• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Spasial Deforestasi Di Kabupaten Konawe Utara Dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Spasial Deforestasi Di Kabupaten Konawe Utara Dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL SPASIAL DEFORESTASI

DI KABUPATEN KONAWE UTARA DAN KONAWE

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

HARIAJI SETIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Spasial Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)
(4)

RINGKASAN

HARIAJI SETIAWAN. Model Spasial Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA dan NINING PUSPANINGSIH.

Deforestasi menjadi perhatian dunia karena perannya dalam pemanasan global. Berdasarkan hal itu, tulisan ini mempelajari dinamika deforestasi dan model spasial prediksi deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis berbagai variabel penjelas terkait dengan proses deforestasi dan memprediksi terjadinya deforestasi berdasarkan pengkelasan wilayah (tipologi) menggunakan model regresi logistik. Citra satelit Landsat TM, ETM dan OLI digunakan untuk membuat tutupan hutan tahun 2005 dan 2010 sebagai dasar untuk memprediksi deforestasi tahun 2013.

Pengujian keakuratan hasil model prediksi dilakukan dengan teknik overlay model prediksi 2005–2010 dengan deforestasi aktual tahun 2010–2013. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada delapan peubah yang signifikan mempengaruhi peluang deforestasi, yaitu kepadatan penduduk, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, jarak dari pemukiman, jarak dari pertanian lahan kering campur, slope dan elevasi.

Penelitian ini menemukan, ada perbedaan pengaruh peubah-peubah antara tipologi 1 (T1) dan tipologi 2 (T2) terhadap peluang deforestasinya, diantarannya kepadatan penduduk, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari pertanian lahan kering campur dan slope.

(5)

SUMMARY

HARIAJI SETIAWAN. Deforestation Spatial Model in North Konawe and Konawe Districts South East Sulawesi Province. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA and NINING PUSPANINGSIH.

Deforestation is now becoming a global concern due to its effect on the global warming. This paper describes a dynamic change of deforestation and spatial modeling for predicting deforestation in North Konawe and Konawe Districts, Southeast Sulawesi Porvince. The study objective is to examine and analyze the variety of explanatory variables related to the process of deforestation at each deforestation typology. Landsat TM, ETM+ and OLI satellite images were used to classify forest cover in 2005 and 2010 as a basis for predicting deforestation in 2013. The accuracy of the spatial model were tested by overlaying the predicted of deforestation during 2005 to 2010 with actual deforestation during 2010 to 2013.

The results of this study showed that there are eight explanatory variables that significantly affect deforestation probability, namely population density, distance from road, distance to the river, distance from the forest edge, distance to settlement, distance to the mixture of dryland agriculture, slope, and elevation.

This study found, there are different influences variables between typology 1 (T1) and typology 2 (T2) to deforestation probability, such as population density, distance from road, distance to the river, distance to the mixture of dryland agriculture and slope.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

MODEL SPASIAL DEFORESTASI

DI KABUPATEN KONAWE UTARA DAN KONAWE

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah deforestasi, dengan judul Model Spasial Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr dan Ibu Dr Dra Nining Puspaningsih, MSi selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir M Buce Saleh, MS selaku penguji. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan arahan dalam pengolahan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri saya Suhartin, SHut, anak-anak saya (Alif Senoaji Setiawan dan Aban Prabuaji Setiawan), mertua dan seluruh keluarga (terutama Kakanda Budi Santoso) atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Bapak Bupati Konawe Utara beserta jajarannya yang telah memberikan Ijin Tugas Belajar. Terima kasih kepada rekan-rekan kerja atas dukungan dan bantuannya. Terima kasih kepada teman-teman S2 dan S3 Ilmu Pengelolaan Hutan atas dukungannya selama menyelesaikan studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

2 METODE 5

Waktu dan Lokasi 5

Data 6

Alat, hardware dan software 6

Prosedur Analisis Data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Analisis Laju Deforestasi 21

Laju Deforestasi 22

Faktor Pendorong (Driving Force) Deforestasi 24

Prediksi Deforestasi 29

4 SIMPULAN

Simpulan 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 39

(12)

DAFTAR TABEL

1 Data utama Citra Lansat TM, ETM+ dan OLI 6

2 Tujuan, jenis data, sumber data, metode/analisis dan keluaran 7

3 Tipe tutupan lahan 2013 11

4 Tipologi peubah deforestasi 17

5 Kode klaster kecamatan 17

6 Kriteria tingkat ROC (Relative Operating Characteristics) 19 7 Matrik kesalahan, kappa accuracy tutupan lahan tahun 2013 21 8 Analisis korelasi Pearson antar peubah tipologi 25 9 Tipologi wilayah berdasarkan kelas deforestasi 27 10 Matriks kesesuaian tipologi dengan 1 variabel 27 11 Matriks kesesuaian tipologi dengan 2 variabel 27

12 Model spasial deforestasi tiopologi 1 29

13 Model spasial deforestasi tiopologi 2 29

14 Deskripsi pengaruh peubah-pubah bebas tiap tipologi terhadap peluang

deforestasi 30

15 Hasil uji validasi pada tipologi T1 32

16 Hasil uji validasi pada tipologi T2 32

17 Pengaruh delapan peubah terhadap peluang deforestasi pada tipologi 1 32 18 Pengaruh delapan peubah terhadap peluang deforestasi pada tipologi 2 33

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 4

2 Peta lokasi penelitian 5

3 Perbaikan Citra Landsat ETM7+ path 113 Row 062 Band SWIR, NIR

dan green 9

4 Bagan alur penelitian 20

5 Kurva luas deforestasi dan laju deforestasi 22

6 Sebaran deforestasi Kabupaten Konawe Utara dan Konawe tiap periode 23

7 Laju deforestasi per kecamatan 24

8 Dendogram dengan variabel X1 25

9 Dendogram dengan variabel X1, X5 26

10 n o polo p o n

Kabupaten Konawe Utara dan Konawe 28

11 Model prediksi deforestasi 31

12 Hasil overlay model prediksi deforestasi 2005–2010 dengan deforestasi

aktual 2010–2013 31

DAFTAR LAMPIRAN

(13)
(14)
(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan paling luas di dunia dengan beranekaragam jenis hutan, termasuk hutan dataran rendah, pegunungan dan hutan semusim. Sebagai negara agraris di kawasan tropis, pemerintah sangat bergantung pada sektor kehutanan maupun sektor yang terkait dengan kehutanan seperti pertanian, perkebunan, dan pertambangan, untuk pembangunan nasional yang berkelanjutan. Salah satu persoalan yang muncul akibat salah kelola dalam pembangunan kehutanan dan maraknya aktivitas di luar sektor kehutanan yang membutuhkan lahan hutan adalah deforestasi. Deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dan bencana alam (Permenhut P.30/Menhut-II/2009). Menurut FAO (Food and Agriculture Organization 2010) deforestasi adalah konversi hutan menjadi penggunaan lain atau pengurangan berjangka panjang atas penutupan tajuk di bawah 10 persen.

Deforestasi secara langsung berkontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan global). Hutan memiliki jasa lingkungan yang penting dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfir melalui fotosintesa dan menyimpannya dalam bentuk biomassa dimana didalamnya mengandung karbon. Hilangnya hutan dengan penebangan membuat daya serap karbon hilang dan dengan kebakaran hutan menghasilkan sejumlah besar emisi karbon dioksida ke udara. Karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya seperti oksida nitrogen dan metana diketahui memerangkap panas di atmosfir, sehingga meningkatkan suhu rata-rata permukaan bumi. Naiknya suhu global rata-rata permukaan bumi akan beresiko pada kepunahan tumbuhan dan hewan, yang selanjutnya akan berdampak pada kelangsungan hidup manusia. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan peran aktif bangsa Indonesia baik itu pemerintah pusat dan daerah dalam membangun hutannya dengan mekanisme REDD+ (Reducing of Emission from Deforestation and Degradation plus).

(16)

2

juga berkontribusi terhadap laju deforestasi di Indonesia. Bukan hanya fokus pada pembangunan ekonomi untuk menjelaskan dinamika deforestasi tapi perkembangan politik juga harus dipertimbangkan sebagai faktor penyebab deforestasi (Buitenzorgy dan Mol 2010).

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan laju deforestasi yang tinggi. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan (2009) melaporkan bahwa laju deforestasi pada tahun 1990–1996 sekitar 1.91 juta ha per tahun, dan kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha/th pada periode 1996– 2000. Pada periode 2000–2003 laju deforestasi menurun tajam menjadi 1.1 juta ha/th namun kemudian meningkat kembali menjadi 1.2 juta ha/th pada periode 2003–2006 dari luas hutan Indonesia 120.1 juta ha di dasarkan pada hasil paduserasi antara TGHK dan RTRWP. Kecenderungan menurun juga di informasikan oleh FAO (2010) bahwa deforestasi Indonesia menurun dari periode 1990-2000 sebesar 1.91 juta ha per tahun menjadi 0.65 juta ha per tahun pada periode 2000-2010.

Deforestasi ini terjadi pada hampir semua pulau di Indonesia termasuk Sulawesi. Laju deforestasi tahunan di Sulawesi sebesar 2.7% dari total luas hutan di Sulawesi atau dengan kata lain terjadi deforestasi 331822 ha/th dari luasan hutan 12 juta ha. Data tersebut menjadikan Sulawesi nomor 2 (dua) terbesar deforestasinya setelah Kalimantan yang memiliki laju deforestasi tahunan terbesar (7%) selama periode 2000-2009 (Dirjen Planologi 2009). Sulawesi Tenggara mengalami deforestasi sekitar 63.7 ribu ha/tahun pada periode 2000–2009 dan luas lahan berhutanya sekitar 1.4 juta ha (Dirjen Planologi 2009). Bila laju deforestasi tidak dikendalikan maka 20 tahun kemudian lahan berhutan di Sulawesi Tenggara akan hilang. Begitu juga yang akan terjadi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe yang luas kawasan hutannya 75% dari 500339 ha luas wilayah Konawe Utara dan 65% dari 666652 ha wilayah Konawe (BPS Sultra 2013). Kepadatan penduduk serta aktivitas perekonomiannya seiring dengan pembangunan daerah membuat kebutuhan akan lahan semakin meningkat, sehingga lahan hutan akan menjadi pilihan untuk di eksploitasi.

Maraknya penjarahan hutan (illegal logging) serta pembukaan wilayah hutan perusahaan tambang dan perkebunan sawit ditengarai mempercepat laju kerusakan hutan di Konawe Utara dan sekitarnya (Wihardandi 2012). Dampak deforestasi di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara yaitu terbentuknya lahan yang rawan erosi dan bencana longsor maupun banjir. Fakta menunjukkan bahwa sedikitnya tujuh desa di dua kecamatan Kabupaten Konawe Utara terendam banjir selama dua hari, pada bulan Juli 2012 dan bencana banjir ini terulang kembali dengan luasan yang lebih besar di 35 desa pada enam kecamatan di Kabupaten Konawe Utara dan 21 desa/kelurahan di enam Kecamatan di Kabupaten Konawe pada bulan Juli 2013 (BPBD Sultra 2013). Oleh karena itu perlu upaya mendeteksi dan mendapatkan informasi tentang deforestasi yang terjadi serta faktor penyebabnya secara akurat dan cepat. Hal ini dapat ditunjang dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan pendekatan berbasis spasial.

(17)

3 pengelolaan hutan yang lestari (Turner et al. 2007; Panta et al.2008). Monitoring perubahan tutupan hutan terutama deforestasi bisa dilakukan atau dikembangkan secara semiotomatis dalam bentuk pemodelan khususnya pemodelan spasial (Jaya 2009). Pemodelan spasial deforestasi yaitu pembangunan sebuah model deforestasi dengan peubah-peubah yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya deforestasi. Beberapa teknik pemodelan yang telah digunakan dalam studi deforestasi antara lain celluler automata (Entwisle et al. 2008), model regresi logistik (Mulyanto dan Jaya 2004; Prasetyo et al. 2009; Kumar et al. 2014; Shehzad et al. 2014), dan OLS regression (Romijn et al. 2013).

Pendekatan berbasis spasial juga bisa digunakan untuk memprediksi perubahan penggunaan lahan khususnya hutan menjadi non hutan. Perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan sebagai interaksi masyarakat dengan hutan dan faktor pendorongnya harus diketahui. Perubahan penggunaan lahan dapat diprediksi secara kuantitatif dengan memasukkan faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi dan kebijakan (Munibah et al. 2010). Pendekatan ini bisa menggunakan pemodelan regresi logistik. Pemodelan ini sering digunakan untuk memprediksi deforestasi seperti yang dilakukan oleh Shamsuddin dan Yakup (2007) di Seremban District Malaysia, serta Prasetyo et al. (2009) untuk memprediksi deforestasi di Pulau jawa dengan memanfaatkan data penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit multitemporal.

Pemodelan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan informasi tentang bagaimana kerentanan terjadinya deforestasi secara spasial, dimana lokasi-lokasi terjadinya deforestasi dan faktor-faktor apa saja yang memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap deforestasi serta bagaimana laju deforestasi di masa yang akan datang. Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi dan pertimbangan pemerintah dalam menyusun kebijakan tentang pengelolaan hutan serta penataan wilayah di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.

Perumusan Masalah

Eksploitasi sumberdaya alam di era reformasi cenderung berlebihan Eksploitasi tersebut mengakibatkan perubahan dan alih fungsi lahan yang meningkat terutama lahan hutan menjadi non-hutan tanpa melihat fungsi dari hutan tersebut. Selain itu, kebutuhan lahan atau pemanfaatan ruang seiring dengan laju pertambahan penduduk juga semakin meningkat. Pemekaraan wilayah dan pemanfaatan ruang serta konflik kepentingan antar sektor yang berkaitan dengan kepentingan pelestarian sumberdaya hutan dan kepentingan produksi kehutanan (kayu) diduga berkontribusi terhadap perubahan lahan di kabupaten Konawe dan Konawe Utara. Beberapa bentuk dari faktor di atas yakni perambahan hutan, ilegal logging serta penataan konsesi tambang dan perkebunan yang kurang baik.

(18)

4

penggunaan lahan hutan, sehingga menimbulkan perubahan hutan baik kualitas dan kuantitasnya.

Berbagai data dan informasi perubahan penggunaan lahan yang mengacu kepada terjadinya deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe perlu dikaji, khususnya perubahan kondisi hutan terkini untuk mendukung perencanaan pengelolaan hutan dan pembangunan wilayah di masa yang akan datang. Fenomena yang dapat dikaji adalah :

1. Pola deforestasi yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe.

2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan biofisiknya di Kabupaten Konawe Utara dan konawe yang mempengaruhi terjadinya laju deforestasi.

Kerangaka pemikiran dalam perumusan masalah deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan model deforestasi yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe, adapun tujuan khususnya adalah:

1. Mengidentifikasi laju deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe 2. Mengidentifikasi faktor pendorong (driving force) di Kabupaten Konawe Utara

dan Konawe baik dari aspek biofisik maupun sosial ekonomi masyarakat 3. Memprediksi terjadinya deforestasi dimasa yang akan datang.

Manfaat Penelitian

(19)

5

2

METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara yang secara geografis terletak pada 30º00 40º Lintang Selatan dan 1210 1230 B j T m . L w l y p n l n secara keseluruhan sebesar 1166991 ha atau 42.4% dari luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 7 kecamatan di Kabupaten Konawe Utara dan 18 kecamatan di Kabupaten Konawe (BPS 2005). Secara spasial lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan yakni tahap (1) persiapan, (2) pengumpulan data dan (3) survey lapang dilakukan mulai Bulan Juni 2013 sampai dengan Bulan Agustus 2013. Tahap analisis dan pembahasan dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian Data

(20)

6

Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta Administrasi Kabupaten Konawe Utara dan Konawe, Peta Lereng, Peta Elevasi, Peta Tutupan Lahan Kementerian Kehutanan dan Data statistik Kabupaten Dalam Angka Konawe dan Konawe Utara tahun 2005, 2010 dan 2013.

Tabel 1 Data utama Citra Landsat TM, ETM+ dan OLI

Tahun Perekaman Path/Row

113/062 113/063 112/063

1997 Citra Landsat TM Landsat TM Landsat TM Tanggal 17-10-1977 15-09-1997 8/9/1997

2000 Citra Landsat ETM+ Landsat ETM+ Landsat ETM+ Tanggal 21-01-2001 2/9/2001 13-12-2000

2005 Citra Landsat ETM+ Landsat ETM+ Landsat TM Tanggal 12/8/2005 12/8/2005 30-09-2005

2010 Citra Landsat ETM+ Landsat ETM+ Landsat ETM+ Tanggal 30-11-2010 20-04-2010 17-09-2009

2013 Citra Landsat OLI Landsat OLI Landsat OLI Tanggal 29-10-2013 29-10-2013 29-04-2013

Alat, hardware dan software

Penelitian ini menggunakan alat Global Positioning Satelite (GPS), kamera digital, rekorder dan daftar isian (tally sheet) untuk pengamatan di lapangan. Sedangkan untuk pengolahan dan analisis data menggunakan hardware seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software : Erdas Imagine 9.1, ArcView 3.2 dengan extention K pp n D n o m (J y ), ArcGIS 9.3, Google Earth, SPSS, IDRISI dan Excel.

Prosedur Analisis Data

Pengumpulan Data

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil survey atau cek lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari menginventarisasi dan penelusuran data, baik pada buku, peta, internet, peraturan perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari beberapa instansi terkait baik instansi pemerintah di daerah maupun pusat atau instansi/lembaga independen lainnya.

1. Pengumpulan data sekunder

Tahap pengumpulan data meliputi: perolehan data spasial, penyeragaman sistem proyeksi peta, konversi format data sesuai dengan perangkat lunak yang dipakai dalam menjalankan prosedur sistem informasi geografi (SIG).

Sistem proyeksi yang digunakan pada wilayah penelitian sesuai standar nasional untuk data spasial adalah proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator) dengan Zona 51S.

2. Pengumpulan data lapangan

(21)

7 data di lapangan bertujuan untuk mencocokan tutupan lahan yang ada pada peta dengan kondisi tutupan lahan yang sebenarnya di lapang. Data yang diambil berupa kondisi tutupan lahan, kondisi topografi, dan foto lapang.

Selain itu diperlukan data hasil wawancara tidak terstruktur yakni wawancara bebas yang berisi pertanyaan yang akan diajukan secara spesifik, dan hanya memuat hal-hal penting yang ingin digali dari berbagai responden yang mencakup masyarakat, Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah setempat sebagai referensi untuk membantu mengetahui faktor penyebab dan pendorong terjadinya deforestasi di wilayah penelitian. Tujuan, jenis data, sumber data, metode/analisis dan keluaran proses disajikan pada Tabel 2.

(22)

8

Laju Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe

Pada tahap persiapan data, dilakukan pengumpulan dan penelusuran data tutupan lahan dan data spasial maupun non spasial lainnya yang terkait dengan deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe. Pengamatan tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dimana informasi yang disajikan lebih lengkap, dapat diperoleh dengan waktu yang relatif singkat, berulang, dan dengan cakupan yang sangat luas. Jaya (2010) menyatakan bahwa data yang multi waktu juga sangat bermanfaat untuk memperkirakan laju dan arah perubahan, sehingga kegiatan antisipasi dapat segera dilakukan. Mengingat laju perubahan yang begitu pesat maka data yang dibutuhkan adalah data terbaru yang dapat diperoleh secara cepat, akurat dan efisien.

Data yang dikumpulkan merupakan data tahunan (multi waktu) yang ditujukan untuk melihat berbagai perubahan yang terjadi pada lokasi penelitian tersebut. Data diperoleh dari instansi atau lembaga-lembaga terkait seperti data Peta Tutupan Lahan dari Balai Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan tahun 1990, 2000, 2006, 2009 dan 2012. Data statistik Kabupaten Dalam Angka per kecamatan dari Badan Pusat Statistik tahun 2005, 2010 dan 2013, serta instansi lainnya. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui beberapa tahapan yakni analisis deforestasi dengan menggunakan 6 waktu (1997, 2000, 2005, 2010 dan 2013) dan kemudian analisis laju deforestasinya.

Analisis deforestasi

Deforestasi didapatkan dengan menganilisis perubahan lahan yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe, baik itu sebaran dan luasnya. Perubahan lahan yang diamati difokuskan pada perubahan permanen dari hutan menjadi areal non hutan (deforestasi). Deforestasi yang terjadi diuraikan masing-masing menjadi data deforestasi tahun 1997-2000, 2000-2005, 2005-2010 dan 2010-2013. Penggunaaan data penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit multitemporal dapat membantu dalam melakukan analisis perubahan penutupan lahan terutama lahan hutan menjadi non hutan. Penelitian ini menggunakan Analisis citra Landsat TM, ETM+ dan OLI diunduh dari USGS yang diolah menggunakan software ERDAS Imagine dan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk mendapatkan data keadaan penutupan lahan, dan juga dibantu oleh Peta Tutupan Lahan Kementerian Kehutanan dan google earth untuk menganalisa, serta referensi dari wawancara. Tahapan pengolahan citra yang dipergunakan adalah koreksi geometrik dan radiometrik (histogram matching), color composite, metode klasifikasi dan uji akurasi. Adapun tahapan pemrosesan citra adalah sebagai berikut :

Perbaikan Stripping

(23)

9 tahun yang sama akan tetapi berbeda dalam waktu (bulan) perekamannya, atau apabila pada tahun yang sama tidak terdapat citra yang baik dapat dimungkinkan dengan tahun yang berbeda dengan selisih waktu satu tahun karena perubahan yang terjadi dimungkinkan kecil.

Penelitian ini menggunakan 4 scene Citra Landsat ETM 7+ yang mengalami stripping di tahun 2005, yaitu pada path 113 dan row 062 sebagai citra utama pada bulan Agustus dan sebagai pengisinnya pada bulan Mei, serta pada path 113 dan row 063 sebagai citra utamannya pada bulan Agustus dan juga pengisinnya citra pada bulan Mei. Pada tahun 2010 menggunakan 6 scene Citra Landsat ETM 7+ yang mengalamai stripping, yaitu pada path 113 dan row 062 sebagai citra utama pada bulan November dan sebagai pengisinnya pada bulan Juli 2009, pada path 113 dan row 063 sebagai citra utamannya pada bulan April dan juga pengisinnya citra pada bulan Juli 2009 dan pada path 112 dan row 063 sebagai citra utamannya pada bulan September 2009 dan juga pengisinnya citra pada bulan September 2009 Proses pengisian citra utama dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Frame and Fill. Hasil perbaikan citra Lansat ETM 7+ dapat dilihat pada Gambar 3.

a. Citra Landsat ETM 7+ Path 113 Row 062, sebelum perbaikan

b. Citra Landsat ETM 7+ Path 113 Row 062, setelah perbaikan Gambar 3 Perbaikan Citra Landsat ETM7+ path 113 row 062 band SWIR, NIR

dan green

Pemotongan Batas Area Penelitian

Ukuran area citra landsat adalah 185 km x 185 km dan tidak semua image akan digunakan, karena itu perlu dilakukan pemotongan citra landsat sesuai dengan batas penelitian. Sebagai batas penelitian menggunakan peta administrasi Kabupaten Konawe Utara dan Konawe yang menjadi acuan dalam penentuan luas pada analisis selanjutnya.

Pengolahan Citra

(24)

10

Koreksi geometrik dan radiometrik

Koreksi geometrik digunakan untuk mengoreksi posisi geometrik yang sesuai dengan letak di permukaan bumi dan koreksi radiometrik menggunakan histogram matching yaitu metode dalam pengolahan citra dari penyesuaian warna antar dua gambar yang menggunakan gambar histogram. Color composite digunakan untuk mengkombinasi band-band dari citra satelait ETM supaya menghasilkan citra komposit yang dapat menggambarkan keadaan penutupan lahan secara lebih mudah. Untuk kombinasi band yang dipergunakan adalah SWIR-1, Near-IR, dan Green (mengacu pada standar dari Kementerian kehutanan untuk analisis hutan dan vegetasi).

Metode Klasifikasi

Klasifikasi citra penginderaan jarak jauh dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik interpretasi secara manual dan digital (Purwadhi 2001). Interpretasi secara manual adalah interpretasi yang berdasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Sedangkan interpretasi digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektral dan dapat dilakukan dengan cara statistik.

Kelas-kelas tutupan lahan yang dibuat mengacu pada sistem klasifikasi Badan Planologi Kementerian Kehutanan berdasarkan kepada Permenhut No. 67/Menhut-II/2006b tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan.

Klasifikasi dilakukan pada penelitian ini menggunakan teknik interpretasi visual (on screen digite) pada skala 1 : 25.000, menggunakan elemen-elemen yang meliputi rona (berkaitan dengan warna/derajat keabuan obyek), tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari bentuk obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek yang lain) (Lillesand dan Kiefer 1990).

(25)

11 Tabel 3 Tipe tutupan lahan 2013

No Kelas Koordinat Deskripsi Tutupan lahan Citra Satelit Foto lapang

1 Hutan Lahan Kering

3º10'19.2" LS 121º38'52.8" BT

Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan baik hutan pimer atau sekunder (BAPLAN 2008).

Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan dengan tekstur kasar dan berwarna hijau gelap. Tekstur kasar dikarenakan vegetasi hutan mempunyai ukuran yang bervariasi dengan pola yang tidak teratur.

Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman (BAPLAN 2008).

Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan dengan tekstur agak kasar dan berwarna hijau muda gelap, dikarenakan hutan tergenang oleh air.

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut (BAPLAN 2008).

Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan dengan tekstur agak kasar dan berwarna hijau gelap, dikarenakan hutan tergenang oleh air.

Semua kenampakan perairan, terasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, padang lamun dan lain-lain (BAPLAN 2008). Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan warna biru kehitam-hitaman dan umumnya polannya memanjang memiliki tekstur yang agak halus dan kasar.

(26)

12

Tabel 3 Lanjutan

No Kelas Koordinat Deskripsi Tutupan lahan Citra Satelit Foto lapang

5 Lahan Terbuka 3º19'19.2" LS 122º17'13.2" BT

Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa tutupan baik yang bersifat alami, semi alami maupun artifisial (BSN 2010).

Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan warna putih kemerahan sampai merah dan umumnya mempunyai tekstur agak kasar dengan pola tidak teratur dan memanjang untuk daerah seperti bibir pantai.

Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tampat kegiatan yang mendukung kehidupan (BSN 2010).

Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan warna magenta sampai magenta tua dengan tekstur halus sampai kasar dengan pola teratur

Semua tutupan lahan yang dihasilkan dari aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang (BAPLAN 2008). Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan warna merah terang dan bercampur dengan hijau muda agak jarang, tekstur kasar, pola agak teratur dan umumnya berbaur dengan pemukiman

(27)

13 Tabel 3 Lanjutan

No Kelas Koordinat Deskripsi Tutupan lahan Citra Satelit Foto lapang

8 Pertanian Lahan Kering campur

3º46'33.6" LS 121º56'56.4" BT

Semua tutupan lahan yang dihasilkan dari aktivitas pertanian di lahan kering yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan. Sering muncul pada areal perladangan berpindah, dan rotasi tanam lahan karst (BAPLAN 2008).

Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan warna hijau muda bercanpur merah kekuningan, tekstur kasar dengan pola tidateratur

Areal pertanian yang digenangi air atau diberi air baik dengan teknologi pengairan,tadah hujan, lebak atau pasang surut yang dicirikan oleh pola pematang, ditanami jenis tanaman pangan berumur pendek (BSN 2010)

Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green, fase air ditampilkan warna biru tua dengan tekstur halus, fase vegetatif warna hijau muda tekstur halus, fase generatf berwarna kuning tekstur halus dan fase bera berwarna ungu kemerahan dengan tekstur halus.

Lahan dengan kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput, kadang-kadang dengan sedikit semak atau pohon (BAPLAN 2008). Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan warna merah kehitam-hitaman dengan tekstur halus dengan pola tidak teratur dan menyebar

(28)

14

Tabel 3 Lanjutan

No Kelas Koordinat Deskripsi Tutupan lahan Citra Satelit Foto lapang

12 Semak Belukar Rawa

4º4'26.4" LS 122º4'44.4" BT

Kawasan bekas hutan rawa / mangrove yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak menampakkan lagi bekas / bercak tebangan (BAPLAN 2008). Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan warna hijau agak gelap, tekstur halus dan pola tidak teratur

Vegetas rendah/semak , belukar, rerumputan

13 Perkebunan 3º30'3.6" LS 122º08'56.4" BT

Seluruh kawasan perkebunan, baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong) (BAPLAN 2008).

Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green ditemukan warna hijau kekuning-kuningan dengan tekstur agak kasar dan memiliki pola yang teratur

Aktivitas perikanan darat atau penggaraman yang tampak dengan pola pematang di sekitar pantai (BAPLAN 2008).

Citra Lansat band RGB 542 ditemukan biru gelap menuju kewarna hitam, tekstur agak halus dengan pola teratur.

(29)

15 Uji Akurasi

Bagian terakhir dari pengolahan citra adalah uji akurasi klasifikasi penutupan lahan. Pengujian kualitas hasil klasifikasi penggunaan lahan dengan melakukan verifikasi dan validasi data. Verifikasi dilakukan melalui tahapan pengecekan lapangan (ground truth) untuk mengecek kebenaraan, ketepatan atau kenyataan di lapangan. Verifikasi dilakukan pada daerah sampel. Akurasi klasifikasi biasanya diukur berdasarkan persentase jumlah pixel yang dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total pixel yang digunakan, akurasi tersebut sering disebut dengan overall accuracy, akan tetapi akurasi ini umumnya over estimate sehingga jarang digunakan, saat ini akurasi yang dianjurkan untuk digunakan adalah kappa accuracy (Jaya 2010). Pada penelitian ini uji akurasinya akan menggunakan akurasi Kappa, akurasi ini menggunakan semua elemen dalam matrik. Secara matematik, akurasi Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:

keterangan :

K = Kappa akurasi

Xii = Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i Xi+ = Jumlah pixel dalam baris ke-i

X+I = Jumlah pixel dalam kolom ke-i N = Banyaknya pixel dalam contoh r = Jumlah baris atau kolom

Pengolahan masing-masing citra Lansat menghasilkan peta penutupan lahan di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe pada masing-masing periode untuk dilihat perubahannya. Selanjutnya deforestasi dianalisis dengan thematic change dengan menggunakan formula sebagai contoh [Tuplah_1997]++‖_‖++ [Tuplah_2013]. Deforestasi yang terjadi diuraikan masing-masing menjadi data deforestasi tahun 1997 ke 2000, 2000 ke 2005, 2005 ke 2010 dan deforestasi tahun 2010 ke 2013.

Analisis Laju Deforestasi

Analisis laju deforestasi yang terjadi dilakukan untuk masing-masing periode. Data didapatkan dari perubahan lahan baik luasan dan tutupan lahannya dari hutan menjadi bukan hutan (deforestasi) dengan cara mengkombinasi (overlay) masing-masing tutupan lahan setiap periode. Laju deforestasi tahunan dihitung dengan menggunakan persamaan umum:

r = (A1 - A2)/(t2-t1) Keterangan :

r = laju tahunan perubahan penutupan hutan (ha/tahun) t = waktu (tahun)

(30)

16

Identifikasi Faktor Pendorong (driving force) deforestasi

Secara umum deforestasi berkaitan erat dengan peubah-peubah sosial ekonomi masyarakat dan kondisi biofisik serta penggunaan lahan yang ada di setiap desa atau kecamatan, diantaranya aksesibilitas manusia, ketinggian tempat (elevasi) dan kelerengan (slope).

Faktor aksesibilitas yaitu; jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari pemukiman, jarak dari perkebunan/pertanian dan jarak dari tepi hutan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap deforestasi (Wyman dan Stein 2010, Arekhi dan Jafarzadeh 2012, Kumar et al. 2014). Peta jarak masing-masing obyek dihitung menggunakan jarak euklidian dengan format raster dengan asumsi semakin dekat dengan masing-masing obyek maka peluang terjadinnya deforestasi akan semakin besar. Kemiringan lahan (slope) dan kelas ketinggian (elevasi) besar pengaruhnya terhadap terjadinnya deforestasi (Prasetyo et al. 2009, Arekhi dan Jafarzadeh, 2012). Data slope dan elevasi diambil dari data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dengan asumsi semakin rendah kemiringan dan ketinggian lahannya maka peluang terjadinnya deforestasinnya semakin besar.

Guna mendapatkan informasi yang lebih akurat terhadap deforestasi dan penyebabnya maka dibangun tipologi. Tipologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan jenis/tipe. Pengelompokkan tersebut menurut tipe tertentu berdasarkan variable atau karakteristik yang dominan (utama) melalui berbagai metode pembobotan atau kelompok serta pemilihan faktor yang paling mencirikan karakter obyek (Hazeu et al. 2010, Lastini 2012). Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui pengelompokkan wilayah berdasarkan kesamaan atau kemiripan peubah-peubah pencirinnya (karakteristik). Adapun peubah-peubah yang digunakan untuk pengelompokkan ini adalah peubah sosial ekonomi wilayah yang terukur dan datanya tersedia. Pembangunan Tipologi

Pembangunan tipologi dilakukan menggunakan pendekatan klastering dengan unit pengamatan terkecil adalah kecamatan. Analisis klaster merupakan teknik yang dirancang untuk menemukan kelompok jenis (similarity) didalam satu set data (Holland 2006). Menurut Jaya (2010) analisis klaster bertujuan untuk menemukan struktur kategori yang sesuai dengan observasi (finding the natural group). Tehnik klastering pada penelitian ini menggunakan jarak Euclidean yang terstandarisasi (Standardized Euclidean Distance) karena dapat digunakan untuk membandingkan peubah dengan satuan unit yang berbeda. Jarak antara 2 kecamatan (klaster) dihitung dengan tehnik ini, yang perhitungannya menggunakan rumus sebagai berikut (Jaya 2010).

=

[∑

(

)

]

Keterangan :

(31)

17 Agar memudahkan melakukan analisis pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masing-masing ukuran klaster yang digunakan, maka diperlukan suatu tehnik untuk menyusun urutan pengelompokan klaster, dari jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil. Tehnik penggambaran tersebut sering k n l n n l ―nested atau hierarchical classification‖, l m n k sebuah grafik dikotomi yang sering disebut dengan dendrogram.

Metode penggambaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tetangga terdekat (nearest neighbour method), yaitu metode penggambaran klaster berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota klaster. Metode ini sering disebut dengan single linkage method.

Tipologi ini dibuat berdasarkan peubah-peubah sosial ekonomi masyarakat dan penggunaan lahan yang ada di setiap wilayah kecamatan yang dihubungkan sebagai peubah pendorong terjadinnya deforestasi. Peubah-peubah pembangun tipologi tersebut dijelaskan pada Tabel 4. Peubah-peubah yang digunakan berdasarkan buku Provinsi dan Kabupaten Dalam Angka Tahun 2005 dari penyedia data Badan Pusat Statistik (BPS). Pengolahan data klaster ini menggunakan software SPSS dan K pp & D n o m (J y ) VI.6.

Tabel 4 Tipologi peubah deforestasi

Peubah (x) Data Keterangan

X1 JPdd_05 Jumlah penduduk tahun 2005 per kecamatan X2 JRm_Ppn05 Jumlah rumah papan

X3 JSkl_SDup05 Jumlah sekolah SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi X4 JMrd_SDup05 Jumlah murid SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi X5 LLKr_Swh05 Luas lahan kering dan sawah

Peubah-peubah yang digunakan direkapitulasi menjadi data tabular dengan kecamatan sebagai wilayah yang akan dikelaskan, seperti pada Tabel 5.

Tabel 5 Kode klaster Kecamatan

No Kecamatan Kode klaster No Kecamatan Kode klaster

(32)

18

Guna mendapatkan peubah-peubah yang dapat mewakili tipologi kecamatan dihubungkan dengan deforestasi diperlukan analisis akurasi. Tipologi dengan nilai akurasi tinggi peubah-peubahnya digunakan dalam pembuatan model.

Analisis Akurasi

Analisis akurasi dapat dilakukan dengan membuat matriks kontingensi antara kelas tipologi dan kelas deforestasi pada periode yang akan dibuat model, dengan menghitung besarnya akurasi pembuat (Producer’s Accuracy/PA) dan akurasi pengguna (User’s Accuracy/UA) dari setiap kelas dan juga overall accuracy (OA). Secara matematis akurasi dapat dihitung dengan persamaan :

Producer’s accuracy (PA) =

100%

User’s accuracy (UA) =

100%

Overral Accuracy (OA) =

100%

Keterangan:

Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-I dan kolom ke-i Xi+ = jumlah piksel dalam kolom ke-i

X+I = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh

Prediksi Deforestasi

Model untuk memprediksi perubahan penutupan lahan hutan dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Regresi logistik digunakan untuk menilai tingkat pengaruh dari peubah penjelas tentang perubahan hutan dan untuk memprediksi kemungkinan deforestasi (Kumar et al. 2014). Untuk mengetahui peubah-peubah yang menentukan perubahan dan pola perubahan hutan, maka dilakukan analisis kuantitatif yaitu analisis peubah ganda dengan membagun suatu model penduga peluang terjadinnya deforestasi. Model regresi yang dibangun menggunakan peubah-peubah fisik dan sosial ekonomi masyarakat sebagai peubah bebasnya (independent variabel), sedangkan peubah tak bebasnya adalah ada dan tidaknya deforestasi. Peubah-peubah bebas yang digunakan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Shehzad et al. (2014) untuk mengidentifikasi empat faktor biofisik dan tujuh faktor sosial ekonomi terhadap terjadinya deforestasi di hutan kering daerah sub tropis Pakistan.

Metode tersebut menjelaskan peubah-peubah mana saja yang berpengaruh terhadap deforestasi, dimana 1 = terjadi deforestasi dan 0 = tidak terjadi deforestasi. Persamaan yang dihasilkan bisa digunakan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya perubahan jenis-jenis penutupan lahan hutan beberapa waktu ke depan. Secara umum persamaan dirumuskan sebagai berikut :

(33)

19 Rumus ini dapat juga ditulis sebagai berikut :

Ln( p/1-p ) = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + …bnXn dimana:

p = peluang kejadian deforestasi (0 atau 1)

X1~Xn = peubah yang mempengaruhi deforestasi ( variabel bebas )

b0 = konstanta b1~b3 = koefisien regresi

Peubah bebas yang yang digunakan pada analisis ini berdasarkan peubah sosial masyarakat, biofisik dan penggunaan lahan, adalah sebagai berikut :

X1 = Kepadatan penduduk tahun 2005 (jiwa/km2) X2 = Jarak dari jalan (m)

X3 = Jarak dari tepi sungai (m)

X4 = Jarak dari tepi hutan tahun 2005 (m) X5 = Jarak dari tepi pemukiman tahun 2005 (m)

X6 = Jarak dari tepi pertanian lahan kering campur tahun 2005 (m) X7 = Slope (%)

X8 = Elevasi (m dpl)

Prosesnya adalah data hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2005 ke tahun 2010 ditumpangsusunkan (overlay) dengan data faktor-faktor yang diduga mempengaruhi deforestasi pada tiap tipologi, kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Idrisi. Perangkat lunak powerfull ini dibuat oleh Prof. Ron Easman (2003). Dari metode tersebut didapatkan model deforestasi dan peta peluang deforestasinya (peta prediksi deforestasi) untuk divalidasi dan diverifikasi.

Validasi model dilakukan dengan menggunakan grafik ROC (Relative Operating Characteristics) dalam fungsi logistigreg software Idrisi. Fungsi logisticreg adalah analisis regresi logistik yang ditampilkan pada citra. Analisis ini berguna untuk menjelaskan terjadi atau tidaknya sebuah fenomena. ROC (Relative Operating Characteristics) memberikan ukuran koresponden antara model kuantitatif, dengan kriteria keterangan seperti pada Table 6.

Tabel 6 Kriteria tingkat ROC (Relative Operating Characteristics) Nilai Tranformasi Deforestasi Keterangan

1.00 Sempurna

. .00 Sangat baik

. .75 Baik

< 0.50 Kurang baik

(34)

20

Gambar 4 Bagan alur penelitian

(35)

21

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Laju Deforestasi

Penutupan Lahan

Interpretasi visual citra Landsat Kabupaten Konawe Utara dan Konawe merupakan proses praklasifikasi dan setelah dilakukan verifikasi lapangan melalui ground check (Lampiran 1) dan re-interpretasi dibantu Peta Tutupan Lahan Kementrian Kehutanan dan google Earth maka diperoleh post klasifikasi, dimana hasil ini digunakan sebagai bahan analisis selanjutnya. Adapun peta keluaran berupa peta penutupan lahan pada tahun 1997, 2000, 2005, 2010 dan 2013 (lampiran 3).

Penilaian tingkat akurasi hasil interpretasi citra dilakukan dengan uji akurasi terhadap kondisi yang sebenarnya di lapangan. Keakuratan tersebut, meliputi: kebenaran jumlah piksel area contoh yang diklasifikasi, pemberian nama secara benar, dan persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Hasil analisis ketepatan interpretasi citra yang berupa matrik Kesalahan, overall accuracy dan kappa accuracy disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Matrik kesalahan, kappa accuracy tutupan lahan tahun 2013 Jenis Tutupan

(36)

22

Tutupan lahan yang dibuat didapatkan perubahan hutan menjadi bukan hutan (deforestasi) p p p o n , , n 2013, seperti yang disajikan pada Lampiran 4.

Laju Deforestasi

Hasil analisis deforestasi yang dilakukan, luas hutan pada tahun 1997 sampai 2013 terjadi deforestasi sebesar 54583 ha pada Kabupaten Konawe Utara dan Konawe, 56% terjadi penurunan di Kabupaten Konawe Utara dan 44% pada Kabupaten Konawe, yang disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kurva luas deforestasi dan laju deforestasi

Laju deforestasi terendah terjadi pada periode 1997–2000 sebesar 495 ha/tahun. Terjadinnya kegaduhan politik di Indonesia tahun 1998 tidak berpengaruh nyata terhadap deforestasi di wilayah penelitian seperti yang terjadi di Jawa bahwa terjadi penjarahan (illegal logging) sehingga deforestasi meningkat (Nurrochmat dan Hasan 2010). Peningkatan nilai laju deforestasi tertinggi terjadi pada periode 2000–2005 sebesar 4985 ha/tahun. Peningkatan ini sejalan dengan penelitian Nawir et al (2008), bahwa sejak diberikannya wewenang pengelolaan sumber daya alam kepada pemerintah daerah (otonomi daerah) pada tahun 1999, deforestasi meningkat dengan meningkatnya pemberian ijin usaha perkebunan dan kebijakan hak pemanfaatan hutan oleh masyarakat. Secara spasial, sebaran deforestasi tiap periode di wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 6.

Laju deforestasi fluktuatif terjadi pada setiap kecamatan per periode, laju deforestasi te n p p o n 2005 terjadi pada 24 kecamatan di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe tetapi hanya satu kecamatan yang tidak terjadi deforestasi yaitu Kecamatan Wonggeduku. Kecamatan Wonggeduku adalah satu-satunya kecamatan di Kabupaten Konawe yang tidak mempunyai wilayah berhutan sehingga wajar jika tidak terdeteksi adanya deforestasi.

(37)

23

Gambar 6 Sebaran deforestasi Kabupaten Konawe Utara dan Konawe periode tahun ( ) , ( ) , ( ) , ( ) 2013

Laju deforestasi yang tinggi terjadi pada Kecamatan Asera, Langgikima, Routa n w no p p o 2005 dan 2005 2010. Secara skematis, laju deforestasi kecamatan di wilayah studi dapat disajikan pada Gambar 7.

(a)

(d) (c)

(38)

24

Gambar 7 Laju deforestasi per kecamatan Faktor Pendorong (Driving Force) Deforestasi

Pembangunan Tipologi

Tipologi yang dibuat berdasarkan kemiripan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi pada setiap wilayah dengan peubah-peubah sebagai faktor pendorong terjadinya deforestasi diambil dari data statistik BPS. Peubah-peubah tersebut antara lain jumlah penduduk tahun 2005 per kecamatan (JPdd_05), jumlah rumah papan (JRm_Ppn), jumlah sekolah SD dan seterusnya (JSkl_SDup), jumlah murid SD dan seterusnya (JMrd_SDup) dan luas lahan kering sawah (LLKr_Swh). Sebelum pembuatan tipologi, perlu dilakukan analisis korelasi antar peubah untuk menghindari kolinieritas antar peubah yang digunakan untuk tipologi yang ditunjukkan pada Tabel 8.

Hasil pengujian korelasi didapatkan bahwa peubah jumlah penduduk tahun 2005 per kecamatan (JPdd_05) mempunyai korelasi yang erat dengan jumlah rumah papan (JRm_Ppn), jumlah sekolah SD dan seterusnya (JSkl_SDup) dan jumlah murid SD dan seterusnya (JMrd_SDup), sehingga untuk membuat tipologi cukup diwakili oleh jumlah penduduk tahun 2005 per kecamatan (JPdd_05). Berdasarkan hasil analisis korelasi tersebut dipilih dua peubah untuk membangun tipologi wilayah penelitian dengan pembuatan dendogram dalam menentukan tipologi, peubah-peubah tersebut adalah:

a. Tipologi menggunakan 1 peubah (Tipo_1v)

X1 (Jumlah penduduk tahun 2005 per kecamatan)

(39)

25 b. Tipologi menggunakan 2 peubah (Tipo_2v)

X1 (Jumlah penduduk tahun 2005 per kecamatan) X5 (Luas lahan kering dan sawah)

Tabel 8 Analisis korelasi Pearson antar peubah tipologi

JPdd_05

** Korelasi signifikan pada taraf nyata 1%

Hasil analisis klastering menggunakan Standardized Euclidean Distance (SdED) dari kedua variable tersebut diperoleh grafik dendogram seperti yang disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9.

(40)

26

Gambar 9 Dendogram dengan variabel x1, x5

Hasil pengkelasan terhadap dendogram tersebut dengan menggunakan metode kedekatan jarak single linkage method diperoleh 2 kategori tipologi, yaitu tipologi 1 (T1) dan tipologi 2 (T2), sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

Pengolahan tipologi dengan satu variabel (Tipo_1v), T1 dijelaskan pada jumlah penduduk yang relatif rendah dan T2 jumlah penduduk yang relatif tinggi. Sedangkan tipologi pada dua variabel (Tipo_2v), T1 dijelaskan pada jumlah penduduk relatif tinggi dan luas lahan kering sawah yang rendah serta T2 dijelaskan pada jumlah penduduk yang relatif rendah dan luas lahan kering dan sawah yang besar.

(41)

27 Tabel 9 Tipologi wilayah berdasarkan kelas deforestasi

Kecamatan Klaster Variabel Tipo_1v Tipo_2v KD05_10 JPdd_05 LLKrSwh_05

Keterangan: JPdd_05 = Jumlah penduduk tahun 2005; LLKrSwh_05 = Luas lahan kering dan sawah tahun 2005; Tipo_1v = Tipologi dengan 1 variabel; Tipo_2v = Tipologi dengan 2 variabel; KD _ K l o n

2010.

Hasil pengujian akurasi terhadap tipologi dengan dua kelas deforestasi tersebut didapatkan akurasi yang terbaik seperti yang disajikan pada Tabel 10 dan 11.

Tabel 10 Matriks kesesuaian tipologi dengan 1 variabel D1 D2 Jumlah Produsers Accuracy

T1 13 9 22 59%

Tabel 11 Matriks kesesuaian tipologi dengan 2 variabel

D1 D2 Jumlah Produsers Accuracy

T1 15 6 21 71%

T2 1 3 4 75%

Jumlah 16 9 25

(42)

28

Akurasi tipologi dengan satu variabel didapatkan ketelitian overall accuracy sebesar 52% dan pada tipologi dengan dua variabel didapatkan ketelitian 72%. Tipologi yang dibangun pada penelitian ini adalah tipologi dengan dua peubah (jumlah penduduk dan luas lahan kering sawah). Guna mendapatkan informasi yang lebih akurat terhadap deforestasi dan penyebabnya dijelaskan dengan tipologi deforestasi, dimana tipologi 1 terpilih 21 kecamatan dan tipologi 2 terpilih 4 kecamatan, seperti dijelaskan pada Gambar 10.

Gambar 10 Peta Sebaran deforestasi berbasis tipologi periode tahun 200 2010 di Kabupeten Konawe Utara dan konawe

Prediksi Deforestasi

Model regresi logistik digunakan untuk membuat model spasial deforestasi. Penentuan model terpilih dilakukan dengan membandingkan delapan model yang memiliki jumlah variabel berbeda pada tipologi 1 (Tabel 12) dan tipologi 2 (

(43)

29 Tabel 12 Model spasial deforestasi tiopologi 1

Model -2logL0 -2log(likelihood) P seudo R_square

Goodness of Fit

Model

ChiSquare ROC KPdd05 2465532.9 2379306.6 0.0350 14972093.8 86226.3 0.757 KPdd05_JJ 2465532.9 2135799.5 0.1337 15827753.1 329733.4 0.811 KPdd05_JJ_JS 2465532.9 2024764.5 0.1788 10147312.3 440768.5 0.852 KPdd05_JJ_JS_JHut50 2465532.9 1676766.1 0.3199 8245824.9 788766.9 0.933 KPdd05_JJ_JS_JHut50_

JPmk50 2465532.9 1670094.4 0.3226 8789138.1 795438.5 0.934 KPdd05_JJ_JS_JHut50_

JPmk50_JPlkc50 2465532.9 1669169.4 0.3230 9117320.7 796363.6 0.935 KPdd05_JJ_JS_JHut50_

JPmk50_JPlkc50_S 2465532.9 1668682.3 0.3232 8898613.6 796850.7 0.934 KPdd05_JJ_JS_JHut50_

JPmk50_JPlkc50_S_E 2465532.9 1668254.5 0.3234 9116344.9 797278.5 0.935

Tabel 13 Model spasial deforestasi tiopologi 2 Model -2logL0 -2log(likelihood) P seudo

R_square

Goodness of Fit

Model

ChiSquare ROC KPdd05 858775.2 819981.4 0.0452 13728725.1 38793.8 0.686 KPdd05_JJ 858775.2 804270.7 0.0635 9809897.9 54504.5 0.761 KPdd05_JJ_JS 858775.2 780076.7 0.0916 9144609.9 78698.5 0.784 KPdd05_JJ_JS_JHut50 858775.2 508405.7 0.4080 2981120.4 350369.5 0.973 KPdd05_JJ_JS_JHut50_

JPmk50 858775.2 501891.7 0.4156 3002428.3 356883.5 0.974 KPdd05_JJ_JS_JHut50_

JPmk50_JPlkc50 858775.2 495361.3 0.4232 3011006.7 363413.9 0.975 KPdd05_JJ_JS_JHut50_

JPmk50_JPlkc50_S 858775.2 485551.3 0.4346 3055862.3 373223.9 0.975 KPdd05_JJ_JS_JHut50_

JPmk50_JPlkc50_S_E 858775.2 481796.5 0.4390 2849745.4 376978.7 0.977

Hasil analisis model spasial pada masing-masing tipologi menunjukkan bahawa model terpilih adalah model dengan delapan variabel. Hal ini ditentukan berdasarkan nilai pseudo R_square >0.2, memiliki nilai goodness of fit yang kecil dan nilai ROC yang besar (Kumar et al. 2014). Model pada tipologi 1 dengan delapan variabel menunjukkan nilai pseudo R_square sebesar 0.3234, nilai goodness of fit 9116344.9 dan ROC sebesar 0.935. Model terpilih pada tipologi 2 juga dibentuk dengan delapan variabel yang memiliki nilai pseudo R_square sebesar 0.4390, nilai goodness of fit 2849745.4 dan ROC sebesar 0.977. Berdasarkan model terpilih, maka model spasial pada masing-masing tipologi adalah sebagai berikut:

(44)

30

Keterangan: e = eksponensial; Z = persamaan yang didapat; KPd05 = Kepadatan penduduk tahun 2005 (jiwa/km2); JJ = Jarak dari jalan (m); JS= Jarak tepi sungai (m); JH05 = Jarak tepi hutan tahun 2005 (m); JPmk05 = Jarak tepi pemukiman tahun 2005 (m); JPlc05 = Jarak tepi pertanian lahan kering campur tahun 2005 (m); S= Slope (%);E= Elevasi (m).

Berdasarkan model regresi logit yang diperoleh maka pada tipologi 1 dapat dijelaskan bahwa peluang terjadinya deforestasi pada areal hutan akan semakin rendah dengan semakin meningkatnya kepadatan penduduk, semakin jauhnya jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, jarak dari pemukiman dan jarak dari pertanian lahan kering campur, namun peluang terjadinya deforestasi akan meningkat dengan meningkatnya elevasi maupun kelerengan (slope). Peluang terjadinya deforestasi pada tipologi 2 akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan elevasi, semakin dekatnya jarak dari hutan dan jarak dari pemukiman, serta semakin jauhnya jarak dari jalan, sungai dan pertanian lahan kering campur, serta slope yang semakin landai. Penjelasan ini disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Deskripsi pengaruh peubah-peubah bebas tiap tipologi terhadap peluang deforestasi

Peubah deforestasi

Tipologi 1 Tipologi 2 Peluang deforestasi

Rendah Tinggi Rendah Tinggi KPd50 (Kepadatan penduduk) tinggi rendah rendah Tinggi

JJ (Jarak dari jalan) jauh dekat dekat Jauh

JS (Jarak tepi sungai) jauh dekat dekat Jauh

JH50 (Jarak tepi hutan) jauh dekat jauh Dekat

JPmk50 (Jarak tepi pemukiman) jauh dekat jauh Dekat JPlc50 (Jarak tepi pertanian lahan kering campur) jauh dekat dekat Jauh

S (Slope) landai curam curam landai

E (Elevasi) datar Tinggi datar Tinggi

Pendekatan dengan peubah-peubah bebas terhadap terjadinnya deforestasi di wilayah penelitian dihasilkan model spasial prediksi deforestasi dengan Relative Operating Characteristics (ROC) pada tipologi 1 sebesar 0.935 dan tipologi 2 sebesar 0,977. Hasil ini menjelaskan bahwa peubah-peubah bebas yang digunakan dalam metode ini berpengaruh dengan baik terhadap terjadinya deforestasi.

(45)

31 pada kisaran angka 0.00-0.51, peluang deforestasi semakin tinggi maka warna akan semakin merah. Seperti ditunjukkan oleh Gambar 11.

(a) (b)

Gambar 11 Model prediksi deforestasi tahun 2005, (a) tipologi dan (b) tipologi 2 Pengujian keakuratan hasil model prediksi dilakukan dengan teknik overlay model prediksi 2005–2010 dengan deforestasi aktual tahun 2010–2013. Hasil overlay bisa dilihat pada Gambar 12.

(a) (b)

Gambar 12 Hasil overlay model prediksi deforestasi 2005–2010 dengan deforestasi aktual 2010–2013, (a) tipologi 1 dan (b) tipologi 2

(46)

32

Tabel 15 Hasil uji validasi pada tipologi T1

Prediksi Aktual Total (ha)

Deforestasi (ha) Non-deforestasi (ha)

Deforestasi (ha) 17229 414392 431622

Non-deforestasi (ha) 13838 1018120 1031958

Total 1463580

Overall Accuracy (%) 70.7

Tabel 16 Hasil uji validasi pada tipologi T2

Prediksi Aktual Total (ha)

Deforestasi (ha) Non-deforestasi (ha)

Deforestasi (ha) 163 2805 2968

Non-deforestasi (ha) 1344 1229915 1231259

Total 1234227

Overall Accuracy (%) 99.7

Berdasarkan model yang diperoleh dengan regresi logistik, deforestasi pada tipologi 1 dan tipologi 2 dapat dijelaskan oleh delapan peubah bebas. Hal ini dapat dilihat pada pola peubah-peubah bebas tersebut dalam mempengaruhi besarnya peluang deforestasi yang ditunjukkan pada Tabel 17 dan 18.

Tabel 17 Pengaruh delapan peubah terhadap peluang deforestasi pada tipologi 1 Peubah Bebas Keterangan: KPdd05 = Kepadatan penduduk tahun 2005 (jiwa/km2); JJ = Jarak dari jalan (m); JS= Jarak tepi

(47)

33

Tabel 18 Pengaruh delapan peubah terhadap peluang deforestasi pada tipologi 2

Peubah Bebas Keterangan: Peluang deforestasi rendah dinyatakan dengan warna hijau; peluang deforestasi sedang

dinyatakan dengan warna kuning; peluang deforestasi tinggi dinyatakan dengan warna merah

Pola peubah-peubah bebas pada tipologi 1 yang konsisten dalam mempengaruhi peluang deforestasi adalah jarak dari tepi hutan, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari petanian lahan kering campur dan kepadatan penduduk. Peluang deforestasi semakin tinggi terjadi apabila dekat dari tepi hutan, jalan, sungai dan pertanian lahan kering campur, serta pada kepadatan penduduk yang rendah.

Peluang deforestasi yang sangat tinggi pada tipologi 1 (warna merah tua) ada pada lokasi dengan kepadatan penduduk sekitar 25 jiwa per km2, jarak dari hutan sekitar 500 m, jarak dari jalan sekitar 500 m, jarak dari sungai 500 m, jarak dari pertanian lahan kering campur sekitar 500 m, jarak dari pemukiman sekitar 500 m, slope y n n n p l k m pl 1500 m dpl.

(48)

34

sekitar 1000 m, slope yang rendah dan pada elevasi sekitar 1 m pl 1500 m dpl.

Pola tersebut menjelaskan bahwa peubah jarak dari tepi hutan paling berpengaruh pada tipologi 1 dan tipologi 2, hal ini terlihat dari nilai peluang deforestasi bahwa semakin dekat dengan hutan peluang deforestasinnya semakin tinggi. Terdapat beberapa peubah bebas yang mempengaruhi terjadinya deforestasi pada tipologi 1 dan 2 dengan bobot yang berbeda, yaitu slope, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari areal pertanian lahan kering campur dan kepadatan penduduk.

Peluang terjadinya deforestasi pada tipologi 1 akan semakin tinggi di areal yang cenderung berlereng curam. Namun, hal ini tidak terjadi pada tipologi 2 yang memiliki kecenderungan deforestasi akan terjadi pada areal yang landai. Hasil analisis faktor kemiringan lereng (slope) pada tipologi 1 tidak sejalan dengan hasil penelitian Kumar et al. (2014) dan Shehzad et al. (2014) yang menyatakan bahwa peluang deforestasi semakin rendah pada areal yang berlereng curam. Deforestasi pada tipologi 1 dan tipologi 2 juga erat hubungannya dengan faktor elevasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor elevasi berkorelasi positif dengan kejadian deforestasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Getahun et al. (2013) yang menyatakan bahwa deforestasi di Ethiopia banyak terjadi di daerah dataran tinggi.

Pengaruh slope dan elevasi ini dikarenakan deforestasi banyak terjadi pada wilayah perkebunan kelapa sawit dan tambang nikel. Pembukaan lahan dengan konfigurasi lahan yang beragam tetap dilakukan dikarenakan adannya ijin pengelolaan atas lahan tersebut dan adannya potensi sumberdaya alam didalamnya. Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara (2013) mencatat terdapat 92700 ha pada tipologi 1 dan 99500 ha pada tipologi 2 luas lahan kelapa sawit yang diberi ijin usaha perkebunan kepada perusahaan-perusahaan swasta dan masih aktif dari tahun 2005 hingga tahun 2013. Untuk pertambangan, Dinas Pertambangan Sulawesi Tenggara (2014) mencatat terdapat 120116 ha pada tipologi 1 dan 53816 ha pada tipologi 2 luas tambang yang diberi ijin usaha pertambangan (IUP). Ijin ini diberikan sejak tahun 2007 sampai tahun 2014 kepada perusahaan-perusahaan tambang dengan masa berlaku bervariasi dari 3 tahun hingga 20 tahun.

(49)

35 pemekaran wilayah membuat semakin banyaknya jaringan jalan sehingga aksesibilitas semakin mudah.

Selain faktor biofisik dan aksesibilitas, deforestasi pada tipologi 1 dan 2 juga dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk. Peluang deforestasi pada tipologi 1 semakin tinggi pada daerah dengan kepadatan penduduk yang relatif rendah. Tipologi 2 menunjukkan hasil yang berbeda dengan tipologi 1 yaitu peluang deforestasi semakin tinggi pada daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Beberapa hasil studi lain menunjukkan hal yang sama bahwa peluang deforestasi semakin tinggi apabila semakin meningkatnya kepadatan penduduk (Entwisle et al. 2008; Prasetyo et al. 2009). Pengaruh wilayah berkembang pada tipologi 1 membuat semakin meluasnya wilayah perkantoran dan perdagangan sehingga peluang kerja semakin tinggi. Peluang pekerjaan di perkotaan menjadikan dorongan terhadap hutan semakin berkurang.

4

SIMPULAN

Terjadi penurunan luas hutan pada tahun 1997 sampai 2013 sebesar 54583 ha pada Kabupaten Konawe Utara dan Konawe, 56% terjadi penurunan di Kabupaten Konawe Utara dan 44% pada Kabupaten Konawe. Laju deforestasi terendah pada Kabupaten Konawe Utara dan kabupaten Konawe terjadi pada periode 1997–2000 sebesar 494 ha/tahun. Nilai laju deforestasi tertinggi terjadi pada periode 2000–2005 sebesar 4984 ha/tahun, selanjutnya laju deforestasi menurun hingga tahun 2013.

Faktor yang mempengaruhi deforestasi dibedakan menjadi dua tipologi yang menunjukkan kondisi daerah administrasi Kabupaten Konawe dan Konawe Utara. Model deforestasi menggunakan regresi logistik menunjukkan terdapat delapan faktor yang mendorong terjadinya deforestasi pada masing-masing tipologi. Faktor tersebut terdiri atas faktor aksesibilitas yaitu, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, jarak dari pemukiman dan jarak dari pertanian lahan kering campur, serta faktor sosial yaitu kepadatan penduduk dan biofisik yaitu ketinggian tempat (elevasi) dan kelerengan (slope).

(50)

36

DAFTAR PUSTAKA

Arekhi S, dan Jafarzadeh. 2012. Deforestation modeling using logistic regression and GIS (Case study: Northern Ilam forest, Ilam Province, Iran). African (ID) : BPS Kabupaten Konawe Utara.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Konawe Dalam Angka 2010. Jakarta (ID) : BPS Kabupaten Konawe.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Konawe Utara Dalam Angka 2013. Jakarta (ID) : BPS Kabupaten Konawe Utara.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Konawe Dalam Angka 2013. Jakarta (ID) : BPS Kabupaten Konawe.

[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Alam Daerah. 2013. Laporan Bencana Alam Tahunan 2013 Sulawesi Tenggara. BPBD Sulawesi Tenggara.

Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi tenggara. 2013. Laporan Perijinan Perkebunan Sulawesi Tenggara Tahun 2013. Bidang Produksi. Dinas Perkebunan Sulawesi Tenggara.

Dinas Pertambangan dan mineral Provinsi Sulawesi tenggara. 2013. Laporan Perijinan Pertambangan Sulawesi Tenggara Tahun 2013. Bidang Produksi. Dinas Pertambangan Sulawesi Tenggara.

Dirjen Planologi Kehutanan. 2009. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2009. Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan. Kementrian Kehutanan.

Buitenzorgy M, Mol APJ. 2010. Does Democracy Lead to a Better Environment? Deforestation and the democratic Transition Peak. Environtment Resource Economic. 48: 59-70. doi: 10.1007/s10640-010-9397.

Eastmasn J. R. 2003. IDRISI Kilimanjaro Guide to GIS and Image Processing. Worcester: Clark University.

Entwisle B, Rindfuss RR, Walsh SJ, Page PH. 2008. Population growth and its spatial distribution as factors in the deforestation of Nang Rong, Thailand. Geoforum. 39(2): 8 −8 .

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. Global Forest Resources Assessment 2010. Rome: FAO.

Geist HJ, Lambin EF. 2001. What drives tropical deforestation. LUCC Report series. 4: 116.

Hazeu G, et al. 2010. A biophysical typology in agri-environmental modeling. Biomedical and Life Sciences 2:159-187 [terhubung berkala]. http://www.springerlink.com

Holland SM. 2006. Cluster Analisis.. Athens, GA 30602-2501: Department of Geology, University of Georgia.

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran
Gambar 2  Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Data utama Citra Landsat TM, ETM+ dan OLI
Tabel 2  Tujuan, jenis data, sumber data, metode/analisis dan keluaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kombinirano zdravljenje z everolimusom in zaviralcem aromataze eksemestanom je ena od možnih oblik zdravljenja bolnic s hormonsko odvisnim razsejanim RD po napredovanju bolezni

Filtrat hasil destruksi dari sampel udang windu yang telah ditambahkan logam tembaga memberikan perubahan warna yang sesuai dengan larutan analit Cu 2+ pada

kandungan unsur hara yang diterima tanaman akan semakin tinggi pula, tetapi pemberian dosis pupuk yang berlebihan mengakibatkan tanaman akan layu dan

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Yusuf ayat 13-25 yaitu: akhlak terhadap diri sendiri meliputi.. nilai Jujur,

Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur (Sugiyono, 20011 : 73) atau interview bebas terpimpin ( Suharsimi Arikunto, 1997 :146), yaitu

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan Corporate Social Responsibility Sosial Dalam Laporan Tahunan (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang

 Adanya penghasilan yang masih harus diterima atau adanya beban yang masih harus dibayar pada akhir periode akuntansi.. 7 Transaksi-transaksi tersebut diatas merupakan

Didalam sebuah penataan ruangan tentu ada faktor pemicu dari sebuah kantor tersebut. Lingkungan kerja yang sehat adalah salah satu faktor yang dilihat dari sudut