• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kelekatan aman dengan komitmen organisasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara kelekatan aman dengan komitmen organisasi."

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

vi

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN AMAN DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN

Anju Hassudungan Da Ponty

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan perusahaan yang berjumlah 98 subjek. Peneliti berhipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara gaya kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan skala kelekatan aman dan skala komitmen organisasi yang disusun dengan teknik Likert. Skala kelekatan aman memiliki reliabilitas α = 0,859 sedangkan skala komitmen organisasi memiliki reliabilitas sebesar α = 0,906. Analisis data dilakukan dengan menggunakan korelasi Spearman’s rho, karena variabel kelekatan aman mempunyai nilai asumsi normalitas yang tidak normal (p = 0,000; p > 0,05). Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi sebesar rs = 0,469 dan p

= 0.000 (p < 0,01). Artinya terdapat hubungan yang positif antara gaya kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan.

(2)

vii

THE RELATIONSHIP BETWEEN SECURE ATTACHMENT STYLE AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT ON EMPLOYEES

Anju Hassudungan Da Ponty

ABSTRACT

This research have a purpose to find a relationship between secure attachmant style and organizational commitment on employees. Respondent in this research were organizational employees and was conducted 98 respondents. Hypothesis in this research was there is a positive relation between secure attachment style with organizational commitment on employees. The data of this reseach were gained by secure attachment questionnaires and commitment organizational questionnaires using Likert method. The reliability of secure attachment questionnaires were α = 0,859, whereas organizational commitment questionnaires were α = 0,906. The analysis of data were used Spearman’s rho correlation, because of the analyze of normality were not normal (p = 0,000; p > 0,05). The result of correlation showed rs = 0,469 and p = 0.000 (p < 0,01). It means

there is a positive correlation between secure attachment style with organizational commitment on employees.

(3)

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN AMAN DENGAN

KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Anju Hassudungan Da Ponty

NIM: 109114112

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

i

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN AMAN DENGAN

KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Anju Hassudungan Da Ponty

NIM: 109114112

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

“Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan”.

(Amsal 1:7)

Karya ini aku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus, yang begitu baik dan teramat baik dan selalu menyertaiku selama pengerjaan skripsi ini.

Kedua orang tuaku, adik-adik, dan seluruh keluarga, terima kasih untuk dukungan, dan semangat yang telah diberikan.

(8)
(9)

vi

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN AMAN DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN

Anju Hassudungan Da Ponty

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan perusahaan yang berjumlah 98 subjek. Peneliti berhipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara gaya kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan skala kelekatan aman dan skala komitmen organisasi yang disusun dengan teknik

Likert. Skala kelekatan aman memiliki reliabilitas α = 0,859 sedangkan skala komitmen organisasi memiliki reliabilitas sebesar α = 0,906. Analisis data dilakukan dengan menggunakan korelasi Spearman’s rho, karena variabel kelekatan aman mempunyai nilai asumsi normalitas yang tidak normal (p = 0,000; p > 0,05). Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi sebesar rs = 0,469 dan p

= 0.000 (p < 0,01). Artinya terdapat hubungan yang positif antara gaya kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan.

(10)

vii

THE RELATIONSHIP BETWEEN SECURE ATTACHMENT STYLE AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT ON EMPLOYEES

Anju Hassudungan Da Ponty

ABSTRACT

This research have a purpose to find a relationship between secure attachmant style and organizational commitment on employees. Respondent in this research were organizational employees and was conducted 98 respondents. Hypothesis in this research was there is a positive relation between secure attachment style with organizational commitment on employees. The data of this reseach were gained by secure attachment questionnaires and commitment organizational questionnaires using Likert method. The reliability of secure attachment questionnaires were α = 0,859, whereas organizational commitment questionnaires were α = 0,906. The analysis of data were used Spearman’s rho correlation, because of the analyze of normality were not normal (p = 0,000; p > 0,05). The result of correlation showed rs = 0,469 and p = 0.000 (p < 0,01). It means

there is a positive correlation between secure attachment style with organizational commitment on employees.

(11)
(12)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan rahmat-Nya,

bantuan, bimbingan dan ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan

judul “Hubungan Antara Kelekatan Aman dengan Komitmen Organisasi pada

Karyawan”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan

baik. oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus, berkat penyertaan-Nya semua dapat dilalui dengan

sangat baik. Jesus is good, and always.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan dan Dosen

Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan

nasehat-nasehatnya kepada peneliti selama menempuh studi di Fakultas Psikologi.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, S. Psi., M. Si., selaku Ketua Program Studi

Fakultas Psikologi. Terima kasih bimbingannya selama penulis menempuh

pendidikan di Fakultas Psikologi.

4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi., selaku pembimbing skripsi yang telah

membantu dalam memberikan saran, masukan dan bimbingannya kepada

(13)

x

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi, yang telah mendedikasikan waktu untuk

memberikan ilmu dan pengetahuan yang membantu pola pikir peneliti

menjadi lebih dewasa untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik.

6. Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gik, selaku sekretariat Fakultas Psikologi,

terima kasih banyak untuk bantuan dan kerjasamanya selama penulis

menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi. Mas Muji dan Mas Doni,

selaku staf Lab. Psikologi, terima kasih banyak untuk bantuannya,

terutama saat praktikum alat tes, kalian sangat membantu.

7. Bapak John Edward, selaku General Manager PT. X dan PT. Y, yang telah

membantu, dan memberikan ijin serta kesempatan untuk uji coba (try out)

dan pengambilan data di perusahaan yang bapak pimpin.

8. Segenap karyawan perusahaan yang telah membantu.

9. Orang tua tercinta yang telah sabar, membimbing, membantu memberikan

pencerahan ketika mengalami kebingungan dan menyediakan setiap

kebutuhan yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih

banyak papa dan mama.

10. Adik-adik tersayang (Anggi Destoni Suwardani Simanjuntak, Indah Ayu

Tri Artha Simanjuntak, dan Kevin Martin Tito Simanjuntak) yang selalu

mendukung dengan canda-tawa dan doa hingga terselesaikannya skripsi

ini.

11. Teman-teman angkatan 2010, senang berdinamika bersama kalian selama

(14)

xi

12. Keluarga besar P2TKP (pak Adi, pak Toni, mbak Tia, Sr. Dewi, pak Tius,

pak Landung, Lito, Bella, Ardi, Lukas, Yovi, Natasha, Bibin, Wuri, Rika,

Grace, Pudar, Ester, Dimas, Stanis, Tiara, Cia-cia, Shasha, Lenny, Retha,

Jessica, Pipit, Estu). Sangat senang dan bersyukur bisa berada di

organisasi ini, senang untuk proses yang telah dilakukan bersama (refleksi,

training, testing, konseling).

13. Kepada “geng Koplo” (Rio “Yatim” dan Engger) terima kasih banyak

untuk waktu yang telah diluangkan untuk diskusi skripsi bersama. Salam

sukses.

14. Pribadi-pribadi yang membaca skripsi ini, terima kasih karena sudah

meluangkan waktu untuk membaca skripsi ini, semoga skripsi ini dapat

bermanfaat, memberikan informasi yang berguna di dalam menjalani

kehidupan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran untuk perbaikan agar

menjadi lebih baik lagi kedepannya. Penulis juga berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Penulis

(15)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

(16)

xiii

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Komitmen Organisasi ... 14

1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 14

2. Dimensi Komitmen Organisasi ... 15

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 17

4. Proses Pembentukan Komitmen Organisasi ... 19

5. Dampak Komitmen Organisasi ... 20

6. Penelitian tentang Komitmen Organisasi ... 21

B. Kelekatan Aman ... 22

1. Pengertian Kelekatan ... 22

2. Pola-pola Kelekatan ... 24

3. Dimensi Kelekatan ... 27

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kelekatan Aman ... 29

5. Penelitian tentang Kelekatan Aman ... 31

C. Dinamika Hubungan antara Kelekatan Aman dengan Komitmen Organisasi ... 32

D. Skema ... 35

E. Hipotesis ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 37

(17)

xiv

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

1. Variabel Bebas ... 37

2. Variabel Tergantung ... 38

C. Definisi Operasional ... 38

1. Kelekatan Aman ... 38

2. Komitmen Organisasi ... 40

D. Subjek Penelitian ... 40

E. Metode Pengumpulan Data ... 41

1. Skala Kelekatan Aman ... 41

2. Skala Komitmen Organisasi... 44

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 47

1. Validitas ... 47

2. Seleksi Aitem ... 48

3. Reliabilitas ... 53

G. Metode Analisis Data ... 54

1. Uji Asumsi ... 54

a. Uji Normalitas ... 54

b. Uji Linearitas ... 55

2. Uji Hipotesis... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Pelaksanaan Penelitian ... 56

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 57

(18)

xv

D. Data Asumsi Hasil Penelitian ... 61

1. Uji Normalitas ... 61

a. Sebaran Data Variabel Kelekatan Aman ... 61

b. Sebaran Data Variabel Komitmen Organisasi... 62

2. Uji Linearitas ... 62

E. Uji Hipotesis ... 63

F. Pembahasan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 69

1. Bagi Para Pemimpin dalam Perusahaan ... 69

2. Bagi Para Karyawan Perusahaan ... 70

3. Untuk Penelitian Selanjutnya ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(19)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 - Blueprint Skala Kelekatan Aman ...43

