• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA UMK DALAM MENYERTAKAN LABEL HALAL PADA PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN (STUDI DI KOTA MATARAM) JURNAL ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA UMK DALAM MENYERTAKAN LABEL HALAL PADA PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN (STUDI DI KOTA MATARAM) JURNAL ILMIAH"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL ILMIAH

Oleh :

SOPYE ARIANI D1A017300

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

TAHUN 2021

(2)

JURNAL ILMIAH

Oleh :

SOPYE ARIANI D1A1017300

Menyetujui,

Pembimbing Pertama

Dr. Eduardus Bayo Sili, SH., M.Hum.

NIP.19690210 199903 1 002

(3)

D1A017300

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah utuk mengetahui dan mengkaji bagaimana tanggung jawab pelaku usaha UMK dalam menyertakan label halal pada produk makanan dan minuman, dan bagaimana peran dan tanggung jawab Pemerintah Kota mataram dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha UMK atas penyertaan label halal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum Normatif Empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-udangan, pendekatan konseptual dan pendekatan sosiologis.

Pencantuman label halal merupakan suatu kewajiban bagi pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Berdasarkan hasil penelitian bahwa di Kota Mataram jumlah pelaku usaha UMK yang baru memiliki label halal pada produk makanan dan minuman yaitu sekitar 4%. Sehingga diperlukan peran dari Pemerintah Kota Mataram dalam hal ini melalui Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM Kota Mataram agar lebih berperan aktif dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Kata Kunci : Tanggung Jawab, Pelaku Usaha, Label Halal

RESPONSIBILITY OF MSME ACTIVITIES IN INCLUDING HALAL LABELS ON FOOD AND BEVERAGE PRODUCTS

(STUDY IN MATARAM CITY) ABSTRACT

The purpose of this research is to find out and examine how the responsibilities of MSME actors including halal labels on food and beverage products, and how the roles and responsibilities of the Mataram City Government in supervising and fostering MSME actors for the inclusion of halal labels. The research method used is an empirical normative legal research method using statutory approach, conceptual approach and sociological approach. The inclusion of a halal label is an obligation for business actors based on Law Number 33 of 2014 Concerning Guaranteed Halal Products (UUJPH). Based on the results of the study that in the Mataram City, the number of new MSME actors who have a halal label on food and beverage products is around 4%. This happens because there is still a lack of socialization and training carried out regarding the process in applying for halal certification. Therefore, that the role of the Mataram City Government is needed in this case through the Mataram City Department of Industry, Cooperatives and MSMEs to play a more active role in supervising and fostering MSMEs.

Keywords: Responsibility, Business Actor, Halal Label

(4)

I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk muslim pada tahun 2020 mencapai 229 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk 273,5 juta jiwa (data World Population Review)1 dan dengan sendirinya pasar Indonesia merupakan pasar konsumen muslim yang demikian dominan, maka perlu adanya perhatian terhadap produk makanan dan minuman yang beredar bebas, yaitu bukan hanya memperhatikan dari sisi komposisi yang menyehatkan secara medis saja, namun juga perlu diperhatikan bahwa makanan yang dikonsumsi tersebut sehat dan halal.

Salah satu sektor yang berhubungan dengan produksi makanan dan minuman ialah sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Perkembangan globalisasi yang begitu cepat, banyak membuat para pengelola UMKM berfikir bagaimana caranya untuk memberikan pelayanan yang baik untuk meningkatkan pelanggannya masing-masing. Dalam peningkatan pelanggan selain memberikan pelayanan yang baik juga harus melihat pangsa pasar masyarakat. Dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim, sehingga label halal sangat penting bagi keputusan masyarakat untuk memilih apa yang mereka konsumsi.

Label merupakan alat penyampai informasi tentang produk yang tercantum pada kemasan. Menurut Undang-Undang 33 Tahun 2014 tentang

1 https://powercommerce.asia/umat-muslim-di-indonesia-halal-economy/ (diakses pada tanggal 10 April 2021)

(5)

Jaminan Produk Halal yang dimaksud dengan label halal adalah tanda kehalalan suatu produk. Label halal pada produk makanan menjadi indikator yang penting dalam menentukan kehalalan.

Oleh karenanya penting bagi para pelaku usaha makanan ataupun minuman memberikan kejelasan status halal atau tidaknya sebuah produk yang dijualnya. Dalam menjamin dan memberikan kepastian terhadap kehalalan suatu produk tersebut diperlukan suatu proses pemeriksaan komprehensif yang dilakukan oleh lembaga terpercaya yang dikenal dengan istilah Sertifikasi Halal.2

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Dalam penerbitan sertifikat halal setiap pelaku usaha harus melewati proses produk halal (PPH).

Menurut Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Output dari terbitnya sertifikat halal adalah dicantumkan label halal pada produk yang di produksi dalam bentuk kemasan.

Pencantuman label halal sebagai konsekuensi sebuah produk yang memiliki sertifikat halal, yang akan mengembalikan hak-hak konsumen untuk menyeleksi dan mengonsumsi jenis makanan yang mereka hendak konsumsi.

2 Akim Monita Hizma Adilla, Neneng Konety, Chandra Purnama, Pemahaman Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Jatinangor Terhadap Kewajiban Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 1, No.1 April 2018, hlm.33

(6)

Namun fakta di lapangan bahwa pelaku UMK produk makanan dan minuman di Kota Mataram masih banyak yang belum mencantumkan keterangan pada label, apakah produk yang dijual tersebut merupakan produk halal atau tidak.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik dengan permasalahan tersebut. Maka perlu dilakukan tinjauan secara normatif dan empiris dengan rumusan masalah yaitu bagaimana tanggung jawab pelaku usaha UMK dalam menyertakan label halal pada produk makanan dan minuman dan bagaimana Peran dan tanggung jawab Pemerintah Kota Mataram dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha UMK atas penyertaan label halal.

Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana tanggung jawab pelaku usaha UMK dalam menyertakan label halal pada produk makanan dan minuman serta peran dan tanggung jawab dari Pemerintah Kota Mataram dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha UMK atas penyertaan label halal. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu manfaat akademik dan teoritis praktik. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif empiris dengan metode pendeketan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan sosiologis. Jenis data dan bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan studi dokumen atau bahan pustaka dan daftar pertanyaan (questionnaire). Serta teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis statistik.

(7)

II. PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Pelaku Usaha UMK Dalam Menyertakan Label Halal Pada Produk Makanan dan Minuman

1. Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Dalam Perlindungan Konsumen

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip- prinsip tanggung jawab dalam hukum yaitu prinsip tanggung jawab kesalahan (liability based on fault), praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability), praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability), tanggung jawab mutlak (strict liability) dan pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). 3

Mengenai tanggung jawab produk, dapat ditemukan dalam Pasal 19 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Selanjutnya pada Pasal 19 ayat (5) menyebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Dalam pasal ini terdapat unsur kesalahan dari pelaku usaha yang apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen, maka pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk

3 Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.92

(8)

memberikan ganti kerugian. Dalam pasal 19 ayat (5) UUPK tersebut terlihat bahwa pasal tersebut menggunakan prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault).

Terkait dengan pencantuman label halal pada suatu produk, maka apabila label halal ini tidak dicantumkan oleh pelaku usaha pangan yang menyebabkan konsumen merasa dirugikan, maka pelaku usaha pangan tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban bahkan dikenakan sanksi yaitu memberikan ganti kerugian kepada konsumen.

2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha UMK Dalam Pencantuman Label Halal

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah unit usaha produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha disemua sektor ekonomi. Secara umum terkait dengan UMKM telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal bahwa Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Dengan adanya Pasal ini maka seluruh produk yang beredar di Indonesia harus memiliki sertifikat halal, tanpa terkecuali produk UMKM.

Menurut Pasal 2 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan bahwa produk

(9)

yang berasal dari Bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal dan wajib diberikan keterangan tidak halal.

Produk yang wajib bersertifikat halal adalah produk yang berasal dari bahan halal dan memenuhi PPH (Proses Produk Halal).

Sebagaimana diatur oleh Pasal 3 PP No.31 Tahun 2019 bahwa sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diberikan terhadap produk yang berasal dari bahan halal dan memenuhi PPH. Sesuai aturan dalam Pasal 68 PP No. 31 Tahun 2019, produk yang wajib mempunyai sertifikat halal pada dasarnya terdiri atas dua jenis utama, yakni barang dan jasa.

Dengan disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pemerintah telah memberikan kemudahan kepada UMK dalam melakukan sertifikasi halal. Pasal 44 ayat (2) Undang- Undang Cipta Kerja menyebutkan bahwa dalam hal permohonan Sertifikasi Halal oleh Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya.

Urgensi pencantuman label halal ini tidak hanya untuk konsumen, tapi juga untuk para produsen. Bagi konsumen, label halal gunanya dapat memberikan rasa aman bagi para konsumen khususnya konsumen muslim. Juga, sebagai jaminan untuk mereka kalau produk yang mereka konsumsi tersebut aman dari unsur yang tidak halal dan diproduksi dengan cara halal. Bagi produsen, label halal ini berfungsi

(10)

dalam membangun kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap produk mereka.

Undang-Undang JPH telah menjelaskan mengenai tata cara memperoleh sertifikat halal. Namun setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja mengenai tata cara tersebut mengalami perubahan. Berikut adalah tata cara memperoleh sertifikat halal berdasarkan Undang- Undang Cipta Kerja:

1. Pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikasi halal ke BPJPH.

2. Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja

3. BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk berdasarkan permohonan Pelaku Usaha, dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan.

4. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan dilakukan oleh Auditor Halal paling lama 15 (lima belas) hari kerja.

5. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal dan memutuskan kehalalan Produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH

6. Sertifikat Halal diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan Produk.

(11)

Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang tentang Pangan No.18 tahun 2012 mengatur tentang ketentuan tentang dimuatnya “Keterangan tentang Halal” dalam label setiap produk yang dijual di wilayah Indonesia. Ini menunjukkan bahwa keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama islam.

Kemudian, setelah memperoleh sertifikat halal, berdasarkan Pasal 25 huruf a UU JPH pelaku usaha diwajibkan untuk mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka sesuai Pasal 27 ayat 1 UU JPH, pelaku usaha dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administrative bahkan pencabutan sertifikat halal.

B. Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Kota Mataram Dalam Melakukan Pengawasan dan Pembinaan Terhadap Pelaku Usaha UMK Atas Penyertaan Label Halal.

Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH) secara aman, nyaman dan melindungi konsumen dalam mengonsumsi dan menggunakan produk. Untuk melaksanakan penyelenggaraan jaminanan produk halal, dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH.

(12)

Kota Mataram memiliki satuan perangkat daerah yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap UMK yaitu Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM Kota Mataram. Pada Bidang Pembinaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang mempunyai tugas pokok memimpin, merencanakan, mengatur, mengawasi dan mengkoordinasikan kegiatan bawahan dalam melaksanakan penyusunan kebijakan, pelaksanaan dan pembinaan teknis di bidang pembinaan UMKM. Termasuk juga dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap produk bersertifikat halal.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM Kota Mataram bahwa jumlah UMK yang berada di kota mataram berjumlah 2.500 usaha dengan berbagai jenis usaha dan untuk jumlah pelaku UMK yang menjual produk makanan dan minuman sekitar 50% dari jumlah keseluruhan pelaku UMK. Berdasarkan data yang ditemukan bahwa hanya sebagian kecil yaitu hanya 50 dari 1.250 pelaku usaha yaitu sekitar 4% saja yang baru memiliki sertifikasi halal pada produknya.

Sebelumnya penulis telah melakukan penelitian kepada beberapa para pelaku usaha UMK yang berada di Kota Mataram. Penelitian dilakukan dengan membagikan daftar pertanyaan (questionnaire). Berikut adalah hasil dari kuesioner yang dibagikan kepada pelaku usaha UMK di Kota Mataram:

Tabel 2. Hasil kuesioner pelaku usaha UMK Kota Mataram

No Pertanyaan Jawaban

1. Apakah makanan dan minuman halal itu penting? 80% menjawab sangat penting

(13)

2. Apakah semua produk makanan dan minuman harus berlabel halal bagi konsumen muslim?

100% menjawab penting

3. Apakah pelaku UMK telah mengetahui adanya aturan bahwa wajib mencantumkan label halal pada produk makanan dan minuman?

90% menjawab Ya

4. Apakah ada kendala dalam mengurus label halal? 100% menjawab Ya

Alasan memilih Ya*

- Kendala biaya 20%

- Kendala syarat yang rumit 60%

- Kendala waktu yang tidak jelas 0%

- Kendala informasi yang tidak jelas 20%

5. Apakah Pemerintah telah melakukan sosialisasi terkait pencantuman label halal pada produk makanan dan minuman?

50% menjawab jarang

6. Apakah anda telah melakukan pencantuman label halal pada produk makanan dan minuman yang dijual?

80% menjawab tidak

7. Apakah Pemerintah telah memberikan kemudahan kepada pelaku usaha UMK dalam pencantuman label halal?

50% menjawab tidak tahu 8. Apakah Pemerintah memfasilitasi pelaku usaha

UMK dalam pencantuman label halal?

60% menjawab Ya 9. Adakah pengaruh pencantuman label halal terhadap

hasil usaha?

80% menjawab pengaruh besar

Analisis terhadap hasil jawaban kuesioner responden (10 orang pelaku usaha UMK Kota Mataram), di mana berdasarkan survey data yang penulis peroleh 100% menunjukkan bahwa semua produk makanan dan minuman harus berlabel halal bagi konsumen khususnya bagi konsumen muslim karena hal itu dianggap sangat penting. Pada saat ini pemahaman masyarakat tentang urgensi pangan halal dengan sertifikasi halal dan mencantuman label halal masih sangat dini. Hal ini terjadi karena masih kurangnya sosialisasi mengenai sertifikasi produk halal sebagaimana terlihat dari data yang penulis peroleh di mana 50% menyatakan jarang adanya

(14)

kegiatan sosialisasi mengenai sertifikasi halal. Menurut Ibu Mamluatul Chair selaku Kabid UMKM Dinas Perindustrian Koperasi dan UKM Kota Mataram, dalam melakukan sosialisasi ini harus dilakukan secara bertahap, tidak dapat langsung label halal. Karena sosialisasi yang dilakukan dimulai dari sosialisasi P-IRT, BPOM dan selanjutnya label halal.

Penulis memperoleh data sekitar 90% pelaku UMK di Kota Mataram telah mengetahui adanya aturan bahwa wajib mencantumkan label halal pada produk makanan dan minuman. Namun sekitar 80% pelaku usaha UMK belum melakukan pencantuman label halal pada produk makanan dan minuman yang dijual. Untuk melakukan pencantuman label halal pada produk makanan maupun minuman itu sendiri memiliki beberapa kendala.

Sebagaian besar pelaku UMK menyatakan bahwa kendala yang utama yaitu pada syarat dalam pencantuman label halal yang rumit. Di samping itu kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha yaitu kendala dengan biaya dan informasi yang tidak jelas.

Dari syarat diatas dapat dilihat bahwa untuk mendapatkan sertifikat halal dan label halal harus memenuhi beberapa persyaratan yang rumit dan melalui proses yang panjang. Salah satunya pelaku usaha UMKM harus memiki sertifikat SPP-IRT. Ibu Mamluatul Chair sebagai informan juga memberikan keterangan bahwa di masa pandemi saat ini untuk tetap kontinu pada produknya itu hal yang cukup berat. Banyak dari pelaku usaha UMK yang awalnya berprofesi sebagai penjual kue kini beralih profesi menjadi penjual masker. Sehingga hal ini menjadi salah satu syarat yang dianggap

(15)

berat bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikat halal dan pencantuman label halal.

Berdasarkan hasil kuesioner 60% pelaku usaha menjawab ya bahwa Pemerintah telah memfasilitasi pelaku usaha UMK dalam pencantuman label halal. Kabid UMKM mengatakan telah memberikan berbagai bimbingan teknis dengan mengundang para narasumber dari berbagai dinas seperti dari MUI, Dinas Kesehatan, BPOM dll.

Selanjutnya, berdasarkan 80% data yang penulis peroleh menyatakan bahwa dengan adanya pencantuman label halal itu sendiri dapat memberi memberi pengaruh besar terhadap hasil usaha pelaku usaha. Dengan demikian pencantuman label halal ini bukan hanya memberikan keuntungan bagi konsumen saja tetapi juga dapat memberikan keuntungan yang lebih kepada pelaku usaha itu sendiri.

Berdasarkan uraian diatas bahwa dalam melakukan proses sertifikasi dan label halal pada produk makanan dan minuman para pelaku usaha UMK mengalami kendala yang utama pada syarat yang rumit. Untuk itu bagi konsumen khususnya konsumen muslim harus lebih selektif dalam menyeleksi produk yang akan mereka konsumsi. Di samping itu juga diperlukan kesadaran dari pelaku usaha. Pemerintah kota mataram selaku pihak yang memiliki peranan peting dalam hal ini juga telah melakukan berbagai upaya dalam proses pencantumanan label halal tersebut.

(16)

III. PENUTUP KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan yang peneliti kaji sebagai berikut :

1. Tanggung jawab pelaku usaha UMK dalam menyertaan label halal pada produk makanan dan minuman merupakan suatu kewajiban. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal bahwa Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Pencantuman label halal sebagai konsekuensi sebuah produk yang memiliki sertifikat halal, yang akan mengembalikan hak-hak konsumen untuk menyeleksi dan mengonsumsi suatu produk.

2. Peran dan tanggung jawab Pemerintah Kota Mataram dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha UMK atas penyertaan label halal telah dilakukan dengan berbagai cara yaitu Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM Kota Mataram telah melakukan berbagai bimbingan dalam proses pencantumanan label halal tersebut dan dalam melakukan pengawasannya pihak dari dinas juga langsung mendatangi pelaku usaha UMK untuk menanyakan berbagai kendala yang dihadapi dalam proses pencantuman label halal ini. Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM Kota Mataram juga sering melakukan kegiatan-kegiatan sosialisasi dan memberikan bantuan kepada para pelaku usaha UMK walaupun kegiatan

(17)

sosialisasi ini belum cukup dalam mendorong pelaku usaha dalam pencantuman label halal.

Saran

Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa saran yang peneliti sampaikan, yaitu:

1. Pelaku usaha dalam menjual produknya di pasaran harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan suatu barang. Salah satunya dengan memberikan informasi yang jelas pada label suatu produk. Pada label produk makanan dan minuman salah satu hal yang harus dimuat yaitu keterangan tentang halal suatu produk. Seperti yang diketahui bahwa masyarakat di Kota Mataram bermayoritas memeluk agama islam. Ini menunjukkan bahwa label halal untuk suatu produk itu sangat penting bagi konsumen. Sehingga diperlukan kesadaran para pihak sangat penting guna terjaminnya hak-hak konsumen, khususnya konsumen muslim.

2. Diharapkan kepada Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM Kota Mataram untuk melakukan pengawasan dan pembinaan lebih ekstra kepada pelaku usaha UMK produk makanan dan minuman dalam pencantuman label halal pada produknya. Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM Kota Mataram harus lebih sering lagi untuk melakukan sosialisasi maupun pelatihan mengenai mekanisme permohonan sertifikasi halal baik yang dilakukan secara langsung maupun dilakukan secara online dikarenakan keadaan pandemi seperti saat ini. Serta segera adanya pemberian sanksi kepada pelaku usaha UMK yang belum melakukan sertifikasi halal pada produknya.

(18)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

Departemen Agama Republik Indonesia, Panduan Sertifikasi Halal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2008.

Peraturan perUndang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Jurnal:

Akim Monita Hizma Adilla, Neneng Konety, Chandra Purnama, Pemahaman Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Jatinangor Terhadap Kewajiban Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan, Vol. 1, No.1 Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, April 2018, hlm. 33, http://jurnal.unpad.ac.id/kumawula/article/view/19258, diakses pada tanggal 4 April 2021

Internet:

https://powercommerce.asia/umat-muslim-di-indonesia-halal-economy/

(diakses pada tanggal 10 April 2021)

Gambar

Tabel 2. Hasil kuesioner pelaku usaha UMK Kota Mataram

Referensi

Dokumen terkait

yang telah bersertifikasi halal maka pelaku usaha wajib mencantumkan label halal 2 pada kemasan produk, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 menyebutkan bahwa: “Pelaku

Dari hasil analisis teknik pemesanan material (lotting) pekerjaan beton menunjukkan bahwa kuantitas pemesanan yang optimal dengan total biaya persediaan minimum pada

: Produktivitas Sekolah (Ditinjau dari Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah dan Motivasi Kerja di MTs Negeri Kabupaten Pati) Dengan ini kami menilai tesis tersebut

Dalam penelitian ini akan membahas dua hal yaitu pertama bagaimana tanggung jawab pelaku usaha akibat pemasaran produk makanan kadaluwarsa di Kota Denpasar dan yang kedua

Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Giddens tentang strukturas. Tema sentral yang Giddens yang pertama, yaitu hubungan antara struktur dan pelaku berupa

Soedarsono (1992), menyatakan pendapat yang diterima petani dari hasil produksi adalah total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi,

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sudah terbentuk bulan Oktober 2017 namun belum bisa bekerja terkendala sarana, prasarana dan SDM yang belum

Pengaturan hukum tentang peredaran kosmetik yang tidak mencantumkan label bahasa Indonesia pada produk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan