• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

23

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1. Geomorfologi

Geomorfologi merupakan bagian dari cabang ilmu geologi yang mempelajari bentuk rupa bumi dan proses terbentuknya permukaan bumi hingga saat ini baik secara endogen ataupun eksogen (Klasifikasi Van Zuidam, 1985). Analisis geomorfologi penelitian ini dilakukan dengan pengamatan citra satelit berupa Data Elevation Model (DEM) dan pengamatan langsung di lapangan. Aspek yang dianalisis dalam mengidentifikasi satuan geomorfologi berupa pola aliran sungai, morfometri, morfografi, pola kelurusan, dan satuan geomorfologi berdasarkan klasifikasi Van Zuidam tahun 1985.

III.1.1. Morfografi

Morfografi merupakan gambaran bentuk permukaan bumi yang memberikan informasi terkait bentang alam dari bentuk lahan perbukitan, pegunungan, lembah, ataupun dataran. Analisis morfografi yang dilakukan pada daerah penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengamati kondisi lahan secara langsung di lapangan dan selanjutnya digambarkan melalui diagram blok menggunakan data DEM. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diperoleh dua bentuk lahan pada daerah penelitian, yaitu dataran hingga dataran bergelombang seluas 83,502% dan perbukitan seluas 16,498% (Gambar III.1).

Gambar III.1. Diagram blok morfografi daerah penelitian (tanpa skala).

(2)

24 III.1.2. Morfometri

Morfometri merupakan penilaian secara kuantitatif dari suatu bentuk lahan yang meliputi aspek kemiringan lereng, titik ketinggian, panjang lereng dan relief.

Penilaian kuantitatif dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat erosi, kestabilan lereng dan menentukan nilai dari kemiringan lereng. Analisis morfometri yang dilakukan pada daerah penelitian dikhususkan untuk menentukan kelas kemiringan lereng berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985) (Tabel III.1). Berdasarkan analisis tersebut daerah penelitian terbagi atas enam kelas. Kelas lereng pada daerah penelitian tersusun dari lereng datar hingga lereng sangat curam (Gambar III.2).

Tabel III.1. Hubungan kelas relief - kemiringan lereng dan perbedaan ketinggian (klasifikasi Van Zuidam, 1985).

Gambar III.2. Peta morfometri daerah penelitian.

(3)

25 III.1.3. Pola Aliran Sungai

Menurut Howard (1967), analisis pola aliran sungai dilakukan untuk mengidentifikasi fitur struktural tidak aktif yang tersingkap di permukaan, fitur struktural yang terkubur di bawah permukaan, dan fitur struktural yang telah berkembang berdasarkan pertimbangan kondisi litologi, bentukan lahan dan juga peranan struktur geologi. Analisis pola aliran sungai diidentifikasi berdasarkan klasifikasi Howard (1967) yang diketahui bahwa pola aliran daerah penelitian berupa pola aliran dendritik dan sub-paralel (Gambar III.3).

Pada daerah penelitian pola aliran dendritik merupakan tipe pola aliran yang mendominasi seluas 83,502%, dicirikan dengan cabang-cabang aliran sungai yang menyebar menyerupai ranting pohon dan terletak pada kelas kemiringan lereng datar hingga landai. Sedangkan, pola aliran sub-paralel terletak pada morfografi perbukitan dengan kemiringan lereng agak curam hingga sangat curam seluas 16,498%.

Gambar III.3. Peta pola aliran sungai daerah penelitian.

(4)

26 III.1.4. Tahapan Geomorfik

Tahapan geomorfik dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh tahap ubahan yang terjadi dan kondisi stadia bentang alam daerah penelitian saat ini. Proses ini dapat terbentuk oleh tenaga endogen seperti tektonisme dan vulkanisme, tenaga eksogen seperti angin, aliran air, gelombang, dan tenaga yang berasal dari luar bumi (ekstra terestrial) seperti gravitasi bulan dan jatuhan meteorit. Identifikasi tahapan geomorfik dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, analisis kualitatif dilakukan berdasarkan pengamatan di lapangan, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan analisis hipsometrik.

III.1.4.1. Analisis Hipsometrik

Analisis hipsometrik dilakukan berdasarkan daerah aliran sungai (DAS) yang terbagi menjadi lima DAS (Gambar III.4). Analisis ini menghasilkan nilai hipsometrik integral (Hsi) yang diperoleh dari mengintegralkan persamaan kurva hipsometrik pada setiap DAS (Tabel III.).

Gambar III.4. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) daerah penelitian.

(5)

27

Menurut Strahler (1952) kurva hipsometrik terbagi menjadi tiga jenis, yaitu monadnock (tua), equilibrium (dewasa), dan inequilibrium (muda) yang ketiganya dapat dijumpai pada daerah penelitian (Gambar III.5). Tahapan monadnock (tua) memiliki bentuk kurva yang melengkung ke bawah seperti cekungan dengan batas nilai Hsi < 0,3 (Strahler, 1952), tahapan ini dijumpai pada DAS 2, DAS 3, dan DAS 4. Tahapan equilibrium (dewasa) terletak diantara garis monadnock dan inequilibrium, dengan nilai batas 0,3<Hsi<0,6 (Strahler, 1952) yang dapat dijumpai pada DAS 5. Keempat DAS tersebut memiliki morfologi berupa dataran hingga dataran bergelombang dengan proses erosi yang berperan dominan baik secara vertikal maupun lateral (Davis,1899). Sedangkan, pada tahapan inequilibrium (muda) memiliki kurva berbentuk melengkung diatas batas garis equilibrium dengan nilai Hsi > 0,6 (Strahler, 1952). Tahapan ini dapat dijumpai pada DAS 1 dengan bentukan morfologi aslinya berupa perbukitan.

Gambar III.5. Kurva hipsometrik DAS daerah penelitian.

(6)

28

Tabel III.2. Nilai hipsometrik integral DAS.

III.1.4.2. Pengamatan Lapangan

Identifikasi tahapan geomorfik dapat dilakukan berdasarkan pengamatan bentukan lembah di lapangan. Tahapan geomorfik muda dominan terjadi pada bagian Selatan dan baratdaya yang dicirikan dengan belum terbentuknya dataran banjir, bentukan lahan berupa perbukitan dengan bentuk lembah V (Huggett, 2017) (Gambar III.6).

Gambar III.6. Bentuk lembah V yang mencirikan tahapan geomorfik muda.

Tahapan dewasa dominan dijumpai pada bagian utara hingga timur daerah penelitian. Menurut Huggett (2017), tahapan ini dicirikan dengan bentuk lahan berupa topografi relatif landai dengan lembah berbentuk U, dan sungai mulai berkembang (Gambar III.6).

Gambar III.7. Bentuk lembah U yang mencirikan tahapan geomorfik dewasa.

(7)

29 III.1.5. Satuan Geomorfologi

Analisis yang dilakukan terhadap penentuan satuan geomorfologi melalui aspek kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini identifikasi satuan geomorfologi dilakukan berdasarkan hasil analisis data citra satelit berupa Digital Elevation Model (DEM) dan pengamatan secara langsung di lapangan. Satuan geomorfologi daerah penelitian terbagi atas tiga satuan berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985), yaitu Satuan Perbukitan Denudasional Curam (D3), Satuan Dataran Denudasional Bergelombang (D5), dan Dataran Banjir (F).

III.1.5.1. Satuan Perbukitan Denudasional Curam

Satuan Perbukitan Denudasional Curam merupakan bentuk lahan asal denudasional yang memiliki pola aliran sungai sub-paralel, mengalir berarah sejajar dengan keterdapatan litologi relatif homogen. Satuan ini biasanya dipengaruhi oleh struktur geologi, yang dibuktikan oleh terdapatnya produk dari litologi endapan berupa batupasir dan breksi pada area perbukitan daerah penelitian. Satuan ini berada pada elevasi 150-525 mdpl dengan kemiringan lereng 21 - 65% yang terletak pada bagian baratdaya daerah penelitian dengan luas sebesar 16,498%. Secara morfologi, satuan ini memiliki bentuk lahan perbukitan dengan bentuk lembah U-V (Gambar III.8).

Adapun proses eksogen yang mempengaruhi satuan ini adalah proses erosi dan pelapukan. Sedangkan, proses endogen yang bekerja pada satuan ini adalah aktivitas tektonisme. Material penyusun dari satuan ini merupakan material endapan yang dipengaruhi oleh struktur lipatan dan terangkat membentuk perbukitan, yaitu Satuan Batupasir dan Satuan Breksi.

Gambar III.8. Satuan Perbukitan Denudasional Curam (D3).

(8)

30

III.1.5.2. Satuan Dataran Denudasional Bergelombang

Satuan Dataran Denudasional Bergelombang merupakan bentuk lahan asal denudasional yang memiliki pola punggungan tidak beraturan dengan pola aliran sungai membentuk pola dendritik, dan kerapatan pola aliran yang rapat dengan lereng yang relatif bergelombang (klasifikasi Van Zuidam, 1985). Satuan ini terletak pada bagian tengah pada daerah penelitian yang membentang dari baratlaut-tenggara seluas 71,235% dengan elevasi 100-150 mdpl dan kemiringan lereng 3-20 %.

Secara morfologi, satuan ini termasuk kedalam dataran bergelombang dengan kelas lereng sangat landai-agak curam memiliki bentuk lembah U-V (Gambar III.9).

Proses eksogen yang mempengaruhi pada satuan dataran denudasional bergelombang adalah proses erosional dan pelapukan. Satuan ini tersusun atas beberapa litologi meliputi satuan sekis, tuf, satuan granit dan granodiorit.

Gambar III.9. Satuan Dataran Denudasional Bergelombang (D5).

(9)

31 III.1.5.3. Satuan Dataran Banjir

Satuan dataran banjir merupakan bentuk lahan asal fluvial yang terdapat pada suatu area dengan aliran sungai terbentuk karena proses sedimentasi tanah yang dibawa oleh banjir (klasifikasi Van Zuidam, 1985). Pada daerah penelitian satuan ini terletak pada bagian timurlaut seluas 12,267% dengan elevasi 75-100 mdpl dan kemiringan lereng 0-2 %. Pola aliran sungai pada satuan ini memiliki banyak anak cabang sungai yang mengalir ke muara sungai.

Aliran sungai ini mengikuti kemiringan lereng yang mengalir dengan kelas lereng datar dan lembah bentuk U. Morfologi pada satuan ini merupakan dataran tempat akumulasi fragmen dan sedimen pada batuan, sehingga tersusun atas material endapan aluvium berupa kerikil, kerakal, bongkah dan fragmen batuan lainnya.

Satuan dataran banjir dapat dijumpai pada aliran sungai Way Galih dan Way Sulan yang merupakan dataran terendah di daerah penelitian (Gambar III.10).

Gambar III.10. Satuan Dataran Banjir (F).

III 2. Stratigrafi

Stratigrafi memberikan informasi mengenai sejarah geologi, komposisi dan umur relatif serta distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah bumi. Daerah Merbau Mataram tersusun atas enam satuan batuan tidak resmi dan Endapan Aluvium yang diurutkan dari tua ke muda meliputi

(10)

32

Satuan Sekis, Satuan Granit, Satuan Granodiorit, Satuan Breksi, Satuan Batupasir, Satuan Tuf dan Endapan Aluvium yang disusun dalam kolom stratigrafi.

III.2.1. Satuan Sekis

Satuan Sekis merupakan satuan tertua yang menjadi batuan alas pada daerah penelitian disetarakan dengan Formasi Sekis Way Galih (Pzgs) yang berumur Paleozoikum. Satuan ini menempati 21,42% pada daerah penelitian, terletak pada bagian tengah yang membentang dari baratlaut-tenggara yang disimbolkan dengan warna ungu (Lampiran III). Karakteristik Satuan Sekis dalam pengamatan secara megaskopis memiliki kenampakan warna abu-abu terang dalam kondisi segar, dan terdapat struktur foliasi berarah timurlaut-baratdaya dengan kedudukan N75ºE/85º yang ditemukan pada stasiun pengamatan AS-65 (Gambar III.11). Pada pengamatan mikroskopis, Satuan Sekis memiliki tekstur lepido-granuloblastik dengan struktur foliasi berupa skistose. Struktur ini memiliki perulangan dari mineral pipih dan granular dengan orientasi mineral secara menerus. Komposisi mineral penyusun ditentukan dalam jumlah persentase yang meliputi mineral Kuarsa (Qz) 48%, Biotit (Bt) 35%, Plagioklas (Plg) 17%, dan Opak (Opk) 3%.

