5 A. Definisi dan Pengertian
Down Syndrome adalah kelainan kromosom pada seseorang yang menyebabkan gangguan mental yang disertai dengan penyimpangan fisik serta kesulitan bicara.
Definisi dari Down Syndrome adalah sindrom keterbelakangan mental, mulai dari ringan hingga berat, terkait dengan berbagai kelainan yang disebabkan oleh representasi kromosom 21 di beberapa atau semua sel (Nicolosi et. al., 2004).
Sedangkan menurut Selikowtz (2008) Down Syndrome merupakan penyakit genetik karena kelainannya terdapat pada materi genetik tetapi bukan kelainan yang di turunkan. Penyebab dari terjadinya Down Syndromeadalah karena adanya penyimpangan jumlah kromosom yang membentuk sel-sel janin. Pada umumnya penyandang Down syndrome mempunyai jumlah kromosom 47, karena adanya penambahan kromosom pada pasangan kromosom ke 21 sehingga kromosom tersebut berjumlah 3.
Down Syndrome merupakan inidvidu yang mempunyai kelainan pada trisonomi 21 yang mempunyai 3 tipe yaitu tipe nondisjunction (kegagalan pemisahan pada saat bermeiosis), tipe translokasi(sebagian atau seluruh kromosom ekstra 21 bergabung dengan kromosom 14 atau 15 atau 21 atau 22) dan tipe mosaik (campuran antara diploid normal dan sel yang mengalami trisnomi 21.
(Soetjiningsih, 2014).
Down syndrome adalah salah satu penyebab paling utama dari disabilitas intelektual. Fungsi intelektual umum anak Down Syndrome berada dibawah rata-rata anak normal dan diikuti dengan ketidakmampuan perilaku aditif yang terjadi selama periode perkembangannya. Kondisi di bawah rata-rata juga di tandai dengan tingkat IQ yang berada di bawah standar rata-rata(Asim et al, 2015).
Hardcasttle et al (2008) juga menyatakan bahwa anak-anak dengan Down Syndrome menampilkan kekurangan pada bahasa Reseptif dan Ekspresif yang belum sepenuhnya disesuaikan dengan keterlambatan kognitifnya. Kemampuan bahasa ekspresif menghadirkan tantangan khusus dan umumnya lebih terganggu
daripada keterampilan reseptif pada individu muda dengan Down Syndrome (Caselli et al., 1998; Chapman, Hesketh, & Kistler, 2002; Laws & Bishop, 2003).
Dalam bidang terapi wicara gangguan ini disebut dengan gangguan bahasa.
Diperkuat oleh pendapat dari ASHA (2013) gangguan bahasa adalah gangguan pemahaman atau penggunaan sistem symbol lisan, tertulis dan lainnya, gangguan ini dapat melibatkan (1) bentuk bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis), (2) isi bahasa (semantik), dan (3) fungsi bahasa dalam komunikasi (pragmatik) dalam berbagai kombinasi. Anak Down Syndrome mengalami gangguan bahasa reseptif karena pemahaman bahasa lebih jelek dari pada bahasa ekspresif. Kemampuan reseptif dan ekspresif sangat rendah sering diikuti dengan gangguan non verbal dan mengalami keterbelakangan mental (Njiokikjen C. et al., 2005).
B. Etiologi
Menurut Soetjiningsih (2014), kelainan Down Syndrome oleh Trisomi 21.
Trisomi ini memiliki 3 tipe. Pertama adalah tipe nondisjunction atau kegagalan pemisahan pada saat oosit bermeiosis, tipe ini merupakan kelainan terbanyak (94%) pada Down Syndrome. Kedua, adalah tipe translokasi, yakni sebagian atau seluruh kromosom ekstra 21 bergabung dengan kromosom lainnya (kromosom 14, atau 15, atau 21, atau 22), tipe ini mencakup 3,5% kasus. Ketiga, adalah tipe mosaik, yaitu campuran antara diploid normal dan sel yang mengalami trisomi 21, pada tipe ini terjadi nondisjunction selama mitosis pada awal embriogenesis, tipe ini meliputi 2,5% kasus. Selama satu abad sebelumnya banyak hipotesis penyebab Down Syndrome, tetapi sejak di temukan pada 1959, perhatian lebih di pusatkan pada kelainan kromosom. Kelainan kromosom tersebut kemungkinan di sebabkan oleh : 1. Genetik.
Pada translokasi, 25% bersifat familial. Bukti yang mendukung teori ini didasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan bahwa ada peningkatan risiko berulang apabila dalam keluarga terdapat anak dengan Down Syndrome. Bila terdapat translokasi pada kedua orang tua, maka seharusnya dilakukan studi familial tembahan dan konseling untuk menentukan adanya karier atau tidak. Pendeteksian resiko Down Syndrome dilakukan kepada
anggota keluarga lainnya jika orangtuanya karier. Tipe nondisjunction juga diperkirakan berhubungan dengan genetik. (Soetjiningsih, 2014)
2. Usia Ibu.
Pengaruh usia ibu terhadap kejadian Down Syndrome menunjukan kejadian nondisjunction meningkat seiring meningkatnya usia ibu. Usia ibu belum diketahui secara pasti berpengaruh terhadap kejadian Down Syndrome, namun nondisjunction yang terjadi pada oosit ibu yang tua banyak beresiko.
Statistik menunjukan bahwa wanita berusia 20 tahun hanya 1 dari 2.300 kelahiran yang menderita Down Syndrome. Pada wanita usia 30 hingga 34 tahun kejadian Down Syndrome 1 dari 750 kelahiran. Sedangkan pada 39 tahun, kejadian semakin beresiko tinggi sampai 1 dari 280 kelahiran. Pada wanita 40 sampai 44 tahun, kejadian 1 dari 13 kelahiran. Pada usia lebih dari 45 tahun, kejadian terjadinya kelahiran Down Syndrome 1 dari 65 kelahiran (Coad &
Melvyn, 2007 dalam Charina, 2011). Jadi dapat disimpulkan semaknin tua usia ibu semakin beresiko terjadinya kelahiran dengan kondisi Down Syndrome.
3. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab terjadinya “non-disjunctional”
pada Down Syndrome. Uchide (1981) yang dikutip dalam Soetjiningsih (1995) menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Sedangkan peneliti yang lain tidak mendapatkan adanya hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.
4. Infeksi
Seorang ibu hamil didiagnosa tertular virus sitomegalo, janin dalam kandungan bisa diperiksa dengan melakukan pemeriksaan amniosintesa. Cara pemeriksaan ini hampir 80% dapat mendeteksi bayi apakah terinfeksi virus atau tidak. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) pada janin dalam kandungan, bisa mengetahui kelainan otak dan organ lain. Telah diperkirakan bahwa sitomegalovirus kongenital mungkin terjadi pada kasus Down Syndrome sebagai diketahui 2 penyebab keterbelakangan mental pada anak. Pemeriksaan serum darah tertentu (Alfa Feto Protein) dan hormon (HCG dan UE3) untuk mendeteksi adanya virus atau tidak. Virus di duga menjadi salah satu penyebab
terjadinya Down Syndrome, tetapi sampai saat ini belum dapat dibuktikan bagaimana virus dapat menyebabkan terjadinya nondisjunction pada kromosom 21. (Soetjiningsih, 2014).
5. Umur ayah
Penelitian sitogenik pada orangtua anak dengan Down Syndrome mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra-kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak setinggi dengan ibu. (Soetjiningsih, 2014) 6. Translokasi
Translokasi merupakan perpindahan kromosom yang terjadi pada badan sel. Sebanyak 5% kasus Down Syndrome dihasilkan oleh translokasi seimbang dari salah satu orang tua, pada umumnya translokasi antara kromosom 14 dan 21, dapat pula translokasi antara kromosom 14 dan 22 meskipun jarang. Bayi dengan Down Syndrome tipe translokasi akan mempunyai 46 kromosom, salah satunya mempunyai badan genetik dari kromosom 14 dan 21. Down Syndrome tipe translokasi banyak terjadi pada usia ibu-ibu muda, dan akan meningkat risikonya pada orang tua yang merupakan pembawa sifat (familial Down Syndrome) (Soediono, 2009).
C. Prevalensi
Menurut WHO pada tahun 2012 diperkirakan 0,1% dari jumlah penduduk di dunia mengalami Down Syndrome. Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) 2013 pravelensi kecacatan pada anak usia 24-59 bulan diperkirakan sebesar minimal satu jenis cacat 0,53%, tuna netra 0,17%, tuna wicara 0,14%, down syndrome 0,13%, tuna daksa 0,08%, bibir sumbing 0,08% dan tuna rungu 0,07%. Jumlah pravelensi kasus Down Syndrome di RSJD Dr. RM Soedjarwadi Prov. Jawa Tengah diperkirakan 18,07% atau sekitar 60 pasien di tahun 2018 dan 15 pasien dengan Down Syndrome di setiap bulannya.
D. Karakteristik
1. Karakteristik fisik Down Syndrome
Kondisi fisik anak Down syndrom menurut Wong (2009) sebagai berikut:
a. Kepala memiliki sutura sagitalis terpisah, tulang tengkorak membulat dan kecil, bagian belakang kepala datar, fontanela anterior membesar, rambut kepala tipis dan berbentuk brakisefali.
b. Wajah memiliki afek datar.
c. Mata memiliki bentuk fisura palpebra oblik (miring ke atas dan ke luar), bulu mata tipis dan jarang , lipatan epikantus bagian dalam, dan memiliki bintik pada iris mata (brushfield spots), serta mengalami blefaritis (inflamasi kelopak mata).
d. Hidung berukuran kecil dan jembatan hidung melesak (hidung seperti pelana).
e. Telinga berbentuk kecil dengan daun telinga pendek, telinga luar bagian atas tumpang tindih dan memiliki saluran telinga sempit.
f. Mulut memiliki palatum tinggi, melengkung, dan sempit, lidah menonjol keluar, dan mungkin terpisah di bagian bibir serta memiliki alur di bagian permukaan, tulang orbital kecil, mandibula hipoplastik dan melengkung ke arah bawah terutama saat menangis, serta kondisi mulut terus terbuka.
g. Gigi terlambat tumbuh, kesejajaran tidak normal, terjadi mikrodontia, dan penyakit periodontal.
h. Dada memiliki tulang iga pendek, iga kedua belas anomali dan pectus excavatum atau carinatum.
i. Leher memiliki kulit berlipat, kendur, serta bentuk leher besar dan pendek.
j. Abdomen membuncit, otot abdomen kendur dan lunak, bisa terjadi rektus diastasis atau hernia umbilikalis.
k. Genital anak laki – laki memiliki penis kecil dan anak perempuan bentuk vulva bulat.
l. Tangan berukuran besar dan pendek, jari – jari tangan pendek dan gemuk, jari kelingking melengkung (klinodaktil), lipatan telapak tangan melintang, pola punggung kulit yang khas, axial triradius berlokasi ke arah distal, lengkung ulnaris pada jari.
m. Kaki jarak yang lebar antara ibu jari dan telunjuk, lipatan telapak kaki antara ibu jari kaki dan telunjuk jari kaki besar, gemuk dan pendek.
n. Muskuloskeletal mengalami hiperfleksibilitas dan kelemahan otot (hipotonia dan ketidakstabilan atlantoaksial).
o. Kulit dalam kondisi kering dan pecah – pecah, terdapat Cutis marmorata.
2. Karakteristik Bahasa dan Bicara Down Syndrome a. Kemampuan Bahasa
1) Bahasa Ekspresif dan Reseptif
a) Permasalahan pada kemampuan pemahaman bahasa.
b) Permasalahan pada aspek kognitif, motorik, dan aspek-aspek lainnya.
c) Mengalami kesulitan dalam menyusun kata untuk mengekspresikan sebuah ide atau untuk bertanya saat tidak mengerti perkataan yang diucapkan orang lain.
d) Membutuhkan isyarat, bantuan, atau waktu yang lebih untuk mengorganisasikan respon yang ingin diucapkan anak.
e) MLU (Mean of length of utterance)anak yang lebih pendek dari anak lain seusianya.
2). Sintaksis dan Semantik
Dua aspek dari permasalahan yang relative dialami oleh anak dengan down syndrome adalah:
a) Sintaksis – struktur atau tata bahasa yang dibutuhkan pada aspek bicara pada tingkat kalimat dan fungsi kalimat tersebut.
b) Semantik – Makna kata termasuk penggunaan dan kosakata pemahaman.
3). Pragmatik
a) Anak down syndrome mampu menunggu gilir bicara dengan baik, dan mereka akan mempelajari cara menstimulasi pesan-pesan yang tepat untuk diucapkan pada lawan bicara.
b) Memiliki kemampuan yang bagus dalam aspek nonverbal pragmatic (membuat gesture dan ekspresi wajah).
c) Mengalami kesulitan untuk membuat pertanyaan, menjelaskan pertanyaan, dan bertahan pada satu topik bahasan.
b. Bicara
Produksi bicara anak dengan Down Syndrome berhubungan dengan perbedaan dalam struktur dan fungsi oral (Martin dkk, 2009). Perbedaan struktural termasuk rongga mulut kecil dengan lidah yang relatif besar dan sempit, langit-langit melengkung tinggi.
Menurut Kumin (1994) megatakan bahwa Anak Down Syndrome memiliki permasalahan yaitu:
1) Artikulasi
Kesulitan menggerakan dan mengontrol bibir, lidah, rahang, dan palatal untuk menghasilkan bunyi yang benar dan jelas.
2) Kelancaran
Kesulitan untuk berbicara dengan lancar dan berirama.
3) Pengurutan
Kesulitan untuk mengucapkan suara dalam urutan yang tepat dalam kata- kata.
4) Resonansi
Nada dan kualitas suara yang dihasilkan (misalnya, apakah suara yang dihasilkan bunyi nasal atau sengau atau tidak cukup nasal.
c. Suara
1) Tangisan bayi Down Syndrome memiliki melodi yang datar.
2) Nada suara lebih rendah dibandingkan dengan suara normal,tegang, keras, dan kualitas parau.
3) Ketegangan terjadi karena adanya hiperadduksi vetrikel pada pita suara selama melakukan fonasi.