• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN TARI PHO DI KABUPATEN ACEH BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERKEMBANGAN TARI PHO DI KABUPATEN ACEH BARAT"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

100

PERKEMBANGAN TARI PHO DI KABUPATEN ACEH BARAT

Nana Noviana

STKIP Bina Bangsa Meulaboh , Jl. Nasional Meulaboh-Tapaktuan Peunaga Cut Ujong Kec. Meureubo Kab. Aceh Barat 23615, E-mail: nonanaviana@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini berjudul “Perkembangan Tari Pho di Kabupaten Aceh Barat”. Untuk menumbuhkembangkan pelestarian tersebut agar dapat terealisasi dengan baik ternyata seni budaya tari khususnya Tari Pho mengalami pasang surut sehingga menjadi suatu masalah yang penting untuk diteliti.

Kurang berkembangnya Tari Pho secara penyajian yang berdasarkan makna teoritis yang terjadi saat ini selanjutnya merupakan dasar pemikiran. Tujuan penelitian ini adalah (1). Untuk mengetahui bagaimanakah perkembangan penyajian Tari Pho di Kabupaten Aceh Barat? (2). Untuk mengetahui apa sajakah hambatan dalam perkembangan Tari Pho di Kabupaten Aceh Barat? (3). Untuk mengetahui bagaimanakah fungsi Tari Pho dalam kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Aceh Barat?. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penulis menggunakan metode sejarah sebagai metode penelitian yang umum digunakan untuk hal-hal sejarah. Teknik pengumpulan data dikumpulkan dari data primer dan sekunder. Teknik analisis data adalah penyajian data dan verifikasi. Hasil dari penelitian ini adalah tarian Tari Pho asal mulanya terdapat di Kampung Padang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya (yang dulunya masih bagian dari Kabupaten Aceh Barat). Penyajian Tari Pho di daerah Kabupaten Aceh Barat berfungsi sebagai sarana hiburan yang biasa dilakukan pada penyambutan tamu, penampilan pada kegiatan-kegiatan formal ataupun informal, ditampilkan juga pada kegiatan budaya, khitanan dan mandi pucuk pengantin. Sehingga perkembagan Tari Pho yang terjadi saat ini sudah terapresiasi pelestariannya namun masih perlu adanya pemahaman bahwasanya terdapat perbedaan dalam penyajiannya berdasarkan kebutuhannya.

Kata Kunci : Perkembangan, Tari Pho.

PENDAHULUAN

Setiap wilayah di Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam sehingga melambangkan kekayaan budaya daerah setempat. Melalui budaya tersebut maka terciptalah ragam kebiasaan masyarakat, diantaranya bahasa daerah, tari, musik dan upacara adat. Semua ini adalah bagian dari budaya. Kesenian adalah salah satu unsur dari kebudayaan yang mencerminkan karakteristik nilai seni daerah itu sendiri. Keseniaan Aceh secara umum

meliputi seni rupa, seni tari, seni musik, seni sastra dan seni drama.

Aceh merupakan daerah yang memiliki sepuluh suku yang setiap suku tersebut memiliki ciri khas seni budaya masing-masing dan kekayaan budaya tersebut dapat menjadi warisan bangsa.

Kesenian Aceh di setiap suku pada dasarnya mempunyai ciri khas yang amat nyata dan sama, yaitu unsur Islam di dalamnya.

Kesenian masyarakat di Aceh Barat sangat memperhatikan adat-istiadat yang berlaku berdasarkan syariat Islam dan adat budaya asli. Aceh Barat menyimpan khazanah yang

(2)

101 banyak untuk digali dan didokumentasikan

dari tarian, tempat, tokoh, adat budaya dan sebagainya.

Tari tradisional sebagai warisan leluhur merupakan bagian dari kebudayaan yang mesti dijaga kelestariannya. Pada saat sekarang ini arus globalisasi semakin deras pengaruhnya terhadap kesenian tradisional, berpotensi menggeser nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Dalam perkembangan selanjutnya tidak terkecuali Tari Pho pun mengalami perubahan baik dari segi bentuk, maupun fungsinya. Tari tradisi sebagai bagian dari kebudayaan merupakan warisan turun-temurun dari leluhur.

Kehadirannya bukan hanya sekali atau bersifat statis, tapi selalu mengalami perubahan dan perkembangan, oleh karena itu semakin jauh dari tradisi semakin banyak pula perubahan-perubahannya. Tari tradisi memiliki aturan-aturan yang berpatokan pada kaedah-kaedah pola hidup dan sikap masyarakat yang selalu disesuaikan dengan adat istiadat setempat. Tari tradisi merupakan tarian yang sudah mengalami perubahan dan perjalanan sejarahnya yang cukup lama dan bertumpu pada nilai tradisi yang ada.

Tari Pho menjadi salah satu tarian yang sangat populer di kawasan Aceh Barat sehingga menjadi bagian tradisi yang sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat

Aceh Barat. Tari Pho merupakan tari tradisional khas daerah Aceh Barat.

Perkataan Pho berasal dari kata peuba-e po, peuba- rakyat/hamba kepada Yang Maha Kuasa (yang memiliki) misalnya Po Teu Allah, Po Teumeureuhom, Teuku Po, Ureung Po dan lain-lain.

Kata “Pho” dalam bahasa Aceh adalah sebagai suatu sebutan untuk panggilan kehormatan dari masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kata ini diasumsikan dengan kata sifat lainnya, seperti “Pho Teu Allah”, “Allah Hai Po”,

“Ee Po”, sebagai sebutan untuk menghormati Allah SWT yang memiliki segala makhluknya. Selain itu juga, kata “Po Teu Meureuhom” sebagai sebutan untuk menghormati sultan-sultan yang sudah mangkat. Sebutan lainnya seperti “Teuku Po” digunakan sebagai sebutan untuk

menghormati golongan

bangsawan/uleebalang, “Ureung Po Rumoh” sebagai sebutan untuk menghormati istri yang dianggap sebagai pemilik atau pewaris dari rumah didalam pemahaman kebudayaan dan sejarah di Aceh. Sedangkan sebagai wujud seni tradisi pertunjukan tari pho dapat dilakukan beriringan antara tarian sekaligus nyanyian yang berisi syair-syair tragedi.

Tari Pho dahulu adalah salah satu tarian yang biasanya dilakukan pada

(3)

102 kematian orang-orang besar dan raja-raja

dengan melakukan pantun-pantun dan syair sedih sebagai buah ratapan. Sehingga inilah dasar atas asal usul timbulnya tarian Pho tersebut. Berdasarkan sejarah tari Pho tercipta dari sebuah kisah sedih atas hukuman matinya dua orang remaja (putra dan putri) karena korban fitnah. Berdasarkan legenda seorang anak laki-laki yang bernama Malelang dengan perempuan yang bernama Madion.

Tari Pho ini cukup sederhana dan dinamis karena mudah untuk dipelajari dan gerakan yang mudah untuk diikuti oleh semua kalangan usia. Gerakan pada tari Pho selalu berulang-ulang dan komposisi pola lantai yang tidak banyak berubah. Pada masa perkembangannya, kesenian tari Pho sudah dijadikan tari rakyat yang diperkenalkan berdasarkan sejarah cerita rakyat tersebut yang selalu dipergelarkan pada saat sekarang sudah mengalami perubahan bentuk baik dari segi jumlah penari, gender dan komposisinya, ini membuktikan bahwa masyarakat Aceh cepat tanggap dengan situasi perkembangan kesenian untuk mewujudkan pelestarian nilai tradisi. Namun tidak terlepas dari perubahan itu tetap diperkenalkan tari tradisi Pho yang semestinya seperti sering ditampilkan pada acara penyambutan formal atau festival

budaya di Aceh umumnya, di Aceh Barat khususnya.

Rumusan Masalah

Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perkembangan penyajian Tari Pho di Kabupaten Aceh Barat?

2. Apa hambatan dalam perkembangan Tari Pho di Kabupaten Aceh Barat?

3. Bagaimanakah fungsi Tari Pho dalam kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Aceh Barat?

Kajian Teori

a. Sejarah Tari Pho

Tari Pho merupakan salah satu tari yang berasal dari Gampong Ujung Padang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya. Dalam pergaulan hidup sehari-hari masyarakat ini sebagian mempergunakan bahasa pengantar yang mirip bahasa Minangkabau yang disebut bahasa Aneuk Jame (jame= tamu). Tarian ini diangkat atau berlatar belakang cerita rakyat setempat. Tari Pho merupakan kisah legenda kerajaan Kuala Batee Malelang-Madion. Legenda tersebut mengisahkan kehidupan dua anak manusia yang nasibnya harus berakhir di usia muda karena hasutan perdana menteri yang pernah ditolak pinangannya oleh Madion. Mereka dituduh telah menodai

(4)

103 kesucian kerajaan dengan perbuatan asusila

sehingga dijatuhi hukuman rajam sampai mati oleh pihak kerajaan.

Konon di perbatasan Aceh Barat dengan Aceh Selatan, dalam suatu kerajaan yang bernama kerajaan Kuala Batee terjadi suatu kisah sedih, yaitu seorang anak perempuan yang mempunyai wajah cantik bernama Madion, sejak kecil sudah ditinggalkan oleh ibunya yang telah berpulang ke rahmatullah. Ia dipelihara oleh makwanya (kakak dari ibunya). Sedangkan makwanya tersebut mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Malelang.

Setelah menjelang dewasa terniatlah di hati makwanya untuk memperjodohkan kedua anak tersebut. Maka bersiap-siaplah makwanya menanti kedua anak tersebut menjadi dewasa dengan persiapan-persiapan seperlunya yaitu sekeliling rumah ditanami dengan pohon inai (pacar) atau bak gaca, pohon pinang, pisang dan lain-lain. Begitu juga dengan segala sesuatu persiapan pengantin menurut adat-istiadat pada waktu itu.

Menurut beberapa sumber, seni pertunjukan tari pho telah ada sejak dahulu, namun pastinya belum diketahui secara pasti. Seni pertunjukan ini diperkirakan berkembang pada masa penjajahan Belanda atau pada sekitar awal abad ke-20 jika menilik dari lirik yang ada pada saat Tum

Beude yang menyebutkan tentang kewafatan pahlawan nasioanl Teuku Umar. Tarian ini sudah dikenal ketika belanda memasuki awal abad ke-20 dan kemudian berhasil menduduki daerah ini sejak tahun 1890-an hingga tahun 1942 dalam rangka mengejar pasukan muslimin Aceh hingga masuknya Jepang ke sana.

Alkisah pada suatu hari Malelang disuruh oleh maknya memanjat pohon pinang. Lalu Madion melihat abangnya sedang memanjat pohon pinang, kemudian dia berlari-lari meminta pinang tersebut.

Dengan tidak sadar ia memanjat pagar tidak disangka-sangkanya mengambil buah pinang sedang dibawa turun oleh abangnya Malelang. Tetapi dengan pahanya sedikit mengeluarkan darah. Kemudian pinang di tangan abangnya diambil lalu ia berlari pulang celananya tersangkut di pagar dan robek. Miris bagi nasib anak-anak tersebut kejadian itu diintip dan dilihat oleh seseorang. Karena lamarannya/pinangannya terhadap gadis cantik Madion yang sedang mekar itu ditolak. Lantas timbullah niat jahatnya untuk memfitnah kedua remaja itu, maka dengan gembira ia berlari-lari menuju ke istana raja untuk melaporkan bahwa Madion dan Malelang telah menodai kampong mereka, tadi di bawah pohon pinang telah melakukan zina terbukti bahwa celana Madion telah robek dan berdarah.

(5)

104 Mendengar fitnahan tersebut raja

sangat marah dan merasa malu tanpa berpikir panjang datanglah ia ke rumah ibu anak-anak tersebut mengatakan bahwa Madion dan Malelang akan dihukum mati karena telah mengerjakan pekerjaan yang terkutuk.

Mendengar keputusan raja tersebut sangatlah terharu serta rasa iba hati mereka dan memohon kepada raja agar diberi tempo untuk pelaksanaan hukuman. Maka Raja memberi waktu 7 (tujuh) hari. Dalam waktu tersebutlah anak-anak itu diberi pacar/inai pada kaki dan tangannya. Pacar diambil tujuh pucuk dan diukir pada kaki dan tangan anak-anak tersebut, seolah-olah mereka telah dikawinkan dan diberi perhiasan seindah- indahnya.

Setelah tiba hari yang dijanjikan yaitu hari yang ketujuh, sampailah ke rumah ibu mereka panglima-panglima raja untuk menuntut janji melaksanakan hukuman mati.

Anak-anak tersebut diletakkan dalam peti kaca, mereka digiring ke sebuah tanah lapang tempat pelaksanaan hukuman mati mereka, setelah selesai mereka laksanakan perintah raja anak-anak tersebut diletakkan dalam sebuah tempat, lalu mereka dibawa pulang ke rumah ibunya. Di situlah diratapi (ditangisi) oleh ibunya. Di dalam meratapi anak-anak tersebut dalam bentuk sebuah lingkaran dengan jenazah terletak di tengah- tengah, sambil berpantun dan bersyair.

Tarian ini dimainkan oleh gadis- gadis dengan membuat lingkaran ataupun baris berbanjar sambil berdiri. Biasanya syech berada di tengah-tengah atau di luar pemain-pemain lainnya. Dahulu Tari Pho dilakukan pada upacara-upacara kematian tetapi sekarang sudah menjadi luas yaitu pada perhelatan perkawinan. Bersuka ria, memandikan pengantin, sunat rasul, turun mandi, melepas hajat dan penyambutan pembesar-pembesar serta pada waktu padi diserang hama penyakit.

b. Bentuk Penyajian Tari Pho

Tari Pho ditarikan oleh wanita dan diiringi oleh syair-syair yang dilantunkan oleh seorang syahi. Penarinya berjumlah genap (8-12 orang). Seiring dengan perkembangannya tarian ini mengalami perubahan bentuk menjadi versi penampilan di panggung yang diciptakan oleh Drs.

Ichsan Ibrahim. ini biasanya ditampilkan pada acara perkawinan dan khitanan dengan maksud menghibur penonton dan tuan rumah. Seorang syahi berada di samping panggung sambil menyanyikan syair sesuai dengan permintaan pihak penyelenggara sehingga yang bertahan dari legenda tersebut hanya unsur “Peubae” dan “meuratok” atau peratapan saja. Syair yang digunakan adalah syair yang bernuansa sejarah.

(6)

105 Syair pertama dinyanyikan oleh

syahi dan kemudian disambut oleh para penari. Penampilan Tari Pho ini diadakan pada pagi dan siang (sore) hari. Gerakan tarian ini adalah gerakan sederhana seperti membentuk lingkaran dan berkeliling menghentakkan kaki secara serentak.

Tempat penyaji Tari Pho ini diadakan di pentas terbuka dan bisa juga di atas pentas.

1. Gerak Tari Pho

Dalam penyajian Tari Pho, gerak itu terdiri atas beberapa fase (babak) yaitu sebagai berikut:

1. Saleum

Dua orang memasuki arena pertunjukan sebagai syahi dengan menyanyikan syair saleum/salam. Kedua tangan dalam posisi sembah setengah dada. Diikuti dengan keluarnya penari-penari lain secara berbaris sambil menyahut apa yang diucapkan oleh syahi. Selanjutnya barisan ini mengambil tempat dengan berdiri berbanjar menghadap penonton.

Syairnya :

Assalamualaikum Bapak disino Nyopat kamoe katroh meuteuka

Jaroe loen siploh loe beot lapan Meuah loen tuan beuraya-raya Raneub neu pajoh bungkoh ne pulang Bek jeut ke utang singoh ngon lusa

Ranub kunengan sawo bak ara Ranub kamoe ba neu ujo rasa

2. Bineuh

Syahi memulai nyanyian pembukaan bineuh dan para penari mengikuti irama lagu tersebut sambil membentuk sebuah lingkaran dengan berkeliling serta menghentakkan kaki kelantai secara serentak badan agak membungkuk miring yang diiringi syair mengisahkan kejadian Madion dan Malelang. Syairnya :

Oo Bineuh loen balek laen Puteh licen seuot beurata

Bungong meulu cut keumang cot uroe Pasoe dalam glah keu ubat mata

3. Tron Ta Jak Manoe

Gerak tarian yang menggmbarkan cara kebiasaan seorang ibu memandikan anaknya.

Komposisi gerak tari ialah 4 (empat) orang dimuka, sehingga membentuk 2 (dua) orang yang berperan sebagai pengantin duduk, sedangkan 2 (dua) orang lainnya berdiri.

Yang 4 (empat) orang lainnya berdiri dibelakang dengan bentuk setengah lingkaran. Syairnya :

Tron tajak manoe dara baroe tron tajak manoe

Oh lheh manoe lake seunalen ija san dusen seunalen manoe

(7)

106 Geubah gaca bak paleut jaroe

Gaca meuke tujoh bah tangke Dara baroe geuboh ngon andam Ceudah hana ban takaloen rupa

Dara baroe laju geu puduek Ateuh tilam duek bineh nun sunja Tacok gaca meutujoh bak

Gaca tapak malelang mak Tacok gaca meutujoh on Gaca phon madion mak Tacok gaca meutujoh tangke Gaca uke madion mak

Tasie keubeu puteh talak Taboh gumbak malelang mak Tasie keubeu diteungoh blang

Takoh andam madion mak

4. Jak Kutimang

Gerak tarian yang menggambarkan cara seorang ibu mendendangkan sayang anaknya dengan penuh mesra, komposisi gerak tari ini dibagi dua (masing-masing empat orang) dengan gerak yang sama membentuk formasi lingkaran. Syairnya :

Jak kutimang hai aneuk meujak kutimang Bungong keumang hai aneuk meuboh hate ma

Jak ku dodo do do da idi Merpati pho ka patah teuot Bungong rayeuk yang jino

Supaya maju seni budaya

5. Ayoen Aneuk

Gerak tari yang menggambarkan cara seorang ibu yang sedang membuai anaknya didalam ayun. Komposis gerak ini adalah 6 orang masing-masing 3 orang membuat setengah lingkaran. Dua orang lainnya berdiri disamping masing-masing sisi dari setengah lingkaran tersebut.

6. Lanie/Ekstra

Gerak-gerak tari yang memberikan sajian hiburan berupa nasehat bercerita dan lain- lain. Di antaranya yaitu :

- Peulot manok

Tepuk tangan adalah simbolis mengusir burung dan mengetam atau mengumpulkan ikatan-ikatan padi yang telah diketam. Laga ayam yang mengisahkan persaingan antara pihak satu dan pihak yang lain demi mendapatkan kekuasaan.

Peuloet manok dalam gelanggang Tuak kulantan si raja wali

Peulot manok bok jambo madat Sisek ji ilat meble me cahya Manok jalak ngon manok bireng Sabe tat lagak takaloen rupa

Meunyoe talo manok loen tuan Loen ganto lalu yang sabe teugah

(8)

107 - Bungong Rawatu

Gerakan para penari menghentakkan kaki ke lantai berarti bahwa tanah yang telah dibajak harus diinjak-injak supaya rata dan tanah itu harus sering sekali dibajak dan disikat.

Syairnya:

Oh bineuh bungong rawatu Meutalu la laot raya

Oh bineuh sin yak dong dirat Tapot bungong erat paso lam ija Bungong mancang keumang tat uro Luroh lam karang oh keunong uro

Ade-ade simalelang, bukon saying malelang mak

Ade-ade simadion, peulheh apon madion mak

- Tum Beudee

Gerakan tum beudee ini menggambarkan tentang kejadian dimasa lampau ketika Aceh dijajah oleh Belanda. Banyak suara-suara tembakan yang terdengar oleh masyarakat.

Syairnya :

Tum beude - tum beude tum beude bela negara 2x

Teuku umar johan pahlawan Syahid di gobnyan di ujong kalak Di ujong kalak tugu pahlawan Tanda disinan syahid panglima

7. Saleum Penutup

Pada ragam penutup bisa diberi contoh syair yang dinyanyikan menurut babak yang disebut diatas, misalnya Salam’alaikum Bapak disino nyoepat kamoe ka troh meuteuka (bisa diganti dengan kamoe keumeng jak gisa).

c. Fungsi dan Perkembangan Tari Pho Berdasarkan latar belakang tari Pho ini, bahwa tarian ini merupakan manifestasi dari kehidupan masyarakat Aceh, yaitu masyarakat agraris, dimana dalam tarian ini tampak dengan jelas gerakan-gerakan simbolis dalam mengolah sawah ladang.

Gerakan para penari menghentakkan kaki ke lantai berarti bahwa tanah yang telah dibajak harus diinjak-injak supaya rata. Kata “Oo bineu loen balek laen” menggambarkan bahwa tanah itu harus sering sekali dibajak dan disikat. Tepuk tangan adalah simbolis mengusir burung dan mengetam atau mengumpulkan ikatan-ikatan padi yang telah diketam. Pesatnya perkembangan tarian Pho ini terutama sejak berkembangnya dan meningkatnya kegiatan-kegiatan kaum ibu di Aceh yang disponsori oleh “Putri Phang”

istri Raja Aceh Sultan Iskandar Muda. Di dalam lagu Pho juga disebut “Putri” Phang atau “Putroe Phang. Sehingga seiring perkembangan tari tersebut maka Drs. Ichsan

(9)

108 Ibrahim menciptakan/menggubah tari Pho

tersebut kedalam versi panggung.

Pada masa penciptaannya zaman dulu tarian Pho ini dipengaruhi oleh budaya pra-islam. Setelah islam berkembang dan mula dipahami dengan baik oleh masyarakat di Aceh Barat masa itu, tari ini sudah tidak dipertunjukkan dan dipertahankan sebagai pertunjukan ritual kematian lagi karena dalam islam tidak membenarkan untuk meratapi sampai meraung-raung orang yang sudah meninggal, karena kematian adalah Sunnatullah sehingga dibutuhkan kesabaran setiap orang untuk menghadapi musibah yang menimpa diri dan keluarga serta kerabat dekat lainnya sehingga kemudian tarian ini hanya berfungsi sebagai pertunjukan hiburan semata.

Sehingga saat ini seiring perkembangannya Tari Pho bisa ditampilkan pada acara perkawinan, bersuka ria, memandikan pengantin, sunat rasul, turun mandi, melepas hajat dan penyambutan pembesar-pembesar serta pada waktu padi diserang hama penyakit.

Dalam pertunjukan tari pho saat ini sering ditemui pada saat acara perkawinan yang disebut manoe pucuk, sedangkan pertunjukan Pho tradisional berdasarkan gubahannya berupa pertunjukan panggung saat ini sering ditemui pada acara penyambutan dan event festival. Begitu juga

dalam waktu pertunjukannya Tari Pho yang ditampilkan pada acara perkawinan atau manoe pucuk biasanya sekitar 3 jam bahkan bisa sampai seharian dari pagi sampai sore.

Namun berdasarkan gubahan versi panggung ditampilkan tari pho tradisional berdurasi 10- 15 menit.

Dalam perkembangan tari pho secara fungsinya di Aceh Barat berubah menjadi penghantar nasihat yang sangat sering ditampilkan pada acara manoe pucuk atau memandikan pengantin yang berisi nasihat seorang ibu dan keluarganya untuk anaknya yang akan menikah.

Metode Penelitian

a. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu berupa kata-kata tertulis atau perkataan lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati (Margono 2010:36).

Jenis penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis) sebagai metode yang lazim digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan sejarah. Penelitian historis bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang terjadi pada masa lampau, proses- prosesnya terdiri dari penyelidikan,

(10)

109 pencatatan analisis peristiwa-peristiwa masa

lalu (Trisnawati, 2013:24).

b. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru. Utuk mendapatkan data primer peneliti harus mengumpulkannya secara langsung seperti metode Field Research (penelitian lapangan), merupakan jenis penelitian yang paling banyak diintegrasikan dengan penelitian terapan. Sumber data diperoleh dari tokoh adat, seniman lokal, tokoh masyarakat yang ditetapkan sebagai informan. Adapun teknik yang digunakan untuk mendapatkan data primer dengan teknik dokumenasi dan wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tenaga kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Metode library research (penelitian kepustakaan), penelitian terapan ini tidak dilepaskan dari teori-teori terutama pada

landasan berfikir (kerangka teori). Untuk keperluan ini, diperlukan berbagai literature yang mengharuskan dilakukannya studi pustaka, apalagi pada penelitian yang bersifat kualitatif, maka penggunaan literature cukup dominan.

c. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan suatu uraian dasar. Ia menjelaskannya dengan penafsiran, yaitu memberi arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian. Karena masa lampau tidak dapat diulang kembali dalam menganalisis data, penelitian sejarah mempunyai beberapa definisi operasional yag spesifik, beberapa batasan operasional tersebut, yaitu :

1) Bukti Sejarah, yaitu data terpercaya yang sudah diakui kebenarannya yang diperoleh dari lapangan, sebagai dasar yang baik untuk menuju dan melakukan interprestasi (penafsiran) hipotesis penelitian.

2) Kritik eksternal merupakan analisis terhadap suatu data untuk menerapkan keaslian data tersebut dan tergantung pada bentuk alami yang diteliti.

(11)

110 3) Kritik internal pada umumnya suatu

usaha analisis untuk menjawab pertanyaan yang menyangkut tentang nilai dokumen yang telah diperoleh dari lapangan.

Analisis Selama Pengumpulan Data Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimuanlai setelah peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis. Kegiatan- kegiatan analisis selama pengumpulan data meliputi :

1) Menetapkan fokus penelitian, apakah tetap sebagaimana yang telah direncanakan ataupun perlu diubah.

2) Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul.

3) Pembuatan rencana pengumpulan data berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya.

4) Penerapan sasaran-sasaran pengumpulan data (informal, situasi, dokumen).

Untuk itu berdasarkan sekumpulan informan yang tersusun dapat member kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Penyajian Data

Penyajian data (display) ialah penyajian sekumpulan informan yang tersusun sehingga memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan yang bersifat naratif.

Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Kegiatan analisis berikutnya yang penting ialah kesimpulan dan verifikasi.

Dalam proses verifikasi, data yang sudah diperoleh kemudian dipilih-pilih kembali atau dengan kata lain dilakukan pengorganisasian untuk membentuk mana data yang relevan dengan tujuan penulisan dan mana yang tidak.

Hasil Penelitian dan Pembahasan Perkembangan Penyajian Tari Pho

Kehidupan kebudayaan daerah Aceh Barat dewasa ini masih berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan, karena pewarisan nilai-nilai kebudayaan oleh generasi sekarang dari generasi terdahulu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Kemungkinan hal tersebut dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mewarisi pada generasi sebagaimana mestinya.

Berdasarkan sejarah, Adat masyarakat aceh pada umumnya telah banyak berubah karena perkembangan masyarakat dan

(12)

111 perkembangan zaman. Khususnya di Aceh

Barat.

Salah satu narasumber di Aceh Barat yaitu Yuniarsih mengatakan bahwa tari pho merupakan pertunjukan yang sangat sakral dalam suatu acara adat pernikahan yang disajikan dalam bentuk siraman pengantin.

Umumnya ini dilakukan oleh pengantin wanita namun juga ada dilakukan oleh pengantin laki-laki, biasanya disebut

“Manoe pucuk” atau “Peu manoe dara baroe”. Tari pho dalam prosesi manoe pucuk dikisahkan dengan melantunkan syair-syair shalawat dan kisah keluarga yang disampaikan berupa pesan moral untuk pengantin tersebut.

Awalnya kesenian ini hanya dipentaskan sebagai tradisi penyambutan tamu kerajaan, juga hanya ditampilkan dipesta pernikahan keluarga tertentu (bangsawan). Kemudian tari pho berkembang lagi menjadi bagian sajian yang ditampilkan dalam upacara prosesi pernikahan yang disebut peu manoe dara baroe. Tetapi seiring perkembangan waktu, Tari Pho sekarang sudah banyak dipergunakan sebagai sarana hiburan yang dipentaskan pada acara-acara kesenian masyarakat umum dengan versi sajian panggung.

Ada beberapa tahap dalam prosesi manoe pucuk ini yaitu dengan “peusijuk”

dan “Peumanoe”. Peusijuk adalah proses mendo’akan dan memberikan restu oleh keluarga pengantin. Adat peusijuk diberikan alat tradisi seperti tepung tawar dan padi.

Peumanoe adalah siraman atau memandikan dengan air yang dicampurkan bunga- bungaan kedalamnya. Acara siraman dilakukan satu hari sebelum hari pelaksanaan pesta perkawinan, dan biasanya dilaksanakan pada sore hari dengan menggunakan pakaian khusus yang didudukkan disebuah kursi atau tempat.

Menurut tradisi, hal ini dimaksudkan sebagai pembersih dosa bagi calon pengantin wanita, disamping sebagai pengharum badan.

Upacara peumanoe ini dilakukan penuh khidmat dan mempunyai makna sangat sakral. Dahulu pelaksanaan upacara ini hanya untuk kalangan keluarga terdekat saja dan hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, tetapi sekarang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali.

Dalam acara inilah dipertunjukkan tarian Pho dengan dipimpin oleh seorang syeh yang membawakan syair-syair dalam bahasa aceh. Syair-syair tersebut berisi nasehat yang ditujukan kepada calon dara tersebut. Setelah selesai tarian pho, maka berlangsunglah upacara siraman, calon dara baroe disambut dan dipangku oleh nyakwanya atau saudara perempuan dari pihak orangtuanya. Kemudian satu persatu

(13)

112 anggota yang dituakan akan memberi air

siraman atau memandikan calon dara baroe.

Air siraman menggunakan beberapa jenis bunga-bungaan tertentu dicelupkan kedalam air. Sebagaimana prosesi peusijuk di Aceh secara umum. Adapun perlengkapan yang diperlukan dalam prosesi siraman adalah sebuah guci yang berisi air, jeruk purut yang sudah diracik, bunga rampai (bunga setaman), sebotol minyak wangi, gayung mandi, handuk (seunalen), ija seunalen (kain untuk bersalin atau basahan).

Hasil wawancara dengan seniman Aceh Barat yaitu Hj.Cut Asiah atau yang kerab disapa mami cutpadang, beliau juga menjelaskan bahwa tari pho di Aceh Barat masih bisa ditemukan di sanggar-sanggar dan juga sekolah-sekolah, dalam melestarikan tari tersebut hampir setiap tahunnya selalu diadakan workshop tentang Tari Pho oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Barat guna melestarikan dari generasi ke generasi di masanya.

Menurutnya Tari Pho ini adalah akar dari tari tradisional maupun tari kreasi yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat.

Suatu pertunjukan tari pho dengan segala unsur-unsur pelengkap atau pendukung dalam menyajikan suatu karya tari yang terdiri dari gerak, pola lantai, syair iringan, tata busana, tata rias, pentas dan properti. Dalam segi perkembangannya

berupa pertunjukan di Aceh Barat memiliki beberapa ragam gerak dan pola lantai yang sangat sederhana. Bentuk pola lantai Tari Pho ini adalah berbentuk garis lurus, berbanjar, bentuk belah ketupat dan bentuk lingkaran.

Penyebab Perkembangan Tari Pho Melihat perkembangan tari Pho dari tahun ke tahun khususnya dalam masa kurun waktu 1990-an bahkan hingga saat ini banyak pakar budayawan Aceh Barat berpendapat bahwa Tari Pho mengalami krisis kemunduran disebabkan dari pergeseran nilai yaitu telah hilangnya makna penyajian tari tersebut sehingga menjadi faktor penghambat dalam pengembangan dan pelestarian Tari Pho. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebabnya, hal ini dkarenakan profesi sebagai penari Pho yang tidak menjanjikan hari esok lebih baik.

Kemudian juga faktor alih generasi juga sangat berpengaruh besar menghambatnya perkembangan Tari Pho.

Fungsi Tari Pho Bagi Masyarakat Kabupaten Aceh Barat

Dari hasil wawancara diketahui juga Tari Pho adalah akar tari tradisional maupun tari kreasi yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat. Tari ini adalah tari tradisional khas Aceh Barat baik itu sesudah maupun

(14)

113 sebelum terjadinya pemekaran daerah.

Semua pihak dan golongan baik para ulama, maupun masyarakat dapat menerima bentuk tari pho dalam konteks tidak bertentangan dengan kaidah agama maupun adat.

Pada hakekatnya fungsi Tari Pho adalah sebagai hiburan.

Kesimpulan

Dahulu awalnya kesenian ini adalah salah satu tarian yang biasanya dilakukan pada kematian orang-orang besar dan raja- raja dengan melakukan pantun-pantun dan syair sedih sebagai buah ratapan. Pada masa penciptaannya jaman dulu tarian Pho ini dipengaruhi oleh budaya pra-islam. Setelah islam berkembang dan mula dipahami dengan baik oleh masyarakat di Aceh Barat masa itu, tari ini sudah tidak dipertunjukkan dan dipertahankan sebagai pertunjukan ritual kematian lagi karena dalam islam tidak membenarkan untuk meratapi sampai meraung-raung orang yang sudah meninggal, karena kematian adalah Sunnatullah sehingga dibutuhkan kesabaran setiap orang untuk menghadapi musibah yang menimpa diri dan keluarga serta kerabat dekat lainnya sehingga kemudian tarian ini hanya berfungsi sebagai pertunjukan hiburan semata. Sehingga saat ini seiring perkembangannya Tari Pho bisa ditampilkan pada acara perkawinan, bersuka

ria, memandikan pengantin, sunat rasul, turun mandi, melepas hajat dan penyambutan pembesar-pembesar serta pada waktu padi diserang hama penyakit.

Dalam pertunjukan tari pho saat ini sering ditemui pada saat acara perkawinan yang disebut manoe pucuk, sedangkan pertunjukan tari pho tradisional berdasarkan gubahannya berupa pertunjukan panggung saat ini sering ditemui pada acara penyambutan dan even festival. Begitu juga dalam waktu pertunjukannya Tari Pho yang ditampilkan pada acara perkawinan atau manoe pucuk biasanya sekitar 3 jam bahkan bisa sampai seharian dari pagi sampai sore.

Namun berdasarkan gubahan versi panggung ditampilkan Tari Pho tradisional berdurasi 10-15 menit.

Menurut beberapa sumber, seni pertunjukan Tari Pho telah ada sejak dahulu, namun pastinya belum diketahui secara pasti. Seni pertunjukan ini diperkirakan berkembang pada masa penjajahan Belanda atau pada sekitar awal abad ke-20 jika menilik dari lirik yang ada pada saat Tum Beude yang menyebutkan tentang kewafatan pahlawan nasioanl Teuku Umar. Tarian ini sudah dikenal ketika belanda memasuki awal abad ke-20 dan kemudian berhasil menduduki daerah ini sejak tahun 1890-an hingga tahun 1942 dalam rangka mengejar

(15)

114 pasukan muslimin Aceh hingga masuknya

Jepang ke sana.

DAFTAR PUSTAKA

Afriani, Fitri. 2014. Bentuk penyajian tari Pho di gampong Ujung Padang kec.Susoh Kab.Aceh Barat Daya.

Skripsi tidak diterbitkan. Banda Aceh : FKIP Sendratasik Unsyiah

Ara, L.K. 2009. Ensiklopedi Aceh:

Musik, Tari, Teater, Seni Rupa.

Banda Aceh. Perpustakaan Aceh.

Ariani. 2006. Sejarah dan Nilai Tradisional.

Denpasar : Kresna Jaya Abadi

Bahany Nab. As. 2016. Warisan Kesenian Aceh. Banda Aceh. Aceh Multivision

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.

2015. Ragam Kesenian (Tari Tradisional Aceh). Banda Aceh

Henisafrianti31. 2013.

blog.spot.Maabandaacehkota.go.id.

Diakses 10 Maret 2017

Juaini. 2014. Seni Tradisional Aceh. Jakarta : Balai Pustaka

Khotijah, siti. 2016. Prosesi tradisi pernikahan adat aceh. Html. Diakses 10 Maret 2017

Margono, 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka cipta

Sedyawati, Edi. 1986. Pengetahuan Elementer Tari. Jakarta

Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabet

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian berdasarkan data yang terkumpul, dapat diketahui bahwa Tari Rapa’I Geleng tergolong tari tradisional Aceh yang berasal dari desa Seuneulop

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH BARAT DAYA UNIT LAYANAN PENGADAAN BARANG/JASA. KABUPATEN ACEH BARAT

PAKET: PENATAAN HALAMAN DAN TAMAN PENDOPO WABUP ACEH BARAT DAYA. PEMERINTAH KABUPATEN ACEH

bahwa berdasarkan Qanun Kabupaten Aceh Barat Daya Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Kabupaten Aceh Barat Daya, terdapat perubahan

Sebagai daerah yang sedang berkembang Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu daerah yang masih ketinggalan dalam hal pendidikan oleh karena itu pemerintah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan scientifik pada pembelajaran seni tari di MTsN Meuraxa Banda Aceh sudah melaksanakan pembelajaran dengan Pendekatan

Latar belakang tari Sayo Sitendean di Kalumpang Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, yaitu bahwa tari Sayo Sitendean merupakan tarian tradisional yang berasal dari

Di pantai utara Jawa Barat, salah satu kota yang berkembang dari masa klasik hingga masa Islam yaitu lndramayu.. Kota itu sudah disebut se­ jak masa Kerajaan