BAB III
KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA BERSAMA DAN HARTA WARISAN DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
Selain mengatur tentang perkawinan di Indonesia, Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur harta bersama dalam perkawinan.
Aturan ini terdapat dalam Bab VII yang memuat tiga pasal yaitu Pasal 35, Pasal 36
dan Pasal 37.
Pasal 35 ayat 1 mengatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi milik bersama. Ayat 2 mengatakan bahwa harta bawaan dari
masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 ayat 1 mengatur bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Ayat 2 mengatakan bahwa
mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Mengenai pembagian harta bersama sebagai akibat putusnya perkawinan
karena perceraian diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menentukan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
bahwa pasal tersebut tidak memberikan penyelesaian yang pasti dan tidak
memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila
terjadi perceraian.
Abdullah Syah mengatakan bahwa pengaturan dalam Pasal 37 UU No.1
Tahun 1974 diatas adalah sesuai dengan keadaan rakyat Indonesia yang terdiri dari
berbagai suku dan mempunyai hukum adat yang beraneka warna dan masih hidup
dalam masyarakat.70 Bila dalam keadaan hidup rukun dan damai membina rumah tangga mereka, tidak ada kesulitan menyatukan hukum adat yang berbeda-beda.
Tapi bila telah terjadi sengketa, apalagi sudah terjadi perceraian hal itu adalah
amat sulit. Jadi, jalan penyelesaian yang baik dalam hal ini adalah mempergunakan
hukum mereka masing-masing, sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 37 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang memberikan jalan pembagian
sebagai berikut:
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat jika hukum
tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan.
Keraguan dalam menetapkan ketentuan hukum dalam harta bersama apabila
terjadi perceraian akan banyak membawa kesulitan didalam menyelesaikan
perselisihan. Hal ini akan membawa efek yang kurang baik ditinjau dari segi sosial
fisiologi baik bagi pihak-pihak yang berperkara maupun bagi lingkungan masyarakat.
Dengan penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut yang
dinyatakan harta bersama dan hukum lainnya adalah bagi mereka yang beragama
Islam harus membawa persoalan itu ke Pengadilan Agama.71
Keputusan-keputusan Pengadilan Agama tentang pembagian harta bersama
apabila terjadi perceraian, pada dasarnya sudah menuju trend yang terarah kesatu
jurusan kaidah yang dipergunakan sebagai hukum objektif. Merujuk pada Kompilasi
Hukum Islam yang telah dijadikan hukum terapan dalam peradilan agama, kedudukan
janda dijelaskan dalam Pasal 96 ayat 1 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa bila terjadi
cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Pasal 96 KHI menyatakan bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dari putusan Pengadilan Agama Medan Nomor
646/Pdt.G/2010/PA.Mdn., sesuai dengan Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
yang menyatakan bahwa harta bersama harus dibagi dua diantara suami dan istri
apabila terjadi kematian salah satu pihak.
Dari keputusan diatas jelas dapat dilihat arah yang ditempuh oleh pengadilan
sebagai salah satu lembaga penegakan hukum dalam kehidupan suatu bangsa, yaitu
menuju pembagian yang sama antara suami dan istri tersebut. Anggota pasangan
keluarga yang terlama hidup berhak atas harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan.
Sebelum tersusunnya Kompilasi Hukum Islam, pengadilan agama tidak
mempunyai pedoman untuk memutus perkara-perkara mengenai harta bersama yang
diajukan kepadanya, kecuali berpedoman pada hukum Islam yang tersebar dalam
kitab-kitab fikih yang disusun oleh para ulama pada masa lalu dan berpedoman pada
adat yang berlaku bagi orang yang berperkara. Keadaan seperti ini mengakibatkan
tidak adanya kepastian hukum dalam perkara-perkara di setiap pengadilan agama.
K. H. Hasan Basri (Ketua Umum MUI) menyebutkan bahwa Kompilasi
Hukum Islam ini sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada pemerintahan
orde baru.72 Dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi
oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan
tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan
agama.
B. Kedudukan Janda Terhadap Harta Warisan Dalam Kewarisan Islam
Ada tiga alasan yang menyebabkan tali ikatan perkawinan terputus, yaitu
karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.73 1. Karena Kematian
72KH. Hasan Basri,Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, Nomor 104, Th. X, April, 1986, hlm. 60.
Mengenai putusnya hubungan perkawinan karena kematian dikarenakan
pasangan suami istri sebagai manusia dan makhluk Allah SWT memang harus dan
akan menemui ajalnya. Sebagaimana yang di firmankan Allah SWT “...semua yang
hidup pasti akan merasakan mati...”74.
Kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi pada manusia tidak
terkecuali kematian terhadap istri atau suami dalam keluarga. Apabila terjadi
kematian terhadap salah seorang suami ataupun istri maka secara otomatis hubungan
perkawinan itu terputus.
Putusnya pernikahan yang diakibatkan oleh kematian adalah putusnya
pernikahan antara suami istri beserta dengan hak dan kewajibannya. Ada 3 cara
menentukan bahwa seseorang telah meninggal, yaitu:75
a. Mati Hakiki, yaitu mati yang terlihat jasadnya. Artinya jasadnya secara
biologis tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Pastinya yang meninggal
tersebut tidak bisa kembali lagi dengan suami/ istrinya lagi.
b. Mati Takdiri, yaitu dikira-kira atau dengan dugaan yang sangat kuat.
Contohnya, ketika ada sebuah bencana alam. Seorang suami berpisah dengan
istrinya dan salah satunya hilang tidak ada kabarnya dikarenakan bencana
alam tersebut. Setelah sekian lama tidak kembali, maka diputuskan bahwa
yang bersangkutan telah mati. Mati ini bersifat memutuskan dan jasadnya
tidak bisa dilihat (tidak di hadapan mata). Menurut hukum waris juga
74Q.S Ali Imranayat 185.
mengatakan bahwa kasus seperti ini bisa diputuskan bahwa yang
bersangkutan telah mati. Matitakdiribersifat dugaan dan ada syaratnya, yaitu
yang diduga mati telah hilang dalam kondisi tidak aman (misal: bencana alam,
perang, dll) dan dalam jangka waktu yang lama, yang bersangkutan tidak ada
kabar tentang kehidupannya.
c. MatiHukmi, yaitu pada dasarnya sama seperti matitakdiri, tetapi mati hukmi
diputuskan oleh pengadilan. Misalnya seperti kasus di atas. Setelah sekian
lama tidak ada kabar, maka keluarga mendatangi pengadilan dan pengadilan
memutuskan bahwa yang bersangkutan telah meninggal. Mati hukmisifatnya
lebih formal.
Adanya kematian suami/istri menimbulkan terpenuhinya salah satu asas-asas
hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan Islam disebut jugafaraiddan merupakan
salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari
orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.
2. Karena Perceraian
Perceraian merupakan perbuatan yang tidak disukai Allah. Di dalam
Al-Qur’an dinyatakan bahwa “Pergaulilah istri kamu itu sebaik-baik (makhruf),
kemudian apabila ketidak sukaan kamu itu, Allah menjadikannya kebaikan yang
banyak”.76 Dari bunyi ayat tersebut sebenarnya secara sindiran dan tersirat Allah SWT menyatakan bila ada perasaan tidak enak dan tidak disenangi oleh pihak suami
terhadap istrinya hendaklah ia tetap menggauli istrinya itu dengan baik dan jangan
menceraikan istrinya.
Demikian pula halnya bagi pihak istri, didalam Islam tidak boleh mengambil
inisiatif untuk terjadinya suatu perceraian hanya karena tidak senang pada suaminya.
Apabila istri melakukan permintaan bercerai pada suaminya, maka ia akan menerima
kemarahan besar dari Allah SWT, hal ini dapat pula dilihat dari Hadis Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tarmidzi, Abu Daud dan Ibnu Madjah
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan manapun yang minta cerai pada
suaminya tanpa sebab-sebab yang wajar yang menghalalkan maka haramlah bagi
perempuan itu membaui atau merasakan kewangian surga nantinya”.77
3. Karena Putusan Pengadilan
Dalam hal ini adalah putusan-putusan Pengadilan Agama yang disebabkan
adanya hal-hal yang diluar talak atau gugatan, misalnya adanya permohonan pihak
ketiga terhadap suatu perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut untuk dibatalkan
yamg dikarenakan terjadinya kesalahan ataupun terdapatnya sebab lain.
Dalam hal putusan pengadilan ini juga dapat disebabkan karena perginya
salah satu pihak meninggalkan pihak lain dengan tidak memberitahukan
kepergiannya itu untuk jangka waktu yang lama dan dalam hal ini hakim berhak
menyatakan pihak yang pergi meninggalkan pihak lain tersebut hilang. Dengan
demikian maka perkawinan dalam hal ini adalah putusan dengan putusan pengadilan.
Dengan adanya pemutusan hubungan perkawinan maka akan terjadi persoalan
harta bersama. Hal ini merupakan masalah yang penting untuk dijamin karena
menyangkut kehidupan suami atau istri.
Allah SWT menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan
warisan dan sekaligus menjelaskan besarnya bagian ahli waris tersebut berikut
syarat-syaratnya ke dalam tiga ayat Al-Qur’an yang merupakan dasar-dasar ilmu faraid
(kewarisan) berikut rukun-rukun hukumnya.78Yaitu:
1. “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja maka dia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu atau bapak masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunya beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”79
2. “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para istri
78Syekh Muhammad Ali ash Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadis,Trigenda Karya, Bandung, 1995, hlm. 16.
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madarat (kepada ahli waris), (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”80
3. “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah
memberi fatwah kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara lelaki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.81
Berdasarkan ketiga ayat di atas dapat dijelaskan secara terperinci:
1. QS. An-Nisaa’ ayat 11
Menunjukkan bahwa:
1. Jika seseorang meninggalkan ahli waris seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka harta waris dibagi bersama, dengan ketentuan, laki-laki
mendapat dua bagian sedangkan wanita mendapat satu bagian.
2. Jika ahli waris terdiri dari beberapa laki-laki dan perempuan, maka semua ahli
waris mendapat bagian dengan ketentuan, bagian laki-laki dua kali lipat dari
bagian perempuan.
3. Jika di samping anak-anak, ada ahli waris yang mendapat bagian pokok seperti
suami atau istri, atau ayah dan ibu, maka pertama-tama memberikan bagian
pokok tersebut kepada orang yang berhak mendapatkannya sedangkan sisanya
dibagikan kepada anak-anaknya dengan ketentuan, bagian laki-laki dua kali
lipat dari bagian perempuan.
4. Ayah dan ibu mendapat bagian masing-masing 1/6 (dari seluruh harta) apabila
pewaris meninggalkan anak.
5. Apabila pewaris tidak meninggalkan anak, maka ibu akan mendapat bagian
1/3 harta dan sisanya yakni 2/3 diwarisi oleh ayah.
6. Apabila di samping ayah dan ibu, ada saudara si pewaris, dua orang atau lebih,
maka ibu mendapat bagian sebesar 1/6 harta, sisanya sebesar 5/6 menjadi
bagian ayah. Sedangkan saudaranya (baik laki-laki maupun perempuan) tidak
mendapat bagian sama sekali karena adanya ayah yang menghalangi mereka
untuk mendapatkan warisan.
2. QS. An-Nisaa’ ayat 12
Menunjukkan bahwa:
1. Bila istri meninggal dan tidak meninggalkan anak, suami mendapatkan ½
bagian. Bila istri meninggal dan meninggalkan anak, suami mendapatkan ¼
2. Bila suami meninggal dan tidak meninggalkan anak, istri mendapatkan ¼
bagian. Bila suami meninggal dan meninggalkan anak, istri mendapatkan 1/8
bagian.
3. Allah memberikan ketentuan warisan kepada saudara pada dua tempat. Pada
tempat pertama Allah menetukan memberi bagian bagi seorang saudara
sebesar 1/6, sedangkan untuk dua orang saudara atau lebih sebesar 1/3 yang
masing-masing mendapat bagian yang sama.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an diatas, Allah SWT menjelaskan bagian setiap ahli
waris dari para ahli waris yang berhak mendapatkan warisan dan sekaligus
menjelaskan besarnya bagian ahli waris tersebut berikut syarat-syaratnya. Allah juga
telah menjelaskan situasi dan kondisi seseorang kapan dia mendapat harta warisan
atau tidak, kapan dia mendapatkan bagian pokok atau bagian sisa, atau bagian pokok
dan bagian sisa sekaligus dan kapan seseorang terhalang mendapatkan bagian,
sehingga dia tidak mendapatkan bagian sama sekali maupun hanya mendapatkannya
sebagian kecil saja.
Jika setiap orang memahami dan mengerti ayat-ayat tersebut diatas maka
dengan mudah akan mengetahui bagian setiap ahli waris dan mengetahui
kebijaksanaan Allah Yang Maha Agung dalam menentukan pembagian warisan
secara terperinci dan adil. Allah tidak melupakan hak seorangpun dan tidak
melewatkan satu keadaan pun, baik anak kecil maupun orang dewasa, baik
Selain ayat-ayat diatas sebelumnya, terdapat ayat-ayat lain yang
membicarakan masalah kewarisan tetapi bersifat umum seperti ayat-ayat yang
mengenai hak-hak para ahli waris tanpa ada perinciannya.82Demikian juga ayat yang menjelaskan bahwa kerabat jauh memiliki hak untuk mendapatkan warisan, tetapi
tidak ada batasan atau penjelasan mengenai besar kecilnya bagian setiap ahli waris
tersebut.
Ayat-ayat yang menunjukkan pembagian harta bagi ahli waris dari kerabat
jauh tersebut adalah :
1. “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.”83
2. “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris mewarisi) didalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis didalam Kitab Allah.”84
3. “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan bapak ibu kerabatnya baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”85
Dalam ayat pertama dan kedua ditunjukkan bahwa kaum kerabat lebih berhak
atas harta warisan saudaranya daripada orang lain yang tidak ada hubungan kerabat
sama sekali. Dari ayat ketiga, Allah menghilangkan perlakuan dzalim terhadap dua
golongan yang lemah, yaitu wanita dan anak kecil dan memperlakukan keduanya
dengan adil dan penuh kasih sayang. Mereka diberi hak untuk mendapatkan warisan
82Syekh Muhammad Ali ash Shabuni,Op.Cit, hlm. 19. 83
sebagaimana Allah mewajibkan agar warisan diberikan kepada laki-laki dan
perempuan tanpa melihat perbedaan usia, serta menetapkan bagian tertentu untuk
masing-masing, baik banyak maupun sedikit, baik dengan kerelaan ahli waris
maupun tidak. Wanita dan anak-anak diberi bagian sesuai dengan kedudukannya.
Dan Allah menghapuskan kedzaliman dan ketidakadilan terhadap wanita dan
anak-anak. Ayat ketiga tersebut bersifat umum sedangkan perinciannya terdapat pada
ayat-ayat sebelumnya yang didalamnya Allah telah memberikan bagian tertentu
kepada setiap ahli waris dan inilah yang merupakan materi pokok ilmu waris.
Anggota pasangan keluarga yang terlama hidup, mewarisi pasangannya yang
terlebih dahulu meninggal. Suami mewarisi harta peninggalan istrinya disebut duda.
Istri mewarisi harta peninggalan suaminya disebut janda.
Dalam hukum waris Islam telah diatur dan ditata yang menyangkut peralihan
harta warisan dari seorang pewaris kepada para ahli warisnya. Proses peralihan
semacam ini dikenal dengan ilmu faraid, yakni ilmu pembagian harta waris. Ilmu
yang menerangkan ketentuan-ketentuan warisan yang menjadi bagian ahli waris yang
secara garis besarnya dibedakan dalam dua hal, yakni pertama sebagai
peraturan-peraturan tentang pembagian harta warisan, kedua sebagai peraturan-peraturan-peraturan-peraturan yang
menghitung bagian-bagian dari masing-masing yang berhak atas harta warisan.
Harta warisan baru dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris apabila dari
keseluruhan harta warisan yang ada tersebut telah dikeluarkan bagian dari harta
Allah SWT berfirman: “Sesudah diberikan wasiat yang diwasiatkan dan sesudah
dibayarkan hutang yang dibuat pewaris.”86
Dari ayat di atas jelas adanya keharusan untuk membebaskan hak-hak orang
lain yang tersangkut dalam harta peninggalan itu. Seandainya harta yang ditinggalkan
itu banyak sehingga sesudah dikeluarkan segala macam kewajiban yang terdapat
didalamnya, masih banyak harta yang ditinggalkan, tidak ada persoalan kewajiban
mana yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Tetapi bila harta yang ditinggalkan sedikit
dan tidak berkecukupan untuk menyelesaikan semua kewajiban, perlu dipikirkan
mana yang lebih dulu dipenuhi.
Untuk maksud tersebut perlu dijelaskan mengenai urutan-urutan kewajiban
yang harus dilakukan oleh ahli waris terhadap harta peninggalan kerabat yang telah
meninggal.
Di dalam Al-Qur’an hanya dua kewajiban yang disebutkan secara berurutan
sebagai persyaratan pembagian warisan untuk ahli waris yaitu wasiat dan hutang.
Sekalipun dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan wasiat lebih dahulu dari hutang,
namun tidak berarti bahwa dalam pelaksanaanya wasiat harus mendahului
pembayaran hutang. Yang dikehendaki Allah dalam ayat ini adalah wasiat dan hutang
lebih dahulu diselesaikan sebelum pembagian warisan.
Dalam penafsiran yang berlaku, semua ulama menyatakan bahwa pembayaran
hutang harus lebih dahulu dilakukan daripada mengeluarkan wasiat. Alasan hukum
yang digunakan oleh ulama ini adalah bahwa hutang merupakan suatu kewajiban
sedangkan wasiat hanyalah perbuatan baik yang dianjurkan. Bila bertemu kewajiban
dengan anjuran, kewajiban harus didahulukan.87
Dari uraian tersebut di atas, maka sampailah kepada pembahasan kedudukan
janda sebagai ahli waris dalam kewarisan Islam. Allah SWT berfirman “Bagi
istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu seperempat dari harta peninggalanmu, jika
bagimu tidak ada anak, Bagi istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu
seperdelapan dari harta peninggalanmu, jika bagimu ada anak”.88
Dari ayat ini memberi penjelasan bahwa janda terhadap harta peninggalan
almarhum suaminya akan memperoleh seperempat bagian, bila suami yang
diwarisinya tidak mempunyai anak yang berhak mewarisi baik secara dzawil furudh
(ahli waris yang mempunyai bagian tertentu sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an
dan Hadis). Dan janda almarhum suaminya akan memperoleh seperdelapan bagian,
bila suami yang diwarisinya mempunyai anak yang berhak sebagai ahli warisdzawil
furudh, baik yang lahir dari istri pewaris maupun dari istrinya yang lain.
Jika suami meninggal dunia meninggalkan beberapa janda maka janda itu
mendapat bagian yang sama dari dari seperempat atau seperdelapan dari harta
warisan almarhum suami mereka. Pada hakekatnya, menurut ketentuan Hukum
Islam, kedudukan janda dari almarhum suaminya, sama dengan kedudukan suaminya,
kedudukan bapak, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan yaitu tidak pernahmahjub
hirmanatau terhalang.
Dengan demikian janda dari almarhum suaminya tidak akan pernah
kehilangan hak waris dari pewaris. Hanya saja yang terjadi sebagaimana yang
tersebut dalam ayat Al-Qur’an yang dikemukakan di atas yaitu perubahan besarnya
bagian yang diperolehnya. Seorang janda akan memperoleh seperdelapan bagian dari
harta peninggalan suaminya jika mempunyai anak dan jika tidak mempunyai anak
memperoleh seperempat bagian.
Pada Zaman Jahiliyah (Zaman kebodohan) sebelum Islam, telah dikenal
adanya kewarisan antara yang meninggal dunia dan ahli warisnya. Harta warisan
hanya dibagikan kepada laki-laki saja, wanita sama sekali tidak mendapat waris, baik
kedudukannya sebagai ibu, istri maupun selain dari mereka ini dalam garis hukum
perempuan.
Orang yang mewarisi harta pusaka hanyalah kakak laki-lakinya atau anak
laki-laki sulungnya jika telah mencapai usia dewasa. Kemampuan untuk
mendapatkan harta pusaka dilihat dari kemampuan seseorang dalam mengatur urusan
keluarga dan kemampuannya dalam melindungi keluarga dari serangan musuh karena
mereka hidup selalu dalam berperang serta kemampuannya dalam hal mengusir
guna-guna yang diserang oleh kelompok yang lain.
Hingga sampai datangnya agama Islam, tradisi semacam ini tetap mereka
pertahankan. Oleh karena itu pada jaman jahiliyah jarang sekali ditemukan kaum
wanita mendapat pusaka dari orang tuanya.89 Orang yang mewarisi harta orang
tuanya hanyalah anak laki-laki, anak laki-laki pamannya atau anak laki-laki sulung
jika sudah mencapai usia dewasa.
Kaum Arab Jahiliyah memberikan persyaratan waris mewaris sesuai dengan
kondisi kehidupan masyarakat mereka. Oleh karena itu, mereka tidak mewariskan
pusaka kepada anak-anak yang masih belia dan kaum wanita, karena mereka
dianggap tidak mampu mengemban tugas menjaga ketertiban dan keamanan serta
memanggul senjata di medan perang. Wanita sama sekali tidak mendapatkan warisan,
lebih dari itu lagi wanita yang telah menjadi janda dalam sebagian keadaan diwarisi
pula, sebagaimana mewarisi harta pusaka orang lain.
