vi
HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN AMAN DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN
Anju Hassudungan Da Ponty
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan perusahaan yang berjumlah 98 subjek. Peneliti berhipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara gaya kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan skala kelekatan aman dan skala komitmen organisasi yang disusun dengan teknik Likert. Skala kelekatan aman memiliki reliabilitas α = 0,859 sedangkan skala komitmen organisasi memiliki reliabilitas sebesar α = 0,906. Analisis data dilakukan dengan menggunakan korelasi Spearman’s rho, karena variabel kelekatan aman mempunyai nilai asumsi normalitas yang tidak normal (p = 0,000; p > 0,05). Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi sebesar rs = 0,469 dan p
= 0.000 (p < 0,01). Artinya terdapat hubungan yang positif antara gaya kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan.
vii
THE RELATIONSHIP BETWEEN SECURE ATTACHMENT STYLE AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT ON EMPLOYEES
Anju Hassudungan Da Ponty
ABSTRACT
This research have a purpose to find a relationship between secure attachmant style and organizational commitment on employees. Respondent in this research were organizational employees and was conducted 98 respondents. Hypothesis in this research was there is a positive relation between secure attachment style with organizational commitment on employees. The data of this reseach were gained by secure attachment questionnaires and commitment organizational questionnaires using Likert method. The reliability of secure attachment questionnaires were α = 0,859, whereas organizational commitment questionnaires were α = 0,906. The analysis of data were used Spearman’s rho correlation, because of the analyze of normality were not normal (p = 0,000; p > 0,05). The result of correlation showed rs = 0,469 and p = 0.000 (p < 0,01). It means
there is a positive correlation between secure attachment style with organizational commitment on employees.
HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN AMAN DENGAN
KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Anju Hassudungan Da Ponty
NIM: 109114112
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN AMAN DENGAN
KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Anju Hassudungan Da Ponty
NIM: 109114112
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
“Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan”.
(Amsal 1:7)
Karya ini aku persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus, yang begitu baik dan teramat baik dan selalu menyertaiku selama pengerjaan skripsi ini.
Kedua orang tuaku, adik-adik, dan seluruh keluarga, terima kasih untuk dukungan, dan semangat yang telah diberikan.
vi
HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN AMAN DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN
Anju Hassudungan Da Ponty
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan perusahaan yang berjumlah 98 subjek. Peneliti berhipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara gaya kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan skala kelekatan aman dan skala komitmen organisasi yang disusun dengan teknik
Likert. Skala kelekatan aman memiliki reliabilitas α = 0,859 sedangkan skala komitmen organisasi memiliki reliabilitas sebesar α = 0,906. Analisis data dilakukan dengan menggunakan korelasi Spearman’s rho, karena variabel kelekatan aman mempunyai nilai asumsi normalitas yang tidak normal (p = 0,000; p > 0,05). Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi sebesar rs = 0,469 dan p
= 0.000 (p < 0,01). Artinya terdapat hubungan yang positif antara gaya kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan.
vii
THE RELATIONSHIP BETWEEN SECURE ATTACHMENT STYLE AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT ON EMPLOYEES
Anju Hassudungan Da Ponty
ABSTRACT
This research have a purpose to find a relationship between secure attachmant style and organizational commitment on employees. Respondent in this research were organizational employees and was conducted 98 respondents. Hypothesis in this research was there is a positive relation between secure attachment style with organizational commitment on employees. The data of this reseach were gained by secure attachment questionnaires and commitment organizational questionnaires using Likert method. The reliability of secure attachment questionnaires were α = 0,859, whereas organizational commitment questionnaires were α = 0,906. The analysis of data were used Spearman’s rho correlation, because of the analyze of normality were not normal (p = 0,000; p > 0,05). The result of correlation showed rs = 0,469 and p = 0.000 (p < 0,01). It means
there is a positive correlation between secure attachment style with organizational commitment on employees.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan rahmat-Nya,
bantuan, bimbingan dan ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan
judul “Hubungan Antara Kelekatan Aman dengan Komitmen Organisasi pada
Karyawan”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik. oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, berkat penyertaan-Nya semua dapat dilalui dengan
sangat baik. Jesus is good, and always.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan dan Dosen
Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan
nasehat-nasehatnya kepada peneliti selama menempuh studi di Fakultas Psikologi.
3. Ibu Ratri Sunar Astuti, S. Psi., M. Si., selaku Ketua Program Studi
Fakultas Psikologi. Terima kasih bimbingannya selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Psikologi.
4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi., selaku pembimbing skripsi yang telah
membantu dalam memberikan saran, masukan dan bimbingannya kepada
x
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi, yang telah mendedikasikan waktu untuk
memberikan ilmu dan pengetahuan yang membantu pola pikir peneliti
menjadi lebih dewasa untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik.
6. Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gik, selaku sekretariat Fakultas Psikologi,
terima kasih banyak untuk bantuan dan kerjasamanya selama penulis
menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi. Mas Muji dan Mas Doni,
selaku staf Lab. Psikologi, terima kasih banyak untuk bantuannya,
terutama saat praktikum alat tes, kalian sangat membantu.
7. Bapak John Edward, selaku General Manager PT. X dan PT. Y, yang telah
membantu, dan memberikan ijin serta kesempatan untuk uji coba (try out)
dan pengambilan data di perusahaan yang bapak pimpin.
8. Segenap karyawan perusahaan yang telah membantu.
9. Orang tua tercinta yang telah sabar, membimbing, membantu memberikan
pencerahan ketika mengalami kebingungan dan menyediakan setiap
kebutuhan yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih
banyak papa dan mama.
10. Adik-adik tersayang (Anggi Destoni Suwardani Simanjuntak, Indah Ayu
Tri Artha Simanjuntak, dan Kevin Martin Tito Simanjuntak) yang selalu
mendukung dengan canda-tawa dan doa hingga terselesaikannya skripsi
ini.
11. Teman-teman angkatan 2010, senang berdinamika bersama kalian selama
xi
12. Keluarga besar P2TKP (pak Adi, pak Toni, mbak Tia, Sr. Dewi, pak Tius,
pak Landung, Lito, Bella, Ardi, Lukas, Yovi, Natasha, Bibin, Wuri, Rika,
Grace, Pudar, Ester, Dimas, Stanis, Tiara, Cia-cia, Shasha, Lenny, Retha,
Jessica, Pipit, Estu). Sangat senang dan bersyukur bisa berada di
organisasi ini, senang untuk proses yang telah dilakukan bersama (refleksi,
training, testing, konseling).
13. Kepada “geng Koplo” (Rio “Yatim” dan Engger) terima kasih banyak
untuk waktu yang telah diluangkan untuk diskusi skripsi bersama. Salam
sukses.
