• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi bagaimanapun jenis dan bentuknya merupakan suatu bentuk perampasan terhadap kesejahteraan suatu negara dan sudah sepatutnya menjadi musuh bersama umat manusia. Dalam perkembangannya, tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik dari jumlah kasus yang terjadi, jumlah kerugian keuangan negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Begitupun dalam pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut melalui cara-cara yang luar biasa, hal ini sebagaimana dijelaskan pada penjelasan umum alenia 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam sebuah makalah yang berjudul Tinjauan Yuridis pemberantasan korupsi, Professor Muladi mengatakan, tindak pidana korupsi tidak boleh dilihat secara konservatif yaitu sebagai perbuatan seseorang atau korporasi, baik “by nee”

maupun “by greed” untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan merugikan keuangan negara. Akan tetapi tindak pidana korupsi harus dilihat sebagai tindakan yang luar biasa (extraordinary) dan tidak bertanggung jawab yang bersifat sistemik, endemik, dan “flagrant” karena cenderung berdampak sangat luas, yaitu merendahkan martabat bangsa di forum internasional, menurunkan kepercayaan investor dan foreign direct investment, merugikan negara dalam jumlah signifikan, merusak moral bangsa, mengkhianati agenda reformasi (proses demokratisasi), mengganggu stabilitas dan keamanan negara, mencederai keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan, menodai supremasi hukum, melanggar HAM karena terjadi di sektor-sektor pembangunan commit to user

(2)

strategis yang mencederai kesejahteraan rakyat kecil dan dilakukan dalam segala cuaca, termasuk saat Negara dalam keadaan krisis dan bencana alam.

Korupsi dewasa ini dipandang bukan hanya sebagai permasalahan bagi suatu negara tertentu, tetapi telah meluas dan menyita perhatian dunia internasional sebagai suatu kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam alenia keempat mukadimah Konvensi PBB mengenai Anti Korupsi (UNCAC) Tahun 2003 bahwa “Convinced that corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential”. Selain itu, dalam kongres PBB Ke-16 tahun 1980 di Caracas Venezuela, telah mengkategorikan korupsi sebagai kejahatan yang sulit dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of the law) (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984: 133). Aparat penegak hukum relatif tidak berdaya untuk menghadapi tindak pidana ini. Hal ini disebabkan, pertama : kedudukan ekonomi dan politik yang kuat dari pelaku (the hight economic or political status of their perpetrator), kedua : keadaan-keadaan di sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa, sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan atau dituntut (the circumtances under which they had been commited were such as to decrease the likehood of their being reported and prosecuted) (H. Elwi Danil, 2011: 61).

Keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan nasional suatu negara, mendorong diupayakannya kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan aset hasil korupsi yang didukung oleh teknologi dan informasi modern telah diakui sangat menyulitkan pemberantasan korupsi hampir di semua negara terutama dalam proses pembuktiannya. Sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika melihat dari sistem hukum commit to user

(3)

pemberantasan korupsi di Indonesia pada saat ini, menunjukkan masih lemahnya hukum yang ada dan belum mampu secara optimal untuk menjadi sarana pengembalian kerugian keuangan negara.

Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020 berada di skor 37 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan. Perolehan poin Indonesia ini turun sebanyak tiga poin dari tahun sebelumnya yaitu di skor 40 dan berada di peringkat 85. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainya, IPK Indonesia masih berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51) dan Timor Leste (40). Selain itu, berdasarkan pemantauan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kurun waktu Januari 2020 hingga Desember 2020, total kerugian negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi mencapai Rp 56,7 triliun. Jumlah ini naik empat kali lipat dibandingkan tahun 2019, yang berjumlah sekitar Rp 12 Triliun (Kompas.com, 2021).

Berdasarkan pengalaman Indonesia dan negara-negara lain, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak cukup jika hanya terfokus pada upaya penangkapan pelaku dan memproses perkara (follow the suspect), tetapi juga harus dilakukan upaya penyitaan dan perampasan instrumen dan hasil tindak pidana (follow the money). Hal ini dikarenakan esensi dari pemberantasan tindak pidana koruspi haruslah difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu pencegahan (preventive), pemberantasan (repressive) dan pengembalian aset kosupsi (asset recovery).

Isu upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah menjadi salah satu permasalahan fundamental dewasa ini dan sudah seharusnya menjadi fokus utama dalam memberantas tindak pidana korupsi. Ketidakpuasan masyarakat internasional akibat tindak pidana korupsi tanpa diikuti dengan upaya penyelamatan keuangan negara mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memasukan mekanisme perampasan aset tindak pidana sebagai salah satu norma di dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Di dalam konvensi tersebut diatur salah satu terobosan besar mengenai commit to user

(4)

pengembalian kekayaan negara (asset recovery) yaitu melalui konsep Non- Conviction Based Asset Forfeiture atau konsep “pengembalian aset tanpa pemidanaan” yang lingkupnya tidak hanya nasional, tetapi juga mencakup multinasional dengan kerjasama bilateral maupun multilateral. Secara sederhana konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture atau perampasan aset in rem adalah perampasan aset tindak pidana tanpa dilakukan tuntutan pidana berdasarkan putusan pengadilan yang bukan melalui peradilan pidana maupun peradilan perdata (Refki Saputra, 2017: 118). Dengan keberadaan norma tersebut, negara-negara pihak diharuskan untuk memaksimalkan dan mempertimbangkan mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil tindak pidana dimungkinkan tanpa proses pidana.

Sebagai bentuk peran aktif dan komitmen Indonesia dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka pada tahun 2006, Pemerintah Indonesia meratifiksi konvensi tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC 2003. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi konvensi UNCAC 2003, maka pemerintah Indonesia sudah sepatutnya menyesuaikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang ada dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut. Karena substansi dari peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya terkait tindak pidana korupsi belum memberikan hasil yang maksimal dan belum sepenuhnya mengadopsi ketentuan internasional sebagaimana yang terdapat dalam UNCAC, maka diperlukan suatu terobosan yang lebih efektif yang dapat menambah amunisi sebagai upaya optimalisasi terhadap pengembalian kerugian keuangan negara dengan menerapkan konsep Non Conviction Based Asset Forfeiture di Indonesia.

Berdasarkan permasalahan yang telah penulis paparkan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum terkait dengan upaya perampasan dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan dalam UNCAC 2003 yaitu melalui konsep Non Conviction Based-Asset Forfeiture untuk kemudian dapat diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Maka penulis menyusun penelitian ini dengan judul “Prospek Pengaturan Penerapan Konsep commit to user

(5)

Non-Conviction Based Asset Forfeiture Dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis menyusun sebuah rumusan masalah untuk dapat dikaji lebih jelas, rinci, dan terarah dalam pembahasannya. Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture berdasarkan ketentuan dalam United Nations Convention Against Corruption tahun 2003, sebagai upaya perampasan dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana peluang dan tantangan penerapan konsep Conviction Based- Asset Forfeiture sebagai upaya pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, penulis mengharapkan dapatnya tercapai tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan hukum ini, yakni tujuan objektif dan tujuan subjektif. Tujuan obyektif berasal dari tujuan penelitian itu sendiri sedangkan tujuan subjektif merupakan tujuan yang berasal dari penulis.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian hukum ini, antara lain:

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui dan mengkaji penerapan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture berdasarkan ketentuan dalam United Nations Convention Against Corruption tahun 2003, sebagai upaya perampasan dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia; dan

commit to user

(6)

b. Untuk mengetahui dan mengkaji peluang dan tantangan penerapan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture sebagai upaya pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia

2. Tujuan Subjektif

a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; dan

b. Untuk menambah ilmu, wawasan, dan memperluas serta mengembangkan pengetahuan dalam aspek hukum didalam teori dan praktek, khususnya hukum pidana;

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan mampu memberikan manfaat baik manfaat teorits maupun manfaat praktis

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam perkembangan ilmu hukum pidana terkait penerapan konsep Non- Conviction Based Asset Forfeiture.

b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman dan menambah referensi pengetahuan kepada masyarakat luas, khususnya mahasiswa dan juga dapat menjadi bahan masukan dan acuan bagi penelitian-penelitian sejenis dikemudian hari.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para praktisi, khususnya praktisi hukum pidana dalam hal dapat memberikan masukan untuk memecahkan masalah dan menyelesaikan kasus- kasus terkait di masa yang akan datang.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau acuan dalam membentuk dan memperbaharui regulasi mengenai pemberantasan commit to user

(7)

tindak pidana korupsi dan dalam upaya perampasan dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian. Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan Penelitian hukum sebagai suatu proses untuk menemukan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi, dengan hasil yang hendak dicapai adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 35). Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode. Secara harfiah mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu (Johny Ibrahim, 2006: 26).

Untuk memperoleh hasil penelitian secara maksimum, terarah, terstruktur sebagai karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, maka penulis menetapkan suatu metode penelitian untuk memperoleh data-data yang relevan dengan permasalah yang dikaji. Langkah-langkah yang ditempuh penulis dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif atau doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa penelitan hukum doktrinal adalah sebagai berikut (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 32) :

“doctrinal research: research wich provides a systematic exposition of the rules giverning a particular legal kategory, analyses the relatinonship between rules, explain areas of difficulty and, perhaps predicts future development.” (penelitian doktrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, commit to user

(8)

menganalisis hubungan antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan).

Penelitian hukum dengan pendekatan doktrinal yang bersifat normatif, atau penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian hukum normatif pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang akan mengkaji aspek-aspek (untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dalam) internal hukum positif.

Metode penelitian hukum normatif diartikan sebagai sebuah metode penelitian atas aturan-aturan perundangan baik ditinjau dari sudut hirarki peraturan perundang-undangan (vertikal), maupun hubungan harmoni perundang-undangan (horizontal) (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 23).

2. Sifat Penelitian

Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif bersifat presktiptif dimana objek ilmu hukum merupakan koherensi antara normal hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta tingkah laku individu dengan norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 133).

Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 22).

3. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi terkait permasalahan yang akan diteliti. Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum menurut Peter Mahmud Marzuki dibagi menjadi beberapa pendekatan, diantaranya sebagai berikut:

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) 2. Pendekatan kasus (case approach) commit to user

(9)

3. Pendekatan historis (historical approach)

4. Pendekatan perbandingan (comperative approach) 5. Pendekatan konseptual (conseptual approach)

Adapaun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan di atas adalah pendekatan konseptual (conseptual approach).

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin- doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer dan bahan hukun sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama, sebagai bahan hukum yang bersifat autoritatif, berupa peraturna perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2016 : 141). Sedangkan bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi

Dari sudut pandang jenis-jenis data yang dipergunakan di dalam penelitian hukum, peneltian hukum normatif sering disinonimkan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan cenderung dalam penelitiannya menggunakan dokumen-dokumen sebagai bahan penelitiannya. Sumber hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritas. Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undnagan dan putusan hakim. (Peter Mahmud

commit to user

(10)

Marzuki, 2016 : 22). Berikut bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini :

1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi pada tanggal 18 April 2006

7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dan Ditambah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019

9. United Nation Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003) Atau Konvensi PBB Anti Korupsi 2003

10. United Nations Convention Agains Transnational Organized Crime (UNTOC) Atau Konvesi Kejahatan Transnsional Terorganisasi Pada Tahun 2003

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai peraturan perundang-undangan pada bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian, buku-buku, literatur-literatur, dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian yang akan ditulis.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum commit to user

(11)

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys teknik ini berguna untuk mendpatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya baik cetak maupun elektronik.

Data-data yang merupakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier diperoleh dengan cara mencari dan menghimpun bahan hukum, mengklasifikasikan bahan hukum yang relevan dengan upaya perampasan dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan menerpakan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture.

6. Teknik Analisa Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan metode analisis dengan deduksi silogisme, dari pengajuan premis mayor dan premis minor saling dihubungkan kemudian ditarik konklusi.

Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon memaparkan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles. Penggunakaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis minor (pernyataan yang bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua peremis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Lebih lanjut dijelaskna oleh Philipus M. Hadjon, bahwa dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan premis minornya adalah fakta hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 89- 90).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum/skripsi merupakan rencan isi penulisan hukum/skrispi: commit to user

(12)

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat pendahuluan yang antara lain terdiri dari latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.

Kemudian dalam bab ini juga dibahas mengenai metode penelitian yang berisikan tentang jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber bahan hukum penelitian, teknik pengumpulan bahan hukum dan teknik analisa bahan hukum. Terakhir dijelaskan juga mengenai sistematika penulisan hukum yang merupakan rencana isi penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini berisikan tinjauan pustaka yang meliputi teori-teori atau konsep-konsep yang bersumber dari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Bab ini terdiri atas dua sub bab, yaitu :

a. Kerangka Teori

1) Tinjauan tentang Tindak Pidana

2) Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi 3) Tinjauan tentang Pengembalian Aset 4) Tinjauan tentang Konsep Non-

Conviction Based Asset Forfeiture b. Keangka Pemikiran

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulisa membahas mengenai inti dari penelitian yang dilakukan. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pembahasan dari rumusan masalah yang ada dengan menggunakan commit to user

(13)

sumber-sumber dan data yang penulis dapatkan selama penelitian. Penulis akan memaparkan

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban dari rumusan masalah.

Penulis juga memberikan saran yang nantinya dapat digunakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

penyusun  meningkatkan  kualitas  ruang  wilayah  merupakan  tujuan  utama  perencanaan 

Pada hasil pemurnian eugenol maka didapatkan bahwa perlakuan B1K3 yaitu pada basa kuat KOH dengan konsentrasi 1,25 N merupakan reaktan yang terbaik, hal ini

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul “ Pegaruh Kemudahan, Manfaat, dan

،ثحبلا ةلكشم ىلع درللو ت لا دير ةبتاك :ناونعب ثوحبلا ءارجإ تاطاشن ذيملاتلا في ةغللا ةسرامم ةغللا سرد في ذيملاتلا زانجإباهتقلاعو ةيبرعلا ةيبرعلا ةطسوتلما

1 M.. Hal ini me nunjukkan adanya peningkatan keaktifan belajar siswa yang signifikan dibandingkan dengan siklus I. Pertukaran keanggotaan kelompok belajar

Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash , hal ini dikarenakan ternak tidak

20 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing yakni dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan

Masih adanya masyarakat yang kurang berpartisipasi dalam pembangunan mem- buktikan bahwa perlunya pembinaan kepada seluruh masyarakat untuk memberi kesada- ran bahwa