• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Pengertian dan Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Menurut KUHPerdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Pengertian dan Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Menurut KUHPerdata"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian dan Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Menurut KUHPerdata Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata “overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah “agreement” dalam bahasa Inggris. Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”. Karena, dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur dalam KUH Perdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena undang-undang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian. Berkenaan dengan hukum perikatan, termasuk baik perikatan yang terbit dari undang-undang maupun perikatan yang terbit karena undang-undang, maka dengan hukum perjanjian, yang dimaksudkan hanya terhadap perikatan-perikatan yang terbit dari perjanjian saja. Sedangkan hukum yang berlaku terhadap perjanjian pada prinsipnya adalah KUH Perdata.

Istilah hukum perjanjian dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah

“contract”, yang dalam praktik sering dianggap sama dengan istilah “perjanjian”.

Bahkan dalam bahasa Indonesia sudah sering dipergunakan istilah “kontrak” ini, misalnya untuk sebutan “kuli kontrak” atau istilah “kebebasan berkontrak” bukan

“kebebasan berperjanjian” dan bukan juga “kebebasan berperutangan”.8

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diberikan pengertian perjanjian adalah suatu kesepakatan di antara dua atau lebih pihak yang menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.9

8Munir Fuady,Konsep Hukum Perdata, 2014, Rajawali Pers, hlm. 179.

9 Henry campbell black,Hukum Perjanjian, 1968, hlm. 394

(2)

Menurut kitab undang-undang hukum perdata Pasal 1313 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Secara etimologis dalam bahasa Arab, perjanjian diistilahkan dengan

“mu’ahadah ittifa’, akad” atau kontrak dapat di artikan sebagai berikut :

“Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih”.

Sedangkan WJS. Poerwadarminta dalan bukunya kamus umum bahasa Indonesia memberikan definisi/pengertian perjanjian tersebut sebagai berikut :

“Persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana berjanji akan menaati apa yang tersebut dipersetujuan itu”.

Definisi-definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Berdasarkan hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan hukum.10

1. Syarat umum sahnya perjanjian

Suatu perjanjian baru sah dan karenanya akan menimbulkan akibat hukum jika dibuat secara sah sesuai hukum yang berlaku. Persyaratan-persyaratan hukum yang harus dipenuhi agar sebuah perjanjian ini sah dan mengikat, adalah sebagai berikut :

10Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam,Jakarta; Sinar Grafika 1996, hlm. 1.

(3)

Syarat umum terhadap sahnya suatu perjanjian adalah seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berlaku untuk semua bentuk dan jenis perjanjian, yaitu sebagai berikut :

a. Adanya kata sepakat antara para pihak dalam perjanjian b. Adanya kecakapan berbuat dari para pihak

c. Adanya perihal tertentu

d. Adanya kausa yang diperbolehkan11

Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut di atas akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :

1) Kesepakatan

Tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak-pihak yangsaling berkomunikasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya. Artinya, tawar menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji. Komunikasi yang mendahului itu bertujuan untuk mencari titik temu atau agar bisa tercapai kata sepakat secara bebas. Sesungguhnya yang kita jumpai disini bukanlah suatu kesamaan kepentingan para pihak, melainkan keinginan yang satu justru sebaliknya dari keinginan yang lain. Namun, “keberlawanan” itu menghasilkan kesepakatan.

Sebagai hal mendasar yang harus diketahui adalah bahwa suatu kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 1321 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sah apabila diberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak karena paksaan, ataupun tidak karena

11Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 185

(4)

penipuan. Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila sebaliknya yang terjadi, kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian yang cacat.12

2) Kecakapan

Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak harus cakap,

namun dapat saja terjadi para bahwa pihak atau salah satu pihak yang mengadakan kontrak adalah tidak cakap menurut hukum. Seseorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika orang tersebut belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh dibawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.13

(a) Orang-orang yang belum dewasa

Dengan demikian, dapat disimpulkan seseorang dianggap tidak cakap apabila,Belum berusia 21 tahundan belum menikah serta berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau boros.

Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUH Perdata ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :

(b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

(c) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

12I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, 2008, Jakarta; Sinar Grafika hlm. 46.

13Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, 2007, Jakarta: Raja Grafindo hlm. 42.

(5)

Khusus angka 3 di atas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki- laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat perjanjian tertentu.14

3) Perihal tertentu

Berbagai literatur menyebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak debitur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas :

(a) Memberikan sesuatu (b) Berbuat sesuatu

(c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata)

Misalnya jual beli rumah,yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu. Contoh lainnya, dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan membayar upah. Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat dinilai dengan uang.

Dapat ditentukan artinya di dalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara cukup. Misalnya, A membeli lemari

14 Ahmadi Miru, Op.Cit. hlm. 43.

(6)

dengan harga Rp500.000,000. Ini berarti bahwa objeknya itu adalah lemari, bukan benda lainnya.15

4) Kausa yang diperbolehkan

Undang-undang tidak memberi pengertian tentang “sebab” (causa). Yang dimaksud dengan sebab disini bukanlah hubungan sebab akibat, tetapi yang dimaksud dengan causa yang diperbolehkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.

Surbekti menyebutkan “causa harus dibedakan dengan motif atau desakan jiwa yang mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian.

