneratif disease, like coroner heart sickness, type 2 of diabetes melitus, hypertension, and dislipidemia. Size measure have been used to determine someone suffer obesity is pursuant to Body Mass Index ( BMI). At BMI value 25,00 progressively improve risk hit by disease like diabetes melitus, especially at woman. Insulin reseptor decrease at one who is obesity, so that is increasing of blood sugar rate. Obesity also relate to lipid metabolism, is including cholesterol. Excess of mass fat is also related to situation of insulin resistensi that related to diabetes melitus. Diabetes melitus risk will increase linearly as according to make-up of BMI. Overweight will improve number occurence of diabetes melitus counted 3-4 times, to be compared to people with normal BMI. This article will study about diabetes melitus definition and obesity, relation, process the happening of, overcoming, solution and impact.

Keyword : Diabetes melitus, obesity PENDAHULUAN

Obesitas dan overweight adalah istilah untuk menyatakan kondisi badan.

Obesitas berarti lemak tubuh yang dapat membahayakan kesehatan, sedangkan overweight menggambarkan kelebihan dibandingkan berat badan normal.

Kelebihan berat badan dulu sering dikaitkan dengan kemakmuran. Namun, kemudian kelebihan berat badan lebih berkait dengan penampilan, dan akhirnya orang sadar bahwa kondisi ini terkait dengan banyak penyakit. Overweight dan obesitas diketahui dapat memicu beberapa penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, dan dislipidemia (Fiastuti Witjaksono, 2004).

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan kualitas kesehatan sumber daya manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan

perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi.

Saat ini upaya penanggulangan penyakit DM belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, sistem saraf, hati, mata dan ginjal (Depkes RI, 2003).

Menurut survey yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita Diabetes Melitus dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk, sedangkan setelah urutan diatasnya India, China dan Amerika Serikat. Temuan tersebut semakin membuktikan bahwa penyakit Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius.

Fakta lain yang tidak kalah mencengangkan adalah data Departemen

(2)

62 Kesehatan yang menyebutkan bahwa

jumlah pasien rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin.

Organisasi yang peduli terhadap permasalahan Diabetes, Diabetic Federation mengestimasikan bahwa jumlah penderita Diabetes melitus yang pada tahun 2001, terdapat 5,6 juta penderita Diabetes untuk usia diatas 20 tahun, akan meningkat menjadi 8,2 juta pada tahun 2020, bila tidak dilakukan upaya perubahan pola hidup sehat para penderita.

Mengingat sangat berbahayanya dampak yang bisa ditimbulkan karena obesitas dan komplikasi kronik dari diabetes melitus (khususnya DM tipe 2), apalagi kalau kedua faktor tersebut sama- sama diderita oleh seseorang, maka selain akan menurunkan usia harapan hidup, juga akan sangat besar resiko terkena banyak penyakit lebih berbahaya nantinya (seperti penyakit jantung, gagal ginjal, stroke dll).

Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya

serius pemerintah untuk

menanggulanginya, dan diterapkannya pola serta gaya hidup sehat pada penderita maupun masyarakat pada umumnya BATASAN ISTILAH DAN

GAMBARAN UMUM Obesitas

Obesitas (kegemukan) adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan lemak tubuh yang berlebih, sehingga BB seseorang jauh di atas normal dan dapat membahayakan kesehatan. Sementara overweight (kelebihan berat badan) adalah keadaan dimana BB seseorang melebihi BB normal.

Definisi obesitas menurut para dokter adalah sebagai berikut:

1. Suatu kondisi dimana lemak tubuh berada dalam jumlah yang berlebihan 2. Suatu penyakit kronik yang dapat

diobati

3. Suatu penyakit epidemik

4. Suatu kondisi yang berhubungan dengan penyakit-penyakit lain dan dapat menurunkan kualitas hidup

5. Penanganan obesitas membutuhkan biaya perawatan yang sangat tinggi

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar. Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) telah diakui sebagai metoda yang paling praktis dalam menentukan tingkat overweight dan obesitas pada orang dewasa di bawah umur 70 tahun. BMI yang didapat dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (meter). Nilai BMI yang didapat tidak tergantung pada umur dan jenis kelamin.

Tahun 2000 WHO telah membuat klasifikasi IMT yang dianggap cocok untuk orang Asia. Dapat juga digunakan ukuran komposisi lemak tubuh.

