II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan secara terperinci teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam identifikasi masalah, pemecahan masalah, dan memberikan penjelasan secara garis besar terkait metode yang dijadikan kerangka dasar pemikiran. Tinjauan pustaka diperoleh dari buku referensi, jurnal, serta penelitian- penelitian terkait sebelumnya.
2.1 Tinjauan Umum Klaster Industri, Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri, dan Kota Surakarta
2.1.1 Klaster Industri dan Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri
Klaster industri merupakan konsentrasi geografis dari perusahaan dan institusi yang saling berhubungan pada sektor tertentu, yang saling berhubungan karena kebersamaan dan saling melengkapi (Porter, 1990). Klaster industri mendorong perusahaan-perusahaan didalamnya untuk saling bekerjasama dan bersaing satu sama lain. Menurut Schmitz & Musyck (1994), klaster industri adalah sekelompok industri sejenis di lokasi tertentu yang muncul dari keberadaan pekerja dengan keterampilan yang sama atau kepentingan yang sama dari pelaku usaha. JICA (2004) mendefinisikan klaster industri sebagai pemusatan geografis industri-industri terkait dan kelembagaan-kelembagaannya. Klaster industri merupakan pendekatan alternatif untuk meningkatkan daya saing industri di suatu daerah yang melibatkan berbagai lingkup kegiatan bisnis. Sebuah klaster industri memiliki peran dalam pengembangan daya saing industri, yaitu klaster dapat meningkatkan produktivitas (efisiensi), klaster mendorong dan mempercepat inovasi, dan klaster memfasilitasi komersialisasi (Porter, 2008).
Klaster mempunyai siklus hidup/ tahapan pertumbuhan yang dilihat dari fase pertumbuhan produk dan fase industri dari klaster itu sendiri. Beberapa penelitian menjelaskan klaster berdasarkan usia dan pertumbuhan mereka, baik sebagai klaster berkembang (banyak perusahaan baru, pertumbuhan yang cepat, seringnya terjadi perubahan di perusahaan dan produk), mapan atau dewasa (jumlah klaster lebih sedikit, perusahaan besar, pertumbuhan lebih lambat,
II-2
perubahan produk lebih sedikit), atau menurun (pertumbuhan pekerjaan stagnan atau menurun, lebih banyak perusahaan yang mati daripada lahir, sedikit atau tidak terjadi perubahan produk). Penemuan atau ketentuan baru dapat menghidupkan kembali klaster menurun (Bianchi, Miller, & Bertini 1997).
Unsur penting dari klaster adalah karakter struktural yang digunakan untuk mengatur klaster dalam jangka panjang. Banyak penelitian yang telah menjelaskan karakteristik setiap siklus hidup/ tahapan pertumbuhan klaster industri seperti pada tabel berikut:
II-3
Tabel 2.1 Siklus Hidup/ Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri
Peneliti Definisi
Pre-cluster Arise Growing Mature Alteration
Anderson, Serger, Sorvik,
& Hansson, 2004
Agglomeration Emerging Developing Mature Transformation
Ada sedikit perusahaan di lokasi tertentu
Aktor memulai sebuah
kolaborasi
Perusahaan baru atau aktor bergabung kedalam
klaster, Formalisasi lembaga kolaborasi
Masa kritis dalam mendirikan klaster, ada hubungan dengan klaster lainnya
Transformasi ke klaster baru karena spesialisasi
Menzel &
Fornahl, 2007,2009
Emerging Growing Sustaining Declining
Ada sedikit perusahaan baru dan tenaga kerja
Meningkatkan jumlah perusahaan dan tenaga kerja
Jumlah perusahaan dan tenaga kerja stagnan
Jumlah perusahaan dan tenaga kerja mengalami penurunan
Tidak ada kolaborasi, tidak ada kesempatan bekerjasama
Ada kesempatan untuk bekerjasama
Klaster memiliki bentuk area yang spesifik
Prasangka negatif terhadap klaster, sedikit kesempatan
bekerjasama
II-3
II-4
Tabel 2.1 Siklus Hidup/ Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri (Lanjutan)
Peneliti Definisi
Pre-cluster Arise Growing Mature Alteration
Maggioni, 2002, 2004
Birth/ take of Golden age Maturity
Pertumbuhan dipengaruhi oleh lokasi
Pengelompokkan ekonomi merupakan peran penting dalam mendorong
pertumbuhan dan transformasi struktur klaster
Internasionalisasi klaster, teknologi kepemimpinan, klaster mulai mengalami penurunan
Sebuah lokasi dengan sedikit perusahaan
Ada inovasi dan kebijakan intervensi, sulit untuk melakukan inovasi
Kapastitas tinggi dari inovasi, kompetisi di pasar global, nilai tambah tinggi,
spesialisasi, kerjasama dengan klaster lainnya
Wolter, 2003
Set up Growth Change Adaptation
Timbul berdasarkan sejarah yang jelas, Pengelompokkan
Pertumbuhan permintaan, Peningkatan jumlah perusahaan
Perubahan teknologi, pesaing baru, Lonjakan permintaan
Peningkatan kompetisi, ekspansi dan
diferensiasi pasar II-3 II-3 II-3II-4
II-5
Tabel 2.1 Siklus Hidup/ Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri (Lanjutan)
Peneliti Definisi
Pre-cluster Arise Growing Mature Alteration
Maskell & Kebir, 2005
Existence Expansion Exhaustion
Kompetisi lokal
Peningkatan
kewirausahaan, inovasi teknologi, kebijakan invensi
Mengurangi jumlah perusahaan, tidak membutuhkan jaringan, tidak ada produk baru dan proses baru
Bergman, 2007 Formative Growth Maturity Petrification
Press, 2006 Emergence Endurance Exhaustion
Handayani dkk, 2012 Agglomeration Emerging Developing Mature
Sumber: Handayani dkk, 2012
II-5
II-6 2.1.2 Kota Surakarta
Kota Surakarta merupakan wilayah otonom dengan status kota di bawah Provinsi Jawa Tengah, Indonesia dengan luas kota 44 km2. Kota Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Kota ini merupakan kota terbesar ketiga di pulau Jawa bagian selatan setelah Bandung dan Malang menurut jumlah penduduk.
Visi Kota Surakarta adalah “Terwujudnya Kota Sala sebagai Kota Budaya yang bertumpu pada potensi Perdagangan, Jasa, Pendidikan, Pariwisata, dan Olahraga”. Sedangkan misi Kota Surakarta adalah sebagai berikut:
1. Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai “Sala Kota Budaya”.
2. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam pengusahaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, guna mewujudkan inovasi dan integrasi masyarakat madani yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi Daerah, sebagai pemacu tumbuhan dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi, serta mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang akrab lingkungan.
4. Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat, utamanya para penyelenggara pemerintahan.
Pemerintah Kota Surakarta menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) pada Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2010. RPJPD Kota Surakarta adalah Dokumen Perencanaaan Pembangunan Jangka Panjang Kota Surakarta yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Kota yang berisi Visi, Misi dan Arah Pembangunan untuk periode
II-7
perencanaan tahun 2005-2025. Beberapa poin penting dalam RPJPD tahun 2005- 2025 yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:
Bidang Perindustrian
Kontribusi sektor industri setidaknya selama kurun waktu 2003-2004 mendominasi dari sektor-sektor lain dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga belaku. Jumlah industri di Kota Surakarta pada tahun 2004 adalah sebanyak 204 perusahaan, yang terdiri dari industri besar sebanyak 15 buah, industri menengah sebanyak 24 buah, industri kecil formal sebanyak 89 buah dan industri kecil non formal sebanyak 76 buah.
Pengembangan industri diarahkan untuk mencapai “Terwujudnya Perekonomian Daerah yang Mantap”. Perekonomian daerah yang mantap akan semakin menentukan tingkat keberhasilan pembangunan daerah yang ditandai dengan semakin berkembangnya kegiatan investasi dan dunia usaha, meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita serta semakin mantapnya struktur perekonomian masyarakat. Perwujudan perekonomian daerah yang mantap ini diselaraskan dengan pengembangan unggulan daerah (core competence) seperti bidang perdagangan, jasa-jasa, industri pertanian dengan tetap mengedepankan keberpihakan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta koperasi.
Dinas di Kota Surakarta membawahi 14 Dinas, antara lain:
1. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga 2. Dinas Kebersihan dan Pertamanan
3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 4. Dinas Kesehatan
5. Dinas Koperasi dan UMKM 6. Dinas Pekerjaan Umum
7. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset 8. Dinas Penduk & Capil
9. Dinas Pengelolaan Pasar
10. Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika 11. Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian
12. Dinas Pertanian
II-8
13. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi 14. Dinas Tata Ruang Kota
Pada penelitian ini melibatkan dua dinas yang ada di Kota Surakarta, yaitu Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian, serta Dinas Koperasi dan UMKM. Kedua dinas tersebut dipilih karena memiliki keterkaitan satu sama lain dalam hal peningkatan kualitas sektor industri untuk mewujudkan perekonomian daerah yang mantap. Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian memiliki peran dalam merumuskan kebijakan sebagai acuan dasar dan bergerak di bidang pendampingan melalui pelatihan, ketrampilan maupun pendanaan dalam perkembangan sektor industri, sedangkan Dinas Dinas Koperasi dan UMKM memiliki peran dalam pendampingan UMKM yang secara tidak langsung memberikan peran dalam perkembangan sektor industri.
1. Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian
Visi: Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat Kota Surakarta yang Maju dan Mandiri Melalui Pembangunan Bidang Ketenagakerjaan dan IKM yang Bertumpu pada Teknologi dan Budaya.
Misi:
- Mewujudkan komoditi IKM yang unggul.
- Mewujudkan daya saing komoditi IKM melalui produktivitas yang tinggi, sertifikasi, dan inovasi.
- Mewujudkan SDM ketenagakerjaan yang kompeten, membuka akses kesempatan kerja dan memfasilitasi penempatan transmigrasi sehingga tenaga kerja lebih berproduktivitas.
- Mewujudkan hubungan industri yang harmonis, meningkatkan Kesejahteraan Pekerjaan dan Jaminan Sosial Pekerja yang lebih baik.
2. Dinas Koperasi dan UMKM
Visi: Terwujudnya Koperasi dan UMKM yang sehat, tangguh, dan mandiri dalam mendukung Pengembangan Ekonomi Kerakyatan.
Misi:
- Meningkatkan kemampuan Koperasi dan UMKM untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan produktif.
II-9
- Meningkatkan kemampuan Koperasi dan UMKM untuk mengakses dan memperluas pangsa pasar.
- Meningkatkan kemampuan Koperasi dan UMKM untuk memanfaatkan teknologi dan informasi.
2.2 Komponen Penilaian untuk Mengidentifikasi Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri Berdasarkan Penelitian Handayani dkk (2012)
Berdasarkan definisi klaster industri (Porter, 1990), disimpulkan bahwa klaster industri dibentuk oleh kelengkapan aktor yaitu siapa saja yang bergabung dalam klaster dan kolaborasi antara stakeholder. Dengan demikian untuk kelengkapan aktor dan kolaborasi stakeholder dapat dijadikan dimensi untuk mengidentifikasi siklus hidup/ tahapan pertumbuhan klaster industri.
