• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Kajian Teori. Perkembangan zaman di kehidupan bermasyarakat terdapat didalamnya beberapa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II. Kajian Teori. Perkembangan zaman di kehidupan bermasyarakat terdapat didalamnya beberapa"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II Kajian Teori A. Kesadaran Hukum

Perkembangan zaman di kehidupan bermasyarakat terdapat didalamnya beberapa aspek penting, diantaranya terdapat aspek materiil dan aspek spiritual yang termuat dan timbul keselarasan dalam perasaan hukum masyarakat dan juga keagamaan pada masyarakat. Oleh karena itu, hukum memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat, karena dengan adanya hukum dapat dijadikan sarana untuk mengatur ketertiban dan keamanan dalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Untuk dapat menjalankan hukum sebagaimana terdapat tujuan adanya hukum, maka wajib hukumnya atas masyarakat untuk memiliki perilaku yang menyadarkan terkait pentingnya hukum dilaksanakan dan diterapkan dalam kehidupan sehari – hari, perilaku taat terhadap hukum tersebut biasa disebut dengan Kesadaran Hukum.

1) Pengertian kesadaran hukum

Menurut Soerjono Soekanto, kasadaran hukum adalah nilai – nilai atau kesadaran yang ada pada diri manusia terkait hukum yang sudah ada maupun hukum yang diharapkan oleh manusia untuk ada Kesadaran hukum itu sendiri bergantung pada pengetahuan terhadap hukum, kemudian dari pengetahuan tersebut timbul adanya penerimaan dan pengakuan terhadap hukum, selanjutnya timbul rasa kepatuhan terhadap hukum.

Menurut Abdurrahman, kesadaran hukum merupakan nilai – nilai dari hukum yang terdapat pada masing – masing individu untuk taat dan juga patuh terhadap hukum yang berlaku.

(2)

Menurut Wignjoesoebroto, kesadaran hukum ialah kemauan masyarakat dalam berkehidupan bermasyarakat untuk taat dengan hukum yang telah berlaku. Dalam hal tersebut ia menyampaikan kesadaran hukum terdapat dua dimensi, yaitu afektif dan kognitif. Afektif adalah suatu rasa insyaf dari diri manusia yang mengakui bahwasannya hukum harus dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Sedangkan kognitif merupakan suatu pengetahuan terhadap hukum oleh manusia yang dapat memberikan arahan terhadap suatu perilaku yang diperintahkan dalam hukum maupun perilaku yang dilarang pada hukum tersebut.

Dari pemaparan tentang pengertian kesadaran hukum di atas, keserasian antara pengetahuan dan pemahaman masing – masing individu terhadap sebuah aturan hukum memiliki hubungan yang sangat erat untuk terciptanya sikap dan perilaku manusia terhadap hukum. Sebagaimana individu menjalankan hukum sesuai dengan apa yang diperintahkan tanpa paksaan dari pihak manapun untuk melaksanakannya, dibutuhkan kesanggupan individu tersebut untuk menilai aturan hukum itu sendiri. Bahwasannya tidak mungkin seorang individu memiliki kesadaran akan hukum apabila ia tidak mengetahui dan memahami aturan hukum itu sendiri.

2) Indikator kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto

Pada pembahasan sebelumnya disinggung bahwa kesadaran hukum merupakan konsep abstrak dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang diharapkan atau yang sepentasnya terjadi. Kesadaran hukum tersebut mencakup unsur pengetahuan tentang hukum, pemahaman tentang hukum, sikap tentang hukum dan juga perilaku terhadap hukum. Untuk kepentingan penelitian, pada unsur – unsur tersebut dilakukan analisa secara terpisah maupun secara menyeluruh dengan kaitannya pada kesadaran hukum dalam kehidupan bermasyarakat.

(3)

a. Pengetahuan hukum

Pengetahuan tentang hukum merupakan pengetahuan individu yang berkenaan dengan sebuah aturan hukum, yaitu tentang apa yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan dalam aturan hukum.

b. Pemahaman hukum

Pemahaman terhadap hukum pada masing – masing individu yaitu, memuat beberapa aspek yang diantaranya masing – masing individu memaknai isi, tujuan, dan manfaat dari sebuah aturan hukum yang selanjutnya timbul pemahaman yang kuat terhadap hukum.

c. Sikap hukum

Dalam menentukan sikapnya terhadap hukum seorang individu layaknya memiliki latar belakang dalam bersikap, ada sikap instrumental dan sikap fundamental. Sikap instrumental pada manusia timbul karena terdapat alasan pribadi untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan bagi individu tersebut, lain halnya dengan sikap fundamental yang timbul karena individu telah mengetahui dan memahami hukum, sehingga mengerti sikap apa yang harus ia lakukan terhadap hukum itu sendiri.

d. Perilaku hukum

Berperilaku terhadap hukum merupakan sebuah tujuan yang ingin dicapai atas keserasian antara ketertiban dengan kebebasan hukum pada diri manusia. Dapat kita ketahui bahwa perilaku terhadap hukum merupakan salah satu ciri atau tanda adanya kepatuhan terhadap hukum yang cukup tinggi. Hal tersebut terjadi karena pada diri manusia telah mengetahui, memahami, memiliki sikap terhadap hukum sehingga terbentuklah perilaku terhadap hukum yang sesuai.

(4)

B. Standar Halal dalam Produk Skincare

Adanya standar halal suatu produk tidak hanya digunakan di antara orang muslim saja, namun masyarakat secara global mulai menerapkan konsep halal tersebut dalam berbagai jenis produk seperti pada makanan, minuman, obat – obatan, dan kosmetika. Kosmetika atau skincare merupakan produk yang digunakan oleh masyarakat, dengan mayoritas kaum hawa untuk membersihkan, merawat dan juga mempercantik diri. Secara garis besar, dalam sudut pandang industry halalnya suatu produk harus menyatakan bebas dari alcohol dan porcine-by dan senyawa turunannya. Dengan ketentuan – ketentuan tersebut maka perlunya kita untuk mengkaji lebih dalam mengenai regulasi – regulasi yang sudah ada terkait standar halal pada suatu produk, khususnya produk skincare.

1. Regulasi Standar Halal

Regulasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan masyarakat dalam menaati suatu hukum. Agar suatu produk mendapatkan label halal secara legal, maka pemohon harus memenuhi dua prosedur yang sudah ditetapkan, yaitu labelisasi dan sertifikasi.

Yang dimaksud dengan labeliasasi sendiri adalah proses pemberian label secara legal oleh Lembaga yang berwenang atas suatu produk yang telah diajukan. Label halal tersebut bertujuan untuk memberikan kepercayaan pada konsumen atas halalnya suatu produk. Sedangkan sertifikasi merupakan proses yang dilalui oleh pemohon untuk mendapatkan bukti berupa sertifikat halal dari Lembaga yang berwenang. Di dalamnya termuat keputusan halal yang diterbitkan oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dalam bentuk sertifikat, sebagai bukti konkrit dan kepastian halal pada suatu produk.

(5)

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwasannya regulasi standar halal adalah suatu cara yang digunakan untuk mengendalikan produsen memproduksi suatu produk yang sudah jelas status kehalalannya untuk lebih memudahkan konsumen mengetahui status kehalalan suatu produk tersebut.

a. Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Pada Undang – Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, terdapat klausul – klausul di dalamnya yang secara garis besar mewajibkan untuk produsen memiliki sertifikat halal ; penyelenggaraan jaminan produk halal; ketentuan harus sesuai dengan Lembaga pemeriksa halal; ketentuan bahan dan proses produksi pada produk halal; tahapan untuk mendapatkan sertifikat halal; pengawasan terhadap aktivitas jaminan produk halal oleh Lembaga berwenang; peran serta masyarakat dalam aktivitas jaminan produk halal; dan terdapat juga di dalamnya ketentuan pidana.

Kosmetika atau skincare termasuk dalam produk menurut UU tersebut, dengan demikian terdapat syarat – syarat dalam produk, diantaranya telah dinyatakan halal, proses pembuatan dan penyimpanan memenuhi standar halal, dan juga bahan baku atau unsur – unsur yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut dinyatakan halal.1

Terdapat bahan dari hewan yang diharamkan sebagai bahan baku ataupun bahan tambahan suatu produk, diantaranya bangkai, darah, babi, maupun hewan yang disembelih tidak sesuai ketentuan dalam syariat.2

1 Pasal 1 ayat 4 Undang – Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

2 Pasal 18 ayat 1 Undang – Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

(6)

Selain bahan dari hewan, Adapun bahan yang berasal dari tumbuhan yang dasar hukumnya secara syariat adalah halal, namun terdapat hal – hal yang dapat membahayakan tubuh maka bahan tersebut menjadi haram hukumnya. 3

b. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 33 Tahun 2014

Menurut PP No. 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 33 Tahun 2014, di dalamnya terdapat detail penjelasan terkait pelaksanaan Jaminan Produk Halal (JPH); adanya Kerjasama antar Lembaga berwenang dalam penyelenggaraan jaminan produk halal; biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal; dan tahapan proses kewajiban yang harus dilalui oleh produk yang bersertifikasi halal.

Pemerintah dapat melakukan Kerjasama internasional terkait Jaminan Produk halal dengan negara lain, kerja sama tersebut berupa pengembangan, penilaian, dan juga terkait pengakuan adanya sertifikat halal. Dalam hal tersebut harus dilakukannya sesuai dengan ketentuan politik luar negeri agar koordinasi dan konsultasi dalam bidang Jaminan Produk Halal dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan .4

Lembaga luar negeri yang dapat menerbitkan sertifikat halal harus mendapar pengakuan ataupun lisensi oleh pemerintah atau Lembaga keagamaan Islam yang tentunya diakui oleh negara tersebut.5

3 Pasal 20 ayat 1 Undang – Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

4 Pasal 25 ayat 1 – 4 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

5 Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang No. 33

(7)

c. Peraturan Menteri Agama No. 26 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

Dalam Peraturan Menteri Agama No. 26 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan JPH memuat detail tahanapan kewajiban sertifikasi halal yang berdasarkan pada jenis produk; tata cara akreditasi LPH dan juga pendiriannya;

detail tahapan pengajuan permohonan dan juga pembaharuan atau perpanjangan sertifikat halal ; dan label halal berserta keterangan tidak halal.

Produk yang masuk, beredar, dan di perdagangkan di wilayah Indonesia wajib memiliki sertifikat halal, termasuk juga pada bahan halal dan memenuhi proses produk halal.6

Produk yang dimaksudkan penjelasan diatas meliputi : 7 a. Makanan ;

b. Minuman ; c. Obat ; d. Kosmetik ; e. Produk kimiawi ; f. Produk biologi ;

g. Produk rekayasa genetika; dan

h. Barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan .

6 Pasal 27 ayat 4 PPMA No. 26 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan JPH.

7 Pasal 28 ayat 2 PPMA No. 26 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan JPH.

(8)

d. Keputusan Menteri Agama No. 982 Tahun 2019 Tentang Layanan Sertifikasi Halal

Pada KMA No. 982 Tahun 2019 Tentang Layanan Sertifikasi Halal memuat di dalamanya terkait penetapan layanan untuk pembuatan sertifikasi halal dalam masa peralihan dan juga terkait peran berbagai Lembaga yang berkaitan, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pengkajian Pangan Obat – obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dalam pelayanan sertifkasi halal pada masyarakat.

Adanya ketentuan teknis pada pelaksanaan layanan sertifikasi halal yang kemudian di bahas dan disepakati dalam perjanjian kerja sama anatara BPJH, MUI, dan LPPOM-MUI.8

e. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal

Melihat pada PP No. 39 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang JPH termuat detail penjelasan terkait pelaksanaan jaminan produk halal ; Kerjasama antar Lembaga dalam melaksanakan jaminan produk halal ; biaya untuk sertifikasi halal ; dan tahapan – tahapan kewajiban jenis produk yang bersertifikat halal .

Produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal , namun produk tersebut wajib diberikan keterangan tidak halal .9

8 Bagian ketujuh KMA No. 982 Tahun 2019 Tentang Layanan Sertifikasi Halal.

(9)

Dalam penyelenggaraan bidang JPH, yang berwenang menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada suatu produk adalah BPJH, hal tersebut berlaku untuk sertifkasi yang dilakukan di dalam maupun di luar negeri .10

C. Standar Halal Skincare

Dengan adanya perkembangan teknologi saat ini dapat menghasilkan berbagai macam produki kosmetika yang menggunakan berbagai bahan dasar dengan memiliki fungsi yang bermacam – macam dan bahan – bahan tersebut sering kali ditemukan dengan tidak jelas kesuciannya atau dapat kita katakan memiliki banyak titik kritis kehalalan. Sedangkan kosmetika menjadi salah satu kebutuhan wajib manusia, khususnya untuk kaum hawa dan penggunaan produk kosmetika oleh seorang muslim haruslah halal dan juga suci. Dari berbagai aspek di atas, maka dirasa perlu adanya standar halal untuk produk skincare itu sendiri.

a. Fatwa MUI No. 26 Tahun 2013

Merujuk pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya, terdapat bahan baku yang dilarang dalam industry kecantikan, diantaranya bahan yang najis ataupun haram; bahan yang pembuatannya menggunakan mikroba dari rekayasa genetik (yang didalam prosesnya menggunakan gen manusia ataupun gen babi; bahan turunan hewan halal namun tidak diketahui cara penyembelihannya; dan bahan dari microbial yang dalam proses pertumbuhan

10 Pasal 5 huruf c dan d PP No. 39 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

(10)

mikrobanya tidak diketahui dengan menggunakan media pertumbuhan mikroba yang suci dan halal atau tidak.

Menggunakan produk skincare hukumnya boleh asal memenuhi syarat.

Yang dimaksud syaratnya adalah bahan – bahan yang digunakan hasrus halal dan suci dengan tujuan hal tersebut yang dibolehkan oleh syari’at dan juga produk tersebut tidak membahayakan penggunanya. Dari cara penggunaannya skincare memiliki ketentuan yang berbeda, penggunaan skincare untuk

konsumsi atau masuk ke dalam tubuh yang menggunakan bahan yang najis atau haram, maka hukumnya haram. Sedangkan penggunaan skincare pada area luar, yeng menggunakan bahan najis atau haram namun selain babi maka hukumnya boleh, dengan syarat dilakukannya penyucian setelah pemakaian produk tersebut.

Terdapat juga penjelasan mengenai produk kosmetika dengan bahan yang pembuatannya menggunakan mikroba hasil rekaya genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia, maka hukumnya haram. Adapun kosmetika yang mengandung bahan baku ataupun bahan pendukung berupa turunan hewan halal (lemak atau lainnya) yang cara penyembelihannya tidak diketahui apakah hewan tersebut disembelih sesuai syari’at atau tidak, maka hukumnya makruh. Dan produk kosmetika yang terdapat bahan berupa mikrobal, adanya berbagai media pertumbuhan mikroba tersebut harus diketahui apabila menggunakan babi dalam proses media pertumbuhan tersebut, maka hukumnya haram.

Berikut merupakan ketentuan – ketentuan sesuai dari Al – Qur’an dan Al – Hadits yang termaktub dalam Fatwa MUI no. 26 Tahun 2013, terkait bahan dan proses yang sesuai dengan ketentuan tersebut :

(11)

i. Bahan yang digunakan harus halal dan suci;

ii. Tidak membahayakan;

iii. Yang mengandung bahan yang dibuat dengan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram;

iv. Yang menggunakan bahan baku, bahan aktif, atau bahan tambahan dari turunan hewab halal, yang tidak diketahui cara menyembelihnya maka hukumnya makruh.

Dari pemaparan materi di atas, dapat kita ketahui bahwa segala macam produk skincare yang kita gunakan harus jelas dari kandungan bahan – bahan pada produk tersebut halal atau haram dan juga dalam proses pembuatannya dengan cara yang halal atau haram. Maka dari itu, dalam penggunaan produk kosmetika kita harus berdasarkan pada syarat dan ketentuan – ketentuan yang telah ditetapkan Lembaga yang berwenang maupun dalam syari’at Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Bahan berupa tuturan lisan yang didukung dengan data tulis, dianalisis menggunakan teori MSA dengan langkah : (a) pemetaan komponen sehingga menghasilkan konfigurasi

Promosi merupakan salah satu cara untuk mengkomunikasikan produk kredit pemilikan rumah agar diketahui khususnya oleh masyarakat Bogor. Untuk dapat menjalankan dan

untuk mencapai setting point tersebut adalah 159 detik. Waktu yang diperlukan untuk mencapai setting point baru ketika setting point naik relatif lebih cepat karena

Perlu adanya sistem Auto Maching untuk mengetahui tingkat kemiripan dalam proposal salah satu metode kemiripan dokumen yang banyak digunakan adalah Jaccard

Berbeda dengan bahasa Indonesia yang dapat menyingkat kata dengan satu fonem saja, bahasa Jepang berangkat dari dua fonem yang terdiri dari vokal dan konsonan,

Anas Ibnu Malik radhiallahu ‘anhu, sebagaimana dalam Shahih Al Bukhari pada hadits ke 14 (empat belas)?. Dan dalam shahih Muslim pada hadits ke 44 (empat

Rosmadewi, A.N., 2010, Studi Kemampuan Adsorpsi Zeolit Alam Terimobilisasi Dithizon terhadap Ion Logam Cd(II) bersama-sama Ion Logam Mg(II) dan Cu(II), Skripsi, Jurusan

Perat Peraturan Pe uran Pemerin merintah N tah Nomor 2 omor 23 T 3 Tahun 2 ahun 2010 te 010 tentang ntang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Pelaksanaan Kegiatan