Pengukuran lemak tubuh dapat diukur menggunakan alat berupa skin fold atau body fat analizer.

Berdasarkan distribusi lemak dalam tubuh, ada dua jenis penimbunan lemak.

Penimbunan lemak di bagian bawah tubuh disebut bentuk ginoid dan penimbunan lemak di bagian perut disebut bentuk android lebih dikenal obesitas abdominal/obesitas sentral.

Cara pengukuran sederhana untuk mengetahui adanya obesitas abdominal dan telah dibuktikan manfaatnya adalah mengukur lingkar pinggang (waist circumference). Wanita Asia dianggap berisiko mendapat penyakit penyerta bila lingkar pinggang di atas 80 cm dan untuk pria Asia bila di atas 90 cm.

Keterbatasan BMI adalah tidak dapat digunakan bagi:

1. Anak-anak yang dalam masa pertumbuhan

2. Wanita hamil

3. Orang yang sangat berotot, contohnya atlet

BMI dapat juga digunakan untuk menentukan seberapa besar seseorang dapat terkena resiko penyakit tertentu yang

(3)

63 disebabkan karena berat badannya.

Seseorang dikatakan obese dan membutuhkan pengobatan bila mempunyai BMI di atas 30, dengan kata lain wanita dikatakan obesitas bila komposisi lemak tubuhnya lebih dari 25% berat badan, sedangkan laki-laki disebut obesitas bila komposisi lemak tubuhnya lebih dari 20%

berat badan. PT. Roche Indonesia - Xenical Division, 2007),

Tabel 1. Klasifikasi Berat Badan Dan Yang Diusulkan Berdasarkan BMI Pada Penduduk Asia Dewasa (IOTF, WHO 2000)

Kategori BMI (kg/m2) Risk of Co- morbidities Underweight < 18.5 kg/m2 Rendah (tetapi

resiko terhadap masalah klinis lain meningkat) Batas

Normal

18.5 - 22.9 kg/m2

Rata rata

Overweight:  23

At Risk 23.0 – 24.9 kg/m2

Meningkat

Obese I 25.0 - 29.9kg/m2 Sedang Obese II > 30.0 kg/m2 Berbahaya

Sumber : PT. Roche Indonesia – Xenical Division (2007)

Overweight dan obesitas terjadi karena banyak faktor. Faktor utama adalah ketidak seimbangan asupan energi dengan keluaran energi. Asupan energi tinggi bila konsumsi makanan berlebihan, sedangkan keluaran energi jadi rendah bila metabolisme tubuh dan aktivitas fisik rendah.

Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi telah menciptakan suatu lingkungan dengan gaya hidup cenderung sedentary atau kurang gerak dan pola makan dengan makanan enak yang tinggi kalori dan lemak. Kelebihan asupan energi disimpan dalam jaringan lemak.

Diabetes melitus (DM)

DM merupakan salah satu penyakit degeratif, dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya

kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria).

DM atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi), yang normalnya 60- 120 mg/dl, akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif.

Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas.

Ada 2 macam type DM :

1. DM type I. atau disebut DM yang tergantung pada insulin. DM ini disebabkan akibat kekurangan insulin dalam darah yang terjadi karena kerusakan dari sel beta pancreas. Gejala yang menonjol adalah terjadinya sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM type ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.

2. DM type II atau disebut DM yang tak tergantung pada insulin. DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada/kurang.

Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, 75% dari penderita DM type II dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun (Dir. Gizi Masyarakat, 2003). Faktor kelebihan berat badan dan kurang olahraga ditengarai sebagai penyebab terjadinya DM Tipe II.

Gejala klinis yang khas pada DM yaitu “Triaspoli” polidipsi (banyak minum) poliphagia (banyak makan) & poliuri (banyak kencing), disamping disertai dengan keluhan sering kesemutan terutama pada jari-jari tangan, badan terasa lemas, gatal-gatal dan bila ada luka sukar sembuh.

(4)

64 Kadang-kadang BB menurun secara

drastis.

Untuk mengetahui apakah seorang menderita DM yaitu dengan memeriksakan kadar gula darah. Kadar gula darah normal adalah : pada saat puasa (nuchter) : 80 - <

110 mg/dl dan setelah makan : 110 - < 160 gr/dl.