Contohnya : A memberikan uang kepada seseorang karena terdorong oleh keinginan untuk membuat orang itu senang. Hukum tidak memperdulikan soal motif ini karena pada dasarnya hukum hanya memandang pada perbuatan lahir saja.

Menurut Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.Perjanjian yang berisi causa atau sebab yang diperbolehkan, sebaliknya perjanjian yang berisi causa atau sebabyang tidak diperbolehkan.

Misalnya causa yang tidak diperbolehkan, jual beli ganja, candu atau causa yang tidak diperbolehkan adalah apabila causa yang disebut dalam surat perjanjian adalah lain dari pada causa yang sebenarnya.

15 H.S. Salim,Hukum Kontrak, Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika 2003, hlm. 34.

(7)

Akibat hukum dari perjanjian yang berisi causa yang tidak diperbolehkan, mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk membuat pemenuhan perjanjian dimuka hakim.16

2. Syarat tambahan sahnya perjanjian

Syarat tambahan terhadap sahnya suatu perjanjian yang juga berlaku terhadap seluruh bentuk dan jenis perjanjian adalah sebagaimana yang disebut antara lain dalam Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut : Pasal 1338 : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”

Pasal 1339 : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”

Dari isi Pasal 1338 dan Pasal 1339 diatas dapat disimpulkan bahwa : a. Perjanjian dilaksanakan dengan iktikad baik

b. Perjanjian mengikat sesuai kepatutan c. Perjanjian mengikat sesuai kebiasaan

d. Perjanjian harus sesuai dengan undang-undang (hanya terhadap yang bersifat bukan memaksa)

e. Perjanjian harus sesuai dengan ketertiban umum 3. Syarat khusus formalitas sahnya perjanjian

16Syamsul Arifin Dan Djanius Djamin, Bahan Dasar Hukum Perdata, 1993, Medan;

Akademi Keuangan dan Perbankan (perbanas,) hlm. 180

(8)

Tentang syarat khusus (berlaku hanya untuk perjanjian-perjanjian khusus saja) yang bersifat formalitas terhadap sahnya suatu perjanjian antara lain adalah sebagai berikut :

a. Agar sah secara hukum, perjanjian tertentu harus dibuat secara tertulis.Keharusan tertulis ini misalnya berlaku terhadap perjanjian hibah, perjanjian penanggungan dan sebagainya

b. Agar sah secara hukum, perjanjian tertentu harus dibuat oleh pejabat yang berwenang. Misalnya, perjanjian (akta) pendirian perseroan terbatas harus dibuat oleh notaris. Kemudian perjanjian jual beli tanah harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT)

4. Syarat khusus substantif sahnya perjanjian

Tentang syarat khusus (berlaku hanya untuk perjanjian-perjanjiankhusus saja) yang bersifat subtantif terhadap sahnya suatu perjanjian antara lain adalah bahwa agar suatu perjanjian gadai sah, maka harus diperjanjikan (dan tidak boleh diperjanjikan sebaliknya) bahwa barang objek gadai tersebut haruslah dialihkan dari pihak pemberi gadai ke pihak penerima gadai, Pasal 1152 KUH Perdata.17

a. Batal demi hukum (nietig, null and void). Dalam hal ini, kapanpun perjanjian tersebut dianggap tidak pernah sah dan dianggap tidak pernah ada, dalam hal ini jika tidak terpenuhi syarat objektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu, syarat perihal tertentu dan syarat kausa yang diperbolehkan.

Adapun yang merupakan konsekuensi dari tidak terpenuhinya satu atau lebih dari syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut :

17Munir Fuady, Op.Cit. hlm. 186

(9)

b. Dapat dibatalkan (voidable). Dalam hal ini perjanjian tersebut baru dianggap tidak sah, jika perjanjian tersebut dibatalkan oleh yang berkepentingan, dalam hal ini jika tidak terpenuhinya syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu, syarat tercapainya kata sepakat dan syarat kecakapan berbuat.

c. Perjanjian tidak dapat dilaksanakan (unenforceable). Dalam hal ini merupakan perjanjian yang tidak dilaksanakan adalah jika perjanjian tersebut tidak begitu saja batal, tetapi juga tidak dapat dilaksanakan, tetapi perjanjian tersebut masih mempunyai status hukum tertentu. Perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan ini masih mungkin dikonversi menjadi perjanjian yang dapat dilaksanakan, maka sebelum dikonvensi, perjanjian tersebut masih belum mempunyai kekuatan hukum. Perjanjian dengan syarat tangguh merupakan contoh perjanjian yang belum dapat dilaksanakan sebelum syarat tangguh tersebut telah terjadi atau telah terwujud.Misalnya seseorang telah membuat menandatangani perjanjian, tetapi dipersyaratkan bahwa perjanjian tersebut baru sah jika disetujui oleh istrinya. Maka sebelum mendapatkan persetujuan dari istrinya, perjanjian tersebut masih merupakan perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan.

d. Dikenakan sanksi administratif. Dalam hal ini ada syarat dalam perjanjian yang apabila syarat tersebut tidak dipenuhi tidak mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut. Melainkan hanya mengakibatkan salah satu pihak atau kedua belah pihak terkena semacam sanksi administratif. Contohnya, adalah perjanjian yang memerlukan izin tertentu, tetapi izin tersebut tidak pernah diurus, seperti perjanjian pinjaman dari luar negeri yang memerlukan pelaporan kepada Bank Indonesia, dimna pelaporan tersebut tidak pernah

(10)

dilakukan. Maka akan ada sanksi administratif dari Bank Indonesia, sementara perjanjian pinjaman tersebut tetap sah dan dapat dilaksanakan.18

B. Jenis-Jenis Perjanjian Dalam KUH Perdata dan Asas-asas Umum Dalam Perjanjian

KUH Perdata mengenal beberapa jenis perikatan, namun yang dimaksud dengan jenis-jenis perikatan dalam KUH Perdata tersebut pada dasarnya sama dengan jenis-jenis perjanjian atau jenis-jenis kontrak, karena perikatan-perikatan yang dimaksud adalah perikatan yang lahir dari kontrak. Jenis-jenis kontrak yang dimaksud adalah :

1. Kontrak bersyarat

Kontrak bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

Kontrak bersyarat ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu kontarak dengan syarat tangguh dan kontrak dengan syarat batal.Suatu kontrak disebut kontrak dengan syarat tangguh jika untuk lahirnya kontrak tersebut digantungkan pada suatu peristiwa tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi, sedangkan suatu kontrak disebut kontrak dengan syarat batal jika untuk batalnya atau berakhirnya kontrak tersebut digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan belum tentu akan terjadi.

Contoh, suatu kontrak dengan syarat tangguh adalah jika seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain kalau ia lulus untuk sekolah di luar negeri. Artinya, jadi tidaknya rumah tersebut tergantung kepada lulus tidaknya

18Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 188

(11)

pemilik rumah untuk sekolah di luar negeri. Jadi kalau lulus, rumahnya jadi disewakan, sedangkan kalau tidak lulus, maka rumah tersebut tidak jadi dikontrakkan.19

Syarat batal selalu dianggap ada dalam kontrak, manakala salah satu pihak wanprestasi, namun kontrak tersebut tidak batal demi hukum, namun dimintakan pembatalan melalui pengadilan.Walaupun dinyatakan dianggap berlaku syarat batal jika terjadi wanprestasi pada salah satu pihak, namun apabila kontrak Setiap barang yang dibeli pada umumnya dicoba dulu, misalnya beli bola lampu, TV, komputer dan lain-lain selalu dianggap jual beli dengan syarat tangguh, artinya kalau barang yang dibeli tersebut berfungsi sebagaimana mestinya maka jual beli tersebut terjadi, sebaliknya kalau tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka jual beli tersebut tidak terjadi.

Contoh, suatu kontrak dengan syarat batal adalah jika seseorang menyewakan rumahnya sampai ia menikah, artinya kontrak sewa menyewa tersebut berlangsung sampai pemilik rumah tersebut menikah.

Walaupun dimungkinkan untuk membuat suatu kontrak yang lahirnya atau batalnya digantungkan pada suatu peristiwa tertentu, namun kalau peristiwa yang dimaksud adalah suatu peristiwa yang tidak mungkin terjadi/terlaksana atau bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan, atau semata-mata digantungkan pada kehendak pihak yang terikat, maka hal tersebut adalah batal dan kontrak tersebut tidak berkekuatan hukum, sebaliknya kalau syarat yang dimaksud untuk tidak melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana, maka kontrak tersebut tetap mengikat.

19Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, 2012, Jakarta; Rajawali Pers hlm. 70.

(12)

tersebut masih memungkinkan untuk dilaksanakan, maka pihak lain masih dimungkinkan untuk memilih apakah meminta tetap dilaksanakannya kontrak atau meminta pembatalan. Dalam hal ini pihak tersebut dimungkinkan untuk meminta ganti kerugian menyertai pelaksanaan atau pembatalan kontrak tersebut.20

2. Kontrak dengan ketetapan waktu

Dasar hukum kontrak ini ialah Pasal 1253 KUH Perdata, menyebutkan :

“Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantikan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.

Berbeda dengan kontrak bersyarat, kontrak dengan ketetapan waktu ini tidak menangguhkan terjadinya atau lahirnya kontrak, melainkan menangguhkan pelaksanaan kontrak.Contoh, bahwa dalam suatu kontrak para pihak menetapkan suatu waktu tertentu untuk melakukan pembayaran berarti kontraknya sudah lahir hanya pembayaran yang ditentukan pada suatu waktu yang akan datang. Dengan demikian, pihak kreditur tidak boleh menagih pembayaran tersebut sebelum waktu yang disepakati telah sampai. Akan tetapi, jika debitur membayar sebelum jangka waktu tersebut telah sampai, maka pembayaran tersebut tidak dapat ditarik kembali.

Penetapan waktu tertentu untuk melaksanakan suatu prestasi tertentu dianggap selalu dibuat untuk kepentingan debitur, kecuali kalau secara nyata jangka waktu tersebut dibuat untuk kepentingan kreditur.Penetapan jangka waktu pembayaran suatu utang memang pada umumnya kita ketahui dibuat untuk

20Ibid, hlm. 71

(13)

kepentingan debitur, tapi mungkin saja jangka waktu tersebut dibuat untuk kepentingan kreditur. Sebagaimana contoh kalau dalam kontrak tersebut ditentukan bahwa debitur wajib membayar utang tersebut pada 1 Agustus 2006 yakni tanggal yang bertetapkan dengan masa pembayaran Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) bagi kreditur.

