• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGABUNGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM KASUS HUKUM DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGGABUNGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM KASUS HUKUM DI INDONESIA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

23 PENGGABUNGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM KASUS HUKUM DI INDONESIA

Afnan Wildana Basith

Program Studi Hukum Pidana Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Corresponding Author : Afnan Wildana Basith

Abstract: This research is a normative, analytical descriptive research that describes and analyzes a phenomenon related to the Combined Corruption Cases and Money Laundering Crimes (Study of Supreme Court Decision No. 1294 K/PID.SUS/2015). Legislative institutions should make changes to the money laundering law related to the issue of combining predicate crimes with money laundering crimes specifically in the explanation, not only by including a "sufficiently clear" clause. As a result of this, it will create multiple interpretations because the combination of cases of corruption and money laundering where the combination of cases is classified as a realist concursus can also be interpreted as an idealistic concursus, which is an act even though it is more than a legal formulation of a criminal act. . It should be clear in the explanation of the reasons for combining predicate crimes with money laundering as a realist concursus. In the process of proving that money laundering is linked to a predicate crime (corruption) must contain a clear article clause so that there is no need for interpretation regarding the evidence that must be carried out.

Judges and prosecutors should be more careful in conducting trial examinations and evidence because in the Supreme Court's decision no. 1294 K/PID.SUS/2015 which contains charges related to money laundering, no examination or proof has been carried out at all.

Keywords: Corruption, Money Laundering and Evidence

Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dan bersifat deskriptif analitis yang memaparkan sekaligus menganalisis suatu fenomena yang berhubungan dengan Gabungan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015).

Hendaknya lembaga legislatif melakukan perubahan undang-undang pencucian uang terkait persoalan pengabungan tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang secara khusus dalam penjelasan jangan hanya mencantukan klausula ”cukup jelas” saja. Akibat hal tersebut, akan membuat multi tafsir karena gabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dimana gabungan perkaranya tergolong concursus realis juga bisa ditafsirkan sebagai concursus idealis ialah suatu perbuatan yang meskipun yang dalam lebih dari suatu perumusan perbuatan pidana secara yuridis dipandang sebagai suatu perbuatan. Seharusnya harus jelas dalam penjelasan alasan-alasan penggabungan tindak pidana asal dengan pencucian uang sebagai concursus realis. Hendaknya dalam proses pembuktian tindak pidana pencucian uang dikaitkan dengan tindak pidana asal (tindak pidana korupsi) harus memuat klausula pasal yang jelas sehingga tidak perlu lagi dilakukan penafsiran terkait pembuktian yang harus dilakukan.

Hendaknya hakim dan jaksa dalam lebih cermat dalam melakukan pemeriksaan persidangan maupun pembuktian karena dalam putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 yang termuat dakwaan terkait pencucian uang sama sekali tidak dilakukan pemeriksaan atau pembuktian.

Kata Kunci: Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembuktian

A. PENDAHULUAN

Pada proses penanganan atau penyelenggaraan penegakan hukum puncak atau akhir terjadi pada peoses persidangan pengadilan. Artinya, subjek hukum yang diduga melanggar hukum atau telah memang terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek hukum maka sanksi terhadapnya hanya didapat melalui putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim.

Hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap subjek hukum/orang yang melakukan pelanggaran hukum harus didasarkan oleh kemandirian. Kemandirian seorang hakim

(2)

24 sangat berkaitan erat dengan independensi. Artinya, seorang hakim harus bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan lainnya (legislatif maupun yudikatif), kebebasan dari paksaan dan rekomendasi yang datang dari pihak- pihak ekstra yudisiil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan undang-undang.

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi: “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”.

Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandirian atau kemerdekaan dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman, hal ini mencakup 3 (tiga) hal, yaitu: bebas dari campur tangan kekuasaan apapun, bersih dan berintegritas serta profesional. Eman Suparman, Kitab Undang- Undang Peradilan Umum, (Bandung: Fokus Media, 2004).

Proses penjatuhan putusan hakim sebagai wujud penegakan hukum puncak harus sesuai dengan tujuan hukum, baik kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Walaupun, tidak mungkin setiap pihak akan terpuaskan dengan putusan hakim, minimal masyarakat pada umumnya mampu menerima putusan hakim. Salah satu cerminan kegagalan penegakan hukum oleh hakim ialah menjatuhkan hukuman rendah kepada pelaku kejatahan yang tergolong sebagai extra ordinary crime/ kejahatan luar biasa.

Salah satu golongan dari kejahatan yang luar biasa ialah tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi tidak hanya akan merugikan negara akan tetapi secara langsung juga merugikan masyarakat karena disebabkan sebagian sumber dari keuangan negara berasal dari masyarakat (pajak, retribusi dan lain sebagainya) sehingga sangat pantas pelaku tindak pidana korupsi dihukum maksimal sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.3 Pelaku tindak pidana korupsi melakukan perbuatan tersebut secara umum disebabkan oleh : Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi masyarakat, politik bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas karena semakin lama tindak pidana inisudah menjadi budaya dan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Tingginya konsumsi dan rendahnya gaji. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat konsumtif dan tidak sedikit yang sering belanja ke luar negeri sementara gaji pegawai rata-rata di Indonesia hanya cukup untuk 2 (dua) minggu. Nasib 2 (dua) minggu berikutnya bergantung pada kreativitas masing-masing yang salah satunya dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),

Pengawasan pembangunan yang tidak efektif karena pengawasan pembangunan yang lemah, terbuka peluang seluas-luasnya untuk melakukan penyalahgunaan, seperti mark up dan lain sebagainya.

Sikap serakah, Penyebab terjadinya tindak pidana korupsi di atas ialah kekurangan finansial atau uang atau serakah akan uang sehingga menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Akibat seseorang korupsi negara mengalami kerugian dan pelaku menjadi memiliki penghasilan yang berlipat ganda bahkan cenderung sampai memiliki aset berlebihan.

Keberadaan korupsi sebagai tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang menunjukkan luar biasanya korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Dalam sebuah putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 tentang tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, terpidana yang bernama Mohammad Bahalwan dijatuhi

(3)

25 hukuman penjara atas tindak pidana korupsi, yakni pidana Penjara selama 14 (empat belas) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar).

Tidak hanya tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa akan tetapi tindak pidana pencucian uang juga merupakan tindak pidana yang luar biasa juga.

Hal tersebut sesuai dengan sebuah pernyataan, yaitu: ”This type of case may involve a professional money launderer who is taking on the undercover agents as another client or some businessperson who thinks he or she is handling dirty money and profiting from it (kasus semacam ini mungkin melibatkan pencuci uang profesional yang mengambil dari agen yang menyamar sebagai klien lain atau beberapa orang bisnis yang berpikir dia menangani uang kotor dan keuntungan dari itu)”.

Penjatuhan sanksi tersebut karena terpidana terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi:

”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Merujuk pada dakwaan jaksa penuntut umum, sebenarnya terpidana juga pada dakwaan kedua jaksa diduga terlibat dalam tindak pidana pencucian uang dimana dalam dakwaan tersebut disebut melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.7 Namun, dalam putusan hakim baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung menyatakan terdakwa tidak terbukti akan dakwaan kedua jaksa

Dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang sangat mungkin dilakukan karena dalam pengaturan kedua peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana tersebut terdapat asas pembuktian terbalik dan pembuktian biasa dimana hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 37 A Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi dan Pasal 77 sampai Pasal 82 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Jika melihat pada keadaan kasus tersebut maka proses pemeriksaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang merupakan wujud dari perbarengan tindak pidana atau gabungan melakukan tindak pidana.

Hakim hanya menjatuhkan tindak pidana korupsi saja kepada terpidana Mohammad Bahalwan disebabkan karena memang menurut hakim tidak ada bukti yang cukup mengarah ke tindak pidana pencucian uang. Bukti yang cukup disini dimaksud minimal 2 (dua) jenis alat bukti yang sah sejenis, misalnya keterangan saksi maupun dengan 2 (dua) jenis alat bukti yang sah tidak sejenis, misalnya 1 (satu) keterangan saksi dan 1 (satu) surat.

B. METODE PENELITIAN

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian mengenai

“Penggabungan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penelitian hokum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang bertujuan agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek

(4)

26 penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penelitian hukum normatif merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai suatu sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi prespektif tentang suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu, apakah sesuatu penstiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaliknya peristiwa itu menurut hukum.37 Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Aprroach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Aprroach) adalah penelaahan semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani38, yaitu “Pembuktian Gabungan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang”.

Penelitian hukum normatif data yang digunakan adalah data sekunder yang dapat diperoleh dari studi kepustakaan, maka di dalam penelitian hukum normatif yang termasuk data sekunder, yaitu: Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang- undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer. Bahan hukum Tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kepustakaan (library research). Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan data- data melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan ini.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Posisi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 1. Duduk Perkara

Terdakwa Mohammad Bahalwan selaku Direktur Utama PT. Mapna Indonesia, Managing Director PT Mapna Indonesia dan Direktur Utama PT. Nigco Mitra bersama- sama dengan saksi Chris Leo Manggala selaku Pelaksana Tugas (Plt) General Manager PT PLN (Persero) Pembangkitan Sumatera Bagian Utara selanjutnya disebut KITSBU, saksi Surya Dharma Sinaga selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa, saksi Muhammad Ali selaku Manager Produksi PT PLN (Persero) Sumatera Bagian Utara sebagai Direksi Pekerjaan dan sebagai PLH. General Manager, saksi Rodi Cahyawan selaku Manager PT PLN (Persero) Sumatera Bagian Utara Sektor Belawan sebagai Direksi Lapangan, saksi Supra Dekanto selaku Direktur Utama PT. Nusantara Turbin dan Propulsi (PT. NTP), pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan lagi dengan pasti sejak bulan Januari 2012 sampai dengan Desember 2013 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, bertempat di Kantor PT PLN (Persero) KITSBU Jl. Brigjen Katamso KM. 5,5 No. 20 Medan atau pada suatu tempat berdasarkan Pasal 5 Undang- Undang No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 3 angka 1 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 022/KMA/SK/II/2011 tanggal 7 Februari 2011 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, sebagai orang yang melakukan, atau turut serta melakukan, secara melawan hukum

(5)

27 melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagai berikut:

Hasil perhitungan keuangan negara yang dibuat oleh Ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) (bagian Investigasi) sebagaimana tertuang dalam Surat No. SR-199/D6/02/2014 tanggal 5 Maret 2014 perihal: Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa Life time Extention (LTE) Gas Tubine (GT) 2.1 dan GT 2.2 PLTGU Blok 2 Belawan 2012, akibat dari perbuatan Terdakwa Mohammad Bahalwan bersama-sama dengan Chris Leo Manggala, Supra Dekanto, Surya Dharma Sinaga, Muhammad Ali, Rodi Cahyawan dimana Negara telah mengalami erugian keuangan negara cq. PT. PLN (Persero) sebesar Rp. 2.344.777.441.537,00 (dua trilyun tiga ratus empat puluh empat milyar tujuh ratus tujuh puluh tujuh juta empat ratus empat puluh satu ribu lima ratus tiga puluh tujuh rupiah).

2. Dakwaan

Surat dakwan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 berbentuk kumulasi atau multiple111 yang diajukan kepada terdakwa Mohammad Bahalwan. Surat dakwaan, Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada yang disimpulkan dan ditarik dari hasl pemeriksaan penyidikan dan merupakan yang berbentuk kumulasi atau multiple tersebut terdiri atas beberapa dakwaan, yaitu:

a. Dakwaan pertama terdiri atas:

1) Dakwaan primer dimana Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

2) Dakwaan subsidiar dimana Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan

3.Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No.

1294 K/PID.SUS/2015, yaitu:

a. Menyatakan Terdakwa Mohammad Bahalwan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama, sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang- Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dan bersalah melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dalam dakwaan Kedua melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Muhammad Bahalwan berupa pidana penjara selama 10 (Sepuluh) tahun, dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan.

c. Membebankan Terdakwa Muhammad Bahalwan membayar Denda sebesar Rp.

1.500.000.000,00 (Satu Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) Subsidair 8 (delapan) bulan Kurungan.

(6)

28 d. Menetapkan Uang Pengganti sebesar Rp. 2.344.777.441.537,00,- (Dua Trilyun Tiga Ratus Empat Puluh Empat Milyar Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tujuh Juta Empat Ratus Empat Puluh Satu Ribu Lima Ratus Tiga Puluh Tujuh Rupiah) dan apabila paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana dengan pidana penjara selama 5 (Lima) Tahun.

Analisa Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dikaitkan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015

Konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana.

Surat dakwaan yang diajukan Penuntut Umum terhadap terdakwa pada putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 disusun secara kumulasi. Artinya, surat dakwaan yang disusun secara kumulasi adalah surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran atau gabungan dari beberapa dakwaan sekaligus. Melihat rumusan dakwaan Jaksa penuntut umum yang mendakwa terdakwa dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dimana kedua tindak pidana tersebut merupakan independent crime serta dapat dilakukan penuntutan atau didakwa secara bersamaan sudah seharusnya surat dakwaannya secara lebih spesifik dapat dsebut surat dakwaan kumulasi dalam concursus realis. Dakwaan yang diuraikan Jaksa Penuntut Umum cenderung perbarengan yang hukuman pokoknya sejenis maka dengan demikian sudah selayaknya jika penuntutan jika terbukti kedua tindak pidana tersebut maka sudah selayaknya penjatuhan hukuman.