Pertumbuhan klaster industri di daerah tertentu dapat dijelaskan oleh pemusatan industri mereka (Barkley & Hendry, 1997; Maggioni, 2002, 2004;
Mayer, 2003; Shields, Barkley, & Emery, dkk, 2004; Cortright, 2006; Maggioni
& Riggi, 2008). Indeks LQ (Location Quotient) menjelaskan bahwa industri memiliki kehadiran relatif besar (atau kecil) di dalam ekonomi lokal. Jika nilai LQ sama dengan 1,0, maka pangsa kerja di industri tertentu di suatu wilayah adalah sama persis dengan pangsa kerja di industri yang sama secara nasional. Jika nilai lebih besar dari 1,0, maka pangsa kerja lokal di industri tertentu melebihi pangsa nasional pekerjaan di industri yang sama. Ini berarti industri lokal lebih terpusat dan memiliki keunggulan komparatif (Mayer, 2003). Jadi dapat disimpulkan bahwa industri di wilayah tersebut tumbuh. Oleh karena itu nilai LQ dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan klaster industri. Namun, nilai LQ lebih tepat digunakan untuk mengukur pertumbuhan sektor industri tertentu di daerah tertentu (Woodward & Guimaraes, 2009).
Menurut Ulhaque (1995), Kotler, Wong, Saunders dan Amstrong (2005), Porter dan Schwab (2008), dan Schwab (2010), dimensi aksesibilitas pasar juga digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan klaster industri. Permintaan untuk produk klaster dapat memberikan pengukuran pertumbuhan klaster (Porter, 1985, 1990). Nadvi dan Barrientos (2004) menyatakan bahwa pembeli global dapat membantu klaster lokal mengakses pasar global melalui hubungan eksternal.
II-10
Peningkatan aset, kapabilitas, dan aksesibilitas pasar merupakan faktor kunci untuk meningkatkan daya saing klaster industri yang dapat diukur dengan kemampuan klaster untuk mendapatkan akses pasar global (Porter, 1990;
Bergman, 2007). Daya saing akan meningkatkan pertumbuhan klaster industri (Porter, 1990; Bergman, 2007). Oleh karena itu digunakan dimensi akses pasar untuk menilai pertumbuhan klaster industri karena menjelaskan pengaruh daerah pemasaran pada pertumbuhan klaster industri tersebut. Selain itu, terdapat juga dimensi untuk mengidentifikasi siklus hidup/ tahapan pertumbuhan klaster industri, seperti dalam tabel berikut :
Tabel 2.2 Dimensi dari Siklus Hidup/ Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri
Peneliti Dimensi
Ukuran Klaster Pasar Aktor Kolaborasi
Porter, 1990
Permintaan
Jenis aktor
Kolaborasi Aksesibilitas
pasar Kompetisi
Kotler dkk, 1997
Jenis aktor di
hubungan vertikal &
horizontal Nadvi &
Barlentos, 2004
Aksesibilitas pasar
Bergman,
2007 Jumlah perusahaan Aksesibilitas
pasar Jaringan
Andersson
dkk, 2004 Jenis aktor Kolaborasi
Cortright, 2006
Pemusatan industri/
LQ
Jumlah pekerjaan Hubungan input output
Mayer, 2003
Pemusatan industri/
LQ
Pertumbuhan pekerjaan
II-11
Tabel 2.2 Dimensi dari Siklus Hidup/ Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri (Lanjutan)
Peneliti Dimensi
Ukuran Klaster Pasar Aktor Kolaborasi
Mayer, 2003
Pemusatan industri/
LQ
Pertumbuhan pekerjaan Shileds dkk,
2004;
Barkley &
Henry, 1997
Pemusatan industri/
LQ
Wolter, 2003 Jumlah perusahaan Maggioni &
Riggi, 2008 Ukuran Klaster (LQ) Permintaan dunia
Interaksi antar industri dan regional Maggioni,
2002, 2004 Ukuran Klaster (LQ)
Interaksi antar industri dan regional
Menzel &
Fornahl, 2007, 2009
Jumlah pekerjaan
Jumlah aktor &
jumlah organisasi
Jaringan &
rantai nilai Eksploitasi sinergi Persepsi klaster Kapasitas untuk aksi kolektif Pengetahua n,
kompetensi
& bentuk organisasi
Handayani dkk, 2012
Pemusatan industri/
LQ
Aksesibilitas pasar
Kelengkapa n Aktor:
Tipe Aktor dalam hubungan horizontal dan vertikal
Kolaborasi stakeholder
Sumber : Handayani dkk, 2012
II-12
Pengembangan dari komponen penilaian meliputi dimensi, elemen, dan indikator. Elemen dihasilkan dari dimensi, indikator dihasilkan dari elemen dan untuk karakterisasi masing-masing fase dalam membedakan kondisi industri.
Tabel 2.3 Dimensi, Elemen, dan Indikator Penilaian Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri
No Dimensi Elemen Indikator
1 Kelengkapan aktor
Tipe aktor dalam hubungan
horizontal
Perusahaan inti Pesaing
Pemerintah Asosiasi
Lembaga kolaborasi
Layanan laporan dan konsultasi Universitas
Lembaga keuangan Lembaga pelatihan teknik produksi
Lembaga riset
Tipe aktor dalam hubungan vertikal
Perusahaan inti Konsumen
Industri pemasok bahan baku Industri pemasok bahan pendukung
Industri pemasok mesin dan peralatan
Industri penunjang 2 Konsentrasi
Industri Jumlah Index LQ
3 Kolaborasi stakeholders
Sifat kolaborasi Mekanistik Organik
Mekanisme kolaborasi
Sharing pasar dan distribusi Subkontrak
Sharing pengetahuan
Sharing teknologi dan informasi R & D
Lisensi dan privat label Strategi kolaborasi
Operasional Taktis Stategis
II-13
Tabel 2.3 Dimensi, Elemen, dan Indikator Penilaian Pertumbuhan Klaster Industri (Lanjutan)
No Dimensi Elemen Indikator
3 Kolaborasi stakeholders
Tipe kolaborasi
Transaksional Kooperatif Koordinatif Sinkronisasi
Kondisi kolaborasi
Komunikasi
Trust/ saling percaya Komitmen
Koordinasi Resolusi konflik Kondisi
lembaga kolaborasi
Tidak ada lembaga
Terdapat lembaga namun pasif Terdapat lembaga dan aktif
Terdapat lembaga dan sangat dinamis 4 Aksesibilitas
pasar Area penjualan
Pasar lokal Pasar nasional Pasar internasional
Sumber: Handayani dkk, 2012
II-14
Tabel 2.4 Definisi Operasional Dimensi dan Elemen untuk Mengidentifikasi Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri
Dimensi Definisi operasional Elemen Definisi operasional Referensi
Kelengkapan aktor, dimensi utk mengidentifikasi tipe aktor yg bergabung dlm klaster
Tipe entitas (aktor/
stakeholders) yang bergabung dalam klaster industri
Tipe aktor dalam hubungan horizontal
Tipe aktor dalam hubungan antara industri inti dengan pesaing, dan institusi lainnya
Porter, 1990; Kotler dkk, 1997; Maggioni, 2002, 2004; Andersson dkk, 2004; Menzel &
Fornahl, 2007, 2009;
Maggioni & Riggi, 2008
Tipe aktor dalam hubungan vertikal
Tipe aktor dalam hubungan antara industri inti dengan industri hilir dan hulu sepanjang rantai nilai produksi
Ukuran klaster, dimensi untuk mengukur jumlah perusahaan yang bergabung dalam klaster
Konsentrasi relatif dari industri spesifik di wilayah dibandingkan dengan rata rata nasional
Location Quotient
Konsentrasi relatif dari pekerjaan di sektor industri tertentu di wilayah dibandingkan dengan rata rata nasional
Maggioni, 2002, 2004;
Mayer, 2003; Cortright, 2006; Maggioni &
Riggi, 2008
Kolaborasi stakeholder, dimensi untuk mengidentifikasi
tingkatan aksi bersama dan kolektif efisiensi antara perusahaan dalam klaster
Kerjasama antara aktor/
stakeholder dalam klaster industri
Sifat skolaborasi
Model hubungan organisasi yang membentuk kerjasama/
kolaborasi
Gibson, Ivancevich &
Donely, 2003 Mekanisme
kolaborasi
Cara para anggota klaster bekerjasama/ berkolaborasi dengan yang lainnya
Segil, 2004; Lin Tung
& Huang, 2006
II-14
II-15
Tabel 2.4 Definisi Operasional Dimensi dan Elemen untuk Mengidentifikasi Pertumbuhan Klaster Industri (Lanjutan)
Dimensi Definisi operasional Elemen Definisi operasional Referensi Kolaborasi stakeholder,
dimensi untuk mengidentifikasi tingkatan aksi bersama dan kolektif efisiensi antara perusahaan dalam klaster
Kerjasama antara aktor/
stakeholder dalam klaster industri
Strategi kolaborasi
Tingkat keminatan melakukan kerjasama/ kolaborasi
Coughlan dkk, 2003
Tipe kolaborasi
Tipe/ jenis hubungan yang mendasari kerjasama/ kolaborasi
Cohen & Roussel, 2005
Kondisi kolaborasi
Tingkat kondisi yang dapat memperkuat kerjasama/
kolaborasi
Parung & Bititci, 2008
Kondisi lembaga kolaborasi
Kondisi lembaga yang bergabung dengan klaster
JICA, 2004
Aksesibilitas pasar, dimensi untuk mengukur luasnya klaster industri mampu menembus pasar atau area pemasaran produk dari klaster
Area pemasaran produk dari klaster industri
Area pemasaran
Luas area pemasaran produk klaster industri
Porter, 1985, 1990;
Ulhaque, 1995; Kotler dkk, 2005; Porter &
Schwab, 2008; 2010
II-15
II-16
Tabel 2.5 Tipologi Siklus Hidup/ Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri
Agglomeration Emerging Developing Maturation
Dimensi Kelengkapan Aktor
Elemen Tipe Aktor dalam Hubungan Horizontal
Perusahaan inti Perusahaan inti Perusahaan inti Perusahaan inti
Pesaing Pesaing Pesaing Pesaing
Pemerintah Pemerintah Pemerintah
Asosiasi Asosiasi Asosiasi
Lembaga kolaborasi Lembaga kolaborasi
Layanan laporan dan konsultasi Layanan laporan dan konsultasi
Universitas Universitas
Lembaga keuangan Lembaga keuangan
Lembaga pelatihan teknik produksi Lembaga pelatihan teknik produksi Lembaga riset
Elemen Tipe Aktor dalam Hubungan Vertikal
Perusahaan inti Perusahaan inti Perusahaan inti Perusahaan inti
Konsumen Konsumen Konsumen Konsumen
Industri pemasok bahan
baku Industri pemasok bahan baku Industri pemasok bahan baku Industri pemasok bahan baku Industri pemasok bahan
pendukung Industri pemasok bahan pendukung Industri pemasok bahan pendukung Industri pemasok mesin dan
peralatan
Industri pemasok mesin dan peralatan
Industri penunjang Industri penunjang
II-16
II-17
Tabel 2.5 Tipologi Siklus Hidup/ Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri (Lanjutan)
Agglomeration Emerging Developing Maturation
Dimensi Ukuran Klaster Elemen Jumlah Klaster
LQ < 1 LQ = 1 1 < LQ < 1,3 LQ ≥ 1,3
Dimensi Kolaborasi Stakeholder Elemen Sifat Kolaborasi
Mekanistik Mekanistik Mekanistik dan Organik Organik
Elemen Mekanisme Kolaborasi
Sharing pasar dan distribusi Sharing pasar dan distribusi Sharing pasar dan distribusi Sharing pasar dan distribusi
Subkontrak Subkontrak Subkontrak Subkontrak
Sharing pengetahuan Sharing pengetahuan Sharing pengetahuan
Sharing teknologi dan informasi Sharing teknologi dan informasi R & D
Lisensi dan privat label Elemen Strategi Kolaborasi
Operasional Operasional Operasional Operasional
Taktis Taktis Taktis
Stategis
II-17
II-18
Tabel 2.5 Tipologi Siklus Hidup/ Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri (Lanjutan)
Agglomeration Emerging Developing Maturation
Elemen Kondisi Kolaborasi
Komunikasi Komunikasi Komunikasi Komunikasi
Trust/ saling percaya Trust/ saling percaya Trust/ saling percaya
Komitmen Komitmen
Koordinasi Koordinasi
Resolusi konflik Elemen Kondisi Lembaga Kolaborasi
Tidak ada lembaga Terdapat lembaga namun
pasif Terdapat lembaga dan aktif Terdapat lembaga dan sangat dinamis Dimensi Aksesibilitas Pasar
Elemen Area Penjualan
Pasar lokal Pasar lokal Pasar lokal Pasar lokal
Pasar nasional Pasar nasional
Pasar internasional
II-18
II-19
2.3 Model Penilaian Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri (TPKI) 2.3.1 Model Matematis Penilaian TPKI
Model matematis yang digunakan dalam penelitian Handayani dkk (2012), yaitu model multiplikatif aditif dengan melibatkan pengaruh secara individu tiap- tiap dimensi dan interaksi antara dimensi kelengkapan aktor dan kolaborasi stakeholders terhadap tahapan pertumbuhan klaster industri.
………..……..……… (2.1) Secara teoritis, kelengkapan aktor secara bersama-sama dengan kolaborasi stakeholders berpengaruh terhadap pertumbuhan klaster industri, sehingga diduga tidak perlu melihat pengaruh langsung kedua dimensi tersebut terhadap pertumbuhan klaster industri.
dimana:
TPKI = tahapan pertumbuhan klaster industri α = bobot tiap dimensi
ki = konsentrasi industri ap = aksesibilitas pasar ka = kelengkapan aktor ks = kolaborasi stakeholders
Penjelasan mengenai rancangan usulan model matematis indeks TPKI adalah sebagai berikut:
1. Model matematis indeks penilaian TPKI bersifat multiplikatif aditif.
Hubungan aditif berarti antar dimensi bersifat independen yaitu dimensi konsentrasi industri dan dimensi aksesibilitas pasar secara sendiri-sendiri dapat berpengaruh secara langsuung terhadap indeks TPKI. Hubungan multiplikatif berarti antar dimensi bersifat dependen yaitu dimensi kelengkapan aktor dan kolaborasi stakeholders secara bersama-sama berpengaruhh terhadap indeks TPKI.
2. , artinya nilai untuk masing-masing dimensi antara 0 sampai dengan 1.
3. ∑ , artinya jumlah bobot adalah sama dengan satu.
4. Nilai indeks TPKI maksimal adalah sama dengan 1 (satu).
II-20
5. Nilai indeks TPKI minimal adalah sama dengan 0 (nol), jika belum terjadi konsentrasi industri, belum ada pasar, belum ada aktor, dan belum ada kolaborasi stakeholders.
Oleh karena itu, pada penilaian terhadap objek studi kecil kemungkinan didapat nilai 0 (nol), karena biasanya obyek studi yang diamati adalah kelompok industri pada suatu lokasi tertentu.
6. Model penilaian TPKI merupakan indeks terbobot. Keberlakuan model penilaian TPKI dapat dijelaskan sebagai berikut. Cut of point pada indeks terbobot adalah pada hasil akhir, bukan pada nilai tiap-tiap dimensi.
Konsekuensi dari penggunaan indeks terbobot adalah:
a. Nilai akhir sangat dipengaruhi oleh dimensi yang memiliki bobot tertinggi.
b. Konsekuensi dari poin 6.a. adalah terdapat peluang terjadi perbedaan status antara nilai indeks TPKI dengan nilai indeks tiap-tiap dimensi.
Penjelasan mengenai hal tersebut adalah:
a. Bobot dibangun berdasarkan persepsi responden pakar.
b. Pendekatan ini dilakukan karena belum ada metode cut of point serta faktor diskriminan yang mampu membedakan tiap-tiap TPKI.
Untuk mendapatkan hasil terbaik, pemilihan responden pakar harus mewakili keseluruhan pihak terkait dan memiliki kepakaran yang dibuktikan dengan publikasi atau pengalaman kerja pada bidang klaste industri.
7. Perilaku model adalah sebagai berikut:
a. Jika dimensi konsentrasi industi (KI) naik satu satuan sedangkan dimensi lainnya konstan, maka TPKI akan naik sebesar
b. Jika dimensi aksesibilitas pasar (AP) naik satu satuan sedangkan dimensi lainnya konstan, maka TPKI akan naik sebesar
c. Jika dimensi kelengkapan aktor (KA) naik satu satuan sedangkan dimensi lainnya konstan, maka TPKI akan naik sebesar
d. Jika dimensi kolaborasi stakeholders (KS) naik satu satuan sedangkan dimensi lainnya konstan, maka TPKI akan naik sebesar
II-21
2.3.2 Model Perhitungan Indeks Dimensi Penilaian TPKI
Persamaan untuk menghitung indeks dimensi dibangun berdasarkan hubungan antar elemen pada tiap-tiap dimensi. Dimensi konsentrasi industri dan aksesibilitas pasar hanya memiliki satu elemen, sehingga indeks dimensi diperoleh secara langsung dari nilai elemen. Dimensi kelengkapan aktor terdiri dari dua elemen, yaitu tipe aktor pada keterkaitan horizontal (tkh) dan tipe aktor pada keterkaitan vertikal (tkv). Persamaan untuk menghitung indeks dimensi kelengkapan aktor adalah:
………..………..…… (2.2) Sedangkan, dimensi kolaborasi stakeholders terdiri dari enam elemen, yaitu sifat kolaborasi (sk), mekanisme kolaborasi (mk), strategi/ kepentingan kolaborasi (skk), jenis kolaborasi (jk), kondisi kolaborasi (kk), dan kondisi kelembagaan kolaborrasi (ik). Persamaan untuk menghitung indeks dimensi kolaborasi stakeholders adalah:
………..………..(2.3) 2.3.3 Langkah-langkah Perhitungan Indeks Penilaian TPKI
Langkah-langkah perhitungan indeks TPKI adalah sebagai berikut:
1. Konversi data hasil kuesioner dari bentuk data kategorik (kualitatif) menjadi data numerik (kuantitatif) dengan skala rasio.
2. Penentuan nilai masing-masing elemen dengan menggunakan tabel desain parameter. Nilai elemen didapat melalui identifikasi item indikator penilaian yang mendukung tiap-tiap elemen.
3. Perhitungan nilai indeks untuk masing-masing dimensi dengan menggunakan persamaan.
4. Perhitungan indeks penilaian TPKI dengan menggunakan persamaan 2.1 5. Pembandingan dengan nilai ambang TPKI.
2.4 Penetuan Nilai Ambang TPKI
Nilai ambang adalah batas minimum dan maksimum suatu atribut, karakteristik atau parameter dari standar kinerja yang dapat diterima. Nilai ini berfungsi sebagai patokan untuk perbandingan atau pedoman dalam desain sistem kinerja. Tujuan penentuan nilaii ambang TPKI adalah menentukan posisi suatu
II-22
klaster industri pada tahapan pertumbuhannya. Nilai ambang indeks TPKI ditetapkan berdasarkan tipologi TPKI. Nilai maksimum tiap-tiap tahapan pertumbuhan ditentukan oleh karakteristik tiap-tiap tahapan pertumbuhan.
Perhitungan nilai ambang berdasarkan model persamaan 2.1 dengan mengalikan bobot dimensi dengan skor indeks dimensi TPKI. Tabel 2.6 menunjukkan skor indeks dimensi TPKI.
Tabel 2.6 Skor Indeks Dimensi TPKI
Dimensi Tahapan Pertumbuhan Klaster Industri
Aglomerasi Emerging Developing Mature
Konsentrasi Industri 0,091 0,310 0,618 1
Aksesibilitas Pasar 0,413 0,413 0,673 1
Kelengkapan Aktor 0,439 0,569 0,902 1
Kolaborasi Stakeholders 0,203 0,316 0,577 1
2.5 Skala Likert
Skala Likert merupakan skala untuk mengukur sikap masyarakat di tahun 1932 yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Skala ini berfungsi untuk mengukur, sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang fenomena sosial.
Penggunaan skala Likert dapat mengukur variabel sehingga mampu ditentukan variabel indikator untuk dijadikan titik tolak dalam penyusunan instrument berupa pertanyaan atau pernyataan. Pada skala Likert, range jawaban yang digunakan adalah mulai dari negatif sampai positif, yaitu Sangat Penting (SP), Penting (P), Ragu-ragu (R), Tidak Penting (TP), dan Sangat Tidak Penting (STP).
Menurut Kurniawati (2006), prosedur yang harus dilakukan dalam pembuatan skala Likert adalah:
1. Mengumpulkan kriteria yang cukup banyak, relevan, dan cukup jelas terkait permasalahan yang diteliti.
2. Kriteria yang sudah disusun dicoba pada sekelompok responden yang cukup representatif terhadap populasi penelitian.
3. Responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan tiap kriteria.
Jawaban yang diperoleh dikumpulkan kemudian dikalkulasi dimana jawaban dengan indikasi paling positif diberi skor tertinggi, atau sebaliknya dengan skala nilai 1 sampai 5.
II-23
4. Skor tiap item dikalkukasi pada setiap responden untuk menentukan total skor.
Respon yang sudah didapat dianalisis untuk menentukan kriteria mana yang sangat nyata memiliki batasan antara skor tinggi dan skor rendah dalam skala total. Kriteria yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibuang untuk mempertahankan konsistensi internal pertanyaan.
2.6 Multi-Criteria Decision Making (MCDM)
Menurut Kusumadewi dkk (Saragih, 2012), Multi-Criteria Decision Making (MCDM) adalah suatu metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu.
Kriteria biasanya berupa ukuran-ukuran atau aturan-aturan atau standar yang digunakan dalam pengambilan keputusan. MCDM memiliki dua kategori yaitu Multi-Objective Decision Making (MODM) dan Multi-Attribute Decision Making (MADM).
Multi-Objective Decision Making (MODM) adalah suatu metode dengan mengambil banyak kriteria sebagai dasar dari pengambilan keputusan yang didalamnya mencakup masalah perancangan (design), dimana teknik-teknik matematik untuk optimasi digunakan dan untuk jumlah alternatif yang sangat besar (sampai dengan tak terhingga). Sedangkan Multi-Attribute Decision Making (MADM) adalah suatu metode dengan mengambil banyak kriteria sebagai dasar pengambilan keputusan, dengan penilaian yang subjektif menyangkut masalah pemilihan, dimana analisis matematis tidak terlalu banyak dan digunakan untuk pemilihan alternatif dalam jumlah sedikit (Hasugian, 2011).
MADM digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam ruang diskrit dan biasa digunakan untuk melakukan penilaian atau seleksi terhadap beberapa alternatif dalam jumlah terbatas. Sedangkan MODM digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah pada ruang kontinyu. Secara umum, MADM biasa digunakan untuk melakukan seleksi alternatif terbaik dari sejumlah alternatif, sedangkan MODM digunakan untuk merancang alternatif terbaik (Hikmawan, 2011).
II-24
Menurut Janko (Saragih, 2012) terdapat beberapa fitur umum yang digunakan dalam MCDM, yaitu:
1. Alternatif, alternatif adalah obyek-obyek yang berbeda dan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih oleh pengambil keputusan
2. Atribut, atribut sering juga disebut sebagai kriteria keputusan
3. Konflik antar kriteria, bebrapa kriteria biasanya mempunyai konflik antara satu dengan yang lainnya, misalnya kriteria keuntungan akan mengalami konflik dengan kriteria biaya
4. Bobot keputusan, bobot keputusan manunjukkan kepentingan relatif dari setiap kriteria, W = (w1, w2, w3, ..., wn)
5. Matriks keputusan, suatu matriks keputusan 𝑋 yang berukuran x 𝑛, berisi elemen-elemen 𝑥 yang merepresentasikan rating dari alternatif ; =1,2,3,…, terhadap kriteria 𝐶 ; =1,2,3,…,𝑛.
Menurut Yoon (Hikmawan, 2011) masalah MCDM tidak selalu memberikan solusi unik, perbedaan tipe bisa jadi akan memberikan perbedaan solusi:
1. Solusi ideal, kriteria atau atribut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kriteria yang nilainya akan dimaksimumkan (kategori nilai keuntungan), dan kriteria yang nilainya kan diminimumkan (kategori kriteria biaya). Solusi ideal kan memaksimumkan semua kriteria keuntungan dan meminimumkan semua kriteria biaya
2. Solusi non-dominated, solusi ini sering juga dikenal dengan nama solusi pareto-optimal. Solusi feasible MDCM dikatakan non-dominated jika tidak ada solusi feasible yang lain akan menghasilkan perbaikan terhadap suatu atribut tanpa menyebabkan degenerasi pada atribut lainnya
3. Solusi yang memuaskan, solusi yang memuaskan adalah himpunan bagian dari solusi-solusi feasible dimana setiap alternatif melempaui semua kriteria yang diharapkan
4. Solusi yang lebih disukai, solusi yang disukai adalah solusi non- dominated yang paling banyak memuaskan pengambil keputusan.
II-25
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah MADM, antara lain:
1. Simple Additive Weighting Method (SAW) 2. Weighted Product (WP)
3. ELECTRE
4. Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
5. Analytic Hierarchy Process (AHP)
6. Multi-Attribute Utility Value Theory (MAUT/MAVT)
7. Preference Ranking Organization Method for Enrichment Evaluation (Promethee)
2.7 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Dalam penilaian skala prioritas untuk menyelesaikan permasalahan konfliktual dalam bentuk linguistik, terdapat beberapa alat yang dapat digunakan yaitu Analytical Network Process (ANP), metode Entropy, Analytical Hierarchy Process (AHP), dan Fuzzy Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP).
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, profesor matematika dari Universitas Pittsburgh Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif.
Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.
Menurut Saaty dan Vargas (2012), AHP merupakan pendekatan dasar dalam pengambilan keputusan yang dirancang untuk mengatasi perbedaan antara rasionalitas dan intuitif dalam menentukan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif yang dievaluasi sehubungan dengan beberapa kriteria. Proses pembuatan
II-26
keputusan dilakukan dengan penilaian perbandingan berpasangan sederhana yang kemudian digunakan untuk mengembangkan seluruh prioritas untuk menentukan bobot nilai dari setiap alternatif sehingga dapat ditentukan peringkat/hirarki dari seluruh alternatif yang ada. Pertimbangan utama yang dijadikan penentu keputusan dalam metode AHP adalah persepsi manusia.
AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibandingkan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam.
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.
3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambil keputusan.
AHP juga memiliki kekurangan sebagai berikut :
1. Interdependensi antara tujuan dan alternatif dapat membawa ke hasil yang berbahaya.
2. Keterlibatan lebih oleh pengambil keputusan dapat membuat suatu masalah menjadi lebih rumit untuk menetapkan bobot.
3. Dituntut untuk memperoleh data berdasarkan pengalaman.
Struktur hirarki pada metode AHP ditunjukkan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur Hirarki Metode AHP Sumber: Saaty dan Vargas, 2012
II-27
Beberapa tahapan yang perlu dilakukan sebelum melaksanakan analisis pada metode AHP menurut Saaty (2001) dalam Mardhikawarih (2012) adalah :
1. Menentukan tujuan AHP secara keseluruhan.
2. Menentukan faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan.
3. Menentukan kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai tujuan.
4. Menentukan subkriteria yang berada satu tingkat dibawah kriteria.
5. Menentukan alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan.
Menurut Saaty (1991), tiga prinsip yang digunakan dalam metode AHP yang digunakan untuk pemecahan masalah adalah prinsip menyusun hirarki (decomposition), prinsip menentukan prioritas (comparative judgement), dan prinsip konsistensi logis (logical consistency).
2.7.1 Matriks Perbandingan Berpasangan
Hasil perbandingan dari masing-masing elemen dalam matriks berupa angka dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti dapat diterima dan bisa membedakan intensitas antar elemen. Hasil perbandingan tersebut diisikan pada sel yang bersesuaian dengan elemen yang dibandingkan. Skala perbandingan berpasangan dan maknanya yang diperkenalkan oleh Saaty dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.7 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas
Kepentingan
Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya, kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya
II-28
Tabel 2.7 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan (Lanjutan) Intensitas
Kepentingan
Keterangan
9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan nilai yang
berdekatan
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapatkan satu angka dibanding dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i
Sumber: Saaty (1980)
2.7.2 Agregasi Penilaian Responden
Pada penelitian Merry, Ginting, dan Marpaung (2014), untuk penelitian dengan jumlah responden yang sedikit dengan rentang nilai tertinggi dan terendahnya kecil karena responden dianggap sudah menguasai penuh permasalahan tersebut atau disebut dengan pakar, penentuan nilai pada matriks perbandingan berpasangan adalah dengan menggunakan rataan geometrik terlebih dahulu untuk mengagregasi hasil penilaian responden. Rumus yang digunakan adalah sebagai:
𝑛 √ 𝑥 𝑥 …………..…..………..………..…...(2.4) dimana : Rn = penilaian responden
n = jumlah responden 2.7.3 Uji Konsistensi
Menurut Saaty dan Vargas (2012) ketidakkonsistenan mungkin terjadi dalam metode AHP karena menggunakan persepsi pembuat keputusan sebagai inputnya dan manusai memiliki keterbatasan dalam menyatakan persepsinya.
Untuk itu perlu dilakukan adanya uji konsistensi untuk membuktikan kekonsistenan dari matriks perbandingan berpasangan ordo n tersebut.
Tahap uji konsistensi dalam AHP adalah sebagai berikut:
Langkah 1 : menentukan nilai vektor eigen dan λ maksimum
Langkah 2 : menentukan nilai Consistency Index (CI) dengan persamaan:
CI = …………..…..………..………..…...……..………..…...…... (2.5)
II-29 dimana : CI = indeks konsistensi
= rata-rata nilai eigenvalue n = ordo matriks
Langkah 3 : menentukan nilai Consistency Ratio (CR) dengan persamaan:
CR = …………..…..………..………..…...……..………..…...…...…...….. (2.6) dimana : CR = rasio konsistensi
CI = indeks konsistensi
RI = random index (diperoleh dari Tabel 2.8) Tabel 2.8 Nilai Random Index (RI)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0.0 0.0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.48 1.56 1.57 1.59
Sumber: Saaty (1988)
Pada tahap uji konsistensi, jika nilai CR < 0,1 maka penelitian dianggap konsisten. Namun jika nilai CR > 0,1 maka dianggap tidak konsisten dan harus dilakukan penelitian ulang (Saaty, 1996).
2.8 Induced Bias Matrix Model (IBMM)
Dalam proses pengambilan keputusan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP), penting untuk mengumpulkan dan memproses pendapat para ahli untuk membuat keputusan yang cepat. Survei kuesioner merupakan cara yang umum digunakan untuk mengumpulkan pendapat dan pandangan dalam AHP.
Namun banyak faktor yang seperti format desain kuesioner yang membosankan, konten yang berlebihan dan panjang dapat menyebabkan matriks perbandingan berpasangan tidak konsisten dalam masalah keputusan. Dalam AHP, nilai item untuk perbandingan berpasangan dalam kuesioner meningkat drastis jika ada perbandingan lebih. Dalam hal ini, Induced Bias Matrix Model (IBMM) diusulkan untuk merancang nilai item dalam perbandingan berpasangan dan untuk memperkirakan nilai item yang hilang dalam matriks perbandingan berpasangan.
2.8.1 Memperkirakan Nilai Item yang Hilang Menggunakan Metode IBMM Matriks perbandingan berpasangan yang tidak konsisten (CR≥0,1) perlu direvisi sebelum digunakan untuk menurunkan vektor bobot. Dalam hal ini,
II-30
IBMM diusulkan untuk mengidentifikasi elemen yang tidak konsisten dalam matriks perbandingan berpasangan untuk memperbaiki CR. IBMM juga digunakan untuk memperkirakan item nilai yang hilang dalam matriks perbandingan berpasangan. Dengan menggunakan IBMM jumlah pertanyaan untuk matriks perbandingan berpasangan dapat dikurangi. Matriks perbandingan berpasangan yang direvisi menggunakan IBMM terbukti memenuhi persyaratan konsistensi (Ergu dkk, 2011).
Induced Bias Matrix Model 𝐶 𝑛 harus sama dengan (atau dekat) matriks nol jika matriks perbandingan berpasangan A sempurna (atau kurang lebih) konsisten. Dimana A adalah matriks perbandingan berpasangan „lengkap‟
yang direvisi dengan mengganti nilai yang hilang dengan variabel yang tidak diketahui x, 1/x; y, 1/y; z,1/z; dsb, sedangkan n menunjukkan ordo matriks perbandingan berpasangan.
Langkah-langkah IBMM untuk memperkirakan nilai yang hilang meliputi:
1. Ganti nilai-nilai yang hilang dengan variabel yang tidak diketahui x, 1/x; y, 1/y; z,1/z; dsb dan mendapatkan matriks perbandingan berpasangan A.
2. Membangun model 𝐶 𝑛 dan menghitung IBM matriks C.
3. Minimalkan semua entri bias dari IBM matriks C, selesaikan semua entri varriabel yang tidak diketahui menjadi (sama dengan) nol dan mendapat 𝑛 𝑛 jumlah persamaan.
4. Selesaikan persamaan-persamaan linear atau non linear.
5. Rata-rata semua solusi untuk menjaga konsistensi global dan menemukan nilai variabel yang optimal.
6. Ganti nilai-nilai yang hilang dengan nilai-nilai yang optimal dan menguji konsistensi matriks perbandingan berpasangan untuk menjaga konsistensinya.
2.8.2 Prinsip Metode IBMM
Berdasarkan usulan teorema IBMM untuk matriks perbandingan berpasangan yang tidak lengkap, kita dapat dengan sengaja menghilangkan beberapa perbandingan sesuai dengan pentingnya jumlah item yang akan berkurang dan peningkatan desain kuesioner untuk pengambilan keputusan yang cepat dan efisien. Nilai yang hilang dapat diperkirakan menggunakan metode
II-31
IBMM. Dalam menghilangkan beberapa perbandingan nilai item dari 1 sampai 𝑛 𝑛 pada setiap matriks perbandingan berpasangan untuk memperbaiki desain kuesioner, dimana n adalah ordo matriks perbandingan berpasangan.