Tabel 2 - Penskoran Aitem Skala Kelekatan Aman ...44

Tabel 3 - Blueprint Skala Komitmen Organisasi...46

Tabel 4 - Penskoran Skala Komitmen Organisasi ...47

Tabel 5 - Seleksi Aitem Skala Kelekatan Aman Sebelum Ujicoba ...50

Tabel 6 - Sebaran Aitem Skala Kelekatan Aman Setelah Ujicoba ...51

Tabel 7 - Seleksi Aitem Skala Komitmen Organisasi Sebelum ujicoba ...52

Tabel 8 - Sebaran Aitem Skala Komitmen Organisasi Setelah Ujicoba ...53

Tabel 9 - Deskripsi Subjek Penelitian ...58

Tabel 10 - Jenis Kelamin...58

Tabel 11 - Masa Kerja ...59

Tabel 12 - Data Hasil Penelitian ...60

(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 – Skala Komitmen Organisasi dan Skala Kelekatan Aman ...76

Lampiran 2 – Hasil Seleksi Aitem Skala Komitmen Organisasi dan Skala Kelekatan aman ...87

Lampiran 3 – Reliabilitas Skala Kelekatan Aman dan Komitmen Organisasi ...92

Lampiran 4 – Uji Deskriptif Mean Empirik ...94

Lampiran 5 – Uji Normalitas ...95

Lampiran 6 – Uji Linearitas ...96

Lampiran 7 – Grafik Scatter Plot ...97

(21)

1

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Di dalam organisasi terdapat unsur yang penting yaitu individu-individu

yang ada di dalamnya. Organisasi tidak dapat bergerak jika tidak ada yang

menggerakkannya, dan yang menggerakkannya adalah individu-individu yang

saling berinteraksi di dalamnya (Waluyo, 2013). Menurut Statt (1994) ada tiga

faktor utama dalam suatu organisasi untuk dapat disebut sebagai suatu organisasi,

yaitu: identitas sosial, koordinasi dan adanya tujuan. Pertama, identitas sosial

adalah suatu rasa memiliki yang dibentuk oleh organisasi pada anggotanya.

Kedua, koordinasi yaitu suatu aktivitas yang direncanakan yang mana setiap

orang akan berinteraksi satu sama lain untuk saling mendukung dan saling

melengkapi. Terakhir, mempunyai tujuan yaitu adanya suatu aktivitas yang

direncanakan karena adanya suatu tujuan organisasi yang harus dicapai.

Organisasi mengharapkan anggotanya mempunyai rasa memiliki sehingga tujuan

yang sudah direncanakan dapat tercapai. Hal tersebut membuat organisasi

menginginkan anggotanya mempunyai suatu sikap dan peran serta yang positif

dengan mengoptimalkan kemampuannya untuk tercapainya tujuan organisasi.

Sikap dan peran serta positif tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap komitmen

terhadap organisasi.

Komitmen terhadap organisasi memberikan pengaruh yang positif

(22)

masa kerja yang lebih lama, dan meningkatkan performa kerja (Pinks,

2013). Namun, ketika banyak anggota organisasi yang melakukan turnover

membuat organisasi mengalami kerugian dan tidak bisa mencapai tujuannya.

Kerugian tersebut meliputi biaya yang keluar ketika melakukan rekruitmen,

seleksi, pelatihan/training, dan kehilangan produktivitas. Penurunan turnover

pada karyawan memberikan hasil yang jelas secara signifikan pada pengurangan

biaya operasional (Pinks, 2013).

Arnold dan Feldman (dalam Pinks, 2013) menyatakan bahwa dalam

penelitian-penelitian sebelumnya telah ditemukan bahwa karyawan dengan

komitmen yang tinggi terhadap organisasi mempunyai angka turnover yang

rendah dibandingkan dengan karyawan dengan komitmen yang rendah.

Penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa karyawan dengan

komitmen organisasi yang rendah mempunyai intensi yang tinggi untuk mencari

pekerjaan baru, dari pada karyawan dengan komitmen yang tinggi.

Organisasi tidak hanya memerlukan SDM yang unggul, namun juga

menginginkan SDM yang mempunyai sikap yang positif dalam hal ini komitmen

terhadap organisasi. Menurut Steers (1980) komitmen organisasi merupakan suatu

sikap positif yang kuat terhadap organisasi. Menurut Riggio (2008) komitmen

organisasi adalah suatu perasaan dan sikap yang dimiliki oleh karyawan terhadap

seluruh pekerjaan organisasi. Menurut Mowday et al, Reichers, Salancik, Scholl

dan Staw (dalam Meyer dan Allen, 1997) komitmen organisasi merupakan

karakteristik atas sikap dan perilaku. Komitmen berdasarkan karakteristik sikap

(23)

hubungannya dengan organisasi. Pada karakteristik ini, anggota organisasi

mempunyai pemikiran bahwa nilai-nilai dan tujuan yang mereka miliki sama

dengan yang dimiliki oleh organisasi. Komitmen berdasarkan karakteristik

perilaku berfokus pada proses dimana anggota organisasi merasa nyaman di

dalam organisasi dan bagaimana mereka menyelesaikan setiap masalah yang

ditemui.

Komitmen organisasi merupakan suatu konstruk psikologi karena meliputi

perasaan-perasaan (suka atau tidak suka) terhadap situasi kerja (Riggio, 2008).

Sedangkan menurut O’Reilly (1989) komitmen organisasi adalah suatu ikatan

psikologis seseorang pada organisasi, termasuk suatu perasaan keterlibatan dalam

suatu pekerjaan, loyal dan percaya pada nilai-nilai organisasi. Meyer dan Allen

(1997) berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah suatu keadaan psikologis

yang mana terdapat suatu hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan

mempunyai implikasi pada pengambilan keputusan untuk melanjutkan

keanggotaan di dalam organisasi. Adanya perasaan terhadap situasi kerja akan

menentukan keputusan anggota organisasi terhadap organisasi mengenai

kelanjutannya untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan atau

tidak. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu ikatan

psikologis yang mana membuat anggota organisasi mempunyai suatu penerimaan

terhadap nilai-nilai, tujuan dan keinginan untuk tetap menjadi bagian organisasi

yang menjadikan anggota organisasi mau bekerja keras atas nama organisasi

(24)

Komitmen organisasi merupakan suatu hal yang penting dalam kemajuan

suatu organisasi (Steers, 1980). Tidak adanya komitmen yang dimiliki oleh

anggota terhadap organisasinya akan mengakibatkan menurunnya jumlah inovasi

dan kreativitas (menurut Goulder; Grusky; dalam Steers, 1980). Pada akhirnya,

tingginya tingkat perpindahan dan absensi anggota organisasi dapat menghambat

perkembangan keutuhan kelompok kerja (Burling, Lentz dan Wilson; dalam

Steers 1980). Dengan adanya komitmen yang dimiliki oleh para anggota

organisasi memungkinkan organisasi untuk dapat selalu melakukan

inovasi-inovasi dan evaluasi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan. Sikap positif yang

ditunjukkan oleh anggota organisasi juga akan membuat anggota organisasi mau

mencurahkan perhatian, kemampuan, dan waktunya untuk kepentingan organisasi.

Selain itu, komitmen juga akan menimbulkan suatu perasaan memiliki dari

anggota organisasi terhadap organisasinya. Dengan adanya rasa memiliki terhadap

organisasi ini optimalisasi terhadap kemampuan yang dimiliki oleh anggota dapat

dimungkinkan tercapai karena anggota organisasi mempunyai keinginan untuk

tetap menjadi anggota organisasi (Steers, 1980). Hal tersebut berdampak baik

pada organisasi karena tujuan organisasi juga akan semakin mudah untuk dicapai.

