• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK DISMENORE PADA PASIEN ENDOMETRIOSIS DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK DISMENORE PADA PASIEN ENDOMETRIOSIS DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 2089-4503 (cetak)

KARAKTERISTIK DISMENORE PADA PASIEN ENDOMETRIOSIS DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Fauziah Ariviani

1)

, Jimmy Yanuar Annas

2)

, Gadis Meinar Sari

3)

1,2,3)

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Email: arifiani.fauziah@gmail.com

ABSTRACT

Endometriosis is a disordered growth of the endometrial glands outside the uterus that affects women of reproductive age. Delays in recognizing and treating endometriosis could reduce the quality of life and caused infertility, The most common symptom is dysmenorrhea, and this is often times misunderstood by most of women who thought menstruating women commonly experienced this, this can affect the delay in diagnosis.

The purpose of the research is to determine the characteristics of dysmenorrhea in endometriosis patients.

This research was an observational study by conducting direct interview with patients and analyzing descriptively. The population was endometriosis patients at RSUD Dr.Soetomo, and the minimum samples was 42 endometriosis patients who met the research criteria. The samples were collected using consecutive sampling technique. The results of the research on each variable were as follows: age diagnosed is 30-39 years(42.8%), age of dysmenorrhea onset is <20 years (59.5%), delay of diagnosis is <5 years (31%) with an average 10.6 years, time of dysmenorrhea is during menstruation(69%), duration of dysmenorrhea is >2 days (66.7%), pain intensity on a scale of 8 (33.3%), and the pain description is like squeezing(61.9%).

Further research is needed to determine the factors that influence the delay in diagnosis.

Keywords: delay diagnosis, dysmenorrhea, endometriosis, pain description ABSTRAK

Endometriosis merupakan kelainan pertumbuhan kelenjar endometrium di luar uterus yang diderita oleh wanita di usia reproduksinya. Keterlambatan dalam mengenali dan mengatasi endometriosis dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup hingga infertilitas. Gejala tersering endometriosis berupa dismenore, yang sering kali dianggap sebagai hal yang biasa dialami oleh wanita saat menstruasi, hal ini tentunya dapat mempengaruhi jeda diagnosis yang lama. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik dismenore pada pasien endometriosis. Jenis penelitian adalah deskriptif observasional. Populasi penelitian adalah pasien endometriosis di RSUD Dr.Soetomo, dan jumlah minimal sampel penelitian adalah 42 pasien endometriosis yang memenuhi kriteria penelitian. Pengumpulan sampel menggunakan teknik consecutive sampling, data diperoleh melalui wawancara menggunakan lembar pengumpul data, kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian pada setiap

Cara Mengutip: Ariviani, Fauiziah,. Annas, Jimmy Yanuar., & Sari, Meinar Gadis (2021). Karakteristik Dismenore pada Pasien Endometriosis di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Care:Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 9(1), 50-64

Retrieved from https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/care/article/view/2064

(2)

variabel sebagai berikut: usia diagnosis 30-39 tahun(42,8%), usia onset dismenore <20 tahun(59,5%), jeda diagnosis <5 tahun(31%) dengan rata-rata 10,6 tahun(SD=8,7), waktu timbul dismenore saat menstruasi(69%), durasi dismenore >2 hari(66,7%), intensitas nyeri pada skala 8(lebih nyeri)(33,3%), dan deskripsi nyeri seperti diremas(61,9%). Kesimpulan penelitian didapatkan rata-rata jeda diagnosis endometriosis selama 10,6 tahun, pasien merasakan mulai timbul dismenore saat menstruasi, dengan durasi lebih dari dua hari, intensitas nyeri yang dikeluhkan pada skala 8(lebih nyeri), dan deskripsi nyeri seperti diremas. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi jeda diagnosis.

Kata Kunci : deskripsi nyeri, dismenore, endometriosis, jeda diagnosis PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan suatu gangguan pertumbuhan kelenjar endometrium dan stroma di luar uterus (ektopik), yang sering ditemukan pada ovarium, peritonium, panggul, dan septum retrovaginal (Burney & Giudice, 2012). Hingga saat ini patogenesis endometriosis masih belum diketahui secara pasti, terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai hal ini. Salah satu teori yang paling dikenal adalah teori retrograde menstruasi oleh Sampson (1927) yang menjelaskan, bahwa selama menstruasi normal sel endometrium dapat berpindah secara retrograde melalui tuba ke dalam rongga panggul dan kemudian berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh Wu et al. (2017) terhadap 54 pasien endometriosis menunjukkan bahwa lokasi endometriosis terbanyak berada pada ovarium. Teori patogenesis lainnya yaitu metaplasia selomik oleh Gruendwald tahun 1942 menyatakan bahwa endometriosis dapat tumbuh

dimana saja seperti pleura dan diafragma (Mehedintu et al., 2014). Penelitian oleh Lee et al. (2015) pernah mendapati satu kasus endometriosis yang ditemukan pada kelenjar adrenal.

Endometriosis umumnya dialami oleh wanita di usia reproduksinya hal ini ini terkait dengan peran hormon estrogen dalam patofisiologi endometriosis, usia reproduksi wanita menurut Kementerian kesehatan Republik Indonesia (2018) berada pada rentang usia 15-49 tahun.

Prevalensi endometriosis secara umum di Indonesia masih belum diketahui secara pasti. Diperkirakan prevalensi endometriosis pada populasi wanita secara umum berkisar 6-10% (Giudice &

Kao, 2004). Penelitian oleh Eisenberg et

al. (2017) menadapati bahwa prevalensi

endometriosis di Israel berkisar 10.8 per

1000 penduduk. Sedangkan pada pasien

infertil prevalensi endometriosis

ditemukan cukup tinggi yaitu sekitar

73,33% (Valson et al., 2016).

(3)

Keterlambatan diagnosis dari endometriosis diketahui masih relatif tinggi yaitu diperkirakan sekitar 6,7 tahun (Nnoaham et al., 2011). Moen (2017) beranggapan bahwa gejala dari endometriosis dapat muncul sejak remaja sehingga keterlambatan diagnosisnya dapat mencapai 5-12 tahun atau lebih.

Endometriosis menimbulkan dampak cukup signifikan terhadap kualitas hidup, diketahui penderita endometriosis kehilangan rata-rata 10,8 jam waktu bekerja setiap minggunya dikarenakan penurunan efektifitas dan produktifitas diri (Nnoaham et al., 2011). Berdasarkan penelitian Simoens et al. (2012) yang dilakukan pada 12 rumah sakit rujukan di 10 negara menyatakan bahwa beban ekonomi yang dihasilkan terkait endometriosis hampir sama dengan penyakit kronis seperti diabetes, rheumatoid arthritis, dan penyakit crohn, hal ini dikaitkan oleh karena hilangnya produktifitas diri dan penurunan kualitas hidup penderita endometriosis.

Gejala endometriosis dapat berupa nyeri haid (dismenore), nyeri saat senggama (dispareunia), nyeri saat buang air kecil (disuria), nyeri buang air besar (disezia), hingga infertilitas. Penelitian yang dilakukan di RSUD Dr.Soetomo Surabaya tahun 2015 mendapati

prevalensi gejala endometriosis tersering yaitu dismenore sebesar 42,03% dan dismenore dengan nyeri kronik sebesar 42,03% (Musyarrofah & Primariawan, 2015). Dismenore merupakan gejala yang sering dialami oleh banyak wanita selama periode menstruasi, hal inilah yang menjadikan dismenore sering selalu diartikan sebagai suatu hal yang biasa dan cenderung diabaikan, dismenore sendiri dibagi menjadi dismenore primer dan sekunder. Dismenore sekunder merupakan dismenore abnormal yang terjadi oleh karena terdapat kelainan ginekologis yang mendasari, dan salah satu penyebab tersering dismenore sekunder adalah endometriosis (Sachedina & Todd, 2020). Berdasarkan hal di atas, peneliti terdorong melakukan penelitian ini guna mempelajari bagaimana karakteristik dismenore pada pasien endometriosis di RSUD Dr.

Soetomo Surabaya yang merupakan pusat rujukan wilayah Indonesia Timur.

Harapannya wanita dan tenaga kesehatan

dapat lebih memahami bagaimana

karakteristik dismenore abnormal pada

endometriosis, sehingga dapat mencegah

manifestasi penyakit yang semakin parah

dan menurunkan angka keterlambatan

diagnosisnya.

(4)

METODE PENELITIAN

Desain penelitian adalah deskriptif observasional dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian adalah pasien endometriosis di RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Sampel penelitian adalah pasien endometriosis di RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Jumlah sampel penelitian adalah sebanyak 42 responden, jumlah ini didapatkan dari hasil penghitungan menggunakan rumus minimal besar sampel lameshow. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling yaitu dimana pasien yang masuk dalam kriteria penelitian akan diikutsertakan dalam penelitian hingga jumlah responden terpenuhi. Kriteria inklusi penelitian yaitu pasien terdiagnosis endometriosis dan mengalami nyeri haid.

Responden juga setidaknya mempunyai salah satu kriteria berikut yaitu onset nyeri dirasakan 3 tahun setelah menarke, atau terdapat keluhan lain seperti infertilitas.

Variabel yang diteliti meliputi jeda diagnosis yang didapatkan dari selisih usia diagnosis dan usia onset dismenore, saat waktu timbul dismenore, durasi dismenore, intensitas nyeri dismenore, dan deskripsi nyeri dismenore. Data penelitian merupakan data primer yang

diperoleh secara langsung melalui wawancara kepada responden dengan bantuan lembar pengumpul data yang terdiri dari karakteristik dismenore, skala intensitas nyeri wong baker faces pain rating scale, dan lembar deskripsi nyeri yang diadaptasi dari penelitian Ballard et al.

tahun 2010. Data penelitian dianalisis dengan analisa univariat yang akan menjelaskan dan mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel.

Penelitian ini telah mendapat sertifikat kelaiakan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr.Soetomo Surabaya nomor 1416/KEPK/VIII/2019.

HASIL

Tabel 1. Distribusi frekuensi usia dan jeda diagnosis responden

F

n=42 (%) Usia terdiagnosis

(tahun) 20-29 30-39 40-49 Usia onset

dismenore (tahun)

<20 20-29 30-39 40-49 Jeda (tahun)

<5 5-10 11-15 16-20

>20

17 18

7

25 6 10

1 13

8 10

5 6

40,5 42,8 16,7

59,5 14,3 23,8 2,4

31

19

23,8

11,9

14,3

(5)

Berdasarkan Tabel 1 angka kejadian endometriosis pada penelitian ini paling banyak pada rentang usia 30-39 tahun yaitu sebanyak 42,8%. Median usia terdiagnosis didapatkan pada usia 33 tahun dengan rata-rata 32,2 tahun (SD±7,4). Usia termuda adalah 20 tahun dan usia tertua 46 tahun. Sedangkan untuk frekuensi terbesar usia onset dismenore endometriosis didapatkan pada rentang usia <20 tahun yaitu sebesar 59,5%. Berdasarkan data usia diagnosis dan usia onset dismenore didapatkan frekuensi terbesar jeda diagnosis berada pada rentang waktu <5 tahun yaitu sebesar 31%, dengan rata-rata jeda didapatkan selama 10,6 tahun (SD±8,7) dan median 9,5 tahun.

Tabel 2. Distribusi frekuensi saat waktu timbul dismenore

Saat waktu timbul

dismenore F (%)

Sebelum menstruasi Saat menstruasi Sebelum dan saat Sebelum dan setelah Saat dan setelah Ketiganya

1 29

7 1 2 2

2,4 69 16,6

2,4 4,8 4,8

Total 42 100

Berdasarkan Tabel 2, frekuensi terbanyak saat waktu timbul dismenore adalah saat menstruasi sebesar 69%. Sedangkan untuk frekuensi terendah sebesar 2,4%

pada kategori sebelum menstruasi dan kategori sebelum dan setelah menstruasi.

Tabel 3. Distribusi frekuensi durasi dismenore

Durasi dismenore F (%)

≤2 hari

>2 hari 14

28 33,3 66,7 Total 42 100

Berdasarkan Tabel 3 frekuensi durasi dismenore terbanyak adalah selama >2 hari sebesar 66,7%. Rata-rata durasi dismenore didapatkan selama 3,1 hari (SD±1,76) dengan median 3 hari.

Tabel 4. Distribusi frekuensi intensitas nyeri dismenore

Intensitas nyeri f (%) Sedikit nyeri (2)

Sedikit lebih nyeri (4) Nyeri (6)

Lebih nyeri (8) Sangat nyeri (10)

7 4 4 14 13

16,7 9,5 9,5 33,3

13

Total 42 100

Berdasarkan Tabel 4, frekuensi intensitas nyeri dismenore berdasarkan wong baker faces pain rating scale terbanyak berada pada kategori “lebih nyeri (8)” yaitu sebanyak 33,3%. Rata-rata intensitas nyeri dismenore didapatkan pada skala 7,1 (SD=2,9) dengan median pada skala 8.

Pemilihan kata dalam deskripsi nyeri

dismenore ini diadaptasi dari penelitian

Ballard et al. tahun 2010. Responden

(6)

dapat memilih lebih dari satu deskripsi nyeri yang dirasakan saat dismenore.

Tabel 5. Distribusi frekuensi deskripsi nyeri dismenore

Deskripsi nyeri f (%) Seperti diremas

Sakit punggung bawah Kram

Menusuk-nusuk

Sakit menjalar sampai kaki Terasa mencengkram Berdenyut-denyut Nyeri sampai dubur Seperti teriris (nyeri tajam) Seperti perut ditarik ke bawah Perih sekali

Tegang

Lemas di dalam Bengkak

Seperti ditendang di perut Sakit tumpul

Terasa panas Seperti diseret

26 25 23 21 16 16 14 13 13 12 10 9 7 6 6 5 5 2

61,9 59,5 54,8 50 38,1 38,1 33,3 31 31 28,6 23,8 21,4 16,7 14,3 14,3 11,9 11,9 4,8

Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa frekuensi deskripsi nyeri yang paling banyak digambarkan oleh responden pasien endometriosis adalah nyeri seperti diremas yaitu sebanyak 26 responden (61,9%), dan di posisi kedua yaitu sakit punggung sebanyak 25 responden (59,5%).

PEMBAHASAN

Usia Diagnosis Endometriosis

Hasil penelitian ini mendapatkan usia puncak pasien terdiagnosis endometriosis berada pada rentang usia 30-39 tahun (Tabel 1). Prevalensi endometriosis disini

dapat dilihat bahwa pada usia dekade dua dan tiga hampir mempunyai jumlah yang sama, dan kemudian prevalensi menurun di dekade ke empat. Endometriosis merupakan penyakit yang diderita oleh wanita di usia reproduksinya yang masih mengalami siklus menstruasi. Menurut Kementrian Kesehatan RI wanita usia reproduksi berada pada rentang usia 15- 49 tahun (Kementerian kesehatan Republik Indonesia, 2018). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatimah et al. (2018) yang mendapatkan rata-rata usia pasien endometriosis adalah 34,75-37,68 tahun. Sedangkan penelitian di Manado mendapatkan hasil yang berbeda yaitu usia terbanyak pasien endometriosis berada pada rentang >39 tahun (Wu et al., 2017).

Hasil dari beberapa penelitian di atas

semua menunjukkan hasil yang sama

yaitu responden terdiagnosis pada usia

reproduksinya. Hal ini terkait dengan

peran hormon estrogen (estrogen dependent)

dalam patofisiologi endometriosis. Pada

jaringan endometriosis terdapat enzim

aromatase yang dapat mengubah

androgen menjadi estrogen, kadar

estrogen yang meningkat dibandingkan

normalnya ini dapat memicu

pertumbuhan lesi endometriosis lebih

lanjut, tidak hanya itu pada jaringan

(7)

endometriosis juga terdapat enzim 17- hydroxysteroid dehydrogenase 2 yang dapat mengubah estron (E1) menjadi estradiol (E2) yang memiliki sifat lebih poten (Kitawaki et al., 2002).

Endometriosis pada usia menopause diketahui jarang terjadi, tetapi pada wanita menopause yang mempunyai riwayat endometriosis mempunyai risiko untuk mengalami kanker ovarium terkait endometriosis (Matalliotakis et al., 2019).

Sehingga pemantauan ke depannya tetap diperlukan walaupun sudah memasuki usia menopause.

Usia Onset Dismenore

Pada penelitian ini menunjukkan usia onset dismenore (Tabel 1) mayoritas berada pada usia kurang dari 20 tahun, yang artinya mayoritas pasien mulai merasakan gejala dismenore sejak remaja.

Hal ini sejalan dengan Supriyadi et al.

(2017) yang menyatakan bahwa mayoritas pasien yang terdiagnosis endometriosis ternyata sudah merasakan gejalanya pertama kali saat remaja, tetapi dikarenakan keluhan utamanya adalah dismenore banyak yang mengabaikan hal ini sejak awal. Gejala dismenore karena endometriosis pada remaja biasa muncul 3 tahun atau lebih setelah menarke, dan gejala ini harus mulai dicurigai sebagai dismenore sekunder apabila gejala tidak

membaik dengan obat inhibitor prostaglandin, karena 80% wanita pada umumnya dapat membaik dengan pengobatan ini. (Speroff et al. 1999).

Penelitian ini mempunyai hasil yang berbeda dengan Setya et al. (2017) yang menunjukkan proporsi usia dismenore terbanyak pada usia 30-39 tahun.

Perbedaan hasil penelitian ini dimungkinkan dapat terjadi oleh karena responden penelitian yang bervariasi.

Jeda Diagnosis

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

rata-rata jeda diagnosis endometriosis

selama 10,6 tahun (SD±8,7), dengan

rentang jeda diagnosis paling banyak pada

kategori kurang dari 5 tahun. Pada

distribusi jeda diagnosis dapat dilihat

bahwa prevalensi jeda pada rentang

waktu 11-15 tahun juga cukup banyak

dan ini sesuai dengan perkiraan rata-rata

jeda yang didapatkan. Hasil ini tentunya

cukup tinggi bila dibandingkan dengan

penelitian Nnoaham et al. (2011) yang

memperkirakan rata-rata jeda diagnosis

sekitar 6,7 tahun. Peneliti lainnya

menyatakan bahwa gejala endometriosis

sendiri dapat muncul sejak remaja

sehingga keterlambatan diagnosisnya

dapat mencapai 5-12 tahun (Moen,2017).

(8)

Saat wawancara pengambilan data, dapat diketahui bahwa alasan beberapa responden akhirnya memutuskan untuk memeriksakan diri adalah karena sudah tidak tahan terhadap nyeri yang dirasakan atau terdapat keluhan lain seperti infertilitas. Perilaku penundaan dalam mencari pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya karena kualitas informasi kesehatan yang kurang baik dan sikap membiasakan gejala yang dirasakan (Rahman et al., 2017).

Terdapat penelitian yang menjabarkan penyebab endometriosis sering mengalami keterlambatan dalam diagnosisnya yaitu yang pertama dikarenakan gejala yang dirasakan sering tumpang tindih terhadap penyakit lain dan hingga saat ini masih kurangnya metode non operatif untuk diagnosis definitif endometriosis, kedua karena pasien sering mengira bahwa nyeri yang dirasa masih normal hal ini dipengaruhi oleh daya tahan pasien dan strategi koping individu, dan yang ketiga faktor yang berkaitan dengan kurangnya kesadaran atau pengetahuan dokter (Weintraub, 2016). Endometriosis juga terkadang dapat bersifat asimptomatis pada beberapa wanita sehingga hal ini

dapat pula mempengaruhi lamanya jeda diagnosis.

Penanganan endometriosis sedini mungkin sangat baik dilakukan guna mempertahankan fungsi reproduksi wanita, diketahui bahwa wanita usia kurang dari 35 tahun dengan endometriosis mempunyai risiko infertilitas dua kali lipat dibandingkan wanita normal (Prescott et al., 2016).

Saat Waktu Timbul Dismenore

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa saat waktu timbul dismenore tersering pada endometriosis adalah saat menstruasi berlangsung. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setya et al. (2017) yang mendapati bahwa proporsi waktu timbul dismenore tersering adalah saat menstruasi. Hal ini dapat terjadi oleh karena saat menstruasi pada pasien endometriosis mengalami peningkatan frekuensi, amplitudo, dan tonus basal tekanan kontraksi uterus lebih tinggi dibandingkan wanita normal (Bulletti et al., 2002).

Durasi Dismenore

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa

sebagian besar responden mempunyai

durasi dismenore lebih dari dua hari

(Tabel 3). Beberapa responden juga ada

yang mengeluhkan nyeri hingga 14 hari

(9)

atau hingga menstruasi selesai. Hasil ini memperlihatkan bahwa pada pasien endometriosis cenderung akan merasakan dismenore yang cukup lama. Dismenore sekunder pada endometriosis biasanya dapat berlangsung selama 1 hingga 5 hari (Harada, 2013)

Dismenore primer umumnya akan dirasakan pada 2 hari pertama menstruasi oleh karena puncak kadar prostaglandin yang menyebabkan hiperaktivitas myometrium terjadi dalam 2 hari pertama menstruasi (Bernardi et al., 2017). Tetapi berbeda pada endometriosis, terdapat faktor lain yang dapat memicu durasi dismenore lebih lama.

Penelitian Stratton & Berkley (2011) menjelaskan beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya nyeri pada endometriosis antara lain: lesi endometriosis dapat mengeluarkan faktor proinflamatori yang dapat mengaktivasi saraf sensoris sekitar, lesi endometriosis dipersarafi oleh serabut saraf sensoris dan serabut simpatis (neural sprouting) dari pembuluh darah yang mevaskularisasinya, dan lesi endometriosis dapat menekan atau menginfiltrasi saraf disekitarnya.

Penelitian lainnya menyatakan bahwa nyeri yang dirasakan pada endometriosis dikarenakan adanya reaksi inflamasi, dan terdapat fibrosis, traksi, dan adhesi dari

lesi ke jaringan sekitar yang dapat mengurangi mobilitas organ terkait (Harada, 2013).

Intensitas Nyeri Dismenore

Nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan yang bisa berdampak negatif terhadap kualitas hidup. Intensitas nyeri pada setiap orang dapat berbeda oleh karena hal ini bersifat subjektif. Pada penelitian ini diketahui bahwa mayoritas pasien endometriosis merasakan intensitas nyeri dismenore pada skala 8 (lebih nyeri) (Tabel 4). Saat wawancara pengambilan data dapat diketahui bahwa responden dengan skala nyeri 10 menggambarkan pengalaman nyeri yang parah hingga menangis, pingsan dan beberapa harus pergi ke UGD untuk mendapatkan injeksi anti nyeri.

Sedangkan responden dengan skala nyeri

8 menggambarkan nyeri yang

menyebabkan dirinya tidak dapat lagi

beraktivitas, terbatas mobilisasi, hingga

sulit tidur. Intensitas nyeri yang cukup

parah ini tentu bisa berdampak buruk

terhadap psikologis dan kualitas hidup

pasien endometriosis. Berdasarkan

Harada (2013) semakin bertambahnya

usia maka gejala dismenore sekunder

dapat bertambah parah.

(10)

Intensitas nyeri pada endometriosis dapat dipengaruhi oleh hubungan langsung lesi dengan serabut saraf, oleh karena pada pasien dengan keluhan nyeri diketahui memiliki jarak antara serabut saraf dengan jaringan endometriosis yang lebih dekat dibandingkan pada pasien yang tidak nyeri, jaringan endometriosis juga memiliki densitas serabut saraf yang lebih besar dibanding jaringan normal (Tokushige et al., 2006). Penelitian lainnya menyatakan bahwa keparahan nyeri yang dirasakan tidak berhubungan dengan stadium endometriosis (Chowdhury et al., 2017). Walaupun begitu nyeri tetap berguna sebagai alarm tubuh yang dapat menandakan adanya suatu abnormalitas, karena sebagian besar alasan pasien memeriksakan diri karena keluhan nyeri.

Deskripsi Nyeri Dismenore

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa deskripsi nyeri yang paling banyak digambarkan oleh pasien endometriosis adalah nyeri seperti diremas (Tabel 5), dan kemudian diikuti oleh sakit pada punggung bawah. Nyeri seperti diremas ini dapat digambarkan seperti kompresi di dalam atau sekitar organ terkait. Hasil penelitian ini berbeda dengan Ballard et al. (2010) yang menyimpulkan bahwa deskripsi nyeri prediktif pada

endometriosis adalah nyeri berdenyut- denyut. Penelitian lainnya juga menyimpulkan bahwa nyeri yang dialami pada endometriosis dapat berupa nyeri tumpul, berdenyut, atau tajam dan diperburuk oleh aktivitas fisik (Giudice, 2010). Perbedaan hasil penelitian ini dapat dikarenakan beberapa faktor salah satunya adalah metode penelitian dan juga faktor subjektifitas.

Berdasarkan Tokushige et al. (2006) jaringan endometriosis diketahui dipersarafi oleh serabut saraf sensoris, kolinergik, dan adrenergik yang dapat berinteraksi dengan molekul aktif yang dilepaskan oleh lesi endometriosis sehingga menimbulkan rasa nyeri yang beragam. Pasien endometriosis dimungkinkan dapat merasakan tiga tipe nyeri sekaligus yaitu nyeri nosiseptif somatik, nyeri nosiseptif visceral, dan nyeri neuropati (Levey, 2015).

Deskripsi nyeri seperti diremas merupakan tipe nyeri nosiseptif visceral, nyeri yang dapat berasal dari kerusakan struktur visceral seperti uterus, ovarium, tuba fallopi, kandung kemih, dll. Pada endometriosis terjadi proses inflamasi yang dapat menimbulkan jaringan parut pada organ visceral dan hiperalgesia visceral (Levey, 2015).

Keterbatasan penelitian ini adalah

(11)

variabel intensitas nyeri dan deskripsi nyeri terbatas dalam hal obyektifitas karena masing-masing individu memiliki persepsi sendiri. Hal ini diantisipasi dengan pendampingan secara langsung saat wawancara pengambilan data.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata jeda diagnosis endometriosis adalah sekitar 10,6 tahun. Wanita dengan endometriosis merasakan mulai timbul dismenore saat menstruasi berlangsung, dengan durasi lebih dari 2 hari, mayoritas intensitas nyeri yang dirasakan pada skala 8 (lebih nyeri), dan deskripsi nyeri yang paling banyak digambarkan adalah rasa seperti diremas.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi baik untuk penelitian di masa mendatang, petugas kesehatan, maupun masyarakat dalam memahami dismenore pada endometriosis.

Harapannya juga dapat dilakukan penguatan upaya promosi kesehatan khususnya di fasilitas kesehatan tingkat pertama agar kesadaran dan pengetahuan masyarakat dapat meningkat terkait keluhan pada endometriosis. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah dan skala yang lebih besar baik dilakukan sehingga mendapatkan hasil yang lebih mewakili,

dan juga penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang mempengaruhi jeda diagnosis.

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya. Terimakasih kepada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr.Soetomo Surabaya, responden, dan semua pihak yang telah membantu dalam jalannya penelitian ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

REFERENSI

Ballard, K., Lane, H., Hudelist, G., Banerjee, S., & Wright, J. (2010).

Can specific pain symptoms help in the diagnosis of endometriosis? A cohort study of women with chronic pelvic pain. Fertility and Sterility,

94(1), 20–

27.https://doi.org/10.1016/j.fertnst ert.2009.01.164

Bernardi, M., Lazzeri, L., Perelli, F., Reis, F. M., & Petraglia, F. (2017).

Dysmenorrhea and related disorders. F1000Research, 6, 1645.

https://doi.org/10.12688/f1000rese arch.11682.1

Bulletti, C., Ziegler, D. De, Polli, V., Del Ferro, E., Palini, S., & Flamigni, C.

(2002). Characteristics of uterine

contractility during menses in

(12)

women with mild to moderate endometriosis. Fertility and Sterility,

77(6), 1156–1161.

https://doi.org/10.1016/S0015- 0282(02)03087-X

Burney, R. O., & Giudice, L. C. (2012).

Pathogenesis and pathophysiology of endometriosis. Fertility and Sterility, 98(3), 511–519.

https://doi.org/10.1016/j.fertnstert.

2012.06.029

Chowdhury, T. S., Mahmud, N., &

Chowdhury, T. (2017).

Endometriosis: Correlation of Severity of Pain with Stages of Disease. Journal of Bangladesh College of Physicians and Surgeons, 34(3), 135–

139.

https://doi.org/10.3329/jbcps.v34i 3.32345

Eisenberg, V. H., Weil, C., Chodick, G.,

& Shalev, V. (2017). Epidemiology of endometriosis : a large population-based database study from a healthcare provider with 2 million members. 55–62.

https://doi.org/10.1111/1471- 0528.14711

Fatimah, D., Hutagaol, I. E. B., &

Romus, I. (2018). Profil Kasus Endometriosis di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2016.

Jurnal Ilmu Kedokteran, 12(1), 39-45.

https://doi.org/10.26891/JIK.v12i1 .2018.39-45

Giudice, L. C., & Kao, L. C. (2004).

Endometriosis. Lancet (London, England), 364(9447), 1789–1799.

https://doi.org/10.1016/S0140- 6736(04)17403-5

Giudice L. C. (2010). Clinical practice.

Endometriosis. The New England journal of medicine, 362(25), 2389–

2398.https://doi.org/10.1056/NEJ Mcp1000274

Harada, T. (2013). Dysmenorrhea and endometriosis in young women.

Yonago Acta Medica, 56(4), 81–84.

Dapat diakses dari:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc /articles/PMC3935015/

Kementerian kesehatan Republik Indonesia. (2018). Data dan Informasi profil Kesehatan Indonesia 2018. Dapat

diakses dari:

https://pusdatin.kemkes.go.id/reso urces/download/pusdatin/profil- kesehatan-

indonesia/PROFIL_KESEHATAN _2018_1.pdf

Kitawaki, J., Kado, N., Ishihara, H.,

Koshiba, H., Kitaoka, Y., & Honjo,

H. (2002). Endometriosis: The

pathophysiology as an estrogen-

dependent disease. Journal of Steroid

(13)

Biochemistry and Molecular Biology,

83(1–5), 149–155.

https://doi.org/10.1016/S0960- 0760(02)00260-1

Lee, H. J., Park, Y. M., Jee, B. C., Kim, Y.

B., & Suh, C. S. (2015). Various anatomic locations of surgically proven endometriosis : A single-center experience.

58(1), 53–58.

https://doi.org/10.5468/ogs.2015.5 8.1.53

Levey, K. A. (2015). Avoiding “shotgun”

treatment: New thoughts on endometriosis- associated pelvic pain. 27(5), 40–45.

Dapat diakses dari:

https://www.mdedge.com/obgyn/a rticle/99007/surgery/avoiding- shotgun-treatment-new-thoughts- endometriosis-associated-pelvic Matalliotakis, M., Matalliotaki, C., Trivli,

A., Zervou, M., Kalogiannidis, I., Tzardi, M., Matalliotakis, I., Arici, A., & Goulielmos, G. (2019).

Keeping an Eye on Perimenopausal and Postmenopausal Endometriosis.

Diseases, 7(1), 29.

https://doi.org/10.3390/diseases70 10029

Mehedintu, C., Plotogea, M. N., Ionescu, S., & Antonovici, M. (2014).

Endometriosis still a challenge.

Journal of Medicine and Life, 7(3), 349–

357. Dapat diakses dari:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc /articles/PMC4233437/

Moen, M. H. (2017). Endometriosis, an everlasting challenge. Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica, 96(6), 783–786.

https://doi.org/10.1111/aogs.1314 8

Musyarrofah, A., & Primariawan, R. Y.

(2015). Penurunan Skala Nyeri Penderita Endometriosis Sebelum dan Sesudah Pembedahan Laparoskopi Konservatif dengan atau Tanpa Diikuti Terapi Medikamentosa di RSUD Dr.

Soetomo. Majalah Obstetri &

Ginekologi, 23(1), 10.

https://doi.org/10.20473/mog.v23i 1.2097

Nnoaham, K. E., Hummelshoj, L., Webster, P., D‟Hooghe, T., De Cicco Nardone, F., De Cicco Nardone, C., Jenkinson, C., Kennedy, S. H., & Zondervan, K. T.

(2011). Impact of endometriosis on quality of life and work productivity:

A multicenter study across ten countries. Fertility and Sterility, 96(2), 366-373.e8.

https://doi.org/10.1016/j.fertnstert.

2011.05.090

Prescott, J., Farland, L. V., Tobias, D. K.,

Gaskins, A. J., Spiegelman, D.,

(14)

Chavarro, J. E., Rich-Edwards, J.

W., Barbieri, R. L., & Missmer, S. A.

(2016). A prospective cohort study of endometriosis and subsequent risk of infertility. Human Reproduction,

31(7), 1475–1482.

https://doi.org/10.1093/humrep/d ew085

Rahman, F., P, P., Riyanti, E., & BM, S.

(2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pencarian Pelayanan Kesehatan (Health Seeking Behaviour) Pada Mahasiswi Prodi Keperawatan Yang Mengalami Keluhan Dismenore Di Universitas Diponegoro. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 5(3), 519–526. Dapat dikases dari:

https://ejournal3.undip.ac.id/index.

php/jkm/article/view/17283 Sachedina, A., & Todd, N. (2020).

Dysmenorrhea, endometriosis and chronic pelvic pain in adolescents.

JCRPE Journal of Clinical Research in Pediatric Endocrinology, 12(Suppl 1), 7–

17.

https://doi.org/10.4274/jcrpe.galen os.2019.2019.S0217

Sampson, J. A. (1927). Metastatic or Embolic Endometriosis, due to the Menstrual Dissemination of Endometrial Tissue into the Venous Circulation. The American Journal of

Pathology, 3(2), 93-110.43. Dapat

diakses dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/19969738%0Ahttp://www.pu bmedcentral.nih.gov/articlerender.fc gi?artid=PMC1931779

Setya, L. K., Wardhani, T., & Annas, J. Y.

(2017). Profil Pasien Endometriosis dengan Riwayat Dysmenorrhea di Poli Infertilitas-Endokrin RSUD Dr.

Soetomo Surabaya Periode Januari – Desember 2014. JUXTA: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Universitas Airlangga, 9(1), 42–48.

http://dx.doi.org/10.20473/juxta.V 9I12017.42-48

Simoens, S., Dunselman, G., Dirksen, C., Hummelshoj, L., Bokor, A., Brandes, I., Brodszky, V., Canis, M., Colombo, G. L., Deleire, T., Falcone, T., Graham, B., Halis, G., Horne, A., Kanj, O., Kjer, J. J., Kristensen, J., Lebovic, D., Mueller, M., … Dhooghe, T. (2012). The burden of endometriosis: Costs and quality of life of women with endometriosis and treated in referral centres. Human Reproduction, 27(5), 1292–1299.

https://doi.org/10.1093/humrep/d es073

Speroff, L., et al. (1999) „Menstrual

Disorders‟, Clinical gynecologic

(15)

endocrinology and infertility, 6th ed.

Baltimore: Lippincott Williams &

Wilkins Co,

Stratton, P., & Berkley, K. J. (2011).

Chronic pelvic pain and endometriosis: Translational evidence of the relationship and implications. Human Reproduction

Update, 17(3), 327–346.

https://doi.org/10.1093/humupd/

dmq050

Supriyadi, A., Haryadi, D., Sauqi, H., Hendarto, H., Situmorang, H., Suhartono, H., Wiyasa, W. A., &

Adenin, I. (2017). Konsensus Tatalaksana Nyeri Endometriosis.

Himpunan Endokrinologi Reproduksi Dan Fertilitas Indonesia (HIFERI).

Tokushige, N., Markham, R., Russell, P.,

& Fraser, I. S. (2006). Nerve fibres in peritoneal endometriosis. Human Reproduction, 21(11), 3001–3007.

https://doi.org/10.1093/humrep/d el260

Valson, H., Kulkarni, C., Teli, B., & T., N. (2016). Study of endometriosis in women of reproductive age, laparoscopic management and its outcome. International Journal of

Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology, 5(2), 514–519.

https://doi.org/10.18203/2320- 1770.ijrcog20160401

Weintraub, A. Y. (2016). The Significance of Diagnostic Delay in Endometriosis. Women’s Health, 2(1), 10–11.

https://doi.org/10.15406/mojwh.2 016.02.00018

Wu, I. B., Tendean, H. M. M., &

Mewengkang, M. E. (2017).

Gambaran Karakteristik Penderita Endometriosis di RSUP Prof. Dr. R.

D. Kandou Manado. E-CliniC, 5(2).

https://doi.org/10.35790/ecl.5.2.20

17.18568

Gambar

Tabel 1. Distribusi frekuensi usia dan jeda  diagnosis responden F  n=42  (%)  Usia terdiagnosis  (tahun)  20-29   30-39  40-49  Usia onset  dismenore (tahun)  &lt;20   20-29   30-39  40-49  Jeda (tahun)  &lt;5   5-10   11-15  16-20   &gt;20  17  18  7  25
Tabel  3.  Distribusi  frekuensi  durasi  dismenore  Durasi dismenore  F  (%)  ≤2 hari  &gt;2 hari  14 28  33,3 66,7  Total  42   100
Tabel  5.  Distribusi  frekuensi  deskripsi  nyeri dismenore

Referensi

Dokumen terkait

Kesehatan yang menderita penyakit kronis (khususnya penyakit Hipertensi dan DM tipe 2) untuk mencapai kualitas hidup yang

hiperresponsif dari saluran nafas sehingga menimbulkan gejala berupa batuk, sesak nafas, terasa berat di dada dan mengi yang episodik terutama malam dan pagi hari.. Gejala asma

Metode survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

Menurut Samsudin (2009: 33) menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode demonstrasi dalam pembelajaran menggambar geometri menjadi bentuk gambar, dapat meningkatkan

Berdasarkan hasil pengolahan data primer maka diperoleh keuntungan usaha ternak ayam pedaging di Desa Ujung Baru selama 1 tahun dari 6 peternak adalah sebesar Rp 183.416.835,00

Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah salah satu bentuk upaya Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat yang dikelola

Skripsi Alhadi hidayat, analisis pengaruh kecerdasan emosional, spiritual, dan budaya organisasi terhadap kinerja karyawan ,2015.. diiringi dengan pemahaman dan cinta serta

[r]