• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disabilitas dan interaksi sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disabilitas dan interaksi sosial"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Disabilitas dan interaksi sosial

Gambar 1. 1 Difabel dan interaksi sosial Sumber : Unesco Disabilitas. pdf

Disabilitas adalah “payung” terminology untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau pembatasan partisipasi dalam berinteraksi (WHO). Sedangkan difabel merupakan akronim dari Different Ability, manusia dengan kemampuan yang berbeda yang umumnya digunakan untuk menyebutkan individu yang berkebutuhan khusus.

Istilah difabel selalu dikaitkan dengan penyandang cacat atau orang yang berkebutuhan khusus karena keterbatasan yang mereka miliki. Padahal, jika ditelaah lebih jauh dapat dikatakan semua orang yang lahir memiliki kebutuhana mereka masing – masing tentang diri mereka yang disebut dengan kebutuhan khusus. Pengkotak – kotakan ini yang menyebabkan adanya perbedaan strata yang tidak terlihat di masyarakat antara

“anak yang berkebutuhan khusus” dengan “anak normal”.1

Realita di masyarakat, difabel adalah mereka yang memiliki kekurangan baik secara fisik maupun mental sehingga dikatakan berkebutuhan khusus. Perlakuan diskriminasi dan rasa kasihan sering diterima difabel karena anggapan keterbatasasn potensi dan kemandirian yang kurang mumpuni akan menjadikan difabel sebagai beban masyarakat.

1 wawancara Drs. Wiji Suparno, M.Phil,SNE, Pengawas bidang SLB Dinas Pendidikan DIY

(2)

2 Keterbatasan ini dapat kita lihat dan jumpai di banyak aspek antara lain akses publik, pendidikan dan perkerjaan.2 Dalam bidang pendidikan, anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan karena kurangnya penawaran dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga berlanjut kepada pekerjaan dan mendapatkan kehidupan yang layak.

Padahal menurut data perhitungan secara umum, PBB memperkirakan bahwa paling sedikit terdapat 10 % dari anak usia sekolah yang berkebutuhan khusus. Di Indonesia, jumlah anak usia seklah antara 5 – 14 tahun sebanyak 42,8 juta jiwa. Jika mengikuti perkiraan tersebut, maka diperkirakan ada kurang lebih 4,2 juta anak Indonesia yang berkebutuhan khusus dan memerlukan fasilitas sesuai dengan kebutuhannya.3

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus secara fisik dan mental cukup banyak sehingga sarana pendidikan berupa sekolah yang mampu mewadahi kebutuhan anak dengan kebutuhan yang intens mutlak sangat diperlukan.

Sekolah inklusi lahir sebagai solusi yang dapat mewadahi dan menghilangkan pengkotak – kotakan kebutuhan manusia. Lingkungan sekolah yang baik tentu akan membantu membentuk karakter, kepercayaan diri serta saling menghargai dalam diri anak.

1.1.2 Hak kesetaraan pendidikan untuk difabel

Setiap orang berhak (termasuk difabel) berhak mengembangkan dirinya dan mendapatkan pendidikan, memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (UUD 1945 pasal 28 C ayat 1). Dengan kata lain, pendidikan nasional diselenggarakan secara demokratis dan tidak diskriminatif. Hak pendidikan ini juga berlaku bagi anak yang berkebutuhan khusus diatur dalam:

a. UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

Pasal 11 : Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk

mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

2 disaring dari artikel: http://tentangdifabel.wordpress.com

http://www.republika.co.id/12/10/22/-peduli-pada-penyandang-difabel-1

http://wartapedia.com/sosial/pmks/3570-kaum-difabel-85-penyandang-cacat-masihmenganggur.html http://regional.kompas.com/read/2013/04/01/03314478/Akses.untuk.Difabel.Sangat.Minim

3 http://health.detik.com/read/2013/07/17/184234/2306161/1301/jumlah -anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia- diperkirakan-42-juta

(3)

3 Pasal 12 : Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajatkecacatan serta kemampuannya.

b. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab I Pasal 1 Ayat 18 : Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Bab III Pasal 4 ayat 1: Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Bab IV Pasal 5 ayat 2 : Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Bab VI Pasal 32 ayat 2 : Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Berdasarkan UU di atas maka setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya tanpa diskriminasi. Begitu pula dengan anak berkebutuhan khusus memilik hak untuk mengembangkan potensi diri sesuai minat dan bakatnya dengan bantuan sarana dan prasarana pendidikan. Menurut Mendiknas terdapat 3 hal yang harus ditumbuhkan dalam perbaikan pendidikan khusus yaitu :

- Memupuk kepercayaan diri peserta didik - Mengembangkan keterampilan hidup

- Menyiapkan akses bagi mereka untuk masuk kek dunia kerja maupun ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi

Dalam penerapannya yang paling umum dilakukan di Indonesia, sekolah untuk anak berkebutuhan khusus masih dibedakan dengan anak – anak normal yang lainnya ( model segregatif ) dalam bentuk sekolah luar biasa dengan tingkat pendidikan yang sama dengan kurikulum normal. Selain itu juga terdapat penggolongan jenis sekolah luar biasa yaitu:

SLB A untuk Tunanetra, SLB B untuk tunarungu, SLB C untuk tunagrahita, SLB D untuk tunadaksa, SLB E untuk tunalaras, SLB G untuk tunaganda. Tujuan dari model

(4)

4 segregatif ini adalah agar ABK memperoleh pendidikan yang sesuai dengan karakteristik ketunaan/kecacatannya sehingga dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal.

Menurut Thomas Lombar, dalam diskusinya tentang “Responsible Inclusion”, siswa difabel yang diberikan pengajaran di kelas terpisah seringkali merasa tidak termotivasi, rendah diri, dan tidak berdaya. Dengan penempatan anak difabel di sekolah inklusi dapat menumbuhkan sikap positif bagi siswa difabel yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Anak difabel belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dengan adanya sekolah inklusi, anak terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, label cacat yang memberi stigma pada anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan.

Jumlah SLB yang ada saat ini dirasa belum cukup menampung jumlah anak ABK dan jumlah ABK yang menyebar menyebabkan pemenuhan kebutuhan pendidikan ABK belum terpenuhi dengan baik.

Tabel 1.1 Data Penyandang Disabilitas

No. Kab /Kota Penyandang Kedisabilitasan* Anak Kedisabilitasan **

Lk Pr Jlh Lk Pr Jlh

1. Kulon Progo 2.597 1.994 4.591 400 287 687

2. Bantul 3.265 2.716 5.981 522 418 940

3. Gunung Kidul 4.859 4.415 9.274 519 435 1026

4. Sleman 3.931 3.301 7.232 571 399 970

5. Yogyakarta 1.377 1.088 2.465 194 138 332

Sumber : Dinas Sosial Provinsi DIY

*Penyandang disabilitas : mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana ketika beraktifitas berhadapan dengan berbagai hambatan

**Anak dengan kedisabilitasan : seseorang yang belum berusia 18 tahun yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu dan merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi – fungsi jasmani, rohani dan sosial secara layak, yang terdiri dari anak dengan disabilitas fisik, mental dan fisik dan mental.

(5)

5

Tabel 1.2 Data Jumlah SLB DIY

No. Kab / Kota Jumlah SLB Jumlah siswa

SD SMP

1. Kulon Progo 7 sekolah 206 65

2. Bantul 19 sekolah 256 103

3. Gunung Kidul 10 sekolah 451 140

4. Sleman 16 sekolah 281 105

5. Yogyakarta 8 sekolah 104 56

Sumber : Dispora Provinsi DIY

Dari data jumlah SLB di DIY terdapat total 60 sekolah baik negeri ataupun swasta dengan jumlah SLB terbanyak berada di Kabupaten Bantul. Sedangkan jumlah SLB terkecil berada di Kulon Progo dan Yogyakarta dengan masing masing 7 sekolah dan 8 sekolah.

Tabel 1.3 Data Jumlah Sekolah Inklusi DIY

No. Kab / Kota Jumlah sekolah inklusi

Jumlah siswa difabel

SD SMP

1. Kulon Progo 25 sekolah 157 10

2. Bantul 39 sekolah 156 32

3. Gunung Kidul 56 sekolah 320 54

4. Sleman 31 sekolah 159 37

5. Yogyakarta 12 sekolah 100 34

Sumber : Dispora Provinsi DIY

Berdasarkan data diatas, jumlah difabel di Provinsi DIY mencapai 33.381 dengan 3910 difabel merupakan anak dibawah 18 tahun. Diasumsikan, jumlah sebenarnya masih lebih banyak dibanding data yang ada, diyakini belum ada data falid mengenai jumlah difabel. Jumlah difabel terbesar berada di kabapaten Gunung Kidul dengan jumlah anak dengan kedisabilitasan 1026 orang. Namun, untuk penanganannya sudak cukup baik dilakukan dengan cukup banyaknya jumlah SLB dan sekolah inklusi di Kabupaten Gunung Kidul.

Untuk daerah lain yang berpotensi dikembangkan sekolah inklusi adalah Kabupaten Bantul dan Sleman dengan jumlah anak berkebutuhan khusus cukup tinggi yaitu 940 dan 970 anak namun penanganan pendidikan yang kurang memadai. Di Kabupaten Bantul

(6)

6 hanya tersedia 19 SLB dan 39 sekolah inklusi sedangkan di Kabupaten Sleman tersedia 16 sekolah luar biasa dan 31 sekolah inklusi oleh. Karena itu adanya tambahan pendidikan inklusi di kabupaten Bantul atau Selman diharapkan dapat membantu pendidikan untuk difabel.

1.1.3. Pencanangan DIY sebagai perintis kota- kota inklusif

Pemenuhan hak hak bagi penyandang disabilitas di DIY telah diatur dalam perda DIY tahun 2012 tentang pemenuhan hak asasi bagi warga negaara di DIY yang sudah disusun dalam rencana pembangunan untuk tahun 2013 – 2014 yang didasarkan atas penemuhan akses bagi penyandang difabilitas Provinsi DIY. Pemenuhan kebutuhan diimplementasikan pada program dinas Kimpraswil DIY yaitu 4 :

a. Penataan koridor dan tatar ruang yang aksesibel dan ramah terhadap penyandang difabilitas

b. Mempekerjakan penyandang difabilitas bagi perusahaan selama masih memenuhi ketentuan

c. Program pemberdayaan masyarakat untuk pendorong pengembangan pendidikan inklusi

d. Penyediaan modal usaha dan layanan kesehatan untuk penyandang difabilitas

Hal ini juga dipertegas dengan misi pembangunan Kota Yogyakarta tahun 2012 – 2016 beserta pokok pokok penjelasannya sebagai berikut 5 :

1. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih

• Memperkuat tata kelola pemerintahan Kota Yogyakarta yang baik, bersih, berkeadilan, demokratis, dan berlandaskan hukum

2. Mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas

• Mewujudkan pendidikan untuk semua (inklusif)

• Mewujudkan Kota Yogyakarta Sehat

•Memperkuat pembangunan sarana dan prasarana yang berkualitas dan aksesibel bagi seluruh warga Yogyakarta termasuk warga yang mempunyai perbedaan kemampuan (difabel)

4 Paparan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X pada pertemuan tingkat tinggi bupati dan walikota untuk kota – kota inklusi Sebagai bagian dari proyek UNESCO ‘Inklusi Sosial Para Penyandang Disabilitas di Indonesia

’http://www.sapdajogja.org/kegiatan-sapda/101.html

5 Rancangan Awal Rencana Kerja Pembangunan Daerah (Rkpd) Kota Yogyakarta Tahun 2013

(7)

7 3. Mewujudkan pemberdayaan masyarakat dengan gerakan Segoro Amarto

• Mengembangkan ekonomi kerakyatan

• Memperkuat masyarakat Kota Yogyakarta yang toleran, inklusif, bermoral, beretika, beradab dan berbudaya

• Memasyarakatkan dan membudayakan gerakan Segoro Amarto 4. Mewujudkan daya saing daerah yang kuat

• Memperkuat Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, berkarakter, dan inklusif

• Memperkuat dan mengembangkan keterpaduan Kota Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata, Kota Budaya dan Kota Perjuangan

• Memperkuat daya saing Kota Yogyakarta yang unggul dalam pelayanan jasa

• Memperkuat Kota Yogyakarta yang nyaman dan ramah lingkungan

• Memperkuat Kota Yogyakarta yang aman, tertib, bersatu dan damai

Dalam hal pendidikan pemerintah DIY mengupayakan perluasan akses pendidikan bagi penyandang difabilitas usia sekolah yang belum atau tidak sekolah, peningkatan mutu dan daya saing, serta membentuk kesadaran publik tentang pendidikan inklusi sehingga pelaksanaan prakteknya menjadi lebih mudah.6 Dalam 3 tahun terakhir, jumlah anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan inklusi meningkat sekitar 30 persen. Dari total 83% yang telah mendapatkan pendidikan formal baik di SLB maupun sekolah inklusi tingka TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Dalam penerapannnya ada banyak tantangan dalam menjalankan pendidikan inklusi. Tantangan terbesar justru dalam dari pihak anak yang berkebutuhan khusus, orang tua harusnya memiliki kesadaran tentang arti pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus.

Pengertian dan sosialisasi tentang pendidikan inklusi juga harus dipahami orang tua anak normal yang cenderung menolak anaknya belajar bersama dengan anak berkebutuhan khusus7.

6 Paparan dari Dinas pendidikan, pemuda dan olah raga (Dikpora), Sri Widayati pada pertemuan tingkat tinggi bupati dan walikota untuk kota – kota inklusi Sebagai bagian dari proyek UNESCO ‘Inklusi Sosial Para Penyandang Disabilitas di Indonesia ’http://www.sapdajogja.org/kegiatan-sapda/101.html.

7 Bapak Suryanto, Direktur Jendral Pendidikan Dasar. http://antarayogya.com/-berita/298589/rencana-aksi-pendidikan- inklusif-dibahas-enam-provinsi

(8)

8 Adanya pendidikan inklusi diharapkan mampu menjalin interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal sehingga timbul rasa toleransi bagi anak normal dan kepercayaan diri dan kemandirian bagi anak berkebutuhan khusus.

1.1.4. Keberadaan Sekolah Inklusi di Yogyakarta

Sebagian besar sekolah inklusi di ada indonesia (81,40%) adalah pada tingkat SD.

Namun, bila dibandingkan dengan jumlah seluruh SD yang ada di indonesia yaitu 144.567, maka jumlah seluruh sd inklusi di indonesia sebenarnya baru mencapai 0,44%.

Selanjutnya, dengan mengambil angka kasar jumlah penyandang cacat usia sekolah di indonesia adalah 1,5 juta, maka jumlah anak berkelainan yang terlayani pendidikannya melalui sekolah inklusi sebenarnya baru mencapai 1 % dari seluruh populalsi yang ada.

(Direktorat PSLB, 2008)

Namun dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, yang didalamnya menegaskan bahwa setiap Pemerintah kabupaten/kota untuk menunjuk paling sedikit 1 (satu) SD dan 1 (satu) SMP pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif, maka diyakini jumlah anak berkelainan dan jumlah sekolah penyelenggara inklusif di Indonesia akan semakin meningkat.

Di Yogyakarta sendiri sudah terdapat beberapa sekolah yang mencanangkan diri sebagai sekolah inklusi untuk tingkat TK 3 sekolah, tingkat SD 127 sekolah, tingkat SMP 19 sekolah, tingkat SMA 5 sekolah, tingkat SMK 4 sekolah. (Data sekolah inklusi 2013 Dispora DIY). Dengan persebaran sekolah paling banyak berada di Kabupaten Gunung Kidul.

Namun, keadaan sekolah inklusi yang ada di DIY masih jauh dari harapan pendidikan inklusi yang dicanangkan. Kebanyakan sekolah inklusi masih menekankan pada kurikulum yang akan dikejar anak dengan bantuan dari Guru Pendamping Khusus.

Perancangan sekolah inklusi belum sepenuhnya membuat anak mandiri karena fasilitas, sarana dan prasana yang kurang mendukung. Seperti tidak adanya jalur penuntung yang memadai, masih banyaknya penggunaan tangga yang menyulitkan dan pembebanan yang berat pada Guru pendamping khusus untuk membimbing anak berkebutuhan khusus.

(9)

9 Akibatnya anak berkebutuhan khusus sering diperlakukan sama dengan anak regular pada umunya dalam hal penerimaan pembelajaran sehingga hasil belajar menjadi kurang optimal. Anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi harus dilatih kemandiriannya sehingga dapat beradaptasi dengan dengan lingkungan masyarakat yang mainstream dengan pilihan – pilihan yang pas bagi anak. 8

1.1.5. Pendidikan inklusi di Tingkat Taman Kanak Kanak

Dalam mencapai kehidupan yang mandiri, difabel perlu mendapatkan pendidikan yang mampu memfasilitasi secara utuh kebutuhan mereka. Sesuai dengan deklarasi universal tentang hak asasi manusia (PBB, 1948) dan secara kuat dipertegas oleh deklarasi dunia tentang pendidikan bagi semua (UNESCO, 1990), yang antara lain mengatakan bahwa setiap

penyandang difabel berhak menyatakan keinginannya sehubungan dengan pendidikannya, sejauh hal tersebut dapat difahami; dan orang tua berhak untuk dikonsultasi mengenai bentuk pendidikan yang paling sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan aspirasi anaknya di tingkat pendidikan apapun.

Setiap tingkat pendidikan seharusnya sudah menanamkan prinsip inklusi. Inklusi merupakan cara untuk menghapuskan pengkotak – kotakan jenis kebutuhan setiap manusia. Namun terdapat 4 kendala dalam pelaksanaan pendidikan inklusi yaitu 9 : - Kendala Psikologis : tidak semua ABK ataupun Anak normal dan orang tuanya

nyaman dalam lingkungan belajar yang sama.

- Kendala Nilai : adanya anggapan yang berkembang di masyarakat tentang potensi difabel yang terbatas dan penilaian menyusahkan untuk difabel

- Kendala Praktek : kurangnya sarana dan prasana, guru, kurikulum dan hal – hal teknis lain yang mengganggu kelancaran pembelajaran inklusi

- Kendala Power : Kendala ini dapat datang dari pihak anak ataupun pihak sekolah.

Misalnya dari pihak keluarga anak yang tidak menyekolahkan anak mereka karena malu, atau pun dari pihak sekolah yang tidak menerima ABK karena keterbatasan fasilitas yang dimilikinya.

8 Agustina indriani, Psikologi Kajian Disabilitas UI

9 wawancara Drs. Wiji Suparno, M.Phil,SNE, Pengawas bidang SLB Dinas Pendidikan DIY

(10)

10 Pentingnya pendidikan inklusi adalah memberikan lingkungan yang tepat guna mencapai kesamaan kesempatan dan partisipasi penuh. Keberhasilannya menuntut usaha bersama, bukan hanya dari guru- guru dan staf sekolah, orang tua, keluarga, relawan, tetapi juga dari teman sebayanya.

Pemilihan tingkat pendidikan TK sebagai perancangan sekolah inklusi karena:

- TK merupakan pendidikan formal pertama anak, dimana anak pertama kali memiliki banyak teman sebaya dalam satu lingkungan.

- Usia TK merupakan masa golden age, dimana pertumbuhan dan perkembangan anak sangat significant pada motorik dan pola pikirnya. Oleh karena itu, kepribadian anak dapat dibentuk pada masa ini dengan menanamkan dan membiasakan anak berinteraksi dengan teman yang difabel. Pengembangan TK Inklusi tidak saja sebagai langkah tepat dalam pemerataan layanan TK, tetapi dapat dipandang lebih dalam yakni memupuk karakter anak yang lebih humanis, lebih peka, dan lebih menghargai perbedaan sejak usia dini.10

- Masih sedikit jumlah sekolah inklusi di Yogyakarta terutama untuk tingkat pendidikan TK. Sehingga masa kanak – kanak ABK bisa saja tidak diisi dengan kegiatan yang berguna. Dengan adanya Pendidikan TK inklusi diharapkan semua anak, teristimewa anak yang berkebutuhan khusus berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing di masa golden age. 11

1.1.6 Konsep Versabilitas ruang dalam Sekolah inklusi

Sekolah inklusi merupakan perwujudan nyata dalam mewujudkan universal design di bidang pendidikan. Tujuan sekolah inklusi adalah untuk mewadahi dan mempersiapkan anak untuk mampu belajar, berkompetisi dan berinteraksi tanpa halangan keterbatasan.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan dukungan dari semua pihak, termasuk pihak sekolah. Sekolah harus mempersiapkan diri untuk menyediakan layanan pendidikan yang baik secara fisik maupun non-fisik.

10 About the KindergartenInclusion Tip Sheets, Association for Children with a Disability

11 Wawancara Drs. Wiji Suparno, M.Phil,SNE, Pengawas bidang SLB Dinas Pendidikan DIY

(11)

11 Dilihat dari sekolah inklusi yang ada di Yogyakarta, kebanyakan masih belum mampu mendukung kegiatan belajar dan mengajar untuk semua pengguna. Penyelesaian desain sekolah taman kanak - kanak belum mampu menyediakan ruang – ruang belajar dan bermain yang mendukung kegiatan tumbuh kembang anak sesuai dengan kebutuhan khususnya. Walaupun begitu penyelesaian sekolah inklusi yang ada saat ini hanya berfokus pada tahap penyesuaian sistem pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus.

Taman kanak - kanak inklusi dengan target pengguna anak normal dan anak berkebutuhan khusus diharapkan mampu untuk mendukung kegiatan belajar dan bermain anak untuk membantunya dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangannya di usia dini. Sedangkan pada anak berkebutuhan khusus diharapkan perancangan taman kanak – kanak inklusi menjadi salah satu sarana terapi.

Oleh karena itu konsep versabilitas ruang dimaksud agar penggunaan ruang luar dan ruang dalam maksimal untuk perbedaan kebutuhan dan penggunaan ruang yang beragam oleh anak berkebutuhan khusus. Dengan adanya berbagai macam perbedaan kebutuhan, ruang belajar dan bermain dituntut untuk memenuhi kebutuhan anak normal dan anak berkebutuhan khusus.

1.2 Permasalahan

1. Pandangan tentang sulitnya mendidik anak difabel yang berdampak pada pengabaian hak - hal difabel dalam pendidikan

2. Kurangnya fasilitas pendidikan inklusi pada tingkat TK untuk usia anak 3-6 tahun di DIY

3. Keeksklusifan SLB menyebabkan minimnya interaksi dan persaingan antara anak difabel dan normal

4. Mencari faktor – faktor perancang sebuah TK yang mampu memenuhi perbedaan kebutuhan, kemampuan dan sistem belajar anak terkait dengan aksesibilitas ruang dengan prinsip versabilitas ruang

5. Bagaimana mengkonektifitaskan ruang dalam dan ruang luar yang edukatif dan menyenangkan

6. Bagaimana Menciptakan suasana interior dan fasilitas dalam sekolah yang heterogen dan membantu tumbuh kembang anak dan sarana alternatif terapi

7. Bagaimana sirkulasi dan program ruang yang tercipta menjadi aman dan nyaman untuk menumbuhkan interaksi sosial

(12)

12 1.3. Tujuan Dan Sasaran Pembahasan

1. Menghapus pandangan tentang sulitnya mendidik anak difabel dengan dengan adanya sekolah yang mampu memfasilitasi bakat dan interaksi anak.

2. Menambah alternative pendidikan TK inklusi sebagai dasar untuk mempengaruhi pembangunan model pendidikan inklusi di tiap kecamatan di DIY

3. Menghapuskan ke-eksklusifan SLB dengan perancangan sekolah yang memaksimalkan interaksi antar anak

4. Merancang sebuah TK yang mampu memenuhi perbedaan kebutuhan, kemampuan dan sistem belajar anak terkait dengan aksesibilitas ruang dengan metode versabilitas ruang

5. Menciptakan konektifitas ruang dalam dan ruang luar yang edukatif dan menyenangkan

6. Menciptakan suasana interior dan fasilitas dalam sekolah yang heterogen dan membantu tumbuh kembang anak dan sarana alternatif terapi

7. Merancang sirkulasi dan program ruang yang aman dan nyaman untuk menumbuhkan interaksi sosial maksimal pada anak

1.4. Lingkup Pembahasan

1. Permasalahan arsitektur berkaitan dengan fungsi bangunan pendidikan inklusi tingkat TK yang mewadahi kebutuhan anak normal dan berkebutuhan khusus dalam prinsip desain yang universal.

2. Penciptaan konektifitas ruang dalam dan luar, ruang interior dan sirkulasi yang aksesibel dan nyaman dengan kebutuhan gerak aktif ana usia dini.

3. Pembahasan konsep Versabilitas Ruang untuk menciptakan ruang yang flexibel sesuai dengan berbagai karakteristik pengguna

1.5. Metode Pembahasan

Metode pembahasan yang digunakan untuk memperoleh data serta informasi dari berbagai sumber dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

a. Studi Literatur (Untuk Data Sekunder)

Mempelajari bahan pustaka yang ada terkait karakter dan kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus dan bangunan sekolah terutama sekolah yang mewadahi anak- anak berkebutuhan khusus – baik berupa referensi buku, hasil-hasil tulisan, atau

(13)

13 penelitian pemerintah maupun perorangan – untuk memperoleh data pendukung yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat.

b. Pengamatan Langsung (Observasi)

Melakukan penelitian dengan proses survey terkait dengan sekolah inklusi, sekolah luar biasa dan sekolah umum untuk mendapatkan gambaran tentang perbedaan perilaku dan penanganan untuk selanjutnya digunakan sebagai gambaran untuk penyusunan konsep dan perancangan kedepannya

c. Pengumpulan Data dari Studi Kasus

Mengumpulkan data-data dari Mengumpulkan data-data dari instasi terkait data jumlah difabel, penyebaran dan jumlah sekolah yag telah ada. Serta penelitian untuk perbandingan beberapa contoh bangunan dengan fungsi yang sama sebagai dasar rumusan proses selanjutnya.

1.6. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan

Meliputi latar belakang penulisan dan permasalahan bangunan sekolah inklusi, baik secara umum maupun khusu disertai penjelasan tujuan dan sasaran, lingkup pembahasan, metode pembahasan, sistematika penulisan, dan keaslian penulis.

Bab II Tinjauan Teori

Mengemukakan pembahasan tentang karakter dan kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus dan anak normal sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangannya di masa golden age. Prinsip – Prinsip pendidikan dan pengajaran yang tepat dalam sekolah inklusi untuk menjadi gambaran dalam mendesain serta tinjauan mengenai survey bangunan sejenis di DIY dan Indonesia serta beberapa preseden dan contoh sekolah di Indonesia dan di luar Indonesia.

Bab III Tinjauan Lokasi dan Analisis

Tinjauan lokasi site, yang berisi keadaan eksisting kawasan rencana bangunan sekolah inklusi dan analisis potensi site terpilih yang nantinya akan mempengaruhi konsep perancangan.

(14)

14 Bab IV Pendekatan Konsep Dasar dan Perancangan

Berisi mengenai pendekatan dan analisis tapak dan kondisi eksisting yang konteks dengan lingkungan sekitar berdasarkan teori yang dipelajari.

Bab V Konsep Perancangan dan Perencanaan

Pengkoneksian antara teori, keadaan tapak dan konsep pendekatan yang digunakan sebagai konsep desain untuk mengarahkan kepada pemilihan elemen – elemen bangunan sesuai citra dan fungsi bangunan yang dikehendaki.

1.7 Kerangka berfikir

Gambar 1. 2 Kerangka Berfikir Sumber : Analisis Penulis, 2014

(15)

15 1.8 Keaslian Penulisan

Dilihat dari beberapa judul pra tugas akhir dan beberapa karya tulis dari sumber lain, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Hal tersebut dapat terlihat pada tipe bangunan, objek sasaran, konsep maupun pendekatan yang digunakan. Beberapa judul tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

 Desain Sekolah Taman Kanak – Kanak dengan Metode Microscopic Design Penulis : Atmanti, Fanitra Pedi (06 / 197731 / TK / 32108)

Perbedaan : Fungsi dan pengguna bangunan, konteks dan Pendekatan berbeda

 Redesain TK Pertiwi Gondonglegi Yogyakarta Pendekatan Studi Perilaku dan Lingkungan

Penulis : Sakinah, Bunga (09 / 280108 / TK / 34567)

Perbedaan : Fungsi dan pengguna bangunan, konteks dan Pendekatan berbeda

 Taman kanak – kanak dengan pendekatan konsep teritorialitas pada bangunan Penulis : Salilana, Maulani Faradina (07 / 250212/ TK / 32343)

Perbedaan : Konsep, pengguna bangunan, konteks dan pendekatan berbeda

 Taman kanak – kanak dengan penekanan alam sebagai media pembelajaran Penulis : Wibowo, Arief Singgih (07 / 250972 / TK / 32504)

Perbedaan : Konsep, Pengguna dan pendekatan berbeda

 Taman kanak – kanak berdasarkan metode Montessori Penulis : Narwastu (05 / 184686 / TK / 30624)

Perbedaan : Konsep, pendekatan dan konteks berbeda

Gambar

Gambar 1. 1 Difabel dan interaksi sosial   Sumber : Unesco Disabilitas. pdf
Tabel 1.1 Data Penyandang Disabilitas
Tabel 1.2 Data Jumlah SLB DIY
Gambar 1. 2 Kerangka Berfikir   Sumber : Analisis Penulis, 2014

Referensi

Dokumen terkait

daerah daerah yang sangat jauh letaknya dari awal agama islam diajarkan, sedangkan dari sisi keburukannya adalah, dalam penaklukan yang dilakukan dinasti umayah,

[r]

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dapat memberikan suatu karya penulisan baru yang dapat mendukung dalam pengolahan data pada sistem informasi inventori barang

Dalam Paper ini bertuliskan tentang jawaban beragam pertanyaan yang diberikan oleh Dosen terkait untuk merangkum dan meringkas tentang Perusahaan Multinasional, Perbedaan

Pembacaan dari beberapa sensor seperti sensor ultrasonic, sensor DHT11 meliputi data suhu dan kelembaban udara, sensor LDR untuk intensitas cahaya di dalam

Dari gambar 4.4 dapat dilihat bahwa pada diameter pulley motor sebesar 7cm dan diameter pulley alternator 7 cm akan didapatkan arus pengisian yang keluar dari

Tujuan penelitian untuk mengetahui besar pengaruh beban kerja terhadap kepuasan kerja dengan stres kerja sebagai variabel mediasi.Penelitian ini dilakukan di

Sebelum dilakukan proses kalsinasi hasil campuran terlebih dahulu dilakukan pengujian dengan menggunakan X-ray flourecence dan dilakukan juga setelah proses