Meyer dan Allen (1997) mengklasifikasikan komitmen organisasi menjadi

tiga komponen yang dapat menjelaskan komitmen anggota organisasi mengenai

perilakunya terhadap organisasi, yaitu: affective commitment, continuance

commitment, dan normative commitment. Affective commitment yaitu suatu

kelekatan emosional anggota organisasi, pengidentifikasian dan keterlibatan di

(25)

dasar yang berpengaruh, melanjutkan bekerja pada organisasi karena mereka

menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997). Jadi, affective commitment

merepresentasikan pada kelekatan emosional seseorang terhadap organisasi.

Meyer dan Allen (1997) menjelaskan continuance commitment sebagai

kesadaran atas adanya biaya yang dihubungkan jika meninggalkan organisasi.

Karyawan yang memiliki continuance commitment bertahan di dalam organisasi

karena mereka membutuhkannya. Jadi, continuance commitment menunjukkan

komitmen untuk tetap bersama organisasi karena adanya biaya yang dihubungkan

jika meninggalkan organisasi. Normative commitment, diartikan sebagai suatu

perasaan kewajiban untuk melanjutkan atau tetap bekerja pada organisasi. Hal ini

karena adanya kepercayaan atas suatu tugas dan kewajiban yang membuat

individu patuh untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi

(Riggio, 2008).

Komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan terbentuk karena

adanya proses identifikasi yang dilakukan oleh karyawan. Karyawan melakukan

identifikasi pada nilai-nilai, karakteristik dan tujuan organisasi (Kagan, dalam

O’Reilly dan Chatman, 1986). Proses tersebut dapat terjadi ketika individu

menerima pengaruh lingkungan sekitarnya untuk mempertahankan atau menjaga

hubungan yang baik dengan sekitar, termasuk individu merasa bangga menjadi

bagian suatu kelompok, menghargai nilai-nilai yang ada pada kelompok dan

menyelesaikan tugas dengan kemampuan sendiri (O’Reilly dan Chatman, 1986).

Pada umumnya identifikasi terjadi pada setiap individu. Bayi melakukan

(26)

berjalan dengan baik maka akan mengarahkan bayi untuk memiliki internal

working model yang positif. Pada penelitian ini karyawan juga melakukan

identifikasi pada organisasinya, proses tersebut terjadi karena karyawan menerima

karakteristik, dan tujuan-tujuan dari organisasi (Kagan, dalam O’Reilly dan

Chatman, 1986). Proses tersebut mengarahkan karyawan memiliki internal

working model yang positif, dengan internal working model positif tersebut

karyawan memiliki kelekatan aman yang mengarahkan karyawan memiliki

komitmen organisasi.

Proses identifikasi merupakan suatu mekanisme penting di dalam

perkembangan kelekatan. Menurut Kagan (dalam O’Reilly dan Chatman, 1986)

menyatakan bahwa berdasarkan dari perspektif tersebut, kelekatan yang terjadi

pada individu, objek, grup, atau organisasi merupakan hasil dari identifikasi

terhadap sikap, nilai-nilai, atau tujuan dari objek yang dijadikan model. Beberapa

atribut, motif ataupun karakteristik dari model diterima oleh individu dan menjadi

bagian dari cara berpikir individu.

Ikatan yang pertama kali dibuat adalah ikatan antara bayi dengan pengasuh

utamanya (Schusterschitz et al, 2011).Sementara itu, menurut Schmidt, Hollmann

dan Sodenkamp (dalam Schusterschitz et al, 2011) selama hidupnya seorang

individu mempertahankan berbagai macam ikatan-ikatan. Ikatan-ikatan tersebut

tidak hanya dengan individu yang lainnya, tapi juga mempunyai komitmen

terhadap suatu produk-produk, klub, merek dagang, opini-opini dan konteks yang

paling penting dalam pembahasan ini yaitu organisasi dimana individu tersebut

(27)

suatu ikatan terhadap sesamanya namun juga terhadap suatu opini, benda dan juga

suatu kelompok. Ikatan-ikatan tersebut dapat terjadi karena adanya suatu

pengalaman ikatan yang sudah didapatkan terlebih dahulu antara bayi dengan

pengasuh utamanya pada saat awal masa kehidupan individu.

Ikatan yang dibuat individu dengan pengasuh utamanya pada saat masa

awal kehidupan tersebut disebut sebagai attachment (kelekatan). Menurut Bowlby

(1981) pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk membuat ikatan

afeksional yang kuat pada orang-orang tertentu (dalam Pelawi, 2004). Anak yang

menyadari pengasuh mereka selalu tersedia dan responsif akan mengembangkan

secure attachment. Berdasarkan pengalaman tersebut, anak akan membangun

suatu gambaran ikatan kasih sayang yang dipertahankan pada pengasuhnya yang

dapat digunakannya sebagai tempat yang aman ketika orang tua sedang tidak ada

didekatnya. Ketika pengasuh responsif terhadap kebutuhan bayi maka sistem yang

dimilikinya dalam keadaan seimbang. Perasaan aman tersebut membuat anak

mengeksplorasi dunianya yang dapat memfasilitasi perkembangan sosial dan

fisiknya. Menurut Bowlby (dalam Prehar, 2001), eksplorasi merupakan suatu hal

yang penting untuk perkembangan fisik, emosional, dan kemampuan sosial.

Sistem kelekatan yang aman juga memberikan fungsi perlindungan. Jika selama

eksplorasi anak mendapatkan pengalaman yang mengancam atau tidak nyaman,

maka mereka tahu bahwa mereka bisa kembali kepada orang tua mereka untuk

perlindungan (Prehar, 2001). Pengasuh yang tidak responsif terhadap pemenuhan

(28)

tempat yang aman untuk mengeksplorasi, atau tempat aman untuk kembali ketika

anak sedang mengalami stress.

Bowlby (1988) juga mengatakan bahwa anak mengembangkan model

kerja internal (internal working model), atau skema mental dari diri dan figur yang

dilekatinya (dalam Prehar, 2001). Model ini terdiri dari kepercayaan mengenai

pribadi yang berharga dalam hal ini pengasuh, dan ekspektasi bagaimana

responsif terhadap figur tersebut kedepannya. Menurut Fonagy (2006)

pengalaman aman tersebut yang merepresentasikan ketidaksadaran sistem

kepercayaan yang terintegrasi pada pengalaman awal, pada kondisi yang

menguntungkan dan mereflkesikan kepercayaan anak kepada pengasuh yang

selalu ada, memahami dan tanggap (dalam Liey, 2012). Menurut Bretherton dan

Munholland (dalam Berk, 2008) mengatakan bahwa model kerja internal (internal

working model) menjadi suatu bagian yang penting dalam kepribadian, hal

tersebut akan menuntun pada semua hubungan dekat yang dijalin kedepannya.

Selain itu, menurut Waters (dalam Crowell & Treboux, 1995) mengatakan bahwa

mental model ini penting karena dapat menjelaskan pengaruh dari pengalaman

awal hidup pada perilaku dan perkembangan yang akan datang.

Bowlby (dalam Berk, 2008) menyatakan bahwa kualitas dari kelekatan

(attachment) pada pengasuh mempunyai implikasi pada perasaan aman seorang

anak dan kapasitasnya dalam membentuk suatu hubungan yang dapat dipercaya.

Berdasarkan penyataan Bowlby, maka Ainstworth (dalam Berk, 2008) melakukan

suatu observasi yang mendalam pada perilaku bayi terhadap ibunya dalam situasi

(29)

terhadap respon anak-anak, para peneliti mengidentifikasikan pola kelekatan aman

(secure attachment) dan ada tiga pola kelekatan tidak aman (insecure attachment),

yaitu: kelekatan menghindar (insecure avoidant), kelekatan

cemas-menolak (insecure ambivalent / anxiety) dan kelekatan tidak teratur–tidak terarah

(disorganized / disoriented attachment) (Berk, 2008; Liey, 2012).

Berdasarkan pola kelekatan aman dan kelekatan tidak aman, bayi dengan

pola kelekatan aman (secure attachment) mempunyai seorang pengasuh yang

sensitif dan responsif terhadap sinyal-sinyal yang diberikan bayi dan hal tersebut

dilakukan secara konsisten. Bayi dengan kelekatan cemas-menolak (insecure

ambivalent / anxiety) menerima perhatian yang tidak konsisten dari pengasuh

mereka. Terkadang pengasuhnya tidak ada dan tidak responsif. Bayi dengan

kelekatan cemas-menghindar (insecure avoidant) mempunyai pengasuh yang

menolak kebutuhan-kebutuhan bayi tersebut. Pengasuh cenderung untuk menolak

atau mengabaikan permintaan bayi untuk berdekatan, terutama kedekatan dalam

kontak fisik (Prehar, 2001). Sedangkan, bayi dengan kelekatan tidak teratur-tidak

terarah disorganized / disoriented attachment) menunjukkan pola yang paling

tidak aman (Berk, 2008). Bayi dengan pola ini memiliki pola yang tidak

terorganisasi dalam menghadapi situasi stress (Liey, 2012).