Anak dari suami yang meninggal dunia boleh mewarisi istri ayahnya yang
meninggal dengan cara melemparkan kainnya kepada istri ayahnya itu, maka jadilah
istri ayahnya itu menjadi milik bagi anaknya, anaknyalah yang mengatur nasib dari
bekas istri ayahnya sebagaimana dikehendakinya, boleh dikawininya sendiri atau
dikawinkannya dengan orang lain dan maharnya diambilnya atau tidak dibolehkan
kawin lagi sampai mati dan setelah mati hartanya diwarisinya.90
Keadaan ini berlaku sampai datangnya agama Islam. Agama Islamlah
membebaskan perempuan dari diwarisi. Hal ini sesuai dengan firman Allah, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan
dengan jalan paksa.”91
Agama Islam datang untuk pertama kali membawa ajaran bahwa perempuan
mewarisi sama seperti saudara laki-laki sederajat (jarak dekatnya dari si mayit).
Ketika seorang Anshor yang bernama Aus bin Tsabit meninggal dan meninggalkan
dua putri dan satu anak laki-laki yang masih kecil, datanglah dua orang anak
pamannya yaitu, Khalid dan ‘Arfathah yang menjadi ‘ashabah. Mereka mengambil
semua harta peninggalannya, maka datanglah istri Aus bin Tsabit kepada Rasulullah
SAW, untuk menerangkan kejadian itu. Rasulullah bersabda: “Saya tidak tahu apa
yang harus saya katakan”, maka turunlah firman Allah SWT: “Bagi laki-laki ada
bahagian dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabat-kerabatnya dan bagi
perempuan ada pula bahagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabat-kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut pembagian yang telah ditetapkan.”92 Jelaslah dari ayat di atas bahwa ahli waris laki-laki maupun perempuan
sama-sama mendapat warisan dari pusaka yang ditinggalkan oleh ibu bapaknya dan
kerabatnya yang meninggal dunia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kedudukan janda untuk mendapat hak waris
diatur dalam Pasal 174 dan Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 174 Kompilasi
Hukum Islam itu menegaskan bahwa:93
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah
92QS. An-Nisaa’ayat 7.
- golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
- golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya
anak, ayah, ibu, janda atau duda. Sedangkan dalam pembagian harta warisan
janda diatur dalam Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan
bahwa janda mendapat seperempat bagian bila pewaris (almarhum suaminya)
tidak meninggalkan anak dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda
mendapat seperdelapan bagian.94
BAB IV
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR 646/PDT.G/2010/PA.MDN.
A. Kasus Posisi Beserta Isi Putusan Sengketa Harta Bersama Dan Harta Warisan Dalam Putusan Perkara Pengadilan Agama Medan Nomor 646/PDT.G/2010/PA.MDN
Duduk perkaranya adalah bermula dari meninggalnya pewaris di Medan pada
tanggal 17 Maret 2009 karena menderita sakit. Almarhum meninggalkan seorang
janda, delapan orang anak kandung dan satu orang anak angkat. Adapun yang
menggugat/penggugat dalam perkara ini adalah janda (Penggugat I), tiga orang anak
kandung perempuan (Penggugat II, III, IV), satu orang anak kandung laki-laki
(Penggugat V) dan satu orang anak angkat laki-laki (Penggugat VI). Yang digugat
(tergugat) adalah empat orang anak kandung perempuan (Tergugat I, II, III dan IV).
Bahwa Penggugat I telah menyampaikan permintaan kepada Pergugat II, III,
IV, V dan VI agar semua harta peninggalan almarhum segera dijual dan dibagi untuk
membiayai pengobatan/penyembuhan Penggugat I. Penggugat II, III, IV, V dan VI
dapat menyetujui permintaan Penggugat I tersebut di atas. Para Penggugat telah
berulang kali menghubungi Para Tergugat untuk segera menjual harta peninggalan
almarhum guna menanggulangi biaya-biaya pengobatan dan perawatan Penggugat I,
akan tetapi Para Tergugat tidak menyetujuinya.
Dalam hal ini, Penggugat memandang sikap Tergugat bertentangan dengan
kepada Pengadilan Agama Medan agar menetapkan Penggugat I sebagai istri
almarhum mempunyai hak atas setengah bagian harta pencarian bersama/harta
syarikat dan sisa setengah bagian lainnya menjadi harta warisan yang dibagikan
kepada semua ahli waris almarhum. Perkawinan tersebut sejak tahun 1950
berdasarkan Surat Kawin tanggal 30 April 1950 yang dikeluarkan Kadi Medan Timur
dan karenanya telah menjalani hidup bersama dengan almarhum suaminya dalam
ikatan perkawinan selama kurang lebih 59 tahun.
Para Penggugat telah mengajukan gugatan dengan surat tanggal 19 April 2010
yang telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan pada tanggal 5 Mei
2010 dengan Register Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn. Gugatan tersebut telah
diperbaiki dan disempurnakan dengan surat tanggal 28 Juli 2010.
Pada posita dijelaskan bahwa Para Tergugat seharusnya membagi harta
peninggalan almarhum kepada janda dan ahli waris almarhum tersebut di atas, akan
tetapi Para Tergugat menolaknya, maka untuk mencegah dan menghindari terjadinya
pemindah tanganan, penjualan, penyewaan, penggelapan dan pengagunan terhadap
harta peninggalan almarhum sehingga pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama
Medan dalam hubungan perkara ini tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,
Para Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Medan agar berkenan membuat
suatu Penetapan untuk melaksanakan dan meletakkan sita jaminan (conservatoir
beslag) atas seluruh harta peninggalan almarhum yang menjadi objek gugatan.
Adapun Petitum dari Para Penggugat adalah sebagai berikut:
2. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum Surat Pernyataan Ahli Waris tanggal
24 Maret 2009.
3. Menetapkan Para Penggugat dan Para Tergugat adalah ahli waris almarhum
dan yang mempunyai hak mewarisi harta peninggalan sesuai dengan Surat
Pernyataan Ahli Waris tanggal 24 Maret 2009.
4. Menetapkan barang-barang tidak bergerak sebagaimana diuraikan di atas
adalah merupakan harta bersama/harta syarikat yang diperoleh selama masa
perkawinan Pewaris dengan Penggugat I.
5. Menetapkan Penggugat I sebagai istri almarhum mempunyai hak atas ½
bagian harta pencarian bersama/harta syarikat dan sisa ½ bagian lainnya
menjadi harta warisan yang dibagikan kepada semua ahli waris almarhum.
6. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris almarhum sesuai dengan
hukum Islam dan melaksanakan pembagian harta peninggalan almarhum
untuk dibagi-bagikan kepada para ahli warisnya dan apabila pelaksanaan
pembagian harta warisan tidak dapat dilakukan secara natura maka dilakukan
penjualan secara lelang.
7. Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum terhadap tindakan Tergugat yang
memindahtangankan, menjual, menyewakan, mengagunkan harta peninggalan
almarhum.
8. Menghukum Para Tergugat untuk menyerahkan bagian warisan yang menjadi
9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar uang sewa rumah toko
yang terletak di Jalan Brig. Jend. Katamso no.28-G Medan, kepada Para
Penggugat/ Para Ahli Waris sebesar Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta
rupiah) setiap tahun, terhitung sejak tahun 2009 sampai dengan saat putusan
pengadilan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
10.Menghukum Tergugat I dan Tergugat II menyerahkan dan mengosongkan
tanah dan bangunan rumah toko yang terletak di Jalan Brig. Jend. Katamso,
karena termasuk harta peninggalan almarhum.
11.Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslaag) yang
ditetapkan atas harta peninggalan almarhum sebagaimana diuraikan di atas.
12.Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar uang
paksa (dwangsom) kepada Para Penggugat sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah) perhari terhitung sejak tanggal putusan perkara sampai dengan saat
dapat dilaksanakan putusan perkara apabila para Tergugat ingkar/lalai
melaksanakan putusan perkara.
13.Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu
meskipun ada perlawanan, banding, kasasi upaya hukum lainnya (Uit
voerbaar bij Voorraad Verklaard).
14.Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya-biaya perkara secara
tanggung renteng.
15.Menyatakan Penggugat V adalah anak angkat yang diakui secara sah oleh
16.Menyatakan Penggugat V adalah ahli waris yang sah dari almarhum dan
berhak mendapat bagian warisan dari harta peninggalan almarhum.
Atau apabila Pengadilan Agama Medan berpendapat lain maka Para
Penggugat memohon agar dapat diberikan putusan yang seadil-adilnya (Ex
aequo et bono).
Terhadap gugatan tersebut, Para Tergugat mengajukan Eksepsi dan Gugatan
Rekonpensi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
1. Surat gugatan Para Penggugat jelas salah, karena Penggugat I adalah ibu
kandung Para Tergugat yang sudah uzur (tua sekali) tidak mampu bertindak
menurut hukum dalam keadaan stroke (lumpuh) tidak dapat menulis lagi,
tidak dapat sempurna lagi untuk bicara dan tidak dapat dengan sempurna
menyatakan kehendaknya sehingga Para Tergugat tidak meyakini bahwa
tanda tangan Penggugat I adalah tanda tangan ibu kandung Para Tergugat
yang sebenarnya.
2. Bahwa surat gugatan yang diajukan oleh Penggugat V yang bukan merupakan
anak kandung almarhum tetapi anak dari almarhum abang kandung pewaris
tidak berhak untuk bertindak sebagai ahli waris.
3. Surat gugatan tentang pembagian warisan almarhum jelas salah dan tidak
lengkap atau kesengajaan untuk menggelapkan, karena tidak semua harta
bersama didaftarkan/terdaftar sebagai warisan (budel waris) seperti
a. Satu rumah diatas sebidang tanah yang terletak di Kecamatan Medan
Timur, Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat I.
b. Sebidang tanah seluas kurang lebih 1.300 m2 terletak di Kotamadya
Medan, Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat I.
c. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 hektar, terletak di Sialang Buah,
Surat Keterangan Camat atas nama Penggugat I dan juga kurang lebih 2
hektar terdaftar atas nama almarhum.
d. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 hektar, terletak di Percut Sei Tuan,
Surat Keterangan Camat terdaftar atas nama Penggugat I dan juga seluas
kurang lebih 2 hektar terletak di Percut Sei Tuan terdaftar atas nama
almarhum.
e. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 hektar, terletak di Sipirok, Tapanuli
Selatan, Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat I dan juga seluas 2
hektar terdaftar atas nama almarhum.
f. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 hektar, terletak di Sidikalang,
Kabupaten Dairi, Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat I.
- Sertifikat-sertifikat dan surat-surat tanah tersebut berada ditangan
Penggugat.
4. Bahwa gugatan Para Penggugat jelas salah, karena Para Penggugat menggugat
bertindak selaku ahli waris dari almarhum tanpa adanya Surat Penetapan atau
Dalam Rekonpensi:
1. Bahwa apa yang telah diutarakan dan dikemukakan di dalam eksepsi dan di
dalam Pokok Perkara dinyatakan secara tegas adalah satu kesatuan posita
dengan apa yang tertera di dalam posita rekonpensi sehingga tidak perlu
diulang lagi.
2. Para Tergugat memohon Penetapan Hakim yang menyatakan bahwa Para
Tergugat sama-sama mempunyai hak dan kewajiban terhadap Penggugat I
untuk mengurus dan merawat sebagaimana layaknya untuk kesembuhan dan
kebaikan Penggugat I tersebut.
3. Melarang Penggugat I, III, IV, V dan VI menghalang-halangi atau melakukan
perbuatan kewajiban selaku anak terhadap ibu yaitu Penggugat I.
4. Menetapkan Penggugat I, II, III, IV, VI dan Para Tergugat sebagai ahli waris
almarhum.
5. Menyatakan dan menetapkan secara hukum bahwa Penggugat I sudah tidak
mampu melakukan perbuatan hukum dan di bawah Pengampuan Hukum.
6. Menetapkan walinya dalam perbuatan hukum wakil Penggugat dan Tergugat.
7. Menetapkan memberikan izin kepada Para Tergugat untuk menjenguk dan
merawat Penggugat I.
8. Menghukum Penggugat II, III, IV, V, VI untuk mengembalikan Penggugat I
ke rumahnya di Jalan Sei Mencirim Medan.
Amar putusan Pengadilan Agam Medan Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.
Dalam Eksepsi:Menolak eksepsi dari Para Tergugat.
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian.
2. Menetapkan ahli waris yang berhak atas tirkah(harta peninggalan) almarhum
adalah sebagai berikut:
a. Penggugat I ( janda )
b. Penggugat II ( anak kandung perempuan)
c. Penggugat III ( anak kandung perempuan )
d. Penggugat IV (anak kandung perempuan )
e. Penggugat VI ( anak kandung laki-laki )
f. Tergugat I (anak kandung perempuan)
g. Tergugat II (anak kandung perempuan)
h. Tergugat III (anak kandung perempuan)
3. Menetapkan Penggugat V sebagai anak angkat yang berhak mendapat bagian
daritirkah(harta peninggalan) almarhum.
4. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris dan anak angkat atas harta
peninggalan almarhum sebagai berikut:
a. Penggugat I, --- 10/80 bagian
b. Penggugat II, --- 7/80 bagian
c. Penggugat III, --- 7/80 bagian
d. Penggugat IV, --- 7/80 bagian
f. Tergugat I, --- 7/80 bagian
g. Tergugat II, --- 7/80 bagian
h. Tergugat III, --- 7/80 bagian
i. Tergugat IV, --- 7/80 bagian
j. Penggugat V, --- 7/80 bagian
5. Menetapkan harta sebagai berikut:
a. Sebidang tanah seluas 85 m² berikut bangunan toko bertingkat yang
didirikan di atasnya setempat dikenal dengan Jalan Pemuda Medan dan
sekarang berubah menjadi Brig. Jend. Katamso Medan.
b. Sebidang tanah, seluas 1.316 m² berikut bangunan rumah di atasnya, yang
terletak setempat dikenal dengan Jalan Haji Agus Salim DesaMadras Hulu,
Kecamatan Medan Baru, Kota Medan.
c. Sebidang tanah seluas 943 m², berikut bangunan rumah yang terletak di
atasnya terletak di Jalan Sei Mencirim Ujung, Desa Babura Kuala Batuan,
Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan.
d. Sebidang tanah seluas 19.979 m², terletak di Desa Sugiharjo, Kecamatan
Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang.
Adalah harta bersama almarhum dengan jandanya (Penggugat I)
6. Menyatakan seperdua dari harta tersebut di atas menjadi hak Penggugat I dan
seperdua selebihnya menjaditirkah/harta warisan peninggalan almarhum yang
7. Menghukum seluruh ahli waris dan anak angkat tersebut untuk membagi
seperdua dari harta tersebut dengan pembagian secara natura dan jika tidak
dapat dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Lelang Negara dan
hasilnya dibagikan kepada seluruh ahli waris dan anak angkat.
8. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah
diletakkan atas objek sengketa dengan Penetapan tanggal 22 Desember 2010
Nomor 646/Pdt.G/2010/PN.Mdn jis Berita Acara Sita Jaminan tanggal 30
Desember 2010 dan tanggal 7 Januari 2011.
9. Menyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvangkelijk verklaard) gugatan Para
Penggugat yang selain dan selebihnya.
Dalam rekonpensi: Menolak gugatan Para Penggugat Rekonpensi/Para Tergugat Konpensi untuk seluruhnya.
Dalam peradilan tingkat banding, putusan Pengadilan Agama tersebut telah
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Medan dengan putusan Nomor
38/Pdt.G/2011/PTA.Mdn.
B. Analisis Terhadap Putusan Dan Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn
Setelah membaca duduk perkara dalam kasus ini dapat analisis bahwa
masalah yang disengketakan antara Para Penggugat dan Para Tergugat adalah tentang
pembagian harta bersama dan harta warisan yang menjadi hak janda dan para ahli
terhadap harta peninggalan pewaris didalam keluarga timbul ketika para ahli waris
merasa adanya ketidakadilan dalam pembagian harta peninggalan.
Untuk mencari keadilan yang diinginkan maka para pihak yang merasa tidak
menerima keadilan tersebut membuat suatu gugatanwaris mal warispada Pengadilan
Agama yang disertai pula dengan gugatan terhadap harta bersama dalam perkawinan.
Adapun yang menjadi dasar hukum atas kewenangan untuk mengadili perkara bagi
orang-orang yang beragama Islam pada Pengadilan Agama terdapat pada
Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989. Dalam Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam.95
Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama mengenai pengaturan
penyelesaian harta bersama terdapat pada penjelasan ayat 2 Bab III Pasal 49 UU
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang menjelaskan bahwa penyelesaian harta
bersama kini menjadi wewenang Peradilan Agama dan diselesaikan di Pengadilan
Agama saja, penting artinya bagi bekas istri dan bekas suami bersangkutan. Ini
perubahan penting dan mendasar dalam sistem peradilan Indonesia. Di waktu yang
lalu, soal harta bersama baru dapat dimajukan kemudian dan diselesaikan oleh
pengadilan negeri, bukan oleh pengadilan agama.
Mengenai kewenangan Peradilan Agama di dalam Pasal 49 ayat 1 UU
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 diperluas dalam UU Nomor 3 tahun 2006
95
Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama. Tidak hanya
sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang
Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.
Di dalam Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa “…Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: ..b. waris...”
Penjelasan lebih detail mengenai permasalahan waris apa saja yang diatur
dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 49 huruf b UU Peradilan Agama yang berbunyi
“…Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris…”
Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa yang berhak untuk menyelesaikan
hal-hal yang berhubungan dengan harta bersama dan harta warisan (faraid) adalah
Pengadilan Agama.
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan
penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan
kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat selesai dan
pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan, maka
Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau
dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka
dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang
bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara
yang mereka hadapi.
Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan
kepastian dan mencerminkan keadilan hakim sebagai aparatur negara dan sebagai
wakil Tuhan yang melaksanakan peradilan harus mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis
dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak. Putusan
merupakan salah satu produk Pengadilan Agama yang merupakan tujuan bagi pencari
keadilan untuk mencari haknya yang dikuasai oleh orang lain agar dikembalikan
melalui proses persidangan atau untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan
hukum yang tetap (In racht van gewijsde), artinya suatu putusan hakim yang tidak
dapat di ubah lagi.96
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 produk pengadilan
agama ada 2 (dua), yaitu:
1. Putusan (vonis)
2. Penetapan (beschikking)
Putusan disebut juaga al-qadla’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama
karena ada dua pihak yang berlawanan dalam perkara antara Penggugat dan Tergugat.
Produk Pengadilan Agama ini biasa diistilahkan dengan produk keadilan yang
sesungguhnya atau jurisdicto cententiosa.97 Putusan adalah salah satu produk Pengadilan Agama yang merupakan tujuan bagi pencari keadilan untuk mencari
haknya yang dikuasai oleh orang lain agar dikembalikan melalui proses persidangan
atau untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap (In racht
van gewijsde), artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat di ubah lagi.98
Putusan dilakukan karena adanya gugatan. Dalam hal gugatan yang diajukan,
karena terdapat sengketa terhadap objek waris. Hal ini bisa disebabkan karena adanya
ahli waris yang tidak mau membagi warisan sehingga terjadi konflik antara ahli
waris. Proses akhir dari gugatan ini akan melahirkan produk hukum berupa putusan.
Sedangkan Penetapan disebut juga al-itsbat (Arab), yaitu suatu penetapan
diambil berhubungan dengan suatu permohonan. Permohonan yang diajukan para ahli
waris dalam hal tidak terdapat sengketa. Terhadap permohonan tersebut pengadilan
akan mengeluarkan produk hukum berupa penetapan.
Untuk menganalisis putusan dan pertimbangan hakim dalam Putusan
Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn ini, dapat dilakukan ke dalam
beberapa aspek hukum, yaitu:
97Rasyid, A., Raihan,Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 203.
Dalam Eksepsi
Majelis Hakim berpendapat eksepsi Para Tergugat tidak tepat dan patut untuk
di tolak. Para Tergugat telah menyampaikan eksepsi yang mendalilkan gugatan Para
Penggugat telah salah karena Penggugat I sudah uzur, telah dibantah Para Penggugat
dan dapat dibuktikan bahwa Penggugat masih dapat menerakan tandatangannya pada
surat gugatan dan surat kuasa ditambah bukti surat Para Penggugat (Fotocopy
penjelasan tertulis tentang kondisi Penggugat I yang dibuat dan ditandatangani
seorang Dokter dan Fotocopy Laporan Rangkuman Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Klinik), dengan demikian dalil eksepsi Para Tergugat ini tidak terbukti.
Mengenai Para Tergugat mendalilkan gugatan yang diajukan oleh orang yang
tidak berhak karena Penggugat V bukanlah anak kandung almarhum tetapi anak
angkat, namun anak angkat V merupakan persona standi in judicio (sama sama
berhak mengajukan gugatan bersama Penggugat lainnya) yang patut mengajukan
gugatan walaupun bukan sebagai ahli waris.99 Pengadilan Agama menetapkan penggugat V sebagai anak angkat yang berhak mendapat bagian daritirkahatau harta
peninggalan Almarhum.
Adapun pertimbangan hakim dalam menetapkan hal tersebut adalah
pengangkatan telah dilakukan secara hukum dengan bukti fotokopi kutipan akta
kelahiran atas nama penggugat V yang dikeluarkan Kepala Kantor Catatan Sipil
Medan, dengan demikian kedudukan penggugat V sah sebagai anak angkat
Almarhum. Karena penggugat V bukan anak kandung maka penggugat V tidak
termasuk ahli waris tetapi masih bisa mendapatkan harta warisan peninggalan
Almarhum berdasarkan wasiat wajibah sesuai Pasal 209 ayat 2 KHI (yang
menyatakan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya) dengan
bagiannya sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya,
yang dalam perkara ini Majelis Hakim berpendapat untuk memenuhi rasa keadilan
maka bagian anak angkat disamakan dengan bagian seorang anak perempuan.
Menurut Hukum Islam, mengangkat seorang anak adalah perbuatan yang
dibenarkan.100 Anak angkat menurut Hukum Islam tidak memiliki status yang sama dengan anak kandung. Pengangkatan anak tidak boleh berakibat putusnya hubungan
darah dengan orangtua kandung jadi harus untuk tujuan membantu kesejahteraan
anak itu saja, tanpa ada maksud lain. Hak waris anak angkat tetap dengan orang tua
kandungnya sedangkan dengan orangtua angkat tidak ada hak mewaris. Walaupun
demikian orang tua angkat dapat memberikan sebagian hartanya kepada anak angkat
melalui hibah atau melalui wasiat. Besarnya harta yang boleh dhibahkan atau
diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga.
Apabila tidak ada hibah atau wasiat yang diterima oleh anak angkat maka dia
berhak menerima wasiat wajibah yang batasannya sama dengan pemberian wasiat
yaitu maksimum sepertiga bagian. Batasan maksimum sepertiga ini secara rasional
lebih menjamin pembagian waris yang adil karena tidak mungkin memberikan bagian
yang lebih besar dari yang diperoleh anak kandung.
Di dalam eksepsi Para Tergugat disebutkan bahwa gugatan tentang pembagian
warisan almarhum jelas salah dan tidak lengkap atau dengan sengaja menggelapkan,
karena tidak semua harta bersama didaftarkan/terdaftar sebagai warisan (budel
waris). Hakim menyatakan bahwa eksepsi tersebut tidak tepat. Adapun yang menjadi
pertimbangan Hakim adalah alasan Para Tergugat tersebut tidak dapat dijadikan dasar
untuk menolak atau tidak menerima gugatan Para Penggugat, karena dalam
mengajukan gugatanwaris mal waristidak harus seluruh harta peninggalan dijadikan
objek gugatan.
Berdasarkan wawancara dengan Hidayat Nassery selaku Ketua Majelis Hakim
yang memutus perkara ini, mengenai objek harta bersama yang tidak ikut dibagi dan
merupakan eksepsi Para Tergugat, Para Penggugat dalam rekonpensi tidak meminta
objek tersebut dibagi sehingga eksepsi tersebut menjadi tidak tepat, oleh karenanya
patut ditolak.101
M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa bila Penggugat dianggap tidak
berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas
kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak
seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil gugatannya bahwa
tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan dalam gugatan,
maka gugatan akan ditolak.102
Pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan
berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang
memeriksa pekara. Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan
Undang-Undang pembuktian.
1. apakah alat bukti yang di ajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat
formil dan materil.
2. alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian.
3. dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yag terbukti.
4. sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak.
Selanjutnya diikuti analisis hukum apa yang diterapkan untuk menyelesaikan
perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu dilakukan pertimbangan terhadap
argumentasi yang objektif dan rasional, pihak mana yang mampu membuktikan dalil
gugat atau dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil
argumentasi itulah hakim menjelaskan pendapatnya, apa saja yang terbukti dan tidak
dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara
yang akan dituangkan dalam diktum putusan.
Menurut Abdul Halim Ibrahim, terhadap objek gugatan yang tidak dijadikan
sebagai budel waris dalam perkara ini, dapat juga diajukan dalam gugatan yang
baru.103 Eksepsi mengenai objek gugatan yang tidak dimasukkan dalam budel waris tidak dapat dibuktikan oleh Para Tergugat, hal ini dapat di lihat dari tidak adanya
bukti-bukti surat yang diajukan Para Tergugat kepada Majelis Hakim, sehingga
eksepsi tersebut di tolak.
Dalam Privisi
Terhadap provisi Para Tergugat yang meminta agar Majelis Hakim
memerintahkan Para Tergugat untuk menghentikan semua tindakan memindah
tangankan, mengalihkan, menjual, menyewa dan mengagunkan objek sengketa,
Majelis Hakim menyatakan tidak dapat diterima, karena dalam pertimbangannya
Majelis Hakim telah meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) dengan penetapan
tanggal 22 Desember 2010 Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn., dengan demikian
permohonan Para Tergugat telah terpenuhi.
Sita Jaminan (Conversatoir Beslag) berasal dari perkataan conserveren
(menyimpan). Makna conversatoir beslag ialah menyimpan hak-hak seorang untuk
menjaga agar Penggugat tidak dirugikan oleh perbuatan Tergugat. Syarat-syarat
utama sita jaminan adalah:104
1. Harus ada sangka yang beralasan, bahwa Tergugat sebelum putusan dijatuhkan
atau dilaksanakan akan menggelapkan atau menghilangkan barang-barangnya,
untuk menjamin gugatan agar tidak hampa (illusoir).
103Wawancara, Abd. Halim Ibrahim, Hakim AnggotaPengadilan Agama Kelas I A Medan dalam Putusan Perkara PA No.646/Pdt.G/2010/PA.Mdn. pada tanggal 2 Mei 2012.
104Drs. H. Ghufron Sulaiman (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Makassar),
Macam-Macam Sita Dalam Hukum Perdata,
2. Barang yang di sita itu berupa kepunyaan yang terkena sita, artinya bukan
milik Penggugat.
3. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara
tersebut.
4. Dapat dilakukan atau diletakkan baik tehadap barang bergerak atau yang tidak
bergerak.
Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi sita eksekusi
karena sita jaminan menurut asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat
perkara yang bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Permohonan Para Penggugat agar Para Tergugat secara tanggung renteng
untuk membayar uang paksa (dwangsom) Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah) perhari
terhitung sejak tanggal putusan perkara sampai dengan saat dapat dilaksanakan
putusan perkara bila Para Tergugat ingkar/lalai melaksanakan putusan perkara,
Majelis Hakim berpendapat kurang tepat untuk dimintakan pada provisi, karena
dwangsom hanya dapat dikenakan kepada pihak yang dikalahkan manakala putusan
tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya setelah putusan mempunyai kekuatan
hukum tetap, dengan demikian pengajuandwangsompada gugatan provisi dipandang
premature sehingga dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvangkelijk verklaard).
Putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan provisionil dapat dilihat
pengecualiannya adalah terhadap pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini
dan putusannya yang beluminkracht.105
Tentang Konpensi
Majelis Hakim menyatakan seperdua dari harta tersebut diatas menjadi harta
bersama dan seperdua selebihnya menjadi tirkah atau harta peningalan Almarhum
yang dibagikan kepada para ahli waris dan anak angkat yang tersebut diatas. Dalam
menyelesaikan kasus harta bersama dan harta warisan, para hakim di Pengadilan
Agama merujuk kepada nash (teks) Al-Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan dan hukum positif di
Pengadilan Agama.106
Sebelum terbentuknya Kompilasi Hukum Islam, harta bersama dalam
masyarakat Islam di Indonesia hanya berpedoman pada adat yang berlaku dan
mengacu pada Hadis Qudsi berdasarkan firman Allah SWT yang menyatakan bahwa
Allah bersama-sama orang yang bersyarikat selama salah seorang dari yang
berkongsi itu tidak mengkhianati kawannya. Harta syarikat (harta bersama) dalam
perkawinan dalam Hukum Islam disebut syirkah ‘abdan (perkongsian tenaga) dan
mufawadah (perkongsian tidak terbatas). Perkongsian antara suami istri merupakan
perikatan yang dimulai dengan ijab kabul pada akad nikah, suami atau istri
bermaksud agar perkawinan mereka kekal abadi dan tidak akan cerai sampai mereka
meninggal dunia.
105Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000tentang Putusan Serta Merta Dan Provisionil.
Abdul Halim Ibrahim juga mengatakan bahwa terhadap gugatan harta
bersama di Pengadilan Agama Medan selalu memutuskan harta bersama dibagi dua
yaitu setengah bagian istri dan setengahnya lagi merupakan bagian suami. Kompilasi
Hukum Islam merupakan hukum terapan pada Peradilan Agama. Kalau ada putusan
yang bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam maka putusan tersebut adalah
putusan kontra legem yaitu melawan ketentuan undang-undang yang dianggap tidak
adil dalam kondisi tertentu dengan disertai alasan yang akurat.107
Menurut keterangan Para Penggugat harta yang menjadi objek sengketa
tersebut adalah harta bersama Almarhum dengan Penggugat I yang mana ternyata
tidak dibantah oleh Para Tergugat dan telah didukung dengan bukti surat Para
Penggugat yaitu: fotokopi Sertifikat Hak Milik nomor 272 atas nama Almarhum yang
dikeluarkan Kantor Agraria Kotamadya Medan, fotokopi Sertifikat Hak Milik nomor
18 atas nama Almarhum yang dikeluarkan Kantor Direktorat Kotamadya Medan,
fotokopi Sertifikat Hak Milik nomor 34 atas nama Almarhum yang dikeluarkan
pendaftaran dan pengawasan pendaftaran tanah Medan, fotokopi Sertifikat Hak Milik
nomor 1 atas nama Almarhum yang dikeluarkan Kantor Agraria Kabupaten Deli
Serdang.
Dengan demikian dalil Para Penggugat tentang Para Tergugat dalam hal ini
menjadi telah terbukti. Karena antara Almarhum dengan jandanya (Penggugat I)
ternyata tidak ada perjanjian tertentu mengenai harta bersama maka dengan telah
meninggalnya Almarhum penyelesaian harta bersama diselesaikan berdasarkan Pasal
96 ayat 1 KHI, dimana seperdua harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama (Penggugat I), dan seperdua selebihnya menjadi tirkah (harta warisan)
yang menjadi hak ahli waris.
Adapun gugatan Para Penggugat terhadap uang sewa rumah toko yang harus
dibayar Tergugat I dan Tergugat II kepada Para Penggugat yang terletak di Jalan
Brigjend. Katamso Medan, Hakim menilai gugatan tersebut aquo obscuur (kabur),
karena tidak adanya perjanjian yang dibuat oleh Para Penggugat dengan Tergugat I
dan Tergugat II.108
Pengadilan Agama Medan menetapkan ahli waris yang berhak atas
tirkah/harta peninggalan Almarhum adalah Penggugat I, II, III, IV,VI dan Tergugat I,
II, III, IV dengan pertimbangan bahwa Penggugat I adalah janda dari Almarhum
sedangkan penggugat dan tergugat tersebut diatas adalah anak kandung Almarhum,
yang semuanya beragama Islam, dan telah diakui oleh Para Tergugat.
Dengan demikian mereka merupakan ahli waris yang berhak atas harta
peninggalan Almarhum sesuai Pasal 174 ayat 1 huruf a dan b KHI, yang menyatakan
hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan kekerabatan karena ada hubungan
alamiah (seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan
kerabat dengan ibu yang melahirkannya) diantara keduanya dan atas dasar hubungan
perkawinan disebabkan adanya hubungan hukum antara suami istri.
Hubungan kekerabatan berlaku antara seorang anak dengan seorang laki-laki
sebagai ayahnya, bila anak tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang
berlaku antara si laki-laki dengan ibu yang melahirkannya. Hal ini sesuai dengan
Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Al-Bukhori dan Muslim yang
bunyinya “seseorang anak yang sah disebabkan oleh akad nikah”.
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada
akad nikah yang sah. Tentang akad nikah yang sah ditetapkan dalam Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat 1 yang mengatakan bahwa
perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang
beragama Islam adalah sah bila menurut Hukum Islam perkawinan tersebut adalah
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Dasar hukum menetapkan harta bersama dalam perkawinan menurut Hukum Islam
adalah Hadis Qudsi dari Abu Hurairah r.a.. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Allah SWT berfirman: “Aku adalah ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama
yang seorang tidak mengkhianati kawannya, tapi apabila ia khianat aku keluar
dari mereka”. Adat kebiasaan masyarakat muslim yang baik dan sudah lama
berlangsung dan tidak ada sanggahan dari Para Ulama Islam juga menjadi dasar
hukum untuk menetapkan harta bersama dalam perkawinan yang dirumuskan
dalam Kompilasi Hukum Islam.
2. Kedudukan janda terhadap harta bersama ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam
adalah disamping janda mendapat setengah bagian dari harta bersama, juga
mendapat hak waris ¼ (seperempat) bagian bila suami yang diwarisinya tidak
meninggalkan keturunan dan 1/8 (seperdelapan) bagian bila suaminya ada
meninggalkan keturunan. Para Ulama setuju bahwa harta bersama yang
dirumuskan pada Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI mengambil syarikat
abdan (perkongsian tenaga) sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta
bersama suami istri dalam kompilasi.
3. Dalam menyelesaikan sengketa harta bersama pada perkara Pengadilan Agama
ini, Hakim menetapkan bahwa harta bersama di bagi dua antara janda dengan
almarhum suaminya. Adapun yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus
adalah sesuai dengan Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang telah menjadi
hukum terapan yang berlaku bagi peradilan agama di Indonesia. Pertimbangan
Hakim juga didasarkan pada sahnya perkawinan menurut agama Islam dan tanpa
membuat perjanjian perkawinan sehingga harta yang diperoleh dalam perkawinan
dinyatakan sebagai harta bersama.
Saran
1. Diharapkan kepada instansi yang terkait agar Kompilasi Hukum Islam dapat
ditingkatkan kedudukannya menjadi undang-undang, mengingat Kompilasi
Hukum Islam telah dijadikan hukum terapan pada peradilan agama.
2. Terhadap pembagian harta bersama dalam perkawinan sebaiknya Para Perumus
Kompilasi Hukum Islam dapat melenturkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, mengingat realita dalam kehidupan keluarga
dibeberapa daerah di Indonesia ada pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam
membangun ekonomi rumah tangga.
Sedangkan terhadap ketentuan pembagian harta warisan bagi muslim yang
pada dasarnya bersifat mengatur (regelen), tidak bersifat mutlak (dewingend)
dalam arti para pihak dimungkinkan untuk membagi warisan di luar ketentuan
yang telah ditetapkan dalam faraid, tentunya sepanjang kesepakatan dan kehendak
kemudian setelah diterima bagiannya atau sekurang-kurangnya sudah tahu bagian
yang sesuai dengan faraid, barulah diserahkan kepada pihak lain bagian itu baik
kepada orang tua, saudara atau lainnya dalam bentuk shadaqoh, hibah atau hadiah.
Dengan demikian sudah melakukan dua macam ibadah kepada Allah SWT
dalam objek yang sama, yaitu dengan cara membagi waris secara Islam dan
memberi shadaqoh kepada orang lain. Keduanya merupakan bagian dari ibadah
kepada Allah SWT.
3. Hakim diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tertentu
mengingat realita dalam kehidupan keluarga di beberapa daerah di Indonesia ada
pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi keluarga.
Putusan dapat diambil secara kontra legem(bertentangan dengan Pasal 96 ayat 1
Kompilasi Hukum Islam) bila ketentuan tersebut dianggap tidak adil dalam
kondisi tertentu dengan disertai alasan yang akurat. Hal ini sesuai dengan Pasal
229 KHI yang menyatakan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan