• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PEMBINAAN NILAI-NILAI AGAMA PADA SISWA TUNAGRAHITA: Studi Deskriptif tentang Pembinaan Nilai-nilai Agama sebagai Pendidikan Umum pada Siswa Tunagrahita Di SLB Negeri Cileunyi Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA PEMBINAAN NILAI-NILAI AGAMA PADA SISWA TUNAGRAHITA: Studi Deskriptif tentang Pembinaan Nilai-nilai Agama sebagai Pendidikan Umum pada Siswa Tunagrahita Di SLB Negeri Cileunyi Bandung."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PEMBINAAN NILAl Nil AI AGAMA

PAD A SISWATT3TS AGRAH1TA

(Studi Deskriptif tentang Pembinaai Nilai-nilai Agama

sebagai Pendidikan Umum pada Siswa Tunagrahita

di SLB Negeri Cileunvi kandung)

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Program S2 Program Pascasaijana Universita^ Pendidikan Indonesia

Program Studi Pendidikaii Umum

Oleh, Edi Rohendi Nim: 979640

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

DISETUJUI OLEH:

Pembimbing

Prof. Dr. H. Maman Abdurrachman

Pembimbing II

<Ot*

(3)
(4)

ABSTRAK

JUDUL

POLA PEMBINAAN NILAI-NILAI AGAMA PADA SISWA TUNAGRAHITA

Studi Deskriptif tentang Pembinaan Nilai-nilai Agama

sebagai Pendidikan Umum pada Siswa Tunagrahita

Di SLB Negeri Cileunyi Bandung (Edi Rohendi)

Siswa tunagrahita (mental retarded) merupakan bagian dari warga negara

yang mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan, pembinaan dan bimbingan.

Dalam melaksanakan hak-hak tersebut, yang bertanggungjawab adalah keluarga,

sekolah dan masyarakat.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tujuan untuk menciptakan

warga negara yang baik, manusia seutuhnya yang mampu mencapai kehidupan

bahagia di dunia dan akhirat. Salah satunya melalui pembinaan agama. Sekolah

selain mencetak manusia yang memiliki pengetahuan, menciptakan kehidupan

bangsa, juga memiliki fungsi sebagai pembentuk manusia-manusia yang beriman

dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manusia yang menjalankan

keyakinan agama dalam hidupnya. Sosok manusia yang memiliki nilai-nilai agama

itu adalah manusia yang berpegang dan menjalankan prinsip-prinsip agama, yakni

aqidah (keimanan), menjalankan syariat termasuk didalamnya ibadah dan memiliki

akhlaq. Oleh sebab itu, sekolah berfungsi juga sebagai wadah pembinaan,

bimbingan dan pengarahan nilai-nilai agama.

Melihat latar belakang agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia,

maka disitulah dapat mengetahui secara jelas tentang tujuan agama yaitu untuk

mewujudkan kehidupan bahagia, damai, selamat di dunia dan di akhirat.

Sekolah Luar Biasa merupakan lembaga pendidikan yang mendidik dan

membina anak berkelainan, termasuk anak tunagrahita, yang sama mempunyai

tujuan-tujan seperti yang dimaksud di atas. Karakteristik mereka mengalami

gangguan dalam bidang intelegensi, adaptasi sosial dan kekurangan fungsi mental

lainnya, seperti memerlukan waktu lama dalam bereaksi pada situasi yang baru, dan

dalam berbahasa. Berdasarkan kondisi faktual,

mereka masih memiliki potensi

yang bisa dikembangkan dengan pembinaan yang khusus yaitu di sekolah.

Beranjak dari pemikiran-pemikiran di atas, penelitian ini merupakan upaya

penelusuran pola-pola pembinaan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh pihak

sekolah yaitu SLB dalam membina dan menanamkan nilai-nilai keagamaan pada

anak didiknya, yakni siswa tunagrahita.

Penelitian ini difokuskan kepada bagaimana pola pembinaan nilai-nilai

agama pada siswa tunagrahita ringan (debil), meliputi pembinaan nilai-nilai

keimanan, ketaatan, nilai ibadah, dan nilai akhlak. Pembinaan keimanan hanya

mengenai keimanan kepada Allah yakni mengenai adanya Allah Tuhan Pencipta,

(5)

Pembinaan aspek ibadah yaitu wudlu dan ibadah sholat, pembinaan ketaatan

dan kepatuhan termasuk kepada ketaatan dalam perintah agama. Pembinaan akhlak meliputi terhadap guru, orangtua, dan orang lain.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menerapkan

teknik-teknik: observasi, wawancara, studi dokumentasi dan pustaka.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa proses pembinaan nilai agama yang

dilakukan oleh guru atau pihak sekolah: Pertama, materi pelajaran diambil dari kurikulum agama untuk SDLB disesuaikan dengan kemampuan anak. Kedua, metode pembinaan yang diterapkan adalah mencontoh Rosulullah, seperti: ibrah, mauizhoh keteladanan, pengalaman dan latihan, pengulangan (tadarus), pembiasaan, layin (lemah

(6)
(7)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR Hi

UCAPAN SYUKUR DAN TERIMA KASIH v

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 12

D. Definisi Operasional 14

BAB II TELAAH KONSEPTUAL TENTANG PEMBINAAN NILAI

NILAI AGAMA PADA SISWA TUNAGRAHITA

A. Pembinaan Nilai-nilai Agama dalam Pendidikan Umum

1. Pendidikan Umum 16

2. Pembinaan Nilai-nilai Agama dalam Rangka Pendidikan

Umum 21

3. Tujuan Pembinaan Nilai-nilai Agama Kaitannya dengan

Tujuan Pendidikan Umum 23

B. Pembinaan Nilai-nilai Agama

1. Pengertian Agama Islam 25

2. Pentingnya Pembinaan Nilai-nilai Agama Islam 27 3. Aspek-aspek Pembinaan Nilai Agama 29

4. Metode Pembinaan Nilai-nilai Agama 41

C. Pembinaan Nilai-nilai Agama Pada Anak Tunagrahita

1. Perkembangan Anak 44

2. Pengertian, Karakteristik dan Bimbingan Belajar

Anak Tunagrahita 50

3. Prinsip-prinsip Metodologi dalam Pendidikan

Anak Tunagrahita 56

4. Pembinaan Agama Pada Anak Tunagrahita 58

5. Pola Pembinaan Nilai-nilai Agama pada Anak

Tunagrahita 63

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode dan Pendekatan Penelitian 65

B. Instrumen Penelitian 66

(8)

C. Teknik Pengumpulan Data 68

D. Subjek Penelitian 73

E. Tahapan-tahapan Penelitian 73

F. Proses Analisis dan Interpretasi 77

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi dan Interpretasi Hasil Penelitan

1. Kondisi Umum Lokasi penelitian 81

2. Tujuan Sekolah Dalam Pembinaan Nilai Keagamaan 82

3. Keadaan Subjek Penelitian 85

4. Deskripsi Pembinaan Nilai Keimanan 89 5. Deskripsi Pembinaan Nilai-nilai Ketaatan 96

6. Deskripsi Pembinaan Penerapan Pelaksanaan Ibadah 101

7. Deskripsi Pembinaan Nilai-nilai Akhlak 109 B. Analisis Pembahasan

1. Pembinaan Nilai Keimanan 114

2. Pembinaan Nilai Ketaatan 125

3. Pembinaan Penerapan Pelaksanaan Beribadah 128 4. Pembinaan Penerapan Nilai Akhlak 135

BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 143

B. Implikasi 144

C. Rekomendasi 145

KEPUSTAKAAN 147

LAMPIRAN

(9)

DAFTAR TABEL

TABEL -1 Estimasi jumlah anak luar biasa usia 6-12 tahun

di Indonesia 1992/1993 52.

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia, karena

berperan membina dan meningkatkan harkat serta martabat manusia. Pendidikan dalam kehidupan manusia, merupakan hal yang paling utama di antara kebutuhan hidup manusia, karena dapat mengubah manusia ke arah kedewasaan. Untuk itu, pendidikan bukan hanya transfer ilmu, melainkan sebagai transformasi (transformation) nilai Pendidikan sebagai transformasi nilai merupakan proses

perubahan pada diri manusia, baik sosial, emosional maupun intelektual.

Sudarrninta dalam Darminingtyas (1999:3) mengemukakan, kata pendidikan

mengandung sekurang-kurangnya empat pengertian, yaitu bentuk kegiatan, proses, buah atau produk yang dihasilkan oleh proses tersebut, serta sebagai ilmu.

Pendidikan luar biasa (PLB) merupakan bagian dari sistem pendidikan

nasional, UUSPN 1989 bab III pasal 8 ayat 1, mengemukakan warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa.

UUD 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan; Tiap-tiap warga negara berhak

mendapatkan pengajaran. Hal senada terdapat dalam Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (Universal declaration of Human Right) yang dilahirkan PBB

pasal 26, mengemukakan: setiap orang berhak memperoleh pendidikan (everyone

has the right to education) . Pernyataan-pernyataan tersebut mengandung implikasi

(12)

tunagrahita (terbelakang mental), karena mereka merupakan bagian dari warga

dunia.

Anak tunagrahita (mentally retarded) merupakan bagian dari anak luar biasa, walaupun mereka mengalami keterbelakangan kecerdasan, tetapi masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Ciri utama anak ini adalah memiliki kelemahan dalam berpikir atau bernalar. Dampak kelemahan berpikir, mereka memiliki kemampuan belajar dan adaptasi sosial dibawah rata-rata anak normal. Menurut Japan League for the Mentally retarded dalam Abdurahman dan Sudjadi (1994: 20-21) yang dimaksud dengan retardasi mental ialah (1) fungsi

intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku, (2)

kekurangan dalam prilaku adaptif dan (3) terjadi pada masa perkembangan,

yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Sedangkan menurut AAMD

(American Association of Mentally Defeciency), memberikan batas IQ 84

kebawah, dan muncul sebelum usia 16 tahun

Kedua batasan di atas, memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu: memiliki IQ dibawah rata-rata anak normal secara nyata, (2) memiliki kekurangan dalam prilaku adaptif, dan (3) terjadi pada masa perkembangan. Perbedaannya pada penentuan batas skor IQ dan batas usia perkembangan.

Kontroversial mengenai dapat tidaknya perkembangan anak tunagrahita

diperbaiki, secara universal umumnya diterima proposisi bahwa, melalui pembinaan latihan dapat ditingkatkan penampilan adaptifnya (Abdurachman dan

(13)

Anak normal dianggap memiliki IQ 100, karena antara umur kecerdasan

(mental age) dengan umur kalendemya (cronological age) dikalikan 100

menghasilkan skor 100. Anak yang cerdas memiliki skor IQ diatas 100, karena perkembangan umur kecerdasannya berkembang lebih cepat dibanding umur kalendemya, sedangkan anak tunagrahita memiliki IQ dibawah 100, karena umur

kecerdasannya berkembang lebih lambat dari umur kalendemya. AAMD dalam

Amin dkk (1981/1982) mengemukakan keterbelakangan mentalnya harus signifikan bedanya dari anak normal, yaitu memiliki IQ 70 atau dibawah 70, sedangkan anak yang memiliki IQ di atas 70 sampai 85 disebut lambat belajar (slow learner) . Klasifikasi anak tunagrahita terbagi tiga kategori, yaitu (1) mampu didik (debil,

educable) memiliki rentangan IQ 50 - 70, (2) mampu latih (imbesil, trainable)

memiliki rentangan IQ 25 - 50 dan, (3) idiot (profound, totally dependen) yaitu

yang memiliki IQ dibawah 25.

Lebih rinci Amin (1982/83) mengklasifikasikan anak tunagrahita, sebagai

berikut:

1. Idiot, artinya terisolir (bahasa Yunani) atau tidak dapat bersatu dengan orang lain. Anak idiot tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain, tidak dapat dilatih mengurus diri, tidak dapat melakukan sosialisasi dan bekerja, sepanjang

hidupnya selalu bergantung kepada bantuan orang lain, dan kecerdasannya

kira-kira seperempat anak normal. Ciri lainnya adalah mongoloisme. Populasi anak

ini sekitar 5 % dari jumlah anak tunagrahita.

2. Imbesil, anak ini lebih cerdas dari anak idiot, mereka dapat berkomunikasi

(14)

dapat membaca dan menulis walaupun mereka diajari, mereka masih memiliki

potensi untuk mengurus diri sendiri. Perkembangan kecerdasanya seperempat

hingga setengah perkembangan anak normal. Populasi anak ini 20 % dari

seluruh anak tunagrahita.

3. Debil, anak ini lebih cerdas dari anak imbesil, tetapi mereka tidak dapat

menyamai kecerdasan anak normal di sekolah biasa, mereka masih dapat belajar

membaca, menulis dan berhitung. Untuk itu, mereka disebut sebagai mampu

didik (educable)* Kecerdasannya berkembang antara setengah hingga tiga

perempat kecerdasan anak normal. Kecerdasan anak tunagrahita apabila sudah

mencapai usia dewasa sama dengan anak normal yang berumur 8 hingga 12

tahun. Populasi anak ini 70 % dari jumlah anak tunagrahita.

Klasifikasi sosial psikologis anak tunagrahita dikategorikan sebagai

tunagrahita apabila memperiihatkan adanya penyimpangan yang nyata dari anak

normal, baik dalam fungsi intelektual maupun dalam prilaku adaptif yang terukur.

Grossman dikutip Kirk dan Galagher dalam Abdurachman dan Sudjadi (1994)

mengemukakan, tarap tunagrahita (retardasi mental) menurut skala inteligensi

Wechler adalah sebagai berikut:

a. Retardasi mental ringan (mild mental retardation) IQ-nya 55-69 b. Retardasi mental sedang (moderate mental retardation) IQ-nya 40 - 54 c. Retardasi mental berat (severe mental retardation) IQ-nya 25- 39

d. Retardasi mental sangat berat (profound mental retardation) IQ-nya 24

(15)

Klasifikasi peserta didik anak tunagrahita untuk keperluan pembelajaran, Abdurachman dan Sudjadi (1994) mengemukakan empat kelompok perbedaan,

yaitu:

1. tarap perbatasan atau lamban belajar (the border line or slow learner) IQ-nya

70-85

2. tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded) IQ-nya 50 - 70 atau 75

3. tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded) IQ-nya 30, 35 sampai

50-55

4. tunagrahita mampu rawat (dependent orprofoundly mentally retarded) IQ-nya

dibawah 25 atau 30

Mengingat heterogenitasnya anak tunagrahita, maka penelitian ini akan

difokuskan pada anak tunagrahita kelompok mampu didik (educable) atau anak

tunagrahita ringan. Anak ini memiliki IQ 50 - 70 atau 75 sehingga mereka masih

memiliki potensi intelektualnya atau potensi akalnya yang dapat dikembangkan untuk hal-hal yang bersifat akademis. Untuk itu, perlu dikembangkan dengan jalan

dididik atau dibina. Sabda Nabi Muhamad Saw. Didiklah anak-anak kalian sesuai

dengan kemampuan akalnya (Addibu auladakum biqodri uqulihim) (Abdurachman

An-Nahlawi, 1996:18).

Kemampuan akal seseorang dapat menjadikan tanggungjawab terhadap

pribadi dan terhadap Tuhan penciptanya. Seseorang yang antara usia dan akalnya

sudah dapat dikategorikan dewasa, maka sudah mendapat khitob dari Tuhan. Firmal Allah QS. 2: 286 menyatakan, Allah tidak akan membebani seseorang

(16)

juga dalam QS. 23: 62 menyatakan, dan kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya (Walaa nukallifullohu nafsan ilia wus 'aha).

Kedua firman tersebut mengimplikasikan bahwa setiap orang memperoleh kewajiban menjalankan agama sesuai dengan usia dan kemampuan akalnya (baligh berakal), tidak terkecuali mereka yang mengalami kekurangan (tunagrahita).

Mereka akan dilihat sesuai dengan tingkat perkembangan akalnya. Oleh karena itu, anak tunagrahita yang masih memiliki potensi akal dapat dibina, dididik dan dilatih

termasuk dalam pembinaan nilai-nilai keagamaan.

Dalam ajaran Islam pertolongan dan perhatian terhadap orang yang

mengalami kekurangan (lemah) pernah diperingatkan oleh Allah kepada Nabi Muhamad ketika kedatangan seorang buta yaitu Abdulah bin Umi Maktum yang ingin meminta pelajaran kepadanya. Rosululah tidak memperhatikannya, bahkan berpaling dan bermuka masam, karena pada waktu itu sedang menghadapi pembesar Quraisy. Sikap Rosululah yang demikian itu ditegur oleh Allah dengan turunnya surat 'Abasa, yaitu , Dia (Muhamad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya ('abasa watawalla anjaa ahul 'ama)

Pendidikan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh orang dewasa

berdasarkan nilai tertentu untuk membimbing, mengajar, melatih dan membina

peserta didik agar dapat meningkatkan, mengembangkan dan menyalurkan segenap

potensi jasmani, rokhani, akal pikiran dan hawa nafusnya sehingga ia dapat hidup

lebih puas dan baik, produktif dan bertanggungjawab secara moral dalam rangka

memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negaranya.

(17)

tampa mengarah secara terpadu menuju peningkatan harkat dan martabat manusia

sempuma dan manusiawi.

Kondisi faktual menunjukkan bahwa manusia tidak pernah lepas dari nilai dan norma moral dari manapun sumbemya, termasuk dari sumber agama. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan harus dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh umat manusia, termasuk nilai agama yang dianutnya, karena nilai agama (Islam) cakupannya lebih universal dibanding nilai lainnya (seperti nilai adat istiadat). Baihaqi (1996) mengemukakan, Pendidikan adalah usaha sadar

berbentuk bimbingan, pengajaran dan latihan oleh manusia (pendidik) untuk

manusia (terdidik) dalam rangka upaya mengerahkan si terdidik menuju

peningkatan harkat, derajat dan martabat yang lebih tinggi. Manusia merupakan

makhluk paling mulia yang memiliki potensi yang sangat mendasar, yaitu potensi

jasmani, rokhani, akal pikiran dan hawa nafsu. Potensi tersebut dapat

mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, juga potensi tersebut

menyebabkan manusia memiliki motivasi dan kebutuhan, menerima perubahan,

sikap untuk hidup lebih maju dan hidup bermasyarakat. Hal tersebut disebabkan

oleh ikatan kesamaan kebutuhan, nilai atau agama.

Kehidupan yang serba moderen dewasa ini, pengakuan akan hak yang

sama bagi umat manusia untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam

memperoleh pendidikan semakin mantap dan diyakini orang. Lodge dalam

Mastuhu (1999:30), menyatakan bahwa, hidup adalahpendidikan, danpendidikan

(18)

pegangan dasar dan sikap, pengetahuan dan pengalaman yang memungkinkan dapat hidup mandiri serta mampu berkomunikasi dengan sesama

Dengan pegangan dasar, sikap, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki manusia hendaknya mampu membantu manusia tampil dalam kepribadian yang

utuh, yaitu selaras, serasi dan seimbang antara kehidupan individual dan sosialnya, antara kehidupan lahir dan batin, material dan spiritual, antara dunia dan akhiratnya, atau manusia utuh. Inilah salah satu sasaran pendidikan umum

(Nursid Sumaatmadja, 1990)

Manusia utuh adalah manusia yang memiliki keseimbangan lahir bthin,

Sudjatmiko dkk. (1986: 111) mengemukakan,

Manusia Indonesia seutuhnya, merupakan perwujudan normatif atau citra ideal manusia Indonesia, pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah atau batiniah. melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, keselarasan antara sesama manusia serta lingkungan alam sekitarnya, keselarasan antar bangsa, keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dan mengejar kehidupan akhirat.

Pembentukan manusia utuh dan berkualitas yang paling utama adalah

kualitas nilai agama yang bersumber dari ajaran Islam. Salah satu wahana yang paling tepat untuk itu, melalui upaya-upaya pembinaan nilai-nilai agama di

sekolah.

Sosok manusia yang memiliki nilai-nilai agama Islam adalah manusia yang

(19)

yang berkaitan dengan keyakinan, landasan pokok dari setiap amaliah seseorang (muslim). Aqidah ini meliputi semua persoalan keimanan, yaitu hal-hal yang

harus dipercayai atau diyakini oleh seorang muslim (Humaidi Tatapangarsa,

1981)

Syariah meliputi peraturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Peraturan ini ini dibagi dua bagian, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah mengatur hubungan

manusia dengan Allah, muamalah mengatur hubungan manusia dengan manusia

lainnya serta hubungan manusia dengan seluruh alam.

Akhlak adalah tatacara (tatakarama), atau budipekerti, perangai, sopan santun (Natsir, 1982). Akhlak ini mempakan hal yang esensial dalam ajaran Islam,

karena akhlak dapat membina mental dan jiwa seseorang sehingga memiliki

hakekat kemanusiaan yang tinggi.

Nisbah atau hubungan antara aqidah, syariah dan akhlak, ketiganya

memiliki hubungan timbal balik yang saling berkaitan, saling berkorelasi. Aqidah

mendasari dan dapat melahirkan syariah dan akhlak. Syariah mempakan aturan

yang berdasarkan aqidah dan hams ditampilkan dengan akhlak. Hal tersebut,

mengandung makna bahwa selumh aspek kehidupan seorang muslim tidak dapat dipisahkan dari aqidah sebagai landasan yang menjadikan hidup seorang muslim menjadi utuh atau integral. Integralitas aqidah, syariah dan akhlak mengisyaratkan bahwa seorang muslim hams meletakan hidupnya secara utuh dalam Islam, tidak berpandangan dichotomis atau berpandangan ganda. Hal ini sesuai dengan firman Allah (Q.S., 2: 208) ....masuklah kamu sekalian dalam Islam secara menyeluruh

....(... udkhulufissilmi kaffah...)

(20)

Tujuan pembinaan nilai-nilai agama bagi anak tunagrahita berdasarkan

prinsip-prinsip di atas, adalah terwujudnya siswa yang beriman, bertaqwa kepada Allah serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa

dan bemegara.

Pencapaian pembinaan nilai-nilai agama bagi anak tunagrahita selain

dipengamhi oleh kondisi anak itu sendiri, juga dipengamhi oleh masalah-masalah

yang berkaitan dengan proses pembinaan anak di sekolah serta faktor ekstemal lainnya (keluarga dan masyarakat), terutama kondisi pembinanya (gum).

Dari hasil penjajagan di lokasi penelitian menunjukkan belum ada gum khusus yang mengajar agama atau gum bidang pendidikan agama, baik yang

ditugaskan dari Depag atau dari Diknas. Pendidikan agama disampaikan oleh gum

kelas yang tidak memiliki latar belakang pendidikan secara khusus, melainkan

hanya sekedar pengalaman dan kreativitas dirinya.

Dari aspek keluarga dan masyarakat, tiap orang memiliki naluri untuk

mengasihi, menyayangi, melindungi, memelihara setiap anaknya, tetapi tidak setiap

orang, terlebih orang tua anak tunagrahita memiliki kesiapan untuk menampilkan

naluri di atas sehingga kurang memperhatikan kondisi anak. Hal tersebut disebabkan tidak ada orang tua yang mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi tersebut. Disamping itu masih banyak anggota keluarga termasuk orang tua

yang merasa kurang yakin bahwa anaknya masih dapat dilatih dan dibina, pada

gilirannya kurang memberikan perhatian yang serius dalam mengembangkan

potensi anaknya, khususnya dalam pembinaan nilai agama. Begitupun dengan

kondisi masyarakat, umumnya mereka masih memandang anak tunagrahita sebagai

(21)

makhluk yang kurang berguna dan kurang yakin mengenai keberhasilan pendidikan

mereka (anak tunagrahita).

Bertitiktolak dari kenyataan yang telah diuraikan di atas, yaitu mengenai

kondisi siswa, aspek-aspek gum, keluarga dan masyarakat, penelitian ini bempaya

mengkaji bagaimana proses pembinaan nilai-nilai agama bagi anak-anak tunagrahita

di sekolah.

B. Rumusan Masalah

Bertitiktolak dari permasalahan di atas, maka penelitian ini difokuskan

pada

faktor sekolah, yang berperan sentral dalam pembinaan nilai agama,

khususnya untuk anak tunagrahita.

Posisi gum yang begitu sentral, mulia dan terhormat di mata orang tua

dan masyarakat, karena peranan, tugas dan kedudukkannya. Al Gozali dalam Ihya

Ulumuddin dikutip Athiyah Al Abrasy (1974:130) mengemukakan,

Seorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu, maka dialah yang

dinamakan besar di bawah kolong langit ini, ia adalah ibarat matahari yang menyinari

prang lain dan mencahayai pula dirinya sendiri, ibarat minyak kesturi yang baunya

dinikmati orang lain dan ia sendiri harum, siapa yang bekerja dibidang pendidikan,

maka sesungguhnya ia telah memiliki pekerjaan yang terhormat dan yang sangat

penting, maka hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugas-tugasnya.

Pembinaan nilai agama yang bersumber pada prinsip-prinsip agama atau

ruang lingkup agama atau dasar-dasar agama, yaitu aqidah, syariah dan akhlak.

Pencapaian tujuan yang tercakup dalam mang lingkup tersebut, semuanya terpusat

pada gum, karena guru adalah spiritual father (bapak rokhani) bagi seorang

murid, yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan

membenarkannya...(Al Abrasy, 1974:131).

(22)

Gum hams mampu menciptakan kualitas PBM yang baik sesuai dengan kondisi siswa, seperti dalam hal memilih materi, menetapkan metode dan pendekatan. Tafsir (1955:9) mengemukakan, metode yang tepat yang berfungsi

pada murid, menjadi milik murid, membentuk dan mempengaruhipribadinya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, fokus penelitian ini adalah bagaimana pola pembinaan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh guru terhadap anak tunagrahita di SLB Negeri Cileunyi. Pola pembinaan nilai agama tersebut, masalahnya meliputi:

1. Bagaimana pembinaan nilai keimanan yang dilakukan sekolah pada anak

tunagrahita.

2. Bagaimana pembinaan nilai ketaatan dan kepatuhan yang dilakukan sekolah

kepada siswa tunagrahita.

3. Bagaimana pembinaan nilai ibadah yang dilakukan sekolah pada anak

tunagrahita.

4. Bagaimana pembinaan nilai akhlak yang dilakukan sekolah pada anak

tunagrahita.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pembinaan nilai-nilai agama yang

dilakukan sekolah kepada anak tunagrahita ringan di kelas dasar, mulai dari

kelas dasar 4 (D.4) sampai kelas dasar 6 (D.6), meliputi:

1. Nilai agama dalam aspek keimanan, yaitu iman kepada Allah.

2. Nilai agama dalam aspek ketaatan dan kepatuhan

(23)

3. Nilai agama dalam aspek ibadah, yakni berwudlu dan ibadah sholat

4. Nilai agama dalam aspek akhlak, yaitu terhadap gum, orang tua, teman dan

kepada orang lain.

2. Manfaat Penelitian

Bertitiktolak dari latar belakang dan rumusan permasalahan di atas,

diharapkan penelitian ini dapat dijadikan masukan sebagai berikut:

1. Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi para

pengelola SLB untuk anak tunagrahita dalam upaya pembinaan nilai nilai

agama, juga sebagai bahan mjukan atau pegangan bagi keluarga dan

masyarakat yang memiliki anak tunagrahita dalam mengembangkan potensi

anak, khususnya pengembangan potensi nilai-nilai agama yang mempakan

bekal dasar dalam mengarungi kehidupan, baik yang berhubungan dengan

Tuhan, maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam

tempat hidupnya.

2. Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan diperoleh informasi yang dapat

dijadikan prinsip-prinsip mengenai pembinaan nilai agama pada siswa

tunagrahita ringan di kelas dasar SLB yang dapat dilakukan oleh sekolah.

3. Pengembangan pribadi, aktivitas penelitian ini sudah barang tentu menjadikan

pengalaman yang sangat berharga dalam pengembangan pribadi peneliti,

khususnya dalam pengalaman mengenai pemahaman pendidikan luar biasa

yang sebelumnya peneliti tidak memiliki latar belakang pendidikan tersebut.

(24)

D. Deflnisi Oerasional

Untuk menata konstmk penelitian ini, dan menghindari kesalahfahaman dalam

menginterpretasi istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu

didefinisikan secara operasional, yaitu:

1. Pola pembinaaan adalah suatu kerangka yang memuat langkah-langkah dalam pembinaaan untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.

2. Nilai-nilai agama yang dimaksud dalam tesis ini adalah hal-hal yang penting dan

berguna dalam kehidupan yang bersumber dari ajaran Islam yang tercakup dalam

dasar-dasar, atau ruang lingkup ajaran Islam yaitu nilai aqidah (keimanan), syariah (ibadah) dan akhlak.

3. Siswa tunagrahita ringan (terbelakang mental ringan) adalah anak yang

mengalami keterbelakangan kecerdasan dan kekurangan prilaku adaptif yang

ditandai dengan IQ 50-70/75.

4. SLB (Sekolah Luar Biasa) yaitu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan

pendidikan bagi anak-anak yang mengalami kekurangan phisik dan mental.

Dengan demikian definisi operasional tentang kata-kata kunci yang telah dikemukakan di atas, menjadi landasan bagi peneliti untuk mempersiapkan

bagaimana pihak sekolah membina nilai-nilai keimanan, nilai ibadah dan akhlak.

Langkah-langkahnya yaitu dengan cara meletakan dasar, menanamkan,

menjelaskan, melatih, membiasakan, memberi teladan, memberi motivasi,

memberi contoh dan mengembangkan potensi siswa sesuai dengan tingkat

(25)

kemampuan akalnya sehingga terbentuk pribadi siswa yang baik sesuai dengan

nilai-nilai agama Islam.

(26)
(27)

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode dan Pendekatan Penelitian

Metode yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif

dengan pendekatan naturahstik-penomenologi. Data dari lapangan dikumpulkan

oleh peneliti (human instmment). Berkaitan dengan penelitian ini, Lexy J

Moleong (1994: 3) mengemukakan sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan pada latar alamiah dengan peneliti sebagai instmmen

pengumpul data

2. Data yang dikumpulkan bersifat deskriptif bempa kata-kata, gambar dan

bukan angka-angka. Sumber dan jenis data meliputi kata-kata, tindakan

subyek yang diamati atau yang diwawancarai dan dokumen tertentu.

3. Penelitian ini lebih ditekankan pada proses dari pada hasil

4. Analisis data dilakukan secara deduktif dan adanya kriteria khusus untuk

keabsahan data.

Sejalan dengan ciri di atas, S. Nasution (1996); mengemukakan

karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut:

1) Sumber data ialah situasi yang wajar atau natural setting, 2) Peneliti

sebagai instmmen penelitian, 3) Sangat deskriptif, 4) Mementingkan

proses dari pada produk, 5) Mencari makna dibelakang kelakuan atau

perbuatan yang dapat memahami masalah atau situasi, 6) Mengutamakan

dan langsung atau "first hand", 7)

Triangulasi, yaitu memeriksa

kebenaran dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain, 8)

Menonjolkan perincian kontekstual, 9) Subjek yang diteliti dipandang

berkedudukan sama dengan peneliti, 10) Mengutamakan perspektif emic,

artinya mementingkan pandangan responden tentang bagaimana ia

memandang dan menfsirkan dunia dari segi pendiriannya, 11) Verifikasi,

yaitu mencari kasus lain yang berbeda dengan apa yang ditemukan untuk

memperoleh hasil yang lebih dipercaya, 12) Sampling yang purposif,

(28)

dilihat menumt tujuan penelitian, 13) Menggunakan "audit trail", yaitu

mengikuti jejak atau melacak untuk mengetahui apakah laporan sesuai

dengan yang dikumpulkan, 14) Partisipasi tampa mengganggu untuk

memperoleh situasi yang "natural", dan ke 15) Mengadakan analisa sejak

penelitian awal.

Sehubungan dengan pendekatan naturalistik dalam penelitian ini, maka

data yang diperoleh

bersifat lunak. Karena data tersebut menggambarkan

fenomena-fenomena yang ada pada situasi yang wajar dalam kegiatan sehari-hari.

Data yang dikumpulkan dari lapangan adalah hasil pengamatan langsung terhadap

pembinaan yang dilakukan pihak sekolah yaitu gum-gum dan kepala sekolah

dalam membina nilai-nilai agama kepada siswa tunagrahita. Data yang wajar ini

mempakan ciri dari penelitian naturalistik atau kualitatif. Data tersebut

mempakan data lunak. Subino Hadi Subroto (1988 : 1) menjelaskan :

Data lunak sangat kaya dengan penyandraan mengenai subjek penelitian,

tidak mudah malahan tidak dapat ditangani dengan prosedur statistik.

Pertanyaan-pertanyaan tidak dikerangkakan berdasarkan operasionalisasi

variabel-variabel, akan tetapi lebih dimmuskan berdasarkan konteks

kompleksitas masalah.

B. Instrumen Penelitian

Guba dan Lincoln (1987) dalam Noeng Muhadjir (1989 : 120),

mengetengahkan tujuh karakteristik yang menjadikan manusia sebagai instmmen

penelitian yang memiliki kualifikasi baik, yaitu : Sifatnya yang responsif, adaptif,

lebih holistik, kesadaran pada konteks tak terkatakan, mampu memproses segera,

mampu mengejar klarifikasi dan mampu meringkaskan segera, dan mampu

menjelajahi jawaban ideosinkretik dan mampu mengejar pemahaman yang lebih

dalam.

(29)

Berdasarkan karakteristik-karakteristik penelitian kualitatif seperti

dijelaskan di atas, maka sebagai instmmen adalah peneliti sendiri yang mempakan

pengumpul data utama. Peneliti mempunyai adaptabilitas yang tinggi, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan situasi berubah-ubah yang dihadapi dalam penelitian itu. Lexy J. Moleong (19 : 121), mengatakan bahwa yang menjadi

instrumen penting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Ini

berarti bahwa peneliti itu merupakan perencana, pelaksana pengumpul data,

analisis, penafsir data yang akhimya menjadi pelapor hasil penelitiannya.

Senada dengan yang dikemukakan Miles dan Hubermas dalam Nasution (1985), bahwa instmmen utama penelitian ini adalh peneliti sendiri (human instmment). Human instmment ini mempakan ciri khas penelitian kualitatif-naturalistik. Keberadaan peneliti sebagai instmmen mempakan alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan karena dalam penelitian kualitatif peneliti sebagai instmmen

pokok yang akan menelaah dan menafsirkan berbagai fenomena yang muncul

yang sekaligus pula dapat menyesuaikan terhadap kenyataan dan fenomena

tersebut sebagaimana yang akan terjadi di lapangan.

Untuk tidak terjadi salah penafsiran, terlebih dahulu perlu diberikan

beberapa catatan:

Pertama, Istilah peneliti sebagai instmmen (human instmment) dalam konteks

penelitian ini sebagaimana pula dalam setiap penelitian naturalistik lazimnya, pada

dasarnya lebih mempakan suatu "metafora". Maksudnya, dengan istilah peneliti

sebagai instmmen, tidak berarti peneliti hanya sebagai alat (instmmen), tetapi

sebaliknya justm peneliti berperan aktif. Dalam hal ini peneliti tumt melibatkan

(30)

diri secara aktif dan intensif dalam kancah penelitian, dan mengadakan pembauran temtama dengan orang-orang yang akan diteliti yang termasuk ke dalam subjek penelitian.

Kedua, Bahwa dengan adanya komunikasi fenomenologis antara peneliti dengan

orang-orang maupun objek yang diteliti, tidak dapat dipungkiri akan muncul sifat

subjektivitas pada pihak peneliti. Istitilah subjektivitas ini perlu dicermati

maknanya, mengingat adakalanya dapat ditafsirkan dalam konotasi negatif,

seakan-akan semuanya hams ditentukan oleh atau menumt peneliti. Padahal yang

dimaksudkan dengan istilah subjektivitas tersebut semata-mata disebabkan oleh

sifat dan hakekat dari realitas yang ingin dikaji.

Penelitian ini dilakukan dalam setting sekolah, maka sudah barang tentu

memberi pengertian bahwa penelitian ini memiliki intensitas dan kualitas kerja

yang lebih terbatas bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan dalam

setting masyarakat pada umumnya. Peneliti sebagai instmmen utama penelitian dapat dikatakan bahwa pada umumnya metologi penelitian naturalistik adalah dikembangkan setelah peneliti berada di lokasi penelitian.

Peneliti sebagai instmmen dalam keterlibatan dengan subjek penelitian

akan cukup memadai, karena responden atau informan telah memahami makna

dan maksud penelitian ini, sehingga mereka bersedia membantu sepenuhnya.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan peneliti yaitu: Observasi,

wawancara, studi dokumentasi dan studi kepustakaan.

(31)

1. Observasi

Teknik pengumpulan data yang pertama peneliti lakukan adalah observasi. Teknik ini dilakukan untuk dapat memperoleh data tentang

kegiatan atau aktivitas pembinaan nilai-nilai agama pada ketiga aspek di atas

yang dilaksanakan di sekolah yaitu oleh kepala sekolah dan gum-gum.

Bagaimana membina, membimbing, menanamkan nilai-nilai agama kepada

anak tunagrahita ringan (educable). Juga observasi ini dilakukan kepada

siswanya (prilaku siswa), aktivitas mereka sehari-hari dalam belajar, bergaul,

dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Pengamatan dilakukan dalam memperoleh data tentang bagaimana

gum-gum membina dalam menanamkan 'Aqidah atau keimanan yaitu

beriman kepada Allah. Bagaimana membina menanamkan berwudlu dan

ibadah shalat, juga tentang membina menanamkan nilai-nilai akhlak terhadap

gum, orang tua, teman dan terhadap orang lain.

Teknik observasi digunakan untuk mengamati responden atau subjek penelitian. Lexy J. Moleong (1988 : 106) mengatakan tentang digunakan

metode pengamatan yakni:

(1) Pengamatan mengoptimalkan kemampuan penelitian dari segi

motif, kepercayaan, perhatian, dan prilakunya; (2) Pengamatan

memungkinkan untuk melihat dunia sebagai yang dilihat oleh subjek

peneliti, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subjek,

menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan para

subjek pada keadaan waktu itu; (3)

Pengamatan memungkinkan

peneliti untuk merasakan apa yang dirsakan dan dihayati oleh subjek;

(4) Pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama baik dari pihaknya maupun dari pihak subjek.

(32)

Proses pengamatan ditempuh melalui dua cara (teknik) yaitu

pengamatan langsung (partisipant observation), dan pengamatan tidak

langsung (non-partisipant observation).

Pengamatan Langsung

Pengamatan langsung ini peneliti mencebur diri secara intensif dalam

kancah penelitian dan berbaur dengan orang-orang yang diteliti. Karena

pengamatan ini berlangsung dalam setting sekolah, maka peneliti terjun

langsung dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sekolah bersama-sama gum

dan siswa. Kegiatan-kegiatan itu baik yang berlangsung di dalam kelas yakni

kegiatan proses belajar blajar mengajar (KBM) maupun di luar kelas dalam

situasi informal. Pengamatan inijuga dilakukan dalam ekstra kurikuler.

Melalui pengamatan langsung terhadap berbagai kegiatan, diharapkan

dapat diperoleh pemahaman yang menyelumh (secara holistik) tentang

intensitas gum dan kepala sekolah serta keberadaan kegiatan siswa, sehingga

pada akhimya dapat memberi gambaran terhadap pola pembinaan nilai-nilai

agama pada anak-anak tunagrahita di Sekolah Luar Biasa itu.

Pengamatan Tidak Langsung (non partisipant observation)

Adapun pengamatan tidak langsung dilakukan dengan pertimbangan

sejauh tidak mengganggu rutinitas kegiatan sekolah. Dengan kata lain peneliti mengambil jarak dengan objek yang diteliti. Pengamatan tidak langsung ini dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan siswa, seperti: ketika peneliti bertemu

dengan siswa, ketika siswa menghadapi tamu, ketika siswa bertemu dengan gum, ketika siswa sedang bermain dengan teman-temannya, ketika gum dan

(33)

siswa berada dalam suatu kegiatan informal, ketika kepala sekolah

mengadakan pembinaan, dan sebagainya.

Data dari pengamatan tidak langsung ini tentu saja tidak dapat direkam semuanya. Oleh sebab itu dari kekurangan-kekurangan tersebut peneliti bemsaha untuk mencari lebih jauh melalui wawancara.

2. Wawancara

Wawancara mempakan alat pengumpul data dengan mempergunakan

tanya jawab peneliti dengan subjek yang diteliti. Wawancara dilaksanakan dengan cara yang tidak berstmktur, dimana responden mendapat kebebasan dan kesempatan untuk mengeluarkan buah pikiran, pandangan dan persaannya tampa diatur oleh peneliti. Setelah peneliti memperoleh sejumlah keterangan dari hasil wawancara ini, peneliti mengadakan wawancra dengan yang lebih berstmktur dan disusun berdasarkan dengan apa yang telah disampaikan oleh subjek penelitian. Dengan kata lain, data pertama

mengandung sifat non-directive, yaitu menumt pikiran dan perasaan subjek

penelitian, sedangkan dalam kegiatan selanjutnya data bersifat directive yaitu ditinjau dari pandangan peneliti. Akhimya wawancara beralih dari tak berstmktur menjadi lebih berstmktur. Wawancra ini bersifat terbuka dan ditujukan kepada beberapa sumber data, yakni: gum-gum, kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah. S. Nasution (1992) mengemukakan. Dalam

melaksanakan wawancara setidak-tidaknya dihadapkan kepada dua hal.

Pertama, kita harus secara nyata mengadakan interaksi dengan subjek

(34)

penelitian. Kedua, kita menghadapi kenyataan adanya pandangan orang

lain yang mungkin berbeda dengan pandangan kita sendiri.

Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data primer tentang

pembinaan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh pihak sekolah yaitu:

a. Bagaimana menanamkan nilai keimanan kepada siswa tunagrahita,

b. Bagaimana menanamkan nilai-nilai ketaatan dan kepatuhan,

c. Bagaimana menanamkan nilai-nilai ibadah, dalam hal ini wudlu dan

ibadah shalat,

d. Bagaimana menanamkan nilai-nilai akhlak kepada gum, orang tua, teman

dan orang lain.

Dalam pelaksanaan wawancara tersebut supaya dapat berjalan efektif

dan hasilnya tercapai sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian di atas, maka

peneliti menyusun dan mempersiapkan pedoman wawancara. Pola dasar

wawancara telah disiapkan sebelum tumn ke lokasi. Pola dasar itu

mempakan rambu-rambu yang hanya digunakan sebagai guide bagi peneliti,

dan tidak diberikan kepada responden seperti halnya dengan menggunakan

angket, melainkan berfungsi sebagai penuntun bagi peneliti. Wawancara ini

bersifat terbuka dan akan terhindar suasana wawancara yang formal dan

kaku.

3. Studi Dokumentasi

S. Nasution (1996 : 85) mengemukakan, melakukan penelitian

naturalistik tidak berarti hanya melakukan observasi dan wawancara,

walaupun kedua cara itu yang paling dominan. Bahan dokumentasi juga

(35)

perlu mendapat perhatian selayaknya.

Dengan studi dokumentasi

dimaksudkan menghimpun data otentik yang ada dalam dokumentasi

sekolah.

Data dokumen dalam penelitian ini yaitu: Data pribadi siswa,

kemajuan pendidikan siswa, jumlah siswa, jumlah gum, identitas gum, dan

sejarah berdirinya sekolah, serta program atau jadwal kegiatan-kegiatan di

sekolah yang menyangkut pembinaan nilai-nilai keagamaan dan sebagainya

yang dapat menunjang data obsevasi dan wawancara.

4. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dipergunakan untuk mendapatkan teori-teori

konsep-konsep, rujukan-rujukan, sebagai bahan pembanding, penguat atau

penolakan terhadap temuan hasil penelitian, dan untuk mengambil

kesimpulan. Dengan demikian dapat difahami, bahwa empat teknik

pengumpulan data yang telah dikemukakan akan mempeijelas pemanfaatan

pendekatan naturalistik-kualitatif dimana peneliti berperan sebagai instmmen.

D. Subjek Penelitian

Yang menjadi subjek dalam penelitian ini meliputi: kepala sekolah, wakil

kepala sekolah bidang kurikulum, bidang kesiswaan, gum kelas D4 dan D5, dan

siswa sebanyak empat orang.

E. Tahapan-Tahapan Penelitian

Dalam mengumpulkan data penelitian, dilaksanakan beberapa tahap, yaitu:

orientasi, eksplorasi, member chek, dan tahap triangulasi.

(36)

1. Orientasi

Orientasi mempakan tahap awal untuk mencari permasalahan di lapangan yang sekiranya dapat dijadikan bahan penelitian. Pada tahap ini peneliti mencoba mengadakan pendekatan bempa kunjungan silaturahmi dan mencari informasi tentang pola pembinaan nilai-nilai agama yakni nilai-nilai Islam yang dilakukan oleh pihak sekolah kepada siswa tunagrahita, khususnya tunagrahita ringan. Pada waktu orientasi ini disampaikan maksud peneliti mengadakan penelitian dalam rangka menyelesaikan studi di Pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia .

Pengambilan subjek ini dilakukan atas dasar :

a) SLB adalah mempakan tempat atau lembaga yang dapat menampung, mendidik dan melatih siswa yang berkelainan mental atau disebut juga tunagrahita.

b) Anak-anak tunagrahita ringan masih memiliki potensi yang dapat dibina, termasuk pembinaan nilai-nilai agama,

c) Ingin mengidentifikasi bagaimana pola pembinaan nilai agama yang

dilaksanakan sekolah terhadap siswa tunagrahita ringan.

Setelah subjek penelitian ditentukan dan disetujui oleh para penguji pada seminar penelitian, peneliti mengadakan penjajagan permulaan untuk

mendapatkan informasi tentang subjek penelitian. Selanjutnya menyelesaikan

dan mengumskan surat izin yang diperlukan dalam penelitian di lapangan.

2. Eksplorasi

Tahap ini mempakan kegiatan panggalian informasi data secara mendalam dengan mengenai lebih dekat kepada subjek penelitian,

(37)

mengadakan pengamatan permulaan terhadap subjek penelitian yaitu lingkungan sekolah, suasana belajar, keadaan interaksi antara personal di

sekolah seperti gum dengan gum, gum dengan siswa, juga antara siswa dengan temannya. Selanjutnya mengadakan pendekatan yang lebih intensif

dengan kepala sekolah, gum-gum dan personil lainnya.

Dalam tahap ini, penulis menyusun langkah-langkahnya sebagai

berikut:

a. Menyusun instmmen, yaitu instmmen observasi, wawancara, yang mempakan pegangan dan pedoman yang dikembangkan di lapangan,

mengenai lebih dekat dengan subjek penelitian.

b. Memilih dan menentukan sumber data yang dapat mendukung dalam pelaksanaan penelitian yang sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian,

yaitu: kepala sekolah, gum-gum, khususnya gum yang mengajar agama,

siswa sebanyak empat orang yang diambil dari tiap tingkatan atau kelas mulai kelas IV sampai VI berdasarkan informasi dan petunjuk gum. Juga peneliti mengadakan pendekatan kepada orangtua siswa untuk

melengkapi data atau informasi.

c. Pelaksanaan wawancara mempakan kegiatan untuk lebih meyakinkan dan mencatat ingatan dari lapangan.

Melakukan kegiatan penyusunan hasil laporan yang meliputi kegiatan mendeskripsikan, menganalisis data hasil penelitian secara terns menems

sampai diperkirakan mencapai tuntas hasilnya. Member chek

Untuk pemeriksaan terhadap berbagai instmmen agar ada diketemukan kadar kepastian dan kebenarannya, maka penulis mengadakan member chek. Pada tahap ini yang dilakukan oleh penulis adalah :

(38)

a. Menyusun laporan penelitian yang diperoleh pada tahap eksplorasi,

b. Menyampaikan laporan tersebut pada masing-masing responden untuk

dicek kesesuaianya dengan pendapat yang bersangkutan,

c. Memperbaiki hal-hal yang belum sesuai dengan pendapat responden yang

menjadi subjek penelitian.

4. Triangulasi

Pada tahap ini dilakukan pengecekan pemeriksaan data yang telah

diperoleh dari lapangan temtama untuk memperoleh keabsahan data. Hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan Lexy J. Moleong (1988), merupakan tahap

pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh yang memanfaatkan sesuatu

yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap

data itu.

Pada tahap ini dilakukan cara-cara sebagai berikut:

a. Membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara yang diperoleh

dari subjek penelitian, yaitu kepala sekolah dan gum-gum,

b. Membandingkan informasi dari kepala sekolah, gum, dengan fakta anak

dan informasi orang tua siswa,

c. Membandingkan hasil wawancara ketika subjek penelitian sendirian dan

ketika ada orang lain,

d. Membandingkan situasi dan kondisi di luar latar penelitian,

e. Membandingkan data yang diperoleh dan sumber yang sama dalam

rentang waktu yang berbeda,

(39)

F. Proses Analisis dan Interpretasi.

Sesuai dengan sifatnya yang naturalistik-fenomenologis-kualitatif, maka

tentu saja segala informasi yang dijaring dengan berbagai instmmen dalam

penelitian ini akan bempa tumpukan-tumpukan data mentah. Tidak semua data

mentah itu akan dipindahkan ke dalam laporan penelitian melainkan dipilah, direduksi, dielaborasi dan dianalisis berdasarkan fokus dan tujuan penelitian.

Data mentah ini disebut data lunak (soft data) mempakan data yang

terkumpul dari lapangan bempa uraian-uraian yang penuh deskripsi mengenai

kegiatan subyek yang diteliti, bempa aspek-aspek yang berkaitan dengan fokus

yang diperoleh melalui wawancara dan data dokumentasi.

Analisis data yang dimaksudkan disini adalah proses penyederhanaan dan

trasformasi timbunan data mentah, sehingga menjadi kesimpulan yang singkat,

padat, dan bermakna. Patton (1990) menjelaskan bahwa analisis data adalah

proses mengatur data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori, dan

satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti

yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola umtan, dan mencari hubungan

diantara dimensi uraian-uraian. S. Nasution (1998 : 126) mengemukakan bahwa

analisis data kwalitatif adalah proses menyusun data, berarti

menggolongkannya dalam pola, tema, atau kategori agar dapat ditafsirkan.

Bogdan Tylor (1975) mengatakan analisis data adalah proses yang merinci upaya

secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) sebagai

yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada

tema dan hipotesis itu. Lexy Moleong (1989: 88) mengemukakan bahwa analisis

(40)

data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola,

kategori, dan satuan uraian dasar sedemikian rupa sehingga dapat ditemukan

tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja sebagai yang dirasakan data.

Berikut ini akan dikemukakan langkah-langkah dan teknik-teknik yang

digunakan dalam proses analisis dan interpretasi:

1. Proses analisis

Proses analisis data bersifat holistik dan berkesinambungan. Proses

analisis ini juga tidak terpisah dengan tahapan pengumpulan data, melainkan

dalam banyak hal adalah bersifat sejalan dan harmoni.

a. Teorisasi

Teorisasi (teorizing) mempakan proses untuk mengabstraksikan

fenomena-fenomena, membuat kategorisasi, dan menentukan saling

keterkaitannya. Teorisasi dapat diartikan sebagai kegiatan untuk

membahasakan apa yang diteliti. Kegiatan ini telah dimulai sejak dilakukan

perekaman data, temtama terhadap data yang direkam secara manual.

Secara spesifik lagi dapat dikatakan bahwa teorisasi mempakan

proses untuk mencatat data dalam lembaran-lembaran yang telah

disiapkan peneliti. Banyak ditemui data yang tidak berbicara (silent data),

karena itu ia hams dibahasakan oleh peneliti.

b. Analisis Induksi

Analisis induksi (induction analysis) ditempuh setelah tahapan

teorisasi. Maksudnya, setelah dalam teorisasi informasi dan

fenomena-fenomena disusun menjadi konstruk, maka konstmk-konstmk itu perlu

(41)

dianalisis secara induktif. Analisis induksi adalah proses untuk mereduksi

dan memodifikasi data (yang telah diteorisasi) sehingga sesuai dengan

keperluan penelitian, yakni sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian. Analisis induksi dimaksudkan untuk menyederhanakan, memilah-milah (kategorisasi) data, sehingga dapat berwujud kesimpulan-kesimpulan (tentatif) yang lebih singkat, padat, dan jelas. Proses analisis ini dalam banyak hal dilakukan setelah diperolehnya data secara lebih holistik, yakni data-data yang telah dijaring melalui berbagai instmmen

penelitian.

c. Analisis Tipologis

Analisis tipologis (tipological analysis) mempakan kegiatan untuk membandingkan, menarik implikasi, dan membentuk kategori-kategori bam, setelah analisis induksi. Data yang telah diperoleh dari

berbagai sumber data yang telah dianalisis induksi masih bersifat

terpisah-pisah, sehingga belum menggambarkan saling keterkaitannya sesuai

dengan butir-butir yang dicari oleh tujuan penelitian. Oleh karena itu ia

memerlukan pengelompokan bam yang disesuaikan dengan keperluan

penelitian. Kegiatan untuk membentuk pengelompokan bam ini disebut dengan analisis tipologis.

2. Proses Interpretasi

Proses analisis bersifat deskriptif dan infprmatif, maka proses interpretasi bersifat reformatif dan transformatif. Tradisisi etnografis,

perbedaan sering juga dilukiskan sebagai proses emic dan etic. Proses emic,

(42)

peran peneliti adalah bersifat internal, yakni ia berbicara atas dasar perspektif

orang-orang maupun objek-objek yang diteliti. Peneliti berperan sebagai

orang dalam. Sedangkan dalam proses etic peran peneliti bembah menjadi

orang luar, sebab ia hams berbicara dalam perspektif eksternal. Dalam proses etic ini peneliti dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menafsirkan, mengadakan keterkaitan konteks, referensi konsep (teori), dan membangun pemahaman-pemahaman bam.

Dalam proses interpretasi ini diperlukan analisis dan sintesis interdisipliner, yakni menghubungkan atau mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian dengan landasan (konseptualisasi) yang menjadi kerangka acuan (frame of reference) penelitian, dan hubungannya atau keterkaitannya dengan

temuan-temuan dari penelitian lainnya.

(43)
(44)

BABV

KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Bab terakhir ini menyajikan kesimpulan, implikasi dan rekomendasi.

Kesimpulan diambil dari deskripsi hasil penelitian, interpretasi dan analisis.

Implikasi dimaksudkan untuk menemukan perbedaan makna antara hasil

penelitian dengan teori serta praktek. Sedangkan rekomendasi dimaksudkan

untuk mengutarakan beberapa saran yang bersifat membangun untuk perbaikan

kepada pihak-pihak terkait.

A. Kesimpulan

Menyimak hasil penelitian yang dipaparkan pada bab IV di atas, maka

disampaikan kesimpulan sebagai berikut.

1. Pembinaan Keimanan

Proses pembinaan keimanan terhadap Allah yang dilakukan oleh

gum kelas kepada anak tunagrahita, melalui bidang studi IPA dengan

menggunakan benda-benda konkrit sebagai media yang mudah difahami

oleh siswa.

2. Pembinaan Ibadah

Proses pembinaan ibadah yang meliputi wudlu dan ibadah shalat

yang dilakukan oleh gum kelas kepada siswa tunagrahita baik di dalam maupun di luar kelas, melalui peragaan dan praktek fisik sehingga peserta

didik dapat mengikuti serta melaksanakannya secara langsung.

(45)

3. Pembinaan Akhlak

Pembinaan akhlak terhadap sesama manusia khususnya terhadap

gum dan orang tua oleh gum kelas kepada siswa tunagrahita, dilaksanakan

melalui metode keteladanan dan contoh serta kasih sayang sehingga siswa mampu mengikutinya.

B. Implikasi

Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa implikasi dari hasil

penelitian lapangan.

1. Implikasi Teoritis.

Menyimak hasil penelitian yang terangkum dalam kesimpulan di atas bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki makna

penting bagi pembinaan nilai-nilai keagamaan siswa termasuk siswa

tunagrahita, yang berhak mendapat pelayanan pada umumnya, khususnya

pendidikan agama. Sebagai warga negara mereka memiliki potensi yang

dapat dan hams dikembangkan sehingga diharapkan menjadi

manusia-manusia yang dapat bertanggungjawab terhadap pribadi, masyarakat,

bangsa, negara, dan temtama kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta

dapat hidup mandiri. 2. Implikasi Praktis

Tatanan praktis penelitian ini, memiliki implikasi yang cukup penting

bagi masalah pendidikan, khususnya pendidikan bagi anak tunagrahita.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sekolah mempakan suatu lembaga pendidikan yang mampu membentuk manusia sesuai dengan

(46)

keinginan pelakunya. Eksistensi suatu sekolah sangat bergantung pada

pengelola yaitu kepala sekolah dan gum-gum. Sekolah yang sudah amanat

orangtua dapat memfungsikan diri sebagai lembaga yang mampu

menerima amanat.

Hasil penelitian di lapangan temngkap bahwa kepala sekolah dan

gum dapat mengembangkan potensi anak melalui pembinaan dan

bimbingan, mampu membentuk manusia mandiri.

C. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian, penulis rekomendasikan beberapa

masukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam pembinaan nilai keagamaan,

khususnya yang terkait langsung dengan tempat penelitian.

1. Bagi Pembuat Kebijakan.

Menyimak hasil penelitian lapangan menunjukan bahwa materi

pelajaran yang tercantum dalam kurikulum Pendidikan Agama untuk anak

tunagrahita di kelas dasar materinya terlalu banyak dan padat. Oleh sebab

itu, perlu ada pengurangan-pengurangan materi (pokok bahasan),

disamping itu perlu dibuatkan buku-buku paket yang sesuai dengan kondisi

anak.

2. Bagi Kepala Sekolah

a. SLB Negeri Cileunyi memiliki fasilitas (asrama, mushala) yang belum

dimanfaatkan dengan baik. Oleh sebab itu, Kepala sekolah diharapkan

dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas tersebut sebagai sarana

(47)

peningkatan pembinaan siswa, termasuk pembinaan nilai-nilai

keagamaan. 3. Bagi Guru

Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa belum adanya gum agama khusus sehingga pembinaan agama dilakukan oleh gum kelas. Oleh karena itu, sangat disarankan kepada gum kelas untuk menambah pengetahuan dan ilmu keagamaan sehingga mampu

mengembangkan wawasan untuk kepentingan pembinaan nilai agama

pada siswa.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya.

Dalam kesempatan penelitian ini, bam sebagian kecil yang

dapat dikaji tentang pembinaan keimanan, ibadah dan akhlak kepada

siswa tunagrahita, sedangkan permasalahannya masih sangat luas. Oleh

karena itu, kepada para peminat dan mahasiswa program studi

Pendidikan Umum untuk memperdalam dan memperluas penelitian

tentang pembinaan keagamaan kepada siswa tunagrahita.

(48)
(49)

KEPUSTAKAAN

Abdurrahman Saleh Abdullah, (1990), Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al

Qur 'an, Rineka Cipta, Jakarta.

Abdurrahamn An Nahlawi, (1996), Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan

Islam Dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, (Ushulut Tarbiyatil Islamiyah wa Assalibuhu) terjemahan Herry Noer AU, Dipenogoro,

Bandung.

Al Gazali, (1979), Ihya Ulumuddin, Terjemahan Ismail Ya'kub, Faizan,

Semarang.

Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag, Jakarta.

Ahmad Tafsir, (1996), Metodologi Pengajaran Agama Islam, Remaja

Rosdakarya, Bandung,

, (1996), (Editor) Pendidikan Agama dalam Keluarga, Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Astrid S. Susanto, (1999), Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Putra A.

Bardin, Bandung.

Athiyah Al Abrasyi Mohd.(1974) Attarbiyatul Islamiyah (Dasar-dasar Pokok

Pendidikan Islam), terjermahan bustani A. Gani dan Djohar Bahry LIS,

Bulan Bintang, Jakarta.

A. Timur Jaelani Dkk, (1995), Islam Untuk Disiplin Ilmu Kedokteran dan

Kesehatan I, Buku Dasar Pendidikan Agama Islam pada PT. Dirjen

Binbaga Islam Islam, Jakarta.

Baihaqi Ak. (1996), Mendidik Anak Dalam Kandungan, Srigunting, Jakarta.

Bratanata SA. Dkk, (1975), Pengertian-pengertian Dasar Pendidikan Luar

Biasa, Depdikbud, Jakarta.

Cheppy HC, (1998), PendidikanMoral Dalam Beberapa Pendekatan, P2LPTK, Dikbud, Jakarta.

Dalizar, (1987), Konsepsi Al-Our 'an Tentang Hak-hak Asasi Manusia, Pustaka Al-Husna, Jakarta.

(50)

Dardji Darmodihardjo, (1981), Peranan IKIP Dalam Pengembangan Sekolah

Sebagai Pusat Kebudayaan, Jumal Analisis Pendidikan Tahun II (3) 75-83.

Danniningtyas, (1999), Pendidikan Pada Dan Setelah Krisis, LPIST dan

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Djamari, (1988), Agama Dalam PerspektifSosiologi, P2LPTK, Dikbud, Jakarta. , (1985), Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi Interaksi

Sosial Di Pondok Pesantren Cikandueun Banten, Disertasi, FPIPS, IKIP,

Bandung.

Djawad. Dahlan M., (1994), Pendidikan dalam Keluarga, Al-Fabeta, Bandung. Hamka, (1984), Pelajaran AgamaIslam, Bulan Bintang, Jakarta.

Hamzah Ya'qub, (1988), EtikaIslam, Dipenogoro, Bandung.

Hasbi Ash Shiddiqi TM., (1977), Al Islam I, Bulan Bintang, Jakarta.

Henry B. Nelson, (1952), Fifty-first Yearbook, Part I General Education, The University Of Chicago Press Chicago, Illionis.

Humaidi Tatapangarsa, (1976), Pengantar Kuliah Akhlak, Bina Ilmu, Surabaya.

Hurlock Elizaberth B. (1956), Child Development, New York, Mc Grow Hill

Book Company.

IdrusH.S. (1996)Menuju Insan Kamil, Aneka, Solo.

Imam Barnadib, (1984), Filsafat Pendidikan, Jogyakarta, IKIP-FKIP, Gama Press.

Jalaluddin dan Usman Said, (1994), Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Jalaluddin dan Abdullah Idi, (1997), Filsafat Pendidikan, Gaya Media Pratama,

Jakarta.

Kosasih Djahiri, (1992), Menelusuri Dunia Afektif- Nilai Moral, Laboratarium

Pengajaran PMP, IKIP Bandung.

, (1985), Strategi Pengajaran Afektif Nilai Moral VCT dan Games

Dalam VCT, FPIPS, IKIP, Bandung.

(51)

Ki Hajar Dewantara, (1977), Pendidikan Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta.

Mahmud Syaltout, Syekh, (1983), Islam Sebagai Aqidah dan Syari 'ah, Bulan

Bintang, Jakarta.

Mastuhu, (1999), Memberdayakan Sistem Pendidikam Islam, Logos Wicana

Ilmu, Jakarta.

Moh. Amin, Suhaeri Hn, Astati, (1981/1982), Orthopaedagogik For Mental Retardation Children (Diktat), PLB, FIP, IKIP, Bandung.

Muhammad Al Naquib Al-Attas, (1994), Konsep Pendidikan Dalam Islam,

Mizan Bandung.

Muhammad Fadlil Al Jamali, (1993), Konsep Pendidikan Qur'ani Sebuah Kajian Filsafat, Ramadhani, Solo.

Muchtar Yahya, Fathurrahman, (1986), Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam,

Al Ma'arif, Bandung.

Muljono Abdurachman, Sudjadi S. (1994), Pendidikan Luar Biasa Umum, Dijen

Dikti, Depdikbud, Jakarta.

Muhamad. Tholib, (1996), Pendidikan Islam Metode 30 T, Irsyad Baitussalam, Bandung.

Nasmdin Razak, (1986), Dienul Islam, Al Ma'arif Bandung.

Nasution S. (1988), Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito,

Bandung.

, (1986), Pengantar Studi Sosial, Alumni, Bandung.

Noeng Muhadjir, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif, Rak Sarasi,

Yogyakarta.

Oemar Hamalik, (1987), Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar

Berdasarkan CBSA, Sinar Bam Bandung.

, (1989), Media Pendidikan, Citra Aditya bakti, Bandung.

, (1990), Perencanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan sistem, Citra Adity Bakti, Bandung.

(52)

Oemar Muhammad Al Toumy Al Syaibany, (1979), Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Phenix, Philip H. (1964), Realms of Meaning, A Philoshophy of The Curriculum for General Education, New York, Mc Grow Hill Book

Company.

Rachmat Djatnika, (1996), Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia) Pustaka, Panjimas, Jakarta,

Sardiman AM, (1990), Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers , Jakarta.

Soelaeman MI, (1988), Suatu Telaah Manusia, Religi-Pendidikan, Dirjen Dikti, P2LPTK, Jakarta.

, (1994), Pendidikan dalam Keluarga, Alfabeta, Bandung.

Soegeng Prijodarminto, (1992), Disiplin Kiat Menuju Sukses, Paramita, Jakarta. Sudjatmoko dkk, (1996), Masalah Sosial Budaya Tahun 2000, Tiara Wacana,

Yogyakarta.

Suhaeri HN. Usa Sutisna, (tanpa tahun) Ortodidaktik C, Bandung. Sulaeman Rasjid, (1992), Fiqh Islam, sinar bam, Bandung.

Sutjihati Somantri T. (1996), Psikologi Anak Luar Biasa, Depdikbud, Dirjen

Dikti, Jakarta.

Sujanto, (1980) , Psikologoi Perkembangan, Aksara Bam, Jakarta.

Syafiro, Lawrence, (1997), Mengajarkan Emosional Intelegence Pada Anak,

Gramedia, Jakarta.

Syahiml Alim A. dkk., (1995), Islam untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, Dijen Pembinaan PT Agama Islam, Dirjen Binbaga Islam,

Jakarta.

Syahminan Zaini, (1980), Mengenai Manusia Lewat Al-Qur'an, Bina Ilmu,

Surabaya.

Thomas Gordon, (1997), Menjadi Guru Efektif, Gramedia Pustaka

Utamajakarta.

(53)

Toeti Soekamto, dkk, (1996), Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran,

Dirjen Dikti, Depdikbud, Jakarta.

UUSPN (1989), Depdikbud, Balai Pustaka, Jakarta.

Walinono, (1990), Konsep Manusia Beriman dan Bertaqwa Sebagaimana

Tercantum Dalam UUSPN. (Makalah Seminar IMTAQ, IAIN, "SGD",

Bandung.

Winecoff Herbert Larry, (1988), Values Education Concepts andModels, PPS,

IKIP, Bandung,

Zakiah Daradjat, (1988), Kesehatan Mental, Haji Masagung, Jakarta.

(54)

Referensi

Dokumen terkait

Piutang usaha juga dapat menimbulkan resiko bagi perusahaan, semakin banyak piutang yang dapat tertagih, maka semakin banyak pula laba yang dapat diperoleh,

Dari hasil percobaan diperoleh hasil bahwa alat akan di program pada mikrokontrolernya, sebelum di program mikrokontrolernya akan diberi arus sebesar 7 volt ke

Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk membuat Website dinamis dan interaktif sebagai media informasi Produk DSC dengan menghubungkan ke database yang telah dibuat

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation dengan media video dapat meningkatkan pembelajaran IPS

[r]

Harjana (1991:60) said that psychology of literature can be meant as the way to analyze literature based on psychology view and the assumption that literature always discusses

Hasil penelitin ini menunjukkan bahwa Self efficacy yang dimiliki oleh siswa social anxiety disorder masih tergolong rendah; faktor yang menyebabkan rendahnya self

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan: (1) perwatakan para tokoh dalam naskah drama Senja Dengan Dua Kelelawar; (2) konflik batin yang dialami para tokoh