JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 92 PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU DAN BUDAYA KERJA(Penunjang Kunci Sukses dalam Bekerja di Era Revolusi Industri 4.0)
Oleh
Kadek Bayu Indrayasa STAHN Mpu Kuturan Singaraja Email: [email protected]
ABSTRACT
Work culture as a pattern or model must be able to regulate itself and even its groups, especially in terms of establishing relationships in terms of interacting with humans individually or in groups. All human works, inventions and initiatives obtained in carrying out performance must be based on norms and uphold social values that must be harmonized with the human spirit in various abilities, cognitive and mental in carrying out the tasks carried out. Thus in the work culture required thinking patterns, behaviors or positive attitudes, especially towards the performance environment in which someone performs their duties. Quality and good work culture and always expected by everyone in an organization is the type or how a leader as a top leader in leading an organization. It is assumed that if a leader is able to lead his subordinates with a conscience, automatically the quality and work culture of employees in an organization will be better. Therefore, the leader as a control in an organization must be able to become a role model and role model in an effort to create a good climate, quality and work culture. A good leader is a leader who understands, understands and cares about the circumstances of his subordinates.
Keywords: Quality and Work Culture
I. PENDAHULUAN
Budaya kerja sebagai sebuah pola atau model di dalam kehidupan berorganisasi, selalu mengalami perubahan terhadap individu atau sekelompok orang supaya manusia dapat mengatur dirinya dan bahkan kelompoknya di dalam suatu organisasi terutama dalam hal menjalin hubungan dalam hal berinteraksi dengan manusia secara individu maupun secara kelompok. Budaya dimaksud adalah dalam semua sistem ide, gagasan, rasa, tindakan serta kinerja yang dihasilkan untu menunjang proses kerja yang dialksanakan dalam tugas-tugas yang diberikan (Ardiyasa, 2020)
Semua hasil karya, cipta dan karsa manusia yang diperoleh di dalam melaksanakan kinerja tentu harus didasari oleh norma-norma dan menjunjung tinggi nilai-nilai social yang harus diselaraskan dengan jiwa manusia dalam berbagai kemampuan, kognitif dan mental dalam melaksanakan tugas-tugas yang dilaksanakan. Dengan demikian dalam budaya kerja diperlukan pola piker, perilaku ataupun sikap positif, terutama terhadap lingkungan kinerja di mana seseorang melaksanakan tugasnya (Ardiyasa, 2020)
Untuk menunjang keberhasilan sebuah kinerja di dalam suatu organisasi, maka sangat dibutuhkan budaya organisasi (Darmawan I. P., 2020). Budaya organisasi sebagai
PINTU:Pusat Penjaminan Mutu
P ISSN 2746-7074 Volume 1 No 1, April 2020
JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 93 karakteristik dalam sebuah organisasi perlu disepakati dan dijadikan pedoman oleh semua komponen yang ada di dalam sebuah organisasi, sebagai landasan norma perilaku dan nilai- nilai yang dapat dimengerti dan dipahami serta diterima oleh semua anggota organisasi, dan yang paling penting adalah dapat digunakan sebagai dasar aturan perilaku dalam sebuah organisasi (Somawati, et al., 2020)Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat Jufrizen, (2017). menegaskan bahwa budaya dalam sebuah organisasi melibatkan sekumpulan pengalaman, filosofi, pengalaman, ekspektasi dan juga nilai yang terkandung di dalamnya yang nanti akan tercermin dalam perilaku anggota, mulai dari inner working,interaksi dengan lingkungan di luar organisasi, sampai ekpsktasi di masa depan. Ghoniyah, & Masurip. (2011 budaya organisasi berarti melibatkan peraturan tertulis dan tak tertulis, asumsi, kebiasaan, bahasa, simbol, norma, visi, sistem, kepercayaan dan nilai di sisi lain, beberapa pengertian budaya organisasi justru menekankan dan membentuk tingkah laku karyawan dalam sebuah organisasi.
Bedasarkan fenomena yang dipaparkan di atas, maka budaya organisasi perlu diciptakan dengan tujuan agar semua komponen yang ada di dalam sebuah organisasi dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan nyaman dan tanpa tekanan, untuk menciptakan budaya kerja yang harmonis dan seimbang (Gunawijaya, 2018). Seringkali terjadi ketimpangan dan ketidak serasian komponen-kpmponen kerja di dalam sebuah organisasi, lebih disebabkan karena pemimpin dari organisasi tidak memiliki tipe kemimpinan yang jelas, terlalu banyak intervensi, melakukan tindakan sewenang-wewnang terhadap bawahan atau sikap lainnya yang merugikan orang lain (Untara & Somawati, 2020)
Berkaitan dengan masalah budaya, maka dapat dikatakan bahwa budaya adalah sesuatu yang dianggap paling berharga dalam kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman.
Oleh sebab itu, maka seringkali budaya diyakini sebagai representasi komitmen nilai moral bagi orang-orang yang berada di dalam suatu wadah organisasi, yang dapat digunakan sebagai sumber apresiasi dalam berkreativitas, dan mengungkapkan perasaan hati.
Budaya sebagai komitmen moral diharapkan dapat dijadikan ajang memelihara, melestarikan, dan memaknainya sebuah sistem organisasi dengan cara-cara yang rasional dan paling baik menurut ukuran mereka. Banyaknya cara yang tersedia untuk memaknai nilai itu, telah membuka peluang adanya polarisasi makna, sehingga terbuka kemungkinan terjadinya bias dan perbedaan penafsiran terhadap suatu nilai. Lebih-lebih jika faktor eksternal telah ikut memberi sinergi terhadap polarisasi cara menafsirkan sebuah nilai.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyadari dan memahami bahwa budaya dapat digunakan sebagai sebuah ideologi, sumber semangat, dan nilai yang mengarahkan terbentuknya tindakan-tindakan yang positif, sehingga dapat dijadikan sumber inspirasi terbentuknya persepsi, sikap kerja, dan pada akhirnya perilaku berkarya.
II METODE
Dalam penulisan artikel ini digunkan metode Deskriptif Kualitatif, karena di dalam penulisan penulis mendeskrepsikan ide-ide ke dalam bentuk tulisan untuk memaparkan data yang dijadikan vahan tulisan, dengan pengumpulan data melalui obeservasi (mengamati gejala yang tampak) dan teknik pencatatan dokumen dengan menggunakan buku-buku sumber sebagai acuan, serta teknik análisis deskriptip dengan tri angulasi data.
JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 94 III PEMBAHASAN3.1 Budaya Kerja Sebagai Jalan Dharma
Di dalam naskah buku berulang kali disebutkan bahwa Departeman Agama telah sepakat meletakkan ‘iklas beramal sebagai nilai dalam rangka menjalankan tiga hal penting, yaitu melayani, membina (pemberdayaan), dan membimbing (meneladani). Motto Ikhlas beramal Kementerian Agama harus dijadikan pedoman, walaupun dalam pelaksanaannya kadangkala kurang dipenuhi secara material. Dalam ajaran Hindu ikhlas beramal didasari pikiran iklas (lascarya) hendaknya dimaknai sebagai tindakan kerja tanpa pamrih-tanpa motiviasi berlebihan terhadap hasil kerja yang telah dilakukan dalam artian hasil tidak semata-mata merupakan tujuan pokok, walaupun pada dasarnya semua orang bekerja selalu mengharapkan hasil.
Budaya kerja yang harus dikembangkan di dalam sebuah instansi apalagi instansi yang bernaung di bawah Kementerian Agama mestinya yang dilakukan adalah budaya kerja sebagai untuk mencapai kemuliaan hidup, berlandaskan ajaran tri kaya parisudha (pikiran, perkataan dan perilaku) yang tidak menyebabkan orang lain tersinggung, sakit hati, merasa dirugikan bahkan akibatnya merasa dendam karena penyimpangan perilaku dari konsep ajaran tri kaya parisudha. Budaya kerja yang dikembangkan diharapkan tercapai kedamaian, kekeluargaan, kasih sayang, kebersamaan untuk mencapai tujuan akhir umat Hindu yaitu mencapai kelepasan atau penyatuan dengan Tuhan (mokshartam jagaditta). Jika seorang pemimpin mampu mengarahkan orang-orang di dalam sistem kerjanya dengan nilai dasar di atas, semua orang akan mampu melakukan pelayanan dengan optimal (sewaka dharma), karena sebenarnya kerja (karma) adalah yadnya. Oleh sebab itu hendaknya selalu bekerja dengan didasari ajaran dharma. Kitab suci Niti Sastra menegaskan bahwa: Setiap orang bisa untuk menjadi seorang pemimpjn, akan tetapi tidak semua orang bisa memimpin dengan baik.
Dalam kitab Arthasastra dikatakan bahwa seorang raja atau pemimpin hendaknya memiliki sifat uthana (giat) dan jangan memiliki sifat pramada (lengah). Dalam sastra Hindu dikatakan seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Catur Pariksa (Catur Upaya Naya Sandhi). Bagi seorang pemimpin harus memiliki empat sikap tersebut untuk menjadi pemimpin yang disegani oleh rakyat maupun musuhnya. Keempat sikap tersebut adalah:
1. Dhana berati uang dapat pula diartikan pemberian, dan bermurah hati.
2. Sama adalah seorang pemimpin harus berbuat adil, berbuat dan memandang sama kepada seluruh anggota / bawahannya.
3. Bheda adalah seseorang pemimpin harus dapat mengatur dan memelihara disiplin kerja dan tata tertib yang berlaku bagi bawahannya.
4. Dandha adalah seorang pemimpin harus tegas dalam menghukum bawahannya, siapapun yang bersalah hendaknya dihukum secara adil tergantung dari tingkat kesalahannya.
Dengan memperhatikan bait sloka di atas, maka dapat dikatakan bahwa kerja (karma) berupa pelayanan yang yang didasari oleh rasionalitas, maka akan memunculkan motivasi pamrih dan selalu berharap dengan hasil kerja yang dilakukan (Darmawan I. p., 2020). Jika hal ini terus ditanamkan, maka di dalam sebuah organisasi tidak akan pernah muncul kedamaian (rasa saling asah, saling asih, saling asuh , sagalak, sagilik salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya) , karena di dalam proses bekerja selalu didasari prinsip dasar hasil bukan keikhlasan. Dalam sebuah kepemimpinan mestinya diterapkan motto salam,
JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 95 senyum dan sapa yang dijadikan landasan, selain pengembangan dalam konteks pelayanan yang maksimal seperti cepat, cekatan, dan selesai.Selain hal di atas, maka yang sangat penting ditanamkan di dalam budaya kerja adalah upaya memberdayakan (abhisamdhaka) dalam artian memberdayakan orang-orang yang berpotensi, memberikan penghargaan, memberikan motivasi, memberikan pengakuan atas kinerja yang dihasilkan, memotivasi semua orang untuk selalu berkompetisi di dalam meniti karire dan tidak justru menjegal atau menghambat karier seseorang karena kepentingan pribadi. Semua orang yng hidup di dunia ini pasti mengharapkan enghargaan dan pengakuan sesuai dengan prestasi kerja yang diperolehnya (Gunawijaya, 2020). Di samping hal tersbut di atas, memberdayakan juga dapat diartikan tidak menyakiti pihak lain (ahimsa), dan Jika perlu semua orang harus memegang prinsip tat twam asi. Oleh sebab itu peliharalah selalu sikap hormat, bersahaja, jujur, beretika, memiliki integritas terhadap pekerjaan, dan disiplin.
Dengan menojolkan sikap kerja seperti di atas, maka di dalam sebuah organisasi akan selalu muncul motivasi untuk maju dan berkembang dalam artian seorang pemimpin di dalam suatu organisasi harus mampu memberdayakan orang-orang yang ada disekitarnya (sarva- abhisamdhaka).
Keteladanan dalam hal berpikir, berkomunikasi dan berperilaku (tri kaya parisudha) seorang pemimpin dalam Hindu menjadi sangat penting, mengingat di dalam sebuah organisasi terdiri dari banyak orang, banyak karakter, banyak tipe. Hal ini sesuai dengan apa yang tersurat di dalam Kitab suci Nitisastra tentang etika kepemimpinan, sebagai berikut.
‘Busana orang kaya adalah ramah dan buka hati, Busana orang kuat adalah ucapan halus,
Busana pengetahuan adalah kedamaian,
Busana orang yang belajar buku-buku suci adalah rendah hati, Busana tapa, yoga, semadi adalah tidak lekas marah,
Busana orang besar adalah pemaaf,
Busana orang belajar agama tidak mencela agama orang lain
Dalam hal syarat menjadi pemimpin yang baik, dalam kitab Niti Sastra dijelaskan tentang Nawa Natya yaitu sembilan kriteria yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin di dalam memilih para pembantunya (Darmawan, 2019). Sembilan kriteria adalah Prajna nidagda: bijaksana dan teguh pendiriannya.
Wira sarwa yudha; pemberani dan pantang menyerah
Paramartha: mulia dan luhur
Dhirotsaha; tekun dan ulet dalam setiap pekerjaan
Wragi wakya: pandai berbicara atau berdiplomasi
Samaupaya: selalu setia pada janji
Lagawangartha: tidak pamrih pada harta benda
Wruh ring sarwa bastra: bisa mengatasi segala kerusuhan
Wiweka: dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Memperhtikan bunyi sloka di atas, maka dapat dikatakan bahwa jika seorang pemimpin tidak dapat ditauladani seperti melanggar ajaran etika dalam Hindu (ajaran tri kaya
JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 96 parisudha, panca yama dan nyama brata, dasa nyama brata, sad ripu, sapta timira dan ajaran etika lainnya, maka hal itu akan selalu kegelisahan, tafsir negative (negative thinking) bahkan rasa saling curiga di lingkungan kerjanya (Suadnyana, 2020).3.2 Etos Kerja sebagai Penguatan Budaya Kerja
Di dalam bekerja umat manusia khususnya umat Hindu harus selalu berlandaskan dharma, sesuai dengan norma, aturan nilai luhur yang diyakini oleh seseorang. Jika semua orang mampu bekerja berlandaskan ajaran dharma, maka hal tersebut dapat mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas yang dilandasi ajaran tri kaya parisudha (berpikir, berkata-berperilaku) yang benar dan suci. Dalam hal ini umat Hindu harus melaksanakan profesi berdasarkan etos kerja serta di dalam bekerja selalu berlandaskan ajaran dharma, dan selalu berprinsip bahwa kerja (karma) yang dilakukan adalah sebuah yadnya. Yadnya (korban suci secara tulus ikhlas) kepada sesame manusia yang ads di komunitasnya bekerja dan yang paling penting adal;ah Yadnya kepada Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian maka terkait dengan etos kerja sebagai penguat budaya kerja, maka yang paling penting harus diciptakan di dalam sebuah organisasi adalah prinsip hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, selain prinsip hubungan harmonis dengan Ida Hyang Widhi dan lingkungan (tri hita karana). Dalam hal ini kata kunci keikhlasan menjadi sangat penting. Hal ini diasumsikan bahwa siapapun manusia di dunia dalam kerjanya selalu didasari oleh ketulus ikhlasan, maka itu merupakan yadnya utama (satwika yadnya)
Hal di atas sesuai dengan apa yang tersurat di dalam pustaka suci Veda sebagai berikut:
"Wahai manusia, kumpulkan kekayaan
dengan seratus tangan (kerja keras) dan setelah engkau memperolehnya dermakanlah itu dengan beribu tanganmu (sebanyak-banyaknya)"
(Atharvaveda : III 24.5)
Berdasarkan bunyi sloka di atas, maka apapun bentuk dari hasil kerja seseorang harus dipuniakan kepada yang membutuhkan, punia kepada Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan yang paling penting adalah punia kepada pitra (leluhur) yang sudah meninggal apalagi leluhur (orang tua) yang masih hidup.
Budaya kerja sebenarnya diturunkan dari budaya suatu organisasi, karena di dalam sebuah sudah terkonsepsi sistem nilai yang mengandung cita-cita organisasi sebagai sistem internal dan sistem eksternal sosial (Kariarta, 2020). Dalam proses kinerja suatu organisasi biasanya mengacu pada isi visi, misi, dan tujuan dari suatu organisasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam sebuah organisasi seharusnya memiliki identitas budaya kerja yang diterapkan seorang pimpinan di dalam sebuah organisasi.
Jika diperhatikan secara seksama, maka hal yang paling kuat mempengaruhi budaya kerja adalah kepercayaan dan juga sikap para pegawai yang ada disuatu organisasi. Budaya kerja kadangkala dapat bersifat positif, dan juga dapat bersifat negatif. Tentu di antara dua hal positif dan negatif sangat berpengaruh terhadap budaya kerja suatu organisasi, karena jika budaya kerja positif, maka dapat meningkatkan produktivitas kinerrja, dan sebaliknya jika iklim kerja negative, maka dapat merintangi perilaku, menghambat efektivitas perorangan kinerja, dan bahkan dapat merusak sistem maupun kelompok dalam organisasi. Oleh sebab itu
JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 97 untuk terciptanya budaya kerja produktif, maka komponen manusia yang ada di dalam sebuah organisasi harus menganut sistem nilai yaitu : (1) Pemahaman substansi dsar tentang makna bekerja, (2) Sikap terhadap pekrjaan dan lingkungan pekerjaan, (3) Perilaku ketika bekerja, (4) Etos Kerja, (5) Sikap terhadap waktu dan (6) Cara atau alat yang digunakan untuk bekerja.Semakin positif sistem nilai yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi budaya dan etos kinerjanya. Supaya budaya kerja dalam suatu organisasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, maka dibutuhkan pendekatan-pendekatan melalui tindakan manajemen puncak dan proses sosialisasi. Oleh sebab itu seorang maka seorang pemimpin sebagai manajemen puncak harus:
(1) Tindakan manajemen puncak meliputi;
(a) Apa yang dikatakan manajemen puncak akan menjadi panutan, (b) Bagaimana manajemen puncak berperilaku akan menunjukkan karyawan bersikap dalam berkomunikasi dan berprestasi untuk mencapai standar kerja perusahaan, (c) Bagaimana manajemen puncak menegakkan norma-norma kerja akan menumbuhkan integritas dan komitmen karyawan yang tinggi, (d) Imbalan dan hukuman yang diberikan manajemen puncak akan memacu karyawan untuk meningkatkan semangat dan disiplin kerja.
(2) Proses Sosialisasi
Setiap karyawan baru di dalam suatu organisasi mestinya mendapat proses sosialisasi supaya karyawan baru dapat melihat kondisi organisasi sebenarnya dan menganalisis harapan- kenyataan. Tujuan proses sosialisasi supaya para karyawan dapat memahami alur kinerja yang harus dilaksanakan dan bukan untuk kepentingan kelompok tertentu (Darmawan I. P., 2020).
Dengan demikian budaya kerja yang dibentuk dari budaya organisasi yang baik dan benar akan berdampak pada produktivitas kinerja para karyawan.
3. 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Budaya Kerja
Budaya kerja sebagai salah satu bentuk aktivitas kinerja kadangkala dapat berbentuk positif dan negative. Hal ini disebabkan selain karena faktor lingkungan kerja, pola kepemimpinan, suasana atau iklim kerja dan beberapa factor lainnya. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi budaya kerja adalah sebagai berikut :
1. Perilaku/tipe pemimpin/kepemimpinan
Di antara sekian banyak tipe kepemimpinan pasti salah satunya dianut dan diterapkan oleh seorang pemimpin. Kepemimpinan seseorang tentu sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu dan budaya kerja bawahannya. Oleh sebab itu maka tipe kepemimpinan dan indakan nyata dari seorang pemimpin sangat memungkinkan iklim dan budaya kerja akan menjadi sangat baik, dan bahkan sebaliknya menjadi sangat buruk.
2. Seleksi para pekerja
Penempatan seseorang pada bidang keakhliannya (Izasah) akan mendukung terciptanya budaya kerja yang diharapkan di dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada para pegawa.
3. Budaya Organisasi
JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 98 Membudayakan suatu organisasi untuk bekerja sesuai dengan job description serta tupoksi sangat memungkinkan tercitanya budaya kerja yang baik, apalagi budaya kerja suatu organisasi dibangun secara berkesinambungan.4. Budaya Luar
Selektif terhadap budaya luar sangat memungkin terciptanya budaya kerja yang baik di dalam suatu organisasi, karena budaya luar sesuai dengan perkembangan IPTEK pasti akan berpengaruh terhadap setiap individu di dalam suatu organisasi.
5. Menyusun misi perusahaan dengan jelas
Dengan memahami misi organisasi secara jelas maka akan diketahui secara utuh dan jelas sesuatu pekejaan yang seharusnya dilakukan oleh para pegawai.
6. Mengedepankan misi organisasi
Jika tujuan suatu organisasi sudah ditetapkan, setiap pemimpin harus dapat memastikan bahwa misi tersebut harus berjalan.
7. Keteladanan pemimpin
Pemimpin harus dapat memberi contoh budaya semangat kerja kepada para bawahannya
8. Proses pembelajaran.
Pembelajaran pegawai harus tetap berlanjut. Untuk menghasilkan budaya kerja yang sesuai, para pegawai membutuhkan pengembangan keahlian dan pengetahuan, melalui pelatihan-pelatihan, kursus-kursus atas inisiatif seorang pemimpin jika kualitas SDM di dalam suatu organisasi perlu ditingkatkan dan dimatangkan
9. Motivasi
Pekerja membutuhkan dorongan untuk turut memecahkan masalah organisasi lebih inovatif. Iklim kerja yang diciptakan oleh pimpinan dan diberlakukan dalam organisasi untuk dijadikan pedoman sikap dan perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas. Jadi dalam rangka mengaktualisasikan budaya kerja sebagai ukuran sistem nilai dalam bekerja yang pertama kali harus diupayakan adalah penanaman dalam sikap mental karyawan yang meliputi pemahaman dan pelaksanaan dalam sikap dan pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari.
Selain itu perilaku pemimpin merupakan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan budaya kerja dalam suatu organisasi. Dalam hal ini diperlukan keteladanan sikap untuk dapat dijadikan contoh dan panutan oleh semua karyawan, kebijakan dalam menentukan arah, tujuan serta visi dan misi suatu organisasi yang dapat dijadikan landasan dalam pelaksanaan budaya kerja. Jika diperlukan, maka budaya kerja dapat dijadikan suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam pikiran, sikap menjadi perilaku (tri kaya parisudha) cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja (Hartaka & Suadnyana, 2020). Dinyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.Tujuan Atau Manfaat budaya kerja adalah untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 99 3.4 Manfaat Penerapan BudayaManfaat budaya kerja yang diharapkan dalam sebuah organisasi yaitu: (1). meningkatkan jiwa gotong royong, (2) meningkatkan kebersamaan, (3) saling terbuka satu sama lain, (4) meningkatkan jiwa kekeluargaan, (5) meningkatkan rasa kekeluargaan, (6) membangun komunikasi yang lebih baik, (7) meningkatkan produktivitas kerja, (8) tanggap dengan perkembangan dunia luar dan kemajuan IPTEK.
IV. PENUTUP
Kualitas mutu dan budaya kerja yang baik dan selalu diharapkan oleh setiap orang di dalam suatu organisasi adalah tipe atau bagaimana cara seorang pemimpin sebagai top leader di dalam memimpin suatu organisasi. Hal ini diasumsikan bahwa jika seorang pemimpin mampu memimpin bawahannya dengan hati nurani, maka secara otomatis mutu dan budaya kerja karyawan di dalam suatu organisasi akan menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, maka pemimpin sebagai kendali di dalam suatu organisasi harus mampu menjadi tauladan dan panutan di dalam upaya menciptakan iklim, mutu dan budaya kerja yang baik. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengerti, memahami dan peduli terhadap keadaan bawahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, P. M. R., & Gunawijaya, I. W. T. (2020). HUKUM ADAT KEKELUARGAAN DAN KEWARISAN DI BALI. Pariksa, 2(1).
Ardiyasa, I. N. S. (2020). Mitigasi Spritual dalam Naskah Lontar Roga Sanghara Bhumi. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 10(1), 27-36.
Ardiyasa, I. N. S. (2020). Napak Tilas Dang Hyang Niratha di Pulau Bali. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 9(2), 179-188.
Bhasya Of Samayacharya, 2005, Atharvaveda, Surabaya: Paramitha
Darmawan, I. P. A. (2020). Animisme Dalam Pemujaan Barong Bulu Gagak Di Bali. Genta Hredaya, 4(1).
Darmawan, I. P. A. (2020). Estetika Panca Suaradalam Upacara Yadnya di Bali. Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 2(1), 61-70.
Darmawan, I. P. A., & Krishna, I. B. W. (2020). Konsep Ketuhanan Dalam Suara Gamelan Menurut Lontar Aji Ghurnnita. Genta Hredaya, 3(1).
Diana, I. K. D., & Darmawan, I. P. A. (2019). Ajaran Dharma Dalam Teks Yakṣa Praśna. Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).
Gunawijaya, I. W. T., & Srilaksmi, N. K. T. (2020). Hambatan Pembelajaran Agama Hindu Terhadap Siswa Tuna Netra di Panti Mahatmia. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(3), 510-520.
Jufrizen, J. (2017). Efek Moderasi Etika Kerja Pada Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Ekonomi Manajemen & Bisnis, 18, 145–158.
Ghoniyah, & Masurip. (2011). Peningkatan Kinerja Karyawan Melalui Kepemimpinan, Lingkungan Kerja dan Komitmen. Jurnal Dinamika Manajemen, 2(2), 119.
JURNAL
Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020 100 Hartaka, I. M., & Suadnyana, I. B. P. E. (2020). DHARMA AGAMA DAN DHARMANEGARA DI ERA KEKINIAN. Pariksa, 2(1).
Kariarta, I. W. (2020). Paradigma Materialisme Dialektis di Era Milenial. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 11(1), 71-81.
Muswanto, 2002, Kakawin Niti Sastra, Surabaya: Paramita
Parmajaya, I Putu Gede.2017. Taksonomi Nilai Berbasis Tri Kaya Parisudha Sebagai Alat Ukur Psikologis.Singaraja: P3M STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Suhardana, K.M.2008 Niti Sastra Ilmu Kepemimpinan atau Management Berdasarkan Agama Hindu, Surabaya: Paramita
Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Dharma Yudha Karma dalam Kitab Suci Bhagavadgita.
Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 10(2), 119-134
Somawati, A. V., Adnyana, K. S., Darmawan, I. P. A., Dewi, N. P. D. U., Untara, I. M. G. S., Suadnyana, I. B. P. E., ... & Srilaksmi, N. K. T. (2020). Bali vs COVID-19: Book Chapters. Nilacakra.
Untara, I. M. G. S., & Somawati, A. V. (2020). Internalisasi Pendidikan Karakter Pada Anak Usia Dini Dalam Keluarga Hindu Di Desa Timpag Kabupaten Tabanan. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(2), 333-358.