Dasar hukum kontrak ini diatur dalam Pasal 1268 KUH Perdata, bahwa suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya.

3. Kontrak mana suka atau alternatif

Kontrak ini mungkin jarang kita temui dalam praktik, tapi hal ini dimungkinkan dalam hukum kontrak. 21

21Ibid, hlm. 72

Dalam hal terjadi kontrak mana suka ini, debitur diperkenankan untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ditentukan dalam kontrak, misalnya yang menjadi pilihan dalam kontrak tersebut adalah apakah debitur akan menyerahkan dua ekor kuda atau tiga ekor kerbau, atau tiga ekor sapi. Dengan demikian, apabila debitur menyerahkan salah satu dari tiga kemungkinan tersebut maka debitur dinyatakan telah memenuhi prestasi, namun debitur tidak boleh memaksa kreditur untuk menerima sebagian dari alternatif yang satu dan sebagian alternatif yang lain. Jadi pada contoh diatas, debitur tidak boleh memaksa kreditur untuk menerima dua ekor kerbau dan satu ekor sapi, walaupun mungkin harganya sama atau bahkan lebih mahal.

Hak untuk memilih dalam kontrak mana suka ini selalu diberikan kepada debitur kecuali kalau secara tegas hak milik tersebut diberikan kepada kreditur.

(14)

Walaupun ada pemenuhan prestasi yang dapat dipilih, jika prestasi tersebut tidak termasuk prestasi pokok, maka kontrak tersebut tidak digolongkan sebagai kontrak mana suka, demikian pula jika satu diantara dua pilihan musnah atau hilang. Sedangkan apabila semua barang yang akan dipilih untuk diserahkan tersebut musnah, maka debitur wajib mengganti kepada kreditur harga dari barang yang terakhir hilang.

Berbeda dari ketentuan diatas, apabila hak memilih ada pada kreditur, maka apabila satu diantara dua barang tersebut hilang atau musnah diluar kesalahan debitur, maka kreditur wajib menerima barang yang tersisa, sedangkan jika musnahnya atau hilangnya salah satu barang tersebut adalah atas kesalahan debitur, maka kreditur dapat memilih apakah debitur membayar harga barang yang hilang atau menerima barang yang tersisa. Sedangkan jika semuanya hilang atas kesalahan debitur, maka kreditur dapat memilih penggantian harga barang yang hilang pertama atau hilang terakhir, atau dengan kata lain kreditur diberi hak untuk memilih harga barang yang mana saja yang ia suka.22

4. Kontrak tanggung menanggung

Dasar hukum kontrak ini diatur dalam Pasal 1272 KUH Perdata menyebutkan:

“Dalam perikatan-perikatan mana suka yang berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari 2 (dua) barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa siberpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya”.

22 Ibid, hlm. 73

(15)

Kontrak ini adalah suatu kontrak dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi kontrak semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi satu orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pembayaran ini juga membebaskan semua teman-teman yang berhutang. Itulah yang dimaksudkan suatu kontrak tanggung menanggung, jadi jika orang A dan B secara tanggung menanggung berhutang Rp. 100.000,- kepada C, maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 100.000,-.

Memang dari sudut si berpiutang, perikatan semacam ini telah diciptakan untuk menjamin piutangnya, karena jika satu orang tidak suka atau tidak mampu membayar hutangnya, ia selalu dapat meminta pembayaran dari yang lainnya.

Perikatan tanggung-menanggung, lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Bagaimanapun juga, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia selalu harus diperjanjikan dengan tegas. Tetapi ada kalanya juga perikatan tanggung-menanggung itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya dalam KUH Perdata mengenai beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan dari beberapa orang. 23

23 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, 1945, Jakarta: PT Intermasa, hlm. 130

Dasar hukum kontrak ini diatur dalam Pasal 1279 KUH Perdata menyebutkan:

(16)

“Adalah terserah kepada yang berpiutang untuk memilih apakah ia akan membayar uang kepada yang 1 (satu) atau kepada yang lainnya diantara orang- orang yang berpiutang, selama ia belum digugat oleh salah satu. Meskipun demikian pembebasan yang diberikan oleh salah satu orang yang berpiutang dalam suatu perikatan tanggung-menanggung, tidak dapat membebaskan si berutang untuk selebihnya dari bagian orang yang berpiutang tersebut”.

5. Kontrak yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi

Apakah suatu kontrak dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakikatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian.

Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.

Pada asasnya jika tidak diperjanjikan lain antara pihak-pihak yang semula suatu kontrak, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian. Menurut ketentuan Pasal 1390 KUH Perdata, tidak ada seorang debitur yang dapat memaksa krediturnya menerima pembayaran utangnya sebagian meskipun utang itu dapat dibagi-bagi.24

6. Kontrak dengan penetapan hukuman

Ancaman hukuman merupakan suatu klausula kontrak yang memberikan jaminan kepada kreditur bahwa debitur akan memenuhi prestasi, dan manakala debitur tidak memenuhi prestasi tersebut, maka debitur diwajibkan melakukan

24Ibid, hlm. 131

(17)

sesuatu atau menyerahkan sesuatu.Ancaman hukuman ini boleh diubah oleh hakim manakala debitur telah memenuhi sebagian prestasinya.Ancaman hukuman ini hanya merupakan prestasi tambahan jika debitur wanprestasi. Karena sifatnya yang hanya tambahan, maka apabila kontraknya batal, maka ancaman hukumannya pun batal, sebaliknya, apabila ancaman hukumannya batal, tidak secara otomatis membatalkan kontraknya.

Pada dasarnya ancaman hukuman adalah ganti kerugian yang ditetapkan lebih dahulu oleh para pihak manakala debitur lalai memenuhi prestasinya, sehingga debitur tidak diperkenankan menuntut prestasi pokok bersama-sama dengan ancaman hukuman itu sekedar dijatuhkan terhadap keterlambatan pemenuhan prestasi.25

Selain dari jenis kontrak dan perjanjian tersebut, perjanjian juga dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, suatu perjanjian memiliki beberapa jenis, diantaranya adalah :

Dasar hukum kontrak ini terdapat dalam Pasal 1304 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :

“Ancaman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”.

Sedangkan penetapan hukuman menurut Pasal 1307 KUH Perdata adalah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi.

26

a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

25 Ahmadi Miru, Op.Cit, Hlm. 78

26Titik Triwulan Tutik,Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, 2008, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, hlm. 230

(18)

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik antara lain, perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar dan perjanjian sewa menyewa.

Dimana dalam perjanjian tersebut pihak ke satu berjanji akan menyerahkan suatu barang dan pihak kedua akan membayar harga yang telah disetujui.

b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian percuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, pada perjanjian ini hanya memberikan keutungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.

Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi pada pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontrak prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, ataupun pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan).

Misalnya X menyanggupi memberikan kepada Y sejumlah uang, jika Y menyerah lepaskan suatu barang tertentu kepada X.27

c. Perjanjian bernama dan tidak bernama

Perjanjian bernama termasuk dalam perjanjian khusus, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentukan undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Misalnya, jual beli, sewa menyewa, dan lainnya.

27Ibid, hlm. 231

(19)

Perjanjian bernama jumlahnya terbatas dan diatur dalam Bab V sampai Bab XVIII KUH Perdata.

Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan lainnya. Perjanjian tidak bernama tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi lahirnya di dalam masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi.

d. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.28

e. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Artinya, sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak.

Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang.

Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai penyesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH

28Ibid, hlm. 232

(20)

Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata).

Perjanjian riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya. Misalnya, jual beli barang bergerak (Pasal 1754 KUH Perdata), perjanjian penitipan (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata), dan lain-lain. Perbedaan antara perjanjian konsensual dan riil ini adalah sisa dari hukum Romawi yang untuk perjanjian-perjanjian tertentu diambil alih oleh Hukum Perdata.

f. Perjanjian publik

Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya adalah swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan atasan dan bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama, misalnya perjanjian ikatan dinas.29

g. Perjanjian campuran

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai paham. Pertama, bahwa ketentuan ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada. Kedua, ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan.

29Ibid, hlm. 233

(21)

Selain perjanjian-perjanjian yang telah disebutkan diatas, dalam hukum perdata dikenal juga beberapa perjanjian lain, misalnya : perjanjian liberator, yaitu suatu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya pembebasan utang (Pasal 1438 KUH Perdata). Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka, dan perjanjian untung-untungan, yaitu perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 KUH Perdata).

Berdasarkan hukum perikatan bentuk perjanjian dapat juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu; perjanjian tak tertulis /lisan, yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak),dan kedua, perjanjian tertulis, yaitu suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Meliputi : (1) perjanjian di bawah tangan, yaitu perjanjian yang hanya ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. (2) perjanjian dengan saksi notaris, yaitu perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan dan dilegalisasi oleh notaries, dan yang ke (3) perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris, yaitu perjanjian dalam bentuk akta notaris. 30

1) Asas kebebasan berkontrak

Asas-asas hukum perjanjian dalam KUH Perdata memberlakukan beberapa asas terhadap hukum perjanjian, yaitu asas-asas sebagai berikut :

Asas kebebasan berkontrak ini mengajarkan bahwa ketika hendak membuat kontrak/perjanjian, para pihak secara hukum berada keadaan bebas untuk menentukan hal-hal apa saja yang mereka ingin uraikan dalam kontrak atau

30Ibid, hlm. 234

(22)

perjanjian tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi, sekali mereka sudah membuat/menandatangani kontrak atau perjanjian tersebut, maka para pihak sudah terikat (tidak lagi bebas) kepada apa-apa saja yang telah mereka sebutkan dalam kontrak atau perjanjian tersebut.”31

2) Asas hukum perjanjian sebagai hukum yang bersifat mengatur

Yang dimaksud dengan asas ini adalah bahwa pada prinsipnya (dengan berbagai pengecualian), hukum perjanjian tersebut sebagaimana yang diatur dalam undang-undang baru berlaku mana kala dan sepanjang para pihak dalam perjanjian tersebut tidak mengaturnya sendiri secara lain dari apa yang diatur dalam undang-undang. Jika para pihak dalam perjanjian tersebut ternyata mengatur nya secara lain dalam perjanjian yang berbeda dari yang diatur dalam undang-undang, maka yang berlaku adalah ketentuan yang dibuat sendiri oleh para pihak dalam perjanjian tersebut, bukan ketentuan dalam undang-undang.32 3) Asas pacta sunt servanda

Setiap orang yang membuat perjanian, maka dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut, karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi, dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Dengan demikian apabila dicermati, maka asas

31Munir Fuady, Op.Cit. hlm. 181

32Ibid, hlm. 182

(23)

mengikatnya perjanjian dapat dilihat dari kalimat “berlaku sebagai undang- undang” bagi mereka yang membuatnya.33

4) Asas konsensual dari suatu perjanjian

Asas ini berarti bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perjanjian..34

5) Asas iktikad baik

.

Berdasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Artinya bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat secara lisan maupun dituangkan secara tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti.

Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 (3) KUH Perdata yang berbunyi: “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh dan kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang

33Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 11

34 TutikTriwulan Titik, Op.Cit. hlm. 227

(24)

objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.35

6) Asas kepribadian (personalitas)

Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan danatau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.

Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi:

“pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”

Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingannya dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi:

“perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”.

Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.36

C. Prestasi Dan Wanprestasi Dalam Perjanjian

Yang dimaksud dengan prestasi dari suatu perjanjian merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu kontrak. Prestasi tersebut dapat berupa :

1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu 3. Tidak berbuat sesuatu

35Salim H.S, Op.Cit. hlm. 10

36Ibid,. hlm. 12

(25)

Memberikan sesuatu dapat berupa menyerahkan sesuatu kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual beli, sewa- menyewa, hibah. Benda yang dimaksud diatas tentu saja adalah benda dalam perdagangan, karena benda yang di luar perdagangan, tentu tidak dapat diserahkan.37

Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini terdapat perbedaan karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda. Sebagai contoh suatu kontrak dengan prestasi yang berupa tenaga adalah kalau seorang yang disuruh memindahkan tumpukkan pasir dari pinggir jalan

Prestasi yang berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya.

Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya saja, sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihak-pihak yang “menjual” tenaga atau keahliannya.

Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut sebagaimana dia merawat barangnya sendiri atau yang sering diistilahkan dengan “sebagai bapak rumah yang baik”. Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi, apalagi kalau ia lalai menyerahkannya.

37Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 86

(26)

kedalam pekarangan seseorang, siapapun yang mengangkat pasir tersebut akan berada di pekarangan sesuai harapan orang yang menyuruh.

Sedangkan contoh suatu kontrak yang prestasinya berupa keahlian, adalah kalu seorang yang mneyuruh pelukis untuk melukis wajahnya, si pelukis tidak begitu saja dapat menyuruh orang lain untuk melukis wajah orang tersebut, karena kemungkinan orang yang disuruh menggantikannya tidak memiliki keahlian yang sama sehingga kalau pelukis tersebut diganti, maka kemungkinan lukisan wajah tersebut tidak sama bahkan mungkin tidak mirip dengan wajah aslinya.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUH Perdata yang berisi tentang masalah prestasi, pasal ini menyebutkan bahwa :

“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”

Jenis-jenis prestasi tersebut dapat dilakukan dengan cara :

1) Prtestasi yang berupa barang, cara melaksanakannya adalah menyerahkan sesuatu (barang)

2) Prestasi yang berupa jasa, cara melaksanakannya adalah dengan cara berbuat sesuatu

3) Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu, cara pelaksanaannya adalah dengan bersikap pasif, yaitu tidak berbuat sesuatu yang dilarang dalam perjanjian. 38

Sedangkan wanprestasi adalah kenyataan sebaliknya dari prestasi.

Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak disengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena

38Ibid,hlm. 89

(27)

terpaksa untuk tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa : (a) Sama sekali tidak memenuhi prestasi

(b) Prestasi yang dilakukan tidak sempurna (c) Terlambat memenuhi prestasi

(d) Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan

Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang, maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan.

Oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, maka pihak yang wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan :

(1) Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti kerugian) (2) Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti kerugian)

Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun jika dua kemungkinan pokok tersebut diuraikian lebih lanjut, maka kemungkinan tersebut dapat dibagi menjadi empat yaitu:

1.1 Pembatalan kontrak saja

1.2 Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti kerugian 1.3 Pemenuhan kontrak saja

1.4 Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti kerugian

Pembagian atas empat kemungkinan tuntutan tersebut diatas sekaligus merupakan pernyataan ketidak setujuan penulis atas pendapat yang membagi atas lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih menambahkan satu

(28)

kemungkinanlagi, yaitu “penuntutan ganti kerugian saja”, karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti kerugian saja yang lepas dari kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak, karena dibatalkan atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi para pihak, dan tidak ada pilihan lain, sehingga tidak mungkin ada tuntutan ganti kerugian yang berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi.

Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan dipengadilan, maka pihak yang wanprestasi tersebut juga dibebani biaya perkara.39

D. Pembelaan Debitur Yang Wanprestasi

Pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk wanprestasi tersebut. Tangkisan atau pembelaan tersebut dapat berupa :

1. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena keadaan terpaksa (overmacht atau force majeure)40

Istilah force majeure dalam perjanjian ini sering juga disebut dengan istilah, overmacht, keadaan memaksa, keadaan darurat, keadaan di luar kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan force majeure dalam hukum perjanjian adalah suatu keadaan dimana seseorang yang berkewajiban (debitur) terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga dan tidak dapat diantisipasi pada saat dibuatnya perjanjian yang

39Ibid, hlm. 96

40Ibid, hlm. 97.

(29)

menerbitkan kewajiban tersebut, dan keadaan atau peristiwa tersebut secara hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur yang bersangkutan, sedangkan debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Jadi, karena keadaan atau peristiwa yang menimbulkan keadaan memaksa tersebut tidak terduga sebelumnya, maka keadaan atau peristiwa tersebut tidak termasuk kedalam “asumsi dasar” ketika dibuatnya perjanjian yang bersangkutan. Lihat Pasal 1244 juncto Pasal 1245 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut : Pasal 12 44 KUH Perdata :

“Jika ada alasan untuk itu, debitur harus dihukum mengenai biaya, rugi dan bunga apabila dia tidak dapat membuktikan bahwa hal atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tidak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada padanya”.

Pasal 1245 KUH Perdata :

“Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa, atau karena suatu kejadian tidak disengaja debitur berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan hal-hal yang terlarang”.

Adapun yang merupakan syarat dan akibat yang harus dipenuhi agar suatu kejadian oleh hukum dapat dianggap sebagai force majeure, sehingga membebaskan debitur untuk melaksanakan kewajiban yang telah sebelumnya diperjanjikan, adalah sebagai berikut :

a. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah tidak terduga pada waktu dibuatnya perjanjian yang bersangkutan (Pasal 1244 KUH Perdata)

b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertaanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (debitur) (Pasal 1244 KUH Perdata)

(30)

c. Peristiwa tersebut diluar kesalahan pihak debitur (Pasal 1545 KUH Perdata) d. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan karena

kesalahan debitur (Pasal 1245 KUH Perdata juncto Pasal 1545 KUH Perdata) e. Debitur tidak dalam keadaan beriktikad buruk (Pasal 1244 KUH Perdata) f. Jika terjadi force majeure, perjanjian menjadi gugur, dan sedapat mungkin

para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah ada perjanjian (Pasal 1545 KUH Perdata)41

Keadaan terpaksa ini dapat terbagi dua yaitu, keadaan terpaksa yang bersifat mutlak dan keadaan terpaksa bersifat relatif.

Keadaan terpaksa bersifat yang mutlak kalau memang tidak ada kemungkinan lagi untuk memenuhi prestasi dalam kontrak tersebut, misalnya objek perjanjiannya musnah dan objek perjanjian tersebut tidak dapat diganti dengan objek perjanjian lainnya, misalnya seorang yang ingin membeli kuda pacu, dan kuda pacu yang dimaksud mati, maka hal ini berarti bahwa penjual tidak mungkin memenuhi prestasi karena keadaan terpaksa yang bersifat mutlak.

Berbeda dengan keadaan terpaksa yang bersifat relatif, yang sebenarnya masih ada kemungkinan untuk memenuhi prestasi dalam kontrak tersebut, tapi karena suatu keadaan, menyebabkan penyerahan tersebut terhambat, misalnya barang yang seharusnya yang diangkut melalui angkutan darat, tapi jalan satu- satunya yang dapat dilalui untuk mengantar barang tersebut tertutup karena terjadi tanah longsor yang menutupi jalan, sehingga prestasi itu sebenarnya masih bisa dipenuhi jika jalan tersebut sudah tidak tertutup tanah longsor lagi.

41Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 215

(31)

2. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exeptio non adimpleti contractus)

Pembelaan yang berupa tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) oleh debitur yang terjadi karena pihak lain atau kreditur juga wanprestasi (exceptio non adimpleti contractus) dapat digunakan bilamana kreditur juga belum memenuhi

apa yang dijanjikan atau belum memenuhi sepenuhnya tentang apa yang dijanjikan. Sebagai contoh, jika si A menjual mobil kepada si B dengan harga Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah), tapi si B baru membayar Rp 90.000.000,00 (sembilan puluh juta rupiah). Ketika si A menagih si B sisa harga mobil tersebut sebesar 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka si B dapat melakukan tangkisan bahwa dia tidak membayar lunas harga mobil itu karena si A juga belum menyerahkan BPKB mobil tersebut. Jadi kalau si A mau dibayar sisa harga mobil itu maka ia harus menyerahkan BPKB mobil tersebut kepada B.

3. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas pemenuhan prestasi

Pembelaan debitur yang berupa pelepasan hak dapat diajukan jika si kreditur sendiri telah melepaskan haknya untuk menuntut kepada si debitur.

Sebagai contoh jika si kreditur telah membebaskan utang si debitur, misalnya berupa pengembalian surat utang kepada debitur yang berarti pembebasan utang, atau contoh lain jika si B membeli beras dari si A tapi beras yang dikirim oleh si A mutunya lebih rendah daripada beras yang biasanya dikirim, namun si B masih memesan beras yang sama lagi tanpa mengajukan protes terhadap kualitas beras yang dikirim sebelumnya (mutunya rendah) sehingga si B dianggap telah

(32)

melepaskan haknya untuk menuntut rendahnya kualitas beras yang diterima sebelumnya oleh si A tersebut.42

E. Pengertian Perlindungan Konsumen dan Konsumen

Para konsumen merupakan golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha. Karena itu, diperlukan seperangkat aturan hukum untuk melindungi konsumen. Yang dimaksud dengan konsumen adalah “pengguna akhir” (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.43

Sementara itu yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

44

42Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 98

43Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern Di Era Global, 2005, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 227

44 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pasal 1 angka 2

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu

(33)

produk lainnya. Dalam undang-undang ini yang dimaksud adalah konsumen akhir (penjelasan pasal 1 angka 2).45

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hokum (NKRI) Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi (penjelasan Pasal 1 angka 3).46

F. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama dengan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat

Asas manfaat adalah segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan

Asas keadilan yang dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan

45Rahayu Hartini,Hukum Komersial, 2010, Malang: UMM Press hlm. 169

46 Munir Fuady, Op.Cit, hlm, 228

(34)

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.47

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

Selain dari asas diatas, perlindungan konsumen juga memiliki tujuan.

Tujuan adanya peraturan terkait perlindungan untuk konsumen sebagai upaya untuk menjamin keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah, sehingga tidak hanya konsumen yang dilindungi tetapi juga untuk kepentingan pelaku usaha. Sesuai dengan Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen. beberapa tujuan perlindungan konsumen tersebut ialah :

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakain barang dan atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

47 Putri Wika Harisa dan Danang Sunyoto, Hukum Bisnis, 2016, Pustaka Yustisia hlm.

205

(35)

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. :48

Untuk mewujudkan tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen (Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen), dalam hal ini Menetri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang perdagangan dan/atau Mentri teknis terkait lainnya (Pasal 29 ayat (2) jo Pasal 1 butir 13 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Pembinaan penyelenggaraannya dilakukan melalui upaya-upaya (Pasal 29 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) sebagai berikut :

1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.

2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

3. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.49

G. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

48Ibid. hlm. 206

49Shofie Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen Dan Tindak Pidana Korporasi, 2002, Jakarta:

Ghalia Indonesia, hlm. 31

(36)

Hukummempunyai tugas untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat, dan pemerintah. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional pada era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting kesejahteraan rakyat, dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Selanjutnya, upaya menjaga harkat dan martabat konsumen perlu didukung peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur hak- hak dari konsumen. Hak-hak konsumen tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa.

2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

(37)

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang ditentukan dalam perundang-undangan lain.50

Selain hak, konsumen juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Kewajiban tersebut berupa :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikat upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Mengenai hak pelaku usaha juga diatur oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang terdapat didalam pasal 6. Adapun hak pelaku usaha sebagai berikut :

1. Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan dari sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

5. Hak-hak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan lain.51

50Dhaniswara K. Harjomo,Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Masyarakat, 2006, Jakarta:

Grafindo Persada, hlm. 72

(38)

Sedangkan mengenai kewajiban pelaku usaha juga diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut :

1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.

5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mmencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Perumusan kewajiban produsen (pelaku usaha) sesuai Pasal 7 butir a Undang- undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diwajibkan untuk beriktikad baik dalam aktivitas produksinya. Rumusan tersebut mengandung suatu keharusan atau kewajiban yang suka atau tidak suka harus dilaksanakan.

Selanjutnya sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen, jika suatu produk merugikan konsumen, produsen bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kewajiban itu melekat pada produsen. Meskipun antara pelaku dan korban tidak terdapat persetujuan

51Ibid.hlm. 74

(39)

sebelumnya. Sebagai contoh, ketika penjual es krim berkewajiban untuk bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami korban yang menikmati es krim tersebut jika es krim tersebut mengandung bakteri penyakit. Dalam hal ini penjual es krim berkewajiban menanggung penderitaan korban karena perbuatan melawan hukum sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa pelaku usaha dapat dibebaskan dari tanggung jawab (Pasal 27 Undang-undang Perlindungan Konsumen) apabila : 1. Sesuatu barang seharusnya tidak untuk diedarkan.

2. Barang mengalami cacat di kemudian hari.

3. Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.

4. Kelalaian yang berasal dari konsumen.

5. Setelah terjadinya masa kedaluwarsa penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau diperjanjikan.52

52Ibid. hlm. 75

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh profil penyelesaian soal pembagian pecahan siswa kelas VII SMPN Model Terpadu Madani Palu yaitu sebagai

 Dari hasil utama (terpenting) ke yang kurang penting (konsisten dengan tujuan penelitian). ▹ Pastikan setiap gambar dan

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: IDENTIFIKASI KESULITAN SISWA

Sedangkan kepemilikan institusional yang pressure-sensitive adalah kepemi- likan saham oleh institusi yang seringkali memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan sehingga mereka

Pelanggan juga dapat melihat langsung informasi-informasi terkini mengenai perusahaan, informasi lengkap mengenai produk-produk yang dijual oleh Boston Health and Beauty,

Nilai probabilitas dalam penelitian ini lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa variabel independen (kinerja laba tahun sebelumnya, kualitas audit, komite audit,

Mengingat penelitian tentang pengaruh jumlah dan diameter baut pada sambungan yang menggunakan pelat baja pada kayu sengon ( Paraserianthes falcataria ), bintangur

Memenuhi Berdasarkan hasil hasi verifikasi terhadap dokumen Bill of Lading dari kegiatan penjualan ekspor Produk Jadi oleh PT Dharma Putra Kalimantan Sejati selama 12 (dua