Penamaan Satuan Sekis secara lebih rinci, ditinjau melalui jumlah persentase mineral yang dominan. Sehingga, sekis pada stasiun pengamatan AS-65 dinamakan Satuan Sekis Kuarsa Biotit (Yardley, 1989), berdasarkan karakteristik utama penamaan batuan metamorf (Gambar III.12).

Gambar III.11. Pengamatan megaskopis Satuan Sekis pada stasiun AS-65.

(11)

33

Gambar III.12. Pengamatan mikroskopis Satuan Sekis pada stasiun AS-65.

III.2.2. Satuan Granodiorit

Satuan Granodiorit merupakan satuan yang terbentuk akibat adanya pertemuan busur magmatik dan Benua Asia menyebabkan terjadinya partial melting sehingga terjadinya intrusi magma menghasilkan Satuan Granodiorit dengan komposisi intermediet. Satuan Granodiorit menempati 16,63% yang terletak di bagian tengah peta geologi daerah penelitian. Karakteristik Satuan Granodiorit dalam pengamatan secara megaskopis memiliki kenampakan warna abu-abu gelap dalam kondisi segar dengan tekstur fanerik yang ditemukan pada stasiun pengamatan AS-10 pada Gambar III.14).

Gambar III.13. Pengamatan megaskopis Satuan Granodiorit pada stasiun AS-10.

(12)

34

Pengamatan secara mikroskopis pada Satuan Granodiorit memiliki derajat kristalisasi holokristalin dengan bentuk kristal euhedral. Komposisi mineral penyusun ditentukan dalam jumlah persentase yang terdiri dari mineral Kuarsa (Qz) 39%, Biotit (Bio) 10%, Plagioklas (Plg) 46%, dan K-feldspar (Kspar) 5%.

Penamaan satuan ditinjau melalui perhitungan jumlah persentase menggunakan Klasifikasi Streckeisen (1976), sehingga dinamakan sebagai Satuan Granodiorit (Gambar III.14).

Gambar III.14. Gambar. Pengamatan mikroskopis Satuan Granodiorit pada stasiun AS-10.

III.2.3. Satuan Granit

Secara megaskopis Satuan Granit yang ditemukan pada lapangan pemetaan geologi daerah penelitian memiliki kenampakan warna abu-abu dalam kondisi segar, dengan tekstur fanerik, derajat kristalisasi holokristalin yang ditemukan pada stasiun pengamatan AS-58. Satuan Granit menempati 26,72% yang muncul pada permukaan di bagian utara dan tengah peta geologi daerah penelitian (Gambar III.15).

Pengamatan yang dilakukan secara mikroskopis pada Satuan Granit memberikan informasi berupa derajat kristalisasi yang semuanya tersusun atas mineral. Bentuk kristal yang ditinjau melalui pengamatan dua dimensi merupakan bentuk kristal subhedral-anhedral dengan hubungan antar kristal tidak seragam (Inequigranular).

Komposisi mineral penyusun berupa Kuarsa (Qz) 51%, Biotit (Bio) 12%, Plagioklas (Plg) 29%, dan Hornblenda (Hbl) 5%. Penamaan satuan ditinjau melalui

(13)

35

perhitungan jumlah persentase menggunakan klasifikasi Streckeisen (1976), sehingga dinamakan sebagai Satuan Granit (Gambar III.16).

Gambar III.15. Pengamatan megaskopis Satuan Granit pada stasiun AS-58.

Gambar III.16. Pengamatan mikroskopis Satuan Granit pada stasiun AS-58.

III.2.4. Satuan Batupasir

Pada pengamatan AS-04 ditemukannya Satuan Batupasir yang terletak pada bagian Tenggara daerah penelitian. Satuan ini menempati luas 3,81% dan terdapat struktur perlapisan dengan kedudukan N210°E/70° yang menunjukkan bukti adanya aktivitas tektonik, sehingga terangkatnya satuan ini ke atas permukaan melalui struktur perlipatan. Kondisi di lapangan, Satuan Batupasir memiliki kenampakan warna abu-abu gelap dalam kondisi segar dengan ukuran butir pasir sangat halus

(14)

36

dan kompaksi yang baik. Satuan batupasir muncul di atas permukaan pada bagian selatan peta geologi daerah penelitian (Gambar III.17).

