• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAQASID AL- SHARIA DAN IMPLEMENTASINYA DI ERA KEKINIAN: ANALISIS PEMIKIRAN IMAM AS-SYATIBI. Abd.Wahid 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAQASID AL- SHARIA DAN IMPLEMENTASINYA DI ERA KEKINIAN: ANALISIS PEMIKIRAN IMAM AS-SYATIBI. Abd.Wahid 1"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

120 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

MAQASID AL- SHARIA DAN IMPLEMENTASINYA DI ERA KEKINIAN: ANALISIS PEMIKIRAN IMAM AS-SYATIBI

Abd.Wahid1 [email protected]

Abstract

Ulama agree that Imam al-Syatibi was the first initiator and founder of maqāşid al-sharīah. Not only that, the urgency of choosing this theme is because the theory of maqāşid al- sharīah al-Syatibi is seen as more systematic and complete than the formulations of previous scholars. This study has two objectives, the first is to analyze Imam al-Syatibi's idea of maqāşid al-sharīah, the second is to find out how the idea is implemented in contemporary society. While the method in this study uses qualitative methods with content analysis techniques, namely by analyzing data from several Turats books, and several journals accompanied by documents by Imam as-Syatibi related to his ideas about maqāşid al- sharīah, then the results of the analysis are correlated with contemporary life situation. The results show that Imam al- Syatibi's opinion regarding maqāşid al-sharīah has presented many new faces with an elastic appearance in this current era, such as justice, benefit and equality in aspects of human life.

We can see this evidence in two ways: first, that maqāşid al- sharīah has become a source of method in the development of Islamic law and has even become the rationale for the development of Islamic law in this current era. The results of the two maqāşid al-sharīah have played an important and very central role in sparking laws related to sharia economics, one of which is to be the benefit of mankind.

Keywords: Implementation, Maqāşid al-Sharah, Contemporary Era.

1 Sekolah Tinggi Agama Islam Syaichona Moch Cholil Bangkalan

(2)

121 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

Pendahuluan

Mengenai kajian maqāşid al-sharīah, semua ulama Islam sepakat bahwa Imam al-Syatibi adalah penggagas pertama sekaligus pendiri maqāşid al-sharīah. Namun, bukan berarti sebelum beliau ilmu maqāşid al-sharīah tidak ada. Imam al-Syatibi lebih tepat disebut orang pertama yang menyusunnya secara sistematis. Teori maqāşid al-sharīah al-Syatibi dipandang lebih sistematis dan lengkap dibandingkan dengan rumusan-rumusan para ulama sebelumnya.

Rumusan-rumusan tersebut dianggap menginspirasi para ulama berikut seperti Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah Darraz, Muhammad at-Thahir bin Asyur, dan lain-lain sesudahnya.

Sebagian ulama menyamakan pemikiran al-Syatibi dengan pandangan-pandangan agung (madzhab) dalam uşūl fiqh. Ia membuat paradigma baru tentang kecenderungan madzhab dalam Islam dalam ilmu ushul fiqh. Sebelumnya, hanya ada dua mazhab yang dikenal dalam ushul fiqh, yaitu Madzhab Mutakallimin dan Madrasah Fuqaha atau Syafi'iyyah dan Hanafiyyah. Kemudian, Mustafa al-Khin membaginya menjadi lima aliran, yaitu: Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam'i, Takhrij, Al- Furu’ Ala Al- wushulu As-satibiyah.

Bahkan Thahir bin Asyur, dalam bukunya Maqāşid al-Sharīah al-Islamiyyah, cukup percaya diri menjadikan maqāşid al-sharīah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu ushul fiqh.2

Menurut al-Jabiri, Imam al-Syatibi telah mengalihkan kajian Ul Fiqh dari al-mumāsilāt al-qiyāsiyah al-dzanniyah (praktik, prinsip dan persamaan dalam qiyas yang bersifat relatif) dalam kerangka epistemologi bayani, menjadi menjadi al-mumārasat al-istidlāliyah al- qath'iyah (praktik inferensial mutlak) dalam kerangka epistemologi

2Muhammad al-Tahir Ibn Asyur, Maqāşid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, vol. II (Kairo: Dar al- Nafais, 2001), 180.

(3)

122 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

burhani. Hal ini dilakukan dengan memperluas pembahasan maqāşid al-sharīah dengan tema-tema baru yang berkaitan langsung dengan Al-quran, dan kajiannya tidak terdapat pada karya-karya ulama sebelumnya.3 Tema-tema tersebut meliputi kemaslahatan (mashlahat) dan keterbatasan, qashd ( tujuan) dalam melakukan perbuatan, niat dalam hukum dan maqāshid, maqāşid dan akal, maqāşid dan ijtihad, dan tujuan umum dari maqāşid al-sharīah. Kita dapat mengamati betapa pentingnya kedudukan al-Syatibi. Dia menulis al-Muwafaqat setengah abad sebelum jatuhnya Granada yang merupakan kota Muslim terakhir di Andalusia. Tujuan utama buku ini adalah untuk menghidupkan kembali semangat syariat Islam, mengajak umat Islam untuk mengutamakan kepentingan umum, dan mengarahkan mereka untuk memperhatikan realitas. Di sinilah pentingnya pembahasan maqāşid al-syarah yang digagas oleh al- Syatibi dan relevansinya dengan kehidupan Era Kekinian saat ini.

Kajian maqāşid al-sharīah telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Jasser Auda. Maqāşid al-Sharīah sebagai Filsafat Hukum Islam: Pendekatan Sistem. London: The International Institute of Islamic Thought, 2007. Ia menyoroti kondisi umat Islam yang hidup di era sekarang yang masih miskin, tertinggal dari negara lain.

