(Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 223/Pdt. G/2005/PA. Sda).
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
NPM. 0771010096 RENNI AGUSTINA
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
v
Alhamdulillah puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO TENTANG HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKATNYA” (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 223/ Pdt. G/2005/PA. Sda).
Skripsi ini disusun dalam rangka untuk melengkapi salah satu syarat guna menyelesaikan sarjana hukum program studi Strata I Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional " Veteran " Jawa Timur. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, untuk itu segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun sangat penulis perlukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan bimbingan serta saran yang sangat berharga kepada :
vi
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Ibu Yana Indawati, SH.,M.Kn Selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik.
5. Bapak H. Muchlas Ni’am, SH, M.Hum selaku Panitera Sekertaris Pengadilan Agama Sidoarjo yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan data yang dibutuhkan penulis guna menyelesaikan skripsi ini serta seluruh Pegawai Pengadilan Agama Sidoarjo yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, atas kerjasamanya dalam pelaksanaan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
7. Bapak Sariyanto selaku Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
vii
banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Sahabatku Puji dan Dewi serta teman-teman angkatan 2007 khususnya kelas B, terima kasih telah memberikan semangat dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal dan kebaikan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini akan mendapat pahala dari Allah SWT. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
viii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI .. ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ..viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
ABTRAKSI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
1.5. Kajian Pustaka ... 4
a. Pengertian Perkawinan ... 4
b. Pengertian Anak ... 7
c. Pengertian Harta Peninggalan ... 18
1.6. Metode Penelitian ... 19
a. Pendekatan Masalah ... 19
b. Sumber Bahan Hukum ... 19
c. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ... 21
d. Teknik Analisa ... 21
e. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ISLAM 2.1 Pengertian Pengangkatan Anak... 24
ix
3.1 Hukum Waris dalam Hukum Perdata, Adat, Islam ... 40
3.2 Pengertian Waris berdasarkan Hibah dan Wasiat ... 55
a. Waris berdasarkan Hibah ... 55
b. Waris berdasarkan Wasiat ... 61
3.3 Pembahasan Putusan Pengadilan Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Nomor: 223/Pdt.G/2005/PA.Sda ... 66
3.4 Analisis Dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pembagian Harta Peninggalan Orang Tua Angkat Terhadap Anak Angkatnya ... 70
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 78
4.2 Saran ... 79
x
xii
xiii
NPM : 0771010096
Tempat Tanggal Lahir: Surabaya, 30 Agustus 1989 Program Studi : Strata 1 (S1)
Judul Skripsi :
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO TENTANG HAK ANAK ANGKAT TERHADAP
HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKATNYA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo
Nomor: 223/ Pdt. G/2005/PA. Sda). ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hak anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya ditinjau dari segi hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundangan. Sumber data diperoleh dari literatur-literatur, perundang-undangan yang berlaku dan putusan dari pengadilan agama. Analisis data menggunakan metode deskriptif analisis yang meliputi isi dan stuktur hukum positif yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. Hasil penelitian yang dapat di simpulkan adalah kedudukan anak angkat dalam hukum Islam hanya sebatas tujuan untuk saling tolong-menolong tanpa mengubah nasab dari anak itu sendiri. Dalam penyelesaian kasus pembagian harta peninggalan bagi anak angkat di Pengadilan Agama Sidoarjo harta yang dibagi adalah pada harta bawaan dan harta gono-gini (harta bersama) dari orang tua angkat. Hal ini berdasarkan pada ketentuan kompilasi hukum Islam yang menyatakan bahwa anak angkat dapat memperoleh harta peninggalan orang tua angkatnya dengan jalan melalui hibah atau wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya.
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Renni Agustina
Tempat/Tgl Lahir : Surabaya, 30 Agustus 1989
NPM : 0771010096
Konsentrasi : Perdata
Alamat : Perum. Jala Griya Candi Blok DV/08, Candi-Sidoarjo.
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul :
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Tentang Hak
Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Orang Tua Angkatnya (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 223/Pdt.G/2005/PA.Sda)”. Dalam
rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah
benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat).
Apabila di kemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka
saya bersedia dituntut di depan Pengadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana
Hukum) yang saya peroleh.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan
penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.
Surabaya, Desember 2010
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Subani, SH., MSi
NIP/NPT. 19510504 198303 1 001
Penulis
24
2.1. Pengertian Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak atau yang lebih sering dikenal adopsi berasal
dari bahasa belanda “Adoptie” atau Adoption (Bahasa Inggris) dan dalam bahasa Arab disebut “Tabanni”.
Menurut Muderis Zaeni. SH, Adopsi adalah suatu cara untuk
mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
pengaturan perundang-undangan. Artinya sebelum melaksanakan adopsi
calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat
menjamin kesejahteraan bagi anak.
Menurut Surojo Wignjodipuro, SH, Adopsi (mengangkat anak)
adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan
anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti
yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
Menurut Dr. Mahmud Syaltut membedakan dua macam arti anak
angkat yaitu Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya
bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan
sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan
pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak
nasabnya sendiri. Kedua, Yakni dipahamkan dari perkataan “tabanni”
berlaku pada manusia, yaitu memasukkan anak yang diketahuinya sebagai
orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada
dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum
sebagai anak.
a. Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata, Adat Dan
Islam.
Sebagai bahan pembanding hukum pengangkatan anak dari
beberapa aspek hukum, maka penulis mencoba mengartikan
pengangkatan anak ditinjau dari Hukum Perdata, Adat dan Islam.
1. Hukum Perdata
Menurut Hukum Perdata, dalam Staatsblad 1917 No. 129 tak ada satu pasalpun yang menyebutkan masalah motif dan tujuan daripada pengangkatan anak secara konkret, kecuali pasal 15 ayat 2
yang mengemukakan “Adopsi terhadap anak-anak perempuan
dengan cara lain daripada dengan akta notaris adalah batal demi hukum”.
Ketentuan tersebut sebenarnya beranjak dari sistem
kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki menurut
anggapan Tionghoa akan melanjutkan keturunan mereka
dikemudian hari. Motif lain dalam pengangkatan anak adalah
sebagai pancingan yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan, bahwa
dengan mengangkat anak tersebut, maka keluarga yang
mengangkatnya akan mendapat anak kandung sendiri.
lain, berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diangkat itu. Pasal ini secara jelas menjelaskan bahwa anak yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung orang tua yang mengangkatnya, nama orang tuanya berganti dengan nama ayah angkatnya atau ibu angkatnya, dan secara otomatis terputus hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.
Akibat hukum dari terputusnya hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, dan masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya, anak angkat disejajarkan kedudukan hukumnya dengan anak kandung orang tua angkatnya. Akibatnya anak angkat harus memperoleh hak-hak sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak kandung orang tua angkatnya, maka anak angkat memiliki hak waris seperti hak waris anak kandung secara penuh yang dapat menutup hak waris saudara kandung dan juga orang tua kandung orang tua angkatnya.
Staatsblad 1917 Nomor 129 tidak mengatur hak-hak yang kemungkinan dapat diperoleh orang tua angkat terhadap anak angkatnya, misalnya hak nafkah apabila orang tua angkat di kemudian hari kurang mampu sedangkan anak angkatnya mampu, hak waris jika anak anak angkatnya meninggal dunia lebih dulu, dan lain-lain21
2. Hukum Adat
.
Menurut Hukum Adat terutama di dalam keluarga
Jawa atau Sunda, kedudukan anak angkat adalah berbeda dari
pada kedudukan anak angkat di daerah-daerah yang sistem
keluarganya berdasar turunan dari pihak lelaki (vaderrechtelijk), misalnya di Bali22
Daerah Bali misalnya, perbuatan mengangkat anak
adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari
pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dan .
21
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op. Cit., h. 28. 22
memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga
anak tersebut berkedudukan anak kandung untuk meneruskan
turunan bapak angkatnya.
Pada daerah Jawa, pengangkatan anak tidak
memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat
dengan orang tuanya sendiri. Anak angkat masuk kehidupan
rumah tangga orang tua yang mengambilnya, sebagai anggota
rumah tangganya (gezinslid), akan tetapi ia tidak berkedudukan anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan turunan bapak
angkatnya. Anak yang diambil sebagai anak angkat itu, di Jawa
biasanya anak keponakannya sendiri (neefies of
nichtjes-adoptie), lelaki atau perempuan berdasar alasan :
a. Untuk memperkuat pertalian dengan orang tua anak yang
diangkat.
b. Kadang-kadang oleh sebab belas kasihan, jadi untuk
menolong anak itu.
c. Berhubung dengan kepercayaan, bahwa karena mengangkat
anak itu, kemudian akan mendapat anak sendiri.
d. Mungkin pula untuk mendapat bujang di rumah, yang dapat
3. Hukum Islam
Ketika Zaman Jahilliyah sebelum agama Islam datang,
masalah tabanni (adopsi) banyak didapatkan dikalangan bangsa Arab. Bahkan menurut sejarahnya, Nabi Muhammad sendiri
sebelum menerima kerosulannya mempunyai anak angkat yang
bernama Zaid putra Haritsah dalam status budak (sahaya) yang di hadiahkan oleh Khadijah bin Khuwailid kepada Muhammad bin
Abdullah. Kemudian anak tersebut dimerdekakan dan diangkat
menjadi anak angkat serta namanya diganti dengan Zaid bin
Muhammad. Dihadapan kaum Quraisy Muhammad pernah
mengatakan “Saksikanlah oleh kamu, bahwa Zaid kuangkat
menjadi anak angkatku dan mewarisiku dan aku mewarisinya”. Sesudah Muhammad menjadi Rasul turunlah wahyu yang menegaskan masalah ini, seperti yang telah disebutkan di atas. Sesudah itu turun pula wahyu yang menegaskan masalah ini, seperti yang telah disebutkan diatas. Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan tentang peraturan waris mewaris yang menentukan bahwa hanya kepada orang-orang yang ada pertalian sedarah turunan dan perkawinan. Mulai saat itu nama Zaid bin Muhammad diganti dengan Zaid bin Haritsah.23
Sehingga yang bertentangan dengan ajaran Islam
adalah mengangkat anak (adopsi) dengan memberikan status yang
sama dengan anak kandung sendiri. Sebaliknya pengangkatan
anak dalam arti terbatas, diperbolehkan bahkan di anjurkan. Di
sini tekanan pengangkatan anak adalah dalam segi kecintaan,
23
pemberian kebutuhan dan bukan diperlakukan sebagai anak
kandung sendiri.
Secara terminologis tabanni menurut Wahbah
al-Zuhaili adalah pengangkatan anak (tabanni) “pengambilan anak
yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasab
-nya, kemudian anak itu di nasab kan kepada dirinya”. Dalam
pengertian lain, tabanni adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan dengan hukum Islam, maka unsur menasabkan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasabnya harus dibatalkan24
Mahmud Syaltut, mengemukakan bahwa setidaknya
ada dua pengertian “pengangkatan anak”. Pertama, mengambil
anak orang lain untuk diasuh dan didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Hanya ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diiberi status sebagai “anak kandung”,
sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua
angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.
.
25
Anak angkat dalam pengertian pertama lebih didasari
oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk
membantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau bagi
pasangan suami istri yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak
angkat itu bisa dididik atau disekolahkan, sehingga diharapkan
nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat meningkatkan
taraf hidupnya di masa yang akan datang, dan lebih dari itu
terbesit dihati orang tua angkat bahwa angkatnya kelak kiranya
24
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op. Cit., h. 96.
25
dapat menjadi anak saleh yang mau merawat orang tua angkatnya
di saat sakit, dan mendoakan di saat orang tua angkat telah
meninggal dunia. Perbuatan hukum pengangkatan anak seperti
itu, dapat diterima sebagai sebagian dari bentuk amal saleh yang
sangat dianjurkan Islam, maka bentuk pengangkatan anak yang
pertama sebagaimana yang didefinisikan oleh Mahmud Syaltut
tersebut jelas tidak bertentangan dengan asas hukum Islam.
Bahkan ditegaskan dalam QS Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi,
...
“... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
dan ayat 32 yang berbunyi,
“...Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya...”.
QS Al-Insan ayat 8 yang berbunyi,
Anak angkat dalam pengertian yang kedua telah lama
dikenal dan berkembang di berbagai negara, termasuk di
Indonesia sendiri, sebagaimana diterapkan oleh Pengadilan
Negeri terhadap permohonan anak angkat yang dimohonkan oleh
warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, dan bagi mereka
yang menundukkan diri pada hukum tersebut. Pengangkatan anak
dalam pengertian yang kedua tersebut jelas dilarang oleh Islam
dan bertentangan dengan hukum Islam berdasarkan firman Allah
Q.S. Al-Ahzab, ayat 4, 5 dan 21 yang berbunyi.
 
 
 
 
 
 
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al Ahzab: 21)
2.2 Hukum Pengangkatan Anak menurut Islam
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak
mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum
seperti yang pernah dipraktikan masyarakat jahiliyah, dalam arti terlepasnya
ia dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya ia ke dalam
bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan
pemeliharaan anak. Dalam artian status kekerabatannya tetap berada diluar
lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak
mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua
kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.
Para ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa Hukum
Islam melarang praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi yusridis
seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum Barat/hukum sekuler
dan praktik masyarakat jahiliyah; dalam pengertian pengangkatan anak yang
menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus
hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak
waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali
mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan
anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberi nafkah
sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada
Allah Swt.
Hukum Islam menggariskan bahwa hubungan hukum antara
orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang
tua asuh dengan anak asuh yang diperluas, dan sama sekali tidak menciptakan
hubungan nasab. Akibat yuridis dari pengangkatan anak Islam hanyalah
terciptanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai
sesama manusia. Karena tidak ada hubungan nasab, maka konsekuensi
menjaga mahram, dan karena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan.
a. Sumber Hukum Pengangkatan Anak yang Dilarang dan yang dianjurkan
oleh Islam.
1. Anak angkat harus tetap dipanggil dengan nasab ayah
kandungnya. Berdasarkan Surat Al-Ahzab ayat 4, 5 dan 21.
2. Janda anak angkat bukan mahram orang tua angkat (QS Al-Ahzab ayat 37).
3. Mengangkat anak sama dengan memberi harapan hidup bagi masa
depan anak (QS Al-Maidah ayat 32)
4. Mengangkat anak bagian dari tolong-tolongan dalam hal
kebajikan (QS Al-Maidah ayat 2).
5. Anjuran memberi makan kepada anak-anak terlantar dan anak
yatim (QS Al-Insan ayat 8).
6. Anak angkat yang tidak jelas orang tuanya diperlakukan seperti saudara (QS Al-Ahzab ayat 5).
7. Dalam hal warisan, kerabat dekat tidak boleh diabaikan lantaran adanya anak angkat (QS Al-Anfaal ayat 75).
...
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagaiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat), di dalam Kitab Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu”.
8. Islam melarang me-nasab kan anak angkat dengan ayah
angkatnya.
Abu Dzar r.a Bahwasanya mendengar Rosulullah
Saw. Bersabda: “Tidak seorang pun yang mengakui
(membanggakan diri) kepada orang yang bukan bapak sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa yang telah melakukan hal itu maka bukan dari golongan kami (kalangan kaum muslimin), dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.”(HR Bukhari Muslim).P5F
26
9. Haram membenci ayahnya sendiri.
26
Abu Hurairah r.a mengatakan bahwasannya Rasulullah Saw. Bersabda:
“Janganlah kamu membenci ayah-ayahmu, karena barangsiapa membenci ayahnya maka ia adalah seorang yang kafir.(HR
Muslim)27
10. Seorang anak yang me-nasabkan dirinya kepada laki-laki lain
yang bukan bapaknya, haram baginya surga. ”.
Abi Usman berkata: Tatkala Ziad dipanggil bahwa ia telah dijadikan anak angkat, maka aku pergi menemui Abu Bakrah, lalu aku berkata kepadanya: Apa yang kalian lakukan ini? Bahwasannya aku telah mendengar Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: Kedua telingaku telah mendengar dari Rasulullah Saw. Bersabda: ”Barangsiapa mengakui (membangsakan) seorang ayah selain ayahnya dalam Islam, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, maka haram baginya surga”. (HR Muslim)
Abi Usman Sa’ad (bin Abi Waqqash) dan Abu Bakrah
berkata: “Aku mendengarnya dengan kedua telingaku dan hatiku
menjaganya, (bahwa) Muhammad Saw. Berkata: “Barangsiapa membangsakan diri kepada bukan ayah sebenarnya (bukan ayahnya), sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, maka haram baginya surga.”(HR Muslim)28
11. Memanggil dengan nama ayah kandungnya lebih adil. ”.
Sesungguhnya Zaid bin Haritsah adalah maula Rasulullah Saw. dan kami memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat: panggillah mereka dengan nama ayah (kandungnya), maka itulah yang lebih adil di sisi Allah, lalu Nabi bersabda: “Engkau adalah Zaid bin Haritsah”. (HR Bukhari dan Muslim)29
12. Ralat Allah Swt terhadap panggilan Zaid bin Muhammad oleh
masyarakat saat itu.
.
Musa ibn Uqbah dari Salim ibn Abdillah dari
Bapaknya, dia berkata: ”Kami tidak memanggilnya (Zaid bin
Haritsah) melainkan (kami panggil) Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat Alquran “Panggillah mereka dengan nama ayah kandung mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah (HR Al-Bukhari)30
13. Konsepsi pengangkatan anak versi adopsi Tionghoa adalah haram. ”.
“Sebagaimana Islam telah membatalkan Dzihar, demikian pula halnya dengan Tabanni (Pengangkatan Anak), Syariat Islam telah mengharamkannya, karena tabanni itu menisbahkan seseorang anak kepada yang bukan bapaknya, dan hal itu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat
murka dan kutukan Tuhan. Sesungguhnya Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengeluarkan hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a bahwa Rosulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengakui (membanggakan) diri kepada yang bukan ayahnya, maka wajiblah ia mendapat kutukan Allah, Malaikat-malaikat dan sekalian manusia, serta Allah tidak menerima daripadanya tasarruf dan kesaksiannya.”
14. Konsepsi pengangkatan anak ada dua, yaitu yang diharamkan dan dianjurkan.
“Untuk mengetahui Hukum Islam dalam masalah “Tabanni” perlu dipahami bahwa “Tabanni” itu ada 2 (dua) bentuk. Salah satu diantaranya bahwa seseorang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri, dalam rangka memberi kasih sayang, nafkah, pendidikan, dan keperluan lainnya, dan secara hukum anak itu bukan anaknya, tabanni seperti adalah perbuatan yang pantas dikerjakan oleh mereka yang luas rizkinya, namun ia tidak dikaruniai anak. Sangat dianjurkan (baik sekali) jika seseorang mengambil anak orang lain yang memang keadaannya perlu mendapatkan kasih sayang Ibu-Bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempetan belajar kepadanya., karena orang tua kandung anak yang bersangkutan tidak mampu (fakir miskin). Tidak diragukan lagi bahwa usaha semacam itu termasuk perbuatan yang terpuji dan sangat dianjurkan oleh Islam dan bernilai ibadah yang berpahala. Bagi orang tua angkat (ayah angkat) boleh mewasiatkan sebagian dari harta peninggalannya (sebanyak-banyaknya sepertiga) dari hartanya untuk anak angkatnya, sebagai persiapan masa depannya, agar ia merasakan ketenangan hidup.”31
2.3. Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Islam
Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang hukum pengangkatan anak
atau pengertian tentang pengangkatan anak, hanya sekilas menjelaskan
tentang tujuan dari pengangkatan anak yang dianjurkan dan dilarang oleh
hukum Islam.
Hukum Islam menganjurkan pengangkatan anak dalam
pengertian beralihnya kewajiban untuk memberi nafkah sehari-hari,
mendidik, memelihara, dan lain-lain dalam konteks beribadah kepada
31
Allah SWT tanpa mengubah status nasab anak angkat tersebut menjadi anak kandung orang tua angkatnya, seperti yang dikatakan Mahmud
Syaltut pengangkatan anak adalah mengambil anak orang lain untuk
diasuh dan didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa
diberikan status “anak kandung” kepadanya. Hanya ia diperlakukan oleh
orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Hal ini ditegaskan dalam QS
Al-Maidah ayat 2 dan ayat 32 serta QS Al-Insan ayat 8.
Hukum Islam melarang pengangkatan anak yang dengan sengaja
menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak dan
kewajiban yang disamakan dengan anak kandung, diberikan hak waris
sama dengan hak waris anak kandung, dan orang tua angkat menjadi orang
tua kandung anak yang diangkatnya jelas bertentangan dengan ajaran
Islam. Hal ini juga diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili yang
mengungkapkan arti dari pengangkatan anak (tabanni) adalah
“pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang
jelas nasab-nya, kemudian anak itu di nasab kan kepada dirinya” dan menurut Mahmud Syaltut, pengangkatan anak adalah mengambil anak
orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak
kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain
sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.
Dalam Al-Qur’an sudah disebutkan pula larangan pengangkatan anak
Hukum kewarisan bagi anak angkat tetap berada pada kerabat
dan orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya,
karena dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling
mewarisi, yaitu karena hubungan kekerabatan atau keturunan al-qarabah,
karena hasil perkawinan yang sah al-mushaharah, dan karena faktor
hubungan perwalian antara hamba sahaya (budak) dan wali yang
memerdekakannya atau karena faktor saling tolong menolong antara
seseorang dengan orang yang mewarisi nya semasa hidupnya. Anak angkat
tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut diatas, dalam artian bukan satu
kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir
atas perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena
hubungan perwalian. Oleh karena itu, antara dirinya dan orang tua
angkatnya tidak berhak mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi,
maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dan orang tua
kandungnya secara timbal balik, atas dasar al-qarabah dan al-mushaharah atau kalau mungkin ada karena saling tolong-menolong dengan yang
meninggal semasa hidupnya.
Jadi pembagian harta atau warisan bagi anak angkat yang
diperbolehkan oleh Islam adalah pembagian yang didasarkan karena faktor
tolong-menolong antara orang tua angkat dengan anak angkatnya dengan
tujuan harta tersebut nantinya dapat bermanfaat bagi kehidupan anak
angkatnya di masa depan agar anak tersebut tidak sampai terlantar atau
memberikan berbagai bentuk bantuan atau jaminan orang tua angkat
terhadap anak angkatnya, diantaranya adalah pemberian hibah kepada
anak angkat untuk bekal hidupnya dikemudian hari, serta pemberian
wasiat kepada anak angkat dengan ketentuan tidak lebih dari 1/3
(sepertiga) harta kekayaan orang tua angkatnya yang kelak juga akan
diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak sesuai dengan pasal 209
KHI yang telah mengatur bahwa orang tua angkat yang tidak menerima
39
Bagi setiap pribadi muslim adalah merupakan kewajiban baginya
untuk melaksanakan kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum Islam yang
ditunjuk oleh peraturan-peraturan yang jelas. Selama peraturan tersebut
ditunjukkan oleh peraturan atau ketentuan lain yang menyebutkan
ketidakwajibannya. Maksudnya setiap ketentuan hukum agama Islam wajib
dilaksanakan selama tidak ada ketentuan lain yang menyatakan ketentuan
terdahulu tidak wajib.
Adapun yang melatar belakangi pendapat wajibnya melaksanakan
ketentuan pembagian harta warisan sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadis
didasarkan ketentuan surat An Nisa’ ayat 13 dan 14 yang artinya sebagai berikut:
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. An Nisa’: 13)
“Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 14)
Rasulullah SAW lebih mempertegas lagi didalam sabdanya yang
diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud yang artinya berbunyi “Bagilah
harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (Qur’an)32
3.1. Hukum Waris Dalam Hukum Perdata, Adat dan Islam.
.”
Hukum waris dalam perdata barat disebut dengan Erfect, artinya hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain33. Pasal 830 KUH Perdata pada intinya menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama pindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain34
Akibat terputusnya hubungan nasab anak angkat dengan kedua orang tua kandungnya, dan masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya, anak angkat disejajarkan kedudukan hukumnya dengan anak kandung orang tua angkatnya. Akibatnya anak angkat harus memperoleh hak-hak sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak kandung orang tua angkat, maka anak angkat memiliki hak waris seperti hak waris anak kandung secara penuh yang dapat menutup hak waris saudara kandung dan juga orang tua kandung orang tua angkat
.
35
Hukum Adat Waris adalah norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil yang dapat diserahkan kepada keturunannya, serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya
. Hal Ini didasarkan pada pasal 11, 12, 13, 14 Staatsblad 1917 Nomor 129. Pasal 11 menyatakan bahwa adopsi membawa akibat demi hukum, bahwa orang yang diadopsi, jika ia mempunyai nama keturunan lain daripada laki-laki yang mengadopsinya sebagai anak laki-lakinya, memperoleh nama keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diadopsi itu.
36
32
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 4.
33
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 80.
34
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008., h. 248.
35
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op Cit., h. 28. 36
Yulies Tiena Masriani, Op Cit., h. 138.
Hukum waris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi ke generasi selanjutnya37. Di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan pertalian darah dengan orang tua kandung anak angkat itu, hanya anak angkat didudukkan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya, dan sama sekali tidak memutuskan hak-haknya dengan orang tua kandungnya sehingga hukum adat Jawa memberikan pepatah bagi anak angkat dalam hal hak waris di kemudian hari dengan istilah “Anak angkat tetap memperoleh warisan dari dua sumber air sumur”. Maksudnya anak angkat tetap memperoleh harta warisan dari orang tua kandung, juga dari harta warisan orang tua angkatnya38
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya
.
39
Menurut KHI Pasal 171 huruf a, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing-masing.
.
40
Pengertian dalam KHI tersebut difokuskan pada ruang lingkup hukum kewarisan Islam, yaitu hukum kewarisan yang berlaku bagi orang Islam saja. Adapun tujuan hukum waris Islam adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar supaya dapat bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik
41
Hukum kewarisan dalam Islam dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak dari faridah yang artinya pembagian tertentu. Hal ini karena dalam Islam, bagian –bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an. Sedangkan dalam terminologi fikih (menurut terminologi Islam), waris berasal dari kata warasa yang memiliki arti: (1) mengganti; (2) memberi; (3) mewarisi. Sehingga pengertian terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian yang di terima dari harta peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia itu untuk setiap yang berhak
. Sehingga hukum waris Islam bersifat Bilateral dan Individual.
42
Dengan adanya variasi sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, maka kepada warga negara Indonesia diberikan hak pilih
.
37
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 296. 38
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op Cit., h. 45. 39
R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yuridis Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1983, h. 22.
40
Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia., h. 137.
41
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 248. 42
dalam penundukannya atau kepada sistem hukum waris mana yang dapat menyelesaikan sengketa warisnya. Sebagai contoh bagi yang beragama Islam boleh memilih apakah sengketa warisnya diselesaikan melalui pengadilan agama atau pengadilan negeri, hal ini disesuaikan dengan kesepakatan dan kerelaan para ahli warisnya. Perbedaan ketiga sumber hukum waris yang berlaku di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:
Perbedaan Pokok Antara Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris Islam
Hukum Perdata (BW) Hukum Adat Hukum Islam
Bagian seorang pria dan seorang wanita adalah sama.
Bagian seorang pria dan seorang wanita adalah sama.
Bagian seorang pria dua kali bagian seorang wanita
Seorang anak luar kawin yang diakui oleh bapak atau ibunya mempunyai hak waris tetapi berbeda dengan anak sah.
Seorang anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah dan di dalam soal warisan juga
diberlakukan sama.
Tidak dikenal Pengangkatan anak dengan segala akibatnya itu.
Seorang janda harus diberi warisan harta peninggalan suaminya.
Seorang janda harus diberi warisan harta peninggalan suaminya.
Seorang janda harus diberi warisan harta peninggalan suaminya. Tabel 1
Sumber : Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2008, h. 255.
Asas hukum kewarisan Islam yang disalurkan dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah, antara lain: (1) Ijbari, (2) Bilateral, (3) Individual, (4)
Keadilan Berimbang, dan (5) Akibat Kematian.
1) Ijbari
pandang yaitu: (1) dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. (2) dari jumlah harta yang sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, dan (3) dari mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan itu, yang sudah ditentukan dengan pastiP11F
43
P
.
Ketentuan asas ijabari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
2) Bilateral
Asas bilateral berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu pihak kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Artinya bahwa dalam Islam antara laki-laki dan perempuan mendapatkan hak kewarisan secara porsionalP12F
44
P
.
Asas ini secara tegas dapat ditemui dalam ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176P13F
45
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 284. 44
Ibid, h. 285.
45
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagiakan seorang anak lelaki sama dengan
bahagiaan dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam, (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Ayat 176 berbunyi,
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuanitu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang sudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
3) Individual
Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu, yang kemudian dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masiing sudah ditentukanP14F
46
P
.
Ketentuan asas individual ini dapat dijumpai dalam ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing (ahli waris secara individual) telah ditentukanP15F
47
P
.
4) Keadilan berimbang
Menurut asas ini bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan
46
Titik Triwulan Tutik., Op. Cit., h. 285.
47
keluarga dan masyarakat48. Dasar hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 17649
5) Akibat kematian .
Hukum kewarisan Islam menyatakan, bahwa kewarisan
ada kalau ada yang meninggal dunia. Hal ini berarti bahwa
kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang.
Implikasi dari ketentuan tersebut adalah bahwa peralihan
harta benda seseorang kepada orang lain (kewarisan), terjadi
setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Artinya,
bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama
orang yang mempunyai harta itu masih hidup.
1. Sebab-sebab mendapat warisan
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang
menjadi sebab seseorang itu mendapatkan warisan dari
almarhum (ahli waris) dapat dikualifikasi sebagai berikut:
1) Hubungan Perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan
(menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan
perkawinan antara almarhum dengan seseorang tersebut yang
48
Titik Triwulan Tutik., Op. Cit, h. 285 49
termasuk dalam klasifikasi ini adalah: suami atau isteri dari si
almarhum.
2) Adanya hubungan darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan
(menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau
hubungan darah/kekeluargaan dengan si almarhum yang
termasuk dalam klasifikasi ini seperti: ibu, bapak, kakek,
nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain.
3) Memerdekakan si almarhum
Hal ini disebabkan seseorang itu memerdekakan si
almarhum dari perbudakan, dalam hal ini ddapat saja seorang
laki-laki atau seorang perempuan.
4) Sesama Islam
Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia
tidak ada meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta
warisannya diserahkan kepada Baitul Maal, dan lebih lanjut
akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
2. Hilangnya Hak Mewarisi
Pada dasarnya tidak semua ahli waris menerima harta
warisan dari pewaris. Adakalanya seorang ahli waris kehilangan
hak warisnya (tidak berhak) mendapatkan warisan. Adapun
menurut hukum Islam (syariat Islam) sebab-sebab seseorang
1) Terikat dalam perbudakan
Budak menjadi penghalang mewarisi, karena
status dirinya yang dipandang sebagai tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Sebagai fakta realita sejarah
perbudakan pernah ada. Kehadiran Islam, menempatkan
tindak memerdekakan budak sebagai perbuatan mulia, dan
dijadiakan kafarat. Dalam KHI tidak membicarakan
masalah ini, karena perbudakan tidak kenal dalam sistem
hukum dan nilai-nilai hukum di Indonesia.
2) Melakukan pembunuhan terhadap pewaris atau keluarganya
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap
pewarisnya menyebabkan ia terhalang hak nya untuk
mewarisi. Menurut ketentuan Pasal 173 KHI menyatakan:
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dihukum karena:
(1) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
(2) Dipersalah secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan terhadap pewaris melakukan kejahatan
dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.
Kompilasi tidak menegaskan secara eksplisit
perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai
penghalang mewarisi. Kompilasi hanya menegaskan bahwa
syarat ahli waris haruslah beragama Islam pada saat
meninggalnya pewaris (Pasal 171 huruf c). Untuk
mengidentifikasi seorang ahli waris beragama Islam
menurut Pasal 172 adalah dari kartu identitas, pengakuan,
amalan atau kesaksian, sedangkan bagi seorang bayi atau
belum dewasa dianggap beragama seperti ayahnya.
3. Ahli Waris dan Pewaris
Ahli waris menurut ketentuan Pasal 171 huruf c KHI adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dengan demikian yang dimaksud ahli waris oleh kompilasi, adalah mereka yang jelas-jelas mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, tidak ada halangan untuk mewarisi. Sedangkan pada pasal 171 huruf b KHI yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Ahli Waris menurut Islam pada dasarnya ada dua macam: Pertama, ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena hubungan darah (kekerabatan). Kedua, ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab pernikahan, sebab ada hubungan agam orang yang meninggal dunia, sebab memerdesakan budak, atau menurut sebagian mazhab Hanafiyah, karena sebab perjanjian (janji setia)50
50
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 288.
Sedangkan apabila ditinjau dari segi hubungan
jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat dibedakan menjadi
dua yaitu: (1) ahli waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat
hubungan kekerabatannya menghalangi hak waris ahli waris
yang jauh hubungannya. Contohnya, anak laki-laki menjadi
penghalang bagi saudara perempuan dan (2) ahli waris mahjub,
yaitu ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya, dan
terhalang untuk mewarisi.
Menurut Pasal 174 KHI, ahli waris dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1) Menurut hubungan darah, yaitu ahli waris yang timbul karena hubungan keluarga. Golongan ini terdiri dari dua antara lain:
a) Golongan laki-laki, meliputi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.
b) Golongan perempuan, meliputi ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dan nenek.
2) Menurut hubungan perkawinan, yaitu ahli waris yang timbul karena adanya ikatan perkawinan antara pewaris dengan ahli waris. Ahli waris ini meliputi janda atau duda.
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan Almarhum yang terdiri dari:
1. Zakat atas harta peninggalan, yaitu zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh Almarhum, akan tetapi zakat tersebut belum dapat terealisasikan, lantas ia meninggal dunia, maka untuk ini zakat tersebut harus dibayar dari harta peninggalannya tersebut, seperti zakat pertanian dan zakat harta.
2. Biaya pemeliharaan mayat, adalah biaya yang
dikeluarkan untuk penyelenggaraan jenazah, seperti kafan, penguburan.
berikut, “Jiwa orang mukmin disangkutkan dengan utangnya, sehingga utangnya dilunasi”51
4. Wasiat yang dimaksudkan disini adalah wasiat yang bukan untuk kepentingan ahli waris dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah keseluruhan harta peninggalan. Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya berbunyi sebagai berikut, “(Kamu berwasiat sepertiga) dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripadanya meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain
.
52
Setelah semua itu dikeluarkan barulah harta
tersebut berbentuk harta warisan dan selanjutnya harta
inilah yang dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai
dengan ketentuan.
.”
4. Bagian Yang Diterima Ahli Waris
Adapun besarnya bagian untuk ahli waris adalah :
1. Bagian suami/istri
Suami-istri adalah satu-satunya ahli waris aeas dasar penggabungan. Tak ada seorang waris lain pun yang dapat menghalangi hak waris mereka ataupun menggeser (hijab). Bagian suami adalah: (1) 1/2 bagian, aopabila tidak meninggalkan anak-cucu; dan (2) 1/4 bagian , apabila pewaris meninggalkan anak-cucu (Pasal 179 KHI). Sedangkan bagian istri adalah: (1) 1/4 bagian, apabila tidak meninggalkan anak-cucu; dan (2) 1/8 bagian, apabila pewaris meninggalkan anak-cucu (Pasal 180 KHI). Apabila istri lebih dari satu mereka dianggap sebagai satu istri. 2. Bagian Orang Tua
a). Ayah
Hak waris ayah terhadap harta peninggalan diatur dengan Pasal 177, KHI yaitu: (1) apabila pewaris tidak meninggalkan anak, maka ayah mendapat 1/3 bagian; (2) apabila pewaris meninggalkan anak, maka ayah mendapat 1/6 bagian.
51
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak , Op Cit ., h. 48. 52
b). Ibu
Menurut Pasal 178 KHI: (1) apabila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih, hak ibu 1/6 bagian; (2) apabila pewaris tidak meninggalkan anak, maka hak ibu 1/3 bagian dari sisa, sesudah diambil janda/duda bila bersama-sama bapak.
3. Bagian Anak
Atas dasar garis keturunan anak memiliki hak waris atas harta peninggalan ibu-bapaknya. Yang dimaksud anak disini adalah anak sah dari suatu perkawinan yang sah. Bagian yang diterima oleh anak adalah (1) apabila anak laki-laki sendiri, maka ia memperoleh semua harta ibu bapaknya; (2) apabila anak perempuan seorang diri ia mendapat 1/2 bagian; (3) apabila terdiri dari dua anak atau lebih anak perempuan, masing-masing mendapat 2/3 bagian; dan (4) apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki 2:1 dengan perempuan (Pasal 176 KHI); (5) Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya (Pasal 209).
4. Saudara
a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
Pasal 181 KHI menentukan bagian saudara laki-laki dan saudarra perempuan seibu selaku ahli waris yaitu: (1) apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, hak mereka 1/6 bagian; dan (2) apabila mereka dua orang atau lebih , hak mereka bersama-sama 1/3 bagian.
b) Saudara perempuan sekandung dan seayah
Bagian yang diterima menurut Pasal 182 KHI adalah: (1) satu saudara, mendapat 1/2 bagian; (2) dua atau lebih saudara perempuan, maka bersama-sama mendapat 2/3 bagian; dan (3) saudara perempuan bersama dengan saudara laki-laki, maka bagian saudara laki-laki 2:1 dengan saudara perempuan.
5. Anak Luar Kawin
Menurut hukum Islam anak luar Kawin hanya mempunyai hubungan mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (Pasal 186 KHI)53
Untuk memudahkan dalam memahami pembagian
harta waris dalam Islam, maka penulis mencoba meringkas .
53
penjelasan diatas dalam bentuk diagram seperti yang ada
3.2. Pengertian Waris berdasarkan Hibah dan Wasiat
a). Waris berdasarkan Hibah
Hukum Perdata mengenal wasiat hibah atau legaat yaitu
suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament,
memberikan seorang (atau lebih), seluruh atau sebagaian dari harta
kekayaannya, kalau dia meninggal dunia (Pasal 957 KUHPerdata).
Orang yang menerima suatu legaat, dinamakan legataris,
ia bukan ahli waris. Karena ia tidak menggantikan si meninggal
utang-utang). Ia hanya berhak untuk menuntut penyerahan benda
atau pelaksanaan hak yang diberikan kepadanya dari sekalian ahli
waris.
Pendeknya suatu legaat memberikan suatu hak penuntutan terhadap boedel. Adakalanya, seorang legataris yang menerima beberapa benda diwajibkan memberikan salah satu benda itu kepada seorang lain yang ditunjuk dalam testament. Pemberian suatu benda yang harus ditagih dari dari seorang legetaris, dinamakan suatu “sublegaat”. Adapun yang dapat diberikan dalam suatu legaat dapat berupa :
1. Satu atau beberapa benda tertentu;
2. Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh benda yang bergerak;
3. Hak “vruchtgebruik” atas sebagaian atau seluruh warisan;
4. Sesuatu hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel54.
Menurut Hukum Adat Hibah adalah perbuatan hukum yang di mana seseorang tertentu memberikan suatu barang (kekayaan) tertentu kepada seorang tertentu, menurut kaidah hukum yang berlaku. Perbuatan hibah yang dimaksudkan sungguh-sungguh merupakan tindakan pewarisan, tampak dari kenyataan, bahwa apa yang sudah diterima dalam bentuk hibah dari sesorang ahli waris, turut diperhitungkan kembali pada waktu harta peninggalan dari suami dibagi-baggikan di antara ahli waris55
Hibah biasanya harta pusaka yang belum terbagi diperuntukan bagi anak bungsu bersama ibunya sebagai jaminan hidup, yang memberi kemungkinan bagi anak-anak angkatnya untuk ikut memiliki harta pusaka dalam bagian sewajarnya atas dasar hibah ini, yang kalau menurut hukum waris biasa, anak angkat-anak angkat ini tidaklah mempunyai hak penuh atas dasar harta banda warisan. Dalam bahasa jawa hibah wasiat disebut dengan wekasan atau welingan adalah untuk mewajibkan para warisan mebagi-bagi harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris dan supaya perselisihan dapat dicegah, selain itu juga untuk mengikat sifat-sifat barang-barang yang ditinggal mati (barang pusaka, gono-gini, dan lainnya)
.
56
54
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan 24, Intermasa, Jakarta, 1992, h. 107. 55
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 302. 56
Ibid., h. 303.
Menurut Hukum Islam kata hibah berasal dari bahasa
Arab yang secara etmologis berarti melewatkan atau menyalurkan
dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang
memberi kepada tangan orang yang di beri57
Hibah adalah pemberian seseorang kepada para ahli
warisnya, sahabat handainya, atau kepada urusan umum,
sebagaimana dari pada harta benda kepunyaan atau seluruh harta
benda kepunyaannya sebelum ia meninggal dunia .
58
1. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga
penyerahan barang yang dihibahkan.
.
Menurut KHI Pasal 171 huruf g, Hibah adalah pemberian
suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
Apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum Islam
tentang pelaksanaan hibah ini, maka hibah tersebut harus
dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat
penghibahan dilakukan dan kalau si penerima hibah dalam
keadaan tidak cakap bertindak dalam hukum (misalnya belum
57
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak , Op Cit ., h. 40. 58
dewasa atau kurang sehat akalnya) maka penerimaan dilakukan
oleh walinya.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan,
terutama sekali oleh pemberi hibah.
4. Penghibahan hendaknya dilaksanakan dihadapan beberapa
orang saksi (hukumnya sunah), hal ini dimaksudkan untuk
menghindari silang sengketa di belakang hari.
Dengan demikian apabila penghibahan telah dilakukan
semasa hidupnya dan pada ketika itu belum sempat dilakukan
penyerahan barang, maka sebelum harta dibagikan kepada ahli
waris terlebih dahulu hartus dikeluarkan hibah tersebut.
Adapun syarat-syarat untuk sahnya hibah menurut Islam
ada tiga, yaitu:
1. Pernyataan tentang pemberian itu oleh yang memberikan, di
syari’at terkenal dengan istilah ijab.
2. Penerimaan pemberian oleh yang diberi hadiah dengan jelas
tegas atau samar-samar atau atas namanya, di syari’at terkenal
dengan istilah qabul.
3. Penyerahan milik oleh si pemberi kepada yang diberi, di
syari’at terkenal dengan istilah qabda.
Pemberian itu haruslah dinyatakan dengan tegas dan
maksud dari si pemberi haruslah diperlihatkan dengan penyerahan
barulah sempurna, apabila yang diberi hibah telah menerima dan
memiliki barang yang dihibahkan.
Seterusnya menurut hukum Islam hibah dapat dilakukan
secara lisan dan tulisan oleh setiap orang Islam yang telah
mencapai usia dewasa dan mempunyai pikiran yang waras atas
harta benda kepunyaannya.
Mengenai harta yang dapat diberikan ialah segala macam
harta yang dapat dijadikan hak milik. Hukum Islam tidak
membedakan-bedakan harta pusaka, harta hasil pencarian sendiri
dan harta alih dan tak alih (moveable and immoveable goods)P27 F 59
P
.
Selain Pasal 210 KHI menerangkan mengenai orang yang boleh melakukan hibah adalah orang yang sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Harta benda yang dihibahkan anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Hibah sebagai satu kebaktian dinyatakan oleh Allah dalam
firman-Nya:
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta”.
(Q.S. Al-Baqarah: 177).
Kenyataan ini diperkuat oleh sabda Rasullulah saw: “Beri memberilah kamu karena sesungguhnya pemberian itu menghilangkan sakit hati (dengki) dan janganlah satu keluarga
menghinakan keluarga yang lain, walaupun yang diberikan itu sebelah kuku kambing.” (H.R Bukhari dari Abu Hurairah)P28F
60
P
.
Pada Umumnya, sekali pemberian dilakukan, ia tidak dapat ditarik kembali. Ini dapat dipahami dari Al-Qur’an dimana tegas dinyatakan bahwa si suami tidak dapat dibenarkan sesudah perceraian mengambil kembali semua yang ia telah berikan kepada isterinya:
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun”.
(Q.S. An Nisa’:20).
Kenyataan di atas diperkuat pula oleh sabda Rasulullah:
“Orang yang meminta kembali barang yang diberikannya adalah seperti anjing yang muntah, kemudian dijilatnya kembali muntahannya”. (H.R. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu UmarP29F
61
P
).
“Tidak halal orang Islam apabila ia telah memberikan sesuatu, kemudian dimintainya kembali pemberian itu, kecuali pemberian orangtua kepada anaknya”. ( H.R. Ahmad dan Abu
Selain lembaga hibah, di Indonesia dikenal juga apa yang
disebut dengan “lembaga hibah wasiat”. Adapun yang dimaksud
dengan hibah wasiat adalah “ penetapan pembagian harta benda
milik seseorang semasa hidupnya dan pembagian itu baru berlaku
sejak saat matinya si pemberi hibah.
Lazimya hibah wasiat itu selalu dibuat dalam bentuk
tertulis yang lazimnya diistilahkan dengan “surat hibah wasiat” dan
biasanya dibuat atas persetujuan ahli waris dan sebagai bukti
persetujuan mereka ikut mencantumkan tanda tangannya dalam
surat hibah wasiat tersebut.
Perlu diingat bahwa suatu perbedaan yang menyolok antara suatu penghibahan yang biasa dan hibah wasiat adalah, bahwa hibah biasa umumnya tak dapat diambil kembali, sedangkan hibah wasiat bisa diambil kembali si penghibah. Adanya kedua perbedaan antara hibah biasa dan hibah wasiat ini bisa menyulitkan bagi si penghibah sendiri, misalnya orang tersebut telah banyak menghibahkan barang-barangnya kepada anak angkatnya, kemudian terjadi perselisihan paham antara si anak angkat tersebut dengan si penghibah tadi63
1. Dalam hibah tidak ada pembatasan sama sekali mengenai jumlah yang boleh diberikan, sedangkan dalam hal wasiat dibatasi kepada sepertiga dari jumlah kekayaan yang dimiliki oleh si pemberi wasiat.
.
Perlu ditekankan di sini jangan hendaknya hibah dicampur adukan dengan wasiat, karena beda antara hibah dengan wasiat adalah besar sekali, yaitu:
2. Dalam hal hibah si pemilik seketika melepaskan haknya atas harta benda yang dihibahkan, sedangkan dalam hal wasiat setelah meninggalkannya si pemilik.
3. Harta yang dihibahkan diambil dari si pemilik, sedangkan harta yang diwasiatkan diambil dari ahli waris64.
63
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Cetakan Keempat, PT Rineka Cipta , Jakarta, 2006, h.85.
64
b). Waris Berdasarkan Wasiat
Wasiat dalam Hukum Perdata dikenal dengan nama testamen yang diatur dalam buku kedua bab ketiga belas. Dalam Pasal 875 BW dikemukakan bahwa surat wasiat (testamen) adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali oleh orang yang menyatakan wasiat itu. Pernyataan kehendak yang berupa amanat terakhir orang yang menyatakan wasiiat itu dikemukakan secara lisan di hadapan notaris dan dua orang saksi. Wasiat dalam hukum perdata harus dibuat dalam bentuk surat wasiat (testamen) dan pembuatan surat wasiat itu merupakan perbuatan hukum yang sangat pribadi.
Berdasarkan bentuknya menurut Pasal 931 KUHPerdata testament, dibedakan menjadi :
1. Openbaar testament, yaitu testament yang dibuat oleh seorang notaris di mana orang yang akan meninggalkan warisan menghadap kepada notaris dan menyatakan kehendaknya yang disaksikan oleh dua orang saksi (Pasal 938 dan 939 KUHperdata).
2. Olographis testament (biasa), yaitu testament yang ditulis sendiri oleh orang yang akan meninggal (eigenhandig) dan diserahkan kepada seorang notaris untuk disimpan dengan disaksikan oleh dua orang saksi (Pasal 932 KUHPer).
3. Testament tertutup (rahasia), yaitu testament yang ditulis sendiri oleh orang yang akan meninggal (tetapi tidak diharuskan menulis sendiri) dan diserahkan kepada seorang notaris untuk disimpan, dimana harus keadaan tertutup dan bersegel dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
4. Wasiat di bawah tangan, yaitu testament yang ditulis sendiri oleh orang yang akan meninggal (eigenhanding) yang disimpan di rumah sendiri (codicil).
Untuk tiga bentuk wasiat (1 sampai 3) tersebut sama-sama berlaku ketentuan bahwa dua orang atau lebih tidak dapat membuat wasiat dengan akte yang sama. Ketentuan ini diatur dalamPasal 997 BW yang melarang pembuat wasiat secara bersama-sama dan secara timbal balik (mutuele).
Menurut Hukum Adat wasiat adalah suatu pesan
terakhir dari orang yang hendak meninggal dunia kepada ahli
warisnya yang bertujuan memberitahukan kehendaknya
harta pencaharian bersama, segala utang-utang dan
bagian-bagian serta kewajiban-kewajiban dari para ahli waris
masing-masing. Tujuan yang penting pada wasiat adalah hendak untuk
menghindarkan persengketaan di antara ahli warisnya di
kemudian hari mengenai harta peninggalannya, sehingga
wasiat itu mempunyai suatu peraturan mengikat di antara
mereka.
Menurut hukum Islam kalau diperhatikan dari segi
asal kata, perkataan wasiat berasal dari bahasa Arab, yaitu kata
“washshaitu ayi-syaia uushii” artinya “aushaltuhu” yang
dalam bahasa Indonesianya bararti “aku menyampaikan
sesuatu”65
Secara etimologi kata al-wasiyyah berarti janji sesorang kepada orang lain. Wasiat juga bisa berarti “pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun setelah wafat
.
Secara bahasa, wasiat artinya berpesan. Dalam
penggunaannya, kata wasiat memiliki arti berpesan,
menetapkan, memerintahkan dan mensyariatkan. Menurut
Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang
lain, berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima
memiliki pemberian itu setelah si pewaris meninggal.
66
Secara Terminologi wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku
.
65
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak , Op Cit ., h. 41. 66