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DAN OBESITAS

Hasil penelitian membuktikan bahwa ada hubungan yang erat antara obesitas abdominal dan faktor risiko penyakit kardiovaskuler yaitu diabetes melitus, hipertensi, dan dislipidemi.

Obesitas abdominal dapat ditentukan menggunakan berbagai alat seperti CT scan, MRI, dan DEXA.

Massa lemak tidak hanya tempat penyimpanan cadangan energi, tetapi juga sebagai jaringan dinamis dengan berbagai fungsi. Kelebihan massa lemak juga dikaitkan dengan keadaan resistensi insulin yang berhubungan dengan diabetes melitus. Risiko diabetes melitus akan meningkat secara linear sesuai dengan peningkatan IMT. Overweight akan meningkatkan angka kejadian diabetes melitus 3-4 kali dibandingkan orang dengan IMT normal.

Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada 11.400 wanita menunjukkan bahwa wanita dengan IMT antara 25-26.9 kg/m², berisiko menderita diabetes tipe 2, delapan kali lebih besar dibandingkan wanita dengan IMT < 22 kg/m². Risiko ini meningkat 40 kali lebih besar daripada wanita dengan IMT > 31 kg/m² (Fiastuti Witjaksono, 2004)

PROSES TERJADINYA DIABETES MELITUS PADA OBESITAS

Menurut dr Imam Subekti SpPD, diabetes berkaitan erat dengan hiperkolesteromia dan obesitas. Reseptor insulin berkurang pada orang yang kegemukan, sehingga kadar gula darah meningkat. Kegemukan berkaitan dengan

metabolisme lipid/lemak termasuk kolesterol.

Diabetes adalah kondisi di mana produksi insulin sel beta pankreas terganggu ataupun respon organ target jaringan otot dan lemak terhadap insulin berkurang. Bahkan bisa terjadi resistensi insulin, berarti bahwa sel-sel tubuh tidak merespon tepat ketika insulin hadir (pada Diabetes Melitus tipe 2). Akibatnya, kemampuan tubuh memetabolisme glukosa menurun dan kadar gula darah meningkat tajam (PT. Roche Indonesia - Xenical Division, 2007 ).

FAKTOR RESIKO DIABETESS MELLITUS PADA OBESITAS.

Obesitas dan Diabetes Tipe 2

NHANES III menyebutkan bahwa kurang lebih 12% orang dengan BMI 27 menderita diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 merupakan tipe diabetes yang paling sering ditemui, yaitu sekitar 85% - 90% dari keseluruhan penderita diabetes. Obesitas merupakan faktor resiko utama pada diabetes tipe 2. Sebanyak 80% dari penderita penyakit tersebut menderita obese. Tingkat prevalensi (untuk diabetes tipe 2) meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan bertambahnya BMI, baik pada wanita maupun pada pria”.

(5)

65 Tingkat resiko DM juga meningkat

seiring dengan peningkatan BMI pada pasien dewasa (lihat gambar di atas).

Contohnya, satu studi pada wanita berusia 30 - 50 tahun (usia rentan terkena diabetes tipe 2) - menunjukkan bahwa angka resiko diabetes tipe 2 pada wanita dengan BMI 22 adalah 15.8, untuk BMI 27.0 adalah 28.9, dan untuk BMI 31.0 – 32.9 adalah 40.3.

Bandingkan angka-angka tersebut pada wanita dengan BMI 35.0 yang jauh lebih tinggi, yaitu 93 kali, terhadap peningkatan/perkembangan penyakit diabetes tipe 2 ini.

Bagi mereka yang mengalami kegemukan di sekitar perut (abdominally obese), salah satu mekanisme yang diduga merupakan predisposisi diabetes tipe 2, adalah terjadinya pelepasan asam-asam lemak bebas secara cepat, yang berasal dari suatu lemak visceral yang membesar.

Proses ini menerangkan terjadinya sirkulasi tingkat tinggi dari asam-asam lemak bebas di hati sehingga kemampuan hati untuk mengikat dan mengekstrak insulin dari darah menjadi berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan hiperinsulinemia.

Akibat lainnya adalah peningkatan glukoneogenesis - dimana glukosa darah meningkat.

Efek lain dari peningkatan asam- asam lemak bebas adalah menghambat pengambilan glukose oleh sel otot, dengan demikian, walalupun kadar insulin meningkat, namun glukosa darah tetap abnormal tinggi. Hal ini menerangkan suatu resistensi fisiologis terhadap insulin seperti yang terdapat pada diabetes tipe 2.

Keadaan di atas merupakan bagian dari suatu kompleks gangguan metabolisme yang biasa disebut sindrom resisten insulin, atau sindrome X. Pada kasus resistensi insulin, ciri-cirinya adalah hiperglikemia, hipertensi serta perubahan kadar dan komposisi lipoprotein – yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (PT. Roche Indonesia - Xenical Division, 2007 ).

Peran Faktor Genetik

Hasil penelitian yang lain oleh tim Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menunjukkan 10-60 persen penduduk Indonesia memiliki mutasi DNA mitokondria T16189C. Mutasi ini diajukan oleh ahli biologi molekuler dari Inggris, J Poulton, sebagai thrifty gene alias gen kelaparan (Anonym, 2003).

Gen yang pada zaman purba menjadi sarana manusia untuk bertahan hidup kini menjadi bumerang bagi pemiliknya. Jika mengkonsumsi makanan secara berlebihan, gen itu menyebabkan kekacauan metabolisme yang berujung pada timbulnya diabetes melitus atau kencing manis. Resiko tersebut diduga sangat tinggi terjadi pada orang yang mengalami obesitas.

Menurut dr Herawati Sudoyo PhD, peneliti dari Lembaga Eijkman, prevalensi diabetes terhitung tinggi pada penduduk daerah tropis. Yang terkenal adalah prevalensi diabetes pada penduduk Nauru, wilayah Pasifik. Penduduk kepulauan kaya nikel itu tak perlu bekerja keras. Ketika mereka mengadopsi pola makan Barat yang tinggi lemak, prevalensi diabetes pada penduduk Nauru melonjak jadi 40 persen. Hal serupa terjadi pada suku Indian Pima di Amerika Selatan yang prevalensi diabetesnya 40 persen.

Ras Kaukasia, pemilik asli pola makan tinggi lemak, prevalensi diabetesnya justru rendah. Di Inggris hanya lima persen. Kulit putih Amerika Serikat (AS) enam persen. Jauh lebih rendah dari kulit hitam Amerika yang 10 persen atau hispanik 14 persen (Anonym, 2003).

Di Asia, prevalensi diabetes penduduk Cina daratan 2,5 persen. Tapi yang berdiam di Taiwan 11 persen. Cina Singapura 10 persen.

Tetapi apabila penduduk Cina bermigrasi ke daerah beriklim lebih dingin bukan berarti secara otomatis prevalensi diabetes berkurang, sebaliknya justru akan

(6)

66 meningkat akibat paparan makanan

berlemak tinggi. Penduduk Jepang yang berimigrasi ke AS meningkat prevalensi diabetesnya. Kalau prevalensi diabetes kulit hitam di AS 10 persen, maka sepupu mereka yang masih di Afrika (Tanzania dan Kamerun) prevalensinya hanya berkisar satu sampai dua persen.

Di Australia, prevalensi diabetes penduduk kulit putih kurang dari lima persen, sementara prevalensi pada penduduk Aborigin seiring perubahan pola makan meningkat dari tahun ke tahun. Biro Statistik Kesehatan Nasional Australia melaporkan, tahun 2001 satu dari 20 penduduk Aborigin menderita diabetes.

Hal tersebut menunjukkan kaitan antara genetik dengan pola makan (Anonym, 2003).

PREVALENSI DIABETES MELITUS DAN OBESITAS

Data tentang obesitas di Indonesia belum bisa menggambarkan prevalensi obesitas seluruh penduduk, akan tetapi data obesitas pada orang dewasa yang tinggal di ibukota propinsi seluruh Indonesia cukup untuk menjadi perhatian. Angka-angka prevalensi obesitas dan DM adalah sebagai berikut:

1. Survey Kesehatan Nasional, di Indonesia prevalensi obesitas pada balita naik. Prevalensi obesitas 1989 di perkotaan 4,6 persen lelaki dan 5,9 persen anak perempuan. Empat tahun kemudian (1993) naik menjadi 6,3 persen (lelaki) dan 8 persen (perempuan). (Kompas, Rabu, 02 Juni 2004).

2. Hasil pemantauan masalah gizi lebih pada dewasa yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 1997 menunjukkan, prevalensi obesitas pada orang dewasa adalah 2,5 persen (pria) dan 5,9 persen (wanita). Prevalensi obesitas tertinggi terjadi pada kelompok wanita berumur 41-55 tahun (9,2 persen). Saat ini diperkirakan 10 dari setiap 100 penduduk Jakarta menderita obesitas.

