• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA FESES BABI (Sus sp.) DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI KM 12,5 KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA FESES BABI (Sus sp.) DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI KM 12,5 KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA FESES BABI (Sus

KM 12,5 KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

WINDA SAFRISKA NAHAMPUN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA Sus sp.) DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI KM 12,5 KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

WINDA SAFRISKA NAHAMPUN 140805024

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA sp.) DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI KM 12,5 KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(2)

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA FESES BABI (Sus

KM 12,5 KABUPATEN

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar

WINDA SAFRISKA NAHAMPUN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA Sus sp.) DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI KM 12,5 KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

WINDA SAFRISKA NAHAMPUN 140805024

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

ii

ii

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA sp.) DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI

DELI SERDANG SUMATERA UTARA

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(3)

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA FESES BABI (Sus sp.) DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI

KM 12,5 KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2019

Winda Safriska Nahampun 140805024

(4)

i

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA FESES BABI DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI KM 12,5

KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Infeksi endoparasit dapat menghambat keberhasilan budidaya babi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, prevalensi dan intensitas serangan endoparasit.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses segar dari babi muda (3-5 bulan) sebanyak 18 ekor dan dewasa (>5 bulan) sebanyak 25 ekor. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Medan, Sumatera Utara dengan metode natif (direct slide). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada babi dewasa ditemukan 2 jenis endoparasit yaitu Eimeria sp. dengan prevalensi 5,5%

kategori Occasionally (infeksi kadang) serta intensitas serangan 100 (endoparasit parah); Ascaris sp. dengan prevalensi 12% kategori Often (infeksi sering) serta intensitas serangan 566,7 (endoparasit sangat parah); sedangkan pada babi muda ditemukan 2 jenis endoparasit yaitu Ascaris sp. dengan prevalensi sebesar 5,5%

kategori Occasionally (infeksi kadang) serta intensitas serangan sebesar 300 (endoparasit sangat parah); Oesophagustomum sp. dengan prevalensi 5,5% kategori Occasionally (kadang) serta intensitas serangan 200 (endoparasit sangat parah).

Kata kunci: Ascaris, babi, Eimeria, metode natif, Oesophagustomum.

(5)

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA FESES BABI DI PETERNAKAN BABI DAERAH BINJAI KM 12,5

KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Infeksi endoparasit dapat menghambat keberhasilan budidaya babi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, prevalensi dan intensitas serangan endoparasit.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses segar dari babi muda (3-5 bulan) sebanyak 18 ekor dan dewasa (>5 bulan) sebanyak 25 ekor. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Medan, Sumatera Utara dengan metode natif (direct slide). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada babi dewasa ditemukan 2 jenis endoparasit yaituEimeria sp. dengan prevalensi 5,5%

kategori Occasionally (infeksi kadang) serta intensitas serangan 100 (endoparasit parah); Ascaris sp. dengan prevalensi 12% kategori Often (infeksi sering) serta intensitas serangan 566,7 (endoparasit sangat parah); sedangkan pada babi muda ditemukan 2 jenis endoparasit yaitu Ascaris sp. dengan prevalensi sebesar 5,5%

kategori Occasionally (infeksi kadang) serta intensitas serangan sebesar 300 (endoparasit sangat parah); Oesophagustomum sp. dengan prevalensi 5,5% kategori Occasionally (kadang) serta intensitas serangan 200 (endoparasit sangat parah).

Kata kunci: Ascaris, babi, Eimeria, metode natif, Oesophagustomum.

(6)

iii

IDENTIFICATION AND PREVALENCE OF ENDOPARASITES OF FARM PIGS BASED ON FECAL EXAMINATION IN BINJAI DELI

SERDANG DISTRICT NORTH SUMATRA

ABSTRACT

Endoparasitic infection could be a problemfor the successful of pig cultivation. Research on the identification and prevalence of endoparasites of pig farm based on Fecal Examination in Binjai, North Sumatra, has been conducted from Februari 2018 until Juli 2018. The purposes of this study were to determine the types, prevalence and intensity of endoparasites. The sample used in this study were fresh feces from 18 young pigs (3-5 months) and 25 adult pigs (>5 months). The examination of samples were carried out in the laboratory of Parasitology, Balai Veteriner Medan, North Sumatra, using direct slide method. The results showed that in adult pigs found 2 species of endoparacites. Those were 1Eimeriasp. with a prevalence value of 5,5% (occasionally) and intensity value of 100 (endoparasite intense infection); 2Ascaris sp. with a prevalence value of 12% (often) and intensity value of 566,7 (very intense infection); whereas in young pigs found 2 type of endoparasite. Those were 1Ascarissp., with the prevalence value of 5,5%

(occasionally) and intensity value of 300 (very intense infection);

2Oesophagustomumsp. with the prevalence value of 5,5% (occasionally) and intensity value of 200 (very intense infection).

Keywords: Ascaris, Eimeria, native method, Oesophagustomum, pig.

iii

(7)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Identifikasi dan Prevalensi Endoparasit pada Feses Babi (Sus sp.) Di Peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara”. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Ibu Dr.

Masitta Tanjung, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar, meluangkan waktu dan selalu memberi motivasi dari awal penulisan proposal hingga skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku dosen penguji dan Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si selaku dosen penguji sekaligus sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dari semester satu sampai saat ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku Ketua Departemen Biologi dan kepada Bapak Riyanto Sinaga, S.Si., M.Si selaku Sekretaris Departemen Biologi, beserta seluruh dosen Departemen Biologi dan Staf administrasi departemen, Bang Ewin dan Kak Winda yang selalu bersedia memberikan ilmu serta membantu penulis dalam perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan FMIPA USU beserta seluruh wakil dan staf administrasinya. Ucapan terima kasih juga kepada Laboran yang selalu memberi layanan yang baik dan terima kasih juga untuk semua asisten Laboratorium Fisiologi Hewan.

Ucapan terima kasih kepada Bapak drh. Sintong HMT Hutasohit, M.Si selaku Kepala Balai Veteriner Medan dan Ibu drh. Nensy Marnana Hutagaol selaku Kepala Seksi Pelayanan Teknis Balai Veteriner Medan yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian sampai selesai. Ucapan terima kasih kepada Ibu drh.

Eskayanti, Ibu Hermintha, S.Pt dan Ibu Samaritha, S.Pt selaku Staf Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan yang telah membantu penulis dalam penelitian.

(8)

v Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Asim dan teman-temannya, yang telah memberikan izin untuk penelitian di peternakan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta bapak J.

Nahampun dan ibu M. Malau dan ucapan terima kasih juga untuk adik penulis Widya Octavia Nahampun, dan Ebenezer Nahampun yang senantiasa memberikan kasih sayang setulus hati dan mendoakan penulis menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih kepada teman seperjuangan skripsi stambuk 2014, kepada sahabat tercinta atas segala semangat, dukungan, kekompakan, bantuan dan rasa persaudaraan yang telah kalian tunjukkan, juga terima kasih kepada adik asuh 2016 dan untuk semua pihak penulis ucapkan terima kasih yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan ketidaksempurnaan mengingat keterbatasan kemampuan penulis.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih belum sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan hasil penelitian lebih lanjut. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembang ilmu dalam penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2019

Winda Safriska Nahampun

v

(9)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN SKRIPSI ABSTRAK

ABSTRACT PENGHARGAAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Babi

2.2 Endoparasit Cacing Nematoda 2.2.1 Endoparasit pada Babi 2.2.2 Cacing Nematoda 2.2.3 Cacing Cestoda 2.2.4 Cacing Trematoda

2.3 Protozoa pada Babi BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Deskripsi Areal Kandang 3.2.2 Pengambilan Sampel Feses

3.2.3 Pemeriksaan Sampel Feses 3.3 Analisis Data

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Jenis Endoparasit

4.2 Prevalensi Babi yang Terserang Endoparasit 4.3 Intensitas Serangan Jumlah Endoparasit BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Halaman i ii iii iv vi vii viii

ix 1 1 3 3 4 5 5 6 6 7 9 10 11 12 12 12 12 13 13 13 16 16 23 25 27 27 27 28 31

(10)

vii DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1 Kriteria prevalensi infeksi endoparasit 14

3.2 Kriteria intensitas 15

4.1 Identifikasi jenis endoparasit pada babi di peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

16

4.2 Prevalensi endoparasit pada babi di peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

23 4.3 Intensitas endoparasit pada babi di peternakan babi daerah

Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

25

vii

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

3.1 Kandang babi di peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

12

4.1 Ookista Eimeria sp. 17

4.2 Telur Ascaris sp. 20

4.3 Telur Oesophagustomum sp. 22

(12)

ix DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1 Kegiatan kerja 31

2 Bagan alur kerja 32

3 Jenis dan jumlah telur endoparasit 33

4 5

Perhitungan nilai prevalensi dan intensitas Surat hasil uji laboratorium

34 37

ix

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Babi salah satu hewan ternak penyumbang sumber protein hewani nomor tiga setelah unggas dan sapi. Peternakan babi diusahakan secara intensif, terkurung dalam kandang dengan penanganan menggunakan teknologi maju dan pertimbangan ekonomi agar memberikan produksi yang lebih baik (Agri, 2011). Ternak babi memiliki presentase karkas babi cukup tinggi yaitu mencapai 65-80%, sedangkan presentase karkas sapi hanya 50-60%, domba dan kambing 45-55% serta kerbau 38%, kandungan lemak yang lebih tinggi dengan kadar air lebih rendah; dan adaptif terhadap sistem pemakaian peralatan otomatis sehingga menghemat biaya dan tenaga kerja (Supriadi dan Muslihin, 2014).

Peternak akan mendapat keuntungan bila hasil produksi mencapai standar yang ditetapkan. Ada beberapa sifat kualitatif ternak babi yang menguntungkan peternak, seperti daya produksi, jumlah dan bobot anakan saat lahir, disapih dan dibesarkan, mortalitas rendah serta efisiensi penggunaan pakan yang tinggi (Fahmy dan Bernard, 1972), dan dapat memanfaatkan sisa makanan yang tidak digunakan oleh manusia. Kegiatan usaha peternakan babi dilakukan secara komersial (industri peternakan), dan sebagian besar masih merupakan peternakan rakyat. Selain sebagai cabang usaha utama, peternakan babi dapat dijadikan sebagai usaha sampingan ataupun komplementer bagi masyarakat (Supriadi dan Muslihin, 2014).

Faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi dari aspek manajemen adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Ternak babi sangat peka terhadap penyakit, salah satunya adalah penyakit endoparasit. Parasit merupakan makhluk hidup yang dalam kehidupannya menggunakan makanan makhluk hidup lain sehingga sifatnya merugikan (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Menurut penelitian Syukron et al., (2014), peternakan babi di beberapa negara berkembang dengan iklim tropis dan sub tropis mengalami kendala penyakit cacing, karena perkembangan telur cacing menjadi larva infektif dapat berlangsung

(14)

2

sepanjang tahun. Jenis cacing yang sering menginfeksi babi yaitu Oesophagustomum sp, Trichuris sp dan Ascaris suum (Syukron et al., 2014).

Masalah babi yang sering dijumpai adalah penyakit kecacingan dan infeksi protozoa. Cacing dan protozoa pada babi akan menurunkan kesehatan tubuh babi dengan menyerap bahan nutrisi dan mengganggu berbagai organ. Beberapa babi yang terinfeksi cacing tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi akan menurunkan efisiensi pakan dan produktivitas babi tersebut (Pam et al., 2013).

Cacing dapat menimbulkan gangguan nafsu makan dan pertumbuhan.

Gangguan pada pertumbuhan akan berlangsung cukup lama sehingga produktivitas akan turun. Gejala-gejala dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain, badan lemah dan bulu rontok. Jika infeksi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian. Adanya endoparasit di dalam tubuh ternak tidak harus diikuti oleh perubahan yang sifatnya klinis.

Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan feses, dimana jika ditemukan telur cacing pada feses, maka dipastikan adanya cacing pada ternak tersebut (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Pada Peternakan Babi di daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dipisahkan berdasarkan umur terdiri dari babi muda dan dewasa.

Babi muda berumur 3-5 bulan dan babi dewasa berumur >5 bulan. Babi muda umumnya lebih peka terhadap infeksi parasit dan daya tahannya lebih lemah dibandingkan babi dewasa. Infeksi endoparasit pada babi muda juga dapat menularkan penyakit kepada babi lainnya dan dapat mencemari lingkungan sekitarnya (Agustina et al., 2016). Sistem pemeliharaan yang belum terkontrol dengan baik dan masih bersifat tradisional, seperti makanannya masih tergantung pada sisa-sisa makanan dapat memberikan peluang berbagai jenis penyakit, baik parasiter, bakterial maupun virus untuk berkembang biak (Inriani, 2015). Sistem pemeliharaan yang kurang memperhatikan kebersihan yaitu kandang sangat jarang dibersihkan, ternak jarang dimandikan, tidak diberikannya obat cacing bagi hewan ternak yang terinfeksi, serta pakan yang berasal dari sisa-sisa makanan yang tidak terjaga kebersihan dan tidak higienis.

Kesehatan ternak babi dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya kondisi lingkungan pemeliharaan, makanan, pola manajemen, bibit penyakit dan kelainan

(15)

3

metabolisme. Presentase ternak yang sakit oleh endoparasit dapat mencapai angka 30% (Wiryosuhanto dan Jakob, 1994).

Untuk mendapatkan gambaran tentang infeksi endoparasit pada peternak babi di daerah binjai km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Maka perlu dilakukan penelitian ini sebagai bahan acuan untuk mengetahui potensi patogenisitas.

1.2 Rumusan Masalah

Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi menyebabkan tingginya kebutuhan protein asal ternak salah satunya daging babi. Peternakaan babi di daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara memiliki sistem pemeliharaan secara tradisional tidak lepas dari berbagai hambatan dan kendala termasuk salah satunya penyakit akibat endoparasit dan protozoa yang menyerang hewan ternak. Keberadaan endoparasit merupakan permasalahan yang besar di peternakan dan semakin merugikan karena dapat menyebabkan penurunan produksi daging babi, penurunan kualitas daging serta bahaya terhadap manusia apabila parasitnya bersifat zoonosis. Melihat banyaknya kerugian akibat serangan endoparasit maka perlu dilakukan identifikasi endoparasit pada babi.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui jenis-jenis endoparasit pada babi (Sus sp.) di Peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara yang dipisahkan berdasarkan umur terdiri dari babi muda dan dewasa.

b. Mengetahui prevalesi serangan endoparasit yang menginfeksi babi (Sus sp.) di Peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara yang dipisahkan berdasarkan umur terdiri dari babi muda dan dewasa.

c. Mengetahui infeksi serangan endoparasit yang menginfeksi babi (Sus sp.) di Peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara yang dipisahkan berdasarkan umur terdiri dari babi muda dan dewasa.

(16)

4

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menjadi sumber informasi dan wawasan di bidang parasitologi dinas peternakan yaitu mengenai endoparasit saluran pencernaan babi (Sus sp.) dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam pengolahan peternakan khususnya di Peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

(17)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Babi

Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat-sifat menguntungkan di antaranya: laju pertumbuhan yang cepat. Babi lebih cepat tumbuh, cepat dewasa dan bersifat profilik yang ditunjukkan dengan banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang berkisar antara 8-14 ekor dengan rata-rata dua kali kelahiran pertahunnya (Inriani, 2015).

Induk babi akan mengandung selama 115 hari dan menyusui anak-anaknya selama 28 hari. Setelah 4 minggu, babi akan memasuki fase babi muda. Babi muda akan diberi konsentrat yang cukup serta dilakukan kastrasi agar beratnya bertambah.

Setelah 16 minggu, babi akan memasuki fase dewasa (Wheindrata, 2013).

Babi termasuk golongan hewan monogastrik, dipelihara untuk tujuan tertentu, salah satunya yaitu untuk kebutuhan protein hewani bagi manusia (Yesenia et al., 2017). Monogastrik berarti memiliki kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang dikonsumsi. Besarnya konversi babi terhadap ransum ialah 3,5 artinya untuk menghasilkan berat babi 1kg dibutuhkan makanan sebanyak 3,5kg ransum (Goodwin, 1974).

Secara taksonomi babi diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Suidae, genus Sus, spesies Sus sp. Babi termasuk hewan omnivora (pemakan segala). Pada peternakan tradisional, babi diberi makan dengan sistem basah. Semua bahan yang didapat dicampur menjadi satu, kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang besar, diberi air secukupnya, ditambah garam secukupnya, kemudian direbus sampai matang. Setelah dingin kemudian diberikan kepada babi. Peternakan modern memberikan pakan dalam dua bentuk, yaitu pakan dalam bentuk tepung (serbuk) dan bentuk pellet.

Peternakan modern yang menggunakan sistem kering, langsung memasukkan pakan ke kandang babi tetapi harus disediakan air minum yang cukup. Peternakan modern yang menggunakan sistem basah, biasanya berlaku pada bentuk tepung, akan

(18)

6

membasahi pakan terlebih dahulu sehingga menjadi adonan yang mudah dimakan (Wheindrata, 2013).

2.2 Endoparasit Cacing Nematoda 2.2.1 Endoparasit pada Babi

Parasit berasal dari hewan bebas yang mengalami evolusi. Mereka menyerupai nenek moyangnya, tetapi dalam perjalanan evolusinya mereka dapat menyesuaikan diri lebih baik hidup sebagai parasit. Beberapa parasit melengkapi dirinya dengan suatu organ semacam alat penghisap untuk bergantung. Banyak parasit yang memproduksi sangat amat banyak telur, karena kemungkinan setiap telur akan menginfeksi induk semang yang baru adalah sangat kecil. Parasit-parasit umumnya telah mengadakan perubahan sifat fisik biokimia dan organisme lain dan tidak tercerna atau terbunuh dan sebagian dari semangnya (Levine, 1990).

Parasit adalah suatu organisme lebih kecil yang hidup menempel pada tubuh organisme yang lebih besar yang disebut host. Terdapat dua jenis parasit yang terbagi berdasarkan letak dan tempat parasit hidup, yaitu ektoparasit dan endoparasit.

Ektoparasit adalah parasit yang hidup berparasitnya pada permukaan tubuh host atau di dalam liang-liang pada kulit yang masih mempunyai hubungan bebas dengan dunia luar sedangkan endoparasit merupakan parasit yang hidup dan menginfeksi di dalam tubuh host (Sandjaja, 2007).

Endoparasit merupakan jenis parasit yang hidup di dalam tubuh inang.

Berbeda dengan ektoparasit, endoparasit menyerang organ dalam pada inang.

Endoparasit mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap jaringan inang sehingga umumnya tidak menimbulkan kerusakan serta gejala klinis yang berat.

Endoparasit dapat pula menjadi pathogen karena inang menderita malnutrisi atau terjadi penurunan daya imunitas tubuh (Natadisastra dan Agoes, 2009).

Parasit harus mampu mengatasi pertahanan tubuh hospes defenitif sehingga terjadi infeksi. Dalam tubuh hospes yang bertindak sebagai reservoir, populasi parasit harus mantap dari generasi induk sampai generasi selanjutnya. Parasit dapat lepas dari hospes yang bertindak sebagai reservoir dengan cara parasit dibebaskan oleh hospes dan langsung masuk ke dalam tubuh hospes defenitif atau hospes yang bertindak sebagai reservoir dihancurkan terlebih dahulu dan baru masuk setelah

(19)

7

parasit bebas masuk ke dalam tubuh hospes defenitif. Penularan terhadap hospes yang rentan oleh parasit stadium infektif yang terdapat di luar tubuh hospes defenitif dimungkinkan apabila parasit sanggup mengatasi faktor lingkungan, persaingan antar parasit sendiri dan gangguan secara mekanis oleh ternak (Subronto dan Tjahajati, 2001).

2.2.2 Cacing Nematoda

Salah satu kegagalan pada peternakan babi adalah masalah penyakit, di antaranya adalah masalah penyakit parasit yang menginfeksi intestinal. Parasit merupakan makhluk hidup yang makan dari makhluk hidup lain sehingga merugikan bagi hewan yang ditumpanginya. Salah satunya cacing yang merupakan penyakit parasit yang dapat menginfeksi babi (Guna et al., 2014).

Salah satu jenis cacing yang menginfeksi sistem pencernaan adalah jenis nematoda yang bersifat parasit pada manusia dan hewan. Jenis parasit nematoda ini memiliki bentuk panjang silindris, tidak bersegmen, bilateral simetris dan memiliki sistem pencernaan. Selain itu jenis kelamin terpisah, biasanya cacing betina lebih besar dari pada cacing jantan. Beberapa cacing nematoda yang menginfeksi usus halus babi adalah Trichinella spiralis, Ascaris suum, Trichostrongylus axei, Strongyloides ransomi, Globocephalus sp. (Dunn, 1978).

Nematoda adalah cacing yang hidup bebas atau sebagai parasit. Ciri-ciri tubuhnya tidak bersegmen dan biasanya berbentuk silinder yang memanjang serta meruncing pada kedua ujungnya. Nematoda memiliki siklus hidup langsung, sehingga tidak memerlukan inang antara dalam perkembangan hidupnya. Cacing betina dewasa bertelur dan mengeluarkan telur bersamaan dengan tinja, di luar tubuh telur akan berkembang. Larva infektif dapat masuk ke dalam tubuh babi secara aktif, tertelan atau melalui gigitan vektor berupa rayap. Badannya dibungkus oleh lapisan kutikula yang dilengkapi dengan gelang-gelang yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa (Kusumamihardja, 1992).

Cacing Ascaris suum merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada ternak babi, terutama babi muda di seluruh dunia. Kejadian ascariasis sangat tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis. Cacing ini dapat berparasit pada usus

(20)

8

halus. Infeksi dapat terjadi melalui pakan, air minum, puting susu yang tercemar, melalui kolostrum dan uterus (Levine, 1990).

Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh A. suum. Panjang cacing ini dapat mencapai 40 cm. Telur cacing ini sangat resisten terhadap lingkungan dan dapat hidup beberapa tahun di luar babi, larva akan muncul dan bermigrasi ke mukosa sekum dalam beberapa jam. Kemudian larva tersebut akan menuju hati untuk melakukan moulting dan menuju paru-paru. Larva tersebut akan menjadi larva tingkat 4 dalam paru-paru. Lalu akan menembus jaringan ke usus halus untuk menjadi cacing dewasa. Masa prepaten cacing ini 50 hari. Cacing dewasa di dalam usus tidak menunjukkan gejala klinis dan dapat dilihat adanya cacing dewasa pada usus halus pada pemeriksaan post-mortem. Cacing ini dapat menyebabkan kematian.

Selain itu, obstruksi juga dapat terjadi di saluran empedu yang akan menyebabkan jaundice. Lesio berwarna putih akan terlihat di hati yang disebut milk spot (Urquhart et al., 1996).

Cacing dewasa menyerupai cambuk sehingga disebut sebagai cacing cambuk.

Tiga perlima bagian anterior tubuh halus seperti benang, pada ujungnya terdapat kepala, esofagus sempit berdinding tipis terdiri dari satu lapis sel, tidak memiliki bulbus esofagus, bagian anterior yang halus ini akan menancapkan dirinya pada mukosa usus, 2/5 bagian posterior lebih tebal, berisi usus dan perangkat kelamin.

Cacing jantan memiliki panjang 30-45 mm, bagian posterior melengkung ke depan sehingga membentuk satu lingkaran penuh. Cacing betina panjangnya 30-50 mm, ujung posterior tubuhnya membulat tumpul. Organ kelamin tidak berpasangan (simplex) dan berakhir di vulva yang terletak pada tempat tubuhnya mulai menebal.

Siklus hidup Trichuris sp, di mulai dari keluarnya telur dari tubuh bersama tinja dan berkembang menjadi telur infektif dalam waktu beberapa minggu. Telur yang sudah berembrio dapat tahan beberapa bulan apabila berada di tempat yang lembab. Infeksi biasanya terjadi secara peroral (tertelan lewat pakan dan atau air minum). Apabila tertelan, telur-telur tersebut pada sekum akan menetas dan dalam waktu sekitar empat minggu telah menjadi cacing dewasa (Soulsby, 1982).

Trichuriasis adalah penyakit yang disebabkan Trichuris sp. Cacing ini dapat hidup di sekum dan panjangnya sekitar 1,5 cm. Jika terjadi infestasi yang parah, cacing ini dapat menyebabkan masalah yang parah pada babi muda. Cacing ini dapat

(21)

9

ditemukan di seluruh dunia. Gejala klinis yang dapat terjadi pada babi adalah diare dan penurunan berat badan. Biasanya hal tersebut terjadi karena manajemen yang buruk (Urquhart et al., 1996).

Strongyloides ransomi disebut juga cacing benang, terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk parasitik di dalam intestinum vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik dan telur dapat berkembang di luar tubuh hospes, langsung menjadi larva infektif yang bersifat parasitik atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang jantan dan betina dengan esofagus rabditiform, ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung vulva terletak di pertengahan tubuh. Bentuk parasitik ditandai dengan esofagus filariform tanpa bulbus posterior, larva infektif dari generasi parasitik mampu menembus kulit dan ikut aliran darah (Gunn dan Sarah, 2012).

2.2.3 Cacing Cestoda

Cestoda atau cacing pita merupakan subfilum lain di dalam filum Platyhelminthes. Mereka tidak mempunyai rongga badan dan semua organ-organ tersimpan di dalam jaringan parenkim. Semua cacing pita bersifat parasit, dan telah bermodifikasi secara besar-besaran untuk eksistensi parasitik tersebut. Tubuhnya biasanya panjang, pipih, dan seperti pita, dan biasanya terdiri atas 3 daerah. Kepala (skoleks atau alat berpegangan) mengandung organ untuk melekat. Kepala ini dilengkapi dengan 2-4 alat penghisap. Alat-alat penghisap kadang-kadang memiliki kait. Struktur lain yang sering ada ialah rostelum. Tepat di belakang skoleks terdapat leher pendek dari jaringan yang tidak mengalami diferensiasi, kemudian diikuti badan atau strobila. Strobila ini tersusun atas segmen-segmen yang disebut proglotida. Setiap proglotida dapat berisi satu setel lengkap organ perkembangbiakan jantan dan betina (Levine, 1990).

Cestoda merupakan cacing parasitik yang dikenal dengan cacing pita. Selain sapi, cacing cestoda dapat ditemukan pada babi. Beberapa spesies yang termasuk ke dalam genus Taenia yang larvanya sering ditemukan pada babi adalah Taenia hydatigena, Taenia solium, dan Taenia asiatica (Saleh, 2010).

Cestoda yang terdapat dalam tubuh babi dapat menimbulkan berbagai infeksi cacing. Cara mendiagnosa infeksi cacing dapat dengan menggunakan pemeriksaan post mortem dan dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan feses secara langsung

(22)

10

untuk menemukan larva cacing atau telur cacing serta dengan melakukan pemeriksaan feses secara tidak langsung untuk dapat mendeteksi antibodi (Suryastini, 2012).

2.2.4 Cacing Trematoda

Semua spesies trematoda yang merupakan parasit dalam peternakan adalah berasal dari subkelas digenea. Secara umum, trematoda tersebut berbentuk seperti daun dan pipih dorsoventral. Semua organ berada di dalam jaringan parenkim dan tidak mempunyai rongga tubuh. Trematoda memiliki sistem pencernaan sederhana, yaitu batil hisap kranial, pharinx, esofagus, dan sepasang usus buntu yang bercabang.

Sistem ekskresi terdiri dari sejumlah besar sel api silia yang mendorong sisa produk metabolik di sepanjang sistem saluran. Sistem ekskresi terdiri dari sebuah kandung kemih di bagian kaudal, sebuah sistem percabangan dari saluran pengumpul yang masuk ke dalam kandung kemih, dan sebuah sistem ekskresi yang terbuka ke dalam saluran pengumpul tersebut. Trematoda memiliki sistem syaraf sederhana dan tidak memiliki sistem peredaran darah. Sistem reproduksinya hermaprodit, kecuali famili Schistosomatidae (Taylor et al., 2007).

Trematoda disebut juga dengan cacing daun bersifat parasit. Stadium definit ditutup dengan integumen tidak bersilia, epitel bersilia terbatas pada larva yang menetas dari telur. Umumnya spesies dari kelas trematoda memiliki batil hisap dan memiliki saluran pencernaan kecuali generasi sporokista digenea. Ada dua jenis batil hisap, yaitu batil hisap kepala (oral sucker) yang mengelilingi mulut dan melanjutkan diri pada saluran pencernaan makanan serta batil hisap perut (ventral sucker) yang umumnya lebih besar dari oral sucker. Trematoda juga memiliki bermacam-macam ukuran, trematoda yang berukuran besar yaitu genus Fasciola dan Fasciolopsis sedangkan yang berukuran kecil, yaitu genus Heterophyes dan Metagonimus (Natadisastra dan Agoes, 2009).

Cacing dewasa biasanya ovipar dan meletakkan telurnya pada uterus. Saat perkembangan telur, embrio cacing terdapat dalam suatu pyriform (memiliki bentuk seperti buah pir), bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium didorong oleh silia sampai ke air. Kemudian mirasidium menemukan siput yang cocok dalam waktu beberapa jam untuk melakukan perkembangan selanjutnya (Taylor et al., 2007).

(23)

11

2.3 Protozoa pada Babi

Protozoa merupakan eukaryotik dengan suatu inti yang diselubungi oleh membran (selaput), berlawanan dengan prokaryotik bakteri, dimana bahan-bahan inti tidak terpisah dari sitoplasma. Sitoplasma dari protozoa berisi bermacam-macam organela. Di antaranya retikulum endoplasma dan ribosoma seperti pada sel eukaryotik yang lain, mitokondria yang biasanya berisi krista yang berbentuk tubuler lebih banyak daripada yang berbentuk piringan seperti yang terdapat pada organisme yang lebih tinggi. Protozoa bergerak dengan flagela, silia, pseudopodia, selaput undulasi atau lainnya (Levine, 1990).

Protozoa merupakan binatang yang terdiri atas satu sel. Protozoa yang bersifat parasit pada manusia, dibagi menjadi empat golongan, yaitu: Sarcodina, Mastigophora, Ciliata (Ciliophora) dan Sporozoa (Hasyimi, 2010).

Salah satu penyakit babi di Indonesia yang disebabkan oleh protozoa adalah koksidiosis. Koksidiosis disebabkan oleh Eimeria sp. dan merupakan penyakit umum pada babi terutama babi muda. Babi dewasa dapat bertindak sebagai pembawa penyakit. Ookista Eimeria sp. dapat bertahan dalam tanah selama 15 bulan pada suhu -4,5 dan 40°C. Waktu sporulasi protozoa ini 12 hari dan periode prepatennya selama 10 hari (Tampubolon, 1996).

Siklus hidup Eimeria sp. berawal dari tertelannya ookista yang sudah bersporulasi oleh babi. Setelah 3 hari akan membentuk skizon di jejenum. Skizon generasi kedua akan matang dalam waktu 5 hari dan skizon generasi ketiga akan matang dalam waktu 7 hari setelah terinfeksi di ileum. Skizon generasi kedua akan menghasilkan 14 sampai 22 merozoit. Sedangkan skizon generasi ketiga akan menghasilkan 14 sampai 28 merozoit. Pada hari kedelapan setelah infeksi akan membentuk 2 jenis kelamin. Pada hari kesembilan setelah infeksi akan terbentuk mikrogamet dan makrogamet. Makrogamet tersebut akan difertilisasi oleh mikrogamet dan membentuk zigot yang berkembang menjadi ookista. Ookista keluar dari sekum atau usus halus kecil dan selanjutnya akan keluar bersama feses. Babi yang terserang koksidosis sering tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata, kecuali pada infeksi yang berat dapat terjadi diare berdarah. Pencegahan koksidiosis dapat dilakukan dengan membersihkan kandang dan tidak menempatkan babi dalam kandang yang berjejal-jejal dan penuh (Dewi dan Nugraha, 2007).

(24)

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2018 hingga Juli 2018 Peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dan di analisis di Laboratorium Parasitologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan, Sumatera Utara.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Deskripsi Areal Kandang

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses babi dari peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Kandang berukuran panjang 1 terdapat 5-6 ekor tergantung luas kand

berupa semen, beratap seng, tiang penyangga kayu dan dalam kondisi yang lembab.

Kandang babi tersebut dibuat berbentuk seperti bak atau kotak hanya 1 hari sekali. Pada Gambar 3.1 terlihat

luas 15 m2 dan terdapat 6 ekor babi sedangkan ukuran yang lebih kecil yaitu ukuran luas 6 m2 dan terdapat 4 ekor babi.

Gambar 3.1 Kandang babi di peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2018 hingga Juli 2018 Peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dan di analisis di Laboratorium Parasitologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan, Sumatera Utara.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Deskripsi Areal Kandang

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses babi dari peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Kandang berukuran panjang 1-2 m dan lebar 3-4 m. Pada setiap kandang babi 6 ekor tergantung luas kandang babi tersebut. Alas kandang babi tersebut berupa semen, beratap seng, tiang penyangga kayu dan dalam kondisi yang lembab.

Kandang babi tersebut dibuat berbentuk seperti bak atau kotak-kotak dan dibersihkan hanya 1 hari sekali. Pada Gambar 3.1 terlihat kandang babi yang memiliki ukuran dan terdapat 6 ekor babi sedangkan ukuran yang lebih kecil yaitu ukuran dan terdapat 4 ekor babi.

Gambar 3.1 Kandang babi di peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

12

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2018 hingga Juli 2018 di Peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dan di analisis di Laboratorium Parasitologi, Balai Penyidikan dan Pengujian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses babi dari peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

4 m. Pada setiap kandang babi ang babi tersebut. Alas kandang babi tersebut berupa semen, beratap seng, tiang penyangga kayu dan dalam kondisi yang lembab.

kotak dan dibersihkan kandang babi yang memiliki ukuran dan terdapat 6 ekor babi sedangkan ukuran yang lebih kecil yaitu ukuran

Gambar 3.1 Kandang babi di peternakan babi daerah Binjai Km 12,5

(25)

13

3.2.2 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari pada lokasi peternakan babi daerah Binjai km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Feses babi diambil 43 feses dari 18 ekor babi muda berumur (3-5 bulan) dan 25 ekor babi dewasa berumur (>5 bulan), dengan cara mengambil kotoran babi yang masih segar dengan menggunakan spatula kemudian dimasukkan ke dalam sample cup. Sample cup yang berisi feses dimasukkan ke dalam coolbox, kemudian sampel diberi label Sp1 pada sampel feses satu dan seterusnya. Sampel dibawa ke Laboratorium Parasitologi Balai Penyidikan Dan Pengujian Veteriner Regional I Medan. Menurut Sudiastra dan Budaarsa (2015) menyatakan bahwa babi dewasa secara kelamin berada pada umur 6-7 bulan. Menurut Dewi (2017), babi muda dimulai usia 8 minggu hingga sampai umur 5 bulan.

3.2.3 Pemeriksaan Sampel

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode natif (direct slide). Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat. Metode ini dilakukan dengan mengambil feses dengan menggunakan pinset, kemudian diletakkan pada gelas obyek (object glass) yang sudah ditambahkan 1-2 tetes air. Feses diratakan dengan pinset kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass) (Lampiran 2). Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan perbesaran 100 kali (Natadisastra dan Agoes, 2009).

3.3 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu dengan mengidentifikasi, menghitung prevalensi dan intensitas parasit.

A. Identifikasi Jenis Telur Endoparasit

Identifikasi jenis telur endoparasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan (Lampiran 5) dengan menggunakan buku identifikasi Helmints, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals (Soulsby, 1968) dan Veterinary Clinical Parasitology (Sloss, 1961).

(26)

14

B. Prevalensi Endoparasit

Prevalensi merupakan jumlah host yang terinfeksi dengan 1 atau lebih individu dari spesies endoparasit tertentu dibagi dengan jumlah host yang diperiksa pada spesies endoparasit. Dinyatakan sebagai persentase bila digunakan secara deskriptif dan sebagai proporsi saat dimasukkan ke dalam model matematika (Margolis et al., 1982).

Prevalensi =Jumlah host yang terserang parasit

Jumlah host yang diamati ×100%

Tingkat prevelensi mengacu kepada Williams and Bunkley (1996) dapat dilihat pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Kriteria infeksi berdasarkan prevalensi

No Tingkat Serangan Kategori Prevalensi

1 Selalu Always 100-99%

2 Hampir selalu Almost always 98-90%

3 Biasanya Usually 89-70%

4 Sangat sering Frequently 69-50%

5 Umumnya Commonly 49-30%

6 Sering Often 29-10%

7 Kadang Occasionally 9-1%

8 Jarang Rarely <1-0,1%

9 Sangat jarang Very Rarely <0,1-0,01%

10 Hampir tidak pernah Almost Never <0,01%

C. Intensitas Serangan Endoparasit

Intensitas adalah jumlah individu dari spesies endoparasit tertentu dalam satu host yang terinfeksi, yaitu jumlah individu dalam intrapopulasi. Rumus intensitas dan nilai intensitas infeksi endoparasit dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk menghitung intensitas menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut (Margolis et al., 1982).

Intensitas =Jumlah parasit yang ditemukan

Jumlah host yang terinfeksi Cara perhitungan prevalensi dan intensitas endoparasit dapat dilihat pada (Lampiran 4). Untuk mengetahui tingkat intensitas menurut Williams and Bunkley (1996) dapat dilihat pada Tabel 3.2

(27)

15

Tabel 3.2 Kriteria intensitas

No Tingkat Infeksi Kategori Intensitas

1. Sangat ringan Very Light <1

2. Ringan Light 1-5

3. Sedang Moderate 6-50

4. Parah Heavy 51-100

5. Sangat Parah Very Heavy 100+

6. Super infeksi Super infection 1000+

(28)

16

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Jenis Endoparasit

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 43 sampel feses babi di peternakan babi daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dengan metode natif (direct slide) diperoleh 3 jenis endoparasit yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Jenis endoparasit pada babi di peternakan babi daerah Binjai Km 12,5

Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Filum Jenis endoparasit Stadium

Umur Muda (3-5 bulan)

Dewasa (>5 bulan)

Protozoa Eimeria sp. ookista - √

Nemathelminthes Ascaris sp. telur √ √

Oesophagustomum sp. telur √ -

Keterangan : (√): ada, (-): tidak ada

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 2 filum endoparasit yang didapatkan pada feses babi. Filum protozoa yang ditemukan yaitu Eimeria sp.

(Gambar 4.1) berada pada stadium ookista. Ookista Eimeria sp. hanya ditemukan pada feses babi dewasa. Filum nemathelminthes yang ditemukan yaitu Ascaris sp.

(Gambar 4.2) pada stadium telur ditemukan pada feses babi muda dan babi dewasa, dan Oesophagustomum sp. (Gambar 4.3) berada pada stadium telur hanya ditemukan pada feses babi muda. Ketiga jenis parasit tersebut umum menyerang saluran cerna babi. Menurut Agustina et al., (2016), protozoa yang selalu menginfeksi saluran cerna babi di antaranya Amoeba sp; Balantidium sp; Eimeria sp; dan Isospora sp. Di Lembah Baliem dari 10 sampel yang diperiksa ditemukan 6 positif adanya infeksi protozoa (60%), dan 12 sampel feses babi yang berasal dari Pegunungan Arfak ditemukan 10 sampel positif infeksi protozoa (83.3%) (Yuliari et al., 2013). Eimeria yang terdapat pada babi dewasa dapat bertindak sebagai pembawa penyakit (Komala, 2015).

Beberapa jenis cacing nematoda yang umumnya menyerang organ usus halus pada babi di Papua yaitu, Strongyloides ransomi, Ascaris suum, Macracanthorhyncus hirudinaceus dan Globocephalus urosubulatus (Guna et al., 2014). Jenis Ascaris yang sering dijumpai pada babi liar dan domestik adalah Ascaris

(29)

suum (Dewi dan Nugraha, 2007). Hospes utama

distribusi yang luas di seluruh dunia. Ascariasis dilaporkan bersifat zoonosis di Denmark (Syukron et al

Anggota dari genus

nodul pada bagian usus. Cacing tersebut merupakan parasit yang umum dijumpai pada usus besar babi. Cacing dari genus ini yang sering dijumpai pada babi adalah dentatum (Fernades

seiring pertambahan umur babi yang mengindikasikan kurangnya tingkat kekebalan inang yang didapatkan

Berdasarkan hasil pengamatan, endoparasit pada babi yang ditemukan antara lain:

A. Eimeria sp.

Eimeria sp. (Gambar 4.1) ditemukan pada stadium ookista berbentuk ovoid (bulat telur), memiliki dinding yang transparan dan halus yang terdiri dari 2 lapis selaput. Setiap ookista memiliki 4 sporokista, masing

sporozoit yang berbentuk o

tersebar terpisah atau tidak menumpuk pada satu titik. Gambaran tersebut sesuai dengan pendapat Levine (1985), yang menyatakan bahwa ookista

yang paling umum adalah bulat, bulat telur (ovo

Gambar 4.1 Ookista

Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (10x10). (B) yang ditemukan pada feses sapi bali betina di Nusa Penida (10x40) (Indraswari

ookista (

layer of oocyst wall

Ookista memiliki dinding transparan yang berfungsi melindungi ookista di alam.

A

(Dewi dan Nugraha, 2007). Hospes utama Ascaris suum adalah babi dengan si yang luas di seluruh dunia. Ascariasis dilaporkan bersifat zoonosis di

et al., 2014).

Anggota dari genus Oesophagostomum dikenal sebagai cacing pembentuk nodul pada bagian usus. Cacing tersebut merupakan parasit yang umum dijumpai

a usus besar babi. Cacing dari genus ini yang sering dijumpai pada babi adalah Fernades et al., 2002). Angka prevalensi cacing ini akan meningkat seiring pertambahan umur babi yang mengindikasikan kurangnya tingkat kekebalan

didapatkan (Eijck dan Borgsteede, 2005).

Berdasarkan hasil pengamatan, endoparasit pada babi yang ditemukan antara

sp. (Gambar 4.1) ditemukan pada stadium ookista berbentuk ovoid (bulat telur), memiliki dinding yang transparan dan halus yang terdiri dari 2 lapis selaput. Setiap ookista memiliki 4 sporokista, masing-masing sporokista berisi 2 sporozoit yang berbentuk oval. Lapisan dalam berwarna kuning kecoklatan dan tersebar terpisah atau tidak menumpuk pada satu titik. Gambaran tersebut sesuai dengan pendapat Levine (1985), yang menyatakan bahwa ookista

yang paling umum adalah bulat, bulat telur (ovoid), dan silinder.

Ookista Eimeria sp. (A) yang ditemukan pada feses babi di peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (10x10). (B) yang ditemukan pada feses sapi bali betina di Nusa Penida (10x40) (Indraswari et al., 2017) 1: mycropyle; 2: lapisan luar d ookista (Outer layer of oocyst wall); 3: lapisan dalam ookista ( layer of oocyst wall).

Ookista memiliki dinding transparan yang berfungsi melindungi ookista di alam.

2 3

B

17

adalah babi dengan si yang luas di seluruh dunia. Ascariasis dilaporkan bersifat zoonosis di

dikenal sebagai cacing pembentuk nodul pada bagian usus. Cacing tersebut merupakan parasit yang umum dijumpai a usus besar babi. Cacing dari genus ini yang sering dijumpai pada babi adalah O.

Angka prevalensi cacing ini akan meningkat seiring pertambahan umur babi yang mengindikasikan kurangnya tingkat kekebalan

Berdasarkan hasil pengamatan, endoparasit pada babi yang ditemukan antara

sp. (Gambar 4.1) ditemukan pada stadium ookista berbentuk ovoid (bulat telur), memiliki dinding yang transparan dan halus yang terdiri dari 2 lapis masing sporokista berisi 2 val. Lapisan dalam berwarna kuning kecoklatan dan tersebar terpisah atau tidak menumpuk pada satu titik. Gambaran tersebut sesuai dengan pendapat Levine (1985), yang menyatakan bahwa ookista Eimeria sp.

sp. (A) yang ditemukan pada feses babi di peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (10x10). (B) yang ditemukan pada feses sapi bali betina di Nusa Penida ., 2017) 1: mycropyle; 2: lapisan luar dinding ); 3: lapisan dalam ookista (Inner

Ookista memiliki dinding transparan yang berfungsi melindungi ookista di alam.

(30)

18

(lapisan luar) dan Inner layer of oocyst wall (lapisan dalam) dan di dalamnya terdapat sporokista. Ukuran ookista sangat bervariasi, rata-rata panjang 23 mikron dan lebar 19 mikron. Ookista yang bersporulasi mengandung empat sporokista dan masing-masing sporokista mengandung dua sporozoit. Sporokista berbentuk tanpa badan residu (residual body) dan berukuran kira-kira lebar 7 mikron dan panjang 11 mikron. Sporokista pada ujung yang lebih kecil terdapat sumbat berbentuk bulat kecil yang mengisi suatu lubang pada dindingnya dan agak menonjol keluar.

Jenis Eimeria yang tercatat ditemukan pada babi adalah E.cerdonis, E.

neodebliecki dan E. porci, yang ditemukan pada feses babi di Amerika Utara dan India; E. guevarai di Spanyol; E. scrofae ditemukan di Swiss; E. spinosa yang ditemukan pada babi yang didomestikasi di Amerika dan negara bekas bagian Uni Soviet serta E. debliecki, E. scraba dan E. perminuta yang mempunyai distribusi pada babi di seluruh dunia (Dewi dan Nugraha, 2007).

Babi dapat terinfeksi oleh ookista. Cara penularannya melalui tertelannya ookista bersama dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi ookista yang telah bersporulasi. Makanan atau minuman terkontaminasi oleh ookista yang berasal dari feses yang menumpuk. Ookista berspora dapat bertahan untuk waktu yang lama di bawah kondisi lingkungan yang menguntungkan (Indraswari et al., 2017).

Protozoa umum ditemui pada babi baik pada babi muda maupun babi dewasa.

Ookista Eimeria merupakan infeksi protozoa yang paling umum pada babi dewasa.

Babi dewasa bertindak sebagai pembawa penyakit. Infeksi ini juga terjadi pada babi- babi muda karena babi-babi tersebut mempunyai kebiasaan memakan kotoran induk babi yang mengandung stadium infektif dari protozoa tersebut. Menelan kotoran induk babi oleh babi-babi yang masih menyusui merupakan “physiological behavior”

untuk memasok kebutuhan zat besi pada anak babi (Yuliari et al., 2013).

Genus Eimeria merupakan parasit yang tergolong dalam filum Protozoa yang dapat menyebabkan penyakit koksidosis. Penularannya melalui ookista yang sudah bersporulasi. Hewan yang terserang koksidosis sering tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata, kecuali pada infeksi yang berat. Eimeria umumnya mengalami perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh inangnya, dan dapat dibagi menjadi siklus aseksual dan seksual. Siklus hidup ini lebih dikenal dengan tiga stadium, yaitu skizogoni, gametogoni dan sporogoni. Siklus aseksual,

(31)

19

merupakan stadium skizogoni, siklus seksual meliputi gametogami, sedangkan sporogoni adalah pembentukan spora (Tampubolon, 1996).

Siklus hidup Eimeria sp. berawal dari tertelannya ookista yang sudah bersporulasi oleh babi. Setelah 3 hari akan membentuk skizon di jejunum. Skizon generasi kedua akan matang dalam waktu 5 hari dan skizon generasi ketiga akan matang dalam waktu 7 hari setelah infeksi di ileum. Skizon generasi kedua akan menghasilkan 14 sampai 22 merozoit, sedangkan skizon generasi ketiga akan menghasilkan 14 sampai 28 merozoit. Pada hari kedelapan setelah infeksi akan terbentuk 2 jenis kelamin. Pada hari kesembilan setelah infeksi akan terbentuk mikrogamet dan makrogamet. Makrogamet tersebut akan difertilisasi oleh mikrogamet dan membentuk zigot yang berkembang menjadi ookista. Ookista keluar dari sekum atau usus kecil dan keluar bersama feses. Babi yang terserang koksidosis sering tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata, kecuali pada infeksi yang berat dapat terjadi diare berdarah. Pencegahan koksidiosis dapat dilakukan dengan membersihkan kandang dan tidak menempatkan babi dalam kandang yang penuh (Dewi dan Nugraha, 2007).

B. Ascaris sp.

Telur Ascaris sp. (Gambar 4.2) memperlihatkan bentuk telur oval, kulit telur tebal, memiliki dinding tipis, lapisan luar yang bergelombang, dan berwarna kuning kecoklatan. Karakteristik telur cacing ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Miyazaki (1991) bahwa telur cacing Ascaris sp. berbentuk oval dan mempunyai kulit tebal. Lapisan terluar berupa protein, dan lapisan di bagian dalamnya dapat dibedakan menjadi kulit telur yang transparan dan membran vitelinus yang bergelombang. Telur yang terdapat pada feses biasanya berwarna kuning kecoklatan, karena lapisan protein menyerap zat warna empedu. Telur Ascaris sp. memiliki ukuran panjang 50-70 µm dan lebar 40-50 µm.

Cacing ini termasuk ordo Ascaridorida. Kebanyakan cacing ini bertubuh tebal dan beberapa di antaranya ada yang besar. Kelompok ini terdiri dari parasit-parasit yang penting pada peternakan. Genus Ascaris merupakan cacing raksasa dibanding dengan kebanyakan nematoda. Cacing betina mengeluarkan telur 1-1,6 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak bersegmen ketika sampai

(32)

di tanah, dan membutuhkan 13 optimal (Levine, 1990).

Menurut Matsubayas babi. Spesies cacing

maupun babi liar. Hal ini diperkuat dari hasil penelitiannya yang menemukan prevalensi infeksi A. suum

Gambar 4.2 Telur Ascaris

Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (10x10). (B) telur

lapisan luar (albuminoid); 2: lapisan tengah (hialin); 3: lapisan dalam (vitelina); 4: embrio.

Ascaris merupakan cacing yang tersebar luas diseluruh dunia (kosmopolitan), terutama didaerah tropis dan sub tropis yang kelembaban udaranya t

2009). Menurut Supargiyono

memiliki dinding tebal 3 lapis terdiri dari lapisan luar (albuminoid), lapisan tengah (hialin), lapisan dalam (vitelina) dan isinya embrio yang belum membe

Ascaris telah ditemukan dalam dua bentuk yaitu yang dibuahi ( dibuahi (unfertilized).

Telur Ascaris dua yaitu telur decorticated

yang telah kehilangan lapisan albuminoidnya, sedangkan telur telur yang tidak kehilangan lapisan albuminoidnya (Noviana, 2017).

Babi terinfeksi dengan menelan telur

tertelan dalam tubuh inang akan menetas di usus halus menjadi larva. Larva tersebut tidak akan langsung menjadi dewasa melainkan melakukan migrasi di dalam tubuh inangnya. Selama perjalanan migrasinya larva akan menembus dinding usus dan

A

di tanah, dan membutuhkan 13-18 hari untuk menjadi infektif di bawah kondisi optimal (Levine, 1990).

tsubayashi et al., (2009), Ascaris suum umum ditemukan pada babi. Spesies cacing Nematoda merupakan spesies yang khas pada ternak babi maupun babi liar. Hal ini diperkuat dari hasil penelitiannya yang menemukan

A. suum sebesar 14,7%.

Ascaris sp. (A) yang ditemukan pada feses babi di peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (10x10). (B) telur Ascaris fertilized-corticated (Rai

lapisan luar (albuminoid); 2: lapisan tengah (hialin); 3: lapisan dalam (vitelina); 4: embrio.

merupakan cacing yang tersebar luas diseluruh dunia (kosmopolitan), terutama didaerah tropis dan sub tropis yang kelembaban udaranya t

2009). Menurut Supargiyono et al., (2015), telur Ascaris sp. berlapis dinding tebal memiliki dinding tebal 3 lapis terdiri dari lapisan luar (albuminoid), lapisan tengah (hialin), lapisan dalam (vitelina) dan isinya embrio yang belum membe

telah ditemukan dalam dua bentuk yaitu yang dibuahi (fertilized ).

Ascaris berdasarkan ada atau tidaknya lapisan albuminoid terbagi atas decorticated dan telur corticated. Telur decorticated

yang telah kehilangan lapisan albuminoidnya, sedangkan telur corticated telur yang tidak kehilangan lapisan albuminoidnya (Noviana, 2017).

Babi terinfeksi dengan menelan telur-telur infektif. Telur infektif yang lan dalam tubuh inang akan menetas di usus halus menjadi larva. Larva tersebut tidak akan langsung menjadi dewasa melainkan melakukan migrasi di dalam tubuh inangnya. Selama perjalanan migrasinya larva akan menembus dinding usus dan

3 2 1

4 B

20

18 hari untuk menjadi infektif di bawah kondisi

umum ditemukan pada Nematoda merupakan spesies yang khas pada ternak babi maupun babi liar. Hal ini diperkuat dari hasil penelitiannya yang menemukan

sp. (A) yang ditemukan pada feses babi di peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Rai et al., 1996). 1:

lapisan luar (albuminoid); 2: lapisan tengah (hialin); 3: lapisan dalam

merupakan cacing yang tersebar luas diseluruh dunia (kosmopolitan), terutama didaerah tropis dan sub tropis yang kelembaban udaranya tinggi (Soedarto, sp. berlapis dinding tebal memiliki dinding tebal 3 lapis terdiri dari lapisan luar (albuminoid), lapisan tengah (hialin), lapisan dalam (vitelina) dan isinya embrio yang belum membelah. Telur fertilized) dan tidak

berdasarkan ada atau tidaknya lapisan albuminoid terbagi atas decorticated merupakan telur corticated merupakan telur yang tidak kehilangan lapisan albuminoidnya (Noviana, 2017).

telur infektif. Telur infektif yang lan dalam tubuh inang akan menetas di usus halus menjadi larva. Larva tersebut tidak akan langsung menjadi dewasa melainkan melakukan migrasi di dalam tubuh inangnya. Selama perjalanan migrasinya larva akan menembus dinding usus dan

1

2

3 4

(33)

21

masuk ke dalam vena kecil atau pembuluh limfe, melalui sirkulasi darah portal masuk ke hati. Larva ditemukan di dalam hati tiga hari setelah terinfeksinya babi, kemudian menuju jantung untuk melanjutkan perjalanannya ke paru-paru pada hari yang ketujuh dan setelah itu keluar dengan pecahnya kapiler dan akan menuju alveoli, untuk kemudian bersama aliran darah masuk ke dalam bronchiolus. Dari bronchiolus larva akan naik ke trachea sampai epiglotis, dan turun melalui esophagus ke usus halus dan mengalami perubahan terakhir dalam waktu 21–29 hari setelah infeksi. Cacing menjadi dewasa dan melakukan perkawinan untuk melengkapi siklus hidupnya dalam waktu 50–55 hari dan telur ada pada feses babi pada hari ke 60–62 (Anderson, 2000).

Infeksi dari cacing ini pada babi sering tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata. Cacing dewasa hidup di dalam rongga usus dan mendapat makanan berupa makanan yang setengah dicernakan dan dari sel-sel mukosa usus. Cacing ini juga mempunyai kemampuan menghambat pencernaan protein dengan mengeluarkan zat penghambat tripsin. Akibatnya babi akan mengalami kelesuan dan menjadi lebih rentan terinfeksi penyakit lain. Pada infeksi yang berat cacing ini dapat menyebabkan penyumbatan pada usus (Dewi dan Nugraha, 2007).

C. Oesophagustomum sp.

Oesophagustomum sp. (Gambar 4.3) ditemukan pada stadium telur berbentuk telur oval, memiliki dinding yang tipis dan transparan, serta terdiri dari 2 lapis selaput. Telur Oesophagustomum sp. tampak menyebar dan tidak menumpuk pada satu titik saja. Gambaran tersebut sesuai dengan pendapat Dewi dan Nugraha (2007), telur berbentuk oval berdinding tipis, terdiri dari dua lapis dan berukuran 63,18 μm x 36,75 μm dan 67,20 μm x 38,79 μm. Cacing ini memiliki kapsula buccalis silindris dan sempit. Memiliki corona radiata. Mempunyai bursa terdiri dari 3 lobi dan ada spikula. Merupakan parasit pada caecum dan colon pada ternak sapi, kambing, domba, babi dan kera. Sering juga disebut sebagai cacing nodular, sebab larva cacing tersebut dapat membentuk nodular pada bagian intestinum.

Genus Oesophagustomum sp. merupakan cacing benjol pada ternak.

Oesophagustomum sp. merupakan cacing benjol pada domba, sapi dan babi. Mereka terdapat pada usus besar babi. Cacing jantan panjangnya 6-10 mm dan berdiameter

(34)

200-500 mikron. Panjang cacing betina 6

dikelilingi oleh kerah mulut yang terdapat papila

oleh cincin cekung di sebelah posterior. Biasanya terdapat dua mahkota daun, tetapi kadang-kadang yang luar tidak ada. Kapsula bukal dangkal b

terdapat lanset pada corong esofageal. Vulva cacing betina terletak sedikit sebelah anterior anus. Terdapat sekitar 50 jenis cacing ini, kebanyakan terdapat pada hewan ruminansia, primata, dan babi. Telur

70 μm (Levine, 1990).

Gambar 4.3 Telur Oesophagustomum

peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dengan perbesaran 10x10. (B) yang ditemukan pada feses Anoa (

Lingkungan Hidup dan Kehu luar; 2: lapisan dalam.

Telur dikeluarkan bersama feses inangnya dalam keadaan belum infektif, kemudian di luar tubuh akan berkembang menjadi larva

yang akan menetas kurang lebih 24 jam

dengan memakan bakteri yang terdapat di lingkungan dan berkembang menjadi larva tahap kedua yang akan menjadi larva

setelah menetas. Inang menjadi terinfeksi dengan menelan l

infektif atau dengan masuknya larva tersebut melalui kulit (perkutan) (Anderson, 2000).

Babi terinfeksi dengan menelan larva stadium ketiga ketika makan. Larva masuk ke dalam dinding usus halus dan usus besar, di tempat itu mereka m larva stadium keempat dalam 5

A

500 mikron. Panjang cacing betina 6-14 mm. Mulutnya mengarah ke depan dan dikelilingi oleh kerah mulut yang terdapat papila-papila kepala dan yang dibatasi oleh cincin cekung di sebelah posterior. Biasanya terdapat dua mahkota daun, tetapi kadang yang luar tidak ada. Kapsula bukal dangkal berbentuk cincin, dan terdapat lanset pada corong esofageal. Vulva cacing betina terletak sedikit sebelah anterior anus. Terdapat sekitar 50 jenis cacing ini, kebanyakan terdapat pada hewan ruminansia, primata, dan babi. Telur Oesophagostomum berukuran 50

70 μm (Levine, 1990).

Oesophagustomum sp. (A) yang ditemukan pada feses babi di peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dengan perbesaran 10x10. (B) yang ditemukan pada feses Anoa (Bubalus sp.) di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado (Khairani, 2017). 1: lapisan luar; 2: lapisan dalam.

Telur dikeluarkan bersama feses inangnya dalam keadaan belum infektif, kemudian di luar tubuh akan berkembang menjadi larva rhabditiform

yang akan menetas kurang lebih 24 jam pada suhu yang optimum. Larva hidup dengan memakan bakteri yang terdapat di lingkungan dan berkembang menjadi larva tahap kedua yang akan menjadi larva filariform yang infektif dalam waktu 3

setelah menetas. Inang menjadi terinfeksi dengan menelan larva tahap ketiga yang infektif atau dengan masuknya larva tersebut melalui kulit (perkutan) (Anderson,

Babi terinfeksi dengan menelan larva stadium ketiga ketika makan. Larva masuk ke dalam dinding usus halus dan usus besar, di tempat itu mereka m larva stadium keempat dalam 5-7 hari, kembali ke lumen usus 7

B 1 2

22

Mulutnya mengarah ke depan dan papila kepala dan yang dibatasi oleh cincin cekung di sebelah posterior. Biasanya terdapat dua mahkota daun, tetapi erbentuk cincin, dan terdapat lanset pada corong esofageal. Vulva cacing betina terletak sedikit sebelah anterior anus. Terdapat sekitar 50 jenis cacing ini, kebanyakan terdapat pada hewan berukuran 50–80 μm x 35–

sp. (A) yang ditemukan pada feses babi di peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dengan perbesaran 10x10. (B) yang ditemukan pada sp.) di Balai Penelitian dan Pengembangan tanan Manado (Khairani, 2017). 1: lapisan

Telur dikeluarkan bersama feses inangnya dalam keadaan belum infektif, rhabditiform yang pertama pada suhu yang optimum. Larva hidup dengan memakan bakteri yang terdapat di lingkungan dan berkembang menjadi larva yang infektif dalam waktu 3–5 hari arva tahap ketiga yang infektif atau dengan masuknya larva tersebut melalui kulit (perkutan) (Anderson,

Babi terinfeksi dengan menelan larva stadium ketiga ketika makan. Larva masuk ke dalam dinding usus halus dan usus besar, di tempat itu mereka menjadi 7 hari, kembali ke lumen usus 7-14 hari sesudah

(35)

23

infeksi, dan kemudian menjadi stadium dewasa di dalam usus besar 17-22 hari sesudah infeksi. Telur terdapat pada tinja 32-42 hari sesudah infeksi (Levine, 1990).

Anggota dari genus Oesophagustomum dikenal sebagai cacing pembentuk nodul pada bagian usus. Cacing tersebut merupakan parasit yang umum dijumpai pada usus besar babi, hewan ruminansia, primata dan tikus. Cacing genus ini yang sering dijumpai pada babi adalah O. dentatum. Pada babi keberadaan O. dentatum juga ditemukan di Belanda, New Zealand, dan Iran. Sedangkan di Amerika ditemukan jenis Oesophagustomum quadrispinulatum pada babi liar (Pence et al., 1988).

Cacing genus Oesophagustomum ini dapat menyebabkan terbentuknya benjol pada dinding usus besar dan usus halus. Benjol ini dapat mengganggu gerakan dan penyerapan makanan oleh usus. Infeksi berat oleh cacing dewasa di dalam lumen paramukosa kolon dapat menyebabkan enteritis, kelemahan, anemia, kekurusan, diare, atau bahkan kematian. Babi yang masih hidup pasca infeksi umumnya mengalami hambatan pertumbuhan. Hewan tua lebih tahan terhadap cacing benjol dan cacing cambuk dibandingkan dengan babi muda. Infeksi Oesophagustomum sp di diagnosis dengan menemukan telur yang khas di dalam tinja (Levine, 1990).

4.2 Prevalensi Babi yang Terserang Endoparasit

Prevalensi babi yang terserang endoparasit berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 43 sampel feses babi di peternakan daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Prevalensi babi yang terserang endoparasit pada babi di peternakan daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Jenis endoparasit

Umur

Muda (3-5 bulan) Dewasa (>5 bulan) Prevalensi Kategori Prevalensi Kategori

Eimeria sp. - - 5,5% Occasionally

Ascaris sp. 5,5% Occasionally 12% Often

Oesophagustomum sp. 5,5% Occasionally - -

Keterangan : (-): tidak ada

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas dapat dilihat nilai prevalensi ketiga jenis endoparasit pada kelompok umur muda dan dewasa. Prevalensi endoparasit tertinggi ditemukan pada Ascaris sp. pada umur dewasa dengan nilai prevalensi 12% dan berada pada kategori Often (infeksi sering). Nilai prevalensi Ascaris sp. pada umur

Referensi

Dokumen terkait

Kemelimpahan plankton yang didominasi Bacillariophyta ditemukan pada kolam tanah Inceptisol yang dimarel bahan Ultisol dosis 70% yang ditebar ikan dan tidak berbeda

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang terjadinya peristiwa Teppo dan proses terjadinya serta dampak yang ditimbulkan dari peristwa Teppo di Kecamatan

pada kesimpulan ini adalah berdasarkan renungan pribadi dan analisis konseptualnya menggunakan paradigma konteks tradisi keagamaan dan intelektual Islam tentang

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil keterlaksanaan pembelajaran, ketuntasan hasil belajar, dan respons siswa setelah

Kesimpulan dari penelitian Putz-Bankuti et al ini yaitu terdapat hubungan signifikan dari 25(OH)D dengan derajat disfungsi hati dan memberi kesan bahwa rendahnya kadar

Pembuatan Sistem Informasi Penjualan Rumah Bersubsidi bertujuan untuk membantu developer agar dapat mengatur pengeluaran dan pemasukan perusahaan dengan baik.. Sistem ini juga

Proses Kejadian yang dapat menyebabkan resiko pada mutu produk Kondisi kejadian yang dapat menyebabkan keparahan pada kualitas, keamanan, S Tingkat kemungkinan (probabilitas)

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN