MEMBANGUN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS (REASONING MATHEMATICS ABILITY )
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Nurmanita1, Edy Surya2
1) Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Matematika Unimed 2) Dosen Program Pascasarjana Pendidikan Matematika Unimed
1)Email: [email protected] 2) Email: [email protected]
ABSTRAK
Kemampuan penalaran matematis merupakan aspek yang sangat penting yang perlu dimiliki oleh siswa yang ingin berhasil dalam belajarnya. Kemampuan penalaran juga merupakan pondasi dalam pembelajaran matematika. Bila kemampuan penalaran matematis siswa tidak dibangun, maka bagi siswa matematika hanya akan manjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.
Kata kunci : Penalaran matematis, pembelajaran matematika.
Pendahuluan
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, bernalar, dan bekerjasama secara efektif sehingga dapat berkembang maju di masa globalisasi ini. Dalam upaya mengantisipasi perkembangan yang semakin maju tersebut, pembelajaran matematika di kelas perlu direformasi, (Tandaliling, 2011).
Dalam pembelajaran matematika, terdapat beberapa kemampuan yang merupakan kemampuan matematis, baik itu kemampuan dalam hal konten materi ataupun dalam hal proses matematis, salah satu kemampuan matematis berdasarkan proses matematis adalah kemampuan penalaran.
Sampai saat ini peran guru dalam membangun kemampuan penalaran matematis siswa khususnya dalam pembelajaran matematika masih sangat terbatas. Tugas dan peran guru bukan lagi sebagai pemberi informasi (transfer of knowledge), tetapi sebagai pendorong siswa belajar (stimulation of learning) agar dapat mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatih melalui belajar materi matematika.
Pengertian Kemampuan Penalaran Matematis
Penalaran merupakan proses berpikir untuk menarik kesimpulan yang berdasarkan beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Menurut Shurter dan Pierce (Dahlan, 2011) istilah penalaran diterjemahkan dari reasoning yang didefinisikan sebagai proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Dengan demilian, penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru berdasarkan pada pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan sebelumnya dengan cara mengaitkan fakta-fakta yang ada.
Adapun ciri-ciri penalaran adalah sebagai berikut:
a. Adanya suatu pola berpikir yang disebut logika. Dalam hal ini dikatakan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis. Berpikir logis ini diartikan sebagai berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu.
b. Proses berpikirnya bersifat analisis. Penalaran merupakan suatu kegiatan yang mengandalkan diri pada suatu analisis, dalam rangka bepikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.
Selanjutnya, kemampuan penalaran matematis merupakan tahapan berpikir matematik tingkat tinggi yang mencakup kapasitas berpikir secara logik dan sistematik. Menurut Ball & Bass (Lithner, 2012)” Mathematical reasoning is no less than a basic skil” yang artinya "Penalaran matematika tidak kurang dari keterampilan dasar" dan menurut Umay (Gunhan, 2014)’’ Reasoning is a skill that is demonstrated during the advanced stages of thought yag diartikan dengan penalaran adalah keterampilan yang ditunjukkan selama tahap lanjutan dari pemikiran, dengan kata lain, selama proses penalaran matematis dan yang merupakan pemikiran matematika. Webster (Gunhan, 2014)’’ the ability to think coherently and logically and draw inferences or conclusions from facts known or assumed ’’ yang diartikan penalaran sebagai "kemampuan berpikir runtut dan logis dalam menarik kesimpulan atau kesimpulan dari fakta-fakta yang diketahui atau diasumsikan. Selanjutnya
Rizky (2017) menyatakan bahwa penalaran adalah tindakan atau proses berfikir untuk menyimpulkan sesuatu. Matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dari bernalar dan merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Penalaran atau kemampuan untuk berpikir melalui ide-ide yang logis merupakan dasar dari matematika. Dengan demikian, penalaran matematis adalah suatu aktivitas atau proses penarikan kesimpulan yang ditandai dengan adanya langkah-langkah proses berpikir.
Menurut Subanidro (2012) kemampuan penalaran matematik adalah kemampuan untuk menghubungkan antara ide-ide atau objek-objek matematika, membuat, menyelidiki dan mengevaluasi dugaan matematik, dan mengembangkan argumen-argumen dan bukti-bukti matematika untuk meyakinkan diri sendiri dan orang lain bahwa dugaan yang dikemukakan adalah benar. Senada dengan hal itu Hartati (2017) menyatakan bahwa kemampuan penalaran matematis merupakan salah satu bagian yang utama yang hendak dicapai dalam tujuan pembelajaran matematika.
Anjar dan Sembiring (dalam Mulia, 2014) seseorang dikatakan melakukan penalaran matematika jika dia dapat melakukan validasi, membuat konjektur, deduksi, justifikasi, dan eksplorasi.
a. Validasi yaitu menerapkan dan menguji suatu pernyataan pada kasus-kasus khusus tertentu.
b. Konjektur yaitu membuat dugaan yang berdasarkan penalaran logika ataupun fakta. c. Deduksi yaitu mencari dan membuktikan akibat-akibat yang diimplikasikan oleh
suatu pernyataan.
d. Justifikasi yaitu membuktikan suatu pernyataan dengan didasarkan pada definisi, teorema ataupun lemma yang sudah dibuktikan sebelumnya.
e. Eksplorasi yaitu mengutak atik segala kemungkinan.
Indikator kemampuan penalaran matematis yang dikemukakan oleh TIM PPPG Matematika (dalam Damayanti, 2012) adalah sebagai berikut:
a. Mengajukan dugaan
b. Melakukan manipulasi matematik
c. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi
d. Menarik kesimpulan dari pernyataan e. Memeriksa kesahihan suatu argument
f. Menentukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Secara garis besar penalaran terbagi menjadi dua, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. Dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.
Gambar a. Pendekatan Induktif VS Pendekatan Deduktif
1. Penalaran deduktif
Penalaran deduktif merupakan penarikan kesimpulan dari hal yang umum menuju hal yang khusus berdasarkan fakta-fakta yang ada. Menurut Sumarmo dan Hendriana (2014) penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak kedua-duanya bersama-sama. Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu
b) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi berdasarkan proporsi yang sesuai, berdasarkan peluang, korelasi antara dua variabel, menetapkan kombinasi beberapa variabel
c) Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika
d) Menyusun analisis dan sintesis beberapa kasus
Penalaran deduktif menjamin kesimpulan yang benar jika premis dari argumennya benar,dan argumennya valid (logis). Adapun jenis-jenis penalaran deduktif yaitu modus ponens, modus tollens, dan silogisme.
a. Modus Ponens
Modus ponens merupakan hubungan antara premis-premis. Premis pertama merupakan pernyataan kondisional yaitu menggunakan “Jika.... (merupakan anteseden), maka ...“(merupakan konsekuen). Premis kedua bukan pernyataan kondisional. Ada dua jenis penalaran modus ponens yaitu memperkuat anteseden dan memperkuat konsekuen. Yang dimaksud dengan memperkuat anteseden berarti bahwa bila premis kedua memperkuat anteseden yang benar pada premis pertama. Jenis penalaran ini menuju pada kesimpulan yang valid dan sah. Bentuk formalnya adalah :
Yang dimaksud dengan memperkuat konsekuen berarti bila premis kedua memperkuat konsekuen yang benar pada premis pertama. Jenis penalaran menuju pada kesimpulan yang tidak valid atau tidak sah. Adapun bentuk formalnya adalah:
b. Modus Tollens
Ada dua jenis penalaran modus tollens, yaitu menyangkal anteseden dan menyangkal konsekuen. Yang dimaksud menyangkal konsekuen berarti bahwa bila premis kedua menyangkal konsekuen yang salah (negasi) pada premis pertama. Jenis penalaran ini menghasilkan kesimpulan yang valid atau sah. Bentuk formalnya adalah:
Yang dimaksud menyangkal anteseden berarti bahwa bila premis kedua anteseden yang salah (negasi) pada premis pertama. Jenis penalaran ini menuju pada kesimpulan yang tidak valid atau tidak sah. Bentuk formalnya adalah
Ada dua faktor yang seringkali menimbulkan kesalahan dalam penalaran modus ponens atau modus tollens yang ditemukan dalam pembelajaran, yaitu : (1) karena keabstrakan permasalahan, dan (2) karena pernyataan memuat informasi yang negatif. Siswa akan lebih memahami secara akurat pada saat permasalahan menggunakan
p → q q maka q p → q q maka p p → q ~q maka ~p p → q ~p maka ~q
contoh–contoh konkrit. Apabila permasalahannya bukan contoh konkrit atau permasalahannya termasuk abstrak maka mereka akan lebih sulit.
c. Silogisme
Penalaran silogisme adalah bentuk pemikiran yang kesimpulannya muncul secara signifikan setelah ada pemyataan-pernyataan yang diturunkan secara mutlak. Silogisme terdiri dari dua premis atau dua pernyataan yang harus diasumsikan benar dan ditambah dengan suatu kesimpulan. Silogisme hipotetik, kedua premisnya merupakan proposisi kondisional. Silogisme dalam bentuk umum adalah.
Silogisme bisa dinyatakan dengan kata-kata semua, beberapa, tidak satupun atau istilah-istilah lain yang sejenis.
Silogisme sebagai prosedur penalaran menurunkan konklusi yang benar atas dasar premis-premis yang benar. Argumen yang valid dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, argumen yang tidak valid dapat pula secara sepintas masuk akal akan tetapi ada juga argumen yang valid menghasilkan kesimpulan yang tak benar. Kesalahan umum dalam penalaran silogisme yaitu siswa membuat konversi gelap, dan dipengaruhi oleh keyakinan yang bias. Keyakinan efek bias dalam penalaran silogisme terjadi ketika siswa membuat pertimbangan didasarkan prioritas keyakinan, dari pada aturan logis.
2. Penalaran induktif
Penalaran induktif merupakan suatu proses berpikir dengan mengambil suatu kesimpulan yang bersifat umum atau membuat suatu pernyataan baru dari kasus-kasus yang khusus. Sumarmo dan Hendriana (2014) mengemukakan beberapa kegiatan yang tergolong penalaran induktif yaitu sebagai berikut
1. Transduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada kasus yang khusus lainnya
2. Analogi yaitu penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses 3. Generalisasi yaitu penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang
teramati.
4. Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan, interpolasi, dan ekstrapolasi. 5. Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada. 6. Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi dan menyusun konjektur
Penalaran induktif terdiri dari tiga jenis, yaitu generalisasi, analogi, dan sebab– akibat. Penalaran induktif yang penulis kaji dalam penelitian ini adalah generalisasi, analogi dan kausal.
a. Generalisasi
Penalaran ini meliputi pengamatan terhadap contoh-contoh khusus dan menemukan pola atau aturan yang melandasinya.
b. Analogi
Analogi adalah membandingkan dua hal (situasi atau kondisi) yang berlainan berdasarkan keserupaannya, kemudian menarik kesimpulan atas dasar keserupaan tersebut. Ada dua analogi, yaitu analogi induktif dan analogi deklaratif atau analogi penjelas. Analogi induktif adalah analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsipil yang berbeda antara dua fenomena. Sedangkan analogi deklaratif atau analogi penjelas merupakan suatu metode untuk menjelaskan belum dikenal atau masih samar, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal.
c. Kausal
Hubungan sebab akibat dimulai dari beberapa fakta yang kita ketahui. Dengan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain, dapatlah kita sampai kepada kesimpulan yang menjadi sebab dari fakta itu atau dapat juga kita sampai kepada akibat fakta itu.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah diuraikan diatas, maka kemampuan penalaran matematis adalah satu kegiatan berpikir manusia untuk menarik kesimpulan yang sah, yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Dalam penelitian ini, kemampuan penalaran matematis yang akan diteliti meliputi lima kemampuan. Kelima kemampuan tersebut adalah:
a. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematis; b. Menarik kesimpulan secara generalisasi
c. Menarik kesimpulan secara silogisme d. Memperkirakan jawaban dan proses solusi. e. Menarik kesimpulan logis
Contoh Soal
….. ……
1. Perhatikan gambar diatas! Tentukanlah berapa jumlah bola yang dibutuhkan dalam pola ke 5 agar membentuk segitga sama sisi?
Jawaban: Pola Gambar Pola 1 Pola 2 Pola 3 Pola 4 Pola 5
jumlah bola yang dibutuhkan dalam pola ke 5 agar membentuk segitga sama sisi adalah 21 bola.
2. Perhatikan gambar dibawah ini ! Satu segitiga membutuhkan 3 titik sudut agar membentuk segitiga sama sisi. Kesimpulan apa yang kamu peroleh pada titik sudut dalam pola ke 5?
3. Perhatikan gambar diawah ini ! tentunkanlah luas daerah segitiga tersebu Jawaban
Pola 1 ====== 3 titik sudut Pola 2 ====== 6 titik sudut Pola 3 ====== 10 titik sudut Pola 4 ====== 15 titik sudut Pola 5 ====== 21 titik sudut
3. Perhatikan segitiga –segitiga dibawah ini! Jika luas daerah yang diarsir pada gambar pertama adalah ¾ bagian, pada gambar kedua 3/5 bagian. Maka pada gambar ketiga adalah ……
Jawaban: 1=1 ( Terbukti)
Jika luas daerah yang diarsir pada gambar pertama adalah ¾ bagian, pada gambar kedua 3/5 bagian. Maka pada gambar ketiga diperoleh dengan:
Andaikan a = 2/5, c = ¼ b =….? Jika a + b + c = 1 Maka; 2 5+ b + 1 4 = 1 2 5+ 1 4+ b = 1 8 20+ 5 20+ b = 1 13 20+ b = 1 1 −13 20= b 20 20− 13 20= b 7 20= b
Maka pada gambar yang ketiga luas daerah yang diarsir adalah 7
20 Bukti : 8 20+ 5 20+ 7 20= 1 20 20= 1
4. Tentukan luas daerah segitiga berikut:
Jawab:
Maka luas daerah segitiga adalah = 1
2x10x4 = 40
2 = 20 satuan luas
Penalaran Matematis: Aspek Penting Yang Perlu Perhatian
Pentingnya kemampuan penalaran matematis bagi siswa tercantum dalam tujuan pembelajaran matematika di sekolah, yaitu melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, serta mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan, gambar, grafik, peta, diagram, dan sebagainya (Depdiknas, 2006).
Kemampuan penalaran matematis membantu siswa dalam menyimpulkan dan membuktikan suatu pernyataan, membangun gagasan baru, sampai pada menyelesaikan masalah-masalah dalam matematika. Oleh karena itu, kemampuan penalaran matematis harus selalu dibiasakan dan dikembangkan dalam setiap pembelajaran matematika. Pembiasaan tersebut harus dimulai dari kekonsistenan guru dalam mengajar terutama dalam pemberian soal-soal yang non rutin. Turmudi (Sumartini, 2015) menyatakan bahwa
Segitiga I Alas : 5 satuan Tinggi: 6 satuan
Maka luas daerah segitiga adalah = 1
2x6x5 = 30 2 = 15 satuan luas Segitiga II Alas: 10 satuan Tinggi: 4 satuan
penalaran matematis merupakan suatu kebiasaan otak seperti halnya kebiasaan yang lain yang harus dikembangkan secara konsisten dengan menggunakan berbagai macam konteks Selain itu, dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000), tercantum bahwa melalui pembelajaran matematika terdapat 5 keterampilan proses yang perlu dimiliki siswa yaitu: (1) Pemecahan masalah (problem solving); (2) Penalaran dan pembuktian (reasoning and proof); (3) Komunikasi (communication); (4) Koneksi (connection); dan (5) Representasi (representation). Keterampilan-keterampilan tersebut merupakan keterampilan berpikir matematika tingkat tinggi (high order mathematical thinking) yang penting untuk dikembangkan oleh siswa dalam proses pembelajaran matematika.
Peran Guru Dalam Membangun Penalaran Matematis Siswa di Kelas
Penelitian yang dilakukan Shimizu (2000) dan Yamada (2000) mengungkapkan bahwa guru memiliki peranan yang sangat sentral dalam proses pembelajaran melalui pengungkapan, pemberian dorongan, serta pengembangan proses berpikir siswa. Pengalaman Shimizu (2000) menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan guru selama kegiatan pembelajaran secara efektif dapat menggiring proses berpikir siswa kearah penyelesaian yang benar.
Dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis, guru dituntut agar memilih suatu model pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam pengalaman belajarnya, baik dalam membangun konsep, mengemukakan ide atau gagasan mereka. Selain itu, agar kemampuan penalaran matemais siswa berkembang secara optimal, siswa harus memiliki kesempatan yang sangat terbuka untuk berpikir dan beraktifitas dalam memecahkan berbagai permasalahan. Dengan demikian pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada siswa dalam menyelesaikan permasalahn dapat menumbuhkembangkan kemampuan penalaran matematis siswa secara optimal.
Kesimpulan
Uraian di atas, penulis memberikan gambaran bahwa penalaran matematis merupakan salah satu jantung dalam pembelajaran, sehingga perlu menumbuhkembangkan dalam aktivitas pembelajaran matematika. Penalaran matematis adalah suatu aktivitas atau proses penarikan kesimpulan yang ditandai dengan adanya langkah-langkah proses berpikir. Dengan demikian kemampuan penalaran matematis adalah
Dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis, guru dituntut agar memilih suatu model pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam pengalaman belajarnya, baik dalam membangun konsep, mengemukakan ide atau gagasan mereka. Selain itu, agar kemampuan penalaran matemais siswa berkembang secara optimal, siswa harus memiliki kesempatan yang sangat terbuka untuk berpikir dan beraktifitas dalam memecahkan berbagai permasalahan. Dengan demikian pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada siswa dalam menyelesaikan permasalahn dapat menumbuhkembangkan kemampuan penalaran matematis siswa secara optimal.
Daftar Pustaka
Dahlan, J. A. 2011. Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka.
Damayanti, R. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Berbalik ( Reciprocal Teaching) Terhadap Kemampuan Penalaran Matematika SMP. Bandung: unpas.ac.id
Depdiknas. 2006. Permendiknas No. 22 tahun 2006. Jakarta : Depdiknas.
Hartati, M., dan Surya E. 2017. Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Matematis Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD pada SMK di Pangkalan Brandan.digilib. unimed.ac.id
Lithner. J. 2012. Mathematical Reasoning In Teacher’s Presentasions. The Jurnal of Mathematical Behavior : JAI. Hal. 252-269.
NCTM [National Council of Teachers of Mathematics]. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia : NCTM.
Mulia, O.S. 2014. Meningkatkan Penalaran Adaftif Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pendekatan Pendekatan Matematika Realistik (PMR). Bandung: unpas.ac.id
Rizqy, N.R., dan Surya, E. 2017. An Analysis Of Students’ Mathematical Reasoning Ability In VIII Grade Of Sabilina Tembung Junior High School. IJARIIE. Vol-3 Issue. Shimizu, N. 2000. "An Analysis of 'Make an Organized List' Strategy in Problem Solving
Process". In T. Nakahara & M. Koyama (Eds). Proceedings of the 2lh Conference of The International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 4 (PP. 145-152). Hiroshima: Hiroshima University.
Subanidro. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Trigonometri Berorientasikan Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematika.
Sumarmo, U. 2012. Kumpulan Makalah : Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumartini, T.S. 2015. Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Pendidikan Matematika. Vol. 5 No.1. Tandaliling. 2011. Peningkatan Pemahaman dan Komunikasi Matematis serta
Kemandirian Belajar Siswa SMA Melalui Strategi PQ4R dan Bacaan Refutation Text. Bandung: Respositoty.upi.edu.
Yamada, A. 2000. "Two Paterus of Problem Solving Process from a Representational Perspective". In T. Nakahara & M. Koyama (Eds.) Proceedings ofthe 24th Conference ofThe International Group.