3. Penelitian oleh Djer (1998) menunjukkan prevalensi obesitas anak di sebuah SD negeri Jakarta Pusat 9,6 persen.

4. Berdasarkan data Susenas tahun 1989, prevalensi obesitas di Indonesia adalah 1,1 persen dan 0,7 persen, masing- masing untuk kota dan desa. Angka tersebut meningkat hampir lima kali menjadi 5,3 persen dan 4,3 persen pada tahun 1999.

5. Penelitian oleh Meilany (2002), prevalensi obesitas anak di tiga SD swasta di kawasan Jakarta Timur 27,5 persen.

6. Data rekam medik mengenai kasus baru obesitas di Poliklinik Gizi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI- RSCM Jakarta periode 1995-2000 ada 100 pasien, 35 persennya balita.

7. Penelitian Himpunan Obesitas Indonesia (Hisobi) di sejumlah SD favorit di Jakarta Selatan baru-baru ini menunjukkan prevalensi obesitas pada anak mencapai 20 persen. Penelitian di Semarang menunjukkan, dari 1.730 anak usia 6-7 tahun, diketahui 12 persen menderita obesitas dan 9 persen kelebihan berat badan. (KOMPAS Selasa, 09 Maret 2004)

8. Berdasarkan perhitungan IDF dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setidaknya ada 177 juta penduduk dunia yang menderita diabetes. Sekitar 80 persen di antaranya berada di negara berkembang. Jika tak segera dilakukan upaya untuk memperlambat epidemi, tahun 2025 jumlah penderita diabetes di dunia akan melonjak jadi 300 juta (Anonym, 2003)

9. Survei nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa (>=18 tahun) mengalami overweight (BMI 25-27) dan 6,8%

mengalami obesitas, 10,5% penduduk wanita dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok umur 40-49 tahun

(7)

67 overweight maupun obesitas mencapai

puncaknya yaitu masing-masing 24,4%

dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita (Depkes, 2003).

10. Sampai dengan saat ini belum ada data nasional tentang obesitas pada anak sekolah dan remaja. Akan tetapi beberapa survei yang dilakukan secara terpisah di beberapa kota besar menujukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak sekolah dan remaja cukup tinggi. Pada anak SD prevalensi obesitas mencapai 9,7% di Yogyakarta (Ismail, 1999) dan 15,8% di Denpasar (Padmiari & Hadi, 2002).

11. Survei obesitas yang dilakukan akhir- akhir ini pada anak remaja siswa/siswi SLTP di Yogyakarta menunjukkan bahwa 7,8% remaja di perkotaan dan 2% remaja di daerah pedesaan mengalami obesitas (Hadi, 2004)

12. Data epidemiologis saat ini menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus di Indonesia berkisar 1,5 s/d 2,3%. Akan tetapi, penelitian terakhir yang dilakukan di kota besar seperti Jakarta menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus mencapai 12,8% dan populasi penduduk dewasa diperkirakan prevalensi diabetes melitus di Indonesia pada tahun 20l0 naik lebih dari l00%. (Suyono, 2004).

13. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah diabetisi (penyandang diabetes melitus) di Indonesia pada 2005 mencapai 25,2 juta orang.

DAMPAK DIABETES MELITUS PADA OBESITAS

Bila diabetes dan faktor risiko lain (misal obesitas) tidak dikelola dengan baik, akan mengakibatkan komplikasi seperti jantung koroner, payah ginjal, hipertensi, dan dislipidemia, dan stroke.

Penyakit DM dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang membahayakan jiwa maupun mempengaruhi kualitas hidup seseorang:

Komplikasi akut

1. Komplikasi akut yang paling berbahaya adalah terjadinya hipoglikemia (kadar gula darah sangat rendah), karena dapat mengakibatkan koma (tidak sadar) bahkan kematian bila tidak cepat ditolong. Keadaan hipoglikemia ini biasanya dipicu karena penderita tidak patuh dengan jadwal makanan (diit) yang telah ditetapkan, sedangkan penderita tetap minum obat anti diabetika atau mendapatkan infeksi insulin. Gejala- gejala terjadinya hipoglikemia adalah rasa lapar, lemas, gemetar, sakit kepala, keringat dingin dan bahkan sampai kejang-kejang.

2. Koma pada penderita DM juga dapat disebabkan karena tingginya kadar gula dalam darah, yang biasanya dipicu adanya penyakit infeksi atau karena penderita DM tidak minum obat/mendapatkan insulin sesuai dosis yang dianjurkan. Gejala dari hiperglikemia adalah rasa haus, kulit hangat dan kering, mual dan muntah, nyeri abdomen, pusing dan poliuria.

Karena sulit untuk membedakan komplikasi karena hipo atau hiperglikemia, maka dianjurkan kalau ada gejala-gejala seperti diatas pada penderita DM, lebih baik segera ditolong dengan diberikan air gula atau permen, kemudian penderita segera dikirim ke Rumah Sakit.

Komplikasi Kronis

Bila sudah terjadi komplikasi yang mengakibatkan tingginya kadar gula darah dalam waktu lama seperti gangguan pada saraf, mata, hati, jantung, pembuluh darah dan ginjal, selain upaya menurunkan kadar gula darah dengan obat antibiotik/insulin dan terapi diit, perlu pengobatan untuk komplikasinya. Diit juga ditujukan untuk mengurangi/menyembuhkan komplikasi tersebut (misalnya kadar kolesterol juga tinggi, diit diarahkan juga untuk menurunkan kadar kolesterol tersebut) (Dir. Gizi Masyarakat, 2003)

(8)

68 PENATALAKSANAAN

Program Penanggulangan DM di Indonesia

a. Preventif

Penyakit diabetes sebenarnya bisa dicegah sedini mungkin. Caranya dengan melakukan pola makan yang benar dan gaya hidup yang sehat. Menurut Ketua Sentra Informasi Diabetes dan Lipid Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta, dr Asep Saepul Rohmat SpPD, beberapa upaya pencegahan diabetes melitus yang bisa dilaksanakan adalah sebagai berikut :

1. Atur pola makan yang baik. Khususnya untuk yang berusia 35-40 tahun. Sebab pada usia ini biasanya seseorang akan mengalami kesuksesan secara duniawi.

Akibatnya, mereka dapat membeli makan apa saja karena kecukupan materi. Pada saat seperti ini perlu pengendalian pola makan, juga jadwal dan komposisi yang benar. Ini penting dilakukan, baik bagi orang yang memiliki faktor keturunan diabetes maupun tidak.

2. Jika berat badan sudah melebihi normal (obesitas), maka perlu dilakukan program untuk menurunkannya. Hal ini juga terkait dengan pola makan.

Hindari makanan yang mengandung lemak dan kolesterol tinggi.

3. Olahraga atau aktivitas fisik juga penting dilakukan untuk pencegahan diabetes melitus. Lakukan hal ini secara teratur (Siswono, 2006).

b. Kuratif

Tujuan pengobatan penderita DM ialah: Untuk mengurangi gejala, menurunkan BB bagi yang kegemukan &

mencegah terjadinya komplikasi.

1. Diit

Penderita DM sangat dianjurkan untuk menjalankan diit sesuai yang dianjurkan, yang mendapat pengobatan anti diuretik atau insulin, harus mentaati diit terus menerus baik dalam jumlah kalori, komposisi dan waktu makan

harus diatur. Ketaatan ini sangat diperlukan juga pada saat : undangan/pesta, melakukan perjalanan, olah raga (OR) dan aktivitas lain . 2. Obat-obatan

Tablet/suntikan anti diabetes diberikan, namun therapy diit tidak boleh dilupakan dan pengobatan penyulit lain yang menyertai /suntikan insulin.

3. Olah Raga

Dengan olahraga teratur sensitivitas sel terhadap insulin menjadi lebih baik, sehingga insulin yang ada walaupun relatif kurang, dapat dipakai dengan lebih efektif. Lakukan olahraga 1-2 jam sesudah makan terutama pagi hari selama ½ - 1 jam perhari minimal 3 kali/minggu. Penderita DM sebaiknya konsultasi gizi kepada dokter atau nutritionis (ahli gizi) setiap 6 bulan sekali untuk mengatur pola diit dan makan guna mengakomodasikan pertumbuhan dan perubahan BB sesuai pola hidup (Dir. Gizi Masyarakat, 2003) Program Penanggulangan DM di Negara Lain

Memberlakukan tes penyaring (screening) massal sebagai deteksi dini diabetes dianggap tidak tepat karena memerlukan biaya besar. Cara yang paling efektif adalah meningkatkan kesehatan penduduk. Misalnya lewat penyuluhan pola makan yang sehat, menjaga berat badan agar tidak kegemukan, dorongan untuk berolahraga, peraturan mengenai rokok dan sebagainya.

