DAFTAR ISI
JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
PERNYATAAN ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTARTABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
I
PENDAHULUAN ... 1
A. Konteks Penelitian ... 1
B. Fokus Penelitian ... 14
C. Perumusan Masalah ... 16
D. Tujuan Penelitian ... 16
E. Kegunaan Penelitian ... 16
II TINJAUAN TEORETIS ... 18
A. Kepemimpinan ... 18
1. Kepemimpinan ... 18
2. Fungsi Kepemimpinan ... 26
3. Gaya Kepemimpinan ... 30
III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan khusus Penelitian ... 42
B. Latar Penelitian ... 42
C. Pendekatan dan Metode yang Digunakan Penelitian ... 43
D. Data dan sumber data ... 44
E. Prosedur Pengmpulan dan Perekaman Data……… ... 44
F. Analisis Data……… ... 48
G Pengecekan dan Pemeriksaan Keabsahan Data ... 49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 52
A.
Deskripsi Data ... 52
B.
Perubahan pimpinan/pengasuh Pondok Pesantren... 58
C.
Pesantren Santi Asromo ... 58
D.
Badan Pelaksana Harian … ... 60
E.
Bagian Pesantren ... 63
F.
Bagian Pendidikan ... 65
G.
Bagian Pelatihan ... 65
H.
Deskripsi Tugas Tiap Bagian ... 66
I.
Bagian Dakwah dan Sosial ... 70
J.
Kepemimpinan Saat ini ... 84
K.
Analisis SWOT ... 89
L.
Pembahasan Temuan ... 92
M.
Perbandingan Pesantren ... 99
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 100
1. Perubahan Pesantren ... 100
2. Fungsi.Kepemimpinan ... 100
3. Gaya.Kepemimpinan ... 101
4. Pengambilan Keputusan ... 102
B SARAN... 114
1. Saran Untuk Pimpinan... 115
2. Saran Untuk Peneliti Lebih Lanjut... 115
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan dan perubahan yang cepat sedang terjadi di dunia, yang disebabkan oleh
perkembangan IPTEK yang bermula dari perguruan tinggi. Dewasa ini dunia pendidikan dituntut untuk
selalu lebih banyak melakukan perubahan, menuju perubahan pendidikan yang lebih maju dan
berkualitas. Perubahan yang terjadi di dunia ini,. Di mana-mana di dunia, manusia tengah menuntut
adanya perubahan. Perubahan dibutuhkan agar kita tidak lagi menjalani kesengsaraan yang terjadi di
masa-masa lalu.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan, keagamaan dan kemasyarakatan
dikenal sebagai wahana pengembangan masyarakat.(Menggagas Pesantren Masa Depan, Jamal
Ma’ruf,Yogya,2003 )
Pesantren memberikan kontribusi dalam pengembangan sumber daya
manusia yang tidak saja pintar dari segi keilmuan tetapi juga berahlakul karimah (prilaku mulia)
yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Keberadaan pesantren di tengah pusaran globalisasi
dunia ikut membawa angin segar dalam mengatasi berbagi persoalan yang dihadapi negeri ini.
Dari gemblengan pesantren ini diharapkan menghasilkan generasi yang mampu menjadi
pemimpin-pemimpin di masyarakat kelak. Oleh karenanya maju mundurnya pesantren tidak
terlepas dari segi kepemimpinan pihak pengelolanya. Kepemimpinan menjadi bagian penting
dalam manajemen pesantren sehingga kuantitas dan kualitas pesantren lebih baik lagi.
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang agar
bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama. Gaya
kepemimpinan yang digunakan oleh setiap pemimpin menjadi sarana (alat) untuk tercapainya
suatu tujuan yang diinginkan. Meskipun sebenarnya gaya kepemimpinan tidak selalu menjadi
turut mempengaruhi roda organisasi akan dibawa ke arah mana akhirnya, Dalam hal ini seorang
pemimpin memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola organisasi yang dimilikinya.
Sebenarnya gaya kepemimpinan setiap individu (pemimpin) berbeda-beda, tergantung dari
karakter yang dimilikinya masing-masing dan pengaruh lingkungan yang membentuknya.
Dengan kata lain ada faktor internal dan faktor eksternal yang turut mempengaruhi gaya
kepemimpinan seseorang.
Gaya kepemimpinan yang umum dipakai beberapa diantaranya adalah (1) Gaya
kepemimpinan otokratis (2) Gaya kepemimpinan paternalist (3) Gaya kepemimpinan karismatis
(4) Gaya kepemimpinan laissez faire (5) Gaya kepemimpinan demokratis
.
(Miftah iohaioha,
Manajemenn Suatu Pendekatan Prilaku .Jakarta: Raja Grafinoo Cetakanke-.,199.)
Kepemimpinan di pesantren dapat dikatakan cukup unik karena disisi lain suara kyai
sangat berpengaruh di kalangan santri-santrinya. Semua kebijakan yang dikeluarkan menjadi
suatu keharusan, meskipun tidak menjamin semuanya selalu benar. Tetapi disisi lain pun
pimpinan pesantren terlihat demokratis dan menyatu dengan masyarakat. Dalam mengambil
keputusan lebih memperhatikan aspirasi bawahan dan orang-orang sekitar.
Kepemimpinan yang efektif dan efisien dapat membawa perubahan kearah yang lebih
baik pula dalam mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan dilihat dari segi fungsi; fungsi
instruktur, fungsi konsultatif, fungsi partisipasi, fungsi delegasi, dan fungsi pengendalian.
Fungsi instruktur
dalam arti pemimpin sebagai pengambil keputusan berfungsi
memerintahkan pelaksanaanya pada orang-orang yang dipimpin.
Fungsi konsultatif
artinya
dalam mengambil keputusan, pemimpin kerapkali memerlukan bahan pertimbangan, yang
mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang di pimpinnya.
Fungsi partisipasi
artinya
, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakanya.
Fungsi
delegasi
artinya fungsi yang dilaksanakan dengan pelimpahan wewenang membuat keputusan,
baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan.
Fungsi Pengendalian
artinya
mengatur aktifitas anggotanya secara terarah dengan dalam koordinasi yang efektif, sehingga
tercapai tujuan bersama secara maksimal.(Sondang. P Siagiann1994: 7)
Kegiatan kelompok orang dalam bentuk kerjasama sebagai wujud hubungan manusia
yang efektif, untuk mencapai suatu tujuan, pada dasarnya merupakan pelaksanaan
keputusan-keputusan. Keputusan dari seorang pemimpin berlangsung melalui proses. Dalam kenyataannya
proses itu mungkin terjadi dalam diri pemimpin sendiri, tetapi mungkin pula ditetapkan dengan
mengikutsertakan orang-orang yang dipimpin, atau beberapa orang lainnya yang berkedudukan
sebagai pembantu pimpinan.
Beberapa keputusan dalam berbagai organisasi biasanya cenderung musyawarah untuk
mufakat. Bagaimana dengan halnya dengan pengambilan keputusan di lingkungan pesantren ?
Apakah selalu sama atau tidak ? adakah pengambilan keputusan melalui pelimpahan wewenang
dari pimpinan pesantren kepada para wakilnya dalam mencapai tujuan yang diinginkan ?
Kemudian bagaimana pula konflik yang terjadi di dalam tubuh (organisasi) Yayasan
Santi Asromo ? Lalu bagaimana menanggulangi konflik ? Apa saja tindakan yang diambil dalam
menanggulangi masalah yang terjadi pada intern dan ekstren pesantren ini.
Konflik antar pribadi dan antar kelompok dalam batas-batas tertentu, terjadi dalam setiap
organisasi dan merupakan suatu bagian yang alami dalam pergaulan sosial. Kenyataanya konflik
dapat menjadi negatif dan positif. Segi negatifnya akibat konflik ini dapat menjadi kehancuran
komunikasi, keterjalinan serta kerjasama. Sehingga organisasi menjadi pecah sebagian dan tidak
positif dari konflik yang terkendali dapat menjadi sumber motivasi penting untuk
mengembangkan pembaharuan berbagai metode. Penanganan konflik pada umumnya dilakukan
melalui : paksaan, kekuasaan, acuh dan dibiarkan, ditindak dan disisihkan.
Dalam penelitian ini pula dibahas mengenai struktur organisasi di Yayasan Pesantren
Santi Asromo serta bidang-bidang yang dikelola serta fungsi masing-masing bidang tersebut.
Dijabarkan pula mengenai proses kaderisasi di lingkungan Pesantren Santi Asromo
Majalengka. Kaderisasi menjadi proses mempersiapkan seseorang untuk menjadi pemimpin
pengganti masa depan, yang akan memikul tanggung jawab penting di lingkungan suatu
organisasi. Kaderisasi diperlukan karena semua pemimpin pasti harus mengkhiri
kepemimpinannya, baik dikehendaki maupun tidak dikehendakinya. Kaderisasi dalam
menyambut regenerasi perlu diupayakan secara serius agar tersedia jumlah pemimpin yang
cukup (kuantitas) dan berkualitas.
Ada beberapa alasan mengapa penelitian dilaksanakan di Pesantren Santi Asromo
Majalengka. Alasan
pertama
Pesantren Santi Asromo Majalengka sangat dikenal oleh
masyarakat dalam maupun luar daerah sehingga banyak alumni yang menyebar diberbagai
daerah. Sudah barang tentu ada nilai tambah pada pesantren tersebut sehingga mengundang
peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang keadaan pendidikan di lingkungan pesantren
tersebut. Alasan
kedua
berkaitan dengan figur pimpinan yang menjadi pendiri Pesantren Santi
Asromo Majalengka yakni, KH.Abdul Halim, pelopor dan pejuang yang baru diangkat sebagai
pahlawan nasional tahun 2009 ini. Pesantren ini telah enam kali restrukturisasi pimpinan.
Bagaimana gaya kepemimpinan, fungsi kepemimpinan, proses pengambilan keputusan
yang di terapkan di lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka pada masa-masa sekarang
lingkungan pesantren Santi Asromo Majalengka. Proses pendidikan yang dilaksanakan tersebut
merupakan cermin dari pendidikan yang dilaksanakan di lingkungan Pesantren Santi Asromo
Majalengka, Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian di Pesantren Santi Asromo dengan judul "Kepemimpinan di Lingkungan Pesantren
Santi Asromo Majalengka pada Era Perubahan".
KONSEP DASAR PONDOK PESANTREN
Aspek-aspek Kesejarahan, Visi, dan Misi Pondok Pesantren
Secara etimologis, istilah pondok berasal dari kata
funduk
(Bahasa Arab), dan "santri"
yang diberi imbuhan per dan an. Kata
funduk
berarti ruang tidur atau wisma sederhana.
Sedangkan kata pesantren berarti tempat para santri. Kata "santri" juga diartikan sebagai
penggabungan antara suku kata
sant
{manusia baik) dan tra (suka menolongl sehingga kata
pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik (Ziemek, 1989).
Dalam pandangan Geertz (1978), istilah pesantren berasal dari kata shastri {Bahasa
India) yang berarti ilmuwan hindu yang pandai menulis. Maksudnya, pesantren adaiah tempat
bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Bahkan Geertz menganggap pondok
pesantren sebagai modifikasi dari pura Hindu. Dari pengertian istilah yang telah dikemukakan di
atas, tampak bahwa pondok pesantren menggambarkan sebuah lembaga pendidikan khas dan
pusat pengembangan agama Islam,
Kedudukan dan fungsi pondok pesantren saat dulu belum sebesar dan sekompleks
sekarang. Pada masa awal, pondok pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi yang
memadukan tiga unsur pendidikan sekaligus, yaitu untuk
menanamkan iman,
tabligh
untuk
sehari-hari (Wahyutomo, 1997). Lebih lanjut Wahyutomo dalam Nasuha.2006, mendefinisikan
pondok pesantren sebagai:
(1) lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya diberikan
dengan cara nonklasikal (sistem
bandongan
dan sorogan), di mana seorang kiyai mengajar
santrinya berdasarkan atas kajian kitab-kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santri biasanya tinggal mondok di asrama
atau dalam pondok pesantren tersebut; (2) lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang
—pada dasarnya sama dengan pesantren- para santrinya tidak disediakan pemodokan di komplek
pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pondok pesantren tersebut
(santri kalong), di mana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan
dengan sistem wetonan, yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu,
misalnya hari Jumat, Minggu dan lain-lainya; dan (3) memberikan pendidikan dan pengajaran
agama Islam dengan sistem
bandongan, sorogan
dan
wetonan
dengan para santri disediakan
pemondokan ataupun merupakan santri kalong; dalam istilah modern memenuhi kriteria
pendidikan formal bentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai jenjang dan
aneka kejuruan sesuai kebutuhan masyarakat masing-masing.
Perkembangan pondok pesantren yang lebih intens, berlangsung sejak awal abad ke-20
ditandai oleh pembukaan sistem madrasah dengan dukungan para ulama yang baru kembali dari
Tanah Suci. Pemerintah Hindia Belanda melihat perkembangan tersebut sebagai suatu ancaman.
Karena itu diterbitkanlah
Staatblaad
1925 Nomor 219 (berlaku untuk seluruh wilayah Hindia
Belanda} sebagai pengganti
Ordonansi Guru
Tahun 1905 (berlaku hanya untuk wilayah jawa
Di pihak lain, meskipun kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda begitu ketat dan
sangat merugikan pertumbuhan pesantren, namun pondok pesantren ternyata mampu bertahan.
Bahkan sekitar tahun 1930-an perkembangan pondok pesantren justru lebih pesat. Bita pada
tahun 1920-an pondok pesantren besar hanya memiliki santri sekitar 200-an, pada tahun 1930-an
santri pondok pesantren besar dapat mencapai lebih dari 1.500 orang.
Kemerosotan pondok pesantren justru terjadi akhir-akhtr ini, setelah Indonesia merdeka,
ketika pemerintah membuka dan mengembangkan sekolah-sekolah umum dan memberikan
fasilitas utama bagi para alumni pendidikan umum untuk menduduki jabatan dalam struktur
pemerintahan.
Sejak itu asumsi masyarakat mengenai pendidikan dan sekoiah mulai dikaitkan dengan
penyediaan lapangan kerja. Bahkan sampai sekarang pun masih terdapat kecenderungan bahwa
sekoiah umum adalah satu-satunya lembaga pendidikan tempat anak didik belajar sehingga,
mereka yang tidak menjalani studi di sekoiah dianggap tidak berpendidikan.
Pada tahun 1980-an ternyata ada titik balik yang berupa gencarnya ragam pendapat dan
pernyataan bahwa sistem pendidikan "model" pondok pesantren (dengan cara siswa/santri belajar
diasramakan) dianggap sebagai salah satu sumber keberhasitan dalam pendidikan dewasa ini.
Model seperti itu, sekarang dikembangkan dalam konsep sekoiah unggulan seperti Taman
Taruna Nusantara, Paramadina, Muthahari, pondok pesantren Darul Ulum, Gontor, dan
sebagainya.disiplin dalam penggunaan waktu; dan berani menderita untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan bidang ilmu yang dikembangkannya
/pondok pesantren memiliki penekanan
substansinya. Dhofier (1994) mengelompokkan jenis pondok pesantren berdasarkan jumlah dan
santri dan wilayarrpengaruhnya,yaitu:
Pondok
pesantren kecil
dengan jumlah santri kurang dari 1.000 orang dan pengaruhnya
hanya sekabupaten; pondok
pesantren sedang
memiliki santri antara 1.000-2.000 orang dan
pengaruh serta rekruitmen santrinya meliputi beberapa kabupaten; dan pondok pesantren
besar
memiliki santri lebih dari 2.000 orang dan biasanya berasal dari beberapa kabupaten dan
provinsi.
Penjenisan lain mengenai pondok pesantren adaiah pondok pesantren
salaf
dan pondok
pesantren
kha!af. Pondok
pesantren
salaf
adaiah lembaga pondok pesantren yang
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik
(salaf}
sebagai inti pendidikan. Sistem
madrasah dalam pondok pesantren ini diterapkan hanya untuk memudahkan sistem
sorogan
sebagaimana yang dipraktikkan dalam lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengajarkan
pengetahuan umum.
Istilah
sorogan
dan weton di pondok pesantren
salaf
berarti waktu, yang menunjuk
kepada penyelenggaraan pengajian dalam waktu tertentu, biasanya setelah waktu shalat Weton
atau istilah lainnya
bandongan
adalah model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka,
biasanya diikuti oleh 100 sampai dengan 500 atau lebih santri. Dalam kegiatan ini, kiyai
membaca, menerjemahkan, sekaligus menerangkan kitab-kitab
salaf
berbahasa Arab. Sementara
para santri mendengarkan dan menyimak sambil mencatat bagian-bagian pentingdari penjelasan
kiyai.Termasuk ke daiam sistem tersebut adaiah
halaqoh,
yaitu pengajian yang dilakukan dengan
suatu masalah tertentu di bawah bimbingan gurunya. Dalam sorogan para santri maju satu
persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan kiyai.
Pondok pesantren
khalaf
merupakan lembaga pondok pesantren yang mengkombinasikan
pelajaran "umum" ke dalam kurikulum madrasah. Pondok pesantren yang menyelenggarakan
satuan pendidikan berupa sekoiah umum, kejuruan, dan perguruan tinggi, termasuk jenis pondok
pesantren
khalaf.
Dari sisi kepemilikannya, pondok pesantren pada umumnya adaiah milik kiyai. Dalam
kapasitas sebagai pemiiik, kiyailah yang biasanya menentukan kebijakan pendidikan di
pesantren, sedangkan para ustadz berkedudukan sebagai tenaga operasionalnya. Namun
demikian, dalam perkembangan dewasa ini personifikasi kiyai sebagai satu-satunya penentu
kebijakan telah diwarnai oleh rnekanisme demokratis seperti pendelegasian wewenang,
perencanaan pendidikan yang bersifat
bottom up,
dan sebagainya. Lebih-lebih dalam
penyelenggaraan pondok pesantren yang berbadan hukum Yayasan, kesan "dominasi" kiyai itu
dapat dikatakan telah pudar.
Kemajuan sistem komunikasi dan alat informasi dewasa ini memungkinkan penetrasi
kebudayaan dengan mudah merambah ke masyarakat pedesaan. Bagi pesantren, pergeseran
tersebut telah mengimplikasikan pergeseran fungsi manajemen pelayanan yang cenderung
melemahkan fungsi edukatifnya, yaitu dari fungsi sebagai tempat belajar-mengajar agama Islam
menjadi pengelola kegiatan yang berfungsi ganda.
Pondok pesantren yang berfungi ganda tersebut memang mendorong masyarakat
golongan menengah ke atas menyekolahkan putra-putrinya di pesantren, yang dilayani seperti
perubahan itu adalah, kemandirian siswa atau santri dalam mengatasi dan rnemenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Dampak ekonomisnya, layanan pendidikan pondok pesantren menjadi mahal dan
corak hubungan antara masyarakat dengan pondok pesantren menjadi kontraktual.
Terdapat dua unsur mendasar dalam kegiatan pondok pesantren. Pertama, unsur
pendidikan dan pengajaran agama Isiam dengan menggunakan sistem yang dianggap unik, yaitu
kedaulatan penuh-di bawah kepemimpinan seorang kiyai.
Kedua,
sistem pendidikan dan
pengajaran yang dikembangkan di dalam pondok pesantren berbeda dengan model pendidikan
lainnya, walaupun pada beberapa sisi memiliki kesamaan.
Kemunculan dan perkembangan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
bukanlah di dalam ruang yang hampa, tetapi senantiasa dinamis. Kehadiran lembaga pendidikan
Islam telah membuka wawasan dan dinamika inteielektual umat Islam (Nata, 2001).
Secara sosiologis, pondok pesantren sebagai lembaga penyelenggara pendidikan Islam
dapat dipahami dari aspek-aspek: (1) orientasi; (2); strategi; (3) sumber belajar; (4) metode
belajar; (5) kondisi kelembagaan; (6) prestasi; (7) sosial budaya; (8) tantangan dan peluang
pondok pesantren ke depan.
Orientasi sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah tradisi
surau
sebagai tempat
pendidikan Islam pertama. Pemahaman keseharian mengartikan surau sebagai tempat shalat, atau
tempat berkumpulnya anak laki-laki dan perempuan yang belajar dan menuntut ilmu agama.
Dalam perkembangan lebih lanjut, surau tidak lagi dianggap sebagai taman bermain bagi anak
laki-laki dan perempuan yang menginjak baligh, melainkan sebagai tempat pengkaderan seperti
yang terdapat di Minangkabau. Di daerah tersebut, surau merupakan tempat ibadah, tarekat
Sebagai lembaga pendidikan tradisional tertua, surau menggunakan sistem pendidikan
halaqah, materi pendidikan yang diajarkannya pun pada awalnya rnasih seputar belajar huruf
hijaiyah
dan membaca Al-Quran, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti tauhid, akhlak
dan sebagainya. Uniknya, pelaksanaan pendidikannya mengambil waktu malam hari.
Orientasi penyelenggaraan sistem pendidikan Islam di Indonesia telah mengalami
perubahan dan perkembangan yang terus-menerus dan pesat Dalam masa-masa awal, orientasi
pendidikan Islam lebih kepada nilai-nilai ibadah guna menggapai kebahagiaan di akhirat semata,
sehingga secara budaya lebih mengesampingkan dimensi keduniaan. Sistem penyelenggaraan
pendidikannya memiliki cara-cara tersendiri, seperti penulisannya yang sebagian besar
menggunakan ejaan bahasa Arab.
Dalam sistem penyelenggaraan pendidikan itu, tidak terlalu jelas batas-batas antara
pendidik, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan penyebar agama. Orientasi di atas cenderung
didominasi oleh
fikhiyah
(masalah-masalah fikih), perbedaan paham di antara mereka pun
didekatkan pada penyelesaian masalah-masalah fikih pula, sedangkan masalah fikih itu sendiri
berkembang sesuai dengan tingkat peradaban manusia. Orientasi sistem penyeienggaraan
pendidikan Islam juga mengalami perubahan yang sangat berarti, sehingga lebih berorientasi
pada penyeimbangan antara aspek kehidupan keduniaan dengan akhirat. Dalam hal ini, pondok
pesantren dapat dipahami sebagai bentuk kemajuan orientasi lembaga pendidikan model
surau.
Sumber belajar di pondok pesantren masih tetap berpegang teguh pada Al-Quran, hadits,
ijma' dan qiyas. Meskipun demikianr; kiyai sebagai sumber beiajar mengalami pergeseran yang
cukup berarti. Hal itu terkait dengan kemampuan santri dalam berbahasa Arab dan Inggris, yang
kiyai dan segenap warga pondok pesantren adalah, mengarahkan dan membimbing santri agar
senantiasa menyalurkan aspirasi dan kegemaran mencari sumber belajar lain namun tetap sesuai
dengan norma perilaku dan asas keagamaan.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah pelaksanaan kepemimpinan di lingkungan pesantren Santi
Asromo Majalengka dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan pada era perubahan ini
dengan 10 karakternya, yaitu :
Pertama,
Perubahan begitu misterius karena tak mudah dipegang. Bahkan yang sudah
digenggam pun tak bisa pergi ke tempat lain tanpa bcrpamitan. la bahkan dapat memukul balik
seakan tak kenal budi.
Kedua, change
memerlukan
change maker(s}.
Rata-rata pemimpin menciptakan
perubahan tidak bekerja sendiri, tetapi ia punya keberanian yang luar biasa. Bahkan sebagian
besar pemimpin perubahan gugur di usia perjuangannya.
Ketiga,
tak semua orang bisa diajak melihat perubahan. Sebagian, besar orang malah
hanya melihat memakai mata persepsi. Hanya mampu melihat realitas, tanpa kemampuan
melihat masa depan.Maka persoalan besar perubahan adalah mengajak orang-melihat apa yang
Anda lihat dan memercayainya.
Keempat,
perubahan terjadi setiap saat, karena itu perubahan harus diciptakan setiap saat
pula, bukan sekali-sekali. Setiap satu perubahan kecil dilakukan seseorang maka akan terjadi
pula perubahan-perubahan lainnya.
Kelima,
ada sisi keras dan sisi lembut dari perubahan. Sisi keras termasuk masalah uang
Keenam,
perubahan membutuhkan waktu, biaya, dan kekuatan, Untuk berhasil
menaklukkannya perlu kematangan berpikir, kepribadian yang teguh, konsep yang jelas dan
sistematis, dilakukan secara bertahap, dan dukungan yang luas.
Ketujuh,
dibutuhkan upaya-upaya khusus untuk menyentuh nilai-nilai dasar organisasi
(budaya korporat). Tanpa menyentuh nilai-nilai dasar, perubahan tidak akan mengubah perilaku
dan ke-biasaan-kebiasaan. Anda bisa melakukan reorganisasi, tapi belum tentu bisa menangani
nilai-nilai manusianya. Perubahan yang salah bisa memukul balik, seperti yang terjadi dalam
penanaman nilai-nilai pancasila.
Kedelapan,
perubahan banyak diwarnai oleh mitos-mitos. Salah satunya adalah mitos
bahwa perubahan akan selalu membawa kemajuan atau perbaikan instan. Seperti pasien yang
sakit, perubahan berarti menelan pil pahit, atau bahkan amputasi yang artinya perlu pengorbanan.
Kesembilan,
perubahan menimbulkan ekspektasi, dan karenanya ekspektasi dapat
menimbulkan getaran-getaran emosi dan harapan yang bisa menimbulkan
kekecewaan-kekecewaan. Maka itu manajemen perubahan harus diimbangi dengan manajemen harapan agar
para pengikut dan pendukung perubahan dapat terus membakar energi untuk terlibat dalam
proses perubahan itu, kendati g
oals-nya
meleset atau masih memerlukan waktu untuk dicapai.
Kesepuluh,
perubahan selalu menakutkan dan menimbulkan kepanikan-kepanikan.
Namun demikian, dengan teknik-teknik komunikasi dan perilaku yang baik, perubahan dapat
dikelola menjadi sebuah pesta. Sebuah pesta yang menyenangkan dan hangat, dapat
menimbulkan efek kebersamaan. (Manajemen Perubahan dan Harapan, Renald Kasali, 2007: 23
- 25)
C. Perumusan Masalah
1. Bagaimana perubahan yang terjadi di pesantren ini ?
2. Bagaimana fungsi kepemimpinan di Pesantren Santi Asromo ?
3. Bagaimana gaya kepemimpinan kepemimpinan di Pesantren Santi Asromo ?
4. Bagaimana proses pengambilan keputusan terjadi di Santi Asromo ?
Keempat pertanyaan tersebut di atas dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan khususnya di
Pesantren Santi Asromo Majalengka .
D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan data tentang Perubahan
Pesantren terutama fungsi kepemimpinan, dan proses pengambilan keputusan di lingkungan
Pesantren Santi Asromo Majalengka pada Era Perubahan.
E. Kegunaan atau Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat dari penelitian ini manfaat teori dan manfaat praktis. Secara teoritis
penelitian ini bermanfaat dalam rangka mengembangkan teori-teori kepemimpinan khususnya
gaya kepemimpinan, fungsi kepemimpinan, proses pengambilan keputusan yang diterapkan di
lingkungan organisasi pendidikan keagamaan khususnya di Pesantren Santi Asromo Majalengka.
Sedangkan manfaat praktis hasil penelitian ini berguna sebagai bahan masukan dalam
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Khusus Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan kepemimpinan di
lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka pada Era Perubahan. Secara lebih khusus
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan data tentang:
1. Perubahan yang terjadi di Pesantren ?
2. Pelaksanaan fungsi kepemimpinan di Pesantren Santi Asromo ?
3. Pelaksanaan gaya kepemimpinan kepemimpinan di Pesantren Santi Asromo ?
4. Pelaksanaan proses pengambilan keputusan di Pesantren Santi Asromo ?
B. Latar Penelitian
Penelitian tentang Kepemimpinan di Lingkungan Pesantren Santi Asromo dilaksanakan
di
Pesantren Santi Asromo,
pada bulan
Januari - Juli 2009.
Pesantren Santi Asromo (SA)
terletak di kawasan perbukitan, Majalengka Selatan. Bila memasuki kota Majalengka dari arah
Bandung - Cirebon dan Indramayu, anda akan melalui Kadipaten belok kanan menuju kota
Majalengka lalu ke jalan raya Maja-Cikijing. Sebelum ke kantor camat Maja, ke kiri jalan
Ciomas, sertelah melalui desa Cicalung akan menemui jalan kecil menurun. Tepat di turunan ini
ada petunjuk kecil di sebelah kanan, selepas turunan akan menanjak menuju lokasi pesantren
melewati satu gugus penduduk desa Pagaraji. Jarak dari Majalengka sekitar 17 kilometer. Dalam
penjelasan ini kota Majalengka menjadi patokan. Setelah gugus kiri kanan penduduk lurus
memasuki kawasan kampus itulah, atmosfir khas Pesantren Santi Asromo dapat dirasakan. Hawa
Gambar 1. Pesantren Santi Asromo Majalengka
C. Pendekatan dan Metode yang Digunakan
Pendekatan dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif yakni metode penelitian yang digunakan untuk menggambarkan pada kondisi objek
yang alami, dimana peneliti sebagai instrumen kunci. Metode ini dipilih karena peneliti
bermaksud mendeskripsikan pelaksanaan kepemimpinanan di lingkungan Pesantren Santi
Asromo sebagaimana adanya tanpa ada intervensi dari pihak peneliti. Selain itu penelitian ini
tidak bermaksud membuat generalisasi terhadap Pesantren lain tetapi semata-mata hanya
menggambarkan keadaan yang sesunguhnya di lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka
tersebut berdasarkan data dan informasi dari berbagai informan yang terlibat langsung dalam
berbagai aktifitas pendidikan di lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka. Data dan
informasi yang diungkap berkaitan dengan gaya kepemimpinan, fungsi kepemimpinan, dan
D. Data dan Sumber Data
Data yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah data kualitatif tentang kepemimpinan
di lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka. Data kepemimpinan tersebut dibatasi kepada
data tentang gaya kepemimpinan, fungsi kepemimpinan, dan pengambilan keputusan.Informan
penelitian terdiri atas beberapa unsur pimpinan yang menguasai dan terlibat langsung dalam
pelaksanaan kepemimpinan di Pesantren Santi Asromo . Selain itu untuk melengkapi data yang
diperoleh dari unsur pimpinan digunakan pula informan dari karyawan yang telah lama bekerja
di Pesantren Santi Asromo Majalengka. Jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan sampai
diperoleh data yang lengkap dan komprehensif. Dan melakukan analisis swot.
E. Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data
Setelah peneliti mempunyai surat ijin penelitian, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan penelitian lapangan. Pada awalnya peneliti melakukan orientasi lapangan. Orientasi
lapangan dimaksudkan untuk pengenalan a wall tentang situasi dan kodisi lingkungan Pesantren
Santi Asromo Majalengka melalui orang yang bermukim di daerah tersebut. Dengan demikian
peneliti akan mempunyai gambaran umum tentang kondisi Pesantren Santi Asromo Majalengka.
Selama melakukan penelitian lapangan, secara teknis peneliti melakukan
langkah-langkah penelitian sebagai berikut:
(1) Menetapkan informan;
(2) Melakukan wawancara terhadap informan;
(3) Membuat catatan etnografi;
(4) Mengajukan pertanyaan deskriptif;
(5) Melakukan analisis wawancara;
(7) Membuat analisis swot;
(8) Menulis laporan etnografi.
Secara
operasional
ketujuh langkah tersebut masing-masing dapat diuraikan sebagi
berikut:
Pertama,
menetapkan informan.
Dengan membawa surat izin penelitian tersebut kemudian
peneliti menghubungi dan mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat setempat untuk
mencari informan kunci yaitu memilih informan yang sudah mengenal lingkungan Pesantren
Santi Asromo Majalengka. Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, selanjutnya peneliti memilih
seorang informan yang dapat memberikan informasi kepada peneliti. Informan dalam penelitian
ini adalah orang yang dianggap mempunyai kapabilitas atau kemampuan dalam mendeskripsikan
informasi yang terkait dengan kepemimpinan di lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka
Pada Era Perubahan ini.
Teknik yang digunakan untuk menetukan jumlah informan dengan teknik
Snowball sampling.
Artinya penentuan informan selanjutnya ditentukan berdasarkan pada informasi dari informan
awal. Proses ini beriangsung secara terus-menerus sehingga semakin lama semakin banyak
jumlah informan yang dapat diperofeh oleh peneliti.
Jumlah informan yang diminta untuk membenkan informasi pada penelitian ini sebanyak 6
orang. Jumlah tersebut dipilih secara
purposive
dan jumlah informan sudah dianggap cukup oleh
peneliti karena informasi yang diperoleh sudah cukup dapat memberikan penjelasan mengenai
kepemimpinan di lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka. Dalam studi penelitian
kualitatif dijelaskan bahwa suatu penentuan informan akan dianggap cukup apabila data yang
Tahap kedua,
melakukan wawancara dengan informan.
Setelah dipilih seorang informan,
kemudian dilakukan wawancara dengan informan tersebut untuk menggali informasi mengenai
fenomena yang berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara dilanjutkan dengan informan
Eainnya sampai dengan enam informan agar diperoleh data secara lengkap.
Tahap ketiga,
membuat catatan.
Selama melakukan wawancara peneliti membuat catatan dan
melakukan perekaman dengan tape recorder. Untuk mendukung informasi yang lebih lengkap
peneliti juga melakukan observasi lapangan, memotret lokasi, kegiatan, tempat, dan orang-orang
yang terlibat. Selama melakukan pengumpulan data lapangan, peneliti juga melakukan konsultasi
dengan promoter untuk mendapatkan masukan-masukan dan arahan.
Tahap keempat,
mengajukan pertanyaan deskriptif.
Pada tahap ini peneliti mengajuklan
pertanyaan deskriptif yang intinya dimaksudkan untuk menggali informasi yang
sebanyak-banyaknya tentang kepemimpinan di lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka.
Tahap kelima,
melakukan analisis wawancara. Setelah peneliti, melakukan wawancara dengan
informan, maka hasil dari rekaman itu didengarkan lagi dan ditranskripsikan secara tertulis. Hasil
transkripst ini kemudian dianalisis untuk memperoleh makna yang terkandung di dalamnya.
Catatan observasi lapangan setelah sampai dirumah juga akan dibaca kembali dan dikembangkan
informastnya berdasarkan pada fakta yang telah diamati oleh peneliti.
Tahap keenam,
analisis tema/isi.
Pada tahap ini peneliti memilih hasil wawancara informan
terpilih yang mempunyai informasi lebih lengkap. Dengan didukung informasi data hasil
observasi lapangan selanjutnya dilakukan analisis tema/isi. Analisis isi dimaksudkan untuk
menjelaskan tentang pengertian atau makna konseptual berkaitan dengan tema/fokus penelitian
ini.
Tahap ini peneliti menganalisis hasi observasi dan wawancara tentang kepemimpinan, fungsi dan
proses pengambilan keputusan serta perubahan.
Tahap kedelapan,
membuat laporan penelitian.
Data penelitian diolah sedemikian rupa
sehingga dengan didukung teori yang relevan kemudian peneliti menyusun laporan. Untuk
mewujudkan laporan yang baik, peneliti secara intensif melakukan konsultasi dengan promotor
untuk mendapatkan arahan dan bimbingan sehingga hasil laporan mempunyai isi yang sesuai
dengan fokus penelitian.
F. Analisis Data
Analisis data diawali dari wawancara dengan informan. Selama wawancara dengan
informan dilakukan perekaman dengan tape recorder. Hasil dari
wawancara tersebut setelah
sampai di rumah, kemudian didengarkan kembali dan ditranskripsikan dalam bentuk catatan
tertulis.
1Sedang catatan atau
ceklist
hasil observasi lapangan, setibanya di rumah akan diolah
dengan mengembangkan catatan-catatan hasil observasi. Hasil transkripsi beberapa informan
tersebut kemudian dipilih hasil wawancara dengan informan terpilih yang mempunyai muatan
informasi lebih lengkap dan didukung dengan catatan hasil observasi kemudian dicari makna
konseptual berdasarkan fokus dan pertanyaan penelitian.
Langkah selanjutnya melakukan analisis isi/tema. Analisis tema dilakukan dengan
membuat tema-tema yang sesuai dengan fokus penelitian berdasarkan pada data informasi yang
ada. Datam analisis tema ini peneliti membuat pola Kepemimpinan di Lingkungan Pesantren
Santi Asromo Majalengka. Sesuai dengan fokus penelitian, bahwa tema Kepemimpinan di
Lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka, akan dibuat empat tema yaitu:
(1) Perubahan yang terjadi di Pesantren Santi Asromo
(3) Gaya kepemimpinan
(4) Proses pengambilan keputusan.
Keluaran dari hasil analisis data tersebut akan diperoleh gambaran Kepemimpinan di
Lingkungan Pesantren Santi Asromo Majalengka.
G. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
Suatu
penelitian
akan
mempunyai
nilai
ilmiah,
apabila
hasilnya
dapat
dipertanggungjawabkan. Data penelitian akan mempunyai nilai keabsahan apabila memenuhi
persyaratan kesahihan dan keterandalan. Dalam penelitian kualitatif teknik yang digunakan
untuk menguji kesahihan dan keterandalan data
Lampiran...: Contoh Transkrip wawancara dengan Informan terpilih digunakan dengan (1)
triangulasi sumber, (2) triangulasi metode dan (3) triangulasi teori.
Dalam metode triangulasi dilakukan dengan cara: (1) triangulasi sumber; (2) triangulasi
metode, (3) triangulasi teori.
Triangulasi sumber
adalah melakukan pengumpulan data untuk mengkaji informasi
bagaimana peristiwa yang dialami oleh masyarakat atau orang-orang yang berbeda, pada waktu
yang berbeda, dan pada situasi yang berbeda pula. Pada triangulasi sumber dilakukan dengan
memilih berbagai sumber untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan fokus penelitian.
Dalam hal ini sumber data dilakukan dengan mengklasifikasikan jenis informan yang terdiri dari:
pimpinan yayasan, pimpinan lembaga pendidikan den karyawan. Klasifikasi tersebut diharapkan
dapat sebagai sumber-sumber informasi yang dapat memberikan tingkat keabsahan data dalam
penelitian ini. Dengan melakukan wawancara kepada berbagai unsur informan memungkinkan
peneliti untuk melakukan pengecekan dan pengecekan ulang
(cek and recek)
serta melengkapi
Dalam melakukan wawancara mendalam direkam dengan tape recorder, kemudian hasil
wawancara dibuat transkrip. Dalam hal ini peneliti juga melakukan pengecekan kepada berbagai
sumber yang berbeda untuk mendapatkan informasi yang sama.
Triangulasi metode
adalah menggunakan berbagai metode (dua atau lebih)
dalam
prosedur pengumpulan data. Triangutasi metode memungkinkan peneliti untuk melengkapi
kekurangan informasi yang diperoleh melalui metode tertentu dengan menggunakan metode lain.
Peneliti menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data secara bersamaan, misalnya
pada waktu peneliti sedang melakukan wawancara mendalam dengan informan juga melakukan
foto, dan observasi. Triangulasi metode memungkinkan adanya pengecekan informasi yang
disampaikan oleh masyarakat dengan realita yang terjadi di lapangan. Hasil wawancara dan
observasi dapat direkam dan foto sebagai bukti dari hasil penetitian. Alasan dilakukan trianguiasi
metode karena dalam rekaman kaset
(tape recorder)
belum bisa dipercaya informasinya
sehingga perlu dilakukan pengecekan atau dikompensasi dengan observasi lapangan, teknik
fotografi, studi dokumentasi, serta diskusi dengan kelompok masyarakat. Obervasi lapangan
dilakukan dengan cara diam-diam dan secara terang-terangan. Dengan cara diam-diam, bahwa
peneliti melakukan komunikasi dengan obyek yang diteliti tetapi melakukan pengamatan
terhadap pimpinan yang sedang memimpin rapat. Dari hasil tersebut kemudian dianalisis oleh
peneliti untuk melakukan pengecekan dan dicocokkan dengan hasil wawancara mendalam, hasil
studi dokumentasi dan didukung dengan foto-foto sehingga kesahihan dan keterandalan data
dapat dipercaya. Sedang observasi secara terang-terangan dilakukan dengan wawancara kepada
informan. Observasi tersembunyi dan terang-terangn dikombinasikan untuk mendapatkan
Triangulasi teori
dimaksudkan untuk mendukung konsep perilaku masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan. Dalam hal ini konsep tersebut dihubungkan dengan berbagai teori yang
mendukung. Dalam triangulasi teori ini dilakukan dengan menggunakan kerangka kerja atau
perspektif teoritis yang berbeda untuk mengkaji fenomena yang sama. Semua informasi yang
dicatat harus memiliki sumber yang jelas dan akurat, bukan sebagai hasil dari asumsi dan
pendapat atau reka-reka peneliti. Dengan melakukan kajian berbagai teori yang mendukung
diharapkan adanya kecukupan rujukan untuk merefleksikan secara obyektif hasil informasi yang
BAB V
KESIMPULAN
Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan, implikasi dan saran. Kesimpulan didasarkan
atas temuan-temuan penelitian sebagaimana dibahas pada BAB IV. Implikasi penelitian pada
hakekatnya merupakan konsekuensi dari temuan dan kesimpulan penelitian sedangkan saran
merupakan upaya yang harus dilakukan dalam meningkatkan kepemimpinan di Pesantren Santi
Asromo Majalengka.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan temuan-temuan penelitian sebagaimana dikemukakan dalam bab IV dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.
Perubahan di Pesantren Santi Asromo
Perubahan kepemimpinan dan manajemen serta fisik sudah mengarah lebih baik meskipun
sifstnya lambat.
2.
Fungsi Kepemimpinan di Pesantren Santi Asromo
Semua fungsi-fungsi kepemimpinan yakni fungsi kepemimpinan instruktif, konsultatif,
delegatif, partisipatif dan pengendalian dipergunakan oleh semua unsur pimpinan di
lingkungan Pesantren Santi Asromo . Namun demikian diantara fungsi-fungsi tersebut yang
paling banyak digunakan oleh Bapak Ido adalah fungsi partisipatif. Hal ini terlihat dari sifat
keterbukaan dan keikutsertaan dari semua pihak dalam memecahkan masalah baik melalui
konsultasi, rapat-rapat, diskusi dan kegiatan lain yang memungkinkan semua unsur terlibat di
dalam berbagai program dan kegiatan. Selain itu fungsi delegatif sering juga dipakai Oleh
Namun demikian pengawasan dan pengendalian tetap dilakukan oleh Bapak Ido agar semua
program dan kegiatan dapat berjalan sesuai dengan visi, misi dan tujuan Pesantren Santi
Asromo . Fungsi-fungsi kepemimpinan lain seperti fungsi konsultatif dan instruktif
kadang-kadang juga digunakan pada saat menghadapi situasi yang darurat dan masalah teknis
misalnya pembangunan yang harus sesuai dengan keinginan untuk berubah demi kemajuan
bersama, dan kebersihan lingkungan yang memerlukan penanganan secara cepat dan akurat.
3.
Gaya Kepemimpinan
Pada umumnya gaya kepemimpinan Bapak Ido dan unsur pimpinan di lingkungan
Pesantren Santi Asromo cenderung demokratis. Hal ini terlihat dari adanya kebebasan
berpendapat dari para santri-santrinya dan staf, keterbukaan Bapak Ido dan unsur pimpinan
lain dalam menerima saran, pendapat dari para santrinya serta adanya keterbukaan dari unsur
pimpinan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di
lingkungan Pesantren Santi Asromo . Sungguh pun demikian tidak berarti gaya
4.
Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan di lingkungan Pesantren Santi Asromo dilakukan melalui
musyarawah dan mufakat melalui rapat-rapat dan konsultasi. Semboyan yang dipakai dalam
mengatasi berbagai masalah melalui prinsip-prinsip kaidah agama dan manajerial dalam
Komunikasi, Koordinasi dan Kontrol. Keputusan yang telah diambil jarang berubah kecuali
ada situasi dan kondisi yang mendesak misalnya jika ada aturan yang banyak dilanggar maka
aturan itu segera ditinjau kembali dengan asumsi aturan yang telah diputuskan tadi tidak
relevan dengan situasi dan kondisi di lapangan.
Dari kesimpulan-kesimpulan di atas secara umum dapat dikemukakan bahwa
kepemimpinan di lingkungan Pesantren Santi Asromo telah berjalan sesuai dengan
kaidah-kaidah kepemimpinan, kaidah-kaidah yang modern didukung dengan nilai-nilai moral yang berlaku
di lingkungan Pesantren Santi Asromo .
Ada 3 implikasi yang akan dikemukakan dalam penelitian ini yakni meningkatkan;
gaya kepemimpinan, fungsi kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan.
Ketiganya berorientasi pada era perubahan kekinian.
a.
Upaya meningkatkan fungsi kepemimpinan
Semua fungsi kepemimpinan diorganisasi manapun sangat diperlukan sebab
berkaitan dengan upaya mempengaruhi orang untuk secara bersama-sama mencapai
tujuan organisasi. Oleh sebab itu seorang pemimpin perlu memahami dan menguasai
fungsi-fungsi kepemimpinan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara belajar teori-teori
kepemimpinan, mempraktekkan fungsi-fungsi kepemimpinan dalam organisasi serta
diskusi secara teratur tentang pemecahan berbagai masalah melalui penerapan
kepada organisasi lain yang telah berhasil dalam mengembangkan organisasinya untuk
melihat dan mengkaji pelaksananaan fungsi-fungsi kepemimpinannya.
b.
Upaya meningkatkan gaya kepemimpinan.
Kepemimpinan demokratis sangat diperlukan dalam mengembangkan suatu
organisasi/lembaga pendidikan termasuk di lingkungan Pesantren Santi Asromo . Untuk
itu harus terus dikembangkan melalui berbagai cara antara lain adanya keterbukaan,
partisipasi dari semua pihak serta adanya kesiapan pimpinan untuk menerima pendapat
dan kritik dari berbagai pihak untuk kemajuan lembaga pendidikan. Keterbukaan bisa
dilakukan dengan cara memberi kesempatan pada setiap orang untuk mengajukan
pendapat dan saran baik yang konstruktif maupun yang destruktif sepanjang ada
manfaatnya untuk perbaikan lembaga. Partisipasi dapat dilakukan dengan cara memberi
kesempatan pada semua pihak yang terlibat dalam lembaga pendidikan untuk berkarya
sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing dalam konteks program dan kegiatan
kelembagaan Bapak Idoususnya di lingkungan Pesantren Santi Asromo. Sedangkan
kesiapan pimpinan untuk menerima kritik dan pendapat dari semua pihak sangat
tergantung kepada kepribadian pimpinan sebagai perencana, pembina, pengarah dan
pengawas semua kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan lembaga kependidikan. Ini
berarti seorang pimpinan memerlukan kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi
selain kecerdasan intelektual. Selain itu faktor pengalaman dan ketegasan seorang
pimpinan sangat diperlukan.
c.
Upaya meningkatkan proses pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan merupakan inti daripada proses manajemen. Keberhasilan
baik dalam pemecahan masalah yang dihadapi maupun dalam perumusan kebijakan
unbtuk pengembangan organisasi. Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam proses
pengambilan keputusan baik faktor internal maupun faktor eksternal organisasi. Dalam
pengambilan keputusan diperlukan kearifan agar semua keputusan tidak menimbulkan
masalah baru. Ada dua hal yang harus diperhatikan yang pertama data dan informasi yang
tepat dan akurat sebagai bahan dalam pengambilan keputusan dan kedua adalah
formulasi/rumusan keputusan yang diambil oleh pimpinan. Untuk itu diperlukan adanya
evaluasi yang menyeturuh terhadap berbagai fenomena yang terjadi sebagai bahan dalam
proses pengambilan keputusan. Sedangkan formulasi keputusan yang diambil oleh
pimpinan sebaiknya dilakukan metalui musyawarah dengan unsur pimpinan lain agar
keputusan yang diambil bisa diterima oleh semua pihak. Upaya untuk itu dapat dilakukan
dengan cara diskusi dan rapat-rapat yang teratur, mengkaji data dan informasi yang
terencana serta penelaahan yang seksama oleh para unsur pimpinan dalam berbagai
masalah yang terjadi dilapangan.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi di atas diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Saran untuk unsur pimpinan
Kepemimpinan yang sudah berjalan di lingkungan Pesantren Santi Asromo baik yang
berkaitan dengan gaya kepemimpinan, fungsi kepemimpinan maupun proses pengambiian
keputusan yang dinitai telah tepat agar terus dilaksanakan dan dikembangkan sesuai tuntutan
jaman di era perubahan.Pimpinan sebagai agen perubahan (Change Maker) Sedangkan hal-hal
yang masih perlu diperbaiki/disempumakan sebaiknya dinilai, dikaji, dibahas, dan
Pesantren dimasa yang akan datang. Selain itu para unsur pimpinan agar lebih banyak
menggali berbagai aspirasi dari masyarakat tentang keberhasilan dan atau ketidak berhasilan
Pesantren dalam melakukan pendidikan dan dakwah sebagai bahan perbaikan dan
penyempurnaan di masa yang akan datang.
2. Saran untuk penelitian lebih lanjut
Penelitian ini terbatas kepada aspek kepemimpinan terutama dari segi gaya, fungsi dan
proses pengambiian keputusan. Masih ada masaiah lain yang perlu diteliti lebih lanjut antara
lain: proses pendidikan dan dakwah, evaluasi keberhasilan Pesantren Santi Asromo , dampak
pendidikan dan dakwah Pesantren Santi Asromo terhadap kualitas santri, faktor-faktor
penentu keberhasilan pendidikan dan dakwah serta studi Bapak Ido Nurzaini khusus tentang
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moch. Idochi.
Administrasi Pendidikan dan Manajemen Pendidikan.
Bandung :
Alfabeta, 2003.
Satori, Djam’an & Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Alfabeta. 2009.
Hasselbein, Frances dan Rob Johnston, On Mission and Leadership, Jakarta,Gramedia, 2005.
Blanchard, Ken dan Mark Miller, The Secret, Jakarta, Gramedia, 2005.
Barnard, Bass M.
Stogdill's Handbook of Leadership.
New York: Macmillan Publishing Co, Inc.
1981.
Dharma, Agus. Gaya
Kepemimpinan yang Efektif Bagi Para Manajer.
Bandung: Sinar Baru,
1984.
Siagian,S.P. Manajemen Modern, Jakarta, 1983
Soeharso, Amiti Kumara. Mengendalikan Konflik dan Negosiasi, Jakarta. Pustaka Jaya. 1993.
Atmosudirjo, S. Prajudi, Kesekretarisan dan Administrasi Perkantoran, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1982.
Salusu, J,Prof.Dr.Pengambilan Keputusan Stratejik, Jakarta, Grasihdo,2002.
Gymnastiar, Abdullah.
Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhid.
Bandung: Mizan,
2004.
Gymnastiar, Abdullah.
Amanah Perjuangan Untuk Kepemimpinan.
Bandung: PERJUANGAN
Publishing, 2004.
Hersey, Paul.
Kunci Sukses Pemimpin Situasional.
Jakarta: Aksara, 1994.
Kasali, Renald. Manajemen Perubahan Dan Harapan, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2007.
JohnGardner.(http://www.cse.ucsc.edu/ctasses/cmps050/Fall100/obriench/tsd I050.htm).
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimplnan, Apakah Pemimpin Abnormal Itu?, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 1994.
Koswara dan Nuryantini. Manajemen Lembaga Pendidikan. Bandung: Petragading, 2002.
Ma'mur Asmani, Jamal.dkk. Menggagas Pesantren Masa Depan. Yogyakarta: Qirtas, 2003.
Nawawi, Hadari dan M. Martini Hadari, Kepemimipinan Yang Efektif. Yogyakarta:
Gajahmada University Press, 1993.
Pramuko, Yudi. RaportBiruAa Gym Undercover. Jakarta: Taj Mahal, 2003.
Robert R. Blake and Jane S. Mouton. The Managerial Grid. Houston Texas: Gulf Publishing Co.,
1964.
Siagian, Sondang P. Managemen Modem. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Siagian, Sondang P. Teori dan Praktik Kepemimplnan. Jakarta: Rineka Cipta, Edisike-3, 1994.
Siradj, Said Aqiel. Pesantren Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Stoner, James A.F. and R. Edward Freeman. Manajemen, terjemahan W. Bakowaton. Jakarta:
Intermedia, 1994.
Sudarsono. Management of Organzational Behavior Utilizing Human Resources. Jakarta:
Sugiarti, Ms Sri . Hubungan Antara Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Motivasi Kerja Dengan
Kepuasan Guru. Jakarta: Program Pasca Sarjana UNJ, 2004.
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, 2002.
Sumanto, Joko. Prestasi Kerja Kepala Sekolah. Jakarta: Program Pasca Sarjana UNJ, 2003.
Terry, George R. Principles of Management. Homewood Illnois, Record D. Irwin, 7rd Edition,
1977.
Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Tim MQ Publishing. Welcome to Daarut Tauhid. Bandung : MQ Publishing, 2003.
Toha, Miftah. Kepemimpinan Dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Prilaku. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cetakan ke-5,1995.
Wahyosumidjo. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Raja Gralindo Persada, 1999.
Wexley, Kenneth N and Gary A, Yuki. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Jakarta:
Rineka Cipta, 2003.
Wiliam, Reddtn J. Managerial Ef&btiveness. New York: McGraw-Hill, 1970.
Yuki, Gary. Kepemimpinan dalam Organisasi, terjemahan Jusuf Udaya. Jakarta: Prehalindo,