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No:

47/Pid.Sus.K/2014/PN-Mdn, yakni Menyatakan Terdakwa Muhammad Bahalwan tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Primair dan Kedua; Membebaskan Terdakwa Muhammad Bahalwan dari Dakwaan Kesatu Primair dan Kedua tersebut diatas; Menyatakan Terdakwa Muhammad Bahalwan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Subsidair; Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sejumlah Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah.) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan, selanjutnya dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.

48/Pid.Sus- TPK/2014/PT-MDN terjadi peningkatan hukuman, yakni Menyatakan terdakwa Mohammad Bahalwan, tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Pertama Primair; Menyatakan terdakwa Mohammad Bahalwan, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama- sama; Menjatuhkan pidana terhadap Mohammad Bahalwan, dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dan membayar uang denda sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar

(7)

29 rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 6 ( enam ) bulan.

Begitu juga Putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 telah menjatuhkan putusan yang menyatakan bersalah Mohammad Bahalwan melakukan korupsi secara bersama-sama hanya yang berbeda penjatuhan hukuman penjara dan dendanya (baik denda dan hukuman penjara meningkat).

Dakwaan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 yang mengandung dakwaan tindak pidana pencucian uang tidak ada dibuktikan pencucian uang hanya tindak pidana korupsi yang dibuktikan. Dengan dimasukkannya dakwaan pencucian uang pada Putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 terdapat indikasi terdakwa tidak hanya diduga melakukan tindak pidana korupsi akan tetapi juga melakukan tindak pidana pencucian uang. Dasar Jaksa Penuntut Umum mendakwa dalam surat dakwaannya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang tentu didasari dengan hasil penyidikan dari penyidik. Penyidik telah menemukan bukti permulaan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 75 Undang Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, berbunyi:

”Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK”.

Bukti permulaan yang dimaksud terlebih dahulu mengacu pada Pasal 17 KUHAP yang mana seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Makna ”bukti permulaan” cukup tidak menjadikan penyidik mengartikannya secara sewenang-wenang. Dalam KUHAP memang tidak memuat penjelasan bukti permulaan cukup namun dapat mengacu kepada pendapat para ahli atau mengacu pada Pasal 183 KUHAP yang mengamanatkan tindak pidana hanya dapat dibuktikan dengan minimal 2 (dua) alat bukti

D. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan terhadap ketiga permasalahan dalam penelitian ini, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Kajian hukum terhadap gabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dimana gabungan perkaranya tergolong concursus realis yang sejenis diatur dalam Pasal 65 KUHP, dapat diartikan perbarengan (gabungan) beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan masing- masing perbuatan itu telah memenuhi rumusan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pidana. Dengan demikian, konsep dari tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi (tindak pidana asal) juga serupa dengan konsep tindak pidana penadahan, yakni tidak perlu membuktikan terlebih dahulu, menuntut dan menghukum orang yang mencuri sebelum menghukum orang yang menadah.

2. Sistem pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang dikaitkan dengan tindak pidana korupsi ialah undang-undang tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang mengatur pembuktian terbalik hanya dilakukan terhadap kepemilikan aset yang dicurigai berasal dari tindak pidana. Sementara, unsur kesalahan yang lainnya tetap harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum.

3. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan pelaku tindak pidana korupsi yang dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang pada putusan Mahkamah Agung No. 1294 K/PID.SUS/2015 dimana Proses pembuktian maupun pertimbangan hakim secara keseluruhan berada di ruang tindak pidana korupsi tidak menyinggung sedikitpun mengenai tindak pidana pencucian uang. Posisi demikian jelas sangat merugikan hakim

(8)

30 maupun jaksa. Hal itu disebabkan karena hakim dalam hukum acara pidana bersifat aktif dalam mencari materil yang didasarkan atas Pasal 183 KUHAP maka sistem pembuktian pidana Indonesia ialah negatief wettelijk (jaksa juga berperan aktif dalam pembuktian tindak pidana karena beban pembuktian berada ditangan jaksa).

Daftar Pustaka

 Anonim, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

 Badan Narkotika Nasional, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2011.

 Chazawi, Adami, Pengantar Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: Grafindo, 2002. Djaja, Ermasjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Eddyono, Supriyadi Widodo & Yonatan Iskandar Chandra, Mengurai Implementasi Dan Tantangan Anti Pencucian Uang Di Indonesia, Jakarta: Institute For Criminal Justice Reform, 2015.

 Damanik, S. E. (2019). Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Kawasan Hutan.

Uwais Inspirasi Indonesia.

 Damanik, S. E. (2020). Agricultural Ecology of Irrigation Systems and Sustainable Development in Simalungun region, Indonesia. Utopía y praxis latinoamericana:

revista internacional de filosofía iberoamericana y teoría social, (1), 272-281.

 Damanik, S. E. (2020). Peran Penyuluh Kehutanan Dalam Menunjang Keberhasilan Pembangunan Kehutanan. Akar (Aspirasi Karya Anak Rimba: Jurnal Ilmiah Hutan &

Kehutanan), 9(1).

 Fahrojih, Ihwan, Hukum Acara Pidana Korupsi, Malang : Setara Press 2016. Farid, A.

Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

 Fuady, Munir, Teori Hukum Pebuktian Pidana Dan Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

 Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996.

 Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahn Dan Penerapan KUHAP : Penyidikan Dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

 Hiariej, Eddy O.S., Teori & Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga, 2012.

 Ibrahim, Jhonny, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publishing, 2012.

 Ilyas, Amir et.al, Asas-Asas Hukum Pidana II, Yogyakarta: Mahakarya Rangkang Offset, 2012.

 Irwanto, I., Harmain, U., Damanik, S. E., & Nainggolan, P. (2020). Pengaruh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagori Dan Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga Terhadap Pembangunan Non Fisik Di Kecamatan Raya. Jurnal Regional Planning, 9(1).

 Kanter EY. dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

 Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.

 Lubis, Kamaluddin, Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Medan: Universitas Islam Sumatera Utara, 1992.

 Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : CV Mandar Maju, 1994.

Madinger, Jhon, Money Laundering: A guide for Criminal Investigators, New York:

CRC Press, 2012.

(9)

31

 Maswandi, A. S. (2020). Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Asal Pidana Korupsi. Malang: Mazda Media.

 Maswandi, A. S. (2020). Tindak Pidana Korupsi Dibalik Kontrak Pengadaan Barang. Jasa, Yogjakarta: K-Media.

 MN, Sarintan Efratani Damanik, Rozalina. 2021. Influence of Sipinsur Ecotourism Area Business Opportunity on Regional Development in Humbang Hasundutan Regency.

International Journal of Business, Economics & Management. Vol. 4; Issue. 1; page;

130-134.

 Mochtar, M. Akil, Memberantas Korupsi: Efektivitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Gratifikasi, Jakarta: Q-Communication, 2006.

 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

 MRD., Sarintan Efratani Damanik. 2020. Planning Model of Population Education and Environment in State Elementary School in District of Simalungun Regency.

International Journal of Advanced Science and Technology. Vol. 29; Issue. 5s; page;

865-873.

 MRD., Sarintan Efratani Damanik. 2020. Planning Model of Population Education and Environment in State Elementary School in District of Simalungun Regency.

International Journal of Advanced Science and Technology. Vol. 29; Issue. 5s; page;

865-873

 Mulyadi, Lilik, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT.

Aluni, 2007.

 Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi, Bandung: BooksTerrace & Library, 2007.

 Prodjohamidjojo, Martiman, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1984.

 Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003.

 Rianto, Bibit S., Korupsi Go To Hell!! Mengupas Anatomi Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Hikmah, 2009.

 Sahetapy, J.E. & Agusinus Pohan (ed), Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007.

 Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

 Setiadi, Edi dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

 Sitompul, A. (2020). The Criminal Replacement Of Fine In Law Of Money Laundering Number 8 Of 2010 (Case Study In North Sumatera). International Journal Of Creative Research Thoughts, 8(11).

 Sitompul, A., & Sitompul, M. N. (2020, February). The Combination Of Money Laundering Crime With The Origin Of Narkotics Crime To Islamic Law. In Proceeding International Seminar of Islamic Studies (Vol. 1, No. 1, pp. 671-681).

 Sitompul, A., Maswandi (2021). Nikah Poliandri Dalam Perpektif Pidana Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Malang: Mazda Media.

Referensi

Dokumen terkait

Tentang pemenuhan hak politik, Indonesia yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentunya wajib menjalankan dan melindungi hak-hak politik

Berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perkotaan pada Maret 2017 adalah sebesar 19,52 persen yang berarti ada

Pertanian di Desa Pangenteran Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang. Tujuan penelitian ini antara lain adalah mengetahui jaringtan sosiaol petani dalam pelaksanaan sistem

Pada pertemuan pertama terdapat 6 kelompok dimana terdapat 4 hingga 5 siswa dari masing-masing kelompok, pada pertemuan pertama karena masih proses adaptasi

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

3.1 KESIMPULAN

artinya bahwa ada peningkatan antara nilai rata-rata pretest dengan nilai rata-rata posttest pada kelas yang diberi perlakuan model pembelajaran quantum dengan

1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. Penyediaan sarana dan prasarana khusus.