14. Pribadi-pribadi yang membaca skripsi ini, terima kasih karena sudah
meluangkan waktu untuk membaca skripsi ini, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat, memberikan informasi yang berguna di dalam menjalani
kehidupan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran untuk perbaikan agar
menjadi lebih baik lagi kedepannya. Penulis juga berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
xiii
1. Manfaat Teoritis ... 13
2. Manfaat Praktis ... 13
BAB II LANDASAN TEORI ... 14
A. Komitmen Organisasi ... 14
1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 14
2. Dimensi Komitmen Organisasi ... 15
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 17
4. Proses Pembentukan Komitmen Organisasi ... 19
5. Dampak Komitmen Organisasi ... 20
6. Penelitian tentang Komitmen Organisasi ... 21
B. Kelekatan Aman ... 22
1. Pengertian Kelekatan ... 22
2. Pola-pola Kelekatan ... 24
3. Dimensi Kelekatan ... 27
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kelekatan Aman ... 29
5. Penelitian tentang Kelekatan Aman ... 31
C. Dinamika Hubungan antara Kelekatan Aman dengan Komitmen Organisasi ... 32
D. Skema ... 35
E. Hipotesis ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 37
xiv
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37
1. Variabel Bebas ... 37
2. Variabel Tergantung ... 38
C. Definisi Operasional ... 38
1. Kelekatan Aman ... 38
2. Komitmen Organisasi ... 40
D. Subjek Penelitian ... 40
E. Metode Pengumpulan Data ... 41
1. Skala Kelekatan Aman ... 41
2. Skala Komitmen Organisasi... 44
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 47
1. Validitas ... 47
2. Seleksi Aitem ... 48
3. Reliabilitas ... 53
G. Metode Analisis Data ... 54
1. Uji Asumsi ... 54
a. Uji Normalitas ... 54
b. Uji Linearitas ... 55
2. Uji Hipotesis... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56
A. Pelaksanaan Penelitian ... 56
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 57
xv
D. Data Asumsi Hasil Penelitian ... 61
1. Uji Normalitas ... 61
a. Sebaran Data Variabel Kelekatan Aman ... 61
b. Sebaran Data Variabel Komitmen Organisasi... 62
2. Uji Linearitas ... 62
E. Uji Hipotesis ... 63
F. Pembahasan ... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 69
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 69
1. Bagi Para Pemimpin dalam Perusahaan ... 69
2. Bagi Para Karyawan Perusahaan ... 70
3. Untuk Penelitian Selanjutnya ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 72
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 - Blueprint Skala Kelekatan Aman ...43
Tabel 2 - Penskoran Aitem Skala Kelekatan Aman ...44
Tabel 3 - Blueprint Skala Komitmen Organisasi...46
Tabel 4 - Penskoran Skala Komitmen Organisasi ...47
Tabel 5 - Seleksi Aitem Skala Kelekatan Aman Sebelum Ujicoba ...50
Tabel 6 - Sebaran Aitem Skala Kelekatan Aman Setelah Ujicoba ...51
Tabel 7 - Seleksi Aitem Skala Komitmen Organisasi Sebelum ujicoba ...52
Tabel 8 - Sebaran Aitem Skala Komitmen Organisasi Setelah Ujicoba ...53
Tabel 9 - Deskripsi Subjek Penelitian ...58
Tabel 10 - Jenis Kelamin...58
Tabel 11 - Masa Kerja ...59
Tabel 12 - Data Hasil Penelitian ...60
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 – Skala Komitmen Organisasi dan Skala Kelekatan Aman ...76
Lampiran 2 – Hasil Seleksi Aitem Skala Komitmen Organisasi dan Skala Kelekatan aman ...87
Lampiran 3 – Reliabilitas Skala Kelekatan Aman dan Komitmen Organisasi ...92
Lampiran 4 – Uji Deskriptif Mean Empirik ...94
Lampiran 5 – Uji Normalitas ...95
Lampiran 6 – Uji Linearitas ...96
Lampiran 7 – Grafik Scatter Plot ...97
1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Di dalam organisasi terdapat unsur yang penting yaitu individu-individu
yang ada di dalamnya. Organisasi tidak dapat bergerak jika tidak ada yang
menggerakkannya, dan yang menggerakkannya adalah individu-individu yang
saling berinteraksi di dalamnya (Waluyo, 2013). Menurut Statt (1994) ada tiga
faktor utama dalam suatu organisasi untuk dapat disebut sebagai suatu organisasi,
yaitu: identitas sosial, koordinasi dan adanya tujuan. Pertama, identitas sosial
adalah suatu rasa memiliki yang dibentuk oleh organisasi pada anggotanya.
Kedua, koordinasi yaitu suatu aktivitas yang direncanakan yang mana setiap
orang akan berinteraksi satu sama lain untuk saling mendukung dan saling
melengkapi. Terakhir, mempunyai tujuan yaitu adanya suatu aktivitas yang
direncanakan karena adanya suatu tujuan organisasi yang harus dicapai.
Organisasi mengharapkan anggotanya mempunyai rasa memiliki sehingga tujuan
yang sudah direncanakan dapat tercapai. Hal tersebut membuat organisasi
menginginkan anggotanya mempunyai suatu sikap dan peran serta yang positif
dengan mengoptimalkan kemampuannya untuk tercapainya tujuan organisasi.
Sikap dan peran serta positif tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap komitmen
terhadap organisasi.
Komitmen terhadap organisasi memberikan pengaruh yang positif
masa kerja yang lebih lama, dan meningkatkan performa kerja (Pinks,
2013). Namun, ketika banyak anggota organisasi yang melakukan turnover
membuat organisasi mengalami kerugian dan tidak bisa mencapai tujuannya.
Kerugian tersebut meliputi biaya yang keluar ketika melakukan rekruitmen,
seleksi, pelatihan/training, dan kehilangan produktivitas. Penurunan turnover
pada karyawan memberikan hasil yang jelas secara signifikan pada pengurangan
biaya operasional (Pinks, 2013).
Arnold dan Feldman (dalam Pinks, 2013) menyatakan bahwa dalam
penelitian-penelitian sebelumnya telah ditemukan bahwa karyawan dengan
komitmen yang tinggi terhadap organisasi mempunyai angka turnover yang
rendah dibandingkan dengan karyawan dengan komitmen yang rendah.
Penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa karyawan dengan
komitmen organisasi yang rendah mempunyai intensi yang tinggi untuk mencari
pekerjaan baru, dari pada karyawan dengan komitmen yang tinggi.
Organisasi tidak hanya memerlukan SDM yang unggul, namun juga
menginginkan SDM yang mempunyai sikap yang positif dalam hal ini komitmen
terhadap organisasi. Menurut Steers (1980) komitmen organisasi merupakan suatu
sikap positif yang kuat terhadap organisasi. Menurut Riggio (2008) komitmen
organisasi adalah suatu perasaan dan sikap yang dimiliki oleh karyawan terhadap
seluruh pekerjaan organisasi. Menurut Mowday et al, Reichers, Salancik, Scholl
dan Staw (dalam Meyer dan Allen, 1997) komitmen organisasi merupakan
karakteristik atas sikap dan perilaku. Komitmen berdasarkan karakteristik sikap
hubungannya dengan organisasi. Pada karakteristik ini, anggota organisasi
mempunyai pemikiran bahwa nilai-nilai dan tujuan yang mereka miliki sama
dengan yang dimiliki oleh organisasi. Komitmen berdasarkan karakteristik
perilaku berfokus pada proses dimana anggota organisasi merasa nyaman di
dalam organisasi dan bagaimana mereka menyelesaikan setiap masalah yang
ditemui.
Komitmen organisasi merupakan suatu konstruk psikologi karena meliputi
perasaan-perasaan (suka atau tidak suka) terhadap situasi kerja (Riggio, 2008).
Sedangkan menurut O’Reilly (1989) komitmen organisasi adalah suatu ikatan
psikologis seseorang pada organisasi, termasuk suatu perasaan keterlibatan dalam
suatu pekerjaan, loyal dan percaya pada nilai-nilai organisasi. Meyer dan Allen
(1997) berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah suatu keadaan psikologis
yang mana terdapat suatu hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan
mempunyai implikasi pada pengambilan keputusan untuk melanjutkan
keanggotaan di dalam organisasi. Adanya perasaan terhadap situasi kerja akan
menentukan keputusan anggota organisasi terhadap organisasi mengenai
kelanjutannya untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan atau
tidak. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu ikatan
psikologis yang mana membuat anggota organisasi mempunyai suatu penerimaan
terhadap nilai-nilai, tujuan dan keinginan untuk tetap menjadi bagian organisasi
yang menjadikan anggota organisasi mau bekerja keras atas nama organisasi
Komitmen organisasi merupakan suatu hal yang penting dalam kemajuan
suatu organisasi (Steers, 1980). Tidak adanya komitmen yang dimiliki oleh
anggota terhadap organisasinya akan mengakibatkan menurunnya jumlah inovasi
dan kreativitas (menurut Goulder; Grusky; dalam Steers, 1980). Pada akhirnya,
tingginya tingkat perpindahan dan absensi anggota organisasi dapat menghambat
perkembangan keutuhan kelompok kerja (Burling, Lentz dan Wilson; dalam
Steers 1980). Dengan adanya komitmen yang dimiliki oleh para anggota
organisasi memungkinkan organisasi untuk dapat selalu melakukan
inovasi-inovasi dan evaluasi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan. Sikap positif yang
ditunjukkan oleh anggota organisasi juga akan membuat anggota organisasi mau
mencurahkan perhatian, kemampuan, dan waktunya untuk kepentingan organisasi.
Selain itu, komitmen juga akan menimbulkan suatu perasaan memiliki dari
anggota organisasi terhadap organisasinya. Dengan adanya rasa memiliki terhadap
organisasi ini optimalisasi terhadap kemampuan yang dimiliki oleh anggota dapat
dimungkinkan tercapai karena anggota organisasi mempunyai keinginan untuk
tetap menjadi anggota organisasi (Steers, 1980). Hal tersebut berdampak baik
pada organisasi karena tujuan organisasi juga akan semakin mudah untuk dicapai.
