5 2.1 Mycobacterium tuberculosis
2.1.1. Klasifikasi Mycobacterium tuberculosis
Menurut Girsang, (2012) klasifikasi Myccobacterium tuberkulosis:
Divisio : Mycobacteria Class : Actinomycetes Ordo : Actinomycetales Family : Mycobacteriaceae Genus : Mycobacterium
Spesies: Mycobacterium tuberculosis
2.1.2. Morfologi Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis adalah asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester (Girsang, 2012).
Sumber : www.micrbiologyinpictures.com Gambar 2.1 Micobacterium tuberculosis
Menggunakan Mikroskop Elektron
2.1.3. Patogenitas dan Virulensi Mycobacterium tuberculosis
Kuman ini tidak membuat toksin, namun keanekaragaman komponen dari kuman ini memiliki keaktifan biologis yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi patogenesis, alergi, dan kekebalan pada penyakit ini. Virulensi tergantung pada dua senyawa di selubung sel M. tubercolosis yang berminyak.
Faktor genjel (cord factor, trehalosa mikrolet) menghambat respirasi mitokondria.
Sulfolipid/sulfatida menghambat fusi fagosom-lisosom, sehingga M. tubercolosis dapat bertahan hidup dalam sel (Sukraningsih, 2018).
Saat bakteri M. tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri tuberkulosis ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri tuberkulosis akan menjadi dormant (istirahat) Bentuk- bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen (Kaihena, 2013).
2.2. Tuberkulosis
2.2.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis berasal dari kata tuberkel. Tuberkel berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri penyebab tuberkulosis dalam paru-paru. Jadi tuberkulosis adalah suatu sistem kekebalan tubuh dalam paru-paru yang telah terinfeksi oleh M.
tuberculosis yang menyebabkan penyakit yang disebut dengan tuberkulosis (Sandina, 2011).
Penyakit tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang terjadi pada saluran pernafasan manusia yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri penyebab TBC ini merupakan jenis basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengobati penyakit TBC ini. Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang menyebabkan masalah kesehatan terbesar kedua di dunia setelah HIV (Poeloengan, dkk., 2014).
2.2.2. Penyebab Tuberkulosis
Tuberkulosis disebabkan oleh M. tuberculosis yang ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882. M. tuberculosis adalah patogen manusia yang intrasel fakultatif dan menyebabkan tuberkulosis. M. tuberculosis adalah masalah utama diantara kaum miskin dan pengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang tinggal di lingkungan urban padat, karena meningkatnya kemungkinan penyebaran melalui pernapasan dan adanya pasien-pasien yang tidak diobati.
Karena menyebar melalui pernapasan, maka mudah sekali bakteri M. tuberculosis berpindah kepada orang lain. Hanya melalui hembusan nafas atau batuk saja bakteri ini dapat dengan mudah berpindah. (Poeloengan, dkk., 2014).
M. tuberculosis berbentuk batang dan bersifat tahan asam, sehingga dikenal juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Sandina, 2011). M. tuberculosis (basil tuberkel) merupakan bakteri batang lurus dengan ukuran sekitar 0,4-3 µm (Gambar 2.1). Pada media buatan, bentuk kokoid dan filamentous tampak
bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Basil ini tidak bergerak dan tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul dan apabila diwarnai sering nampak bermanik atau berbutir-butir. Satu karakteristik basil tuberkel yang menonjol adalah penampilannya yang berlilin. Zat lilin ini berperan dalam terbentuknya fase atau formasi granuloma/bintil/nodul yang terlihat pada hasil foto rontgen paru-paru penderita TBC (Gambar 2.2) (Kaihena, 2013).
Sumber : www.learningradiology.com Gambar 2.2 Foto rontgen dada penderita TBC
M. tuberculosis bisa mati jika terkena cahaya matahari langsung selama 2 jam. Karena kuman ini tidak tahan terhadap sinar ultra violet. Bakteri M.
tuberculosis mudah menular, mempunyai daya tahan tinggi dan mampu bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Oleh karena itu, dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun. Basil yang ada dalam percikan dahak dapat bertahan hidup 8-10 hari (Anggraini, 2011).
Salah satu faktor yang menyebabkan jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia masih tinggi adalah karena banyak penderita tuberkulosis tidak melanjutkan
pengobatan sampai benar-benar dinyatakan sembuh oleh dokter. Apalagi setelah 2 bulan menjalani pengobatan, kondisi pasien tampak sudah sehat seperti biasanya, dan pasien tidak lagi merasakan gejala tuberkulosis. Mereka merasa percaya diri untuk meninggalkan pengobatan, padahal pengobatan tuberkulosis yang tidak tuntas, akan menyebabkan penyakit tuberkulosis kambuh kembali. Selain itu, kuman bisa menyebar ke orang-orang di sekitar, sehingga berpotensi menambah jumlah penderita (Nawas, 2010).
2.2.3. Klasifikasi Tuberkulosis
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga diklasifikasikan menurut:
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
1) Tuberkulosis paru : Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru: Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
secara bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes, 2016),
2.2.4. Gejala Tuberkulosis
Gejala penyakit tuberkulosis utamanya berupa batuk berdahak yang berlangsung selama lebih dari dua minggu, nyeri dada, sesak nafas disertai gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam, dan anoreksia). Batuk juga terkadang dapat mengeluarkan darah. Selain mengalami batuk, pengidap tuberkulosis biasanya juga akan kehilangan nafsu makan sehingga mengalami penurunan berat badan dan kelelahan. Bakteri tuberkulosis ketika masuk ke dalam tubuh manusia bersifat tidak aktif untuk beberapa waktu sebelum kemudian menyebabkan gejala- gejala tuberkulosis. Pada kasus ini kondisi tersebut dikenal dengan tuberkulosis laten. Akan tetapi, tuberkulosis yang langsung memicu gejala dikenal dengan istilah Tuberkulosis aktif. Menurut World Health Organization (WHO) dalam laporan Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita tuberkulosis terbanyak ke lima di dunia setelah negara India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (Saptawati, dkk., 2012).
2.2.5. Cara Penularan Tuberkulosis
Penyakit TBC dapat ditularkan dari pasien tuberkulosis yang mempunyai BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam percikan sputum (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan 3000
percikan sputum. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan sputum berada pada waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman (Sugianto, 2015).
Bakteri ini masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul serta berkembang menjadi banyak. Bakteri ini dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan infeksi pada organ tubuh lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya (Sandina, 2011).
Saat mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, dengan segera koloni bakteri yang berbentuk globular atau bulat dan akan bertumbuh.
dengan serangkaian imiunologis, pertumbuhan bakteri TBC bisa dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri oleh sel-sel paru (Buntuan, 2014).
Mekanisme pembentukan dinding membuat jaringan di sekitarnya menjadi parut, sehingga bakteri TBC akan menjadi dorman (istirahat). Bentuk dorman ini yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen (Sandina, 2011).
Pada sebagian penderita dengan sistem imun yang baik, bakteri akan tetap dorman sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan berkembang biak, sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang
yang telah memproduksikan sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebihan dan positif terinfeksi TBC (Sandina, 2011).
2.2.6. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis
Penyakit tuberkulosis dapat dicegah dengan memutuskan rantai penularan yaitu dengan mengobati penderita TBC sampai benar-benar sembuh serta dengan melaksanakan pola hidup bersih dan sehat, sedangkan untuk penyembuhan dengan jalan minum obat yang diberikan secara teratur, sampai dinyatakan sembuh (Sukraningsih, 2018).
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian tuberkulosis mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan secara nasional di seluruh Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes) terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy (DOTS) adalah strategi pengobatan pasien tuberkulosis dengan menggunakan paduan obat jangka pendek dan diawasi langsung oleh seorang pengawas yang dikenal sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan tuberkulosis dengan strategi DOTS ini merupakan satu-satunya pengobatan tuberkulosis yang saat ini direkomendasikan oleh oraganisasi kesehatan sedunia (WHO) karena terbukti paling efektif (Kemenkes, 2012).
Obat tuberkulosis harus diminum secara teratur sampai penderita dinyatakan sembuh. Lama pengobatan berkisar 6 sampai dengan 8 bulan. Jika tidak teratur minum obat akan menimbulkan beberapa akibat, seperti : penyakit akan lebih sukar diobati, kuman tuberkulosis dalam tubuh akan berkembang semakin banyak
dan menyerang organ tubuh lain, dibutuhkan waktu lebih lama untuk dapat sembuh, dan biaya pengobatan akan sangat besar (Sukraningsih, 2018).
Pencegahan terhadap kemungkinan terjangkitnya penyakit ini merupakan langkah yang paling efektif dan efisien. Adapun yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan, sebagai berikut:
1) Konsumsi makanan bergizi
Makanan yang mengandung protein tinggi akan memberikan asupan gizi lebih banyak dan akan mempengaruhi daya tahan tubuh meningkat, produksi leukosit pun tidak akan mengalami gangguan, sehingga daya tahan tubuh siap melawan bakteri tuberkulosis yang kemungkinan terhirup. Selain itu, konsumsi makanan bergizi juga menghindarkan terjadinya komplikasi berat akibat tuberkulosis (Intiyati, dkk., 2012).
2) Vaksinasi
Pemberian vaksinasi BCG (Bacille Calmette Guerin) yang benar dan di usia yang tepat, sel-sel darah putih menjadi cukup matang dan memiliki kemampuan melawan bakteri tuberkulosis. Meski begitu, vaksinasi ini tidak menjamin penderita bebas sama sekali dari penyakit tuberkulosis, khususnya tuberkulosis paru. Hanya saja kuman tuberkulosis yang masuk ke paru-paru tidak akan berkembang dan menimbulkan komplikasi. Bakteri juga tidak bisa menembus aliran darah dan komplikasi pun bisa dihindarkan, dengan kata lain, karena sudah divaksin BCG, anak hanya menderita tuberkulosis ringan.
(Poeloengan, dkk., 2014).
3) Lingkungan
Lingkungan yang kumuh dan padat akan membuat penularan tuberkulosis berlangsung cepat, untuk itulah mengapa lingkungan yang sehat dan kebersihan makanan dan minuman sangat perlu untuk dijaga, diantaranya yaitu: tidak meludah di sembarang tempat, menggunakan tempat yang tertutup untuk menampung dahak, tidak membuang dahak di sembarang tempat, dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (tidak merokok, menjemur kasur dan tikar secara teratur, ventilasi udara serta sinar matahari yang baik, dan sebagainya (Musadad, 2010).
2.2.7. Penatalaksanaan Tuberkulosis
Penatalaksanaan tuberkulosis melalui beberapa tahapan seperti yang teracantum di bawah ini :
1) Penemuan Kasus Tuberkulosis
Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek tuberkulosis, pemeriksaan fisik, laboratoris, pemeriksaan foto rontgen, mantok tes yang dilakukan di rumah sakit untuk menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit tuberkulosis, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. (Kemenkes, 2011).
Diagnosis tuberkulosis resisten obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan bakteri M. tuberculosis baik secara metode konvensional maupun rapid test
atau metode cepat dan semua metode mempunyai keunggulan dan kelemahan (Kemenkes, 2012).
2) Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan dahak di laboratorium klinik dapat dilakukan untuk mengetahui secara pasti seseorang menderita penyakit tuberkulosis atau tidak.
Pemeriksaan ini harus dilakukan sebanyak 3 kali selama 2 hari. Jika hasilnya positif ada kuman berarti orang tersebut menderita penyakit tuberkulosis.
Pemeriksaan tuberkulosis dapat dilakukan dengan cara : a. Pemeriksaan Sputum Mikroskopis
Sputum adalah bahan yang disekresi dalam traktus trakheo bronchial yang dikeluarkan dengan cara membatukkan. Walaupun kelenjar submukosa dan sel sekretorik lapisan mukosa dalam keadaan normal dapat mensekresi cairan viskoelastis sampai 100 ml per hari, orang sehat biasanya tidak memproduksi sputum. Pada infeksi bakterial volume sputum meningkat, pH menjadi lebih asam dan susunan kimia berubah.
pH asam hingga kurang dari 6,5 mempengaruhi viskositas sputum sehingga viskositas bertambah, dan mengurangi aliran sputum yang normal dan jumlah lekositnya meningkat (Kemenkes, 2012).
Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan sputum untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen sputum yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Pengambilan 3 spesimen sputum masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen sputum mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium (Kemekes, 2011).
Pemeriksaan mikroskopis sputum diawali dengan pembuatan sediaan pada obyek glass yang diberi label. Selanjutnya ose dipanaskan di atas api spirtus sampai merah dan didinginkan. Kemudian sputum disiapkan secara hati-hati, dan hindari droplet atau percikan sputum, diambil sedikit dari bagian yang kental dan berwarna kuning kehijauan (purulen) menggunakan ose. Setelah itu, sputum dioleskan secara merata pada objek glass (dengan ukuran 2×3 cm). Ose yang telah digunakan dimasukkan ke dalam alkohol sambil digoyang-goyangkan sampai sisa- sisa sputum bersih, kemudian dibakar. Sediaan yang telah dibuat dikeringkan di udara terbuka sekitar 15-30 detik, jangan sampai terkena matahari langsung. Terakhir, sediaan diambil dengan pinset dan difiksasi selama 3-5 menit (Sukraningsih, 2018).
Pembacaan sediaan sputum menggunakan mikroskop dengan lensa obyektif 10x untuk menentukan fokus, kemudian pada lensa objektif 100x dilakukan pembacaan di sepanjang garis horisontal terpanjang dari ujung kiri ke ujung kanan atau sebaliknya. BTA akan tampak sebagai kuman berwarna merah baik sendiri maupun bergerombol. Pelaporan hasil pemeriksaan mikroskopis dengan mengacu kepada skala Union Against Tuberculosis and Lung Diseases (IUATLD) memiliki 5 kriteria
yang terdiri dari : pertama adalah negatif, yaitu tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang; kedua adalah scanty, yaitu ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang; ketiga adalah 1+, yaitu ditemukan 10- 99 BTA dalam 100 lapang pandang; keempat adalah 2+, yaitu ditemukan 1-10 BTA setiap 1 lapang pandang (pemeriksaan minimal 50 lapang pandang), dan kelima adalah 3+, yaitu ditemukan lebih dari atau sama dengan 10 BTA dalam 1 lapang pandang (pemeriksaan minimal 20 lapang pandang) (Depkes, 2011).
b. Pemeriksaan biakan
Peran biakan dan identifikasi bakteri M. tuberculosis pada pengendalian tuberkulosis adalah untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis pada pasien tertentu, yaitu pasien TB Ekstra Paru, pasien TB Anak, dan pasien TB BTA Negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar (Depkes, 2011). Pemeriksaan biakan salah satunya dengan metode konvensional.
c. Tes Cepat Molekuler GeneXpert MTB/RIF
GeneXpert MTB/RIF adalah suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus tuberkulosis dan resistensi rifampisin. Alat ini cocok untuk negara endemis dan dapat dilakukan walaupun sampel sputum hanya 1 ml (Ibrahim dan Hakeem, 2013). GeneXpert MTB/RIF dirancang menggunakan sistem tertutup dengan tujuan untuk
mengurangi atau mengeliminasi resiko kontaminasi amplikon. Sekali tertutup, catridge tidak boleh dibuka kembali. Oleh karenanya tidak dianjurkan untuk membuka catridge jika belum siap untuk memulai pemeriksaan dengan GeneXpert MTB/RIF (Susanty, dkk., 2015).
3) Waktu pemeriksaan SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu )
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek tuberkulosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), yang terdiri dari tiga tahapan: S (sewaktu) yaitu dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali kemudian pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua; P (Pagi) yaitu dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua secara segera setelah bangun tidur, kemudian pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK; dan S (sewaktu) yaitu dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Asimov, dkk., 2009).
Sewaktu (Hari I): dahak diperiksa di laboratorium sewaktu penderita datang dengan gejala penyakit tuberkulosis. Sewaktu (Hari II): sehabis bangun tidur keesokan harinya, keluarkan dahak, tampung dalam pot (wadah) yang diberi petugas, tutup rapat, bawa ke rumah sakit atau puskesmas. Sewaktu (hari ke III) pada saat suspek datang ke puskesmas atau rumah sakit (Asimov, dkk., 2009).
2.2.8. Pemeriksaan Mikroskopis Ziehl Neelsen
Ziehl Neelsen adalah reagen yang digunakan dalam pemeriksaan mikroskopis bakteri tahan asam dari jenis Mikobakterium. Pewarnaan Ziehl Neelson atau pewarnaan tahan asam untuk memilahkan antara kelompok bakteri tahan asam dan bakteri yang tidak tahan asam. Kelompok bakteri tahan asam dapat mempertahankan zat warna pertama (carbol fuchsin) sewaktu dicuci dengan larutan alkohol asam. Larutan asam terlihat berwarna merah, sebaliknya pada bakteri yang tidak tahan asam karena larutan pemucat akan melakukan fuksin karbol dengan cepat, sehingga sel bakteri tidak berwarna. Setelah penambahan cat warna kedua bakteri tidak tahan asam berwarna biru (Saptawati, dkk., 2012).
1) Standar Reagen Ziehl-Neelsen
Pewarnaan pada sputum di laboratorium akan mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopis yang bermutu, beberapa factor yang mempengaruhi antara lain sumber daya manusia, peralatan terutama mikroskop, serta reagensia larutan perwanaan Ziehl-Neelsen (ZN). Reagen ZN saat ini banyak yang beredar dengan kualitas bervariasi, terlebih lagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah menyebabkan kabupaten/kota dan propinsi mempunyai wewenang untuk melakukan pengadaan reagen sendiri.
Standarisasi reagen ZN perlu dilakukan agar hasil pemeriksaan mikroskopis tuberkulosis di semua unit pelayanan kesehatan terjamin mutunya (Kemenkes, 2012).
Standar Reagen Ziehl-Neelsen meliputi : kompetensi pembuat (tenaga teknis/ahli/supervisor, fasilitas laboratorium), komposisi bahan baku, kadar bahan, langkah-langkah pembuatan, pengemasan, cara uji mutu. Penegakan diagnosis melalui pemeriksaan mikroskopis tuberkulosis merupakan kunci utama untuk menentukan awal pengobatan. Pemeriksaan mikroskopis tuberkulosis dengan menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen telah disepakati secara global yang berguna untuk standarisasi mutu dan pemantauan kualitas pemeriksaan mikroskopis tuberkulosis sehingga hasil dari satu negara akan sama dan dapat dibandingkan dengan pemeriksaan di negara lain (Kemenkes, 2012).
2.2.9. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (GeneXpert)
GeneXpert MTB/RIF adalah suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus tuberkulosis dan resistensi rifampisin. Alat ini cocok untuk negara endemis, dan dapat dilakukan walaupun sampel sputum hanya 1 ml (Ibrahim & Hakeem, 2013). Uji konvensional untuk mendiagnosa tuberkulosis resisten OAT yang mengandalkan kultur bakteri dan uji kepekaan obat yang sudah cukup lama digunakan merupakan proses yang membutuhkan waktu panjang dan tidak praktis. Pada saat ada kemungkinan pasien menerima pengobatan yang tidak tepat, strain bakteri M. tuberculosis yang resisten obat dapat menyebar dan resistensi dapat menjadi lebih luas (Khilnani, dkk., 2006).
GeneXpert, suatu perangkat platform, yang diluncurkan oleh Cepheid pada tahun 2004 dan menyederhanakan uji molekuler yang terintegrasi dan automatis dengan 3 proses (persiapan sampel, amplifikasi, dan deteksi) berdasarkan real time PCR (Kurniawan & Arsyad, 2016). Uji GeneXpert MTB/RIF dikembangkan oleh Foundation for Inovative New Diagnostic (FIND), Chepeid, University of Medicine and Dentistry of New Jersey yang dipimpin oleh David Alland (Boulware, 2013) dengan pembiayaan dari National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat dan The Bill and Melinda Gates Foundation. GeneXpert sebagai alat uji diagnostik TB dan resistensi rifampisin terus mengalami perkembangan diantaranya, yaitu:
1) Pada Mei 2006: FIND berkerjasama dengan Chepeid untuk mengembangkan suatu alat uji diagnostik cepat serta praktis dilakukan yang dapat mendeteksi bakteri M. tuberculosis dan resistensi rifampisin dari sampel sputum.
2) Pada April 2009: uji cepat baru, GeneXpert MTB/RIF, diterima Conformite Europeene In Vitro Diagnostic (CE IVD) marking.
3) Pada Mei 2009: berlangsungnya penelitian yang dilakukan oleh FIND.
4) Pada September 2010: New England Journal of Medicine mempublikasi data;
Expert Group merekomendasikan kepada WHO berdasarkan bukti ilmiah;
WHO’s Strategic and Technical Advisory Group untuk TB melakukan penelaahan bukti lebih lanjut dan membuat rekomendasi kebijakan politik.
5) Pada Desember 2010: WHO merekomendasikan Xpert MTB/RIF.
6) Pada Desember 2012: Sejak awal WHO merekomendasikan Xpert MTB/RIF, 77 negara telah tersedia 966 alat GeneXpert dan 1.891.970 catridge Xpert
MTB/RIF pada sektor publik dengan harga yang lebih murah (Pandey, dkk., 2017).
World Health Organization (WHO), merekomendasikan pemakaian GeneXpert (Cepheid) untuk mengevaluasi pasien tersangka TB MDR (Multi Drug Resistance) dan pasien dengan BTA negatif (Syahrini, 2018). Tuberkulosis paru BTA negatif dihubungkan dengan rendahnya hasil pengobatan, termasuk kematian yang disebabkan lamanya diagnosa atau tidak terdiagnosa. GeneXpert dinilai mampu memberikan keuntungan untuk diagnosa awal tuberkulosis dan penggunaan sistem diagnostik ini dapat meningkatkan kepastian diagnosa secara cepat untuk semua pasien (Lawn & Nicol, 2011).
Sistem GeneXpert terdiri dari alat GeneXpert, komputer dan disposable catridge. Alat ini membersihkan, mengkonsentrasi dan mengamplifikasi (dengan cepat, real time PCR) dan mengidentifikasi target asam nukleat dalam gen bakteri M. tuberculosis dan memberikan hasil dari sampel sputum yang tidak perlu diproses hanya dalam waktu kurang lebih 2 jam, dengan minimal penggunaan tangan. GeneXpert MTB/RIF menggunakan catridge yang berisi semua elemen yang dibutuhkan untuk reaksi, meliputi liquid buffer, reagen lyophilized, dan wash solution. Alat ini bekerja dengan cara menangkap bakteri setelah proses pencucian kemudian DNA bebas dan masuk ke tempat pembuangan (Evans, 2011).
GeneXpert MTB/RIF dirancang menggunakan sistem tertutup dengan tujuan untuk mengurangi atau mengeliminasi resiko kontaminasi amplikon. Sekali tertutup, catridge tidak boleh dibuka kembali. Oleh karenanya tidak dianjurkan
untuk membuka catridge jika belum siap untuk memulai pemeriksaan dengan GeneXpert MTB/RIF (Susanty, dkk., 2015).
Masing-masing instrumen GeneXpert berisi 4 modul yang dapat diakses secara individu. Ukuran instrumen yang lain berisi antara 1-72 modul. Masing- masing modul terdiri dari jarum suntik untuk mengambil atau mengeluarkan cairan, sebuah ultrasonik untuk melisiskan sel, sebuah thermocycler, dan optical sign untuk mendeteksi komponen. Single use catridge berisi chamber untuk menyimpan sampel dan reagen, valve body berisi sebuah plunger dan syringe barrel, sebuah sistem rotary valve untuk mengendalikan pergerakan diantara chamber, sebuah ruang untuk menangkap, menyatukan, mencuci, dan melisis sel, reagen lyophilized real-time PCR dan buffer pencuci, serta tabung reaksi PCR yang terintegrasi yang secara otomatis diisi instrumen (Sukraningsih, 2018).
Uji GeneXpert MTB/RIF berdasarkan prinsip multipleks, semi-nested quantitative real-time PCR dengan amplifikasi gen target rpoB. GeneXpert MTB/RIF juga menggunakan molecular beacon dengan target gen rpoB untuk meningkatkan sensitivitas. GeneXpert mendeteksi 81 bp core region dari gen rpoB yang dikode oleh lokasi aktif enzim. Core region rpoB terletak di samping bakteri M. tuberculosis-urutan DNA spesifik. Oleh karena itu, sangat memungkinkan untuk mendeteksi bakteri M. tuberculosis dan resistensi rifampisin secara bersamaan dengan menggunakan teknologi PCR (Lawn & Nicol, 2011).
Sumber : Brosur GeneXpert
Gambar 2.3 Komponen Sistem GeneXpert
2.2.10. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan Tuberkulosis Paru dengan Mikroskopis, dan TCM.
1) Kualitas Sampel
Pengumpulan dahak untuk pemeriksaan tuberkulosis paru memerlukan keterampilan dalam pengambilan dan pengumpulan sputum. Kualitas spesimen dahak yang baik adalah dahak yang mukoid (lendir) dan dahak purulen (nanah), bukan dahak bercampur darah dan air liur. Beberapa kesalahan yang sering terjadi dalam pengambilan dan pengumpulan sputum antara lain:
a. Dahak yang dihasilkan tidak cukup (terlalu sedikit). Volume dahak yang baik untuk pemeriksaan sekitar 3-5ml. Namun untuk pemeriksaan dengan metode TCM cukup 1ml sampel dahak.
b. Cara mengeluarkan dahak yang tidak benar sehingga dahak yang keluar tidak dari bronchus yang dalam.
c. Sputum yang dikumpulkan telah tercemar dengan bakteri atau fungi yang dapat menyebabkan kontaminasi dalam pemeriksaan BTA.
d. Pot sputum tidak steril atau memakai pot sputum yang retak tanpa diperiksa sebelum digunakan.
e. Sampel sputum terkena sinar matahari langsung dalam jangka waktu yang lama.
f. Sampel sputum tidak disimpan dalam tempat yang dingin (suhu 4oC – 8oC) (Depkes RI, 2011)
1) Jumlah Bakteri
Pemeriksaan Mikroskopik BTA telah menjadi metode diagnosis yang digunakan secara luas, akan tetapi tes ini memiliki keterbatasan yang signifikan dalam kinerjanya. Sensitivitas akan sangat terganggu ketika jumlah bakteri kurang dari 10.000 kuman/ml sampel dahak. Sedangkan untuk pemeriksaan BTA menggunakan metode Tes Cepat Molekuler dapat mendeteksi hingga jumlah minimal kuman BTA 131 kuman/ml sampel dahak. (Desikan, P.,2013).
2) Kualitas Sediaan
Berikut penilaian sediaan yang belum diwarnai, sebelum melakukan pewarnaan sediaan dapat dinilai ketebalannya dengan meletakkan sediaan yg kering 4-5 cm di atas kertas koran. Sediaan yang baik apabila kita masih dapat melihat tulisan secara samar. Sediaan yang terlalu tipis dapat ditambahi dengan dahak, dengan catatan sediaan belum kering sehingga tidak menimbulkan aerosol. Sediaan yang terelalu tebal harus dibuang dan diganti
dengan membuat sediaan baru. Kesalahan-kesalahan yang dapat mempengaruhi kualitas sediaan, antara lain:
a. Kesalahan dalam pengambilan sputum untuk membuat sediaan, tidak tahu bagian mana yang seharusnya diambil.
b. Cara melakukan olesan pada slide tidak melakukan dengan circle pada permukaan slide (lingkaran terlalu kecil).
c. Sputum yang diambil terlalu sedikit sehingga tidak terbaca di bawah mikroskop.
d. Ose yang digunakan tidak steril
e. Waktu pemberian larutan warna dan pemanasan terlalu lama.
f. Terlalu banyak partikel atau serat makana yang terbawa saat pengambilan sampel sputum sehingga dapat menyebabkan hasil negatif palsu atau positif palsu.
g. Kualitas pewarnaan kurang baik sehingga tidak menimbulkan warna BTA yang merah dengan latar biru
h. Terdapat sisa sisa reagen yang dapat menyebabkan positif palsu (Depkes RI, 2011).
3) Kualitas Pewarna
Standar Reagen Ziehl-Neelsen meliputi : kopetensi pembuat (tenaga teknis/ahli/supervisor, fasilitas laboratorium), komposisi bahan baku, kadar bahan, langkah-langkah pembuatan, pengemasan, cara uji mutu. (Depkes RI, 2011)
Menguji reagen Zielh-Neelsen yaitu uji ini diperlukan untuk memastikan reagen Ziehl-Neelsen yang tersedia dapat mewarnai M.tuberculosis dengan baik. Petugas harus membuat sediaan dahak kontrol yaitu beberapa sediaan dahak dari dahak BTA negatif dan dahak BTA 1 + yang telah difiksasi.
Penggunaan reagen Ziehl-Neelsen kemasan baru harus dilakukan pewarnaan terhadap satu sediaan dahak BTA negatif dan satu sediaan dahak BTA 1+.
Pewarnaan yang baik BTA tampak berwarna merah cerah dengan latar belakang biru yang terang, inti lekosit tampak jelas dan tidak ada endapan merah atau biru. Hasil uji fungsi harus dicatat dalam buku khusus yang menuliskan tanggal pelaksanaan uji fungsi, nomor batch botol reagen dan hasil pewarnaan (lihat formulir hasil PMI). Hasil pewarnaan dinilai baik jika reagen dapat dipakai sebaliknya bila memberikan hasil pewarnaan yang tidak baik endapan metilen biru atau kristal carbol fuchsin maka reagen harus disaring langsung pada saat melakukan pewarnaan, dekolorisasi yang tidak sempurna maka mengganti larutan asam alkohol dengan larutan yang baik.
(Kemenkes, 2018).
4) Kualitas Mikroskop
Salah satu sarana yang sangat penting dalam pemeriksaan TB Paru secara mikroskopis adalah mikroskop, dimana kualitasnya mempengaruhi hasil pemeriksaan yang dilakukan. Pemeliharaan dan perawatan mikroskop terutama bagian lensa sangat berpengaruh pada interpretasi hasil pemeriksaan yang dilakukan seorang laboran (Depkes RI, 2011).
Agar hasil pemeriksaan mikroskopis bermutu harus menggunakan mikroskop dengan kondisi dan fungsi yang baik. Petugas harus melakukan perawatan mikroskop secara teratur dan dengan cara yang benar, yaitu dengan cara:
a. Pembersihan lensa
Lensa dibersihkan dengan pembersih yang sesuai dengan bahan lensa mikroskop, sesuai dengan ketentuan pabrik, menggunakan kertas lensa dan sikat halus atau peniup udara (blower).
b. Penggantian bola lampu
Ketahui batas lampu dan sediakan lampu cadangan dengan tegangan/
voltage yang sesuai.
c. Penyimpanan
Mikroskop harus disimpan dalam kotak/ lemari yang tidak lembab dengan cara pemasangan lampu 5 watt terus menerus, walaupun mikroskop sedang dipakai atau dengan menempatkan silica gel dalam kantung kain. Kotak/ lemari mikroskop harus memiliki lubang untuk pertukaran udara dan harus tertutup sehingga mikroskop bebas dari debu (Kemenkes, 2012).
2.3 Sensitivitas dan Spesitifitas
Istilah sensitivitas dan spesifisitas mula-mula diperkenalkan oleh Yerushelmy pada tahun 1947 sebagai indeks statistik terhadap efisiensi uji diagnostik ketika ia mempelajari variabilitas pengamat para ahli radiologi (Budiarto, 2004).
Menurut Yerushelmy yang dimaksud dengan sensitivitas ialah kemampuan untuk mendiagnosa secara benar pada orang yang sakit, berarti hasil tesnya positif dan memang benar sakit, sedangkan spesifisitas ialah kemampuan untuk mendiagnosis dengan benar pada orang yang tidak sakit berarti hasil tesnya negatif dan memang tidak sakit. Uraian diatas secara skematis dapat digambarkan dalam bentuk tabel 2 x 2 sebagai berikut :
Hasil tes Kondisi penerita Jumlah
Ada Tidak ada
Positif A B a+b
Negatif C D c+d
Jumlah A+C B+D N
Rumus : Sensitivitas
Spesifisitas
Gold standart untuk nilai sensitivitas adalah 100%. Nilai diagnostik dikatakan ideal apabila mempunyai nilai sensitivitas yang berbanding lurus dengan nilai spesifisitas. Adapun beberapa kelemahan yang dimiliki sensitivitas dan spesifisitas hanya dapat digunakan untuk konfirmasi penyakit yang telah diketahui, tetapi tidak dapat digunakan untuk memprediksi penyakit pada sekelompok orang yang belum diketahui kondisinya, karena dasar yang digunakan pada perhitungan sensitivitas dan spesifisitas adalah orang yang telah diketahui kondisinya. Tes kualitatif sering digunakan untuk mendiagnosis penyakit atau kondisi tertentu berdasarkan kecurigaan klinis bahwa penyakit itu mungkin ada.
Penggunaan berbagai tes bakteriologi untuk mendeteksi infeksi adalah salah satu contoh tes diagnostik. Secara klinis, persyaratan untuk pemeriksaan yang tepat menuntut waktu tes diagnostik yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik. Jika tes konfirmasi selalu mengikuti tes diagnostik, persyaratan spesifisitas bisa lebih rendah (Budiarto, 2004) (CLSI, 2014).
Sensitvitas adalah proporsi hasil test positif diantara orang-orang yang sakit atau dapat diterjemahkan dengan rumus sebagai berikut:
Sensitivitas = TP
TP+FN× 100%
Sensitivitas menunjukkan kemampuan suatu test untuk menyatakan positif orang-orang yang sakit. Semakin tinggi sensitivitas suatu test maka semakin banyak mendapatkan hasil test positif pada orang-orang yang sakit atau semakin sedikit jumlah negatif palsu
Spesifisitas adalah proporsi hasil test negatif diantara orang orang yang tidak sakit atau dapat diterjemahkan dengan rumus sebagai berikut:
Spesitifitas = TN
FP+TN× 100%
Spesifisitas menunjukkan kemampuan suatu test untuk menyatakan negatif orang- orang yang tidak sakit. Semakin tinggi spesifisitas suatu test maka semakin banyak mendapatkan hasil test negatif pada orang-orang yang tidak sakit atau semakin sedikit jumlah positif palsu (Wayan, dkk, 2016).
Hasil negatif palsu atau False Negatif (FN) merupakan jumlah dari hasil tes negatif untuk pasien atau spesimen yang positif untuk kondisi yang dimaksud.
Hasil positif palsu atau False positive (FP) merupakan hasil tes positif untuk
pasien atau spesimen yang negatif untuk kondisi yang dimaksud. Benar negatif atau Benar hasil negatif (TN) merupakan hasil negatif dari tes untuk suatu penyakit atau kondisi pada pasien di mana penyakitnya tidak ada. Benar positif atau hasil Benar positif (TP) merupakan hasil positif dari tes untuk suatu penyakit atau kondisi untuk subjek di mana penyakitnya ada (CLSI, 2014).
Perhitungan Sensitivitas dan Spesifisitas mengenai Nilai Prediktif Positif (NPP) dan Nilai Prediktif Negatif (NPN). Kita ketahui bahwa Nilai prediktif positif adalah proporsi pasien yang benar-benar positf (true positif) di antara keseluruhan penderita yang menunjukkan hasil tes konfirmasi positif. Sedangkan Nilai Prediktif Negatif adalah persentase dari semua pasien yang benar-benar negatif (sehat/true negatif) diantara semua pasien yang menunjukkan hasil tes negatif. Jika dibandingkan dengan pemeriksaan gold standar, nilai prediktif positif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi positif oleh alat ukur benar-benar akan positif menurut standar emas di kemudian hari. Sedangkan, nilai prediktif negatif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi negatif oleh alat ukur akan benar-benar negatif menurut standar emas di kemudian hari (Najmah, 2016).
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis
Pemeriksaan sputum BTA mempunyai sensitivitas dan spesitifitas yang baik.
Pemeriksaan BTA Metode TCM
Pemeriksaan BTA Secara Mikroskop
Sensitivitas dan Spesitifitas
2.7 Definisi Operasional
Tabel 2.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur Pemeriksaan
mikroskopis BTA
Hasil pemeriksaan mikroskopis BTA pada sputum pasien diagnosis TB
IUALTD Mikroskop Negatif, Scenty
Orginal
Pemeriksaan TCM
Hasil pemeriksaan BTA yang
menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus tuberkulosis dan resistensi
rifampisin
Real-time PCR
Gene- Xpert
No Detected, MTB Very low Detected
Orginal
Sensitivitas Proporsi hasil test positif pada pasien terdiagnosis TB dengan
pemeriksaan mikroskopis dan TCM.
= TN
FP + TN× 100%
Komputer % Rasio
Spesitifitas Proporsi hasil test negatif pada pasien terdiagnosis TB dengan
pemeriksaan mikroskopis dan TCM.
= TN
FP + TN× 100%
Komputer % Rasio