Pola kelekatan yang telah ditemukan oleh para peneliti ternyata

mempunyai pengaruh pada perilaku seseorang kedepannya. Shaver dan Hazan

(dalam Prehar, 2001) menyatakan bahwa hubungan kelekatan pada orang dewasa

dipengaruhi oleh pengalaman kelekatan pada masa kanak-kanak. Selain itu,

(30)

adalah prototip hubungannya dikemudian hari, dan dengan demikian diharapkan

adanya hubungan yang kuat antara pola kelakatan bayi dan pengasuhnya (Feeney

dan Noller; Levitt; dalam Prehar, 2001).

Pola kelekatan aman (secure attachment) mempunyai ciri adanya rasa

percaya yang ditunjukkan seorang anak terhadap orang dewasa. Hal tersebut

membuat anak untuk fokus pada pembelajaran kemampuan yang baru dan

membangun relasi dengan orang lain seperti orang dewasa lainnya dan anak-anak

yang lain. Anak juga belajar untuk mempunyai hubungan yang dekat dengan

orang lain. Anak dengan kelekatan aman (secure attachment) juga mempunyai

kemampuan komunikasi yang baik, dan mempunyai regulasi diri yang mana

membuat anak tahu kapan bertindak, merespon dan mengekspresikan emosi yang

ia rasakan dengan cara yang baik (Wittmer, 2011). Seperti yang diungkapkan oleh

para peneliti psikoanalisa bahwa kelekatan seorang bayi dengan pengasuhnya

merupakan suatu prototip hubungan bayi tersebut kedepannya. Hal tersebut

ditemukan oleh Hazan dan Shaver (1990) yang melaporkan bahwa orang dewasa

dengan kelekatan aman (secure attachment) menunjukkan rasa percaya yang

tinggi, adanya rasa akan kedekatan terhadap rekannya, dan senang terhadap

hubungan dengan orang lain. Dalam menjalin suatu hubungan, mereka cenderung

mempunyai hubungan yang bertahan lebih lama daripada orang dewasa yang

berorientasi pada kelekatan tidak aman (dalam Prehar, 2001).

Hazan dan Shaver (1990) mengemukakan bahwa pekerjaan pada orang

dewasa sama dengan eksplorasi yang dilakukan pada masa kanak-kanak (dalam

(31)

mengembangkan kesadaran akan kompetensinya dan untuk mengembangkan

dunianya. Hazan dan Shaver (dalam Prehar, 2001) juga mengatakan bahwa orang

dewasa dengan kelekatan yang aman (secure attachment) merasa puas terhadap

apa yang mereka kerjakan dilihat oleh orang lain. Mereka juga mempunyai

ketertarikan terhadap suatu tugas dan kegiatan yang lain. Individu yang

mempunyai kelekatan cemas-menolak (insecure ambivalent / anxiety) mempunyai

fokus pada relasi interpersonal dimana mereka pada umumnya merasa salah

pengertian dan tidak dihargai oleh sesama anggota organisasi (Prehar, 2001).

Sedangkan menurut Hardy dan Berkham (1994) pada individu yang mempunyai

kelekatan cemas-menghindar (insecure avoidant) menunjukkan ketidakpuasaan

dan konflik dengan koleganya, ketidakpuasaan dengan variasi tugas dan merasa

bosan dengan pengalaman kerja yang mereka miliki (dalam Schusterschitz et al,

2011).

Hubungan antara kelekatan aman dengan komitmen organisasi merupakan

suatu hal yang penting. Karena efek yang ditimbulkan dari kelekatan aman yang

dimiliki anggota organisasi dapat mempengaruhi perkembangan organisasi

kedepannya. Dimilikinya komitmen organisasi membuat organisasi tidak perlu

untuk mencari anggota-anggota baru untuk mengisi lowongan yang kosong akibat

ditinggal anggota yang meninggalkan organisasi, sehingga inovasi dan kreatifitas

yang sudah dimiliki oleh organisasi dapat dipertahankan dalam organisasi tersebut

(Goulder; Grusky; dalam Steers, 1980).

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa anggota yang

(32)

Mereka memiliki relasi yang baik dengan kolega dalam pekerjaan. Hal tersebut

dikarenakan karyawan telah melakukan identifikasi terhadap rorganisasinya,

lingkungannya dan juga rekan kerjanya (Simmons, Gooty, Nelson dan Little,

2009). Identifikasi yang telah dilakukan membantu seseorang mempunyai cara

berpikir yang sama seperti lingkungan yang di identifikasi oleh karyawan (Kagan,

dalam O’Reilly dan Chatman, 1986). Kelekatan aman yang dimiliki dan

identifikasi yang dilakukan mengarahkan karyawan untuk mempunyai komitmen.

Sebaliknya anggota yang memiliki kelekatan yang tidak aman mempunyai

perasaan tidak puas terhadap pekerjaannya dan mempunyai konflik antar sesama

anggota organisasi yang pada akhirnya mempengaruhi performa mereka dalam

bekerja. Hal ini akan membuat anggota organisasi tidak mempunyai rasa memiliki

terhadap organisasi, tidak termotivasi karena tidak adanya perasaan nyaman

didalam organisasi dan pada akhirnya meninggalkan organisasi. Berdasarkan

uraian yang telah dijabarkan maka peneliti ingin mengetahui hubungan antara

kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara

kelekatan aman dengan komitmen organisasi pada karyawan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kelekatan

(33)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memberikan informasi dan

sebagai sumber pengetahuan tambahan bagi ranah psikologi perkembangan

terutama mengenai topik kelekatan aman serta bagi ranah psikologi industri

dan organisasi terutama mengenai topik komitmen organisasi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para HRD perusahaan adalah sebagai bahan kajian atau evaluasi

mengenai kelekatan aman dan komitmen organisasi. Selain itu juga,

dapat digunakan untuk mendeteksi dan menseleksi para calon

kandidat dengan melihat gaya kelekatan yang dimiliki.

b. Bagi subjek penelitian adalah subjek dapat menilai dirinya sendiri

bagaimana relasinya dengan organisasi, atasan maupun rekan kerja.

Selain itu juga, responden dapat mempunyai pemahaman dan mampu

melihat performanya, rasa memiliki terhadap organisasi dan

komitmen yang dimiliki terhadap organisasi yang mana hal tersebut di

(34)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Komitmen Organisasi

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Menurut O’Reilly (1989) komitmen organisasi adalah suatu ikatan

psikologis individual terhadap organisasi, termasuk di dalamnya adanya suatu

perasaan terlibat di dalam suatu pekerjaan, loyalitas, dan keyakinan pada

nilai-nilai organisasi. Menurut Northcraft dan Neale (dalam Tella et al, 2007)

komitmen adalah suatu sikap yang merefleksikan loyalitas anggota organisasi

kepada organisasinya, dan suatu proses yang terus berlanjut yang mana

anggota organisasi menunjukkan ketertarikan mereka terhadap organisasi.

Wirawan (2013) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah perasaan

keterkaitan atau keterikatan psikologis dan fisik pegawai terhadap organisasi

tempat ia bekerja atau organisasi di mana ia menjadi anggotanya. Keterkaitan

psikologis artinya anggota organisasi merasa senang dan bangga bekerja

untuk atau menjadi anggota organisasi. Sedangkan keterkaitan secara fisik

artinya anggota organisasi akan berada di tempat kerja pada setiap jam kerja

dan selalu ada ketika dibutuhan oleh organisasi.

Menurut Meyer dan Allen (1997) komitmen organisasi secara umum

berdasarkan beberapa definisi yaitu merupakan suatu keadaan psikologis

(35)

mempunyai implikasi pada pengambilan keputusan untuk melanjutkan

keanggotaan di dalam organisasi. Sejalan dengan Meyer dan Allen, Steers

(1980) menyatakan bahwa komitmen merupakan suatu peristiwa di mana

anggota organisasi sangat tertarik pada tujuan, nilai-nilai, dan sasaran

organisasi. Komitmen lebih dari sekedar keanggotaan karena komitmen

meliputi sikap yang sangat menyenangkan organisasi dan kesediaan untuk

mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi

memperlancar pencapaian tujuan.