Meyer dan Allen (1997) mengklasifikasikan komitmen organisasi menjadi
tiga komponen yang dapat menjelaskan komitmen anggota organisasi mengenai
perilakunya terhadap organisasi, yaitu: affective commitment, continuance
commitment, dan normative commitment. Affective commitment yaitu suatu
kelekatan emosional anggota organisasi, pengidentifikasian dan keterlibatan di
dasar yang berpengaruh, melanjutkan bekerja pada organisasi karena mereka
menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997). Jadi, affective commitment
merepresentasikan pada kelekatan emosional seseorang terhadap organisasi.
Meyer dan Allen (1997) menjelaskan continuance commitment sebagai
kesadaran atas adanya biaya yang dihubungkan jika meninggalkan organisasi.
Karyawan yang memiliki continuance commitment bertahan di dalam organisasi
karena mereka membutuhkannya. Jadi, continuance commitment menunjukkan
komitmen untuk tetap bersama organisasi karena adanya biaya yang dihubungkan
jika meninggalkan organisasi. Normative commitment, diartikan sebagai suatu
perasaan kewajiban untuk melanjutkan atau tetap bekerja pada organisasi. Hal ini
karena adanya kepercayaan atas suatu tugas dan kewajiban yang membuat
individu patuh untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi
(Riggio, 2008).
Komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan terbentuk karena
adanya proses identifikasi yang dilakukan oleh karyawan. Karyawan melakukan
identifikasi pada nilai-nilai, karakteristik dan tujuan organisasi (Kagan, dalam
O’Reilly dan Chatman, 1986). Proses tersebut dapat terjadi ketika individu
menerima pengaruh lingkungan sekitarnya untuk mempertahankan atau menjaga
hubungan yang baik dengan sekitar, termasuk individu merasa bangga menjadi
bagian suatu kelompok, menghargai nilai-nilai yang ada pada kelompok dan
menyelesaikan tugas dengan kemampuan sendiri (O’Reilly dan Chatman, 1986).
Pada umumnya identifikasi terjadi pada setiap individu. Bayi melakukan
berjalan dengan baik maka akan mengarahkan bayi untuk memiliki internal
working model yang positif. Pada penelitian ini karyawan juga melakukan
identifikasi pada organisasinya, proses tersebut terjadi karena karyawan menerima
karakteristik, dan tujuan-tujuan dari organisasi (Kagan, dalam O’Reilly dan
Chatman, 1986). Proses tersebut mengarahkan karyawan memiliki internal
working model yang positif, dengan internal working model positif tersebut
karyawan memiliki kelekatan aman yang mengarahkan karyawan memiliki
komitmen organisasi.
Proses identifikasi merupakan suatu mekanisme penting di dalam
perkembangan kelekatan. Menurut Kagan (dalam O’Reilly dan Chatman, 1986)
menyatakan bahwa berdasarkan dari perspektif tersebut, kelekatan yang terjadi
pada individu, objek, grup, atau organisasi merupakan hasil dari identifikasi
terhadap sikap, nilai-nilai, atau tujuan dari objek yang dijadikan model. Beberapa
atribut, motif ataupun karakteristik dari model diterima oleh individu dan menjadi
bagian dari cara berpikir individu.
Ikatan yang pertama kali dibuat adalah ikatan antara bayi dengan pengasuh
utamanya (Schusterschitz et al, 2011).Sementara itu, menurut Schmidt, Hollmann
dan Sodenkamp (dalam Schusterschitz et al, 2011) selama hidupnya seorang
individu mempertahankan berbagai macam ikatan-ikatan. Ikatan-ikatan tersebut
tidak hanya dengan individu yang lainnya, tapi juga mempunyai komitmen
terhadap suatu produk-produk, klub, merek dagang, opini-opini dan konteks yang
paling penting dalam pembahasan ini yaitu organisasi dimana individu tersebut
suatu ikatan terhadap sesamanya namun juga terhadap suatu opini, benda dan juga
suatu kelompok. Ikatan-ikatan tersebut dapat terjadi karena adanya suatu
pengalaman ikatan yang sudah didapatkan terlebih dahulu antara bayi dengan
pengasuh utamanya pada saat awal masa kehidupan individu.
Ikatan yang dibuat individu dengan pengasuh utamanya pada saat masa
awal kehidupan tersebut disebut sebagai attachment (kelekatan). Menurut Bowlby
(1981) pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk membuat ikatan
afeksional yang kuat pada orang-orang tertentu (dalam Pelawi, 2004). Anak yang
menyadari pengasuh mereka selalu tersedia dan responsif akan mengembangkan
secure attachment. Berdasarkan pengalaman tersebut, anak akan membangun
suatu gambaran ikatan kasih sayang yang dipertahankan pada pengasuhnya yang
dapat digunakannya sebagai tempat yang aman ketika orang tua sedang tidak ada
didekatnya. Ketika pengasuh responsif terhadap kebutuhan bayi maka sistem yang
dimilikinya dalam keadaan seimbang. Perasaan aman tersebut membuat anak
mengeksplorasi dunianya yang dapat memfasilitasi perkembangan sosial dan
fisiknya. Menurut Bowlby (dalam Prehar, 2001), eksplorasi merupakan suatu hal
yang penting untuk perkembangan fisik, emosional, dan kemampuan sosial.
Sistem kelekatan yang aman juga memberikan fungsi perlindungan. Jika selama
eksplorasi anak mendapatkan pengalaman yang mengancam atau tidak nyaman,
maka mereka tahu bahwa mereka bisa kembali kepada orang tua mereka untuk
perlindungan (Prehar, 2001). Pengasuh yang tidak responsif terhadap pemenuhan
tempat yang aman untuk mengeksplorasi, atau tempat aman untuk kembali ketika
anak sedang mengalami stress.
Bowlby (1988) juga mengatakan bahwa anak mengembangkan model
kerja internal (internal working model), atau skema mental dari diri dan figur yang
dilekatinya (dalam Prehar, 2001). Model ini terdiri dari kepercayaan mengenai
pribadi yang berharga dalam hal ini pengasuh, dan ekspektasi bagaimana
responsif terhadap figur tersebut kedepannya. Menurut Fonagy (2006)
pengalaman aman tersebut yang merepresentasikan ketidaksadaran sistem
kepercayaan yang terintegrasi pada pengalaman awal, pada kondisi yang
menguntungkan dan mereflkesikan kepercayaan anak kepada pengasuh yang
selalu ada, memahami dan tanggap (dalam Liey, 2012). Menurut Bretherton dan
Munholland (dalam Berk, 2008) mengatakan bahwa model kerja internal (internal
working model) menjadi suatu bagian yang penting dalam kepribadian, hal
tersebut akan menuntun pada semua hubungan dekat yang dijalin kedepannya.
Selain itu, menurut Waters (dalam Crowell & Treboux, 1995) mengatakan bahwa
mental model ini penting karena dapat menjelaskan pengaruh dari pengalaman
awal hidup pada perilaku dan perkembangan yang akan datang.
Bowlby (dalam Berk, 2008) menyatakan bahwa kualitas dari kelekatan
(attachment) pada pengasuh mempunyai implikasi pada perasaan aman seorang
anak dan kapasitasnya dalam membentuk suatu hubungan yang dapat dipercaya.
Berdasarkan penyataan Bowlby, maka Ainstworth (dalam Berk, 2008) melakukan
suatu observasi yang mendalam pada perilaku bayi terhadap ibunya dalam situasi
terhadap respon anak-anak, para peneliti mengidentifikasikan pola kelekatan aman
(secure attachment) dan ada tiga pola kelekatan tidak aman (insecure attachment),
yaitu: kelekatan menghindar (insecure avoidant), kelekatan
cemas-menolak (insecure ambivalent / anxiety) dan kelekatan tidak teratur–tidak terarah
(disorganized / disoriented attachment) (Berk, 2008; Liey, 2012).
Berdasarkan pola kelekatan aman dan kelekatan tidak aman, bayi dengan
pola kelekatan aman (secure attachment) mempunyai seorang pengasuh yang
sensitif dan responsif terhadap sinyal-sinyal yang diberikan bayi dan hal tersebut
dilakukan secara konsisten. Bayi dengan kelekatan cemas-menolak (insecure
ambivalent / anxiety) menerima perhatian yang tidak konsisten dari pengasuh
mereka. Terkadang pengasuhnya tidak ada dan tidak responsif. Bayi dengan
kelekatan cemas-menghindar (insecure avoidant) mempunyai pengasuh yang
menolak kebutuhan-kebutuhan bayi tersebut. Pengasuh cenderung untuk menolak
atau mengabaikan permintaan bayi untuk berdekatan, terutama kedekatan dalam
kontak fisik (Prehar, 2001). Sedangkan, bayi dengan kelekatan tidak teratur-tidak
terarah disorganized / disoriented attachment) menunjukkan pola yang paling
tidak aman (Berk, 2008). Bayi dengan pola ini memiliki pola yang tidak
terorganisasi dalam menghadapi situasi stress (Liey, 2012).
Pola kelekatan yang telah ditemukan oleh para peneliti ternyata
mempunyai pengaruh pada perilaku seseorang kedepannya. Shaver dan Hazan
(dalam Prehar, 2001) menyatakan bahwa hubungan kelekatan pada orang dewasa
dipengaruhi oleh pengalaman kelekatan pada masa kanak-kanak. Selain itu,
adalah prototip hubungannya dikemudian hari, dan dengan demikian diharapkan
adanya hubungan yang kuat antara pola kelakatan bayi dan pengasuhnya (Feeney
dan Noller; Levitt; dalam Prehar, 2001).
Pola kelekatan aman (secure attachment) mempunyai ciri adanya rasa
percaya yang ditunjukkan seorang anak terhadap orang dewasa. Hal tersebut
membuat anak untuk fokus pada pembelajaran kemampuan yang baru dan
membangun relasi dengan orang lain seperti orang dewasa lainnya dan anak-anak
yang lain. Anak juga belajar untuk mempunyai hubungan yang dekat dengan
orang lain. Anak dengan kelekatan aman (secure attachment) juga mempunyai
kemampuan komunikasi yang baik, dan mempunyai regulasi diri yang mana
membuat anak tahu kapan bertindak, merespon dan mengekspresikan emosi yang
ia rasakan dengan cara yang baik (Wittmer, 2011). Seperti yang diungkapkan oleh
para peneliti psikoanalisa bahwa kelekatan seorang bayi dengan pengasuhnya
merupakan suatu prototip hubungan bayi tersebut kedepannya. Hal tersebut
ditemukan oleh Hazan dan Shaver (1990) yang melaporkan bahwa orang dewasa
dengan kelekatan aman (secure attachment) menunjukkan rasa percaya yang
tinggi, adanya rasa akan kedekatan terhadap rekannya, dan senang terhadap
hubungan dengan orang lain. Dalam menjalin suatu hubungan, mereka cenderung
mempunyai hubungan yang bertahan lebih lama daripada orang dewasa yang
berorientasi pada kelekatan tidak aman (dalam Prehar, 2001).
Hazan dan Shaver (1990) mengemukakan bahwa pekerjaan pada orang
dewasa sama dengan eksplorasi yang dilakukan pada masa kanak-kanak (dalam
mengembangkan kesadaran akan kompetensinya dan untuk mengembangkan
dunianya. Hazan dan Shaver (dalam Prehar, 2001) juga mengatakan bahwa orang
dewasa dengan kelekatan yang aman (secure attachment) merasa puas terhadap
apa yang mereka kerjakan dilihat oleh orang lain. Mereka juga mempunyai
ketertarikan terhadap suatu tugas dan kegiatan yang lain. Individu yang
mempunyai kelekatan cemas-menolak (insecure ambivalent / anxiety) mempunyai
fokus pada relasi interpersonal dimana mereka pada umumnya merasa salah
pengertian dan tidak dihargai oleh sesama anggota organisasi (Prehar, 2001).
Sedangkan menurut Hardy dan Berkham (1994) pada individu yang mempunyai
kelekatan cemas-menghindar (insecure avoidant) menunjukkan ketidakpuasaan
dan konflik dengan koleganya, ketidakpuasaan dengan variasi tugas dan merasa
bosan dengan pengalaman kerja yang mereka miliki (dalam Schusterschitz et al,
2011).
Hubungan antara kelekatan aman dengan komitmen organisasi merupakan
suatu hal yang penting. Karena efek yang ditimbulkan dari kelekatan aman yang
dimiliki anggota organisasi dapat mempengaruhi perkembangan organisasi
kedepannya. Dimilikinya komitmen organisasi membuat organisasi tidak perlu
untuk mencari anggota-anggota baru untuk mengisi lowongan yang kosong akibat
ditinggal anggota yang meninggalkan organisasi, sehingga inovasi dan kreatifitas
yang sudah dimiliki oleh organisasi dapat dipertahankan dalam organisasi tersebut
(Goulder; Grusky; dalam Steers, 1980).
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa anggota yang
Mereka memiliki relasi yang baik dengan kolega dalam pekerjaan. Hal tersebut
dikarenakan karyawan telah melakukan identifikasi terhadap rorganisasinya,
lingkungannya dan juga rekan kerjanya (Simmons, Gooty, Nelson dan Little,
2009). Identifikasi yang telah dilakukan membantu seseorang mempunyai cara
berpikir yang sama seperti lingkungan yang di identifikasi oleh karyawan (Kagan,
dalam O’Reilly dan Chatman, 1986). Kelekatan aman yang dimiliki dan
identifikasi yang dilakukan mengarahkan karyawan untuk mempunyai komitmen.
Sebaliknya anggota yang memiliki kelekatan yang tidak aman mempunyai
perasaan tidak puas terhadap pekerjaannya dan mempunyai konflik antar sesama
anggota organisasi yang pada akhirnya mempengaruhi performa mereka dalam
bekerja. Hal ini akan membuat anggota organisasi tidak mempunyai rasa memiliki
terhadap organisasi, tidak termotivasi karena tidak adanya perasaan nyaman
didalam organisasi dan pada akhirnya meninggalkan organisasi. Berdasarkan
uraian yang telah dijabarkan maka peneliti ingin mengetahui hubungan antara
kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara
kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kelekatan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memberikan informasi dan
sebagai sumber pengetahuan tambahan bagi ranah psikologi perkembangan
terutama mengenai topik kelekatan aman serta bagi ranah psikologi industri
dan organisasi terutama mengenai topik komitmen organisasi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi para HRD perusahaan adalah sebagai bahan kajian atau evaluasi
mengenai kelekatan aman dan komitmen organisasi. Selain itu juga,
dapat digunakan untuk mendeteksi dan menseleksi para calon
kandidat dengan melihat gaya kelekatan yang dimiliki.
b. Bagi subjek penelitian adalah subjek dapat menilai dirinya sendiri
bagaimana relasinya dengan organisasi, atasan maupun rekan kerja.
Selain itu juga, responden dapat mempunyai pemahaman dan mampu
melihat performanya, rasa memiliki terhadap organisasi dan
komitmen yang dimiliki terhadap organisasi yang mana hal tersebut di
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Komitmen Organisasi
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Menurut O’Reilly (1989) komitmen organisasi adalah suatu ikatan
psikologis individual terhadap organisasi, termasuk di dalamnya adanya suatu
perasaan terlibat di dalam suatu pekerjaan, loyalitas, dan keyakinan pada
nilai-nilai organisasi. Menurut Northcraft dan Neale (dalam Tella et al, 2007)
komitmen adalah suatu sikap yang merefleksikan loyalitas anggota organisasi
kepada organisasinya, dan suatu proses yang terus berlanjut yang mana
anggota organisasi menunjukkan ketertarikan mereka terhadap organisasi.
Wirawan (2013) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah perasaan
keterkaitan atau keterikatan psikologis dan fisik pegawai terhadap organisasi
tempat ia bekerja atau organisasi di mana ia menjadi anggotanya. Keterkaitan
psikologis artinya anggota organisasi merasa senang dan bangga bekerja
untuk atau menjadi anggota organisasi. Sedangkan keterkaitan secara fisik
artinya anggota organisasi akan berada di tempat kerja pada setiap jam kerja
dan selalu ada ketika dibutuhan oleh organisasi.
Menurut Meyer dan Allen (1997) komitmen organisasi secara umum
berdasarkan beberapa definisi yaitu merupakan suatu keadaan psikologis
mempunyai implikasi pada pengambilan keputusan untuk melanjutkan
keanggotaan di dalam organisasi. Sejalan dengan Meyer dan Allen, Steers
(1980) menyatakan bahwa komitmen merupakan suatu peristiwa di mana
anggota organisasi sangat tertarik pada tujuan, nilai-nilai, dan sasaran
organisasi. Komitmen lebih dari sekedar keanggotaan karena komitmen
meliputi sikap yang sangat menyenangkan organisasi dan kesediaan untuk
mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi
memperlancar pencapaian tujuan.
Berdasarkan uraian, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi
merupakan suatu ikatan psikologis anggota organisasi terhadap organisasinya
yang mana didalam ikatan tersebut ada suatu perasaan akan keterlibatan
terhadap suatu tugas, loyalitas dan identifikasi terhadap nilai yang dimiliki
oleh organisasi yang dapat dilihat dari sikap dan perilaku anggota organisasi.
2. Dimensi Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (1997) menjelaskan tiga komponen dari komitmen untuk
mengkonseptualisasikan komitmen organisasi kedalam tiga komponen, yaitu:
affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.
a. Affective commitment, yaitu suatu bentuk komitmen yang mana
representasi kelekatan emosional seseorang pada organisasi. Affective
commitment mengacu pada kelekatan emosional karyawan, identifikasi
komitmen pada organisasi berdasarkan dasar afektif melanjutkan
hubungannya dengan organisasi karena mereka menginginkannya.
b. Continuance commitment, yaitu salah satu dari tiga aspek komitmen
organisasi. Continuance commitment sebagai suatu kesadaran adanya
suatu biaya yang diasosiasikan ketika meninggalkan organisasi. Sejalan
dengan Meyer dan Allen, Luthans (2006) ketika anggota keluar dari
organisasi hal ini mungkin karena kehilangan senioritas atas promosi atau
benefit. Anggota organisasi yang bergabung dengan organisasi
berdasarkan continuance commitment bertahan karena membutuhkan
pekerjaan tersebut.
c. Normative commitment, yaitu model aspek terakhir dalam komitmen
organisasi. Normative commitment adalah suatu perasaan akan suatu
kewajiban untuk melanjutkan keanggotaan dengan organisasi. Anggota
organisasi dengan normative commitment yang tinggi merasa bahwa
mereka harus bertahan di organisasi.
Berdasarkan penjelasan maka dapat di simpulkan bahwa komitmen
organisasi memiliki tiga komponen, yaitu: affective, continuance, dan
normative commitment. Affective commitment mengacu pada kelekatan
emosional seseorang, continuance commitment mengacu pada pemikiran
untung rugi jika meninggalkan organisasi, sedangkan normative commitment
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Luthans (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor
personal, faktor organisasi dan faktor non-organisasi. Faktor personal antara
lain yaitu: usia, kedudukan dalam organisasi, disposisi seperti efektivitas
positif atau negatif, dan atribusi kontrol internal atau eksternal. Faktor
organisasi seperti: desain pekerjaan, nilai-nilai, dukungan organisasi dan gaya
kepemimpinan. Sedangkan faktor non-organisasi seperti adanya
alternatif-alternatif lain setelah bergabung bersama dengan organisasi.
Menurut Steers dan Stevens et al (dalam Pinks, 2013) terdapat tiga faktor
yang mengarahkan anggota organisasi memiliki komitmen organisasi, yaitu:
karakteristik personal, faktor pekerjaan, dan faktor organisasi. Karakteristik
personal mencakup kepercayaan, nilai-nilai, dan sikap yang menunjukkan
berbagai jenis faktor-faktor demografi. Karakteristik yang telah ditemukan
pada umunya menunjukkan level komitmen organisasi yang tinggi, seperti:
usia, status perkawinan, mempunyai kesamaan mengenai nilai dan tujuan
dengan organisasi, dan mempunyai kepuasan kerja (Pinks, 2013).
Faktor pekerjaan memberikan alternatif untuk meningkatkan perilaku
keterlibatan anggota organisasi atau mengurangi ambiguitas pada pekerjaan
yang mana berhubungan pada peningkatan komitmen organisasi (Pinks,
2013). Anggota organisasi yang baik berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan, memiliki ambiguitas yang rendah, konflik peran yang rendah, dan
Faktor organisasi mungkin mempengaruhi komitmen anggota organisasi yang
mencangkup besarnya perusahaan, jenis teknologi, peraturan-peraturan yang
berlaku, dan persatuan para anggota organisasi (Lincoln & Kalleberg, dalam
Pinks, 2013)
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi yaitu faktor personal yang
mana berasal dari anggota organisasi itu sendiri, seperti: usia ataupun sikap
yang dimiliki individu tersebut. Faktor organisasi yang berasal dari organisasi
itu sendiri, seperti: peraturan dan nilai-nilai yang dimiliki. Faktor terakhir
yaitu, non-organisasi yang berasal dari luar individu maupun organisasi,
seperti adanya lowongan pekerjaan lain setelah bergabung dengan organisasi.
Pada penelitian ini, peneliti melihat bahwa kelekatan masuk ke dalam
faktor personal. Pada faktor personal terdapat nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan dan sikap yang dimiliki oleh karyawan. Karakteristik pada faktor
personal tersebut membantu karyawan memiliki kelekatan aman, yang mana
karyawan melakukan identifikasi pada organisasi. Proses identifikasi yang
dilakukan oleh karyawan dapat berhasil karena dalam proses tersebut
karyawan menerima nilai, keyakinan maupun karakteristik dari organisasi
sehingga menjadi suatu cara berpikir kognitif karyawan (Kagan, dalam
4. Proses Pembentukan Komitmen Organisasi
Menurut O’Reilly (1986) komitmen organisasi berkembang melalui
beberapa tahap antara lain patuh dengan peraturan, identifikasi dan
internalisasi. Tahap pertama yaitu kepatuhan, pada tahap ini sikap-sikap dan
perilaku-perilaku yang tampak adalah diadopsi bukan karena percaya pada
nilai-nilai organisasi melainkan karena untuk mendapatkan imbalan yang
spesifik (Meyer dan Allen, 1997).
Tahap kedua yaitu, identifikasi yang mana pada tahap ini akan tampak
ketika anggota organisasi menerima pengaruh dari anggota yang lainnya
untuk mempertahankan kepuasaan diri yang berhubungan dengan organisasi.
Pada tahap ini anggota organisasi akan merasa bangga menjadi bagian dari
organisasi, menghargai nilai-nilai yang ada pada organisasi dan
menyelesaikan setiap tugas dengan kemampuan yang dimilikinya (Meyer dan
Allen, 1997). Proses identifikasi ini merupakan suatu mekanisme yang
penting di dalam perkembangan kelekatan anggota organisasi secara
psikologis (O’Reilly dan Chatman, 1986).
Tahap terakhir yaitu, internalisasi akan tampak ketika anggota organisasi
menemukan nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasi sama dengan nilai-nilai
yang dimilikinya secara personal (O’Reilly, dalam Meyer dan Allen, 1997).
Pada tahap ini nilai yang dimiliki oleh anggota organisasi sama dengan nilai
yang dimiliki oleh organisasi itu sendiri (O’Reilly dan Chatman, 1986).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya
di organisasi, melakukan identifikasi seperti menghargai nilai-nilai yang
dimiliki organisasi dan bangga menjadi bagian organisasi. Terakhir yaitu
internalisasi, kesadaran anggota organisasi terhadap nilai-nilai yang dimiliki
organisasi dengan nilai yang dimilikinya.
5. Dampak Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi mempunyai beberapa pengaruh terhadap anggota
organisasi. Dampak positif dari komitmen organisasi yaitu, karyawan dengan
affective commitment yang kuat mempunyai motivasi atau keinginan untuk
memberikan kontribusi yang berarti pada organisasi daripada karyawan
dengan affective commitment yang lemah. Karyawan dengan affective
commitment yang kuat akan memilih untuk tidak absen dan akan selalu
termotivasi untuk menunjukkan performa yang lebih baik pada saat bekerja
(Meyer dan Allen, 1997). Anggota organisasi yang memiliki komitmen
organisasi yang tinggi cenderung untuk mencari tantangan dalam setiap
aktivitas pekerjaan (Meyer dan Allen, 1997).
Komitmen organisasi pula mendorong anggota organisasi menunjukkan
perilaku prososial atau OCB (organizational citizenship behavior), seperti
kooperatif, suka menolong, perhatian dan bersungguh-sungguh dalam bekerja
(Luthans, 2006). Luthans (2006) menyatakan bahwa komitmen organisasi
menunjukkan hubungan yang positif dengan kinerja tinggi, tingkat pergantian
karyawan yang rendah, dan tingkat ketidakhadiran yang rendah. Persepsi
baik yang siap membantu merupakan beberapa hasil lain yang mempunyai
hubungan dengan komitmen organisasi (Luthans, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
yang ditimbulkan dengan dimilikinya komitmen organisasi, yaitu: anggota
organisasi termotivasi untuk menunjukkan performa yang lebih baik,
menunjukkan perilaku prososial, tingkat pergantian karyawan dan tingkat
ketidakhadiran yang rendah dan anggota organisasi cenderung untuk mencari
tantangan dalam setiap aktivitasnya.
6. Penelitian Tentang Komitmen Organisasi
Menurut O’Reilly dan Chatman (1986) dalam penelitiannya mengenai
komitmen organisasi dan kelekatan psikologis menunjukkan bahwa
komitmen yang berdasarkan pada internalisasi (adanya persamaan nilai yang
dimiliki individu dengan organisasi) mempunyai hubungan yang signifikan
terhadap perilaku sosial didalam organisasi, berhubungan sangat kuat
terhadap keinginan untuk bertahan di dalam organisasi, dan mempunyai
hubungan yang negatif terhadap turnover. Komitmen berdasarkan pada
identifikasi, menunjukan hasil yang sama dengan komitmen berdasarkan
internalisasi, yang mana menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
terhadap perilaku prososial dan keinginan untuk tetap bertahan di organisasi,
dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap turnover. Sedangkan pada
komitmen yang berdasarkan pada kepatuhan menunjukkan hubungan yang
Komitmen organisasi juga dapat muncul dari pemimpin. Hal tersebut
seperti dijelaskan dalam penelitian Rowden (1999) yaitu pemimpin yang peka
terhadap kebutuhan para anggota mempunyai hubungan yang positif terhadap
komitmen organisasi, mempunyai visi yang jelas dan dapat mengartikulasi
visi tersebut dengan baik juga berkaitan dengan komitmen, dan anggota
organisasi yang sudah tua cenderung untuk lebih komit pada organisasi.
B. Kelekatan Aman
1. Pengertian Kelekatan
Menurut Bowlby (1969) kelekatan adalah suatu ikatan afeksi yang kuat
yang dirasakan kepada orang tertentu di dalam kehidupan (dalam Feeney dan
Noller, 1996). Bowlby menyakinkan bahwa anak-anak membutuhkan suatu
hubungan yang dekat dan berlanjut dengan pengasuh utama mereka untuk
pertumbuhan emosional. Menurut Bowlby (dalam Keller dan Cacioppe,
2001) pengalaman awal bersama dengan pengasuh selama masa pengasuhan
menghasilkan model kerja internal (internal working models), atau skema
yang mengarahkan pada ekpektasi-ekspektasi tentang diri dan orang lain.
Menurut Bowlby (dalam Keller dan Cacioppe, 2001) model kerja internal
(internal working models) terdiri dari tiga elemen, yaitu: siapa figur yang
dilekati, bagaimana respon yang diharapkan terhadap figur yang dilekati, dan
bagaimana diri dapat diterima menurut sudut pandang dari figur yang dilekati.
orang lain, dan hubungan-hubungan yang terbentuk selama interaksi bayi
bersama dengan pengasuhnya (Shaffer dan Kipp, 2012).
Selanjutnya, Bowlby (dalam Feeney dan Noller, 1996) mengatakan bahwa
perilaku melekat adalah suatu bentuk sistem perilaku yang terorganisir. Hal
tersebut ditunjukkan dengan bermacam-macam perilaku (seperti tersenyum
atau menangis) yang mempunyai satu fungsi yaitu agar pengasuh tetap dekat.
Tujuan dari sistem ini adalah untuk mengontrol perilaku atau
mempertahankan hubungan dengan figur yang dilekati dan merasa aman.
Bowlby (dalam Feeney dan Noller, 1996) mempunyai hipotesis bahwa
perilaku melekat adalah adaptif, berkembang melalui proses seleksi alam.
Perilaku melekat ini membuat bayi untuk dapat bertahan hidup, melindungi
bayi dari bahaya dengan menjaga mereka selalu dekat dengan pengasuh
utamanya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelekatan
adalah suatu perasaan yang kuat, hubungan interpersonal yang dekat dengan
pengasuh atau ibu dan merupakan suatu bentuk perilaku yang terorganisir,
perilaku-perilaku seperti tersenyum atau menangis yang berfungsi untuk
membuat pengasuh tetap dekat. Pengalaman di awal kehidupan tersebut akan
membentuk suatu skema yang akan menjadi standar individu untuk
berinteraksi dengan orang lain. Terakhir, kelekatan juga merupakan suatu
2. Pola-pola Kelekatan
Pola pola kelekatan terbagi dalam beberapa bagian menurut Ainsworth et
al (dalam Berk, 2008) melalui penelitian yang dilakuan berdasarkan observasi
yang disebut dengan Strange Situasion, yaitu: kelekatan tidak aman (insecure
attachment) dibagi menjadi tiga, antara lain: kelekatan cemas-menghindar
(insecure avoidant), kelekatan cemas-menolak (insecure ambivalent/anxiety)
dan kelekatan tidak teratur–tidak terarah (disorganized/disoriented
attachment) dan kelekatan aman (secure attachment).
Pola pertama yaitu, kelekatan cemas-menghindar (insecure avoidant) yang
mana bayi dengan pola ini sering menunjukkan sikap distres ketika berpisah
dengan pengasuh dan pada umumnya menjauhi dan menolak pengasuhnya
ketika pengasuh mencoba untuk mendapatkan perhatiannya. Bayi dengan
pola ini sering ramah dengan orang asing tapi kadang-kadang mereka
menghindar atau menolak orang asing tersebut sama seperti mereka
menghindar atau menolak pengasuh mereka.
Pola kedua yaitu, kelekatan cemas-menolak (insecure ambivalent/anxiety)
yang mana bayi pada pola ini menunjukkan perilaku untuk dekat dengan
pengasuh mereka tapi melakukan sedikit eksplorasi ketika pengasuh ada
didekatnya. Mereka menjadi distres ketika pengasuh pergi, namun ketika
pengasuh kembali mereka menjadi ambivalen. Ketika pengasuh kembali, bayi
dengan pola ini menunjukkan perilaku untuk dekat namun memberikan kesan
untuk tidak memulai kontak fisik dengan pengasuh mereka (Shaffer dan
Kipp, 2012).
Pola yang ketiga yaitu, kelekatan tidak teratur–tidak terarah
(disorganized/disoriented attachment) pada pola kelekatan ini muncul
berdasarkan pola kelekatan anxiety dan pola kelekatan avoidant yang
menunjukkan kebingungan untuk mendekati atau menjauhi pengasuh (Main
dan Solomon, dalam Shaffer dan Kipp, 2012). Ketika bertemu dengan
pengasuh bayi dengan tipe ini berlaku bingung dan kaku, atau mereka
mencoba mendekati pengasuh lalu secara tiba-tiba bergerak menjauhi
pengasuh yang mencoba mendekat. Namun bisa juga bayi dengan pola ini
menunjukkan kedua pola tersebut dalam situasi yang berbeda (Shaffer dan
Kipp, 2012).
Pola yang terakhir yaitu, kelekatan aman (secure attachment) yang mana
pada pola ini bayi aktif dalam mengeksplorasi lingkungannya meskipun
sendiri dengan pengasuhnya dan terlihat tidak senang ketika berpisah dari
pengasuhnya. Bayi dengan pola ini selalu menyambut dengan hangat ketika
pengasuh kembali dan jika mengalami distres, mereka selalu mencari kontak
fisik dengan pengasuh yang mana membantunya untuk meredakan distres
mereka. Bayi dengan pola ini mudah bergaul dengan orang asing ketika
pengasuh mereka ada di dekatnya (Shaffer dan Kipp, 2012).
