• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 4.1 Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 4.1 Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

29

4. Analisa Data dan Pembahasan

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

Data indikator-indikator makroekonomi yaitu inflasi, suku bunga, kurs dan PDB akan ditampilkan secara grafis agar fluktuasi variabel tersebut dapat dibandingkan dengan fluktuasi IHSG. Pertumbuhan PDB yang mencerminkan perekonomian suatu negara, pada tahun 2005-2012 menunjukkan tren naik yang diikuti oleh pertumbuhan IHSG pada periode yang sama. Penurunan IHSG pada Oktober 2008 yang terjadi akibat krisis Subprime Mortgage hingga bernilai 1256,7 poin didukung oleh inflasi yang terus meningkat mencapai 11,77%.

Kenaikan inflasi tersebut berdampak pada pengambilan kebijakan moneter Bank Indonesia yang menaikkan tingkat suku bunga tertinggi pada 2008 sebesar 9,5%.

Ketidakstabilan perekonomian dunia akibat krisis 2008 mengakibatkan investor asing yang berada pada pasar modal Indonesia menarik dananya, sehingga kurs Rupiah terdepresiasi hingga Rp. 12151,00 tertinggi pada bulan September 2008.

Gambar 4.1

Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan

Indeks Harga Saham Gabungan atau Composite Stock Price Index (IHSG) merupakan suatu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja kerja saham yang tercatat di suatu bursa efek. Kenaikan IHSG pada 2005-2012 mencerminkan bahwa kinerja dari emiten yang tercatat di bursa efek memberikan kinerja yang baik. Pertumbuhan IHSG yang berawal pada pemilu 2004 lalu terkena dampak krisis Subpreme Mortgage pada tahun 2008 dan akhirnya terus meningkat hingga 2012 yang ditutup pada level 4316,69.

(2)

Gambar 4.2 Pergerakan Inflasi

Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum dimana barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau turunnya daya jual mata uang suatu Negara. Angka Inflasi yang tertinggi 17% terjadi pada tahun 2005 saat kenaikan BBM yang mencapai 200% dari tahun sebelumnya.

Inflasi yang bergejolak pada 2005-2011 berakhir stabil pada tahun 2012. Angka pencapaian inflasi pada tahun 2012 yang sebesar 4,3% ini jauh lebih rendah dari target asumsi makro APBN 2012 yang mematok inflasi 6,8%.

Gambar 4.3 Pergerakan Suku Bunga

Bank Indonesia menggunakan tingkat suku bunga SBI sebagai salah satu instrumen untuk mengendalikan inflasi. Apabila inflasi dirasakan cukup tinggi maka Bank Indonesia akan menaikkan tingkat suku bunga SBI untuk meredam kenaikan inflasi. Seperti pada saat kenaikan BBM pada tahun 2005 Bank Indonesia menaikkan suku bunga hingga 12,75% untuk meredam kenaikan inflasi

(3)

31

dan menstabilkan sehingga mengurangi ketidakpastian. Perubahan tingkat suku bunga SBI akan memberikan pengaruh bagi pasar modal. Tingginya suku bunga sebesar 12,75% sejak tahun 2005 sampai menurun dan stabil hingga tahun 2012 berada di 5,75% mencerminkan bahwa inflasi terkendali diantara 3,5%-4,6% pada tahun 2012.

Gambar 4.4 Pergerakan Kurs

Kurs sebagai harga mata uang luar negeri dalam satuan mata uang dalam negeri. Kurs mata uang asing mengalami perubahan nilai yang terus menerus dan relatif tidak stabil, terlihat banyak investor dalam maupun luar negeri melakukan penjualan Rupiah dan membeli Dolar pada periode 2008-2009 saat terjadi krisis Subprime Mortgage dimana kurs IDR-USD terdepresiasi hingga mencapai angka Rp. 12.000,00. Perubahan nilai ini dapat terjadi karena adanya perubahan permintaan dan penawaran atas suatu nilai mata uang asing pada masing-masing pasar pertukaran valuta dari waktu ke waktu. Setelah krisis Subpreme Mortgage tersebut kurs IDR-USD menemukan titik equilibriumnya dan mulai stabil hingga 2012.

Gambar 4.5 Pergerakan PDB

(4)

PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Sehingga PDB merupakan indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu. Pertumbuhan PDB periode yang berawal pada 2005 dan terus bertumbuh hingga 2012 menunjukkan perekonomian Indonesia yang terus bertumbuh dimana Amerika dan Eropa mengalami krisis.

4.2 Penetapan Lag

Penetapan lag berdasarkan grafik data bulanan inflasi (gambar 4.6), suku bunga (gambar 4.7), kurs (gambar 4.8) dan PDB (gambar 4.9) periode 2005 hingga 2012. Namun grafik tersebut tidak dapat disatukan, dikarenakan perbedaan nilai tiap variabel yang cukup jauh.

Menurut gambar 4.6 penurunan inflasi pada bulan Juni 2007 diikuti dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan pada bulan yang sama saat terjadi penurunan inflasi, sehingga ditetapkan lag 0 untuk inflasi.

(5)

33 Gambar 4.6

Pergerakan inflasi dan IHSG 2006

Menurut gambar 4.7 penurunan suku bunga dari bulan Oktober 2008 ke Agustus 2009 diikuti dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan di bulan yang sama pada saat terjadi penurunan suku bunga, sehingga ditetapkan lag 0 untuk suku bunga.

Gambar 4.7

Pergerakan suku bunga dan IHSG 2008-2009

Menurut gambar 4.8 penurunan kurs dari bulan Mei 2009 ke Maret 2010 diikuti dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan 1 bulan setelah kenaikan kurs pada bulan Juni 2009 dan terus naik sampai April 2010, sehingga ditetapkan lag 1 untuk kurs.

(6)

Gambar 4.8

Pergerakan Kurs dan IHSG 2008-2009

Menurut gambar 4.9 kenaikan PDB dari bulan Agustus 2010 ke Juli 2011 diikuti dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan pada bulan yang sama saat terjadi kenaikan PDB, sehingga ditetapkan lag 0 untuk PDB.

(7)

35 Gambar 4.9

Pergerakan PDB dan IHSG 2010-2011

Dengan demikian didapatkan persamaan dengan menggunakan lag sebagai berikut:

IHSGt = a + b1 Inflasit + b2 Suku bungat + b3 Kurs t-1 + b4 PDBt + e...(4.1)

Keterangan

IHSGt : IHSG pada periode pengamatan a : Konstanta persamaan regresi

b1-b4 : Koefisien masing-masing variable pada persamaan regresi Inflasit :Inflasi di Indonesia pada periode pengamatan

(8)

Suku bungat : Suku bunga di Indonesia pada periode pengamatan

Kurs t-1 : Kurs IDR terhadap USD pada periode 1 bulan sebelum pengamatan PDBt : PDB di Indonesia pada periode pengamatan

e : Eror

4.3 Hasil Penelitian

Sebelum dilakukan uji regresi berganda harus mencari nilai residual lalu lolos dalam uji asumsi klasik, agar hasil dari penelitian tidak bias. Pada saat dilakukan uji asumsi klasik analisa regresi berganda, data penelitian dengan variabel tidak terikat suku bunga tidak lolos dalam uji autokorelasi dan multikolinearitas sehingga perlu dilakukan transformasi metode nilai first difference dengan menetapkan lag1. Berikut hasil uji asumsi klasik dan hasil dari regresi berganda setelah ditransformasi.

4.3.1 Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas

Dari hasil uji asumsi normalitas, dapat dilihat bahwa tampilan grafik Probability Plots sudah lolos dalam uji asumsi normalitas ini. Nilai PP Plots terletak di sekitar garis diagonal.

Gambar 4.10

PP Plots Indeks Harga Saham Gabungan

(9)

37

Analisa grafik Indeks Harga Saham Gabungan sudah menunjukkan bahwa nilai PP Plots memenuhi asumsi normalitas. Untuk pembuktian berikutnya dapat kita lihat dengan analisa statistik yaitu menggunakan uji Kolmogorov- Smirnov. Berikut hasil uji Kolmogorov-Smirnov:

Tabel 4.1

Uji Kolmogorov-Smirnov Indeks Harga Saham Gabungan

Indeks Harga Saham Gabungan

Kolmogorov- Smirnov Z 0,648

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,794

Decision Normal Distribution

Sumber : Lampiran 2

Dapat dilihat melalui analisa statistik, data ini memenuhi uji asumsi normalitas. Dengan menggunakan nilai α = 5%, nilai asymp Sig (2-tailed) adalah sebesar 0,794 untuk Indeks Harga Saham Gabungan sehingga signifikansi > α maka hasil data mengikuti distribusi normal.

2. Uji Multikolinearitas

Tabel 4.2

Uji Multikolinearitas Indeks Harga Saham Gabungan

Variabel Tolerance VIF

Inflasi 0,785 1,274

Suku bunga 0,779 1,284

Kurs 0,985 1,016

PDB 0,977 1,024

Decision No multicolinearity Sumber : Lampiran 2

Berdasarkan pada nilai tolerance dan VIF terlihat bahwa bahwa tidak ada nilai tolerance di bawah 0,1 (nilai tolerance diantara 0,779 hingga 0,985)

(10)

begitu juga dengan nilai VIF tidak ada yang di atas 10 (nilai VIF diantara 1,016 hingga 1,284). Jadi sudah terbukti bahwa tidak terdapat multikolinearitas.

3. Uji Autokorelasi

Untuk mendeteksi gejala autokorelasi, digunakan uji Durbin Watson (DW). Menurut Gujarati (2004, p.470) kriteria penerimaan uji Durbin Watson adalah sebagai berikut :

0 < d < dL = ada kolerasi negatif

dL ≤ d ≤ dU = tidak dapat ditarik kesimpulan 4 - dL < d < 4 = ada korelasi positif

4- dU ≤ d ≤ 4 - dL = tidak dapat ditarik kesimpulan

dU ≤ d ≤ 4 – dU = tidak ada korelasi positif atau negative

Tabel 4.3

Uji Durbin Watson Indeks Harga Saham Gabungan Indeks Harga Saham Gabungan

Durbin Watson 2,143

Decision No autocorelation Sumber: Lampiran 2

Untuk mencari dU dan dL adalah dengan menggunakan tabel dengan kriteria k = 4, n = 96. Dari kriteria tersebut diperoleh nilai dU = 1,755 dan dL= 1,579. Kriteria penerimaan dengan variabel terikat Indeks Harga Saham Gabungan ada di dU < d< 4-dU, yang berarti 1,755 < 2,143 < 2,245 sehingga tidak terdapat autokorelasi positif atau negatif.

(11)

39 4. Uji Heteroskedastisitas

Gambar 4.11

Uji Scatterplot Indeks Harga Saham Gabungan Sumber : Lampiran 2

Terlihat dari tampilan grafik scatterplot diatas bahwa titik-titik menyebar secara acak baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat gejala heteroskedasitas. Untuk memperkuat grafik scatter plot dilakukan uji statistik yaitu uji gletjser:

Tabel 4.4

Uji Gletjser Indeks Harga Saham Perbankan

Variabel Sig. IHSG

Inflasi

0,553 Suku bunga

0,301 Kurs

0,122

PDB 0,248

Decision No Heteroskedasticity Sumber: Lampiran 2

(12)

Dari hasil uji Gletjser diatas mengatakan bahwa terdapat signifikansi semua variabel bebas (inflasi, Suku bunga, kurs dan PDB) yang lebih besar dari alpha 5%, dengan ini membuktikan bahwa terjadi kesamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain atau dengan kata lain tidak terjadi gejala heterokedastisitas.

4.3.2 Analisa Regresi Berganda

4.3.2.1 Deskripsi Statistik

Tabel 4.5

Deskriptif Statistik gambaran umum sampel

Variabel Mean Std.dev N

IHSG 2475,667 1062,5148 96

Inflasi 0,0752 0,04028 96

Suku bunga 0,0808 0,02021 96

Kurs 9429,7083 684,75494 96

PDB 536100,7457 71514,93951 96

Sumber: Lampiran 5

Dari deskriptif statistik diatas dapat disimpulkan bahwa rata-rata Indeks Harga Saham periode 2005-2012 adalah 2475,667 poin per bulannya, standar deviasinya sebesar 1062,5148. Rata-rata inflasi bulanan selama periode 2005-2012 adalah 7,52% dengan standar deviasi sebesar 0,04028. Kebijakan moneter yang diambil pemerintah harus menekan inflasi berada di bawah 7,5% untuk menjaga inflasi supaya tidak tinggi sehingga perekonomian tetap stabil. Rata-rata Suku bunga selama periode 2005–2012 adalah 8,08% per bulannya dengan standar deviasi 0,02021. Rata-rata Suku bunga yang tidak terlalu jauh berbeda dengan inflasi dikarenakan perubahan Suku bunga dilakukan apabila proyeksi inflasi menyimpang dari target dan tidak stabil sehingga berdampak pada ketidakpastian perekonomian. Rata- rata kurs per bulannya selama periode 2005–2012 adalah 9429,7083 Rupiah dibandingkan dengan akhir tahun 2012 kurs IDR-USD sebesar 9670 Rupiah dengan standar deviasi 684,75494. Kestabilan kurs yang terjaga, terlihat sampai akhir tahun 2012 tidak bergerak terlalu fluktuatif, dengan

(13)

41

kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia. Rata-rata PDB adalah 536100,7457 milyar Rupiah per bulannya selama periode 2005-2012 dengan standar deviasi 71514,93951 dimana pergerakan PDB cenderung meningkat seperti pada tahun 2012 peningkatan 6,52% dari tahun sebelumnya dan pada akhir tahun PDB nya sebesar 7.823.915 milyar Rupiah. PDB mencerminkan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Perekonomian yang stabil dan berkembang akan mengundang investor dan emiten asing untuk melakukan investasi terutama di Indonesia yang merupakan emerging market dan diprediksi menjadi negara raksasa ke 3 di Asia, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu 6% pertahun dan terus meningkat (Reid, 2012)

4.3.2.2 Uji Hipotesa Indeks Harga Saham Gabungan 1. Hipotesa Uji F

 Ho1 : b1:b2:b3:b4 = 0, Inflasi, Suku Bunga, Kurs dan PDB secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

 Ha1 : b1:b2:b3:b4 ≠ 0, Inflasi, Suku bunga, Kurs dan PDB secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

2. Hipotesa Uji t

 Ho1 : b1 = 0, inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

 Ha1 : b1 ≠ 0, inflasi berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

 Ho2 : b2 = 0, Suku bunga tidak berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

 Ha2 : b2 ≠ 0, Suku bunga berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

 Ho3 : b3 = 0, kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

(14)

 Ha3 : b3 ≠ 0, kurs berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

 Ho4 : b4 = 0, PDB tidak berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

 Ha4 : b4 ≠ 0, PDB berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

Untuk menguji hipotesa tersebut diperlukan metode penelitian analisa regresi berganda sebagaimana yang ditampilkan berikut ini.

Tabel 4.6

Hasil Uji Regresi Linear Berganda

Variabel Beta t Sig F Sig Adj R2

Konstanta 35,480 2,377 0,200

Inflasi -407,396 -0,380 0,705

Suku bunga -7262,197 -1,400 0,165 11,314 0,000 30,5%

Kurs -0,273 -6,398 0,000

PDB -0,010 -0,278 0,782

Sumber : Lampiran 4

Dari uji F diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Oleh karena nilai signifikansi lebih kecil dari α = 5% maka dapat disimpulkan tolak Ho1 yang artinya inflasi, Suku bunga, kurs dan PDB secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan.

Dari uji t disimpulkan bahwa keempat variabel bebas (Inflasi, Suku bunga, Kurs, PDB) yang dimasukkan dalam model ternyata hanya satu variabel yang signifikan yaitu kurs, hal ini terlihat dari nilai signifikansinya sebesar 0,000 untuk kurs yang signifikansinya lebih kecil dari α = 5%. Jadi dapat disimpulkan untuk tolak Ho3 yang berarti kurs secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Dari tabel 4.6 didapatkan persamaan regresi:

IHSG=35,48 - 407,396 Inflasi - 7262,197 Suku bunga - 0,273 kurs -0.01 PDB + e

(15)

43

Artinya, koefisien regresi Inflasi sebesar -407,396 menyatakan bahwa setiap kenaikan inflasi satu persen akan menurunkan IHSG sebesar 407,396 poin.

Koefisien regresi Suku bunga sebesar -7262,197 menyatakan bahwa kenaikan Suku bunga satu persen akan menurunkan IHSG 7262,197 poin. Koefisien regresi kurs sebesar -0,273 menyatakan bahwa kenaikan kurs satu Rupiah akan menurunkan IHSG sebesar 0,273 poin. Kemudian Koefisien regresi PDB sebesar - 0.01 menyatakan bahwa kenaikan PDB satu milyar Rupiah akan menurunkan IHSG 0.01 poin.

Keempat variabel bebas (inflasi, Suku bunga, kurs, dan PDB) yang digunakan dalam penelitian ini hanya mampu menjelaskan IHSG sebesar 30,5%, sebesar 69,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

4.4 Pembahasan

Analisa terhadap variabel inflasi, suku bunga, kurs dan PDB memberikan kesimpulan yang mendukung bahwa faktor ekonomi makro berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Indonesia. Pengujian statistik membuktikan bahwa inflasi, suku bunga, kurs dan PDB memiliki pengaruh bersama-sama terhadap Indeks Harga Saham Gabungan.

Inflasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Menurut Nugroho (2008) hal ini dapat dijelaskan bahwa kinerja perusahaan-perusahaan dalam IHSG memiliki fundamental ekonomi yang kuat, sehingga mampu bertahan dalam kondisi perekonomian yang mengalami inflasi tertinggi pada saat kenaikan BBM dan mulai stabil pada tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja perusahaan-perusahaan tersebut cenderung meningkat dari waktu ke waktu, serta memiliki pendapatan (marjin) usaha yang positif (Tabel 4.7) dan cenderung memiliki Net Profit Margin (NPM) lebih tinggi dari inflasi. Koefisien regresi inflasi -407,396 menyatakan bahwa setiap kenaikan tingkat inflasi satu persen akan menurunkan Indeks Harga Saham Gabungan 407,396 poin.

Tabel 4.7.

Pertumbuhan NPM 3 emiten berkapitalisasi besar dibanding inflasi

2007 2008 2009 2010 2011 2012

ASII 75,62% 40,98% 9,24% 43,09% 23,80% 9,20%

(16)

HMSP 2,77% 7,49% 30,60% 26,22% 25,60% 23,31%

BBCA 5,81% 28,67% 17,85% 24,56% 27,60% 8,34%

Inflasi 6,59% 11,06% 2,78% 6,96% 3,79% 4,30%

Kondisi yang demikian itu menjadikan saham perusahaan-perusahaan pada IHSG memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mengelola sumber-sumber internal guna meningkatkan kinerja usahanya. Dengan demikian inflasi yang terjadi pada periode 2005-2012 tidak berpengaruh terhadap IHSG (Nugroho, 2008).

Suku bunga tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Menurut Kewal (2012) hal ini dikarenakan tipe investor di Indonesia merupakan investor yang cenderung melakukan investasi pada saham.

Pasar saham yang dapat memberikan imbal hasil yang tinggi, sedangkan investasi di obligasi tidak memberikan imbal hasil yang tinggi dibandingkan return instrumen saham. Hal tersebut dapat dilihat dari pergerakan suku bunga yang tertinggi sebesar 12,75% pada 2005 dan terus menurun hingga stabil di tingkat 5,75% sejak februari 2012, dibandingkan dengan IHSG yang pada akhir 2005 berada pada level 1161,98 poin hingga tertinggi 4277,19 poin pada akhir 2012.

Berarti bahwa investor yang mengalokasikan dananya pada instrumen saham akan mendapatkan keuntungan sebesar 4 kali lipat, sehingga obligasi dan deposito bank menjadi kurang menarik. Koefisien regresi suku bunga SBI -7262,197 menyatakan bahwa setiap kenaikan tingkat suku bunga SBI satu persen akan menurunkan Indeks Harga Saham Gabungan 7262,197 poin.

Pengaruh kurs Rupiah terhadap IHSG menunjukkan hasil yang negatif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh antara kurs dan harga saham berlawanan arah, artinya penurunan kurs IDR-USD (Rupiah terapreasiasi) maka akan meningkatkan harga saham, dan sebaliknya. Hasil yang diperoleh ini konsisten dengan teori, dimana penurunan kurs Rupiah terhadap USD merupakan sinyal positif bagi perekonomian yang mengalami inflasi menurut Tandelilin (2001). Dimana terbukti dengan proporsi investor asing dan domestik di Bursa Efek Indonesia pada akhir tahun 2012 mencapai 59,15% dari total saham yang diperdagangkan dalam negeri. Sementara kepemilikan investor domestik hanya sebesar 40,85% (Investor.co.id), hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi IHSG didominasi oleh investor asing. Menguatnya kurs rupiah terhadap USD akan

(17)

45

menurunkan biaya produksi terutama biaya impor bahan baku dan emiten yang memiliki hutang luar negri, hal tersebut akan memberikan dampak positif pada laba emiten yang akhirnya akan menaikkan laba bersihnya. Kenaikan laba emiten yang dipersepsikan berkinerja baik oleh investor akan meningkatkan harga saham dan pada akhirnnya Indeks Harga Saham juga akan meningkat. Koefisien regresi kurs -0,273 menyatakan bahwa setiap kenaikan kurs satu persen akan menurunkan Indeks Harga Saham Gabungan 0,273 poin.

Hasil dari penelitian menunjukkan PDB tidak berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Menurut Kewal (2012) Peningkatan PDB dalam suatu negara mengindikasikan pertumbuhan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di negara tersebut. Adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mendorong masyarakat untuk melakukan konsumsi terhadap barang dan jasa sehingga memperluas perkembangan investasi di sektor riil.

Adanya pengalihan dana perkembangan investasi di sektor riil tidak diikuti adanya peningkatan investasi pada pasar modal. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pemerataan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan PDB belum tentu meningkatkan pendapatan perkapita setiap individu sehingga pola investasi di pasar modal tidak berpengaruh oleh adanya peningkatan PDB.

Koefisien regresi PDB -0,010 menyatakan bahwa setiap kenaikan kurs satu persen akan menurnkan Indeks Harga Saham Gabungan 0,01 poin.

Referensi

Dokumen terkait

Kata Kerja Operasional (KKO) pada setiap tujuan pembelajaran yang terdapat pada RPP di SMAN Sekota Painan.Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah, maka rumusan

Tujuan diterapkannya K3 di PT Ferron Par Pharmaceuticals untuk melindungi dan menjamin keselamatan dan kesehatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja,

Agar tidak menimbulkan kesalahan dalam memahami skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI POHON ALBA DENGAN SISTEM NYINOM DALAM PERSPEKTIF

Jual beli melalui pesanan atau sala&gt;m yaitu dengan menyebutkan barang dengan sifat-sifatnya dengan kriteria tertentu dalam tanggungan dengan pembayaran

Menurut Jumingan (2014, hal. 242) “Analisis Rasio Keuangan merupakan analisis dengan membandingkan satu pos laporan dengan dengan pos laporan keuangan lainnya, baik

SPO evaluasi thd uraian tugas dan pemberian kewenangan pada petugas pemberi pelayanan klinis, bukti evaluasi dan tindak lanjut.. Dokumen Lain yang Dipersyaratkan

Keseimbangan memiliki hubungan positif namun tidak signifikan dengan asas transaksi syariah karena nilai kritis yang diperoleh tidak signifikan pada tingkat

Analisis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: apabila NPM naik mengindikasikan laba perusahaan meningkat, dan investor akan tertarik dengan kenaikan laba bersih