• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hasil Belajar Matematika

2.1.1 Pembelajaran Matematika di SD 2.1.1.1 Pengertian Belajar

Winkel dalam Eriyani (1997:193) mengemukakan belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.

Jihad (2010:14) belajar merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan tingkah laku yang relatif menetap. Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, biasanya guru sudah menetapkan tujuan belajar. Siswa yang berhasil dalam belajar adalah siswa yang mampu mencapai tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.

Slameto (2010:2) mengemukakan belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sejalan dengan pendapat Slameto, Bahri dan Aswan (2010:10) menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. James O. Whittaker dalam Djamarah (2011:12) misalnya merumuskan belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah malalui latihan atau pengalaman.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa belajar merupakan perubahan utuh, termasuk perubahan tingkah laku yang terbentuk karena pengalaman maupun ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.

Pengalaman tersebut diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya maupun melalui ilmu pengetahuan yang diperolehnya.

(2)

2.1.1.2 Pembelajaran Matematika di SD

Pembelajaran dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pendidikan Nasional yaitu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran menurut Dimiyati dan Mudjiono dalam Al-Habsy (2009) pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekan pada penyediaan sumber belajar. Slameto (2007:4) Pembelajaran adalah proses penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan melalui belajar, mengajar dan pengalaman.

”Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis, yang setiap komponennya sangat menentukan keberhasilan belajar siswa” Hamzah, (2008:81). Menurut Supriyono (2009:13) pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Surya dalam Isjoni (2011:72) pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik, dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses interaksi yang sudah diprogramkan oleh pendidik agar terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya supaya tejadi perubahan dalam diri peserta didik secara kompleks.

Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. 1) Matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan. 2) Matematika merupakan kreativitas yang memerlukan imajinasi,

(3)

intuisi, dan penemuan. 3) Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving). 4) Matematika sebagai alat berkomunikasi.

Mustafa dalam Tri Wijayanti (2011) menyebutkan bahwa matematika adalah ilmu tentang kuantitas, bentuk, susunan, dan ukuran, yang utama adalah metode dan proses untuk menemukan dengan konsep yang tepat dan lambang yang konsisten, sifat dan hubungan antara jumlah dan ukuran, baik secara abstrak, matematika murni atau dalam keterkaitan manfaat pada matematika terapan.

James dalam Suherman (2001:16) menyatakan bahwa: “Matematika adalah konsep ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep- konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terjadi ke dalam tiga bidang yaitu: aljabar, analisis, dan geometri”.

Berdasarkan uraian itu, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan lambang-lambang dan memiliki arti serta dapat digunakan dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan tiga bidang yaitu: aljabar, analisis, dan geometri”.

Menurut Muhsetyo (2008:1) pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari.

Pembelajaran matematika di sekolah tidak bisa terlepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak dan sifat perkembangan intelektual siswa. Karena itu perlu memperhatikan karakteristik pembelajaran matematika di sekolah, Suherman (2003:299) yaitu sebagai berikut:

1) Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap)

Materi pembelajaran diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkrit ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar.

2) Pembelajaran matematika mengikuti metoda spiral

Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan

(4)

dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara memperluas dan memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (Spiral melebar dan menaik).

3) Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif

Matematika adalah deduktif, matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun demikian harus dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam pembelajaran belum sepenuhnya menggunakan pendekatan deduktif tapi masih campur dengan induktif.

4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi

Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang terdahulu yang telah diterima kebenarannya.

Dari beberepa pendapat ini, disimpulkan bahwa pembelajran matematika di SD adalah suatu proses memberikan pengalaman kepada peserta didik yang sudah direncanakan oleh pendidik agar peserta didik memperoleh kompetensi dari materi yang telah dipelajari di masa SD secara berjenjang, diikuti dengan metode spiral, pola pikir deduktif, dan menganut kebenaran konsistensi.

2.1.1.3 Pengertian Hasil Belajar Matematika

Hasil belajar adalah kompetensi yang dimiliki siswa setelah ia mengalami proses mendapat pengalaman belajarnya. Menurut Slameto (2003:2) hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Dimyati dan Mudjiono (2006:3-4) menyebutkan hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pengajaran dari puncak proses belajar. Hasil belajar merupakan hal yang penting setelah pembelajaran berlangsung.

Menurut Hamalik (2004:155) menyatakan bahwa, hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa,

(5)

yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap kurang sopan menjadi sopan dan sebagainya.

Istilah hasil belajar yang terdiri dari dua kata, yaitu hasil dan belajar. Iistilah hasil dalam Kamus Ilmiah Populer Adi Satrio (2005:467) didefinisikan sebagai hasil yang telah dicapai. Selain itu hasil belajar menurut Evrieta hasil belajar matematika siswa merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika.

Sudjana (2011:50-55) Hasil belajar itu bersifat menyeluruh artinya bukan sekedar penguasaan pengetahuan dalam materi tetapi juga tampak pada perubahan sikap dan tingkah laku secara terpadu. Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu dari dalam diri siswa dan luar diri siswa.

Gagne dalam Supriyono (2011:5) menyatakan hasil belajar merupakan 1) informasi ferbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan respon secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak merupakan manipulasi simbol pemecahan masalah maupun penerapan aturan. 2) Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analisis-sintesis fakta- konsep dan mengembangkan prinsip serta mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Kemampuan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif yang bersifat khas. 3) strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah. 4) keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. 5) sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu. Sikap

(6)

berupa kemampuan menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.

Dari beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan hasil belajar matematika adalah dampak yang didapatkan siswa setelah melakukan belajar dan berinteraksi dengan lingkungan belajarnya yang mencakup kognitif yang diungkapkan dengan suatu hasil evaluasi berupa nilai. Afektif yang merupakan sikap siswa selama mengikuti proses pembelajaran dalam kelas. Psikomotor adalah kemampuan gerak jasmani yang ditunjukkan siswa selama pembelajaran.

Kemampuan ini lebih baik dari yang sebelumnya.

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Menurut Slameto (2010:54) faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu:

a. Faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu (intern), yang meliputi: (1) Faktor biologis, meliputi: kesehatan, gizi, pendengaran dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan mempengaruhi hasil prestasi belajar. (2) Faktor psikologis, meliputi: intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian ingatan berpikir. (3) Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan jasmani tampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta mengantuk. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu akan hilang.

b. Faktor yang ada pada luar individu yang disebut dengan faktor ekstern, yang meliputi: (1) Faktor keluarga, keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukran besar. (2) Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan kedisiplinan di sekolah. (3) Faktor masyarakat, meliputi: bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah

(7)

lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan terdorong untuk lebih giat belajar.

Menurut Muhibbin Syah (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan menjadi 3, yaitu:

a. Faktor internal (faktor-faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik), diantaranya: (1) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah), diantaranya kondisi kesehatan, daya pendengaran dan penglihatan, dan sebagainya.

(2) Aspek psikologis yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran peserta didik, diantaranya yaitu kondisi rohani peserta didik. Tingkat kecerdasan/intelegensi, sikap, bakat, minat, dan motivasi peserta didik.

b. Faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri peserta didik), antara lain: (1) Lingkungan sosial seperti guru, staff administrasi, dan teman- teman sekelas, masyarakat, tetangga, teman bermain, orang tua dan keluarga peserta didik itu sendiri. (2) lingkungan non sosial, seperti gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat keluarga peserta didik dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan peserta didik.

c. Faktor pendekatan belajar, dapat dipahami sebagai cara atau strategi yang digunakan peserta didik dalam menunjuang efektivitas belajar dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu.

Berdasarkan faktor-faktor yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor ekstern yang berpengaruh terhadap hasil belajar adalah metode guru dalam mengajar (metode pembelajaran) seperti yang telah dikemukakan oleh Slameto (2010). Ini perlu untuk diperhatikan oleh pengajar atau guru karena pemilihan metode pembelajaran akan menentukan hasil belajar siswa.

2.3 Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran yang saat ini diharapkan adalah metode pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan, yaitu

(8)

pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Slavin dalam Wina Sanjaya (2010:242) mengemukakan dua alasan mengenai pembelajaran kooperatif:

Pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial.

Menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.

Menurut Johnson dalam Isjoni (2010:15) pembelajaran kooperatif mengandung pengertian bekerjasama demi mencapai tujuan bersama. Stahl dalam Isjoni (2010:12) menyatakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan belajar siswa lebih baik dan meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku sosial. Johnson & Johnson dalam Isjoni (2010:17) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.

Dari beberapa pendapat para ahli tentang metode pembelajaran, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode pembelajaran yang diharapkan adalah metode yang mampu memberdayakan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran demi meningkatkan belajar siswa menjadi lebih baik dan meningkatkan sikap tolong menolong dalam kelompok.

2.4 Make A Match

2.4.1 Pengertian Make A Match

Metode Make A Match dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Metode ini mempunyai keunggulan, salah satunya dalam Lie (2008:55) adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Metode ini juga bisa diterapkan untuk semua mata pelajaran dan semua usia peserta didik. Hal yang harus diperhatikan bila

(9)

menggunakan Make A Match ini adalah kartu-kartu pembelajaran, kartu-kartu pembelajaran ini dapat berupa kartu soal/jawaban.

Metode pembelajaran Make A Match (mencari pasangan) ini dikembangkan oleh Lorna Curan 1994 dalam Lie (2002:55) beliau mengatakan,

“salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia anak didik. Model yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa”.

Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masing-masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi.

Dari beberapa pendapat ahli tentang Make A Match, dapat disimpulkan bahwa Make A Match adalah suatu metode pembelajaran yang mempunyai keunggulan bermain mencari pasangan sambil belajar tentang suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan sehingga siswa aktif dalam belajarnya dan dapat meningkatkan prestasi belajarnya.

2.4.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

Menurut Slavin dalam Isjoni (2011:24) menyebutkan pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, dimana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Dalam pembelajaran guru tidak lagi mendominasi proses belajar lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa lainnnya dan saling belajar mengajar satu sama lain.

(10)

Tujuan pokok belajar koperatif dimaksudkan untuk memaksimalkan belajar siswa guna meningkatkan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Dalam pelaksanaan metode ini, siswa bekerja dalam tim, maka dengan sendirinya memperbaiki hubungan antar siswa yang berbeda latar belakang dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses secara berkelompok dan memecahkan masalah.

2.4.3 Langkah-langkah Make A Match

Make A Match menurut Lorna Curran 1994 dalam Lie (2002:58) adalah salah satu permainan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban. 2) Setiap peseta didik mendapatkan satu kartu. 3) Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipengang. 4) Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal/jawaban). 5) Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu akan diberi poin. 6) Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya. 7) Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut diatas. 8) Kesimpulan/penutup.

Langkah-langkah make a match yang ditulis Endang Mulyatiningsih (2011:233):

a. Guru menyiapkan dua kotak kartu, satu kotak kartu soal dan satu kotak kartu jawaban. b. Setiap peserta didik mendapat satu buah kartu. c. Tiap peserta didik memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang. d. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartu nya (soal maupun jawaban). e. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu yang ditetapkan diberi poin. f. Setelah satu babak, kotak dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

Dari beberapa pendapat tokoh tentang langkah-langkah pembelajaran Make A Match, adapun langkah-langkah Make A Match yang digunakan sebagai berikut:

(11)

1) Guru menyiapkan beberapa kartu untuk sesi review, kartu berisi soal atau jawaban.

2) Masing-masing peserta didik mendapat satu kartu.

3) Peserta didik memikirkan jawaban dari kartu yang dipegangnya.

4) Tiap peserta didik mencari pasangan yang cocok dengan kartu yang dibawanya.

5) Setiap peserta didik yang mampu menemukan pasangannya sebelum waktu yang ditentukan habis akan diberi poin.

6) Kartu dikocok lagi agar siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

7) Kesimpulan/penutup.

2.4.4 Kelebihan dan Kelemahan Make a Match

Menurut Lie (2007: 56) kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif Make A Match dalam proses belajar mengajar, yaitu:

Kelebihan:

a. Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana belajar aktif dan menyenangkan.

b. Materi pembelajaran yang daisampaikan lebih menarik perhatian siswa.

c. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.

d. Pembelajaran kooperatif tipe Make A Match bisa digunakan dalam semua mata pelajaran.

e. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let the move).

f. Kerjasama antar siswa terwujud dengan dinamis.

g. Munculnya dinamika gotong-royong yang merata disemua siswa.

Kelemahan

Disamping kelebihan yang ada pada pembeljaran kooperatif tipe Make A Match, dalam penerapan di lapangan juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

a. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.

b. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak bermain-main dalam proses pembelajaran.

c. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadahi.

(12)

d. Kelas yang gemuk (lebih dari 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana yang muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Tentu saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas di kiri kanannya.

Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa sebelum “pertunjukan” dimulai. Pada dasarnya mengendalikan kelas itu tergantung bagaimana kita memotivasinya pada langkah pembukaan.

2.5 Konsep Teori Belajar Dienes

Zoltan P, Dienes memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dienes mengeluarkan teori yang bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang terbentuk menarik bagi anak yang mempelajari matematika.

Perkembangan konsep matematika menurut Dienes dalam Somaki (2007) dapat dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajar dari konkrit ke simbolik. Tahap belajar adalah interaksi yang direncanakan antara yang satu segemen struktur pengetahuan dan belajar aktif yang dilakukan melalui media matematika yang di desain khusus. Menurut Dienes, peran matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam permainan itu menunjukkan aturan secara konkrit dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa obyek-obyek konkrit dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik dengan konsep PAKEM. Menurut Dienes dalam Aisyah dkk (2008), konsep- konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu.

Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Permainan Bebas (Free Play)

Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak terstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan

(13)

pengetahuan anak muncul, anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.

2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)

Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola- pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi dengan melalui permainan diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu.

Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning).

3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)

Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.

Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan

(14)

permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).

4. Permainan Representasi (Representation)

Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu.

Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak. Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif.

5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.

6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)

Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.

Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Karso dalam Aisyah dkk (2008) menyatakan, pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman

(15)

konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika.

Menurut Dienes, sajian hendaknya bervariasi sehingga tampak berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi matematika dimaksudkan untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut.

Kelebihan teori belajar Dienes adalah:

1) Dengan menggunakan benda-benda konkret, siswa dapat lebih memahami konsep dengan benar.

2) Suasana belajar akan lebih hudup, menyenangkan, dan tidak membosankan.

3) Dominasi guru kurang dan siswa lebih aktif.

4) Konsep yang lebih dipahami dapat lebih mengakar karena siswa membuktikannya sendiri.

5) Dengan banyaknya contoh dengan melakukan permainan siswa dapat menerapkan kedalam situasi yang lain.

Teori belajar Dienes bermula dari teori piaget yang mengelompokkan manusia menjadi beberapa kelompok tahapan belajar menurut usia. Teori Piaget ini dikembangkan kembali oleh Dienes, namun Dienes lebih memusatkan perhatiannya terhadap anak-anak, sehingga menarik untuk anak- anak. Sesuai teori yang diungkapkan oleh Dienes, anak-anak akan lebih menyukai belajar matematika jika diajarkan menggunakan benda-benda nyata berbentuk permainan.

(16)

2.6 Teori Belajar Dienes Dalam Make A Match

Gagne dan Berline dalam M. Darsono (2000:14) menyatakan bahwa belajar merupakan proses dimana suatu organisme mengubah perilakunya karena hasil dari pengalaman. Morgan, dalam M. Darsono (2000:25) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan relatif permanen yang terjadi karena hasil dari praktek atau pengalaman. Slavin (dalam M. Darsono 2000:14) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman.

Pembelajaran Make A Match memang bisa untuk diterapkan di SD dalam mata pelajaran matematika. Metode ini juga dapat menumbuhkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah bersama kelompoknya.

Namun pembelajaran dengan metode Make A Match cenderung akan membuat siswa menjadi bingung dan susah dalam pembelajaran itu jika tidak mendesain pembelajaran dengan menarik bagi siswa. Hal ini dapat terjadi karena pembelajaran masih terasa kaku. Untuk lebih luwesnya, metode ini dapat dikembangkan supaya menyenangkan bagi siswa yang mempelajari matematika dan pembelajaran menjadi lebih optimal.

Metode pembelajaran Make A Match dapat dikembangkan dengan teori belajar Dienes yang menitikberatkan pembelajaran supaya menggunakan benda konkret sebagai medianya dan dikemas dalam bentuk permainan.

Benda konkret yang digunakan akan lebih mempermudah siswa dalam memahami materi pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget (Aisyah dkk, 2008) bahwa siswa di sekolah dasar (7-12 tahun) dalam tahap operasional konkret. Pada tahap ini siswa menggunakan pikirannya yang berorientasi pada benda-benda nyata atau peristiwa yang sudah diketahui oleh siswa, dan berpikirnya atas manipulasi fisik dari obyek. Maka tepat bila pembelajaran menggunakan metode Make A Match dikembangkan dengan teori belajar Dienes untuk lebih optimal dan menyenangkan bagi siswa.

Adapun sintaks pembelajaran Make A Match yang dikombinasikan dengan teori Dienes sebagai berikut,

(17)

1. Guru menyiapkan kartu pembelajaran untuk sesi review, kartu dapat berisi kartu soal atau jawaban.

2. Masing-masing siswa mendapat satu kartu.

3. Setiap siswa memikirkan jawaban dari kartu yang dipegangnya.

4. Setiap siswa mencari teman/pasangan dengan ketentuan cocok dengan kartu yang dipegangnya.

5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

6. Jika ada siswa yang tidak dapat mencocokkan kartu dengan temannya sampai batas waktu, maka akan diberi hukuman yang telah disepakati.

7. Siswa diminta mencatat hasil kerja nya pada selembar kertas.

8. Siswa diminta dalam catatannya untuk memerinci/mengelompokkan syarat yang sehatusnya.

9. Beberapa siswa diminta maju untuk mempresentasikan hasil kerjanya.

10. Siswa lainnya diminta untuk mencatat hasil kerja kelompok presentasi.

11. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

12. Kesimpulan.

2.7 Kerangka Pikir

Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika. Materi yang disampaikan oleh guru hanya berupa materi hafalan saja dengan guru melakukan ceramah di depan kelas, siswa hanya pasif mendengarkan dan menyalin dalam buku catatan. Ini disebabkan karena tuntutan kurikulum mementingkan untuk tercapainya target. Artinya semua bahan harus selesai diajarkan, bukan konsep-konsep matematika yang harus dipahami oleh siswa. Tuntutan kurikulum ini membuat adanya penghafalan konsep atau prosedur. Pemahaman terhadap konsep matematika menjadi rendah dan kemampuan matematika tidak dapat digunakan untuk masalah yang lebih kompleks yang melibatkan pemahaman dan berpikir tingkat tinggi. Rendahnya tingkat pemahaman siswa ini

(18)

membuat hasil belajarnya rendah dan kurang memuaskan. Salah satu metode yang digunakan untuk membantu siswa dalam pemahaman konsep adalah metode pembelajaran Make A Match yang dikombinasikan dengan teori Dienes. Make A Match mampu mengembangkan kecakapan siswa dalam memecahkan masalah, kerjasama tim, dan berkomunikasi. Ini akan berdampak pada hasil belajar yang bisa mengalami peningkatan dengan adanya partisipasi aktif siswa dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan sekaligus berkesan. Berikut ini bagan kerangka berpikir,

Bagan 2.1 Kerangkan Pikir

2.8 Penelitian yang Relevan

Reni Yuni Ayu (2011) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa hasil penelitian dan pembahasan matematika menunjukkan Make A Match berpengaruh positif terhadap prestasi belajar matematika kelas II SDN Wonorejo II Surabaya pada materi operasi hitung perkalian. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh T Hitung sebesar 3,7 dan T Tabel sebesar 2,73 pada taraf signifikansi 5%. Hal ini berarti ada perbedaan antara kelompok yang diberikan penerapan pembelajaran dengan menggunakan Make A Match

Pembelajaran berpusat pada guru

Hasil belajar siswa rendah

Metode pembelajaran Make A Match dikombinasikan dengan teori Dienes Hasil belajar

siswa meningkat

Siswa Pasif

Metode

Pembelajaran yang mengaktifkan siswa

(19)

meningkat daripada kelompok yang belum mendapatkan penerapan Make A Match, ditunjukkan dengan T Hitung > T Tabel. Berdasar hasil ini sehingga H0 ditolak dan ada perbedaan pembelajaran yang menggunakan Make A Match dengan pembelajaran yang tidak menggunakan Make A Match.

Biyono (2012) dengan judul Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Pada Siswa Kelas I SD Madugowongjati 02 Kecamatan Grinsing Kabupaten Batang Tahun Pelajaran 2011/2012. Dengan hasil analisa data menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas dari 60 pada pra siklus menjadi 88 pada siklus II. Jumlah siswa yang tuntas meningkat dari 8 siswa menjadi 18 siswa tuntas. Karena indikator keberhasilan penelitian ini adalah 85% siswa tuntas belajar maka penelitian dianggap berhasil.

Rijadi Slamet (2012) dengan judul Eksperimentasi Model Pembelajaran Konvensional Make A Match Dan Systematic Approach To Problem Solving Dalam Pembelajaran Matematika Ditinjau Dari Kreativitas Siswa Kelas XI SMA Negeri Di Kabupaten Banyumas.

Bedasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran dengan model Konvensional, Make a Match maupun Systematic Approach to Problem Solving menghasilkan prestasi belajar matematika yang sama pada materi limit fungsi aljabar, (2) prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai kreativitas tinggi sama dengan prestasi belajar siswa yang mempunyai kreativitas sedang maupun rendah, (3) pada masing-masing model pembelajaran, siswa dengan kreativitas tinggi, sedang maupun rendah mempunyai prestasi belajar yang sama dan (4) pada kategori siswa dengan kreativitas tinggi, siswa yang diberi pembelajaran menggunakan model Systematic Approach to Problem Solving mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dibanding siswa yang diberi pembelajaran menggunakan model Make a Match, sedangkan pada kategori siswa dengan kreativitas sedang maupun rendah siswa yang diberi pembelajaran menggunakan model Konvensional, Make a Match maupun Systematic Approach to Problem Solving mempunyai prestasi belajar yang sama.

(20)

2.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas maka hipotesis dirumuskan sebagai berikut: ada peningkatan hasil belajar matematika siswa yang diajar menggunakan metode pembelajaran Make A Match yang dikombinasikan dengan teori Dienes, pada siswa kelas V SDN Pakopen 02.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah merancang bahan ajar berbasis augmented reality menggunakan android sebagai sarana untuk pembelajaran bangun ruang bidang datar

Integrated Marketing Communications terdiri dari beberapa kriteria dan sub kriteria di dalamnya, dengan menggunakan metode Analytical Network Process penelitian ini ditujukan

variabel independen yaitu dana pihak ketiga (DPK), risiko kredit (NPL), risiko likuiditas (LDR) dan risiko kecukupan modal (CAR) berpengaruh signifikan terhadap variabel

32 Institut Teknologi Medan, Medan Teknik Elektro 33 Institut Teknologi Nasional Bandung, Bandung Teknik Elektro 34 Institut Teknologi Nasional Malang, Malang Teknik Elektro

Berdasarkan wawancara dan data yang diperoleh dari guru dan peserta didik pada mata pelajaran sejarah dapat disimpulkan bahwa dari materi yang telah dijelaskan

Salah satu yang menjadi kendala dalam perdagangan baik antara Indonesia dengan EU maupun dengan mitra dagang lainnya adalah buruknya infrastruktur di Indonesia. Infrastruktur

Pemanenan dilakukan disepanjang sungai Vriendschap oleh masyarakat lokal yang bekerjasama dengan pemburu telur dari masyarakat pendatang (non Lokal). Pada

Seterusnya, konsep daulat dan derhaka dalam sistem pemerintahan kesultanan Melayu Melaka penting kepada raja dan sultan kerana dengan adanya konsep