TINJAUAN YURIDIS HAK DAN BAGIAN ANAK LAKI-LAKI
(Studi Putusan Pengadilan Agama Tebing TinggiNo.120/Pdt-G/2007/PA-TTD)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NIM : 080200194
ARIESYA AMALIA
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
Program Kekhususan Hukum Perdata BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINJAUAN YURIDIS HAK DAN BAGIAN ANAK LAKI-LAKI
PERANAN DEVELOPER DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI RUMAHMELALUI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) (Studi pada Perumahan Syukur Indah)
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NIM : 080200194 ARIESYA AMALIA
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Hukum Perdata BW
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
NIP. 19660303 198508 1 001 Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
M. Hayat, SH
NIP. 19500808 198002 1 001 NIP. 19751210 200212 2 001 Yefrizawati, SH., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji dan syukur Penulis ucapkan
pada Allah SWT Sang Khalik, Sang Maha Pemberi Jalan kepada umat, yang telah
mencurahkan rahmat dan karunia yang begitu besar kepada Penulis sehingga
penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Begitu pula shalawat dan
salam Penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
(Allahumma sholi ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad).
Semoga kita mendapatkan syafaatnya di hari akhirat kelak.
Penulisan skripsi yang berjudul TINJAUAN YURIDIS HAK DAN BAGIAN ANAK LAKI-LAKI (Studi Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.102/Pdt-G/2007/PA-TTD) adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Tak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i di
dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas
5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan dan Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris
Departemen Hukum Keperdataan. Terima kasih atas waktu dan kesempatan
yang telah Bapak dan Ibu berikan hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana
mestinya.
6. Bapak M. Hayat, SH. selaku Dosen Pembimbing I. Penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan serta dukungannya yang
sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.
7. Ibu Yefrizawati, SH.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II. Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan serta
dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.
8. Bapak Alm. Zulkarnain Mahfudz, SH., C.N. selaku Dosen Pembimbing
Akademik. Terima kasih atas perhatian, dukungan serta bimbingannya yang
telah bapak berikan selama ini.
9. Ibu Rafiqoh Lubis, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
Terima kasih atas perhatian, dukungan serta bimbingan yang telah Ibu berikan
selama ini.
10.Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama empat tahun
menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11.‘Papa’ Ir. H. Amiruddin Harahap, M.M., dan ‘Mama’ Hj. Vince Siregar, S.E.,
terima kasih yang sebesar-besarnya atas curahan perhatian, kasih sayang,
bantuan dan pengorbanan yang tidak ternilai. Semoga Allah SWT selalu
12.Saudara-saudara tercinta, dr. Andi Syahputra Siregar, Junita Putri Rajana
Harahap, S.E., Ak., Atikha Aprilia, terima kasih atas dukungan dan
perhatiannya selama ini, yang tidak bosan-bosannya menemani dan memberi
semangat Penulis dalam menyelesaikan skripsinya. Cobaan bukan penghalang
suatu keberhasilan.
13.Buat Bang Sadat dan Kak Alfi terima kasih atas bantuan dan dukungannya
selama proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan
kesehatan dan perlindungan kepada Abang dan Kakak.
14.Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat yang sangat
Penulis sayangi, Ridha Mayasari Nasution “Ridong”, Dwi Nurul Amalia
“Lintong”, Devi Olisa Btr-Btr “Depot”, Dirga Syahputra “Cebol” , Ari
Wibowo “Atok”, Wardah, Icut, Kong, Adel, Mutia, Fahdina, dan Khairunnisa.
Bersyukur mempunyai kalian semua, melalui hari-hari bersama dalam suka
dan duka. Begitu banyak kenangan indah yang tidak dapat dilupakan, semoga
persahabatan dan silaturrahmi kita tetap terjalin sampai hari tua. Amin.
15.Dan buat seluruh teman-teman stambuk 2008 yang tidak dapat Penulis
sebutkan satu persatu, terima kasih telah menjadi teman yang baik selama ini.
Kesadaran Penulis akan tidak sempurnanya hasil penulisan skripsi ini
membawa harapan yang besar pula pada semua pihak agar dapat memberikan
kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang
lebih baik dan lebih sempurna lagi, baik dari segi isi/ materi maupun dari segi cara
Semoga Allah SWT melimpahkan segala Rahmat dan karuniaNya kepada
kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah
membantu Penulis secara tulus dan ikhlas dengan mendapatkan balasan yang
setimpal.
Wassalam
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... vii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penulisan ... 6
E. Metode Penelitian ... 6
F. Keaslian Penulisan ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ISLAM ... 12
A. Pengertian Hukum Waris Islam ... 12
B. Dasar Hukum Waris Islam ... 14
C. Syarat Sah dan Rukun Waris ... 20
D. Halangan Mewaris ... 25
BAB III : KETENTUAN PEMBAGIAN WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM ... 30
A. Ahli Waris dan Penggolongannya ... 30
B. Ketentuan Bagian Masing-Masing Ahli Waris ………. 33
D. Perolehan Harta Melalui Wasiat ... 39
1.Wasiat ... 39
2.Wasiat Wajibah ... 44
BAB IV: TINJAUAN YURIDIS HAK DAN BAGIAN ANAK LAKI-LAKI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.102/Pdt-G/2007/PA-TTD) ... 48
A. Kasus Posisi ... 48
B. Hak-hak dan Bagian Warisan Anak Laki-laki Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.102/Pdt-G/2007/PA-TTD ... 63
C. Dasar Pertimbangan Hakim Memutuskan Bagian Masing-Masing Ahli Waris Dalam Dua Tahap ... 64
D. Dasar Pertimbangan Hakim tentang Pelaksanaan Hibah yang Dilakukan Pewaris ... 70
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
a. Kesimpulan ... 73
b. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN
ABSTRAK
Pembagian warisan yang dilambat-lambatkan dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan, bukan saja pihak ahli waris, atau orang yang telah meninggal, juga dapat merugikan masyarakat pada umumnya. Beberapa permasalahan yang diangkat dapat dirumuskan sebagai berikut: a) bagaimana hak dan bagian anak laki-laki berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.102/Pdt-G/2007/PA-TTD, b) apa dasar pertimbangan hakim memutuskan bagian masing-masing ahli waris dalam dua tahap, dan c) apa dasar pertimbangan hakim tentang pelaksanaan hibah yang dilakukan pewaris.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder. Metode pengumpulan merupakan studi kepustakaan sedangkan analisa datanya adalah kualitatif.
Adapun yang menjadi hak dan bagian warisan anak laki-laki berdasarkan Putusan Pengadilan Agama mendapatkan bagian anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan.Sedangkan dasar pertimbangan hakim dalam membagi harta warisan dalam 2 (dua) tahap dikarenakan oleh: a) jumlah ahli waris yang berbeda, b) dalam membagikan harta peninggalan alm.Drs. H. Gusnar Efendi Sutan Dilaut Siregar terdapat di dalamnya hibah. Sedangkan dalam harta peninggalan almh. Hj. Hotni Harahap sudah tidak terdapat lagi hibah, c) terjadi perbedaan masa meninggalnya ahliwaris dan d) Harta yang dihibahkan kepada Yayasan Muslim Persada tersebut merupakan hibah yang langsung dikelola oleh beberapa ahli waris. Dan sebagai dasar pertimbangan hakim tentang pelaksanaan hibah yang dilakukan pewaris adalah hakim mengakui terhadap Yayasan Muslim Persada, sementara hibah yang dilakukan oleh Hj.HotniHarahap tidak berkekuatan hukum karena bertentangan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 92 dan pasal 210 ayat (1)dan (2).
ABSTRAK
Pembagian warisan yang dilambat-lambatkan dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan, bukan saja pihak ahli waris, atau orang yang telah meninggal, juga dapat merugikan masyarakat pada umumnya. Beberapa permasalahan yang diangkat dapat dirumuskan sebagai berikut: a) bagaimana hak dan bagian anak laki-laki berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.102/Pdt-G/2007/PA-TTD, b) apa dasar pertimbangan hakim memutuskan bagian masing-masing ahli waris dalam dua tahap, dan c) apa dasar pertimbangan hakim tentang pelaksanaan hibah yang dilakukan pewaris.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder. Metode pengumpulan merupakan studi kepustakaan sedangkan analisa datanya adalah kualitatif.
Adapun yang menjadi hak dan bagian warisan anak laki-laki berdasarkan Putusan Pengadilan Agama mendapatkan bagian anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan.Sedangkan dasar pertimbangan hakim dalam membagi harta warisan dalam 2 (dua) tahap dikarenakan oleh: a) jumlah ahli waris yang berbeda, b) dalam membagikan harta peninggalan alm.Drs. H. Gusnar Efendi Sutan Dilaut Siregar terdapat di dalamnya hibah. Sedangkan dalam harta peninggalan almh. Hj. Hotni Harahap sudah tidak terdapat lagi hibah, c) terjadi perbedaan masa meninggalnya ahliwaris dan d) Harta yang dihibahkan kepada Yayasan Muslim Persada tersebut merupakan hibah yang langsung dikelola oleh beberapa ahli waris. Dan sebagai dasar pertimbangan hakim tentang pelaksanaan hibah yang dilakukan pewaris adalah hakim mengakui terhadap Yayasan Muslim Persada, sementara hibah yang dilakukan oleh Hj.HotniHarahap tidak berkekuatan hukum karena bertentangan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 92 dan pasal 210 ayat (1)dan (2).
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap kematian erat kaitannya dengan harta peninggalan. Setiap
harta yang ditinggalkan oleh seseorang baik yang bersifat harta benda bergerak
maupun harta benda yang tidak bergerak akan menjadi harta warisan seseorang
yang telah meninggal dunia. Begitu seseorang dinyatakan telah meninggal, pada
saat itu juga semua hartanya secara otomatis menjadi harta warisan bagi ahli waris
yang ditinggalkannya tanpa terkecuali.
Menerapkan dan memakai hukum waris Islam ketika melakukan
pembagian warisan adalah merupakan kewajiban yang harus ditaati oleh setiap
muslim. Hal ini harus sesuai dengan bunyi Surat An Nisa ayat 13 dan 14, di mana
Allah akan menempatkan sorga selama-lamanya bagi orang-orang yang menaati
ketentuan (pembagian harta pusaka) dan memasukkan ke neraka untuk
selama-lamanya bagi orang-orang yang tidak mengindahkannya. Rasulullah SAW juga
memerintahkan agar setiap muslim membagi harta pusaka menurut Al-Qur’an
sebagaimana dalam sabdanya : Bagilah harta pusaka antara ahli waris menurut
kitabullah.1
Bila dilihat dalam kajian hukum Islam dan hukum Perdata, seharusnya,
selayaknya, dan sepantasnya harta warisan dibagikan tepat waktu sebelum ada
masalah-masalah yang timbul karenanya di kemudian hari. Dalam arti kata, begitu
1
seseorang meninggal dunia, sebaiknya disegerakan dalam membagi harta warisan
yang ditinggalkannya kepada seluruh ahli waris yang ada, setelah dikeluarkan
beberapa biaya berikut ini : 2
1. Biaya pelaksanaan fardhu kifayahnya, yakni : biaya mengkafaninya dan biaya
mengkuburkannya;
2. Biaya pelunasan hutang-hutangnya, jika memang ada;
3. Biaya yang dipergunakan untuk memenuhi seluruh wasiat-wasiatnya, jika
memang ada.
Setelah semua biaya di atas dikeluarkan dari harta orang yang meninggal
itu, maka sisa hartanya itu segera dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada
menurut ketentuan bagian masing-masing. Dalam Hukum Islam, bagian laki-laki
sama dengan dua bagian perempuan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam
Surat An Nisa ayat 11.
Makin cepat harta warisan dibagikan, maka makin bagus akibatnya baik
untuk seluruh ahli waris maupun bagi orang yang meninggal itu sendiri. Sebab
harta warisan yang dibagikan secara cepat adalah memiliki berbagai kebaikan dan
kemaslahatan, antara lain :
1. Seluruh ahli waris masih dalam keadaan hidup (lengkap). Jika memang
pembagiannya ditunda dalam waktu yang lama, dikhawatirkan akan ada ahli
waris yang meninggal dunia atau yang pergi jauh yang mengakibatkan
sulitnya dilakukan pertemuan ahli waris secara lengkap pada masa mendatang;
2
2. Kedudukan dan status harta masih jelas jumlah dan tempatnya. Jika harta
warisan tidak dibagikan secara cepat dikhawatirkan akan terjadi kekaburan
atau ketidakjelasan jumlah harta warisan yang ditinggalkan;
3. Terhindarnya provokasi terhadap kerukunan dan kekeluargaan seluruh ahli
waris dari pihak-pihak tertentu.
Pembagian warisan yang dilambat-lambatkan justru akan dapat
menimbulkan hal-hal yang merugikan, bukan saja pihak ahli waris, atau orang
yang telah meninggal, juga dapat merugikan masyarakat pada umumnya.
Demikian halnya dengan kasus gugatan waris No.102/Pdt-G/2007/PA-TTD
tentang tuntutan hak dan bagian anak laki-laki di mana pada saat ayah ahli waris
meninggal dunia, ternyata harta warisan yang ditinggalkannya tidak langsung
dibagikan.
Karena lambatnya alm Hj. Hotni Harahap membagikan harta peninggalan
alm. Drs. H. Gusnar Efendi Sutan Dilaut Siregar kepada seluruh ahli waris yang
masih hidup, maka hal ini menjadi pemicu timbulnya perkara warisan di kalangan
para ahli waris. Perkara warisan ini muncul bukan pada semasa hidup alm Hj.
Hotni Harahap, melainkan setelah beliau meninggal dunia. Andaikan harta
warisan peninggalan alm. Drs. H. Gusnar Efendi Sutan Dilaut Siregar segera
dibagikan, niscaya tidak akan ada sengketa pembagian warisan di kalangan para
ahli waris.
Sesungguhnya hukum waris Islam mengharuskan kepada ahli waris untuk
segera melakukan pembagian harta warisan seseorang agar tidak terjadi sengketa
yang terjadi sebelum maupun setelah harta warisan tersebut dibagikan, tetapi ahli
waris lainnya berniat membiarkan harta warisan tetap utuh sebagai pengingat ahli
waris.3
Ada pula peristiwa penjualan harta warisan dalam bentuk tanah yang telah
dijual kepada pihak lain, dituntut karena seorang ahli waris tidak diikutsertakan
dalam penjualan tanah tersebut. Bermacam persoalan tersebut memerlukan jalan
keluar yang adil.
Terkadang, ada ahli waris yang meminta supaya harta warisan dijual lalu
hasil penjualan dibagi-bagikan kepada semua ahli waris, tetapi ada yang menolak
hal tersebut.
4
Indonesia mempunyai beragam adat, budaya serta latar belakang yang
melandasi kehidupan masyarakatnya. Begitu pula dalam hal hukum waris
berdasarkan adat sangatlah beragam bergantung dari sifat kedaerahan. Banyaknya
jumlah suku bangsa di Indonesia, banyak pula jumlah hukum waris yang ada.5 Selain itu, terdapat pula hukum Islam mengatur pula tentang hukum waris
bagi umatnya yang bersumber dan berdasarkan pada kitab suci Al-Qur’an, hadis
dan ijtihad. Golongan penduduk asli Indonesia menggunakan hukum waris
berdasarkan adat setempat di wilayah mereka tinggal. Namun yang beragama
Islam dapat pula untuk memilih hukum waris Islam.6
3
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, At Tahirriyah, Jakarta, 1995, hal. 9.
4
F.Satrio Wicaksono, Hukum Waris,Visi Media, Jakarta, 2011, hal.2.
5
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 12.
6
B. Permasalahan
Dari latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka peneliti perlu
mengangkat beberapa permasalahan yang perlu dipecahkan melalui pelaksanaan
penelitian secara mendalam dan terfokus terhadap kasus tersebut di atas. Beberapa
permasalahan yang diangkat dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana hak dan bagian warisan anak laki-laki berdasarkan putusan
Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.102/Pdt-G/2007/PA-TTD ?
2. Apa dasar pertimbangan hakim memutuskan bagian masing-masing ahli waris
dalam dua tahap ?
3. Apa dasar pertimbangan hakim tentang pelaksanaan hibah yang dilakukan
pewaris ?
C. Tujuan Peneltian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui secara jelas tentang hak dan bagian warisan anak laki-laki
berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi
No.102/Pdt-G/2007/PA-TTD;
2. Untuk mengetahui secara jelas tentang dasar pertimbangan hakim
memutuskan bagian masing-masing ahli waris dalam dua tahap;
3. Untuk mengetahui secara jelas tentang dasar pertimbangan hakim tetntang
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian skripsi ini adalah akan
memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Sedangkan manfaat secara
teoritis dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum perdata
khususnya hukum waris Islam dan hukum waris perdata. Sedangkan manfaat
secara praktis dapat memberikan kontribusi positif dalam pengayaan dan
perbendaharaan dalam bidang ilmu waris terutama bagi kalangan mahasiswa,
dosen, dan peneliti.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian harus ditetapkan secara tepat karena dengan metode
penelitian ini akan membantu dalam menetapkan arah dan tujuan penelitian
sehingga akan mampu mengungkapkan penelitian secara sistematis. Maka penulis
menggunakan metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian terhadap permasalahan dalam skripsi ini merupakan penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan
untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas,
karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena
yang satu dengan fenomena lainnya.7
7
Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan
dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada,
pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek
yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung. 8
Penelitian deskriptif dilakukan dengan cara melukiskan keadaan yang
menjadi obyek persoalannya dan bertujuan memberikan gambaran mengenai hal
yang menjadi pokok permasalahannya, dalam hal ini tentang status dan
kedudukan anak. Sehingga dapat dianalisis dan akhirnya dapat diambil
kesimpulan yang bersifat umum.9 2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah
pendekatan yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan
meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Metode berpikir yang digunakan
adalah metode berpikir deduktif. Yang mana maksudnya adalah cara berpikir
dalam menarik kesimpulan dari sesuatu yang sifatnya umum dan sudah dibuktikan
bahwa dia benar.10 3. Data yang Digunakan
Dalam penyusunan skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier.
8
Ibid.
9
Ibid., hal.10.
10
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.11
Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku,
pendapat-pendapat pakar hukum, rancangan undang-undang, dan hasil-hasil
penelitian yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
Dalam
skripsi ini bahan hukum primernya adalah Putusan Pengadilan Agama Tebing
Tinggi No. 102/Pdt-G/2007/PA-TTD, bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan di bidang hukum perdata yang mengikat, antara lain Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
12
Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer
dan/atau bahan hukum sekunder yakni, kamus hukum dan kamus besar bahasa
Indonesia.13
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Pada
tahapan ini peneliti mencari landasan teoritis dari permasalahan permasalahan
penelitiannya sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat
“trial and error”. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah
menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. 14
11
Secara singkat studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya :15
a. Mendapatkan gambaran atau informasi yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti;
b. Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan
yang digunakan;
c. Sebagai sumber data sekunder;
d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya;
e. Mendapat informasi tentang cara evaluasi atau analisa data yang digunakan;
f. Memperkaya ide-ide baru.
5. Analisa Data
Data yang diperoleh akan dihubungkan dengan studi kepustakaan,
kemudian data tersebut dianalisis secara logis dan disusun dengan menggunakan
metode kualitatif yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis maupun
lisan diteliti dan dipelajari kemudian dianalis secara deskriptif kualitatif agar
dapat ditarik kesimpulan untuk dapat dicapai kejelasan mengenai permasalahan
yang akan di teliti yang tersusun dalam kalimat yang sistematis.16
F. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang bertemakan mengenai tentang bagian anak laki-laki
memang cukup banyak diangkat dan dibahas namun penulisan dengan judul
15
Ibid.
16
“Tinjauan Yuridis Hak dan Bagian Anak Laki-laki (studi Putusan Pengadilan
Agama Tebing Tinggi No. 102/Pdt-G/2007/PA-TTD), belum pernah ditulis
sebagai skripsi, dengan demikian penulisan skripsi ini tidak sama dengan
penulisan skripsi lainnya, sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
G. Sistematika Penulisan
Bab pertama berisi pendahuluan. Bab ini merupakan pengantar untuk
penulisan bab-bab berikutnya di dalam pembahasan, yang terdiri dari latar
belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan secara teoritis tentang tinjauan umum hukum
waris Islam yang terdiri dari pengertian hukum waris Islam, dasar hukum waris
Islam, syarat sah dan rukun waris serta halangan mewaris.
Bab ketiga menguraikan tentang ketentuan pembagian warisan menurut
hukum Islam yang terdiri dari ahli waris dan penggolongannya, ketentuan bagian
masing-masing ahli waris, perolehan harta melalui hibah, dan perolehan harta
melalui wasiat.
Bab keempat membahas tentang tinjauan yuridis hak dan bagian anak
laki-laki menurut Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.
102/Pdt-G/2007/PA-TTD dalam bab ini membahas tentang kasus posisi, hak dan bagian
anak laki-laki menurut Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi
masing-masing ahli waris dalam dua tahap, dan dasar pertimbangan hakim tentang
pelaksanaan hibah yang dilakukan pewaris.
Bab kelima merupakan kesimpulan dan saran dari keseluruhan penulisan
skripsi ini. Dalam bab ini ditarik beberapa kesimpulan dari pembahasan bab-bab
terdahulu. Di samping itu, juga dikemukakan beberapa saran yang diharapkan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ISLAM
A. Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena
dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan
dalam Al Qur’an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar,
karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak
menguntungkan.17
Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir
“ketentuan”. Dalam istilah syara’ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah
ditentukan bagi ahli waris.18
Sedangkan hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang
berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai
kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima
dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.
19
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats.20
17
Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta,1995, hal.355.
Sedangkan
makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
18
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta Selatan, 2006, hal.479.
19
2012 pukul 10.30 WIB.
20
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal.33.
hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang
berupa hak milik legal menurut syari’i.
Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi
Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih
umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.21
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal
dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang
lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga.22 Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan
setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan dua definisi di
atas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana
berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.23
Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak
yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak
21
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hal.4.
22
R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya Airlangga University Press, hal.3.
23
menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara’ ialah
pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.24
Menurut Syamsul Rijal Hamid bahwa pengertian warisan adalah
berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun
tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang
masih hidup.25
Warisan itu menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu
kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari
masyarakat itu meninggal dunia.26
Untuk itu, melihat hukum kewarisan Islam diperlukan wawasan
kesejarahan, paling tidak sistem sosial dan sistem hukum yang melingkupi ketika
Islam itu diturunkan27
B. Dasar Hukum Waris Islam
1. Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam
hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu :
a. Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
24
Moh Rifai, Ilmu Fiqih Islam, CV Toha Putra, Semarang,1978, hal.513.
25
Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, Cahaya Salam, Bogor , 2011, hal.366.
26
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia,Sumur Bandung, Bandung, 1991, hal.11.
27
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang
telah ditetapkan.”28
b. Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya :
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik.”29 c. Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya :
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”30
d. Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
28
Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, CV. Putra Toha Semarang, Semarang, hal.62.
29
Ibid.
30
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”31
e. Surat An-Nisa’ ayat 33
“Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah
menetapkan para ahli waris atas apa yang telah ditinggalkan oleh kedua
orang tuanya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha
Menyaksikan segala sesuatu.”32
f. Surat An-Nisa’ ayat 176, yang artinya :
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkanya dan saudara-saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”33
g. Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya :
“Diwajibkan atas kamu apabila sesorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang bertakwa.”34 h. Surat Al-Baqarah ayat 240, yang artinya :
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk ister-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”35
i. Surat Al-Azhab ayat 4, yang artinya :
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri yang kamu zhihar itu sebagai ibu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).36
2. Sedangkan pedoman waris menurut hadits yaitu :
a. Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil
Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah,
yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan”.37
b. Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib
Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain An-Nasai. “Seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang meninggal itu). Abu Bakar berkata : “Dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu untukmu dan juga tidak ada dalam hadits Rasulullah. Pulang sajalah dulu, nanti saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar menyatakan kepada para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan berkata : “Saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan untuk nenek dari seorang cucu yang meninggal sebanyak seperenam”. Abu Bakar bertanya : “Apakah ada yang lain yang mengetahui selain kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Mugirah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta peninggalan cucunya”.38
c. Hadits Rasulullah dari Sa’ad bin Waqqas
Hadits Rasulullah dari Sa’ad bin Waqqas yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sa’ad bin Waqqas bercerita sewaktu ia sakit keras, Rasulullah mengunjunginya. Ia bertanya kepada Rasulullah : “Saya mempunyai harta yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi harta saya. Apakah perlu saya sedekahkan dua pertiga harta saya ?” Rasululah menjawab : “Jangan!” Kemudian bertanya lagi Sa’ad : “Bagaimana jika sepertiga ?” Bersabda Rasulullah : “Sepertiga, cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin (berkekurangan), sehingga meminta-minta kepada orang lain.”39
d. Hadits Rasulullah dari Abu Hurairah
Hadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Aku lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka itu sendiri antara sesamanya. Oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dan meninggalkan utang yang tidak dapat dibayarnya (tidak dapat dilunasi dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya,
37
Zainuddin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.40.
38
Ibid
39
dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk ahli waris-ahli warisnya.”40
e. Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’
Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’ yang diriwayatkan
oleh At-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibn Majah. Wasilah bin Aska’
menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Perempuan menghimpun tiga
macam hak mewaris, yaitu (1) mewarisi budak lepasannya, (2) anak
zinanya, dan (3) mewarisi anak li’annya.”41
3. Pedoman pelaksanaan hukum waris Islam menurut Ijtihad adalah :
Masalah-masalah yang menyangkut warisan ada yang sudah dijelaskan
permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret,
sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’
(konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Selain dari itu masih banyak
masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. 42
Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam
berbagai masalah waris ada cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi
penyebab utamanya, yakni :43
1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad
berbeda
2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
40
Ibid.
41
Ibid., hal.42.
42
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2000, hal.535.
43
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab
atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan
maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab
pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam
yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu yang sesuai dengan
keadilan dan kemaslahatan umat.44
Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan
tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena
ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka
menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah
didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah
kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat
mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang
cocok dengan bangsa atau umatnya.45
4. Dan dasar hukum pelaksanaan pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yaitu terdapat dalam Pasal 171-193 KHI.
C. Syarat dan Rukun Pembagian Waris
1. Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:
a. Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki
(sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal
44
Ibid.
45
dunia taqdiri (menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki,
hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut :
1. Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus
melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.46
2. Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan
melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa
terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa
diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan
upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan
meninggal dunia.47
3. Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah
meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke
medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar
beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah
meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.48
Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak
boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris.49 b. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris
merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh
46
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit.,hal.28.
47
Ibid.
48
Ibid.
49
A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh
karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar
hidup.50
c. Mengetahui status kewarisan
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas
hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan
orangtua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun
seibu.51
2. Rukun Pembagian Waris
a.
Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu (1) pewaris, (2) harta
warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan
masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut :
Pewaris (Al-Muwarris)
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam,
meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris
secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.
Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada
keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada
saat menjelang kematiannya.52
50
Ibid.
51
Ibid.
52
Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki
harta semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang
mewariskan maupun yang diwarisi harta warisan harus beragama Islam.53
b.
Sedangkan pengertian pewaris menurut Pasal 171 KHI huruf b yaitu :
“Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”
Harta Warisan (Al Mauuruts)
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta
bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat
pewaris.54
Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta
bersama dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan
setelah meninggal dunia. Misalnya pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan
pemakaman. Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda
tetapi juga hak-hak dari pewaris.55
Harta warisan berbeda dengan harta peninggalan. Tidak semua harta
peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris,
melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus
bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain.56
53
F. Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal.6.
54
Zainuddin Ali, Op.Cit., hal.46.
55
F. Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal.7.
56
Pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati
secara mutlak. 57 Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf e KHI yaitu :
“Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.”
c. Ahli Waris(Al Waarits)
Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan
kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 58 Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada dalam
kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui
gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut mendapatkan
harta warisan.59 Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan.
Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.60
57
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal483.
Yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam adalah
ahli waris yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila
diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
58
Zainuddin Ali, Op.Cit., hal.46.
59
Ahmad Rofiq,Fiqh Mawaris,Op.Cit., hal.29.
60
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama
menurut agama dari ayahnya atau lingkungan sekitar si bayi tersebut.61 Sedangkan pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c yaitu :
“Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
D. Halangan Mewaris
1. Mahrum (yang diharamkan) / Mamnu’ (yang dilarang) :
Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan
gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan
pewaris.62
Dalam hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris, yaitu : Ahli waris yang terkena halangan ini deisebut mahrum atau mamnu’
a. Pembunuhan
Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya seseorang anak
membunuh ayahnya maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.63 Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya
untuk mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana membuktikan
bahwa seseorang telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap si pewaris.
Mengingat, banyak cara yang ditempuh seseorang untuk mengahabisi nyawa
orang lain, termasuk si korban adalah keluarganya sendiri.64
61
F. Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal.23.
62
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op,Cit., hal.30.
63
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., hal.41.
64
Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak
mewarisinya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain
dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya maka bagi pembunuh tidak
berhak atas warisan (Riwayat Ahmad)65
Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis : .
Pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi menjadi empat, yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang dipandang tidak sengaja. Sedangkan pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang membuat lubang di kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang tadi dan meninggal dunia. Matinya korban disebabkan perbuatan tidak langsung oleh orang yang membuat lubang tersebut.66
Menurut para ulama Hanafiyah pembunuhan langsung merupakan
penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung , bukan
penghalang untuk mewaris.67 b. Berbeda agama
Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris.
Misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen,
atau sebaliknya.68
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya mengatakan
bahwa apabila seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisan
65
Ibid.
66
A.Rachmad Budiono, Op.Cit., hal.12.
67
Ibid.
68
dilakukan, maka ia tidak terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena status
berlainan agama sudah hilang sebelum harta warisan dibagi.69 c. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba
sahaya (budak).70 Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya Islam sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya
dimerdekakan. Pada hakikatnya, perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran Islam.71
Sementara itu di dalam Pasal 173 KHI seseorang terhalang menjadi ahli
waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena :
a) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris
b) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
2. Hijab
Hijab adalah terhalangnya seseorang ahli waris untuk menerima warisan,
disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari
padanya.72
69
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., hal.37.
70
Ibid., hal 39.
71
Ibid.
72
Terdapat 2 macam hijab, yakni:hijab nuqshaan, dan hijab hirman.
a. Hijab nuqshan
Adalah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris disebabkan adanya
orang lain. Hijab nuqshan ini berlaku pada lima orang berikut : 73 1. Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat apabila ada anak;
2. Istri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan apabila ada anak;
3. Ibu terhalang dari sepertiga menjadi seperenam apabila ada keturunan yang
mewarisi;
4. Anak perempuan dari anak laki-laki;
5. Saudara perempuan seayah;
b. Hijab hirman atau hijab penuh
Adalah terhalangnya semua warisan seseorang karena adanya orang lain,
seperti terhalangnya warisan saudara laki-laki dengan adanya anak laki-laki,
ditegaskan dari dua asas berikut :74
1. Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pewaris karena adanya orang
lain itu, maka dia tidak menerima warisan apabila orang tersebut ada.
Misalnya, anak laki laki dari anak laki-laki tidak menerima warisan bersama
dengan adanya anak laki-laki, kecuali anak anak laki-laki dari ibu maka
mereka itu mewarisi bersama dengan ibu, padahal mereka mempunyai
hubungan dengan si mayat karena dia;
73
Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal.500.
74
2. Setiap orang yang lebih dekat didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka
anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila
mereka sama dalam derajat maka diseleksi dengan kekuatan hubungan
kekerabatannya, seperti saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara
laki-laki seayah.
Ahli waris yang dapat terhijab penuh adalah seluruh ahli waris kecuali
anak, ayah, ibu, dan suami atau isteri. Kelima ahli waris ini tidak akan pernah
terhijab secara hijab penuh. Anak laki-laki dan ayah dapat menutup ahli waris
lain secara hijab penuh sedangkan suami-isteri tidak pernah menghijab siapapun
di antara ahli waris.75
3. Perbedaan antara Mahrum dan Hijab
Terdapat beberapa perbedaan antara mahrum dan hijab, yaitu :76
a. Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang
membunuh pewaris. Sedangkan hijab berhak mendapatkan warisan, tetapi dia
terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama darinya untuk
mendapatkan warisan;
b. Mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka dia tidak
menghalanginya sama sekali, bahkan dia dianggap seperti tidak ada. Misalnya,
apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan
seorang saudara laki-laki muslim; maka warisan itu semua adalah bagi saudara
laki-laki, sedangkan anak laki laki tidak mendapatkan apa apa. Sedangkan
hijab maka terkadang ia mempengaruhi orang lain.77
75
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Padang, 2004, hal.201.
76
Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal 501.
77
BAB III
KETENTUAN PEMBAGIAN WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Ahli waris dan Penggolongannya
Kata ahli waris (yang secara bahasa berarti keluarga) tidak secara otomatis
ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia. Karena
kedekatan hubungan kekeluargaan juga dapat mempengaruhi kedudukan dan
hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Ahli waris ada 2 macam, yaitu : ahli waris
nasabiyah dan sababiyah.78 1. Ahli Waris Nasabiyah
Yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan
darah. Ahli waris nasabiyah ini ada 21 orang, yang terdiri dari 13 orang ahli waris
laki-laki dan 8 orang ahli waris perempuan.
Ahli waris laki-laki, terdiri dari :79 a. Anak laki-laki;
b. Cucu laki-laki;
c. Bapak;
d. Kakek dari garis bapak;
e. Saudara laki-laki sekandung;
f. Saudara laki-laki seayah;
g. Saudara laki-laki seibu;
78
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., hal.59.
79
Ibid.
h. Anak laki-laki sudara laki-laki sekandung;
i. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
j. Paman, saudara bapak sekandung;
k. Paman seayah;
l. Anak laki-laki paman sekandung;
m. Anak laki-laki paman seayah.
Sedangkan yang termasuk ahli waris perempuan, yaitu :80 a. Anak perempuan;
b. Cucu perempuan garis laki-laki;
c. Ibu;
d. Nenek dari garis bapak;
e. Nenek dari garis ibu;
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan seayah;
h. Saudara perempuan seibu.
2. Ahli waris Sababiyah
Yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu, yaitu :
a. Perkawinan yang sah;
b. Memerdekakan hamba sahaya atau karena adanya perjanjian tolong
menolong.81
80
Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan
apabila perkawinan suami isteri tersebut sah, baik menurut agama, dan memiliki
bukti-bukti yuridis. Artinya secara administratif perkawinan mereka dicatat
menurut ketentuan hukum yang berlaku.82
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, ahli waris dapat
dibedakan kepada :
1. Ashabul Furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya
telah ditentukan dalam Al Qur’an, seperti : 1/2, 2/3, 1/4, 1/8, 1/3, 1/6.83
2. Ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah
harta warisan dibagikan kepada ahli waris ashabul furudh.84
Ahli waris ashabah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu ashabah binafsih,
ashabah bilghairi, ashabah ma’alghairi.
a. Ashabah Binafsih
Adalah ahli waris ashabah karena dirinya sendiri, bukan karena bersama
ahli waris lainnya.Ahli waris ashabah binafsih ini adalah anak laki-laki, bapak,
kakek, cucu laki dari anak laki, saudara laki kandung, saudara
laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki-laki-laki paman kandung, dan
anak laki-laki paman sebapak.85
81
Ibid.
82
Ibid.
83
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., hal.46.
84
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., hal.60.
85
b. Ashabah Bilghairi
Adalah ahli waris ashabah karena bersama ahli waris lainnya. Maksudnya
adalah “seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh laki-laki”.86 Yang termasuk ashabah ini adalah : anak perempuan yang mewaris
bersama anak laki-laki, cucu perempuan mewaris bersama cucu laki-laki, saudara
perempuan kandung mewaris bersama saudara laki-laki kandung, saudara
perempuan sebapak mewaris dengan saudara laki-laki sebapak.87
c. Ashabah Ma’alghairi
Yang termasuk ashabah ini, yaitu saudara perempuan kandung dan
saudara perempuan sebapak yang mewaris bersama anak perempuan ataupun cucu
perempuan dari anak laki-laki.88
B. Ketentuan Bagian Masing-masing Ahli Waris
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al Qur’an ada 6 macam, yaitu 1/2,
1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Bagian yang diperoleh anak perempuan adalah separuh
dari bagian yang diperoleh anak laki-laki. Misalnya dalam sebuah keluarga
terdapat seorang anak laki-laki dan dua orang anak wanita, maka pembagian
warisannya dibagi empat. Dengan perincian, anak laki-laki tersebut menerima dua
bagian (2/4) sedang dua anak perempuan itu masing-masing menerima 1 (satu)
bagian (1/4) .89
86
Ibid.
87
Ibid.
88
Ibid.
89
Selanjutnya ketentuan pembagian harta warisan secara terperinci sebagai
berikut :
1. Ahli waris yang mendapat 1/2 (setengah) ialah :90 a. Seorang anak perempuan satu-satunya;
b. Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, bila tidak ada anak
perempuan, bila hanya seorang dan bila pewaris tidak memiliki anak.
c. Saudara kandung perempuan, bila seorang diri, bila tidak mempunyai
saudara kandung laki-laki;
d. Saudara perempuan seayah, apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki,
hanya seorang diri, tidak mempunyai saudara kandung perempuan;
e. Suami, apabila istri yang meninggal dunia tidak memiliki anak.
2. Ahli waris yang mendapat 1/4 (seperempat) ialah :91
a. Suami, apabila istri yang meninggal dunia meninggalkan anak baik
laki-laki maupun perempuan atau cucu dari anak laki-laki-laki-laki.
b. Istri, apabila suami tidak meninggalkan anak.
3. Ahli waris yang mendapat 1/8 (seperdelapan) harta ialah istri. Dengan
ketentuan apabila suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak
laki-laki.92
90
Ibid., hal.47.
91
Ibid., hal.48.
92
4. Ahli waris yang mendapat 2/3 (dua pertiga) ialah:93
a. Dua anak perempuan atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki,
yakni anak laki-laki dari pewaris;
b. Dua cucu perempuan atau lebih dari keturunan anak laki-laki.;
c. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih;
d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5. Ahli waris yang mendapat 1/3 (sepertiga) adalah :94
a. Ibu, apabila yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dari anak
laki-laki dan tidak mempunyai saudara;
b. Dua orang saudara atau lebih yang seibu, baik lelaki maupun wanita;
6. Ahli waris yang mendapat 1/6 (seperenam) ialah :95 a. Ibu dan bapak, apabila pewaris mempunyai anak;
b. Ibu, jika si pewaris mempunyai beberapa saudara. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam;
c. Nenek (dari ibu atau dari bapak, jika ibu tidak ada);
d. Cucu wanita dari anak laki-laki baik seorang atau lebih. Tapi jika si
pewaris mempunyai beberapa anak wanita, maka cucu wanita tidak
memperoleh warisan;
e. Kakek dari bapak juga mendapat seperenam (1/6), apabila beserta dengan
anak cucu, sedang bapaknya tidak ada;
93
Ibid., hal.50.
94
Syamsul Rijal Hamid, Op.Cit., hal.372
95
f. Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun wanita;
g. Saudara wanita sebapak saja, baik seorang atau lebih. Namun jika saudara
seibu bapak dua atau lebih maka saudara bapak tidak mendapat warisan.
C. Perolehan Harta Melalui Hibah
Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan suatu benda melalui
transaksi tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika
pemberi masih hidup.96 Harta yang dapat dihibahkan adalah semua harta baik berwujud maupun tidak, bergerak maupun tidak.
Berdasarkan hukum Islam dan hukum perdata, hibah tidak dapat ditarik
kembali, sedangkan menurut hukum adat yang berlaku umum, hibah dapat ditarik
kembali. Hibah menurut hukum adat dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis,
tetapi menurut hukum Islam dan hukum perdata, hibah harus dilakukan secara
tertulis.97
Dalam rumusan kompilasi, hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup
untuk dimiliki (Pasal 171 huruf g KHI). Dasar hukum hibah terdapat dalam
Alqur’an Surat Al-Baqarah ayat 177, Ali Imran ayat 38, dan Pasal 210-214 KHI.
96
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Op.Cit., hal.466.
Hibah merupakan pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang
untuk kepentingan seseorang atau untuk kepentingan suatu badan sosial,
keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli warisnya.
97
Maksudnya adalah pemberian suatu benda semasa hidup seseorang tanpa
mengharapkan imbalan.98
Hibah dalam pengertian di atas, merupakan pemberian biasa dan tidak
dapat dikategorikan sebagai harta warisan. Pengkategorian itu, tampak bahwa
hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika ia masih
hidup, sedangkan warisan baru dapat terlaksana apabila calon pewaris telah
meninggal dunia. Oleh karena itu, meninggalnya seseorang menjadi syarat atas
pelaksanaan pengalihan hak dalam bentuk kewarisan.99
Selain perbedaan itu, juga unsur-unsur kewarisan berbeda dari unsur-unsur
hibah biasa juga disebut rukun hibah. Rukun hibah terdiri dari pemberi hibah,
penerima hibah, maupun status harta yang dihibahkan. Hal tersebut, diuraikan
sebagai berikut :
1. Pemberi Hibah
Pemberi hibah adalah pemilik sah barang yang dihibahkan dan pada waktu
pemberian itu dilakukan berada dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun
rohani.100 Apabila orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi 1/3 saja dari harta bendanya .101 Ini dijelaskan dalam kompilasi pada Pasal 210 ayat 1 KHI, yang berbunyi :
98
Zainuddun Ali,Op.Cit., hal.75.
“ Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat
dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3
harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi
untuk dimiliki”.
99
Ibid.
100
Zainuddun Ali,Op.Cit., hal.76.
101
Selain itu, pemberi hibah harus memenuhi syarat sebagai orang yang telah
dewasa serta cakap melakukan tindakan hukum dan mempunyai harta atau barang
yang dihibahkan. Pada dasarnya pemberi hibah adalah setiap orang dan/atau
badan hukum yang cakap melakukan perbuatan hukum.102 2. Penerima Hibah
Penerima hibah adalah setiap orang, baik perorangan maupun badan
hukum serta layak untuk memiliki barang yang dihibahkan kepadanya. Penerima
hibah diisyaratkan sebagai orang yang cakap melakukan tindakan hukum. Apabila
ia masih di bawah umur, maka diwakili oleh walinya atau diserahkan kepada
pengawasan walinya sampai pemilik hibah cakap melakukan tindakan hukum.
Selain itu, penerima hibah dapat terdiri atas ahli waris atau bukan ahli waris, baik
orang muslim maupun nonmuslim, yang semuanya adalah sah hukumnya.103 3. Harta yang Dihibahkan
Dalam Pasal 210 ayat 2 KHI menyatakan bahwa harta benda yang
dihibahkan harus merupakan harta dari penghibah. Jadi menghibahkan harta
benda yang dimiliki orang lain, tidak sah hukumnya. Harta atau barang yang
dihibahkan dapat terdiri atas segala macam barang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak.104
102
Zainuddun Ali,Op.Cit., hal.76.
103
Ibid.
104
D. Perolehan Harta Melalui Wasiat
1. Wasiat
Wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada
orang lain secara sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga pemilik
harta meninggal dunia.105 Menurut ketentuan Islam, bahwa bagi seseorang yang merasa telah dekat ajalnya dan ia meninggalkan harta yang cukup, maka
diwajibkan untuk membuat wasiat .106 Ketentuan ini dapat ditemukan dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya :
“Diwajibkan atasmu, apabila salah seorang dari kamu akan mati, jika ia
meninggalkan harta, (bahwa ia membuat) wasiat bagi kedua orang tua dan
kerabatnya dengan cara yang baik (ini adalah) kewajiban bagi orang yang
takwa (kepada Tuhan).” 107
Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat
dan tanpa adanya paksaan dapat membuat wasiat atas sebagian harta benda
miliknya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak
dari pewasiat sendri. Pemilikan terhadap harta benda karena wasiat dapat
dilaksanakan setelah pembuat wasiat meninggal dunia.108
105
Pahing Sembiring, Sari Kuliah Hukum Islam 1, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan , hal.151.
Ketentuan mengenai wasiat di Indonesia telah diatur di dalam Pasal
194-209 KHI. Dalam pasal-pasal tersebut telah diatur batas umur seseorang
mewasiatkan hartanya, jumlah maksimal wasiat yang diperbolehkan, sebab
batalnya wasiat, dan lain-lain.
106
Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit., hal.42.
107
Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi,Op.Cit., hal.21.
108