Menurutnya, perkembangan Hukum Islam dengan menggunakan teori maqashid al-syariah menjadi urgen, karena hukum Islam harus mampu memberikan jawaban atas permasalahan kontemporer, khususnya masalah sosial kemanusiaan. Suatu kasus hukum terkait dengan nilai sepihak dan realitas di sisi lain, perlu dianalisis secara holistik dengan pendekatan interaksi-interkoneksi.

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Duski Ibrahim,

“Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syatibi: Kajian Konsep Istiqra 'al-Ma'nawi." Disertasi Doktor Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2006. Ia melakukan penelusuran silsilah ilmiah

3Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 57.

(4)

123 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

dan perkembangan sejarah maqāşid al-sharīah. Menurutnya, mengkaji maqāşid al-sharīah tidak lepas dari peran Imam al-Syatibi, seorang ulama yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan yang menghabiskan usianya untuk pengembangan maqāşid al-sharīah. Imam al-Syatibi adalah bagian dari ulama Andalusia yang menyusun kitab al- Muwāfaqāt, untuk menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Hanafi dan Maliki.

Kajian selanjutnya dilakukan oleh Wael B. Hallaq,

“Keutamaan Al-Qur'an dalam Teori Hukum Syathibi”. Dalam Studi Islam. Leiden: EJ. Brill, 1991. Menurutnya, Imam al-Syatibi berperan besar dalam menegaskan peran al-Qur'an dalam pengembangan teori maqāşid al-sharīah. Karena maqāşid al-sharīah sendiri berusaha untuk mengungkapkan penekanan pada hubungan antara kehendak Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan aspirasi manusia sehingga dengan mengembangkan teori-teori maqāşid al-sharīah berarti telah menerapkan isi Alquran.

Jika dianalisis, penelitian-penelitian sebelumnya belum komprehensif. Kajian yang dilakukan oleh Jasser Auda terlalu spesifik, hanya terkait dengan hukum Islam dan tidak membahas aspek Era Kekinian dari Implementasi maqāşid al-sharīah, sedangkan penelitian disertasi yang dilakukan oleh Duski Ibrahim membatasi pembahasan pada konsep al-istiqrā 'al-ma'nawī. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Wael B. Hallaq menekankan pada pandangan Al- Qur’an dengan maqāşid al-sharīah Imam Syatibi. Di sinilah letak signifikansi pembahasan artikel ini, dengan menelaah teori maqashid al-syariah dan relevansinya dengan kehidupan Era Kekinian. Kita dapat mengamati betapa pentingnya kedudukan al-Syatibi. Dia menulis al-Muwāfaqāt setengah abad sebelum jatuhnya Granada, yang merupakan kota Muslim terakhir di Andalusia. Tujuan dari buku ini adalah untuk menghidupkan kembali semangat hukum Islam, mengajak umat Islam untuk mengutamakan kepentingan umum, dan mengarahkan mereka untuk memperhatikan realitas.

(5)

124 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.

Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis isi,4 yang merupakan upaya untuk menganalisis substansi pemikiran maqāşid al-sharīah Imam al-Syatibi, dan dikorelasikan dengan konteks kehidupan masyarakat saat ini. Analisis terhadap sumber-sumber yang ditulis oleh Imam al-Syatibi dilakukan secara objektif dan ilmiah, untuk menemukan makna dan definisi pemikirannya.

Kajian Imam al-Syatibi dan pemikirannya bersifat historis, terkait dengan fenomena dan latar belakang sosial budaya. Langkah- langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: mengumpulkan dan menganalisis data penelitian, mendeskripsikan latar belakang kehidupan Imam al-Syatibi, mengidentifikasi data penelitian dan tema pemikiran, dan menentukan bagian-bagian yang terkait dengan pemikiran tentang maqāşid al-sharīah. dan Implementasinya dalam kehidupan Era Kekinian.

Kajian Teori

Imam Syatibi dan Sejarah Maqāşid Al-Sharīah

Kemunculan sosok tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya, baik pada masa sekarang maupun masa sebelumnya.

Demikian pula Imam al-Shatibi yang tinggal di Granada, sangat dipengaruhi oleh peradaban Umayyah di Andalusia.5 Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik,

4W. Lawrence Neuman, Social Methods, Qualitative and Quantitative Approachs (Buston: Ally and Bacon, 1997), 21.

5Abdurrahman Kasdi, ―Maqashid Syari‘ah Perspektif Pemikiran Imam Syatibi dalam Kitab al- Muwafaqat,‖ Yudisia vol. V, no. I (2014): 48–49

(6)

125 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

sosial-keagamaan, ekonomi dan hukum yang nantinya akan mempengaruhi pola pikir dan produk hukum Imam al-Syatibi.6

Imam Syatibi memiliki nama lengkap Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi. Ia lahir di Granada pada tahun 730 H/ 1328 M dan wafat pada hari Selasa tanggal 8 Sya'ban tahun 790 H/ 1388 M.12 Nama Syatibi adalah nisbat (tanda) tempat kelahiran ayahnya di Syathibah, sebuah daerah. di bagian timur Andalusia.7 Imam al-Syatibi dibesarkan di Granada pada akhir kerajaan Islam Andalusia dan sejarah intelektualnya terbentuk di kota yang menjadi ibu kota kerajaan Bani Nasr. Para ulama memperkirakan bahwa Imam al-Syatibi hidup antara era dua khalifah, Yusuf Abu al-Hajaj (1333-1354 M) dan Sultan Muhammad V al- Ghani Billah (1354-1391 M) yang merupakan masa keemasan Granada. Perkiraan ini didasarkan pada tahun wafatnya, 790 H / 1388 M,15 dan jika ada perbandingan antara tahun wafatnya al-Syatibi dengan pemerintahan kedua khalifah, maka akan ada titik temu.

Imam al-Syatibi memulai sejarah pendidikannya dengan mempelajari bahasa Arab dan tata bahasanya. Dalam bidang ini, tercatat bahwa al-Syatibi berguru kepada seorang ulama besar di bidang linguistik, Abu Abdillah ibn Fakhkhar al-Birri (w. 754 H / 1353 M). Ia belajar sampai gurunya meninggal. Selanjutnya dalam bidang yang sama, al-Syatibi berguru kepada Abu al-Qasim al-Sharif al-Sabti (w. 760 H / 1358 M), seorang mufassir (pembaca) terkenal yang bergelar raja Arab pada masanya. Selanjutnya al-Syatibi juga memperdalam bahasa Arab, khususnya kitab Imam Sibawaih dan Alfiyah Ibnu Malik hingga Abu Ja'far Ahmad al-Syarqawi (w. 762 H / 1360 M).8

6Andriyaldi Andriyaldi, Teori Maqashid Syari‟ah dalam Perspektif Imam Muhammad Thahir Ibnu

„Asyur (Bukittinggi: P3M STAIN Bukittinggi, 2013), 46.

7Al-Ubaydi, Asy-Syātibiy wa Maqāşid asy-Syarī‟ah, 11.

8Hamka Haq, Al-Syatibi, Aspek Teologis dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 18.

(7)

126 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

Di bidang tafsir, Imam al-Syatibi mempelajari Abu Abdillah al-Balansani (w. 765 H / 1363 M), seorang komentator dan penulis terkenal pada masanya. Sedangkan dalam ilmu hadits, al-Syatibi belajar pada Abu al-Qasim ibn al-Bina dan Syamsu al-Din al- Tilmisani (w. 767 H/1365 M), yang mengajarkan kitab-kitab Jami 'as- Sah}ih al-Bukhari dan al-Muwatta' oleh Imam Malik. Kemudian dalam bidang uşul fiqh, ia belajar pada Imam Abu Abdillah ibn Ahmad al-Maqarri (w. 761 H / 1359 M), seorang diplomat dan ahli tahqiq dalam pandangan Maliki, yang datang ke Granada pada tahun 757 H / 1356. Dari kepadanya, al-Syatibi diperkenalkan dengan pemikiran al-Razi tentang uul fiqh sebagaimana tertuang dalam kitab al-Maḥşul.

Imam al-Syatibi juga belajar uşul fiqh kepada Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Sharif al-Tilmisani (w. 771 H), yang juga mengajarinya tentang teologi rasional. Berdasarkan beberapa sumber, selama berguru kepada al-Tilmisani, al-Syatibi memiliki seorang rekan yang kemudian dikenal sebagai ilmuwan Islam, ibn Khaldun.

Selanjutnya Imam al-Syatibi berguru kepada Khatib bin Marzuq tentang uşul fiqh.

Dalam bidang filsafat dan kalam, ia berguru kepada Abu 'Ali Mansur al-Masyzali (w. 770 H / 1369 M), yang mengunjungi Granada pada tahun 753 H / 1352 M, dan menerima penghargaan dari ibn al- Khathib sebagai Wazir. dari Granada. Melalui gurunya, Imam al- Syatibi mengenal pemikiran teologis Mu'tazilah dan pemikiran rasional lainnya.

Dengan latar belakang pendidikan yang lengkap ini, Imam al- Syatibi menjadi seorang ulama besar yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan. Imam al-Syatibi adalah bagian dari ulama terkenal Andalusia. Sebagai seorang fuqaha yang memiliki ilmu yang mendalam, Imam al-Syatibi tercatat beberapa kali meluruskan pemikiran dan amalan para ulama pada masanya, dan sering berselisih dengan para ulama Granada yang membuatnya “dikucilkan” oleh

(8)

127 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

mereka. Mengenai hal ini, Imam al-Syatibi berkata, “Saya telah datang ke beberapa profesi umum, seperti khotbah dan doa. Ketika saya ingin meluruskan jalan, saya merasa seperti orang asing di antara sebagian besar teman-teman saya. Praktek adat telah mendominasi profesi mereka, dan noda tambahan telah menutupi sunnah asli.9

Imam Syatibi bangkit melawan dan menantang para ulama Granada saat itu. Ia berusaha meluruskan dan mengembalikan pemahaman sunnah dan membawa manusia dari yang usang kepada kebenaran. Perselisihan sengit antara Imam Syatibi dan ulama Granada tak terelakkan. Setiap kali Imam Syatibi memberlakukan hal-hal yang halal, mereka akan melakukan sebaliknya, menetapkan aturan haram tanpa melihat teks (nash) terlebih dahulu. Karena itulah, Imam Syatibi kemudian dilecehkan, dicaci maki, dikucilkan dan dianggap meninggalkan keyakinannya.

Hal lain yang disoroti oleh Imam Syatibi adalah praktik tasawuf yang telah menyimpang dari aturan aslinya. Mereka berkumpul pada malam hari, kemudian berdzikir bersama dengan suara yang sangat keras dan diakhiri dengan menari dan menyanyi hingga larut malam. Beberapa dari mereka memukuli dada dan bahkan kepala mereka sendiri. Imam Syatibi bangkit untuk melarang praktik ini karena dianggap menyimpang dari ajaran yang benar.

Menurut Imam Syatibi, setiap cara mendekatkan diri kepada Allah yang tidak seperti yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya adalah salah dan terlarang. Fatwa Syatibi tentang praktik tasawwuf yang menyimpang juga diperkuat oleh salah seorang ulama tasawuf saat itu. ,Abul Hasan an-Nawawi. Dia mengatakan bahwa siapa pun yang melihat seseorang yang mendekat kepada Allah dengan cara yang keluar dari syariat dilarang untuk mendekatinya.

Imam Syatibi juga menyoroti ta'ashub berlebihan yang dilakukan para ulama dan masyarakat Andalusia saat itu terhadap

9 Ibid 18-19

(9)

128 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

pandangan Maliki. Mereka melihat bahwa setiap orang yang tidak menerapkan pandangan Maliki sesat. Seperti diketahui, Andalusia memegang pandangan Maliki ini dengan erat sejak Khalifah Hisyam al-Awwal ibn Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180H menjadikan pandangan ini sebagai landasan resmi negara.10

Sejak itu, seolah-olah itu adalah utusan resmi, orang-orang Andalusia berpegang teguh pada pandangan Maliki. Karena pemahaman mereka yang berlebihan, mereka tidak lagi tahu bahkan menjadi tidak bersahabat dengan para pemegang pandangan lainnya, terutama Hanafi, sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur menggambarkan mereka: “Mereka tidak lagi tahu apa-apa selain Al- Qur'an dan al-Muwaţţa 'Imam Malik " Saat itu para ulama yang tidak menganut Maliki pun tak lepas dari cibiran, bahkan mereka disiksa seperti yang dialami oleh al-Allamah Baqa 'bin Mukhlid, seorang ulama besar berpandangan Hanafi.

Meskipun Imam Syatibi adalah ulama Maliki,11 namun beliau tetap menghormati ulama-ulama Islam lainnya, termasuk yang berpandangan Hanafi, yang saat itu selalu menjadi sasaran nomor satu yang harus diberhentikan. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, ia kerap menyanjung Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al- Muwāfaqāt sendiri sengaja ditulis oleh Imam Syatibi untuk menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara pemegang pandangan Hanafi dan Maliki.Imam Syatibi adalah seorang ulama yang produktif dalam menulis buku-buku agama. Karya-karyanya semuanya mengacu pada dua bidang ilmu yang menurut istilah Hammadi al-Ubaidy, ulm al-wasīlah dan ulm al-maqāşid. Ulūm al- wasīlah adalah bahasa Arab yang merupakan wasīlah untuk memahami Ilmu Maqashid. Untuk lebih jelasnya berikut rangkuman karya-karya Imam Syatibi.

10Muhammad al-Tahir Ibn Asyur, A‟lām al-Fikr al-Islamī (Tunisia: Maktabah al-Najah, n.d), 10.

11Muhammad Makhluf, Syajarah an-Nūr az-Zakiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, 1349), 231.

(10)

129 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

Pertama adalah kitab al-Muwāfaqāt. Buku ini merupakan karya paling monumental dan paling terkenal di antara karya-karya Imam Syatibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz, dan pada awalnya kitab ini diberi judul al-Ta'rīf bi Asrār al-Taklīf. Kemudian, setelah Imam Syatibi mengalami mimpi, diubah menjadi al-Muwafaqat.

Yang kedua adalah kitab al-I'tisham. Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah al-Muwafaqat.

Hasil dan Pembahasan

Implementasi Maqāşid Al-Sharīah dalam Kehidupan Era Kekinian

Munculnya maqāşid al-syarīah berawal dari kegelisahan para intelektual Muslim, khususnya Imam al-Syatibi agar hukum Islam mampu menghadapi tantangan sepanjang waktu. Pembaharuan maqāşid al-sharīah sebagai metode istinbat melalui terobosan baru dengan pendekatan filosofis terhadap sistem dianggap penting untuk diterapkan oleh para ulama ushul di zaman Era Kekinian saat ini.

Inilah titik tolak pemikiran hukum Islam, menurut Jasser Auda, yang semakin kokoh dan terbentang dari cakrawala kesetaraan agama (musāwah dīniyah) menuju cakrawala kesetaraan sosial (musāwah ijtimā‟iyah).12

Secara etimologis, maqāşid al-sharīah terdiri dari dua kata, maqāşid dan al-sharīah. Maqāşid memiliki arti maksud atau tujuan.

Maqāşid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berasal dari suku kata qashada yang berarti 'kehendak'. Maqāşid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.13 Sedangkan secara istilah syariah

12Abdul Basith Junaidi, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 254.

13Ibnu Mandzur, Lisān Al-„Arab (Kairo: Darul Ma‘arif, 1999), 3642.

(11)

130 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air juga bisa diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.14

Dalam al-Qur'an, Allah telah menyatakan beberapa kata

"syarah" seperti dalam ayat berikut: Kemudian Kami jadikan kamu di atas jalan iman, maka ikutilah itu, dan janganlah kamu mengikuti kecenderungan orang-orang yang tidak mengetahui. ..” (QS. Al- Jatsiyah: 18). Dalam ayat lain, juga diperlihatkan bahwa, Dia menetapkan bagimu agama yang sama yang Dia perintahkan kepada Nuh, dan apa yang Kami turunkan kepadamu, dan apa yang Kami perintahkan atas Ibrahim, Musa, dan Isa: “Kamu harus menegakkan agama, dan janganlah kamu terpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy- Syuura: 13). Dari kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa

“syari’ah” sama dengan “agama”, namun dalam perkembangannya saat ini terjadi pengurangan makna syari’at. Oleh karena itu, Syekh Mahmud Syaltout berusaha mengembalikan semangat ilmu syari'ah, dengan mengatakan bahwa syari'at adalah aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk membimbing manusia dalam mengatur hubungan mereka dengan Tuhannya, baik dengan sesama Muslim maupun non- Muslim, alam dan semua aspek dalam kehidupan ini.15

Secara terminologi, maqāşid al-sharīah adalah tujuan hukum Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Imam al-Syatibi mengungkapkan tentang syariah dan fungsinya bagi manusia sebagaimana tertuang dalam kitab al-Muwāfaqāt, bahwa sebenarnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia dalam dunia dan akhirat. Di bagian lain disebutkan bahwa hukum dibuat untuk kemaslahatan umat manusia.16

Sebenarnya al-Syatibi tidak mengkhususkan diri dalam mendefinisikan maqāşid dalam bentuk jami 'mani' dan terbatas.

14Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, vol. 14 (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), 712.

15Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islām Aqīdatan wa Syarī‟atan, vol. 18 (Cairo: Dar asy-Syuruq, 2001), 13–

16.

16Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwāfaqāt fi Uşūl al-Syarī‟ah, vol. 1 (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah, 2003), 30.

(12)

131 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

Namun, ia hanya memperkenalkan maqāşid al-sharīah melalui penjabaran teorinya yang luas. Al-Syatibi lebih memfokuskan kajiannya bahwa maqāşid al-sharīah adalah kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, Imam al-Syatibi menempatkan kemaslahatan (maslahah) pada posisi sebagai hukum illat atau alasan penegakan hukum Islam.

Imam al-Amidi dalam bukunya, al-Ihkam, menyatakan bahwa tujuan hukum yang sebenarnya adalah untuk mencapai kemaslahatan dan menghindari kemungkaran atau kombinasi keduanya.17 Kemudian, Imam Tahir ibn Asyur memberikan definisi terkait dengan maqāşid al-sharīah, yaitu makna dan hikmah yang dikehendaki Allah dalam segala kondisi tasyri'. Hasrat tersebut tidak hanya terbatas pada satu jenis hukum syari'ah saja, melainkan semua bentuk hukum syari'ah yang maksud dan maknanya tercakup di dalamnya, dan juga makna hukum yang tidak tercatat dalam berbagai macam hukum, tetapi tercatat dalam bentuk lain.

Sedangkan Yusuf al-Qardawi mendefinisikan maqāşid al- sharīah sebagai tujuan yang diinginkan oleh teks-teks Al-Quran (nash), baik berupa perintah, larangan maupun hal-hal yang boleh.

Tujuannya adalah untuk mengarahkan hukum juzi'yyah (sebagian) dalam semua aspek kehidupan seorang mukallaf.18 Kemanfaatan (maslahah) yang akan dicapai dalam maqāşid al-sharīah, menurut al- Syatibi, terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

Pertama, kebutuhan d}arūriyyah (primer) Kebutuhan d}arūriyyah harus ada dan harus dipenuhi untuk memenuhinya.

manfaat dunia dan akhirat. Jika kebutuhan tidak terpenuhi, tidak akan ada kemakmuran di dunia, bahkan kerusakan dalam hidup. Manusia akan kehilangan kesenangan dan akan merasakan kerugian yang nyata

17Ali ibn Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkām fi Uşūl al-Ahkām, vol. 3 (Kairo: Dar al-Sami‘i, n.d), 271.

18Yusuf Al-Qardawi, Dirāsah fi Fiqh Maqāşid al-Syari‟ah; baina al-Maqāşid al-Kulliyah wa al- Nuşūs al- Juziyyah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2006), 20.

(13)

132 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

di akhirat. Ada lima hal yang termasuk dalam kategori kebutuhan d}arūriyyah, yaitu memelihara agama (hifdz al-din), melindungi jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-'aql), melindungi keturunan (hifdz al-'aql). al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal). Untuk mempertahankan lima poin ini, hukum Islam diturunkan. Setiap ayat hukum, jika ditelaah dengan seksama, mengandung alasan pembentukannya yang tidak lain adalah mempertahankan lima poin di atas.

Kedua, kebutuhan hajiyyah (sekunder). Kebutuhan hajiyyat merupakan kebutuhan sekunder, dimana jika tidak dapat diwujudkan tidak mengancam keselamatan manusia, tetapi akan mengalami kesulitan.19 Adanya hukum rukhsah merupakan salah satu contoh kepedulian syariat Islam terhadap hajiyyat. Dalam hal ibadah, Islam mengamanatkan beberapa hukum rukhsah padahal dalam kenyataannya sulit untuk menjalankan perintah syari'at. Dalam hal muamalah, ada banyak jenis akad, berbagai jenis jual beli, sewa menyewa, syirkah (perusahaan) dan mudharabah (perdagangan dengan modal orang lain melalui kesepakatan bersama untuk keuntungan bersama) dan beberapa hukum rukhsah dalam muamalah.

Dalam hal uqubat, Islam mengatur denda untuk pembunuhan yang tidak disengaja dan penangguhan hukuman potong tangan bagi seseorang yang telah mencuri sesuatu untuk menyelamatkan hidupnya dari kelaparan. Masalah-masalah tertentu yang menyebabkan keringanan dalam hukum Islam diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an yang mengilhami maqāşid al-sharīah.

Ketiga, kebutuhan tahsiniyyah (tambahan). Tahsiniyyat tidak mencapai tingkat dharuriyat dan hajiyyah. Tingkat kebutuhan ini hanya bersifat pelengkap. Hal-hal yang kepatutan menurut adat, menghindari hal-hal yang tidak sedap dipandang mata dan dihias dengan keindahan sesuai dengan tuntutan norma dan moral. Allah telah mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan

19Mahmud Bilal Mahran, Mausū‟āt al-Tasyri‟ al-Islāmī (Kairo: Majlis al-A‘la, 2009), 619.

(14)

133 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

tahsiniyyah dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadah, muamalah dan uqubah. Dalam bidang ibadah, Islam mengandung pengertian penyucian, baik dari najis (najis) maupun dari hadats, secara fisik maupun dari tempat dan lingkungan sekitar. Islam menganjurkan kita untuk selalu berpenampilan bagus dan rapi ketika akan pergi ke masjid dan melakukan ibadah sunnah lainnya. Dalam hubungan dengan orang lain (Muamalah), Islam melarang pemborosan, kikir, menaikkan harga, monopoli dan lain-lain. Dalam hal uqubah, Islam melarang membunuh anak-anak dan wanita dalam perang.

Maqāşid Al-Sharīah sebagai Metode Pengembangan Hukum Islam

Menurut Yusuf al-Qardhawi, realitas infertilitas fiqh Islam ditandai dengan sistematisasi fikih yang diawali dengan pembahasan tentang ibadah. Menurutnya, ciri-ciri fiqih seperti ini telah menjabarkan cara pandang fiqh terhadap masalah-masalah hukum, sosial, politik dan ekonomi. Agar fiqh fleksibel untuk menjawab tantangan yang akan datang, ijtihad selalu dibutuhkan oleh para intelektual Muslim.20

Tidak ada kata final‖ untuk proses ijtihad, karena hukum Islam harus fleksibel sesuai dengan dinamika perputaran roda peradaban yang tidak pernah ada kata stop‖. Mengenai kedudukan teori Maqāşid sebagai landasan proses ijtihad, Imam al-Syatibi memperkenalkan dua langkah dalam proses ijtihad, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi. Pembagian yang dilakukan Syatibi ini dapat mempermudah dalam memahami mekanisme ijtihad. Dalam ijtihad istinbathi, seorang mujtahid Muslim memusatkan perhatiannya pada upaya penggalian ide-ide yang terkandung dalam teks-teks suci (Al-Qur'an dan Sunnah). Setelah memperoleh ide-ide tersebut, barulah ia harus

20A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 175–199.

(15)

134 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

menerapkan ide-ide tersebut pada permasalahan yang terjadi di lapangan; inilah yang disebut ijtihad tathbiqi atau "ijtihad terapan".

Oleh karena itu, objek ijtihad istinbathi adalah teks, sedangkan objek kajian tathbiqi adalah manusia dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang dialaminya. Dengan demikian, masuk akal jika Imam al-Syatibi disebut ijtihad tathbiqi sebagai ijtihad yang tidak akan pernah berhenti sampai akhir zaman.

Melalui ijtihad ini, maqāşid al-sharīah hadir sebagai sebuah sistem dan pendekatan dinamis dalam hukum Islam.21 Dengan maqāşid al-sharīah, hukum Islam mampu memberikan jawaban untuk memecahkan masalah kontemporer, terutama masalah sosial dan kemanusiaan. Bukan hanya sebaliknya seperti belakangan ini, di mana Islam direfleksikan sebagai terorisme, perang, saling bertikai, intoleran, fanatik dan fundamentalis serta terkesan bahwa kualitas hidup atau sumber daya umat Islam berada pada level yang rendah, dibandingkan dengan keyakinan lain.

Perkembangan teori maqāşid al-syarah telah mengilhami filsafat hukum Islam dan menjadi landasan utama pemikiran dan analisis dasar, bagi perkembangan pemikiran hukum Islam di era globalisasi dan perubahan sosial saat ini.22 Kulliyyat al- Al-Syatibi Khamsah sangat populer dalam bidang ushul al-fiqh dan fiqh dalam pemikiran hukum Islam.

Jasser Auda mengajukan pertanyaan penting yang ditujukan kepada umat Islam yang hidup di era sekarang. Jika Kulliyyat al- Khams al-Syatibi memang penting dan fungsional di era kontemporer saat ini, mengapa dalam realitas keseharian di negara-negara mayoritas Muslim masih miskin, tertinggal dari negara-negara lain yang juga sama-sama belum berkembang dengan baik? Laporan

21Asmuni et.al, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: PPS FAI UII, 2012), 10.

22Budiarti Budiarti, ―Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama dengan Pendekatan Maqashid al-Syari‘ah dalam Konteks Negara Hukum Pancasila,‖ Justicia Islamica vol. 5, no. 1 (2018): 36–39.

(16)

135 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

tahunan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menyebutkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) negara- negara dengan mayoritas penduduk Muslim masih rendah dalam hal tingkat melek huruf, pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, pemberdayaan perempuan, belum lagi. standar dan kualitas hidup yang layak.23 Pertanyaan kedua yang diajukannya adalah mengapa di negara-negara berpenduduk Muslim yang pendapatan per kapitanya cukup tinggi, tetapi tingkat pemerataan keadilan, pemberdayaan perempuan, partisipasi politik dan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara masih rendah.24

Untuk itu, pengembangan hukum Islam dengan menggunakan teori maqāşid al-syarīah menjadi sangat penting, karena hukum Islam harus mampu memberikan jawaban atas permasalahan kontemporer, khususnya dalam hal permasalahan sosial dan kemanusiaan. Suatu kasus hukum berkaitan dengan nilai satu sisi dan realitas di sisi lain, sehingga perlu dilakukan analisis holistik (keutuhan). Dengan adanya interaksi multidisiplin keilmuan, maka menjadi pendekatan holistik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan fiqih Islam

Maqāşid Al-Sharīah Dalam Mengembangkan Ekonomi Syaria Kehadiran ekonomi Islam dalam banyak aspek merupakan reinkarnasi dari fiqih mu'amalat.45 Oleh karena itu, ekonomi syariah harus mengembalikan elastisitas fiqh dengan menjadikan maqāşid syarah sebagai tujuan akhir dalam prosesnya. Ekonomi syariah dapat dibangun tanpa mengingkari realitas yang ada, namun tetap dalam bingkai maqāşid al-syarah. Hal ini karena maqāşid al-sharīah sendiri berusaha untuk mengungkapkan penekanan pada hubungan antara isi kehendak (aturan) Tuhan dan aspirasi manusia.

23Maulidi Maulidi, ―Maqasid Syariah Sebagai Filsafat Hukum Islam: Sebuah Pendekatan Sistem Menurut Jasser Auda,‖ Al-Mazāhib vol. 3, no. 1 (2015): 8.

24Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, xxii.

(17)

136 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

Sampai di sini, kita dapat menarik hubungan bahwa teori maqāşid al-sharīah menempati posisi yang sangat sentral dan vital dalam merumuskan metodologi pengembangan Ekonomi syarah.

Bahkan Syatibi sendiri menyatakan bahwa maqāşid al-sharīah adalah induk dari ushul fiqh. Artinya penulisan ushul fiqh sebagai metodologi tidak dapat dipisahkan dari maqāşid al-sharīah. Hal ini karena teori Maqāshid dapat mengantarkan mujtahid untuk menentukan standar kemaslahatan sesuai dengan syariah.25 Apalagi menurut al-Tufi, hanya di bidang muamalat rasionalisasi kemaslahatan ini dapat diterapkan. Untuk menyusun bangunan ekonomi syariah yang kokoh, tidak lepas dari teori maqāşid al- sharīah. Bahkan Syaikh Muhammad Thahir ibn ur Assyria pernah berkata bahwa “Melupakan pentingnya sisi maqāşid dalam syariat Islam merupakan faktor utama penyebab stagnasi dalam fiqih.

Menghidupkan kembali ekonomi syari’at yang telah lama terkubur dan hampir menjadi fosil, adalah salah satunya bekerja pada ijtihadi, artinya membutuhkan kerja keras para ekonom muslim untuk mencari nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam Islam.

Maqāşid al-sharīah merupakan salah satu stimulan yang perlu dikembangkan oleh para ekonom muslim untuk mengembangkan ekonomi syariah. Perlu ditekankan pentingnya memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kaidah-kaidah syari’ah, yang menjadikan fiqh maqāşid dapat dimaknai dalam bidang ekonomi syari’ah. Maqāşid al- sharīah adalah pemahaman yang dibangun dengan tujuan untuk menetapkan suatu hukum. Secara teknis, metode ini bertujuan untuk memahami dan mengkaji nash-nash syari'ah yang juz‟i dalam konteks maqāşid al-sharīah dan mengikat suatu hukum dalam pokoknya, yaitu melindungi kemaslahatan seluruh umat manusia.26

25Muhammad Khalid Mas‘ud, Islamic Legal Philosophy (Islamabad: Islamic Research Institute, 1977), 223–224.

26Yusuf Al-Qardawi, As-Siyāsah asy-Syar‟iyyah fi Dhau‟i Nuşūh asy-Syari‟ah wa Maqāşidihā (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), 45.

(18)

137 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

Dengan demikian, teori maqāşid al-sharīah seharusnya berimplikasi pada perilaku ekonomi setiap muslim. Selain itu, para ekonom Muslim juga harus memperhatikan implikasi tersebut ketika melakukan analisis ekonomi dalam kerangka syariah. Menyusun dan mendeskripsikan implikasi maqāşid dalam teori-teori ekonomi merupakan tantangan dan tugas yang sangat sulit, yang harus selalu diperjuangkan oleh para ekonom Muslim.

Dalam konteks ekonomi syariah, tujuan maqāşid al-sharīah adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Seorang muslim didorong untuk memperoleh atau memproduksi barang/jasa yang bermanfaat itu. Bagi ekonom syari’ah, konsep maslahah lebih objektif daripada konsep utilitas untuk menganalisis perilaku para pelaku ekonomi. Meskipun maslahah (manfaat) mungkin meninggalkan sedikit subjektivitas, tetapi tidak menimbulkan samar- samar seperti yang terjadi dalam konsep utilitas.

Dalil mengenai aspek kemaslahatan/maslahah yang lebih diunggulkan dari pada kegunaannya adalah:

Pertama, maslahah bersifat subjektif, karena setiap individu dapat menentukan sesuatu yang baik/bermanfaat bagi dirinya sendiri.

Namun, kriteria penentuan maslahah ini lebih jelas dan terarah, ketimbang subjektivitas dalam konsep utilitas. Dalam konsep utilitas, alkohol mungkin mengandung utilitas, tetapi mungkin atau mungkin tidak, relatif terhadap setiap individu. Namun dalam ekonomi Islam, karena miras tidak mengandung manfaat apapun dan jelas bertentangan dengan al-kuliyyah al-khamsah, maka dapat disimpulkan secara jelas bahwa miras itu haram.

Kedua, ada korelasi antara kepentingan individu dan sosial yang dapat dihindari, atau setidaknya diminimalkan. Hal ini karena kriteria mashlahah antara individu dan sosial dapat diselaraskan, sesuai dengan apa yang tertuang dalam kaidah syar'i. Dalam pandangan Asad Zaman, perilaku konsumsi umat Islam terkait

(19)

138 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

dengan tiga hal, yaitu altruisme, penolakan konsep kenyang; dan memberi makan orang miskin.27

Ketiga, konsep mashlahah berlaku bagi seluruh kegiatan ekonomi masyarakat, baik dalam proses produksi maupun konsumsi.

Tidak seperti ekonomi konvensional; di mana utilitas adalah tujuan konsumsi; sedangkan keuntungan adalah tujuan dari proses produksi KESIMPULAN

Berbekal ilmu keislaman yang komprehensif dan kuat yang dimilikinya, Imam al-Syatibi menjadi rujukan bagi masyarakat dan penguasa dalam menyelesaikan berbagai persoalan keagamaan.

predikat ini membawanya semangat untuk berinteraksi dengan masyarakat, dan mendorongnya untuk memperdalam ilmunya melalui studi Islam otodidak. Konsekuensi logis dari keahlian dan interaksinya dengan masyarakat membuatnya berperan penting sebagai mufti, imam (khatib), guru produktif, dan penulis. Sebagai seorang mufti, Imam al-Syatibi banyak memberikan fatwa agama kepada para pemintanya. Sebagai seorang guru, Imam al-Syatibi mengajar dan mengembangkan ilmunya untuk semua muridnya.

Sebagai seorang Imam dan Khatib, Imam al-Syatibi sering memimpin shalat berjamaah dan melakukan khutbah di banyak masjid.

Imam al-Syatibi berhasil memecahkan kebuntuan dan pembekuan ilmu-ilmu syari’ah dengan konsep maqāşid al-sharīah.

Sebenarnya konsep ini telah berhasil diImplementasikan dalam kehidupan Era Kekinian, melalui tafsir maqāşid al-sharīah sebagai metode pengembangan hukum Islam dan maqāşid al-sharīah dalam mengembangkan ekonomi syariah. Melalui pendekatan holistik- humanistik dalam memandang fiqh dan syari’ah, sebagai grand design metode pengembangan ilmu syari’ah, maqāşid al-syarah

27Asad Zaman, ―Towards Foundation for an Islamic Theory of Consumer Behaviour‖ in F.R. Faridi (ed.),‖ dalam Essays in Islamic Economic Analysis (New Delhi: Genuine Publication & Media Pvt Ltd., 2002), 40–42.

(20)

139 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

mampu merespon perkembangan zaman. Pembaharuan maqāşid al- sharīah sebagai metode istinbath dalam ilmu-ilmu keislaman merupakan terobosan dan metode baru yang saat ini sangat penting, dan digunakan secara luas oleh para ulama ushul di era Era Kekinian sekarang ini.

(21)

140 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

Daftar Pustaka

Muhammad al-Tahir Ibn Asyur, Maqāşid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, vol.

II (Kairo: Dar al- Nafais, 2001).

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998).

W. Lawrence Neuman, Social Methods, Qualitative and Quantitative Approachs (Buston: Ally and Bacon, 1997).

Abdurrahman Kasdi, ―Maqashid Syari‘ah Perspektif Pemikiran Imam Syatibi dalam Kitab al-Muwafaqat,‖ Yudisia vol. V, no. I (2014): 48–49

Andriyaldi Andriyaldi, Teori Maqashid Syari‟ah dalam Perspektif Imam Muhammad Thahir Ibnu

„Asyur (Bukittinggi: P3M STAIN Bukittinggi, 2013).

Al-Ubaydi, Asy-Syātibiy wa Maqāşid asy-Syarī‟ah.

Hamka Haq, Al-Syatibi, Aspek Teologis dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 18.

Ibid 18-19

uhammad al-Tahir Ibn Asyur, A‟lām al-Fikr al-Islamī (Tunisia:

Maktabah al-Najah, n.d).

Muhammad Makhluf, Syajarah an-Nūr az-Zakiyyah (Beirut: Dar al- Kutub al-Araby, 1349).

Abdul Basith Junaidi, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

Ibnu Mandzur, Lisān Al-„Arab (Kairo: Darul Ma‘arif, 1999).

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, vol. 14 (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997).

Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islām Aqīdatan wa Syarī‟atan, vol. 18 (Cairo: Dar asy-Syuruq, 2001), 13–16.

Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwāfaqāt fi Uşūl al-Syarī‟ah, vol. 1 (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah, 2003).

Ali ibn Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkām fi Uşūl al-Ahkām, vol. 3 (Kairo: Dar al-Sami‘i, n.d).

Yusuf Al-Qardawi, Dirāsah fi Fiqh Maqāşid al-Syari‟ah; baina al- Maqāşid al-Kulliyah wa al- Nuşūs al-Juziyyah (Kairo: Dar al- Syuruq, 2006).

Mahmud Bilal Mahran, Mausū‟āt al-Tasyri‟ al-Islāmī (Kairo: Majlis al-A‘la, 2009).

(22)

141 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume IV Nomor 2 September 2021

e-ISSN 2620-5122

A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 175–199.

Asmuni et.al, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia

(Yogyakarta: PPS FAI UII, 2012), 10.

Budiarti Budiarti, ―Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama dengan Pendekatan Maqashid al-Syari‘ah dalam Konteks Negara Hukum Pancasila,‖ Justicia Islamica vol. 5, no. 1 (2018): 36–39.

Maulidi Maulidi, ―Maqasid Syariah Sebagai Filsafat Hukum Islam: Sebuah Pendekatan Sistem Menurut Jasser Auda,‖ Al- Mazāhib vol. 3, no. 1 (2015): 8.

Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, xxii.

Muhammad Khalid Mas‘ud, Islamic Legal Philosophy (Islamabad:

Islamic Research Institute, 1977), 223–224.

Yusuf Al-Qardawi, As-Siyāsah asy-Syar‟iyyah fi Dhau‟i Nuşūh asy- Syari‟ah wa Maqāşidihā

(Kairo: Maktabah Wahbah, 1998)

Asad Zaman, ―Towards Foundation for an Islamic Theory of Consumer Behaviour‖ in F.R. Faridi (ed.),‖ dalam Essays in Islamic Economic Analysis (New Delhi: Genuine Publication &

Media Pvt Ltd., 2002), 40–42.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT serta atas segala rahmat dan karunia-Nya pada penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tesis

Pertama, bahwa madrasah bagi masyarakat di pesisiran Jawa (madrasah pesisiran) merupakan lembaga pendidikan yang terintegrasi dan tak terpisahkan dari kehidupan

Hasil penelitian ini menunjukkan : (1) Besarnya biaya produksi rata-rata yang dikeluarkan oleh perajin gula aren yang berada di Desa Sidamulih sebesar Rp 156.396 (2)

Hasil penelitian Nurmayanti & Harmanto (2017) mengemukakan bahwa strategi ecological citizenship salah satunya melalui yayasan mangrove center melalui program

Paradigma Biosentrisme berpendapat bahwa tidak benar apabila hanya manusia yang mempunyai nilai, akan tetapi alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri

di dunia seperti Konstitusi Ekuador 2008 dan Konstitusi Perancis 2005, selaras dengan UUD NRI Tahun 1945 pasca amandemen yang memuat konsep Green Constitution sebagaimana

Penerapan pendekatan saintifik pada siswa yang memiliki sikap demokrasi tinggi memberikan peluang kepada siswa untuk bisa mengeksplorasikan kemampuannya sehingga pada

Pada siklus II ini, guru merubah proses pembelajaran yaitu dengan kegiatan kelompok atau diskusi yang dilanjutkan dengan proses pembuatan Mind Mapping, guru juga