Berdasarkan uraian, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi

merupakan suatu ikatan psikologis anggota organisasi terhadap organisasinya

yang mana didalam ikatan tersebut ada suatu perasaan akan keterlibatan

terhadap suatu tugas, loyalitas dan identifikasi terhadap nilai yang dimiliki

oleh organisasi yang dapat dilihat dari sikap dan perilaku anggota organisasi.

2. Dimensi Komitmen Organisasi

Meyer dan Allen (1997) menjelaskan tiga komponen dari komitmen untuk

mengkonseptualisasikan komitmen organisasi kedalam tiga komponen, yaitu:

affective commitment, continuance commitment dan normative commitment.

a. Affective commitment, yaitu suatu bentuk komitmen yang mana

representasi kelekatan emosional seseorang pada organisasi. Affective

commitment mengacu pada kelekatan emosional karyawan, identifikasi

(36)

komitmen pada organisasi berdasarkan dasar afektif melanjutkan

hubungannya dengan organisasi karena mereka menginginkannya.

b. Continuance commitment, yaitu salah satu dari tiga aspek komitmen

organisasi. Continuance commitment sebagai suatu kesadaran adanya

suatu biaya yang diasosiasikan ketika meninggalkan organisasi. Sejalan

dengan Meyer dan Allen, Luthans (2006) ketika anggota keluar dari

organisasi hal ini mungkin karena kehilangan senioritas atas promosi atau

benefit. Anggota organisasi yang bergabung dengan organisasi

berdasarkan continuance commitment bertahan karena membutuhkan

pekerjaan tersebut.

c. Normative commitment, yaitu model aspek terakhir dalam komitmen

organisasi. Normative commitment adalah suatu perasaan akan suatu

kewajiban untuk melanjutkan keanggotaan dengan organisasi. Anggota

organisasi dengan normative commitment yang tinggi merasa bahwa

mereka harus bertahan di organisasi.

Berdasarkan penjelasan maka dapat di simpulkan bahwa komitmen

organisasi memiliki tiga komponen, yaitu: affective, continuance, dan

normative commitment. Affective commitment mengacu pada kelekatan

emosional seseorang, continuance commitment mengacu pada pemikiran

untung rugi jika meninggalkan organisasi, sedangkan normative commitment

(37)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Luthans (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi komitmen organisasi. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor

personal, faktor organisasi dan faktor non-organisasi. Faktor personal antara

lain yaitu: usia, kedudukan dalam organisasi, disposisi seperti efektivitas

positif atau negatif, dan atribusi kontrol internal atau eksternal. Faktor

organisasi seperti: desain pekerjaan, nilai-nilai, dukungan organisasi dan gaya

kepemimpinan. Sedangkan faktor non-organisasi seperti adanya

alternatif-alternatif lain setelah bergabung bersama dengan organisasi.

Menurut Steers dan Stevens et al (dalam Pinks, 2013) terdapat tiga faktor

yang mengarahkan anggota organisasi memiliki komitmen organisasi, yaitu:

karakteristik personal, faktor pekerjaan, dan faktor organisasi. Karakteristik

personal mencakup kepercayaan, nilai-nilai, dan sikap yang menunjukkan

berbagai jenis faktor-faktor demografi. Karakteristik yang telah ditemukan

pada umunya menunjukkan level komitmen organisasi yang tinggi, seperti:

usia, status perkawinan, mempunyai kesamaan mengenai nilai dan tujuan

dengan organisasi, dan mempunyai kepuasan kerja (Pinks, 2013).

Faktor pekerjaan memberikan alternatif untuk meningkatkan perilaku

keterlibatan anggota organisasi atau mengurangi ambiguitas pada pekerjaan

yang mana berhubungan pada peningkatan komitmen organisasi (Pinks,

2013). Anggota organisasi yang baik berpartisipasi dalam pembuatan

keputusan, memiliki ambiguitas yang rendah, konflik peran yang rendah, dan

(38)

Faktor organisasi mungkin mempengaruhi komitmen anggota organisasi yang

mencangkup besarnya perusahaan, jenis teknologi, peraturan-peraturan yang

berlaku, dan persatuan para anggota organisasi (Lincoln & Kalleberg, dalam

Pinks, 2013)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi yaitu faktor personal yang

mana berasal dari anggota organisasi itu sendiri, seperti: usia ataupun sikap

yang dimiliki individu tersebut. Faktor organisasi yang berasal dari organisasi

itu sendiri, seperti: peraturan dan nilai-nilai yang dimiliki. Faktor terakhir

yaitu, non-organisasi yang berasal dari luar individu maupun organisasi,

seperti adanya lowongan pekerjaan lain setelah bergabung dengan organisasi.

Pada penelitian ini, peneliti melihat bahwa kelekatan masuk ke dalam

faktor personal. Pada faktor personal terdapat nilai-nilai,

keyakinan-keyakinan dan sikap yang dimiliki oleh karyawan. Karakteristik pada faktor

personal tersebut membantu karyawan memiliki kelekatan aman, yang mana

karyawan melakukan identifikasi pada organisasi. Proses identifikasi yang

dilakukan oleh karyawan dapat berhasil karena dalam proses tersebut

karyawan menerima nilai, keyakinan maupun karakteristik dari organisasi

sehingga menjadi suatu cara berpikir kognitif karyawan (Kagan, dalam

(39)

4. Proses Pembentukan Komitmen Organisasi

Menurut O’Reilly (1986) komitmen organisasi berkembang melalui

beberapa tahap antara lain patuh dengan peraturan, identifikasi dan

internalisasi. Tahap pertama yaitu kepatuhan, pada tahap ini sikap-sikap dan

perilaku-perilaku yang tampak adalah diadopsi bukan karena percaya pada

nilai-nilai organisasi melainkan karena untuk mendapatkan imbalan yang

spesifik (Meyer dan Allen, 1997).

Tahap kedua yaitu, identifikasi yang mana pada tahap ini akan tampak

ketika anggota organisasi menerima pengaruh dari anggota yang lainnya

untuk mempertahankan kepuasaan diri yang berhubungan dengan organisasi.

Pada tahap ini anggota organisasi akan merasa bangga menjadi bagian dari

organisasi, menghargai nilai-nilai yang ada pada organisasi dan

menyelesaikan setiap tugas dengan kemampuan yang dimilikinya (Meyer dan

Allen, 1997). Proses identifikasi ini merupakan suatu mekanisme yang

penting di dalam perkembangan kelekatan anggota organisasi secara

psikologis (O’Reilly dan Chatman, 1986).

Tahap terakhir yaitu, internalisasi akan tampak ketika anggota organisasi

menemukan nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasi sama dengan nilai-nilai

yang dimilikinya secara personal (O’Reilly, dalam Meyer dan Allen, 1997).

Pada tahap ini nilai yang dimiliki oleh anggota organisasi sama dengan nilai

yang dimiliki oleh organisasi itu sendiri (O’Reilly dan Chatman, 1986).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya

(40)

di organisasi, melakukan identifikasi seperti menghargai nilai-nilai yang

dimiliki organisasi dan bangga menjadi bagian organisasi. Terakhir yaitu

internalisasi, kesadaran anggota organisasi terhadap nilai-nilai yang dimiliki

organisasi dengan nilai yang dimilikinya.

5. Dampak Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi mempunyai beberapa pengaruh terhadap anggota

organisasi. Dampak positif dari komitmen organisasi yaitu, karyawan dengan

affective commitment yang kuat mempunyai motivasi atau keinginan untuk

memberikan kontribusi yang berarti pada organisasi daripada karyawan

dengan affective commitment yang lemah. Karyawan dengan affective

commitment yang kuat akan memilih untuk tidak absen dan akan selalu

termotivasi untuk menunjukkan performa yang lebih baik pada saat bekerja

(Meyer dan Allen, 1997). Anggota organisasi yang memiliki komitmen

organisasi yang tinggi cenderung untuk mencari tantangan dalam setiap

aktivitas pekerjaan (Meyer dan Allen, 1997).

Komitmen organisasi pula mendorong anggota organisasi menunjukkan

perilaku prososial atau OCB (organizational citizenship behavior), seperti

kooperatif, suka menolong, perhatian dan bersungguh-sungguh dalam bekerja

(Luthans, 2006). Luthans (2006) menyatakan bahwa komitmen organisasi

menunjukkan hubungan yang positif dengan kinerja tinggi, tingkat pergantian

karyawan yang rendah, dan tingkat ketidakhadiran yang rendah. Persepsi

(41)

baik yang siap membantu merupakan beberapa hasil lain yang mempunyai

hubungan dengan komitmen organisasi (Luthans, 2006).

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

yang ditimbulkan dengan dimilikinya komitmen organisasi, yaitu: anggota

organisasi termotivasi untuk menunjukkan performa yang lebih baik,

menunjukkan perilaku prososial, tingkat pergantian karyawan dan tingkat

ketidakhadiran yang rendah dan anggota organisasi cenderung untuk mencari

tantangan dalam setiap aktivitasnya.

6. Penelitian Tentang Komitmen Organisasi

Menurut O’Reilly dan Chatman (1986) dalam penelitiannya mengenai

komitmen organisasi dan kelekatan psikologis menunjukkan bahwa

komitmen yang berdasarkan pada internalisasi (adanya persamaan nilai yang

dimiliki individu dengan organisasi) mempunyai hubungan yang signifikan

terhadap perilaku sosial didalam organisasi, berhubungan sangat kuat

terhadap keinginan untuk bertahan di dalam organisasi, dan mempunyai

hubungan yang negatif terhadap turnover. Komitmen berdasarkan pada

identifikasi, menunjukan hasil yang sama dengan komitmen berdasarkan

internalisasi, yang mana menunjukkan adanya hubungan yang signifikan

terhadap perilaku prososial dan keinginan untuk tetap bertahan di organisasi,

dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap turnover. Sedangkan pada

komitmen yang berdasarkan pada kepatuhan menunjukkan hubungan yang

(42)

Komitmen organisasi juga dapat muncul dari pemimpin. Hal tersebut

seperti dijelaskan dalam penelitian Rowden (1999) yaitu pemimpin yang peka

terhadap kebutuhan para anggota mempunyai hubungan yang positif terhadap

komitmen organisasi, mempunyai visi yang jelas dan dapat mengartikulasi

visi tersebut dengan baik juga berkaitan dengan komitmen, dan anggota

organisasi yang sudah tua cenderung untuk lebih komit pada organisasi.

B. Kelekatan Aman

1. Pengertian Kelekatan

Menurut Bowlby (1969) kelekatan adalah suatu ikatan afeksi yang kuat

yang dirasakan kepada orang tertentu di dalam kehidupan (dalam Feeney dan

Noller, 1996). Bowlby menyakinkan bahwa anak-anak membutuhkan suatu

hubungan yang dekat dan berlanjut dengan pengasuh utama mereka untuk

pertumbuhan emosional. Menurut Bowlby (dalam Keller dan Cacioppe,

2001) pengalaman awal bersama dengan pengasuh selama masa pengasuhan

menghasilkan model kerja internal (internal working models), atau skema

yang mengarahkan pada ekpektasi-ekspektasi tentang diri dan orang lain.

Menurut Bowlby (dalam Keller dan Cacioppe, 2001) model kerja internal

(internal working models) terdiri dari tiga elemen, yaitu: siapa figur yang

dilekati, bagaimana respon yang diharapkan terhadap figur yang dilekati, dan

bagaimana diri dapat diterima menurut sudut pandang dari figur yang dilekati.

(43)

orang lain, dan hubungan-hubungan yang terbentuk selama interaksi bayi

bersama dengan pengasuhnya (Shaffer dan Kipp, 2012).

Selanjutnya, Bowlby (dalam Feeney dan Noller, 1996) mengatakan bahwa

perilaku melekat adalah suatu bentuk sistem perilaku yang terorganisir. Hal

tersebut ditunjukkan dengan bermacam-macam perilaku (seperti tersenyum

atau menangis) yang mempunyai satu fungsi yaitu agar pengasuh tetap dekat.

Tujuan dari sistem ini adalah untuk mengontrol perilaku atau

mempertahankan hubungan dengan figur yang dilekati dan merasa aman.

Bowlby (dalam Feeney dan Noller, 1996) mempunyai hipotesis bahwa

perilaku melekat adalah adaptif, berkembang melalui proses seleksi alam.

Perilaku melekat ini membuat bayi untuk dapat bertahan hidup, melindungi

bayi dari bahaya dengan menjaga mereka selalu dekat dengan pengasuh

utamanya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelekatan

adalah suatu perasaan yang kuat, hubungan interpersonal yang dekat dengan

pengasuh atau ibu dan merupakan suatu bentuk perilaku yang terorganisir,

perilaku-perilaku seperti tersenyum atau menangis yang berfungsi untuk

membuat pengasuh tetap dekat. Pengalaman di awal kehidupan tersebut akan

membentuk suatu skema yang akan menjadi standar individu untuk

berinteraksi dengan orang lain. Terakhir, kelekatan juga merupakan suatu

(44)

2. Pola-pola Kelekatan

Pola pola kelekatan terbagi dalam beberapa bagian menurut Ainsworth et

al (dalam Berk, 2008) melalui penelitian yang dilakuan berdasarkan observasi

yang disebut dengan Strange Situasion, yaitu: kelekatan tidak aman (insecure

attachment) dibagi menjadi tiga, antara lain: kelekatan cemas-menghindar

(insecure avoidant), kelekatan cemas-menolak (insecure ambivalent/anxiety)

dan kelekatan tidak teratur–tidak terarah (disorganized/disoriented

attachment) dan kelekatan aman (secure attachment).

Pola pertama yaitu, kelekatan cemas-menghindar (insecure avoidant) yang

mana bayi dengan pola ini sering menunjukkan sikap distres ketika berpisah

dengan pengasuh dan pada umumnya menjauhi dan menolak pengasuhnya

ketika pengasuh mencoba untuk mendapatkan perhatiannya. Bayi dengan

pola ini sering ramah dengan orang asing tapi kadang-kadang mereka

menghindar atau menolak orang asing tersebut sama seperti mereka

menghindar atau menolak pengasuh mereka.

Pola kedua yaitu, kelekatan cemas-menolak (insecure ambivalent/anxiety)

yang mana bayi pada pola ini menunjukkan perilaku untuk dekat dengan

pengasuh mereka tapi melakukan sedikit eksplorasi ketika pengasuh ada

didekatnya. Mereka menjadi distres ketika pengasuh pergi, namun ketika

pengasuh kembali mereka menjadi ambivalen. Ketika pengasuh kembali, bayi

dengan pola ini menunjukkan perilaku untuk dekat namun memberikan kesan

(45)

untuk tidak memulai kontak fisik dengan pengasuh mereka (Shaffer dan

Kipp, 2012).

Pola yang ketiga yaitu, kelekatan tidak teratur–tidak terarah

(disorganized/disoriented attachment) pada pola kelekatan ini muncul

berdasarkan pola kelekatan anxiety dan pola kelekatan avoidant yang

menunjukkan kebingungan untuk mendekati atau menjauhi pengasuh (Main

dan Solomon, dalam Shaffer dan Kipp, 2012). Ketika bertemu dengan

pengasuh bayi dengan tipe ini berlaku bingung dan kaku, atau mereka

mencoba mendekati pengasuh lalu secara tiba-tiba bergerak menjauhi

pengasuh yang mencoba mendekat. Namun bisa juga bayi dengan pola ini

menunjukkan kedua pola tersebut dalam situasi yang berbeda (Shaffer dan

Kipp, 2012).

Pola yang terakhir yaitu, kelekatan aman (secure attachment) yang mana

pada pola ini bayi aktif dalam mengeksplorasi lingkungannya meskipun

sendiri dengan pengasuhnya dan terlihat tidak senang ketika berpisah dari

pengasuhnya. Bayi dengan pola ini selalu menyambut dengan hangat ketika

pengasuh kembali dan jika mengalami distres, mereka selalu mencari kontak

fisik dengan pengasuh yang mana membantunya untuk meredakan distres

mereka. Bayi dengan pola ini mudah bergaul dengan orang asing ketika

pengasuh mereka ada di dekatnya (Shaffer dan Kipp, 2012).

Pada penelitian ini peneliti memilih kelekatan aman (secure attachment)

sebagai salah satu variabel yang akan diukur yang akan dihubungkan dengan

(46)

dengan pola kelekatan aman menunjukkan perilaku yang mencari

kenyamanan, dan kemampuan untuk melihat pengasuh sebagai tempat yang

aman untuk melakukan eksplorasi (Hazan dan Shaver, 1994). Bayi dengan

pola kelekatan yang aman juga belajar bahwa orang lain merupakan sumber

yang dapat dipercaya akan rasa aman dan kebaikan (David, 2002). Pada orang

dewasa dengan pola kelekatan aman (secure attachment) menunjukkan

self-eficacy yang tinggi (Mikulincer dan Shaver; dalam Shiota et al, 2006),

mengharapkan hubungan yang saling mencintai dan mendukung (Hazan dan

Shaver; dalam Shiota et al, 2006), menunjukkan kemampuan dalam

mengelola emosi pada setiap kejadian-kejadian di lingkungan sosial,

mempunyai daya tarik dan penghargaan dalam suatu hubungan yang mana

terdapat kepercayaan dan dukungan. Hal tersebut disebabkan karena adanya

model kerja internal (internal working model) yang mereka miliki (Shiota et

al, 2006). Kelekatan aman juga mendukung fondasi psikologis untuk

mengeksplorasi lingkungan dan mengambil keuntungan dalam setiap

kesempatan baru yang ditemui individu, di samping itu juga meningkatkan

pengalaman akan suatu hubungan yang dekat (Ainsworth; Bowlby; dalam

Shiota et al, 2006).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kelekatan

mempunyai beberapa pola, yaitu kelekatan tidak aman (insecure attachment)

dan kelekatan aman (secure attachment). Kelekatan tidak aman terbagi

kedalam beberapa pola, antara lain: kelekatan cemas-menghindar (insecure

(47)

kelekatan tidak teratur–tidak terarah (disorganized/disoriented attachment)

dan kelekatan aman (secure attachment).

3. Dimensi Kelekatan Aman

Bartholomew dan Horowitz (1991) menjelaskan dua model yang telah

dikonseptualisasikan oleh Bowlby, yaitu dimensi mengenai diri (model of

self) dan dimensi mengenai orang lain (model of other). Berdasarkan dua

dimensi tersebut terbagi lagi menjadi positif dan negatif. Dimensi mengenai

diri (model of self) yang positif akan melihat bahwa dirinya berharga, dicintai

dan mendapatkan perhatian dari lingkungannya, sedangkan dimensi mengenai

diri (model of self) yang negatif akan melihat bahwa dirinya tidak berharga.

Dimensi mengenai orang lain (model of other) yang positif akan melihat

bahwa orang lain dapat dipercaya, perhatian dan selalu ada jika dibutuhkan,

sedangkan dimensi mengenai orang lain (model of self) yang negatif akan

melihat bahwa orang lain tidak dapat diandalkan / dipercaya, tidak bersahabat

dan tidak perhatian. Berdasarkan kedua dimensi diatas, maka dapat

memunculkan empat pola kelekatan pada orang dewasa, yaitu pola kelekatan

aman (secure), preoccupied, dismissing dan fearful (Bartholomew dan

Horowitz, 1991).

Pada pola kelekatan aman (secure attachment) menunjukkan adanya

perasaan akan berharga terhadap diri sendiri dan mempunyai ekspektasi

bahwa orang lain pada umumnya dapat dipercaya dan responsif. Individu

(48)

kepercayaan interpersonal (model of other) yang positif. Individu dengan pola

ini mencari kedekatan interpersonal dan merasa nyaman dalam hubungan.

Hal tersebut disebabkan karena individu dengan pola kelekatan aman (secure

attachment) mampu menunjukkan empati yang lebih besar, sehingga lebih

dapat mempersepsikan hubungan dari perspektif diri sendiri dan orang lain

(Shaver dan Brennan, dalam Medya, 2003).

Pola kelekatan preoccupied menunjukkan adanya rasa tidak berharga

terhadap diri sendiri namun mempunyai evaluasi atau melihat orang lain

secara positif. Individu dengan pola ini menunjukkan pandangan terhadap diri

(model of self) yang negatif dan adanya pandangan yang positif terhadap

orang lain (model of other) akan suatu penerimaan terhadap mereka. Individu

dengan pola ini akan mencari kedekatan dalam hubungan mereka, tetapi

mereka juga merasa cemas dan malu karena mereka merasa tidak pantas

menerima cinta dari orang lain. Ketika suatu hubungan memburuk, individu

pada pola ini akan mengalami depresi karena individu dengan pola ini merasa

tertekan terhadap penolakan dan mempunyai kebutuhan untuk dicintai dan

diakui (Whiffen dalam Medya, 2003).

Pola kelekatan dismissing menunjukan adanya perasaan akan dicintai atau

perasaan berharga terhadap diri sendiri namun melihat orang lain secara

negatif. Pada pola ini orang lain dilihat tidak dapat dipercaya dan diandalkan

(Bartholomew dan Horowitz, 1991). Individu dengan pola ini menunjukkan

gambaran akan diri (model of self) yang positif dan pandangan terhadap orang

(49)

sebagai seorang yang sangat berharga, independen, dan sangat layak untuk

mendapatkan hubungan yang dekat, namun orang lain melihat mereka tidak

seperti yang mereka bayangkan, individu pada pola ini dideskripsikan sebagai

individu yang tidak ramah dan terbatas keterampilan sosialnya (Medya,

2003).

Terakhir yaitu pola kelekatan fearful, menunjukkan perasaan akan tidak

berharga terhadap diri sendiri dan mempunyai ekspektasi yang negatif

terhadap orang lain. Pada pola ini diri sendiri (model of self) dan orang lain

(model of other) dilihat secara negatif, sehingga pada pola ini individu akan

menghindari hubungan atau keterlibatan yang dekat dengan orang lain

(Bartholomew dan Horowitz, 1991). Meminimalkan kedekatan interpersonal

dan menghindari hubungan akrab bertujuan agar terhindar dari rasa sakit

karena ditolak (Medya, 2003).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua dimensi

kelekatan, yaitu: dimensi mengenai diri (model of self) dan dimensi mengenai

orang lain (model of other). Kedua dimensi tersebut juga terbagi lagi kedalam

positif dan negatif, sehingga memunculkan beberapa pola kelekatan, antara

lain: kelekatan aman (secure attachment), preoccupied attchment, dismissing

attachment, dan fearful attachment.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelekatan Aman

Menurut Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1996) sistem kelekatan

(50)

genetik, dan pengaruh budaya. Faktor pertama yaitu, pengalaman individu.

Bowlby (dalam Feeney dan Noller, 1996) memberikan penekanan pada

pengalaman awal pengasuhan yang mana pada tahap ini menunjukkan

kualitas kelekatan antara pengasuh dan bayi bergantung pada bias awal antara

ibu dan anak yang mempengaruhi hubungan dan mempengaruhi satu sama

lain. Ainsworth (dalam Shaffer dan Kipp, 2012) percaya bahwa kualitas

kelekatan pada masa bayi bergantung pada seberapa besar perhatian yang

didapatkan oleh bayi. Kualitas dari pengasuhan tersebut dapat ditunjukkan

dengan perilaku responsif, hangat dan selalu ada ketika bayi membutuhkan

(Feeney dan Noller, 1996).

Faktor kedua yaitu, kondisi genetik pada faktor ini beberapa peneliti sudah

menyatakan bahwa perbedaan kualitas individu dalam kelekatan disebabkan

karena adanya perbedaan karakteristik pada saat bayi. Menurut Vaughn,

Lefever, Seifer, dan Barglow (dalam Feeney dan Noller, 1996) menemukan

bahwa pada penelitian Strange Situation, temperamen bayi berhubungan pada

keadaan ketika bayi mengalami distres ketika terjadi pemisahan dengan

pengasuh. Sehingga, pada faktor ini kualitas kelekatan di lihat dari perbedaan

individu karena adanya perbedaan karakteristik yang dimiliki.

Faktor yang terakhir, yaitu pengaruh budaya pada tahap ini menurut Sagi,

Van IJzendoorn dan Koren-Karie (dalam Feeney dan Noller, 1996)

berdsarkan pada penelitian Strange Situation menemukan bahwa perbedaan

budaya dalam klasifikasi kelekatan aman merefleksikan perbedaan budaya

(51)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelekatan aman, seperti: faktor

pengalaman individu, faktor kondisi genetik dan faktor budaya.

5. Penelitian Tentang Kelekatan Aman

Menurut Mikulincer dan Shaver (2005) kelekatan aman menyediakan

suatu fondasi untuk rasa belas kasihan dan pengasuhan. Individu yang

mempunyai kelekatan aman juga menyatakan bahwa dirinya mempunyai

kepekaan terhadap kebutuhan pasangan mereka dan individu yang aman juga

menyediakan dukungan emosional (Kunce dan Shaver, dalam Mikulincer dan

Shaver, 2005).

Individu-individu yang aman akan mencari dukungan dari significant

othersnya dan mempunyai kepercayaan diri terhadap kemampuan yang

mereka miliki untuk mengembangkan coping mereka secara konstruktif

(Simmons et al, 2009). Individu-individu ini mempunyai ekspektasi yang

positif terhadap kemampuan mereka dalam mengontrol atau mengururs stress

yang dihadapi (Mikulincer dan Florian, dalam Simmons et al, 2009). Individu

yang aman juga dapat bekerja dengan efektif secara mandiri tanpa bantuan

orang lain ataupun dengan orang lain sebagai cara yang mereka temukan

untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kemampuan dan rasa percaya diri

yang mereka miliki terhadap kemampuan mereka memfasilitasi sikap dan

perilaku mereka pada pencapaian tujuan. Individu dengan kelakatan aman

(52)

mereka ajak untuk bekerja sama dan menyelesaikan tujuan-tujuan mereka.

Kemampuan yang mereka miliki membantu mereka untuk menemukan cara

dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka. (Simmons et al, 2009).

C. Dinamika Hubungan antara Kelekatan Aman dengan Komitmen Organisasi

Bowlby (1969) menyatakan bahwa kelekatan adalah suatu ikatan afeksi

yang kuat yang dirasakan kepada orang tertentu di dalam kehidupan. Pengalaman

awal yang didapatkan selama masa bayi tersebut akan mempengaruhi respon

ataupun perilaku seseorang kedepannya. Karena selama pengalaman awal tersebut

yang dilalui bersama dengan orang-orang tertentu dalam hal ini pengasuh akan

membentuk suatu skema atau representasi kognitif akan diri, orang lain, dan

hubungan-hubungan yang terbentuk ketika bayi berinteraksi dengan pengasuh.

Skema atau representasi kognitif ini yang disebut dengan model kerja internal

(internal working models).

Model kerja internal (internal working models) ini dapat menjadi positif

atau negatif. Model kerja internal (internal working models) yang positif

disebabkan oleh pengasuh yang sensitif dan responsif yang akan menuntun anak

bahwa orang lain dapat diandalkan, sedangkan pengasuh yang tidak sensitif

terhadap kebutuhan bayi, kurang perhatian, dan cenderung menggunakan

kekerasan akan mengarahkan anak mempunyai kelekatan yang tidak aman dan

kurang percaya terhadap orang lain (Shaffer dan Kipp, 2012). Dimilikinya model

kerja internal (internal working models) yang positif akan mengarahkan anak

(53)

Berdasarkan dari sudut pandang individu yang memiliki significant other,

tujuan dari kelekatan adalah mendapatkan rasa aman (Feeney dan Noller, 1996).

Kualitas pengasuhan yang responsif, sensitif dan hangat akan mengarahkan bayi

untuk memiliki gaya kelekatan yang aman. Pada gaya kelekatan aman ini figur

yang dilekati memberikan bayi tempat perlindungan dan rasa aman, ketika bayi

melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya. Pada saat melakukan eksplorasi

tersebut ketika ada ancaman atau merasa terancam bayi mempunyai tempat

berlindung yang selalu tersedia, responsif dan hangat untuk mengelola emosi

negatifnya.

Hazan dan Shaver (1990) menyatakan bahwa pekerjaan pada orang

dewasa sama dengan eksplorasi yang dilakukan pada masa kanak-kanak (dalam

Prehar, 2001). Pekerjaan merupakan cara bagi orang dewasa untuk

mengembangkan kesadaran akan kompetensinya dan untuk mengembangkan

dunianya. Dalam hal ini, individu dengan gaya kelekatan aman mempunyai

self-efficacy yang tinggi (Mikulincer dan Shaver; dalam Shiota et al, 2006),

mengharapkan hubungan yang supportif (Hazan dan Shaver; dalam Shiota et al,

2006) dan menunjukkan lebih banyak respon dengan belas kasih terhadap

kebutuhan orang lain daripada individu dengan gaya kelekatan tidak aman

(Mikulincer et al; dalam Shiota et al, 2006). Individu yang memiliki kelekatan

aman juga menunjukkan pribadi yang gembira, mempunyai kepuasan, dan rasa

bangga terhadap setiap pencapaian target pribadi yang mana hal tersebut

(54)

Karyawan dengan kelekatan aman menunjukkan ciri mempunyai

self-efficacy yang tinggi (Mikulincer dan Shaver; dalam Shiota et al, 2006),

mengharapkan hubungan yang supportif (Hazan dan Shaver; dalam Shiota et al,

2006), menunjukkan respon secara simpatik dan tingkat distres yang rendah

(Mikulincer dan Shaver, 2005), menunjukkan perilaku yang altruistik (Mikulincer

dan Shaver, 2005) dan dapat bekerja secara efektif secara individual maupun di

dalam kelompok (Simmons et al, 2009).

Berdasarkan uraian tersebut maka kelekatan aman membantu karyawan

untuk memiliki sikap terbuka, membuat karyawan memiliki perasaan aman, dan

nyaman baik dengan lingkungan maupun dengan diri sendiri. Adanya

perasaan-perasaan positif tersebut membuat karyawan menjadi mudah untuk melakukan

adaptasi pada lingkungannya. Proses tersebut mengarahkan karyawan memiliki

komitmen organisasi karena adanya proses identifikasi yang terjadi (Kagan, dalam

O’Reilly dan Chatman, 1986). Hal inilah yang dapat mengarahkan karyawan

untuk memiliki komitmen organisasi. Dimana dengan ciri yang dimiliki tersebut

memungkinkan karyawan untuk dapat mempunyai hubungan yang baik dengan

rekan kerja maupun dengan atasan, kerja sama juga dapat terbangun dengan baik

sehingga akan menimbulkan suasana kerja yang kondusif dan nyaman yang

akhirnya dapat membuat karyawan ingin bersama dengan organisasi karena

(55)

D. Skema

Karyawan

Komitmen organisasi rendah

• Karyawan yang mempunyai self-efficacy yang tinggi

• Hubungan yang suportif

• Memberikan respon yang simpatik

• Pribadi yang gembira, puas dan bangga dengan pencapaiannya

• Perasaan nyaman pada pekerjaan

• Relasi yang baik dengan rekan kerja atau atasan

• Perasaan puas terhadap pekerjaan

• Karyawan yang kurang percaya terhadap nilai yang dimilikinya dalam berelasi

• Siaga terhadap tanda-tanda

penghianatan atau kegagalan dalam berelasi

• Menghindari kedekatan dalam berelasi

• Perasaan tidak puas terhadap pekerjaan

• Konflik antar sesama rekan kerja Membentuk insecure attachment

Membentuk secure attachment

Komitmen organisasi tinggi

Working Models positif (skema representasi diri, orang lain dan hubungan interaksi yang positif antara

bayi dengan pengasuhnya)

Working Models negatif (skema representasi diri, orang lain dan hubungan interaksi yang negatif antara

(56)

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka hipotesis dalam

penelitian ini, yaitu: terdapat hubungan yang positif antara gaya kelekatan aman

dengan komitmen organisasi pada karyawan. Semakin aman gaya kelekatan yang

dimiliki maka semakin tinggi komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan.

Sebaliknya, semakin tidak aman gaya kelekatan yang dimiliki maka semakin

(57)

37

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan menyelidiki

sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau

lebih variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2009). Pada penelitian

ini peneliti ingin melihat hubungan positif antara kelekatan aman dengan

komitmen organisasi pada karyawan.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki dua variabel yang dapat diidentifikasikan sebagai

berikut:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat. Variabel bebas merupakan

sebab yang diperkirakan dari beberapa perubahan dalam variabel terikat

(Robbins, dalam Noor, 2011). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
BlueprintTabel 3  Skala Komitmen Organisasi
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pedoman Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Program Sarjana Halaman 7 Jika salah satu komponen penilaian memiliki nilai di bawah 60% dari nilai maksimum dan atau hasil penilaian

[r]

Dengan iru menyatakan dengan sebenarnya ballwa karya ilmiab ini telah diperiksaldivalidasi dan basilnya telab memenuhi kaidab iImiab, norma akademik dan norma hukum

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan

[r]

Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: makna masalah, klasifikasi masalah, pembelajaran pemecahan masalah matematika, metode dan teknik

ο-·± ̱¬¿´ Ø«¬¿²¹ ¬»®¸¿¼¿° ̱¬¿´ ß-»¬ òòòòòòòòòòòò. ο-·± Ì·³» ײ¬»®»-¬

yaran uiiuk msnsujudkai perayaiai ke5ej.!. ke:ejahrs.aan