Pengamatan yang dilakukan lebih lanjut adalah analisis sayatan tipis untuk memperoleh informasi dari satuan secara lebih detail. Satuan ini memiliki ukuran butir pasir sangat halus dengan kemas tertutup. Derajat kebundaran satuan ini termasuk ke dalam bentuk membundar tanggung-menyudut. Komposisi mineral penyusun berupa Matriks 40%, Semen 2%, Kuarsa (Qz) 28%, Plagioklas (Plg) 20%, dan Opak (Opk) 4%. Selanjutnya dari jumlah persentase komposisi yang terdapat dari pengamatan yang telah dilakukan, penamaan satuan ini dinamakan sebagai Satuan Greywacke (Pettijohn, 1975) ditunjukkan pada Gambar III.18.

Gambar III.17. Pengamatan megaskopis Satuan Batupasir pada stasiun AS-40.

(15)

37

Gambar III.18. Pengamatan mikroskopis Satuan Batupasir pada stasiun AS-40.

III.2.5. Satuan Breksi

Pengamatan yang dilakukan secara megaskopis, Satuan Breksi merupakan satuan yang tersebar di baratdaya dengan menempati luas 13,56% tersebar di daerah penelitian. Satuan ini memiliki kenampakan warna abu-abu terang dalam kondisi segar dengan ukuran butir breksi menyudut tanggung-menyudut (Gambar III.19).

Gambar III.19. Pengamatan megaskopis Satuan Breksi pada stasiun AS-83.

Pada pengamatan mikroskopis, satuan ini memiliki ukuran butir pada matriks berukuran lanau dengan kemas terbuka. Satuan ini memiliki bentuk butir yang menyudut tanggung-menyudut dan tersusun atas komposisi yang meliputi Matriks (Lanau) 45%, Semen (Lempung) 3%, Fragmen Litik Vulkanik (Lv) 35%, Kuarsa

(16)

38

(Qz) 15% dan Opak (Opk) 2%. Berdasarkan bentuk butirnya satuan ini dinamakan dengan Satuan Breksi (Gambar III.20).

Gambar III.20.Pengamatan mikroskopis Satuan Breksi pada stasiun AS-83.

III.2.6. Satuan Tuf

Secara megaskopis dari pengamatan yang dilakukan di lapangan merupakan produk dari material vulkanik berupa Satuan Tuf. Karakteristik yang ditemukan pada satuan ini memiliki kenampakan warna abu-abu terang dalam kondisi segar dengan ukuran butir debu (<2mm). Satuan ini menempati 5,19% berada pada bagian baratlaut daerah penelitian yang ditunjukkan pada (Gambar III.21).

Gambar III.21.Pengamatan megaskopis Satuan Tuf pada stasiun AS-67.

(17)

39

Analisis yang dilakukan pada pengamatan mikroskopis memberikan informasi bahwa, satuan ini memiliki fragmen litik berukuran 0,2-0,6 mm dengan kemas terbuka dengan pemilahan secara baik. Satuan ini memiliki bentuk membundar tanggung-menyudut tanggung dengan komposisi penyusun berupa Fragmen Litik (Lt) 60%, Gelas (Gls), Kuarsa (Qz) 7%, dan Biotit (Bio) 3 %. Berdasarkan penamaan batuan menurut Pettijhon (1975) dinamakan sebagai Satuan Tuf Litik (Gambar III.22).

Gambar III.22. Pengamatan mikroskopis Satuan Tuf pada stasiun AS-67.

III.2.7. Endapan Aluvium

Endapan Aluvium berada pada elevasi 75-100 mdpl yang dilihat melalui peta geomorfologi daerah penelitian. Satuan ini terletak pada bagian timurlaut seluas 12,67% dari daerah penelitian. Terbentuknya endapan ini dipengaruhi oleh proses eksogen berupa erosi dan pelapukan batuan yang mengalami transportasi sehingga terendapkan. Produk dari proses tersebut berupa material lepas yang meliputi kerakal, kerikil, bongkah, fragmen batuan beku dan material sedimen lainnya.

Satuan ini berada pada pola aliran sungai dendritik yang memiliki cabang aliran sungai cukup dominan, sungai ini termasuk pada tahapan sungai geomorfik tua yang dapat disebut juga sebagai dataran banjir (Gambar III.23).

(18)

40

Gambar III.23. Pengamatan megaskopis Endapam Aluvium pada stasiun AS-27.

III.3. Struktur Geologi

Pengamatan yang dilakukan untuk menganalisis struktur geologi daerah penelitian diawali dengan pengamatan citra satelit menggunakan data Shuttel Radar Topographic Map (SRTM) untuk mengetahui model elevasi dan bentuk topografi secara digital. Dalam hal ini, pengamatan yang dilakukan memiliki tujuan untuk mengetahui pola kelurusan dari sebuah punggungan dan lembahan. Sehingga dapat membantu dalam menganalisis pola dari struktur yang bekerja di daerah Merbau Mataram. Pembuktian yang dilakukan untuk memperoleh bukti lapangan dilakukan analisis geometri secara deskriptif berdasarkan bentuk, orientasi, dan ukuran. Data lapangan berupa struktur geologi yang ditemukan berupa kekar dan foliasi.

Selanjutnya, dilakukan analisis dinamik untuk menentukan arah tegasan dan indikasi jenis sesar apabila terjadinya pergerakan yang diklasifikasikan menurut klasifikasi Anderson (1951).

III.3.1. Pola Kelurusan

Pola kelurusan yang dilakukan analisis menggunakan data Shuttel Radar Topographic Map (SRTM) untuk mengetahui pola kelurusan punggungan dan lembahan. Berdasarkan bentuk topografi tersebut, dilakukan penarikan garis kelurusan untuk mengetahui indikasi struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian.

(19)

41

Gambar III.24. Pola kelurusan punggungan dan lembahan daerah penelitian.

Berdasarkan penarikan kelurusan yang telah dilakukan pada relief dari bentuk topografi, daerah penelitian memiliki dua arah tegasan yang berbeda. Pola kelurusan punggungan memiliki arah baratlaut-tenggara yang menandakan bahwa, kemungkinan arah tegasan strukturnya merupakan bagian dari fase kompresional awal yang menghasilkan sesar geser menganan. Sedangkan, pada pola kelurusan lembahan memiliki arah timurlaut-baratdaya yang menandakan kemungkinan arah tegas struktur merupakan bagian fase kompresional ketiga dari tatanan tektonik regional menurut Pulunggono dkk. (1992) yang menghasilkan pengangkatan dan perlipatan utama pada seluruh daerah cekungan, dan diakhiri dengan pengendapan Tersier di Cekungan Sumatera.

III.3.2. Kekar

Analisis kekar yang dilakukan pada daerah penelitian diamati melalui kekar tarik dan kekar gerus dengan karakteristik yang berbeda. Secara umum, kekar tarik memberikan informasi rekahan yang terisi memliki bukaan. Sedangkan, kekar gerus merupakan rekahan berpasangan yang tidak memiliki bukaan dan digunakan untuk analisis secara dinamik. Data kekar yang diperoleh dari hasil pengukuran dilakukan pengolahan menggunakan Software Dips 7.0 untuk menganalisis

(20)

42

stereografi. Terdapat empat stasiun pengamatan yang dilakukan pengambilan data kekar meliputi AS-22, AS-62, AS-06 dan AS-85 yang dijelaskan sebagai berikut.

III.3.2.1. Kekar Stasiun Pengamatan AS-22

Gambar III.25. Pengamatan dan analisis dinamik kekar stasiun pengamatan AS-22.

Pengambilan data kekar stasiun pengamatan AS-22 terletak di sungai Way Kilat yang diperoleh sebanyak 20 kedudukan kekar gerus pada Satuan Sekis.

Berdasarkan analisis dari kondisi lapangan, kekar ini diperkirakan terbentuk akibat hilangnya beban pada batuan yang patah akibat arus atau pengaruh erosional yang terjadi. Ditinjau melalui analisis secara dinamik apabila adanya suatu pergerakan pada kekar stasiun pengamatan AS-22, diindikasikan akan terjadi sesar mendatar menurut Klasifikasi Anderson (1951) dengan menggunakan metode principle stress. Tegasan maksimum kekar AS-22 ditunjukkan pada σ2 dengan kedudukan

garis 48°, N218°E (Gambar III.26).

III.3.2.2. Kekar Stasiun Pengamatan AS-62

Pada stasiun pengamatan AS-62 dilakukan pengambilan data kekar di Satuan Granit yang terletak pada singkapan sungai Way Sulan. Data kekar yang diperoleh sebanyak 25 kedudukan kekar gerus, kemudian dilakukan analisis secara dinamik untuk mengetahui tegasan maksimum. Diketahui orientasi tegasan vertikal yang bekerja pada σ2 memiliki kedudukan garis 69°, N69°E, σ3 21°, N245°E dan σ1 0°, N335°E. Menurut klasifikasi Anderson (1951), melalui metode principle stress

(21)

43

pada stasiun AS-62 diindikasikan bahwa jenis sesar yang berkembang adalah Sesar Mendatar (Gambar III.27).

Gambar III.26. Pengamatan dan analisis dinamik kekar stasiun pengamatan AS-62.

III.3.2.3. Kekar Stasiun Pengamatan AS-06

Stasiun pengamatan AS-06 merupakan analisis kekar gerus yang dilakukan pada Satuan Granit dan terletak pada Sungai Way Sulan. Pengambilan data kekar yang diperoleh sebanyak 25 kedudukan dengan arah tegasan maksimum berorientasi secara vertikal ditunjukkan pada σ2 dengan kedudukan garis 52°, N336°E.

Selanjutnya disusul oleh σ1 dengan kedudukan garis 34°, N183°E dan 12°, N83°E.

Sehingga, dari perolehan data kekar tersebut diklasifikasikan berdasarkan Anderson (1951) merupakan indikasi Sesar Mendatar apabila terjadinya suatu pergerakan disekitar daerah tersebut (Gambar III.28).

Gambar III.27. Pengamatan dan analisis dinamik kekar stasiun pengamatan AS-06.

(22)

44 III.3.2.4. Kekar Stasiun Pengamatan AS-85

Pada stasiun pengamatan AS-85 dilakukan pengambilan data kekar pada singkapan Satuan Breksi Sedimen yang terletak pada Sungai Way Sulan dengan perolehan kedudukan garis sebanyak 20 kekar gerus. Selanjutnya dari data kekar yang diperoleh, dilakukan analisis secara dinamik dengan orientasi tegasan vertikal yang bekerja sebesar σ2 dengan nilai 57°, N321°E. Kemudian disusul oleh σ3 dengan nilai 24°, N183°E dan σ1 sebesar 18°, N84°E.

Kesimpulan pada stasiun pengamatan AS-85 memiliki indikasi Sesar Mendatar apabila terjadi pergerakan yang memiliki kesamaan pada kekar sebelumnya yang telah diamati, yaitu AS-22, AS-62 dan AS-06. Secara tektonik regional, diperkirakan bahwa kekar yang dianalisis pada daerah penelitian memiliki keterkaitan kejadian yang terjadi pada fase kompresional awal (menurut Pulunggono dkk., 1992) dengan menghasilkan sesar geser menganan berarah baratlaut-tenggara.

Gambar III.28. Pengamatan dan analisis dinamik kekar stasiun pengamatan AS-85.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang telah dilakukan terhadap syair adat poto wua ta’a, dan untuk memperoleh pemahaman secara tuntas hasil penelitian, pembahasan berikut ini akan mengaitkan

Dari grafik 4 diatas dapat diketahui penurunan ilumiasi cahaya warna merah pada bagan tancap pada pengukuran meter ke-1 ke meter ke-2 sangat signifikan yakni sebesar

berbeda tidak nyata pada variabel tinggi bibit, jumlah daun bibit kakao, luas daun bibit kakao, berat kering bibit kakao dan rasio tajuk akar, tetapi pada variabel

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk: (1) Mengetahui tingkat task-approach skills siswa, (2) Mengetahui tingkat career decision making siswa, (3) Mengetahui dan menganalisis

Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan di atas yang bersumber pada hasil-hasil penelitian sebelumnya dan fenomena bisnis yang ada pada usaha mikro, kecil, maka rumusan

Peserta BPJS yang telah mendaftar dan membayar iuran berhak mendapatkan manfaat pelayanan jaminan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2012

– Agar pengaruh slyp hanya timbul pada block tertentu saja , dan tidak merembet ke keseluruhan data , maka pengiriman data dilakukan dengan dengan sistem paket , di mana setiap

Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri farmasi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ranah keilmuan manajemen rantai