Pada penelitian ini peneliti memilih kelekatan aman (secure attachment)
sebagai salah satu variabel yang akan diukur yang akan dihubungkan dengan
dengan pola kelekatan aman menunjukkan perilaku yang mencari
kenyamanan, dan kemampuan untuk melihat pengasuh sebagai tempat yang
aman untuk melakukan eksplorasi (Hazan dan Shaver, 1994). Bayi dengan
pola kelekatan yang aman juga belajar bahwa orang lain merupakan sumber
yang dapat dipercaya akan rasa aman dan kebaikan (David, 2002). Pada orang
dewasa dengan pola kelekatan aman (secure attachment) menunjukkan
self-eficacy yang tinggi (Mikulincer dan Shaver; dalam Shiota et al, 2006),
mengharapkan hubungan yang saling mencintai dan mendukung (Hazan dan
Shaver; dalam Shiota et al, 2006), menunjukkan kemampuan dalam
mengelola emosi pada setiap kejadian-kejadian di lingkungan sosial,
mempunyai daya tarik dan penghargaan dalam suatu hubungan yang mana
terdapat kepercayaan dan dukungan. Hal tersebut disebabkan karena adanya
model kerja internal (internal working model) yang mereka miliki (Shiota et
al, 2006). Kelekatan aman juga mendukung fondasi psikologis untuk
mengeksplorasi lingkungan dan mengambil keuntungan dalam setiap
kesempatan baru yang ditemui individu, di samping itu juga meningkatkan
pengalaman akan suatu hubungan yang dekat (Ainsworth; Bowlby; dalam
Shiota et al, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kelekatan
mempunyai beberapa pola, yaitu kelekatan tidak aman (insecure attachment)
dan kelekatan aman (secure attachment). Kelekatan tidak aman terbagi
kedalam beberapa pola, antara lain: kelekatan cemas-menghindar (insecure
kelekatan tidak teratur–tidak terarah (disorganized/disoriented attachment)
dan kelekatan aman (secure attachment).
3. Dimensi Kelekatan Aman
Bartholomew dan Horowitz (1991) menjelaskan dua model yang telah
dikonseptualisasikan oleh Bowlby, yaitu dimensi mengenai diri (model of
self) dan dimensi mengenai orang lain (model of other). Berdasarkan dua
dimensi tersebut terbagi lagi menjadi positif dan negatif. Dimensi mengenai
diri (model of self) yang positif akan melihat bahwa dirinya berharga, dicintai
dan mendapatkan perhatian dari lingkungannya, sedangkan dimensi mengenai
diri (model of self) yang negatif akan melihat bahwa dirinya tidak berharga.
Dimensi mengenai orang lain (model of other) yang positif akan melihat
bahwa orang lain dapat dipercaya, perhatian dan selalu ada jika dibutuhkan,
sedangkan dimensi mengenai orang lain (model of self) yang negatif akan
melihat bahwa orang lain tidak dapat diandalkan / dipercaya, tidak bersahabat
dan tidak perhatian. Berdasarkan kedua dimensi diatas, maka dapat
memunculkan empat pola kelekatan pada orang dewasa, yaitu pola kelekatan
aman (secure), preoccupied, dismissing dan fearful (Bartholomew dan
Horowitz, 1991).
Pada pola kelekatan aman (secure attachment) menunjukkan adanya
perasaan akan berharga terhadap diri sendiri dan mempunyai ekspektasi
bahwa orang lain pada umumnya dapat dipercaya dan responsif. Individu
kepercayaan interpersonal (model of other) yang positif. Individu dengan pola
ini mencari kedekatan interpersonal dan merasa nyaman dalam hubungan.
Hal tersebut disebabkan karena individu dengan pola kelekatan aman (secure
attachment) mampu menunjukkan empati yang lebih besar, sehingga lebih
dapat mempersepsikan hubungan dari perspektif diri sendiri dan orang lain
(Shaver dan Brennan, dalam Medya, 2003).
Pola kelekatan preoccupied menunjukkan adanya rasa tidak berharga
terhadap diri sendiri namun mempunyai evaluasi atau melihat orang lain
secara positif. Individu dengan pola ini menunjukkan pandangan terhadap diri
(model of self) yang negatif dan adanya pandangan yang positif terhadap
orang lain (model of other) akan suatu penerimaan terhadap mereka. Individu
dengan pola ini akan mencari kedekatan dalam hubungan mereka, tetapi
mereka juga merasa cemas dan malu karena mereka merasa tidak pantas
menerima cinta dari orang lain. Ketika suatu hubungan memburuk, individu
pada pola ini akan mengalami depresi karena individu dengan pola ini merasa
tertekan terhadap penolakan dan mempunyai kebutuhan untuk dicintai dan
diakui (Whiffen dalam Medya, 2003).
Pola kelekatan dismissing menunjukan adanya perasaan akan dicintai atau
perasaan berharga terhadap diri sendiri namun melihat orang lain secara
negatif. Pada pola ini orang lain dilihat tidak dapat dipercaya dan diandalkan
(Bartholomew dan Horowitz, 1991). Individu dengan pola ini menunjukkan
gambaran akan diri (model of self) yang positif dan pandangan terhadap orang
sebagai seorang yang sangat berharga, independen, dan sangat layak untuk
mendapatkan hubungan yang dekat, namun orang lain melihat mereka tidak
seperti yang mereka bayangkan, individu pada pola ini dideskripsikan sebagai
individu yang tidak ramah dan terbatas keterampilan sosialnya (Medya,
2003).
Terakhir yaitu pola kelekatan fearful, menunjukkan perasaan akan tidak
berharga terhadap diri sendiri dan mempunyai ekspektasi yang negatif
terhadap orang lain. Pada pola ini diri sendiri (model of self) dan orang lain
(model of other) dilihat secara negatif, sehingga pada pola ini individu akan
menghindari hubungan atau keterlibatan yang dekat dengan orang lain
(Bartholomew dan Horowitz, 1991). Meminimalkan kedekatan interpersonal
dan menghindari hubungan akrab bertujuan agar terhindar dari rasa sakit
karena ditolak (Medya, 2003).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua dimensi
kelekatan, yaitu: dimensi mengenai diri (model of self) dan dimensi mengenai
orang lain (model of other). Kedua dimensi tersebut juga terbagi lagi kedalam
positif dan negatif, sehingga memunculkan beberapa pola kelekatan, antara
lain: kelekatan aman (secure attachment), preoccupied attchment, dismissing
attachment, dan fearful attachment.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelekatan Aman
Menurut Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1996) sistem kelekatan
genetik, dan pengaruh budaya. Faktor pertama yaitu, pengalaman individu.
Bowlby (dalam Feeney dan Noller, 1996) memberikan penekanan pada
pengalaman awal pengasuhan yang mana pada tahap ini menunjukkan
kualitas kelekatan antara pengasuh dan bayi bergantung pada bias awal antara
ibu dan anak yang mempengaruhi hubungan dan mempengaruhi satu sama
lain. Ainsworth (dalam Shaffer dan Kipp, 2012) percaya bahwa kualitas
kelekatan pada masa bayi bergantung pada seberapa besar perhatian yang
didapatkan oleh bayi. Kualitas dari pengasuhan tersebut dapat ditunjukkan
dengan perilaku responsif, hangat dan selalu ada ketika bayi membutuhkan
(Feeney dan Noller, 1996).
Faktor kedua yaitu, kondisi genetik pada faktor ini beberapa peneliti sudah
menyatakan bahwa perbedaan kualitas individu dalam kelekatan disebabkan
karena adanya perbedaan karakteristik pada saat bayi. Menurut Vaughn,
Lefever, Seifer, dan Barglow (dalam Feeney dan Noller, 1996) menemukan
bahwa pada penelitian Strange Situation, temperamen bayi berhubungan pada
keadaan ketika bayi mengalami distres ketika terjadi pemisahan dengan
pengasuh. Sehingga, pada faktor ini kualitas kelekatan di lihat dari perbedaan
individu karena adanya perbedaan karakteristik yang dimiliki.
Faktor yang terakhir, yaitu pengaruh budaya pada tahap ini menurut Sagi,
Van IJzendoorn dan Koren-Karie (dalam Feeney dan Noller, 1996)
berdsarkan pada penelitian Strange Situation menemukan bahwa perbedaan
budaya dalam klasifikasi kelekatan aman merefleksikan perbedaan budaya
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelekatan aman, seperti: faktor
pengalaman individu, faktor kondisi genetik dan faktor budaya.
5. Penelitian Tentang Kelekatan Aman
Menurut Mikulincer dan Shaver (2005) kelekatan aman menyediakan
suatu fondasi untuk rasa belas kasihan dan pengasuhan. Individu yang
mempunyai kelekatan aman juga menyatakan bahwa dirinya mempunyai
kepekaan terhadap kebutuhan pasangan mereka dan individu yang aman juga
menyediakan dukungan emosional (Kunce dan Shaver, dalam Mikulincer dan
Shaver, 2005).
Individu-individu yang aman akan mencari dukungan dari significant
othersnya dan mempunyai kepercayaan diri terhadap kemampuan yang
mereka miliki untuk mengembangkan coping mereka secara konstruktif
(Simmons et al, 2009). Individu-individu ini mempunyai ekspektasi yang
positif terhadap kemampuan mereka dalam mengontrol atau mengururs stress
yang dihadapi (Mikulincer dan Florian, dalam Simmons et al, 2009). Individu
yang aman juga dapat bekerja dengan efektif secara mandiri tanpa bantuan
orang lain ataupun dengan orang lain sebagai cara yang mereka temukan
untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kemampuan dan rasa percaya diri
yang mereka miliki terhadap kemampuan mereka memfasilitasi sikap dan
perilaku mereka pada pencapaian tujuan. Individu dengan kelakatan aman
mereka ajak untuk bekerja sama dan menyelesaikan tujuan-tujuan mereka.
Kemampuan yang mereka miliki membantu mereka untuk menemukan cara
dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka. (Simmons et al, 2009).
C. Dinamika Hubungan antara Kelekatan Aman dengan Komitmen Organisasi
Bowlby (1969) menyatakan bahwa kelekatan adalah suatu ikatan afeksi
yang kuat yang dirasakan kepada orang tertentu di dalam kehidupan. Pengalaman
awal yang didapatkan selama masa bayi tersebut akan mempengaruhi respon
ataupun perilaku seseorang kedepannya. Karena selama pengalaman awal tersebut
yang dilalui bersama dengan orang-orang tertentu dalam hal ini pengasuh akan
membentuk suatu skema atau representasi kognitif akan diri, orang lain, dan
hubungan-hubungan yang terbentuk ketika bayi berinteraksi dengan pengasuh.
Skema atau representasi kognitif ini yang disebut dengan model kerja internal
(internal working models).
Model kerja internal (internal working models) ini dapat menjadi positif
atau negatif. Model kerja internal (internal working models) yang positif
disebabkan oleh pengasuh yang sensitif dan responsif yang akan menuntun anak
bahwa orang lain dapat diandalkan, sedangkan pengasuh yang tidak sensitif
terhadap kebutuhan bayi, kurang perhatian, dan cenderung menggunakan
kekerasan akan mengarahkan anak mempunyai kelekatan yang tidak aman dan
kurang percaya terhadap orang lain (Shaffer dan Kipp, 2012). Dimilikinya model
kerja internal (internal working models) yang positif akan mengarahkan anak
Berdasarkan dari sudut pandang individu yang memiliki significant other,
tujuan dari kelekatan adalah mendapatkan rasa aman (Feeney dan Noller, 1996).
Kualitas pengasuhan yang responsif, sensitif dan hangat akan mengarahkan bayi
untuk memiliki gaya kelekatan yang aman. Pada gaya kelekatan aman ini figur
yang dilekati memberikan bayi tempat perlindungan dan rasa aman, ketika bayi
melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya. Pada saat melakukan eksplorasi
tersebut ketika ada ancaman atau merasa terancam bayi mempunyai tempat
berlindung yang selalu tersedia, responsif dan hangat untuk mengelola emosi
negatifnya.
Hazan dan Shaver (1990) menyatakan bahwa pekerjaan pada orang
dewasa sama dengan eksplorasi yang dilakukan pada masa kanak-kanak (dalam
Prehar, 2001). Pekerjaan merupakan cara bagi orang dewasa untuk
mengembangkan kesadaran akan kompetensinya dan untuk mengembangkan
dunianya. Dalam hal ini, individu dengan gaya kelekatan aman mempunyai
self-efficacy yang tinggi (Mikulincer dan Shaver; dalam Shiota et al, 2006),
mengharapkan hubungan yang supportif (Hazan dan Shaver; dalam Shiota et al,
2006) dan menunjukkan lebih banyak respon dengan belas kasih terhadap
kebutuhan orang lain daripada individu dengan gaya kelekatan tidak aman
(Mikulincer et al; dalam Shiota et al, 2006). Individu yang memiliki kelekatan
aman juga menunjukkan pribadi yang gembira, mempunyai kepuasan, dan rasa
bangga terhadap setiap pencapaian target pribadi yang mana hal tersebut
Karyawan dengan kelekatan aman menunjukkan ciri mempunyai
self-efficacy yang tinggi (Mikulincer dan Shaver; dalam Shiota et al, 2006),
mengharapkan hubungan yang supportif (Hazan dan Shaver; dalam Shiota et al,
2006), menunjukkan respon secara simpatik dan tingkat distres yang rendah
(Mikulincer dan Shaver, 2005), menunjukkan perilaku yang altruistik (Mikulincer
dan Shaver, 2005) dan dapat bekerja secara efektif secara individual maupun di
dalam kelompok (Simmons et al, 2009).
Berdasarkan uraian tersebut maka kelekatan aman membantu karyawan
untuk memiliki sikap terbuka, membuat karyawan memiliki perasaan aman, dan
nyaman baik dengan lingkungan maupun dengan diri sendiri. Adanya
perasaan-perasaan positif tersebut membuat karyawan menjadi mudah untuk melakukan
adaptasi pada lingkungannya. Proses tersebut mengarahkan karyawan memiliki
komitmen organisasi karena adanya proses identifikasi yang terjadi (Kagan, dalam
O’Reilly dan Chatman, 1986). Hal inilah yang dapat mengarahkan karyawan
untuk memiliki komitmen organisasi. Dimana dengan ciri yang dimiliki tersebut
memungkinkan karyawan untuk dapat mempunyai hubungan yang baik dengan
rekan kerja maupun dengan atasan, kerja sama juga dapat terbangun dengan baik
sehingga akan menimbulkan suasana kerja yang kondusif dan nyaman yang
akhirnya dapat membuat karyawan ingin bersama dengan organisasi karena
D. Skema
Karyawan
Komitmen organisasi rendah
• Karyawan yang mempunyai self-efficacy yang tinggi
• Hubungan yang suportif
• Memberikan respon yang simpatik
• Pribadi yang gembira, puas dan bangga dengan pencapaiannya
• Perasaan nyaman pada pekerjaan
• Relasi yang baik dengan rekan kerja atau atasan
• Perasaan puas terhadap pekerjaan
• Karyawan yang kurang percaya terhadap nilai yang dimilikinya dalam berelasi
• Siaga terhadap tanda-tanda
penghianatan atau kegagalan dalam berelasi
• Menghindari kedekatan dalam berelasi
• Perasaan tidak puas terhadap pekerjaan
• Konflik antar sesama rekan kerja Membentuk insecure attachment
Membentuk secure attachment
Komitmen organisasi tinggi
Working Models positif (skema representasi diri, orang lain dan hubungan interaksi yang positif antara
bayi dengan pengasuhnya)
Working Models negatif (skema representasi diri, orang lain dan hubungan interaksi yang negatif antara
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka hipotesis dalam
penelitian ini, yaitu: terdapat hubungan yang positif antara gaya kelekatan aman
dengan komitmen organisasi pada karyawan. Semakin aman gaya kelekatan yang
dimiliki maka semakin tinggi komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan.
Sebaliknya, semakin tidak aman gaya kelekatan yang dimiliki maka semakin
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan menyelidiki
sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau
lebih variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2009). Pada penelitian
ini peneliti ingin melihat hubungan positif antara kelekatan aman dengan
komitmen organisasi pada karyawan.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini memiliki dua variabel yang dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat. Variabel bebas merupakan
sebab yang diperkirakan dari beberapa perubahan dalam variabel terikat
(Robbins, dalam Noor, 2011). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan