19 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan Konsumen
Tantangan Indonesia dalam bidang pembangunan berjangka panjang yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna terciptanya masyarakat maju, adil, makmur serta mandiri. Tantangan tersebut yakni tidak lain dari konsumen, produsen, dan pemerintah, terlebih salah satu tantangan tersebut akan meningkat dari permasalahan yang ada yaitu terkait perlindungan konsumennya.1
Perlindungan konsumen perlu mendapatkan perhatian dari berbagai elemen masyarakat karena keterkaitannya di bidang ekonomi dari waktu ke waktu makin bertambahnya permasalahan baru di bidang perlindungan konsumen. Permasalahan perlindungan konsumen merupakan permasalahan bersama, karena dari mewujudkan perlindungan konsumen juga mewujudkan hubungan antar dimensi satu dengan lainnya yang berkaitan dan bergantung antara konsumen, produsen, dan pemerintah.
Secara umum, perlindungan konsumen diartikan segala jenis upaya yang menjamin adanya kepastian hukum guna memberikan perlindungan kepada konsumen. Pengertian perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya kepastian hukum yang terjamin dengan cukup luas yang terwujud dalam bentuk
1 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung. Penerbit CV. Mandar Maju. Hal. 6.
20
perkataan. Sedangkan konsumen sendiri didefinisikan yaitu setiap orang yang memakai barang dan/atau jasa yang beredar dalam masyarakat, baik untuk diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan.
Tidak untuk diperdagangkan menyatakan definisi dari konsumen ini dibuat sejalan dengan pengertian pelaku usaha yang diberikan oleh undang- undang yang mana dimaksudkan dengan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang dijalankan sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.2
Dengan demikian maka yang menghasilkan barang dan/atau jasa tidak hanya produsen pabrik melainkan rekan, agen distributor dan berbagai jaringan pendistribusian serta pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku konsumen.
Barang dan/atau jasa yang dimaksudkan dalam undang-undang terdiri dari barang dan jasa yang mana barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen, sedangkan jasa
2 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2003. Hukum tentang Perlindungan Konsumen: Cetakan Ke- 3. Jakarta. Penerbit PT. SUN. Hal. 5.
21
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Terdapat dua istilah hukum dalam halnya perlindungan konsumen yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen.3 Hukum konsumen merupakan asas-asas maupun kaidah-kaidah yang tentunya mengatur antara penyedia dan penggunanya terkait hubungan, masalah penyediaan hingga penggunaan barang dan/atau jasa, sedangkan hukum perlindungan konsumen merupakan asas-asas maupun kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen antara penyedia dan pengguna atau konsumen itu sendiri terkait hubungan, masalah penyediaan hingga penggunaan barang dan/atau jasa.4
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sejatinya adalah dua bidang hukum yang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan satu sama lain yang mana posisi konsumen harus dilindungi oleh hukum.
1. Konsumen
Kata konsumen jauh berpuluh tahun yang lalu telah diperkenalkan oleh banyak negara, bahkan negara-negara tersebut telah memiliki undang-undang tersendiri yang khusus dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen itu sendiri. Seiring berjalannya waktu negara-negara tersebut telah memperinci hak maupun kewajiban konsumen sebagai dasar yang digunakan dalam pengaturan dalam memberikan perlindungan kepada konsumen.
3 Az. Nasution. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta. Penerbit Diadit Media. Hal. 19.
4 Ibid. Hal. 37.
22
Adapun alasan dalam menerbitkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen yakni sebagai berikut:5
a. Pengaturan tersendiri bagi konsumen, karena penjual dan pembeli yakni konsumen melakukan hubungan hukum dimana konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan kembali.
b. Sarana atau cara hukum yang khusus bagi konsumen, karena dalam hal ini berupaya melindungi atau memperoleh hak yang sebagaimana diperoleh oleh konsumen.
Definisi konsumen di Indonesia termuat dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yakni konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2. Hak Konsumen
Perlindungan konsumen dan perlindungan hukum berkaitan satu sama lain. Perlindungan konsumen terdapat aspek hukumnya yang sejatinya mengandung hak-hak yang sifatnya abstrak atau perlindungan terhadap konsumen sama halnya dengan perlindungan mengenai hak-hak konsumen yang ada di dalamnya.
5 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. Op.cit. Hal. 14.
23
Secara umum terdapat 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:6 a. Hak untuk memperoleh keamanan (The right to safety)
b. Hak untuk memperoleh informasi (The right to be informed) c. Hak untuk memilih (The right to choose)
d. Hak untuk didengar (The right to be heard)
Dalam perkembangan selanjutnya banyak organisasi yang berfokus pada konsumen yang tergabung dalam The International Organization Consumers Unions (IOCU) menambahkan hak-hak lainnya, yakni hak
untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh ganti kerugian, dan hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat dan layak.
Selain itu, John F. Kennedy yang merupakan Presiden ke-35 Amerika Serikat mengemukakan 4 (empat) hak dasar konsumen:7
a. The right to safe products.
b. The right to be informed about products.
c. The right to definite choices in selecting products.
d. The right to be heard regarding consume interests.
Selanjutnya, perserikatan bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang perlindungan konsumen (guidelines for consumer protection) memasukan kepentingan-kepentingan konsumen yang harus dilindungi yakni sebagai berikut:8
a. Bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanan konsumen.
6 Celina Tri Sisi Kristiyanti. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika.
Hal. 30.
7 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Op.cit. Hal. 27.
8 Ibid. Hal. 28.
24
b. Promosi serta perlindungan terkait kepentingan sosial ekonomi konsumen.
c. Informasi yang layak bagi konsumen dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pribadi.
d. Adanya pendidikan bagi konsumen.
e. Adanya upaya ganti rugi yang efektif.
f. Kebebasan dalam membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang memberikan kesempatan bagi organiasi tersebut berpendapat atau menyuarakan haknya dalam pengambilan keputusan (voting) yang menyangkut kepentingan konsumen semata.
Upaya memahami hak-hak dasar konsumen merupakan langkah awal untuk meningkatkan kesadaran konsumen, hal ini tentunya dijadikan sebagai bagian dari landasan perjuangan guna mewujudkan hak-hak yang ada.
Sedangkan hak penumpang lainnya terhadap pengangkut yakni sebagai berikut:9
a. Hak diangkut menggunakan pesawat udara sampai ke tempat tujuan yang telah diperjanjikan sebelumnya dengan keadaan penumpang selamat dan sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan atau ditentukan.
9 Abdulkadir Muhammad. 2013. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 2.
25
b. Hak mendapatkan pembayaran ganti rugi atas kerugian karena keterlambatan atau penundaan jadwal penerbangan sesuai ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintahan yang berlaku, menyangkut mengenai isi perjanjian.
c. Hak membawa barang bawaan bagasi.
d. Hak mendapatkan tiket penumpang.
3. Kewajiban Konsumen
Di samping konsumen dengan hak-haknya, konsumen juga mempunyai kewajibannya yakni sebagai berikut:10
a. Demi keamanan dan keselamatan, konsumen diharuskan membaca serta mengikuti prosedur pemakaian dari suatu barang dan/atau jasa.
b. Konsumen harus beretika baik ketika melakukan transaksi pembelian suatu barang dan/atau jasa.
c. Konsumen harus melakukan pembayaran dengan nilai tukar yang disepakati sebelumnya.
d. Konsumen patut mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen, hal ini bertujuan memperoleh hasil yang optimum atas kepastian dan perlindungan hukum bagi konsumen.
10 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Op.cit. Hal. 30.
26
Sedangkan kewajiban-kewajiban penumpang terhadap pengangkut yakni sebagai berikut:11
a. Melakukan pembayaran tiket penumpang sesuai harga yang telah disepakati, kecuali terdapat pengecualian dengan perjanjian lain, misalnya tiket didapatkan secara gratis yang diberikan kepada relasi pihak pengangkut.
b. Mematuhi seluruh petunjuk atau aturan yang sebelumnya telah dibuat oleh pengangkut maupun pegawai-pegawai dari pihak pengangkut.
c. Penumpang diminta memperlihatkan tiket penumpang ketika tiap saat diminta memperlihatkan, dan berhak menolak setiap penumpang yang tidak dapat memperlihatkan tiketnya dan tidak mematuhi ketentuan- ketentuan yang berlaku dalam perjanjian.
d. Atas terjadinya kerugian karena terjadinya pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan, penumpang berkewajiban menentukan pembebasan tanggung jawab.
e. Atas terjadinya kerugian yang timbul selama pengangkutan udara berlangsung, penumpang membebaskan diri dari tanggung jawab baik sebagian ataupun seluruhnya, atau menetapkan ketentuan-ketentuan terkait pembatasan tanggung jawab.
11 Abdulkadir Muhammad. Op.cit. Hal. 157.
27 4. Hak Pelaku Usaha
Guna terciptanya keamanan dan kenyamanan pelaku usaha, agar terjadinya keseimbangan dari hak-hak yang diberikan konsumen kepada pelaku usaha, maka diberikan hak-hak yakni antara lain:12
a. Menerima pembayaran sesuai kesepakatan terkait kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diberikan.
b. Memperoleh perlindungan hukum atas itikad buruk konsumen.
c. Melakukan pembelaan dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Jika tidak terbukti secara hukum konsumen yang mengalami kerugian atas barang dan/jasa yang diberikan, maka pelaku usaha berhak mendapat rehabilitasi nama baiknya.
e. Hak-hak pelaku usaha diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
5. Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban yang mana merupakan bagian dari konsekuensi atas hak-hak konsumen yang sebelumnya telah terurai, yakni kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut:13
12 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Op.cit. Hal. 33.
13 Ibid. Hal. 34.
28
a. Beritikad baik dalam menjalankan segala kegiatan usaha.
b. Memberikan informasi yang jelas dan sesuai dengan kondisi maupun jaminan barang dan/atau jasa, dan memberikan pula informasi terkait penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
c. Melayani konsumen dengan benar dan jujur tanpa adanya tindakan diskriminatif.
d. Menjamin mutu suatu barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen berdasarkan ketentuan-ketentuan terkait standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberikan kesempatan kepada konsumen dalam mencoba atau menguji barang dan/atau jasa tertentu, dan memberikan jaminan barang dan/atau jasa yang diberikan.
f. Memberikan kompensasi, ganti rugi maupun penggantian atas kerugian yang dialami konsumen karena penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diberikan.
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi maupun penggantian atas ketidaksesuaian barang dan/atau jasa yang diterima dan dimanfaatkan konsumen.
Sedangkan menurut Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencermaran, atau kerugian yang disertai konsumen akibat mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
29 B. Tinjauan tentang Pengangkutan Udara
Kata “Pengangkutan” telah sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia karena termasuk dalam aspek kegiatan, sedangkan kata “Angkutan” kurang tepat karena merupakan nomina atau kata benda. Angkutan adalah hasil dari kegiatan mengangkut atau menyatakan apa yang diangkut atau dimuatnya. Jika angkutan dikaitkan dengan hukum, maka yang tepat adalah “Hukum Pengangkutan” (Transportation Law) bukan “Hukum Angkutan”.14
Pengangkutan merupakan suatu kegiatan yang bermuatan penumpang atau barang di dalam alat pengangkut, kemudian dipindahkannya penumpang dan barang tersebut dari tempat awal ke tempat tujuan menggunakan alat pengangkut, dan terjadinya penurunan penumpang atau pembongkaran barang di tempat tujuan yang telah disepakati dari alat pengangkut.15 Alat pengangkut tersebut telah disertai pembayaran yang mana sebagai imbalan atau sewa atas kegiatan pengangkutan ini disebut pengangkutan niaga. Pengangkutan niaga merupakan kegiatan pengangkutan penumpang atau barang oleh penumpang dan pengirim menggunakan alat pengangkut ke tempat tujuan dengan melakukan transaksi pembayaran biaya atau sewa menyewa yang telah disepakati. Dengan melakukan transaksi pembayaran biaya atau sewa menyewa tersebut, pihak pengangkut dengan ini dapat dikatakan menjalankan kegiatan usaha di bidang jasa pengangkutan. Kegiatan usaha jasa
14 Abdulkadir Muhammad. Op.cit. Hal. 1.
15 Ibid. Hal. 4.
30
pengangkutan yang dikenai biaya atau sewa menyewa disebut dengan pengangkutan niaga.
1. Maskapai Penerbangan di Indonesia
Penerbangan tidak hanya mengutamakan konsumen, namun ada banyak hal yang terdapat dalam penerbangan, misalnya kargo, dokumen pendukung, dan lain sebagainya. Suatu penerbangan membutuhkan alat guna melakukan perpindahan satu tempat ke tempat lainnya, baik itu tingkat nasional atau regional hingga ke tingkat internasional. Perpindahan dilakukan oleh maskapai penerbangan yang mana sebagai pihak pelaksana dari penerbangan tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi dari maskapai itu sendiri adalah perseroan dagang, perusahaan, pelayaran, dan penerbangan.16 Penerbangan itu sendiri merupakan sebuah jasa layanan transportasi udara yang termasuk di dalamnya yaitu:17
a. Pesawat terbang;
b. Rute penerbangan atau ruang lalu lintas udara;
c. Bandar udara yang terdiri dari landasan pacu, landasan hubung dan apron; dan
d. Penumpang dan kargo.
Selain itu, ada pula penyelenggara pelayanan penerbangan atau operator pelaksanaan pesawat terbang. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat 1
16 KBBI Daring, Penerbangan, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/maskapai, diakses tanggal 28 Mei 2021.
17 Sakti Adji.(et.al.). 2012. Penerbangan dan Bandar Udara. Yogyakarta. Penerbit Graha Ilmu. Hal.
5.
31
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan penerbangan adalah suatu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
Maskapai penerbangan atau Badan Usaha Angkutan Udara diatur dalam Pasal 1 Ayat 20 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.
Maskapai penerbangan sebagai penyedia jasa penerbangan bagi penumpang dan kargo dalam hal ini menyewa atau memiliki sendiri pesawat udara sebagai bentuk penyedia jasa dan dapat pula membentuk aliansi dengan penyedia jasa penerbangan lainnya guna memperoleh keuntungan bersama.18
Definisi pesawat itu sendiri merupakan alat pengangkut yang dapat terbang di atmosfer karena adanya gaya angkat dari reaksi udara. Pesawat berperan penting dalam perkembangan dunia bisnis, karena pesawat
18 D. Danny dan H. Simanjuntak. 2007. Standar Keamanan dan Keselamatan Jasa Penerbangan.
Yogyakarta. Penerbit Pustaka Yustisia. Hal. 7.
32
merupakan alat utama dalam menjalankan jasa penerbangan dari sebuah maskapai penerbangan.
Pesawat udara tertuang dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Berbeda dengan definisi pesawat udara, pesawat terbang tertuang dalam Pasal 1 Ayat 4 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.
Maskapai penerbangan merupakan bentuk koperasi atau badan hukum yang teregistrasi dalam wilayah negara yang bentuknya bisa perusahaan milik negara yang pengoperasiannya di bawah pemerintah, atau swasta sebagai perusahaan lokal yang mewakili negara tersebut.
2. Kewajiban Pengangkut
Secara umum kewajiban pengangkut yaitu menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang hingga menjaga sebaik- baiknya agar sampai ke tempat yang dituju.
Adanya kewajiban-kewajiban pokok pengangkut khususnya dalam hal ini pengangkutan udara yakni sebagai berikut:
a. Memperoleh pembayaran biaya atas mengangkut penumpang dan/atau barang serta dokumen.
33
b. Jika terjadinya pembatalan penerbangan pesawat udara niaga, pengangkut mengembalikan biaya angkutan yang sebelumnya telah dibayar oleh penumpang maupun pengirim barang.
c. Barang yang mudah busuk lebih dari 12 jam (bukan barang atas sitaan) yang tidak diambil oleh penerima barang maka pengangkut dapat menjual barang kiriman tersebut.
d. Bertanggung jawab atas terluka atau matinya penumpang dan hilang maupun rusaknya barang yang diangkut, terjadinya keterlambatan atau penundaan penerbangan penumpang dan/atau barang yang diangkut jika terbukti hal ini merupakan kesalahan dari pihak pengangkut.
Kewajiban utama dari pengangkut udara niaga adalah mengangkut penumpang dan/atau barang berdasarkan dokumen atau tiket yang telah diserahkan kepada pihak pengangkut, tiket itu baik berupa tiket penumpang dan/atau tiket bagasi yang merupakan tanda bukti telah melakukan pembayaran biaya pengangkutan udara niaga.
Keterlambatan atau penundaan penerbangan yang dikarenakan kesalahan pihak pengangkut, perusahaan wajib memberikan ganti rugi secara langsung yang dialami oleh penumpang dan/atau pemilik barang.
Ada pula memberikan pelayanan yang layak yang mana pelayanan ini diberikan kepada penumpang sesuai kemampuan pengangkut selama menunggu keberangkatan, baik itu menyediakan tempat dan konsumsi
34
atau mengalihkan pengangkutan ke perusahaan angkutan udara niaga lainnya sesuai dengan kesepakatan.
3. Tanggung Jawab Pengangkut
Tanggung jawab sendiri dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu accountability, responsibility, dan liability. Accountability berkaitan mengenai pertanggungjawaban keuangan, responsibility berkaitan mengenai menanggung segala sesuatu yang telah terjadi, dan liability berkaitan mengenai menanggung segala sesuatu kerugian yang mana dikarenakan oleh perbuatan sendiri maupun orang lain, baik untuk dan atas nama sendiri.19
Pada tanggung jawab pengangkutan Kereta Api di Indonesia mempunyai tanggung jawab terhadap penumpang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 157 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 yaitu penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggungjawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
Tanggung jawab pengangkutan jalan terhadap penumpang tercantum dalam Pasal 191 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh
19 H. K. Martono dan Ahmad Sudiro. 2011. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Jakarta. Penerbit Rajawali Pers. Hal. 213-216.
35
segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
Pada pengangkutan laut, tanggung jawab terhadap penumpang meliputi luka hingga kematian yang dialami oleh penumpang, musnah dan hilangnya barang yang diangkut, keterlambatan dan kerugian pihak ketiga sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Tanggung jawab pengangkutan udara terhadap penumpang menurut ketentuan Pasal 147 dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Demi melindungi atau meringankan beban tanggung jawab dari pengangkut maka berdasarkan Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mewajibkan kepada setiap orang ataupun badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara niaga wajib mengasuransikan:
a. Pesawat udara yang dioperasikan;
b. Personel pesawat udara yang dioperasikan;
c. Tanggung jawab kerugian pihak kedua;
d. Tanggung jawab kerugian pihak ketiga; dan
e. Kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara.
Selanjutnya pada Pasal 62 Ayat (2), menjelaskan bahwa setiap orang yang melanggar yang dimaksud pada Ayat (1) akan dikenakan sanksi administratif.
36
Dalam hukum pengangkutan terdapat 3 (tiga) prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu sebagai berikut:20
a. Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Kesalahan (Liability Based on Fault) yaitu prinsip tanggung jawab umum dalam hukum perdata
khususnya pada Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum yang harus memenuhi 4 (empat) unsur pokok, yakni adanya:
1) Perbuatan;
2) Unsur kesalahan;
3) Kerugian yang diderita; dan
4) Hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Tanggung jawab ini berlaku bagi semua perusahaan pengangkutan.
Secara konseptual, penumpang yang ingin mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya maka penumpang harus membuktikan kesalahan perusahaan pengangkut tersebut dan perusahaan pula harus membuktikan bahwa kesalahan bukan terjadi karena kelalaian atau kesalahan perusahaan.
Tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan dapat melemahkan hak-hak penumpang, karena penumpang tidak mempunyai keahlian untuk membuktikan kesalahan pihak perusahaan pengangkut. Secara konsep, tanggung jawab ini dirasa adil jika penumpang dan perusahaan pengangkut mempunyai kemapuan yang setara, dengan
20 Ibid. Hal. 219-227.
37
kemampuan yang serara ini dapat saling membuktikan kesalahan tersebut.
b. Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Praduga Bersalah (Presumption of Liability) yaitu prinsip tanggung jawab yang menganggap pengangkut selalu bertanggung jawab sampai pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, karena beban dari pembuktian terdapat pada pengangkut. Jenis tanggung jawab ini pernah diakui, karena perusahaan penerbangan dianggap bersalah, sehingga dalam hal ini atas dasar hukum perusahaan harus membayar ganti rugi atas kerugian penumpang tanpa membuktikan terlebih dahulu sampai perusahaan dapat membuktikan bahwa kesalahan tidak datang dari perusahaan.
c. Tanggung Jawab Hukum Mutlak (Strict Liability) yaitu prinsip tanggung jawab yang menetapkan adanya kesalahan dan tidaknya sebagai faktor yang menentukan. Tetapi, terdapat pengecualian yang dimungkinkan lepas dari tanggung jawab, misalnya keadaan di luar kemampuan sehingga kerugian tidak dapat dihindari (force majeur).
Tanggung jawab ini sering disamakan pula dengan Absolute liability, karena prinsip tanggung jawab ini dilihat tanpa kesalahan dan tidak adanya pengecualian. Keterkaitan keduanya ada atau tidak adanya hubungan kausalitas subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya.
38
Mengenai force majeure terbagi ke dalam dua macam yang dilihat dari jangka waktu berlakunya keadaan, yakni bersifat absolut dan bersifat relatif. Force majeure bersifat absolut yaitu apabila prestasi yang telah diperjanjikan dalam suatu perjanjian yang sampai kapan pun itu tidak mungkin dapat dilaksanakan kembali. Misalnya obyek suatu perjanjian musnah di luar kendali debitur. Sedangkan, force majeure bersifat relatif yaitu apabila dalam memenuhi suatu prestasi tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, yang mana prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali dengan debitur melakukan pengorbanan yang tergolong besar.21
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3087K/Pdt/2001, kesulitan ekonomi dapat digolongkan force majeure yang bersifat relatif. Alasan krisis moneter yang diklasifikasikan sebagai force majeure ini, yakni terhambatnya suatu prestasi yang mana tergugat berdalih dengan alasan terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia, dengan duduk persoalan salah seorang warga Jakarta Utara yang menggugat PT. Jawa Barat Indah sebagai developer jual beli rumah susun. Penggugat telah memenuhi kewajibannya, namun tergugat tidak segera menyerahkan rumah susun yang dijualnya. Alasan force majeure yang digunakan tergugat ini ditolak oleh hakim tingkat pertama dan dikuatkan sampai jatuhnya putusan tersebut. Intinya, penghentian dalam melaksanakan suatu prestasi merupakan hal yang tidak bisa dilakukan.
21 Agri Chairunisa Isradjuningtias. 2015. Force Majeure (Overmacht) dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia. Bandung. Jurnal Veritas et Justitia. Vol. 1 No. 1. Universitas Katolik Parahyangan. Hal. 150.
39
Ganti kerugian yang dikarenakan keterlambatan penerbangan diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.