• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMODELAN HYBRID BIOEKONOMI UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DI PULAU-PULAU KECIL ENY BUDI SRI HARYANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMODELAN HYBRID BIOEKONOMI UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DI PULAU-PULAU KECIL ENY BUDI SRI HARYANI"

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)

DI PULAU-PULAU KECIL

ENY BUDI SRI HARYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)
(3)

i

PERNYATAAN

MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemodelan Hybrid

Bioekonomi untuk Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Pulau-Pulau Kecil adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2010 Eny Budi Sri Haryani

(4)

ABSTRACT

ENY BUDI SRI HARYANI. Hybrid Bioeconomic Modelling for Managing Marine Protected Area in Small Islands. Under direction of AKHMAD FAUZI SYAM, DANIEL R. MONINTJA and ALEX S.W. RETRAUBUN.

Degradation of fisheries resources in Raja Ampat regency, province of West Papua, in the coast and marine areas poses a serious problem. This pressure is aggravated by the lack of natural resources management system based on scientific studies. This research tries to answer these problems by developing a hybrid bioeconomic modelling to safeguard of MPA management in small islands areas to support community wellfare; and will be achieved through four main objectives, namely: (1) to analyze general condition of marine resources, marine protected area (MPA) and communities; (2) to analyze performance baseline (condition without MPA) of capture fisheries under different regime of MSY, MEY and open access and compared these regime with the condition after MPA applied; (3) to analyze social economics impact of MPA on fisherman; and (4) to formulate hybrid bioeconomic modelling based on the dominan factor of MPA management. Economic parameters used consist of price, cost, and input production. The model estimates the following biological parameters i.e, r (growth rate)=0.6314 (%), q (coefficient of fishing catchability)=0.0066 (per trip), and K (carrying capacity)=41.6662 (ton). The findings indicate that capture fisheries in Raja Ampat have not in overfishing yet. Effort level under open access regime has been analyzed at 78.11 trip per week, MSY regime at 47.92 trip per week and MEY regime at 39.06 trip per week. At sole owner (MEY) regime, economic rent could be generated as much as Rp. 4,040,425.19 per week. This is the highest rent compared to MSY regime (Rp. 40,825,341.52 per week) and open access regime (Rp. 0 per week). Actual production and economic rent by MPA are higher than without MPA. Implementing MPA would call for reduction of effort, which indicates that MPA would make fisheries management more efficient. Total area of MPA has significant influence on production, effort and economic rent. There is a maximum size of MPA to achieve maximum economic rent, it means “bigger is better” in case of MPA would not relevant. MPA principles based on spill over effect was modeled using spill over coefficient i.e, β model. The model shows that increase in β will increase of economic rent (β of 0.1 has harvest (h)=4.71 tones per week and β of 0.5 to be increased h up to 7.78 tones per week). The analysis using β model has shown better performance than σ model (size model). It means spill over effect management is more efficient for effectiveness of MPA. Spill over effect or β model named by Haryani-Fauzi model or HF model as novelty of this research has shown at MEY, production and economic rent bigger than σ model. MPA increased fish cath and fisherman income. Rent capture mechanism of MPA benefits could be used by means of payment for environmental services (PES). Three options of MPA model consist of: government lead, NGO lead and community lead. MPA in Raja Ampat, firstly managed by government lead and changed to NGO lead, then respectively will be changed to community lead. Key words: Raja Ampat Regency, marine protected area, bioeconomic model,

(5)

ENY BUDI SRI HARYANI. Pemodelan Hybrid Bioekonomi untuk Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Pulau-Pulau Kecil. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI SYAM, DANIEL R. MONINTJA dan ALEX S.W. RETRAUBUN.

Degradasi sumberdaya ikan di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, merupakan masalah serius, pada saat ini dan di masa yang akan datang. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya sistem pengelolaan sumberdaya ikan yang didasari pada kajian-kajian ilmiah yang akurat. Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan diatas, dengan tujuan umum mengembangkan model hybrid bioekonomi untuk pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di pulau-pulau kecil berbasis perikanan tangkap, yang dapat mensejahterakan masyarakat; yang akan dicapai melalui empat tujuan khusus yaitu: (1) menganalisis kondisi umum sumberdaya ikan, KKL dan masyarakat; (2) menganalisis performance baseline (sebelum penerapan KKL) perikanan tangkap pada kondisi MSY, MEY/sole owner dan open access, dibandingkan dengan performance setelah penerapan KKL di pulau-pulau kecil; (3) menganalisis dampak sosial ekonomi pengembangan KKL terhadap nelayan perikanan tangkap; dan (4) menyusun model bioekonomi KKL yang mempertimbangkan faktor dominan dalam pengelolaan KKL. Parameter ekonomi yang digunakan adalah harga, biaya dan input produksi, dengan parameter biologi yang dianalisis berupa x (biomas), r (pertumbuhan alami), q (koefisien daya tangkap) dan K (kapasitas daya dukung lingkungan).

Dari hasil analisis kondisi umum KKL melalui persepsi masyarakat atau analisis PSR (pressure-state-response), bahwa tekanan (pressure) yang ada di

KKL Raja Ampat adalah: (1) rendahnya kesejahteraan masyarakat pesisir; (2) penangkapan ikan sebagai tumpuan harapan terakhir bagi mata pencaharian

penduduk pesisir; (3) penangkapan ikan oleh pendatang (illegal fishing); dan (4) perairan laut kaya sumberdaya pertambangan yang setiap saat siap untuk

dieksploitasi. Sementara kondisi (state) yang ada meliputi: (1) perikanan tangkap cukup baik, dengan jumlah kapal bertambah, ikan yang ditangkap bertambah, nelayan bertambah dan harga ikan lebih baik, dengan biaya melaut meningkat; (2) ekosistem pesisir semakin baik, luas terumbu karang bertambah dan semakin baik, luas mangrove bertambah dan juga semakin baik; (3) kualitas perairan semakin baik, belum mengalami pencemaran yang signifikan, baik akibat limbah domestik maupun aktivitas pariwisata dan pelabuhan; (4) belum mengalami degradasi sumber daya alam yang signifikan baik pada ikan, terumbu karang, mangrove dan lamun; (5) ukuran ikan semakin besar sehingga harga jual semakin tinggi, dengan jenis ikan semakin banyak dan pendapatan semakin bertambah; (6) KKL menambah hasil tangkapan nelayan, berperan untuk kelestarian ekosistem, menangkap ikan dan menghalangi menangkap ikan, namun KKL

menguntungkan pariwisata dan melindungi pesisir dari bencana; serta (7) kesejahteraan masyarakat bertambah, sehingga masyarakat berpendapat KKL

adalah baik. Perubahan kondisi tersebut direspon dengan menyusun peraturan desa (perdes) atau peraturan daerah (perda) untuk melindungi sumberdaya ikan,

(6)

dan melakukan konservasi sumberdaya ikan.

KKL di perairan Kabupaten Raja Ampat terkelola dengan baik yang dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan, yang dapat dilihat berdasarkan 3 (tiga) aspek yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Aspek keberlanjutan secara ekologi, ditunjukkan bahwa dengan adanya KKL terjadi peningkatan stok sumberdaya ikan. Aspek keberlanjutan secara ekonomi, ditandai dengan adanya KKL menyebabkan surplus ekonomi meningkat, yaitu sebagian masyarakat merasakan terjadi peningkatan pendapatan setelah dibentuknya KKL di wilayah mereka. Aspek keberlanjutan secara sosial memang belum terjadi perubahan yang signifikan, hal ini disebabkan nelayan di sekitar wilayah KKL adalah nelayan subsisten yang bersifat tradisional, sehingga belum ada peningkatan perubahan sosial yang berarti.

Dari analisis bioekonomi, armada tangkap yang digunakan adalah perahu yang mendaratkan ikan karang atau demersal di Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Sorong. Hasil analisis bahwa diperoleh nilai r sebesar 0,6314 (%); nilai q sebesar 0,0066 (per trip) dan nilai K sebesar 41,6662 (ton). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perikanan tangkap di perairan Kabupaten Raja Ampat belum overfishing, baik secara biologi dan ekonomi, juga tingkat upaya penangkapan efisien.

Hasil analisis tingkat effort pada kondisi open access sebanyak 78,11 trip per minggu, untuk MSY sebanyak 47,92 trip per minggu dan MEY sebanyak 39,06 trip per minggu. Pada kondisi sole owner (MEY) keuntungan atau rente yang diperoleh sebesar Rp. 43.040.425,19 per minggu, merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan rejim pengelolaan open access (Rp. 0 per minggu) dan MSY (Rp. 40.825.341,52 per minggu). Produksi aktual dengan KKL lebih besar dibandingkan tanpa KKL, demikian pula rente ekonomi yang dihasilkan. Adanya KKL, nilai effort menurun, artinya KKL menyebabkan upaya pengelolaan sumberdaya ikan lebih efisien.

Luasan KKL sangat berpengaruh terhadap nilai produksi, effort dan rente yang dihasilkan. Rente yang diperoleh tanpa KKL cenderung tidak terpengaruh dengan penambahan luasan KKL. Namun rente dengan KKL, bahwa semakin luas KKL semakin menguntungkan, dan pada luasan tertentu mencapai nilai rente maksimum, yang berarti “bigger is better” dalam kasus KKL tidak berlaku untuk seluruh luasan KKL. Penambahan luasan KKL di bawah 0,5 (50%) di Kabupaten Raja Ampat masih dapat meningkatkan manfaat ekonomi, yaitu masih berada diatas manfaat ekonomi aktual tanpa KKL. Disisi lain rente terus mengalami penurunan seiring dengan penurunan tingkat produksi dan jumlah effort, meskipun luasan KKL terus meningkat.

Hasil analisis bioekonomi KKL dengan model σ (sigma atau luasan) dan model β (beta atau spill over effect), bahwa model β menunjukkan keragaan yang lebih baik dibandingkan model σ. Model β merupakan novelty atau kebaruan dari penelitian ini, yang merupakan pemodelan hybrid bioekonomi sebagai modifikasi dari model bioekonomi konvensional Gordon-Schaefer dengan penambahan konstanta β yang merupakan nilai dari spill over effect, yaitu perbandingan nilai KKKL dan Knon-KKL, dengan nilai β berkisar 0 < β < 1. Model β atau model spill over effect selanjutnya diberi nama model bioekonomi Haryani-Fauzi atau model HF, yang tersusun atas model HF-1, HF-2 dan HF-3, yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan KKL.

(7)

(luasan). Artinya bahwa jika KKL dikelola dengan baik (rezim MEY) akan menghasilkan produksi yang lebih baik, yang ditunjukkan perbedaan nilai rente ekonomi sebesar 28% (kisaran σ dan β 10%) sampai 95% (kisaran σ dan β 50%). Dengan adanya KKL, yang ditunjukkan semakin tingginya nilai β, maka produksi (h) dan rente yang dihasilkan semakin meningkat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa prinsip KKL adalah spill over effect (β), semakin besar nilai β semakin meningkat rente yang dihasilkan. Sebagai contoh nilai β sebesar 0,1 memberikan nilai produksi (h) sebesar 4,71 ton per minggu; nilai β sebesar 0,5 memberikan peningkatan produksi hingga 7,77 ton per minggu. Perbandingan kurva yield-effort bahwa spill over effect (β) dengan KKL menunjukkan peningkatan produksi dan effort yang cukup signifikan, dibandingkan tanpa KKL.

Dampak sosial-ekonomi KKL terhadap nelayan, bahwa spill over effect meningkatkan hasil tangkapan ikan dan pendapatan. Disisi lain, dampak posistif KKL terhadap pemerintah, bahwa KKL dapat digunakan sebagai sumber pendapatan negara dengan menerapkan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (payment for economic services atau PES), yang dapat pula digunakan sebagai sustainable finanching untuk pengembangan KKL. Oleh sebab itu dukungan legal framework dan kelembagaan yang jelas sangat penting untuk pengembangan PES dalam pengembangan KKL ini.

Dalam pengelolaan KKL terdapat 3 (tiga) model yaitu government lead, NGO lead dan community lead. Government lead merupakan sebuah model pengelolaan KKL yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah, biasanya dilakukan oleh pemerintah daerah. NGO lead merupakan sebuah model pengelolaan KKL yang memberikan peluang bagi NGO untuk berpartisipasi dan berperan aktif memegang kendali pengelolaan KKL. Community lead merupakan sebuah model pengelolaan KKL yang memberikan kekuasaan kepada masyarakat untuk melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan KKL. Fakta riil bahwa pengembangan KKL di Kabupaten Raja Ampat adalah berjenjang, yaitu dimulai pada tahap awal saat inisiasi merupakan government lead, kemudian saat ini telah bergeser menjadi NGO lead dengan fasilitasi pemerintah, yang diperkirakan dimasa mendatang apabila masyarakat telah siap akan bergeser menjadi community lead.

Kata kunci: Kabupaten Raja Ampat, kawasan konservasi laut, model bioekonomi, rente ekonomi, spill over effect.

(8)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)

DI PULAU-PULAU KECIL

ENY BUDI SRI HARYANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(10)

viii

Penguji Luar Komisi Pembimbing:

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup (14 Agustus 2010):

1. Prof. Dr. Ir. Molyono S. Baskoro, M.Sc. 2. Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc.

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka (21 September 2010):

1. Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. 2. Dr. Ir. Budi Wiryawan, M.Sc.

(11)

ix

Judul Disertasi : Pemodelan Hybrid Bioekonomi untuk Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Pulau Pulau Kecil

Nama Mahasiswa : Eny Budi Sri Haryani Nomor Induk Mahasiswa : C 561040124

Program Studi : Teknologi Kelautan (TKL)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi Syam, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Retraubun, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana, Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(12)
(13)

xi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas karunia-Nya penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan dan dengan demikian hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kelautan dan perikanan.

Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan program doktor (strata-3) dengan judul ”Pemodelan Hybrid Bioekonomi untuk Pengembangan

Kawasan Konservasi Laut di Pulau-Pulau Kecil”. Permasalahan ini menarik,

sebab telah terjadi pro dan kontra dalam pengembangan KKL. Di satu sisi KKL sangat penting untuk menjamin pengelolaan perikanan berkelanjutan dan pelaksanaan integrated coastal and ocean management, tetapi disisi lain masyarakat terutama nelayan skala kecil menganggap pengembangan KKL menurunkan hasil tangkapan mereka sehingga tidak mensejahterakan kehidupan mereka. Permasalahan ini perlu diklarifikasi, agar pengembangan KKL tidak hanya menguntungkan secara biologi atau ekologi, namun juga sosio-ekonomi masyarakat. Kemudian pengembangan KKL relatif banyak berada di gugus pulau-pulau kecil yang merupakan multiple use zone, sehingga interaksi yang terjadi perlu dikaji, apakah pengembangan KKL di pulau-pulau kecil menguntungkan secara biologi, ekologi dan sosio-ekonomi. Pengkajian hal tersebut bukan suatu yang sederhana, sehingga melalui penelitian ini dikembangkan pemodelan hybrid bioekonomi, antara lain untuk mengkuantifikasi spill over effect di KKL. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mengklarifikasi permasalahan tersebut diatas dan memberikan policy option bagi Pemerintah.

Untuk mewujudkan hasil penelitian sesuai tujuan, telah dilakukan survei di lokasi penelitian yaitu di KKL Kabupaten Raja Ampat, provinsi Papua Barat, pada bulan September 2008 dan dilanjutkan sampai dengan bulan Februari 2009. Kemudian analisis data dan penulisan hasil dilakukan paralel dengan pelaksanaan penelitian lapangan, sampai dengan selesainya penulisan disertasi ini. Sementara survey pre-proposal, desk study dan penyusunan proposal telah dilakukan selama 2 (dua) tahun yaitu sejak Juli 2006 sampai dengan Agustus 2008.

Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

(14)

juga Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, serta Prof. Dr. Ir. Alex S.W Retraubun, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah dengan sabar dan tulus memberikan bimbingan kepada penulis sejak penulisan proposal hingga selesainya penulisan disertasi ini;

2. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc yang telah menguji dan memberikan masukan pada saat ujian tertutup; juga Dr. Ir. Victor P.H Nikijuluw, M.Sc dan Dr. Ir. Budi Wiryawan, M.Sc yang juga telah menguji dan memberikan masukan pada saat ujian terbuka;

3. Rektor IPB, dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB, dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dan ketua program studi TKL IPB; beserta dosen dan jajarannya yang telah membantu untuk kelancaran studi;

4. Prof. Dr. Ir. Syamsul Maarif, M.Eng, yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis, pada saat beliau menjabat Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP;

5. Dr. Sudirman Saad, SH. M.Hum, Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang telah mengijinkan penulis menyelesaikan studi dan disertasi ini. Juga Dr. Ir. Irwandi Idris, M.Si; Ir. Ferriyanto H. Djais, M.S; Ir. Yaya Mulyana; Ir. Ida Kusuma Wardhaningsih; dan Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng; selaku atasan langsung penulis selama penulis studi, yang telah memberikan ijin waktu dan kesempatan menyelesaikan studi dan disertasi ini. Kemudian Prof. Ir. Widi A. Pratikto, M.Sc, PhD dan Dr. Ir. Ali Supardan, M.Sc yang dapat memahami keinginan penulis untuk studi S3 ini; 6. Ir. Agus Dermawan, M.Si; Dr. Ir. Tony Ruchimat, M.Sc; Ir. Eko Rudianto,

M.Bus; Ir. Sunaryanto, M.S; Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc; dan teman-teman sejawat para kasubdit, para kepala seksi dan seluruh staf Ditjen KP3K, serta tim pelaksana Coremap II Pusat, atas dorongan, bantuan dan pengertiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan disertasi ini; 7. Bupati Raja Ampat, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat

beserta jajarannya, Kepala Dinas Pariwisata Raja Ampat, Kepala Bappeda Kabupaten Raja Ampat, konsultan dan tim pelaksana Coremap II Raja Ampat, kepala dan jajaran Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lau

(15)

xiii

Sorong, kepala dan jajaran Akademi Perikanan Sorong, kepala dan jajaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong dan Kabupaten Sorong, nelayan dan masyarakat pesisir lainnya serta stakholders yang berada di lokasi penelitian, yang telah memberikan fasilitasi dan membantu kelancaran selama survei lapangan dan pengumpulan data;

8. Dr. Ir. Dedy H. Sutisna, M.Si (Dirjen Perikanan Tangkap KKP); Dr. Drs. Meizar, M.Si (Pemda Propinsi Lampung); Ir. Ibnu Purna, M.Sc (Sekretaris Menteri Sekretaris Negara) dan Ir. Suryanto, M.Sc (Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan KKP); sebagai teman seangkatan di program doktor IPB, yang telah memberikan dukungan dan suasana nyaman selama studi dan penyelesaian disertasi ini;

9. Dr. Dra. Suzy Anna, M.Si; Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc; Dr. Ir. Neviaty Zamani, M.Sc; Dina Riana, S.Pi, M.Si; Benny Nababan, S.Pi, M.Si; Lalu Solihin, S.Pi, M.Si; Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si; Intan Adhi Perdana Putri, S.Pi, M.Si; yang telah membantu ide, survei lapangan, pengolahan data, pengkayaan substansi dan referensi, persiapan ujian tertutup dan terbuka, serta finalisasi penulisan disertasi;

10. Almarhum dan almarhumah ayah dan ibu, kakak dan seluruh keluarga lainnya, yang telah memberikan dorongan moril dan materiil serta doa yang tiada hentinya selama penulis studi dan penyelesaian disertasi ini;

11. Teman dan sahabat serta semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang telah dengan tulus membantu selama studi dan penyelesaiaan disertasi ini.

Penulis berharap disertasi ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak khususnya para penentu kebijakan dan pelaku kelautan-perikanan di wilayah dilaksanakannya penelitian ini, atau pun di wilayah seluruh Indonesia dan juga global. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi penulis dalam melaksanakan pendidikan Pascasarjana IPB.

Bogor, Oktober 2010 Eny Budi Sri Haryan

(16)

xiv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pacitan, Jawa Timur, tanggal 23 Oktober 1964, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan bapak Siswosoesanto (Alm) dan ibu Soekatmi (Almh). Pendidikan sarjana (strata-1) ditempuh pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus tahun 1989. Pendidikan magister (strata-2) ditempuh pada Program Studi Teknologi Kelautan (TKL) IPB, lulus tahun 2004. Program doktor (strata-3) ditempuh pada Program Studi TKL IPB sejak 2004 sampai saat ini.

Awal bekerja (1989) penulis bekerja di Jakarta di perusahaan swasta perikanan selama 1 tahun. Tahun 1990-2001 penulis sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Bidang Karantina Ikan, Pusat Karantina Pertanian, Departemen Pertanian, dengan posisi terakhir sebagai Koordinator Fungsional Pengendali Hama dan Penyakit Ikan. Pada tahun 2001, penulis pindah ke Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), sejalan dengan dibentuknya departemen baru tersebut. Selama di DKP penulis pernah menjabat sebagai: (1) Kepala Subbagian Kerjasama Program; (2) Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pengendalian Pencemaran Laut; (3) Kasubdit Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu; (4) Kasubdit Tata Ruang Pulau-pulau Kecil; (5) Kasubdit Rehabilitasi Kawasan Konservasi, dan saat ini penulis menjabat sebagai Kasubdit Rehabilitasi dan Pendayagunaan Pesisir dan Lautan pada Direktorat Pesisir dan Lautan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Pernulis pernah mengikuti training, symposium ataupun seminar di bidang teknis kelautan dan perikanan, manajemen, kepemimpinan dan bidang ilmu-ilmu sosial lainnya, baik di dalam dan luar negeri. Beberapa training di luar negeri yang pernah penulis ikuti antara lain: (1) Training Course on Ocean Policy di Wolloggong University Australia (2005); (2) Training Course on The Role of Protected Areas in Integrated Coastal Management di National University of Singapore, (2002); (3) Training Course on Rapid Diagnosis of Fish Diseases di James Cook University, Australia (1998); (4) Training Course on Fishing Technology and Aquaculture di Pukyong National University, Pusan-South

(17)

xv

Korea (1996); (5) Training Course on Fish Physiology and Prevention of Epizootics di National University of Fisheries, Shimonoseki-Japan (1995).

Beberapa pertemuan nasional yang pernah penulis ikuti dan relevan dengan penelitian ini antara lain di Konferensi Nasional (KONAS) Pengelolaan Pesisir V (2006) di Batam, VI (2008) di Manado dan VII (2010) di Ambon. Menjadi pembicara pada pertemuan internasional antara lain di: (1) Coastal Zone Asia Pacific Conference (CZAP) di Batam (2006); dan (2) ICRI (International Coral Reef Initiative) di Tokyo-Jepang (2008). Pada tahun 2009 penulis menjadi DELRI pada Ministerial Roundtable on Oceans di Sidang Umum UNESCO ke-35 di Paris-Perancis. Pada awal tahun 2010 penulis menjadi pembicara pada Regional Steering Committee Meeting ke-6 Mangrove for the Future di Cam An-Thailand. Penulis aktif sebagai tim substansi pada penyusunan Manado Ocean Declaration (MOD) di World Ocean Conference (WOC) Manado pada Mei 2009. Dua paper bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan di Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap berjudul: (1) Analisis Bioekonomi Ikan Karang di Perairan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, Volume XVIII, No. 3, edisi Desember 2009; (2) Pendekatan Bioekonomi dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, Volume XIX, No. 1, edisi April 2010. Dua paper sedang dalam proses penerbitan yaitu: (1) Pressure State Response Sebuah Evaluasi Kondisi Kawasan Konservasi Laut, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat; dan (2) Valuasi Ekonomi Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat”. Paper lainnya dalam proses penerbitan di jurnal internasional yaitu “Spill Over Effect of Marine Protected Area as Hybrid Factor of Bioeconomic Modelling”.

Penulis mendapatkan Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Sapta 10 Tahun dari Presiden RI, sebagai penghargaan atas pengabdian sebagai PNS selama 10 tahun terus menerus. Tahun 2009 penulis mendapatkan penghargaan internasional “The Blue Starfish Award (BSFA)” adalah penghargaan yang diberikan oleh Asosiasi Aquarium Besar Berlin (Berliner Gessellschaft für Großaquarien/BGG)-Jerman kepada penulis, karena dinilai telah terbukti memiliki komitmen yang luarbiasa terhadap penyelamatan ekosistem terumbu karang (coral reef) dan habitat laut (marine habitat).

(18)
(19)

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN ... xxvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.2.1 Keberlanjutan sumberdaya perikanan ... 8

1.2.2 Kawasan konservasi laut ... 11

1.2.3 Dampak pembangunan terhadap pulau-pulau kecil ... 12

1.2.4 Pemodelan bioekonomi KKL di pulau-pulau kecil... ... 14

1.3 Perumusan Masalah ... 15

1.4 Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian ... 19

1.4.1 Tujuan penelitian ... 19

1.4.2 Kegunaan hasil penelitian ... 19

1.5 Kerangka Pemikiran ... 20

1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 24

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 27

2.1 Konsep Keberlanjutan dalam Perikanan ... 27

2.2 Model Bioekonomi ... 29

2.3 Konservasi Sumberdaya Ikan ... 34

2.4 Kawasan Konservasi Laut ... 37

2.5 Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Laut ... 46

2.6 Kebijakan Pengembangan Pulau-pulau Kecil ... 49

2.6.1 Pengertian pulau-pulau kecil ... 51

2.6.2 Karakteristik pulau-pulau kecil ... 53

2.6.3 Tipologi pulau-pulau kecil ... 54

(20)

xviii

Halaman

2.7 Paradigma Pembangunan Pulau-pulau Kecil ... 55

2.8 Hasil Penelitian Terdahulu ... 57

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 61

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 61

3.2 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 62

3.3 Pemetaan Proses Penelitian ... 63

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 67

3.5 Metode Analisis Data... 68

3.5.1 Analisis pressure state response (PSR) ... 68

3.5.2 Analisis bioekonomi tanpa KKL ... 69

3.5.3 Analisis bioekonomi KKL ... 70

3.5.3.1 Model σ (model sigma atau model luasan) ... 70

3.5.3.2 Model β (model beta atau model spill over effect) ... 72

3.5.3.2.1 Asumsi model... 72

3.5.3.2.2 Pengembangan model ... 73

3.5.4 Valuasi ekonomi KKL ... 74

3.5.5 Ex-ante impact dan ex-post impact sosial dan ekonomi ... 76

3.5.6 Analisis implikasi kebijakan... 76

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 77

4.1 Letak Geografis dan Administratif ... 77

4.2 Kondisi Hidrooseanografi ... 79

4.3 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut ... 83

4.4 Potensi Perikanan ... 87

4.5 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 89

4.5.1 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin ... 90

4.5.2 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dan agama .. 90

4.5.3 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ... 91

4.5.4 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ... 91

4.5.5 Indeks pembangunan manusia (IPM) ... 92

(21)

xix

Halaman

5 EVALUASI KONDISI KKL... 95

5.1 Pressure, State, Response (PSR) KKL Raja Ampat ... 95

5.1.1 Pressure KKL Raja Ampat ... 96

5.1.2 State KKL Raja Ampat ... 97

5.1.3 Response terhadap kondisi KKL Raja Ampat ... 101

5.1.4 Keterkaitan PSR dengan nilai ekonomi sumberdaya ikan dan pendapatan masyarakat ... 104

5.1.5 Keterkaitan antara PSR dengan keberadaan KKL ... 106

5.2 Pengelolaan Existing ... 109

5.2.1 Pengembangan perikanan tangkap ... 109

5.2.2 Pengembangan perikanan budidaya... 112

5.2.3 Pengembangan pariwisata bahari ... 112

5.2.4 Pengembangan kawasan konservasi laut (KKL) ... 114

5.2.5 Rencana induk pengembangan kelautan dan perikanan Kabupaten Raja Ampat ... 119

5.2.6 Rencana pengembangan untuk pengelolaan terumbu karang ... 123

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL ... 125

6.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang ... 125

6.1.1 Nilai manfaat ikan karang ... 125

6.1.2 Nilai manfaat budidaya mutiara ... 125

6.1.3 Nilai manfaat budidaya teripang ... 126

6.1.4 Nilai manfaat budidaya rumput laut ... 126

6.2 Nilai Ekonomi Sumberdaya Mangrove ... 127

6.2. 1 Manfaat langsung ekosistem mangrove ... 128

6.2.2 Manfaat tidak langsung ekosistem mangrove ... 133

6.2.3 Manfaat mangrove untuk wisata... 135

6.2.4 Nilai keberadaan mangrove ... 135

7 MODEL BIOEKONOMI, DAMPAK KESEJAHTERAAN DAN IMPLIKASI MODEL PENGELOLAAN KKL ... 139

(22)

xx

Halaman 7.1.1 Estimasi parameter biologi ... 139 7.1.2 Estimasi parameter ekonomi ... 141 7.1.3 Rezim pengelolaan sumberdaya ikan karang atau demersal .... 142 7.2 Model Bioekonomi dengan KKL ... 145 7.2.1 Model bioekonomi KKL dengan luasan (σ atau sigma

model) ... 145 7.2.2 Model bioekonomi KKL dengan spill over effect (β atau beta model atau Haryani-Fauzi model atau HF model) ... 154 7.3 Perbandingan σ Model (Model Luasan) dan β Model (Model Spill Over

Effect) ... 159 7.4 Dampak Kesejahteraan ... 164 7.4.1 Dampak terhadap masyarakat (ex ante) ... 164 7.4.2 Dampak terhadap pemerintah (ex post)... 165 7.5 Implikasi Model Pengelolaan KKL ... 166 7.6 Aplikasi Model Pengelolaan KKL Kabupaten Raja Ampat ... 169 8 KESIMPULAN DAN SARAN... ... 171 8.1 Kesimpulan ... 171 8.2 Saran ... 173 DAFTAR PUSTAKA ... 177 LAMPIRAN ... 189

(23)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sebaran suhu permukaan tahunan di perairan Kabupaten Raja Ampat .... 79 2. Sebaran parameter oseanografi di perairan Kabupaten Raja Ampat

(permukaan) ... 80 3. Sebaran parameter oseanografi di perairan Kabupaten Raja Ampat

(kedalaman 10 m) ... 80 4. Jumlah kampung, luas wilayah daratan, jumlah dan kepadatan penduduk

di Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2006 ... 89 5. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di tiap distrik di Kabupaten

Raja Ampat ... 90 6. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di tiap distrik di

Kabupaten Raja Ampat ... 91 7. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kabupaten Raja

Ampat. ... 92 8. Angka IPM Kabupaten Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan Tahun

2005-2006 ... 93 9. Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Raja Ampat ... 93 10. La ju p e rt u mbu ha n s e k t o r a l P D R B Ka bu p at e n R a ja A mp a t

tahun 2007 ... 94 11. Hasil analisis pressure, state, response KKL Raja Ampat ... 104 12. Komoditas budidaya unggulan serta lokasinya ... 112 13. Nilai manfaat langsung terumbu karang dari penangkapan ikan

karang di Kabupaten Raja Ampat ... 125 14. Nilai manfaat tidak langsung sumberdaya terumbu karang untuk

budidaya mutiara di Kabupaten Raja Ampat... 126 15. Nilai manfaat tidak langsung sumberdaya terumbu karang untuk

budidaya teripang di Kabupaten Raja Ampat ... 126 16. Nilai manfaat tidak langsung sumberdaya terumbu karang untuk

budidaya rumput laut di Kabupaten Raja Ampat ... 127 17. Kuantifikasi nilai manfaat ekosistem mangrove... 127

(24)

xxii

Halaman 18. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Kabupaten Raja

Ampat ... 129 19. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove di Kabupaten Raja

Ampat ... 133 20. Nilai keberadaan ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat ... 136 21. Keluaran variabel regresi model CYP ... 140 22. Hasil estimasi parameter biologi dengan fungsi logistic ... 140 23. Hasil estimasi parameter ekonomi ... 141 24. Hasil analisis bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan Karang

atau demersal di Kabupaten Raja Ampat ... 143 25. Hasil analisis bioekonomi tanpa KKL dan dengan KKL dala m

pengelolaan sumberdaya ikan karang atau demersal di Kabupaten Raja Ampat ... 146 26. Hasil perhitungan simulasi dengan β model (HF model) ... 156 27. Perbandingan produksi dan keuntungan dengan σ model ... 159 28. Perbandingan produksi dengan β model (HF model) ... 159 29. Perbandingan nilai ekonomi antara σ model dan β model (HF model) .... 160 30. Perbandingan nilai ekonomi antara σ model dan β model (HF model) .... 161 31. Perbandingan nilai produksi antara σ model dan β model (HF model) .... 162 32. Perbedaan rente aktual dengan rente KKL pada σ model ... 162 33. Perbedaan rente aktual dengan rente KKL pada β model (HF model) ... 163 34. Perbandingan surplus ekonomi σ model dan β model (HF model) ... 163

(25)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Perumusan masalah pengelo laan sumberdaya ikan di KKL d i

pulau-pulau kecil ... 17 2. Kerangka pikir penelitian untuk melihat interaksi antara karakteristik,

permasalahan dan kebijakan KKL serta pemodelan bioekonomi ... 22 3. Kerangka pikir penelitian untuk melihat keterkaitan antara spill over

effect,dan solusi pemodelan yang dapat dikembangkan ... 23 4. Kurva pertumbuhan logistik ... 30 5. Hubungan antara input dan output perikanan ... 32 6. Keseimbangan bioekonomi Gordon-Schaefer ... 33 7. Prinsip manfaat ekonomi KKL (Fauzi dan Anna 2005) ... 48 8. Karakteristik pulau kecil (DKP 2007i) ... 54 9. Hubungan antara lingkungan dan pertumbuhan ekonomi (DKP, 2007i) .. 56 10. Lokasi KKL dan sebaran satwa di Kabupaten Raja Ampat ... 61 11. Pemetaan proses penelitian... 65 12. Pemetaan proses analisis ... 66 13. Posisi geografis Kabupaten Raja Ampat ... 78 14. Evaluasi kondisi perikanan tangkap di KKL Raja Ampat ... 97 15. Evaluasi kondisi perairan di KKL Raja Ampat ... 98 16. Evaluasi kondisi terumbu karang dan mangrove di KKL Raja Ampat ... 99 17. Evaluasi kondisi ukuran dan jenis ikan di KKL Raja Ampat ... 100 18. Response terhadap perubahan dengan adanya KKL di Raja Ampat... 102 19. Evaluasi ukuran ikan, jumlah jenis ikan, pendapatan dan harga jual ikan 105 20. Evaluasi terhadap pengaruh adanya KKL ... 107 21. Tingkat pendidikan responden untuk manfaat keberadaan ekosistem

mangrove di Kabupaten Raja Ampat ... 137 22. Perkembangan produksi (h) tanpa KKL (aktual) dan dengan KKL,

dengan luas KKL 10-60% ... 147 23. Perbandingan produksi aktual dan dengan effort ditingkatkan 5% ... 148 24. Perbandingan produksi aktual dan dengan effort ditingkatkan 6% ... 148

(26)

xxiv

Halaman 25. Perbandingan produksi aktual dan dengan effort ditingkatkan 7% ... 149 26. Perbandingan produksi aktual dan dengan effort ditingkatkan 8% ... 149 27. Perbandingan effort aktual dengan KKL dan effort aktual tanpa KKL .... 150 28. Perbandingan manfaat ekonomi sumberdaya ikan tanpa KKL dan

dengan KKL... ... 151 29. Kurva yield-effort dan total revenue dengan luasan KKL (σ = 10%) ... 152 30. Kurva yield-effort dan total revenue dengan luasan KKL (σ = 20%) ... 153 31. Kurva yield-effort dan total revenue dengan luasan KKL (σ = 30%) ... 153 32. Kurva yield-effort dan total revenue dengan luasan KKL (σ = 40%) ... 154 33. Kurva yield-effort dan total revenue dengan luasan KKL (σ = 50%) ... 154 34. Kurva yield-effort dengan spill over effect (β = 10%) ... 156 35. Kurva yield-effort dengan spill ove effect (β = 30%) ... 157 36. Kurva yield-effort dengan spill over effect (β = 40%) ... 157 37. Kurva yield-effort dengan spill over effect (β = 50%) ... 158 38. Perbandingan produksi (A) dan rente ekonomi (B) σ model ke β model . 160 39. Perbandingan effort pada σ model dan β model ... 161 40. Perbandingan produksi pada σ model dan β model ... 162 41. Perbandingan surplus ekonomi pada σ model dan β model ... 164 42. Community lead model ... 167 43. Government lead model... 168 44. NGO lead model ... 168

(27)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta aksesebilitas Kabupaten Raja Ampat ... 189 2. Peta hidrooseanografi Kabupaten Raja Ampat ... 190 3. Peta perikanan budidaya di Kabupaten Raja Ampat... 191 4. Peta potensi wisata di Kabupaten Raja Ampat ... 192 5. Peta KKLD Misool Timur-Selatan ... 193 6. Peta KKLD Kofiai-Boo ... 193 7. Peta KKLD Selat Dampier ... 194 8. Peta KKLD Teluk Mayabilit ... 194 9. Peta KKLD Kepulauan Wayag-Sayang ... 195 10. Peta KKLD Ayau-Asia... 195 11. Jumlah produksi aktual, effort, dan cost per unit effot sumberdaya ikan

demersal di KKL Kabupaten Raja Ampat ... 196 12. Produksi, effort dan rente dalam perhitungan bioekonomi tanpa KKL .... 199 13. Hasil regresi fungsi penangkapan sumberdaya ikan demersal di

Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat ... 200 14. Hasil pemecahan analitik dengan program Maple 11 untuk sumberdaya

ikan karang atau demersal di KKL Kabupaten Raja Ampat, Provinsi

Papua Barat ... 201 15. Hasil pemecahan analitik dengan program Maple 11 untuk bioekonomi

KKL dengan spill over effect (beta model ) untuk sumberdaya ikan karang atau demersal di perairan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat ... 215 16. Foto-foto lokasi survei dan aktivitas penelitian di Kabupaten Raja

(28)

xxvi

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN

BPS : Biro Pusat Statistik

BAPPEDA : Biro Perencanaan Pembangunan Daerah

BPK : Badan Pemeriksa Keuangan

CAL : cagar alam laut

CO2 : carbon dioksida

CCRF : Code of Conduct for Responsible Fisheries CII : Conservation International Indonesia CPUE : catch per unit effort

DKI : Daerah Khusus Ibukota

DKP : Departemen Kelautan dan Perikanan

DPL : daerah perlindungan laut

DPM : daerah perlindungan mangrove

DPISR : driving force, pressure, impact, state and response FAD : fish agreegating device

FAO : Food and Agricultural Organization

GDP : gross domestic product

GS : Gordon Schaefer

GT : gross ton

HDR : human development index

ICM : integrated coastal management

ICOM : integrated coastal and ocean management

IPM : indeks pembangunan manusia

IUCN : International Union Conservation on Natural Resources

IUP : ijin usaha penangkapan

KK : kepala keluarga

KKL : kawasan konservasi laut

KKLD : kawasan konservasi laut daerah KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan KKPN : kawasan konservasi perairan nasional

(29)

xxvii

MEY : maximum economic yield

MPA : marine protected area

MSY : maximum sustainable yield

OLS : ordinary least square

PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa Perda : peraturan daerah

Perdes : peraturan desa

PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak

PNS : Pegawai Negeri Sipil

PPI : Pusat Pendaratan Ikan

PSR : pressure, state and response

SML : suaka margasatwa laut

TC : total cost

TNC : The Nature Conservancy

TNL : taman nasional laut

TPI : tempat pelelangan ikan

TR : total revenue

TWAL : taman wisata alam laut

WPP : wilayah pengelolaan perikanan

WWF : World Wild Fun

(30)
(31)

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Allah SWT potensi sumberdaya ikan yang sangat besar dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, yaitu memiliki sekitar 3.000 jenis ikan di perairan laut dan tawar (DKP 2006 dan 2007a). Belum lagi posisi Indonesia yang berada di wilayah pusat segitiga terumbu karang dunia atau biasa disebut “the coral reef triangle” yang dikenal pula oleh masyarakat dunia sebagai wilayah “the amazone sea”, memiliki berbagai jenis terumbu karang yang tersebar luas diseluruh wilayah Indonesia yang keanekaragamannya hampir mencapai 75% dari seluruh terumbu karang dunia (DKP 2007g). Indonesia juga memiliki berbagai jenis mangrove, lamun dan sumberdaya ikan lainnya, sehingga sangat pantas bila masyarakat dunia menempatkan Indonesia sebagai negara mega biodiversity (Dahuri 2003; BAPPENAS 2003). Kekayaan sumberdaya ikan tersebut merupakan aset nasional yang sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya terjadi paradoks, terbukti dengan 8.090 desa pesisir dan 16,42 juta jiwa penduduknya, yang terdiri dari 3,91 juta KK masih miskin dengan poverty headcount index sebesar 0,3214 atau 32,14% (DKP 2007b dan 2007c) belum lagi penduduk miskin lainnya yang bermukim di pedesaan di luar wilayah pesisir.

Kondisi tersebut diperparah dengan status sumberdaya ikan yang diduga telah terdegradasi sehingga stok sumberdaya ikan menurun. Data terbaru DKP (2008) menyatakan bahwa sebagian besar wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia telah overfishing dan dalam kondisi kritis. Walaupun sebenarnya tidak hanya di Indonesia, bahkan secara global terjadi penurunan produksi perikanan yang sangat tajam dan diperkirakan lebih dari 75% stok ikan dalam kondisi fully atau heavely-exploited dan overexploited atau depleted mencapai 24% sejak pertengahan tahun 1970’an (FAO 2004). Produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan menurun hanya mencapai 7,8% atau 1,6% per tahun selama lima tahun (1995-1999). Terjadinya penurunan produksi tersebut sangat merugikan masyarakat dan memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Oleh sebab

(32)

itu diperlukan berbagai upaya untuk menangani penurunan stok ikan, antara lain melalui pengelolaan perikanan berkelanjutan sebagaimana mandat dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).

Berbagai instrumen juga terus dikembangkan dalam upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan, mulai dari pendekatan biologi dengan penerapan maximum sustainable yield (MSY) dan ekonomi dengan maximum economic yield (MEY) yang hingga saat ini di Indonesia masih diterapkan (walaupun di negara maju sudah ditinggalkan sejak sekitar tahun 1960), hingga penerapan instrumen pengelolaan perikanan tangkap melalui prinsip-prinsip ekonomi rasionalisasi. Walaupun faktanya cukup berhasil diterapkan di negara maju, namun tidak begitu berhasil di negara-negara berkembang dan oleh sebab itu instrumen tersebut mulai ditinggalkan sejak tahun 1980’an (Fauzi dan Anna 2005).

Fakta berikutnya adalah berkembangnya konsep pengelolaan perikanan berkelanjutan dengan kebijakan pengembangan kawasan konservasi laut (KKL) atau lebih populer marine protected area (MPA), yang merupakan salah satu alternatif kebijakan yaitu sebagai instrumen untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan yang mulai bergema pada tahun 1990’an. Sebenarnya instrumen ini telah diperkenalkan oleh pemerintah Finlandia sejak tahun 1800’an, dengan membangun kawasan seperti itu di wilayah perairan pesisirnya (Fauzi dan Anna 2005). Penerapan kebijakan ini sungguh menggembirakan, dilaporkan sampai dengan tahun 2000’an telah terbangun lebih dari 1000 KKL di seluruh dunia, dan pada tahun 2020 diharapkan akan terbangun KKL seluas area 10% dari seluruh wilayah laut di dunia (Anna 2006). Namun dari berbagai jenis instrumen kebijakan, KKL adalah instrumen yang paling banyak menimbulkan kontroversi terutama di negara berkembang. Kontroversi tersebut diantaranya bahwa pengembangan KKL diyakini masyarakat cenderung hanya mengutamakan aspek perlindungan sumberdaya ikan semata, tidak mensejahterakan masyarakat dan bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan karena dirusak masyarakat yang menganggap KKL merugikan mereka.

Di Indonesia sendiri, kebijakan pengembangan KKL sejak lama dimulai yaitu sekitar tahun 1990’an, ketika Departemen Kehutanan mengembangkan Taman Nasional Laut dan sejenisnya, sebagai implementasi dari Undang-undang

(33)

No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Demikian pula Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perikanan yang mengembangkan suaka perikanan sebagai mandat Undang-undang No. 9 tahun 1987 tentang Perikanan. Pengembangan KKL yang sangat pesat, dimulai dengan telah dimandatkan perlunya upaya konservasi untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya pada pasal 1 angka (8) dan pasal 13 ayat (1) dan (2); dimana undang-undang tersebut diubah menjadi Undang-undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kemudian pengaturan lebih lanjut tentang KKL dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Kebijakan ini disambut hangat oleh masyarakat, seiring dengan penempatan kelautan dan perikanan sebagai prime mover perekonomian Indonesia pada tahun 2000’an. Walaupun sebenarnya instrumen kebijakan pengembangan KKL merupakan instrumen komplemen dari berbagai instrumen yang ada, seperti instrumen MSY dan MEY, namun telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan terutama terkait dengan luasan areanya.

Sampai dengan akhir tahun 2009, di Indonesia telah terbangun KKL lebih kurang seluas 13.529.067,00 Ha (KKP 2010), yang institusi pengelolanya dibedakan atas tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan dan juga Kementerian Kehutanan. Diharapkan sampai dengan tahun 2020 dapat terbangun KKL seluas 20 juta Ha di seluruh Indonesia (Komitmen Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam suratnya pada COP-8 Convention on Biological Diversity di Brazil 20-31 Maret 2006) (Haryani et al. 2008). Kemudian dari hasil World Ocean Conference di Manado pada Mei 2009 yang lalu, yang telah menghasilkan Manado Ocean Declaration yang didalam substansinya menyebutkan pula bahwa, pengelolaan ekosistem pesisir merupakan kesepakatan kelautan global yang menjadi dasar penting bagi penguatan strategi pengelolaan ekosistem ini, yang didalamnya termasuk pula pengembangan KKL. Selain pengembangan KKL sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam rangka pengelolaan perikanan berkelanjutan, perkembangan paradigma berikutnya adalah dalam hal pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu

(34)

berkembangnya prinsip-prinsip integrated coastal managament (ICM) yang kemudian menjadi integrated coastal and oceans management (ICOM), yang keduanya sama-sama menempatkan pentingnya pengembangan KKL. Berkembangnya paradigma tersebut di atas telah menambah kompleksitas permasalahan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan juga telah mendorong berkembangnya KKL, yang diminati para stakeholders terutama Pemerintah Daerah, baik kabupaten/kota maupun propinsi dan juga nasional. Demikian pula lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang pengembangan KKL baik internasional maupun nasional seolah berlomba bermunculan. Bahkan dengan di syahkannya Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang didalamnya juga mengatur tentang KKL, maka semakin bermunculanlah KKL baru di wilayah perairan Indonesia. Pertanyaan mendasar kemudian, apakah memang stakeholders telah memahami kontroversi-kontroversi pengembangan KKL sebagaimana telah disebutkan di atas? Atau kelompok tertentu saja yang memahami, sementara masyarakat terus mempertanyakan keuntungannya bahkan mungkin menjadi korban?

Pengembangan KKL secara ekologis memang dirasa cukup tepat pada kondisi beberapa perairan laut di Indonesia, yang diduga telah mengalami kerusakan cukup parah akibat adanya praktek penangkapan ikan yang merusak, yang mengancam keberlanjutan keanekaragaman sumberdaya ikan. Di sisi lain dampak sosio-ekonomi pengembangan KKL bagi masyarakat masih diragukan, terutama nelayan skala kecil yang memang kelompok dominan di negara-negara berkembang, yang biasanya mata pencahariannya hanya mengandalkan sumberdaya ikan di laut. Bahkan di pertemuan-pertemuan para pakar tingkat dunia, pengembangan KKL selalu menjadi bahan pembahasan. Seperti halnya Vivekanandan (2007) pada suatu pertemuan di Belanda menggambarkan bahwa pengembangan KKL sebagai instrumen independen dalam melindungi ekosistem laut, cenderung menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang berdampak pada penurunan pendapatan nelayan skala kecil yang jumlahnya memang dominan, karena ditutupnya sebagian dari kawasan penangkapan ikan mereka. Failler (2007) selanjutnya menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di sekitar KKL menunjukkan adanya perlawanan dari masyarakat yang merasa dirugikan. Dalam

(35)

jangka pendek penetapan KKL memang sering menimbulkan konflik, sehingga perlu mekanisme untuk meyakinkan bahwa KKL menguntungkan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun panjang. Masyarakat berpendapat bahwa sebaiknya penetapan KKL harus lebih mengedepankan perlindungan terhadap endangered species daripada penetapan area fisik.

Dalam kondisi seperti ini, hal yang paling penting dilakukan adalah justifikasi mengenai dampak dari pembangunan KKL, yaitu selain dampak biologi yang sudah pasti sangat menguntungkan karena dampak spill over, di mana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan, juga dampak positif terhadap kondisi sosio-ekonomi masyarakat sekitarnya. Belum lagi manfaat positif lainnya, yaitu perannya dalam perubahan iklim. Karena kondisi yang terpelihara dari terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang ada di dalam perairan di lokasi KKL, sangat penting perannya sebagai sumber dan penyerap karbon (CO2), yang sangat penting dalam strategi adaptasi dan mitigasi perubahan

iklim (Haryani et al. 2008). Justifikasi ini selain akan menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini, juga sebagai bahan sosialisasi pada masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap dan masyarakat pesisir lainnya. Justifikasi yang berkaitan dengan bio-sosio-ekonomi sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada stakeholders akan arti pembangunan KKL, sehingga dapat menjelaskan strategi pengembangan KKL yang optimal secara bio-sosio-ekonomi yang dapat menjamin lestarinya keanekaragaman sumberdaya ikan, terkelolanya perubahan iklim di laut dan sejahteranya masyarakat secara keseluruhan.

Justifikasi bio-sosio-ekonomi lebih mendalam penting pula dilakukan, bahwa KKL secara optimal dapat dikembangkan selain di perairan laut terbuka dapat pula dikembangkan di perairan laut wilayah gugus pulau-pulau kecil, yang sudah pasti masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Berdasar data DKP (2007f) dari seluruh KKL yang ada di Indonesia, hampir 70% dikembangkan di gugus pulau-pulau kecil, karena ekosistem pulau-pulau kecil biasanya memiliki potensi sumberdaya ikan yang tinggi, karakteristik sumberdaya ikan yang unik dengan tingkat keanekaragaman hayati sangat tinggi (DKP 2001,

(36)

2005, 2007d, 2007e; Retraubun dan Atmini 2004; Bengen dan Retraubun 2006). Sayangnya ekosistem pulau-pulau kecil rentan terhadap perubahan ekologis, berada di wilayah terisolasi, masyarakat di sekitarnya biasanya miskin dan kehidupannya hanya mengandalkan sumberdaya ikan setempat, sementara itu sebenarnya pemanfaatan sumberdaya di pulau-pulau kecil bersifat multi guna (multiple use) dimana berbagai kegiatan memiliki hak atas akses dan pemanfaatan sumberdaya di kawasan ini (DKP 2001, 2005, 2007d, 2007e; Retraubun dan Atmini 2004; Bengen dan Retraubun 2006).

Kondisi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi yang sarat akan pembatasan aktivitas misalnya pembatasan area penangkapan ikan. Walaupun secara nasional salah satu pemanfaatan pulau-pulau kecil yang direkomendasikan oleh Pemerintah adalah untuk pengembangan KKL, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 tahun 2000 Jo. No. 67 tahun 2002. Alternatif pengembangan KKL di pulau-pulau kecil memang sangat memungkinkan, interaksi dinamis juga akan terjadi dengan peran masing-masing komponen yang saling bertentangan tersebut. Oleh sebab itu harus diikuti pengelolaan yang dapat menjamin pengalokasian sumberdaya pada luasan dan spatial yang tepat, sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat, namun tetap menjamin lestarinya sumberdaya ikan.

Sebuah fakta bahwa KKL di pulau-pulau kecil memang sangat unik dan di Indonesia telah berkembang sejak tahun 1990’an, ketika Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, yang merupakan gugus pulau kecil, dengan luas 107.489 Ha

ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 162/Kpts-II/1995 tanggal 23 Maret 1995. Kemudian baru-baru ini telah

berkembang Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua Barat, yang diinisiasi oleh masyarakat dan difasilitasi pemerintah daerah setempat, serta telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai KKL pada tanggal 12 Mei 2007, dengan kondisi ekosistemnya berada di gugus pulau kecil yang masih relatif alami dan terjaga. Keberadaan KKL di gugus pulau kecil sangat menarik untuk dikaji dan digunakan untuk menganalisis pengembangan dan efektivitas pengelolaan KKL di pulau-pulau kecil.

(37)

Selain justifikasi dan fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, menarik pula untuk dibuktikan bahwa pengembangan KKL di pulau-pulau kecil memang menguntungkan secara biologi, sosial dan ekonomi. Pembuktiannya tentu tidak mudah karena berbagai variabel harus dianalisis, yang sudah pasti variable-variable tersebut bukanlah variable-variable sederhana melainkan sangat kompleks. Oleh sebab itu perlu didekati dengan pengembangan sebuah pemodelan bioekonomi untuk pengembangan KKL, yang dapat menyederhanakan variable-variable kompleks tersebut, yang dapat menjelaskan bahwa pengembangan KKL di pulau-pulau kecil menguntungkan dan menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan.

Pada penelitian-penelitian ataupun referensi yang ada, pemodelan yang sudah berkembang untuk pengelolaan sumberdaya ikan adalah model sederhana yaitu model bioekonomi sumberdaya perikanan (Fauzi dan Anna 2005). Model untuk pengelolaan pulau-pulau kecil yang ada sampai dengan saat ini hanyalah model-model klasik yang mengkaji tentang interaksinya dengan perikanan ataupun pariwisata (Efrizal 2005 dan Parwinia 2007). Sementara itu untuk pemodelan bioekonomi pengembangan KKL, juga masih sangat sederhana yang hanya menganalisis interaksi sosial ekonomi, namun belum memadukan dengan aspek biologinya (Fauzi dan Anna 2005). Bahkan Fauzi dan Anna 2005, juga baru mengembangkan pemodelan bioekonomi untuk KKL dengan faktor luasan KKL sebagai indikatornya, namun belum memasukkan dampak spill offer dalam pemodelannya, sementara dampak spill offer sebenarnya merupakan indikator dominan keberhasilan KKL.

Dalam rangka menjembatani kelemahan dari pemodelan yang telah ada dan untuk mendapatkan pemodelan yang tepat, diperlukan kajian-kajian ilmiah yang komprehensif. Pemodelan yang tepat dapat berupa pemodelan hybrid bioekonomi untuk pengelolaan KKL yang dapat menghitung potensi dan nilai ekonomi sumberdaya ikan dan keuntungan-keuntungan biologi, sosial dan ekonomi secara tepat, dengan mempertimbangkan sifat dan paradigma pengembangan KKL dan keinginan masyarakat. Model hybrid bioekonomi dapat merupakan kombinasi dari beberapa model bioekonomi yang sudah ada, atau penambahan parameter tertentu kedalam model konvensional yang sudah ada untuk mendapatkan penyempurnaan, sehingga pemodelannya lebih elastis (Hicks

(38)

1964). Oleh sebab itu disertasi ini disusun untuk menjawab permasalahan diatas dan menjawab keinginan masyarakat bahwa KKL perlu terus dikembangkan, pulau-pulau kecil terus dimanfaatkan, namun tetap dapat menjamin pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan, keanekaragaman hayati laut tetap terjaga, fenomena perubahan iklim dapat diantisipasi dan masyarakat sejahtera.

1.2 Identifikasi Masalah

1.2.1 Keberlanjutan sumberdaya perikanan

Menurut Nikijuluw (2002) bahwa dua per tiga wilayah Indonesia adalah perairan laut yang terdiri dari perairan pesisir, laut lepas, teluk dan selat. Keseluruhannya adalah bagian dari perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km2. Selain itu Indonesia juga memiliki hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE), yaitu perairan yang berada 12 mil hingga 200 mil dari garis pantai titik-titik terluar kepulauan Indoensia. Luas ZEE sekitar 2,7 juta km2 dengan demikian Indonesia dapat memanfaatkan sumberdaya hayati dan non hayati di perairan yang luasnya sekitar 5,8 juta km2. Selain sumberdaya perairan, Indonesia juga memiliki sekitar 17.508 pulau yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sekitar 81.000 km.