Penelitian di Cina menunjukkan, pengaturan makan, olahraga dan penggunaan obat metformin (pengurang produksi glukosa hati dan peningkat ambilan glukosa dari darah) atau acarbose (pengurang absorpsi glukosa di usus halus) bisa mengurangi risiko diabetes 31-58 persen pada kelompok risiko tinggi.

Misalnya mereka yang mengalami gangguan toleransi glukosa.

Bagi mereka yang berisiko tinggi terkena diabetes dianjurkan menjalani tes penyaring. Jika positif diabetes harus

(9)

69 segera diobati, gula darah dikendalikan

agar tidak berlanjut menjadi hiperglikemia (gula darah tinggi).

Pada penderita diabetes kronis, dilakukan kontrol ketat terhadap gula darah, tekanan darah, kadar lemak darah sehingga bisa dicegah progresivitas (keparahan) penyakit.

Dua penelitian yang sedang berlangsung, penelitian kontrol diabetes dan komplikasi (DCCT) menunjukkan pentingnya pengendalian gula darah, sedang penelitian diabetes prospektif di Inggris (UKPDS) menyatakan perlunya pengendalian tekanan darah sebagai upaya efektif mencegah komplikasi mikrovaskuler (gangguan pada mata, ginjal, dan saraf) pada diabetes tipe 1 maupun tipe 2. (Anonym, 2003)

Penanggulangan Obesitas

Pengobatan obesitas bertujuan untuk menurunkan berat badan atau mempertahankan berat badan normal.

Umumnya, target penurunan berat badan yang dianjurkan pada tahap pertama adalah 10 persen dari berat badan dalam kurun waktu enam bulan. Penurunan berat badan yang dianjurkan 0,5-1 kg setiap minggu.

Penurunan berat badan berlebihan tidak dianjurkan karena umumnya tidak akan bertahan lama. Pengobatan obesitas yang dianjurkan adalah modifikasi diet, peningkatan aktivitas fisik, dan perubahan perilaku. Pemberian obat hanya dianjurkan pada penderita obesitas berisiko tinggi yaitu pada penderita dengan IMT 25-29,9 atau penderita dengan lingkar pinggang yang lebih dari normal dengan dua atau lebih faktor risiko, dan penderita dengan IMT = 30.

Terapi diet yang dianjurkan adalah diet rendah kalori. Besarnya energi yang diberikan 500-1.000 kalori lebih rendah dibandingkan rata-rata asupan energi per hari. Penurunan asupan energi sebesar 500- 1.000 kalori per hari akan menurunkan berat badan 0,5-1 kg per minggu (Fiastuti Witjaksono. 2004)

Diet rendah kalori sebaiknya dengan jenis-jenis makanan berderajat kekenyangan tinggi sehingga dapat membantu penderita tetap taat. Pemilihan jenis makanan sebaiknya disesuaikan dengan jenis makanan penderita sebelumnya, hanya jumlah kalorinya dibatasi. Cara paling mudah adalah dengan mengurangi frekuensi makan di luar waktu makan utama atau mengurangi camilan, terutama yang padat kalori. Memilih jenis makanan rendah lemak dan mengganti dengan makanan tinggi serat seperti buah dan sayuran. Namun, asupan vitamin dan mineral harus dijaga agar mencukupi kebutuhan harian.

Latihan fisik pada penderita obesitas harus dilakukan bersamaan dengan diet rendah kalori untuk meningkatkan pembakaran lemak. Latihan fisik sangat membantu mempertahankan berat badan agar tidak mudah naik kembali. Yang dianjurkan adalah olahraga dengan intensitas sedang selama minimal 30 menit dengan frekuensi 3-5 kali per minggu. Sebaiknya juga memperbanyak aktivitas fisik seperti jalan, membersihkan rumah, serta mengurangi pola hidup sedentary seperti menonton televisi dan bermain video games.

Penggunaan obat harus di bawah pengawasan dokter yang mengerti benar penanganan obesitas karena tidak semua penderita obesitas memberi reaksi positif terhadap obat (Witjaksono Fiastuti, 2004) KESIMPULAN DAN SARAN

DM pada obesitas merupakan suatu kondisi yang cukup memperbesar resiko timbulnya komplikasi penyakit-penyakit degenerative lain yang sangat berbahaya yaitu jantung koroner, hipertensi, stroke, dislipidemia dll. Penyakit DM ini tidak dapat disembuhkan, tetapi dengan kemauan keras, penyakit ini dapat dikendalikan dan dengan berbekal pengetahuan yang cukup dan keinginan yang kuat, maka DM ini bukan penyakit yang menakutkan.

(10)

70 DAFTAR RUJUKAN

Anonym. 2003. Garis Tangan tetapi Bisa Dihindari. Kompas edisi Kamis, 20

Februari 2003.

www.google.co.id/diabetes

Azrul Azwar. 2007. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang . Government Information System, Kamis, 01 Feb 2007.

www.google.co.id/gizi

Direktur Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI. 2003. Peran Diit Dalam Penanggulangan Diabetes. Seminar Pekan Diabetes Tanggal 25 – 27 Maret 2003 di Depkes RI. Jakarta.

www.google.co.id/diabetes

Witjaksono Fiastuti. 2004. Obesitas Bukan Lagi Tanda Kemakmuran.

Indonesian Society for the Study of Obesity (ISSO)/Himpunan Obesitas Indonesia (HISOBI).

www.google.co.id/obesitas.

Hadi, H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehat-an Nasional. Makalah disampai-kan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada 5 Februari 2005.1-5.

Hadi, H. 2002 The age pattern and socio- economic determinants of growth retardation in Indonesian preschool children. Berita Kedokteran Masyarakat BKM,;18(1): 45-55.

Hadi, H. Hurryati E, Basuki A, Madawati A dan Mahdiah. 2004. Obesitas pada remaja sebagai ancaman kesehatan serius dekade mendatang. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional

“Obesitas pada Remaja” Yogyakarta.

Padmiari, IAE dan Hadi H 2003 Konsumsi Fast food Sebagai Faktor Risiko Obesitas pada Anak Sekolah Dasar.

Medika;29(3): 159-165.

PT. Roche Indonesia - Xenical Division.

2007, Hal ikhwal Obesitas.

www.google.co.id/obesitas

Siswono. 2001. Kongres Federasi Perkumpulan Endokrinologi ASEAN. Kompas, Senin, 5

November 2001.

www.google.co.id/gizi.net

Siswono. 2006. Diabetisi Tetap Bisa Menikmati Hidup. Kompas, Kamis,

13 April, 2006 .

www.google.co.id/gizi.net

Suyono, S. 2004. Kecenderungan peningkatan jumlah penyandang diabetes. Dalam Soegondo S.

Soewondo P, dan Subekti I.

Penatalaksanaan Diabetes melitus Terpadu. Pusat Diabetes Melitus dan Lipid RSUP Dr. Cipto- mangunkusumo. Jakarta. pp1-5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari rata-rata laju pertumbuhan tanaman kedelai dengan perlakuan pemberian pupuk SP-36 (B0) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan tanaman

Pendapatan ekonomi keluarga TKI di Desa Bagik Polak Barat Kecamatan Labuapi Lombok Barat secara umum sangat minim sesuai dengan jumlah yang dikirim oleh

Rumput dan leguminose yang tumbuh di bawah tanaman karet sangat berotensi untuk dikembangkan sebagai hijauan makanan ternak yang berkualitas dengan merawat dan memupuk

Di hampir semua kota menunjukkan bahwa persepsi siswa yang baik terhadap metode mengajar yang di terapkan gurunya, dan guru yang seri ng memberikan latihan soal (PR)

Berdasarkan hasil analisa dan estimasi, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia ke 5 (lima) negara

Adalah sebuah komponen elektronika yang merupakan bagian dari sebuah sensor ultra sonic yang dapat merubah energy listrik menjadi energy mekanik dalam bentuk gelombang

9.Apabila desain jembatan yang dibuat tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh panitia dan tidak sesuai dengan rancangan teknis pada proposal yang dibuat, maka

Latihan Instruktur Paripurna (LIP) adalah kegiatan perkaderan khusus yang dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan tenaga-tenaga instruktur tingkat Pusat, yang memiliki