Nikijuluw (2005) selanjutnya menyebutkan bahwa secara nasional potensi lestari (MSY) sumberdaya ikan Indonesia diperkirakan 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan sekitar 72%, yang berarti telah mengalami kondisi pemanfaatan yang tinggi, hampir jenuh. Oleh sebab itu melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, telah disebutkan bagaimana pengelolaan perikanaan Indonesia harus dilakukan dengan melalui 11 WPP yaitu: (1) WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan LautAndaman, (2) WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda, (3) WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat, (4) WPP-RI

711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, (5) WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa, (6) WPP-RI 713 meliputi perairan

(39)

Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali, (7) WPP-RI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda, (8) WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau, (9) WPP-RI

716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera, (10) WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik,

dan (11) WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

Kondisi sumberdaya ikan sebagaimana tersebut diatas dapat dikonversi dalam moneter dan non moneter dan dalam kondisi keseimbangan akan memberikan manfaat optimum, namun sebaliknya akan memberikan manfaat minimal bahkan sangat merugikan apabila dalam kondisi tidak seimbang, yaitu manakala pada beberapa perairan di Indonesia masih memiliki potensi yang berlebih, sedangkan pada beberapa perairan lainnya mengalami gejala penurunan jumlah tangkapan ikan (depresiasi sumberdaya perikanan), baik karena eksploitasi yang berlebihan maupun karena menurunnya kualitas perairan, sebagaimana yang terjadi saat ini di wilayah perairan laut Indonesia. Fauzi dan Anna (2002a) menyebutkan bahwa sumberdaya ikan di perairan pantai Utara Jawa telah terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun.

Pada skala global telah terjadi pula hal yang sama, besarnya dampak dari depresiasi sumberdaya ikan ini diilustrasikan dengan estimasi biaya yang dikeluarkan untuk produksi global perikanan laut sekitar U$ 124 milyar dollar per tahun, namun hanya menghasilkan penerimaan sebesar U$70 milyar dollar (Mace 1997). Sebesar U$ 54 milyar dollar ternyata merepresentasikan berbagai subsidi pemerintah terhadap industri perikanan, yang justru menambah tingkat tangkap lebih dan inefisiensi ekonomi dari industri perikanan (Davis dan Garthside 2001). Demikian pula di Asia Tenggara, bahwa seluruh perairan pesisir sampai 12 mil dari darat telah mengalami over fishing (FAO 2004).

Kemudian sebagai negara pusat segitiga terumbu karang dunia (the coral reef triangle), Indonesia memiliki keanekaragaman jenis hampir 75% dari terumbu karang dunia, dengan lebih dari 600 spesies (DKP 2007g). Estimasi luas terumbu karang di Indonesia sekitar 51.000 km2, dengan kondisi lingkungan yang terus menurun kualitasnya, proporsi terumbu karang yang terdegradasi meningkat

(40)

dari 10-50% (Suharsono 1998). Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia dalam kondisi sangat baik (excellent = tutupan lebih dari 50% terumbu karang hidup), sisanya 31,8% diklasifikasikan dalam kondisi buruk (hanya terdiri dari 25% tutupan terumbu karang hidup) (Suharsono 1998). Kemudian untuk penurunan keanekaragaman hayatinya berkisar 30-60% (DKP 2007h).

Demikian pula untuk sumber daya pesisir lainnya seperti mangrove, kondisinya boleh dikatakan telah terdegradasi, dengan sekitar 70% dalam kondisi rusak, sebagai akibat dari illegal logging, pemanfaatan mangrove untuk pengembangan industri pulp, bangunan, kayu bakar, arang bakau, kawasan pemukiman, wisata, maupun untuk pembukaan kawasan budidaya tambak (Kementerian Kehutanan 2009). Di kawasan Segara Anakan misalnya, diperkirakan sekitar 1.454 Ha ekosistem mangrove telah hilang dan dikonversi menjadi berbagai penggunaan lainnya seperti tambak ikan, lahan pertanian, pemukiman, dan lain-lain (Fauzi dan Anna 2002b). Belum lagi kondisi padang lamun dan sumberdaya pesisir dan laut lainnya, yang kemudian telah menyebabkan menurunnya keanekaragaman jenis-jenis ikan di perairan laut Indonesia, sehingga pada beberapa jenis telah dinyatakan terancam punah dan harus dimanfaatkan terbatas, bahkan ada yang telah dinyatakan punah.

Permasalahan-permasalahan di atas merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan sumberdaya ikan yang harus dicarikan solusinya, agar tidak terjadi paradoks sebagaimana selama ini, yaitu wilayah pesisir dan laut memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun relatif rendah laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini masyarakat pesisir di Indonesia yang mengandalkan pada potensi sumberdaya ikan adalah masyarakat yang masih dililit kemiskinan. Hal ini diakibatkan oleh sumberdaya alam masih dianggap sebagai satu-satunya andalan yang paling mudah digali, terutama oleh nelayan dan merupakan sumberdaya yang open acsess.

Dimana sebenarnya letak kesalahan kita sehingga kondisi-kondisi di atas terjadi? Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ikan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, pada dasarnya hal paling mendasar yang menjadi tulang

(41)

punggung keberhasilannya adalah masalah perencanaan. Di samping itu juga aspek pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan yang memang masih lemah. Kemudian penerapan instrument apakah yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahn tersebut? Bagaimana pengelolaan sumberdaya ikan yang benar agar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat namun dapat menjamin keberlanjutan sumber dayanya?

1.2.2 Kawasan konservasi laut

Prinsip KKL adalah spill over effect atau dampak limpahan (Fauzi dan Anna 2005). Selanjutnya KKL memiliki banyak manfaat signifikan yang akan membantu pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan dijelaskan bahwa KKL dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Li (2000) yang diacu dalam Fauzi dan Anna (2005) juga menjelaskan bahwa KKL bermanfaat untuk peningkatan produktivitas perairan (productivity enchancement).

Manfaat-manfaat tersebut yang sebagian merupakan manfaat langsung yang bisa dihitung secara moneter, sebagian lagi merupakan manfaat tidak langsung yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa KKL memiliki nilai ekonomi yang tidak hanya bersifat tangible (terukur), namun juga tidak terukur (intangible). Manfaat terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan, baik yang dikonsumsi maupun tidak, sementara manfaat tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan yang lebih bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang. Secara ekonomi, KKL dapat diibaratkan sebagai investasi sumber daya di masa mendatang (Fauzi dan Anna 2005).

Beberapa studi berkaitan dengan penerapan KKL mengindikasikan bahwa proteksi kawasan laut dari akivitas penangkapan ikan akan menyebabkan perubahan cepat dan dramatis terhadap populasi dan habitat ikan (Gell and Roberts 2002). Sebagai gambaran secara nasional, berdasarkan data pada KKP (2010), bahwa luas KKL sampai dengan akhir tahun 2009 yang diinisiasi oleh Kementerian Kehutanan adalah 5.426.092 Ha dan diinisiasi oleh Kementerian

Gambar

Gambar 1   Perumusan masalah pengelolaan sumberdaya ikan di KKL di pulau- pulau-pulau kecil
Gambar 2   Kerangka pikir penelitian untuk melihat interaksi antara karakteristik,  permasalahan dan kebijakan KKL serta pemodelan bioekonomi
Gambar  3    Kerangka  pikir  penelitian  untuk  melihat  keterkaitan  antara  spill  over  effect dan solusi pemodelan yang dapat dikembangkan
Gambar 10  Lokasi KKL dan sebaran satwa di Kabupaten Raja Ampat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data primer yaitu data yang dikumpulkan secara langsung selama penelitian meliputi konstruksi jaring (Lampiran 1), jenis spesies ikan hasil tangkapan utama dan

longicolla have been reported in soybeans (Wrather and Koenning 2009), but its impact on dry edible beans and dry edible peas is uncertain.. Illustrated Genera of Imperfect

Kelembagaan pemasaran produk hutan rakyat non kayu yang dominan di lokasi penelitian terdiri dari 3 pola distribusi pasar dimana lembaga pemasarannya terdiri dari produsen

Pertanggungjawaban pidana produsen terhadap produk makanan yang mengandung bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen dikategorikan sengaja atau

Sosialisasi pada ibu-ibu sekitar RPTRA dilakukan dengan sedikit penjelasan mengenai hidroponik dan dilanjutkan dengan aktivitas pembuatan media tanam, menyemai benih,

Terhadap pendatang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 Peraturan Daerah ini, Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur berhak melakukan upaya

Sumber : Data Penelitian Tahun 2018 Berdasarkan data hasil penelitian yang telah didapatkan di lapangan dapat diketahui ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

pemanfaatan teknologi game yang telah digunakan dan dikembangkan agar dapat lebih bersaing pada pasar yang semakin kompetitif karena munculnya pesaing baru akibat dari